Results 1 to 4 of 4
http://idgs.in/539111
  1. #1
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default [Short Story] Road of Autumn

    Road of Autumn



    Author: LunarCrusade
    Copyright ©2012 - f399 IDGS Forum
    Genre: Romance, Supranatural, Tragedy


    _____________________________________



    Sebuah kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tempatku menghabiskan sebagian besar masa kecil.

    Musim panas tahun ini aku kembali ke sini, setelah hampir 7 tahun kutinggalkan karena pindah ke kota besar. Alasan kepindahanku 7 tahun lalu adalah akibat orang tuaku yang pindah tugas. Kuputuskan untuk kembali ke kota ini atas seijin mereka, setelah mereka merasa aku sudah siap untuk tinggal sendiri. Sekarang usiaku sudah bertambah dari 10 menjadi 17 tahun, dihitung sejak saat kepindahanku.

    Berhubung aku cukup dikenal oleh penduduk sini sewaktu masih kecil, beberapa orang masih mengenaliku ketika aku kembali, termasuk seorang lelaki yang dulu adalah teman bermainku, Saturn. Namanya yang aneh itu diberikan oleh ayahnya yang seorang maniak astronomi, sekaligus bekerja sebagai polisi di kota kecil ini. Usianya sebaya denganku, bahkan sekarang kami berada di sekolah dan kelas yang sama, kelas 11-A.

    Tidak terhitung banyaknya petualangan yang kami lakukan dalam menjelajahi tempat-tempat unik di sini. Sungai, ladang, hutan, bahkan hingga bukit di pinggir utara kota kecil ini, semuanya pernah kami jelajahi. Maklum saja, di sini tidak banyak hiburan seperti di kota besar. Jadi, pilihan utama anak-anak di sini dalam bermain adalah mendatangi tempat-tempat seperti itu.

    Aku ingat semua itu. Tapi aku masih merasa ada yang hilang. Masih ada yang kurang…




    Setiap kali topik pembicaraan beralih ke masa ketika aku masih berada di kota ini, Saturn telihat antusias, begitu juga denganku. Namun…begitu menyentuh soal bukit di pinggir utara kota, timbul keraguan dalam dirinya. Aku bukan orang yang suka memaksa orang lain untuk memperoleh jawaban, jadi aku tidak pernah menginterogasinya lebh lanjut.

    Hingga…rasa penasaranku memuncak.

    Kota ini terkenal dengan julukan “Maple Town” karena pohon-pohon maple bertebaran di seluruh penjuru kota, tidak terkecuali bukit di pinggir utara kota yang selalu membuatku penasaran itu. Ketika warna kota ini telah berubah menjadi warna musim gugur yang didominasi merah, jingga, dan kuning, aku memutuskan untuk pergi ke bukit itu.




    Minggu, 11 Oktober.

    Untuk memuaskan rasa penasaranku, pagi ini aku akan mengunjungi bukit itu sebentar. Warnanya yang merah-jingga-kuning itu membuat aura melankolis sangat terasa. Yah, bagaimanapun juga musim gugur memang identik dengan kepribadian melankolis, sama halnya musim semi untuk sanguinis, musim panas untuk koleris, dan musim dingin untuk plegmatis.

    Dengan sepeda, kutelusuri jalanan beraspal ---tergolong baik kondisinya untuk ukuran sebuah kota kecil--- yang membentang di sebelah barat bukit tersebut. Tidak ada jalan beraspal yang langsung menuju ke sana. Berhubung sepeda ini bukanlah sepeda gunung, aku harus memarkirkan sepedaku ini di sebuah supermarket, sekitar 100 meter sebelah selatan bukit. Mencegah kerusakan rodanya, tentu saja.

    Kucoba mengingat lagi rute menuju bukit berdasarkan memori masa kecilku. Hmm…kalau tidak salah, ada jalan setapak yang cukup lebar yang akan mengecil seiring dengan bertambahnya ketinggian bukit. Beberapa lama aku menelusuri kaki bukit, dan…benar, ada sebuah jalan setapak yang cukup lebar.

    Bukit ini bukan tempat wisata atau semacamnya, sehingga tidak mengherankan kalau suasananya akan sepi. Hening. Langkah kakiku sendiri terdengar dengan amat jelas, saat menapaki jalan setapak dengan taburan daun-daun maple yang berguguran tergeletak di atasnya. Hanya ada suara itu, dan hembusan nafasku sendiri.

    Sebenarnya di dalam diriku timbul rasa takut karena suasana bukit yang nyaris tanpa suara. Tetapi, perhatianku benar-benar teralih akan keindahan rimbunnya pohon maple di sekitarku, yang kelihatan tidak ada habisnya. Perlahan ketakutanku berubah menjadi sebuah perasaan yang lain, sesuatu yang nyaman dan menghangatkan hati. Mungkinkah efek warna merah dari dedaunan?

    Biar kuingat-ingat dulu. Kalau tidak salah, ada suatu tempat di bukit ini yang sering kukunjungi. Otakku tidak dapat mengingatnya, namun kakiku seakan menuntun seluruh tubuhku menuju tempat itu. Berjalan ke sini, berjalan ke sana, mengikuti jalan setapak yang makin kecil. Seperti déjà vu rasanya.

    Langkahku terhenti ketika angin yang lembut berhembus, memetik sebuah daun yang kemerahan. Digerakkan oleh sesuatu yang entah apa namanya, aku berlari mengejar daun itu, hingga…

    Cahaya menyeruak dari sela-sela pepohonan, sebagai tanda menipisnya jajaran pohon maple yang menyelimuti bukit.


    Dia berada di sana.


    Selagi mengejar daun kemerahan yang terbang menuju langit di atas sana, aku melihat sesosok perempuan, berdiri beberapa langkah dari pinggir tebing sambil memandang ke arah kota yang terletak di selatan.

    Rambut coklatnya yang dikuncir tersibak oleh angin, mengalihkan perhatianku dari daun yang sekarang sudah pergi entah ke mana. Seketika itu juga, wajahnya berbalik ke arahku. Keberadaan dirinya di hadapanku seakan membawa pikiranku melayang entah ke mana.

    Seorang perempuan yang terlihat masih anak-anak, mulai membuka bibirnya yang kecil itu.

    “Ng…a-ada apa…?”

    Suara yang lembut ---namun menggemaskan--- itu membawaku kembali ke alam sadar.

    “T-T-Tidak apa-apa kok.”

    Duh, kenapa aku gelagapan begini? Sadar hei, sadar. Yang di hadapanmu hanyalah seorang anak kecil yang mungkin berusia 8 hingga 9 tahun.

    Kembalinya akal sehatku ke alam nyata membuatku berpikir. Anak sekecil ini, perempuan pula, mampu berjalan hingga ketinggian ini? Hebatnya lagi…tidak ada tanda-tanda sama sekali dia kelelahan atau berkeringat. Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, staminanya tergolong kuat. Kedua, dia sudah berada di sini beberapa jam sebelum aku tiba, sehingga sempat beristirahat untuk memulihkan tenaga. Tapi…apa mungkin…?

    Mendadak dia tersenyum, dan berkata…

    “Dasar aneh.”, diikuti sebuah tawa kecil.

    Yang aneh itu kamu, anak kecil.

    “Jadi, ada keperluan apa kamu datang ke sini?”, tanyanya.

    “Uh? Kurasa semua orang bebas datang ke sini. Tempat ini bukan tempat tinggalmu atau semacamnya, benar begitu?”

    “Kenapa malah balik bertanya begitu…dasar tidak sopan.”

    Anak ini mulai membuatku kesal. Tapi ya sudahlah, dia hanya anak-anak, ditambah lagi dia perempuan. Memalukan kalau aku harus beradu argumen dengannya.

    “Huh…ya sudah, aku pulang saja.”, kubalikkan badanku.

    Tiba-tiba aku merasa bajuku ditarik, ditarik dengan tenaga seorang anak perempuan berumur 8 hingga 9 tahun. Dengan wajah yang tidak menatapku, dia bertanya…

    “Apa kamu suka tempat ini?”

    Pertanyaan yang sulit kujawab. Tujuanku ke sini adalah untuk memuaskan rasa penasaranku karena sesuatu yang disembunyikan Saturn, bukan ingin menikmati pemandangan atau semacamnya. Tapi aku tidak tega menjawab “Tidak.”

    “Yah, begitulah. Pemandangannya cukup bagus di sini.”

    “Oh…begitu ya.”, dia melepaskan tangannya dari bajuku. Ekspresinya terlihat lega setelah mendengar jawabanku.

    Karena aku masih heran dengan keberadaannya di tempat ini, aku akan menanyainya lebih lanjut. Siapa tahu sesuatu yang terkunci di dalam memoriku ini bisa terbuka dengan beberapa jawaban darinya.

    Aku maju beberapa langkah hingga pinggir tebing, lalu duduk di tanah. Anak itu, yang terlihat kebingungan, ikut duduk di sebelah kananku.

    “Oke, sekarang giliranku bertanya. Boleh?”

    Dia merespon dengan sekali mengangguk, wajahnya terlihat ceria.

    “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu suka tempat ini?”

    “Iya, iya. Aku suka seluruh tempat ini, apalagi kalau sudah musim gugur dan berubah warna. Seperti katamu tadi, pemandangannya memang bagus. Tapi, tapi, aku paling suka di pinggir tebing ini. Seluruh kota mulai dari ujung ke ujung bisa kulihat dengan mudah. Banyak bangunan yang bisa kulihat dari sini. Dari dekat sih memang besar, tapi kalau dilihat dari sini semuanya jadi keciiiiillll sekali. Lalu, lalu---“, jawabnya dengan cepat, sangat cepat.

    “Stooooopppp!! Aku bisa pusing kalau kamu lanjutkan…!!”

    “Ahaha…iya, maaf, maaf. Aku terlalu bersemangat saja.”

    “Kesimpulannya, kamu suka tempat ini?”

    Dijawabnya dengan mengangguk cepat beberapa kali. Coba kutanya hal lain lagi…

    “Apa kamu sudah berada di sini dari pagi? Kulihat kamu tidak terlihat lelah sama sekali sewaktu aku tiba.”

    “Uh-huh, sudah lama aku sampai. Memangnya kenapa?”

    “Tidak…hanya mengherankan saja untukku. Seingatku, jarang ada anak perempuan yang mau ke sini, meski bukit ini adalah halaman bermain bagi para anak laki-laki. Termasuk diriku saat masih kecil.”

    “Kamu pernah tinggal di sini ya?”, dia kembali bertanya, dengan kepala yang dimiringkan sedikit ke kanan.

    “Betul. Namun tujuh tahun yang lalu aku pindah ke kota, dan baru musim panas lalu aku kembali.”

    Sepintas wajahnya terkejut saat aku mengatakan hal itu, namun kuabaikan begitu saja.

    “Oh…begitu. Jadi, apa tujuanmu ke sini?”

    “Hanya kangen saja. Dulu aku dan seorang teman sering sekali mengunjungi tempat-tempat di sekitar kota, dan bukit ini salah satunya. Bagaimana denganmu?”

    Kepalanya tertunduk beberapa saat, setelah aku menanyakannya. Sedetik kemudian, pandangannya teralih ke arah langit, dan dia menjawab…


    “Menunggu seseorang.”


    Tatapannya benar-benar serius saat menjawab, membuat pikiranku kembali melayang dan sempat terdiam beberapa detik, memandang wajahnya. Aku membayangkan, mungkin 6 hingga 7 tahun ke depan dia akan berubah menjadi perempuan yang cantik.

    “Lagi-lagi kamu diam saja…dasar aneh.”

    “Ah, maaf. Tadi kamu mengatakan sedang menunggu seseorang? Kalau begitu mungkin sebaiknya aku pergi.”

    Sejenak ekspresinya terlihat muram, namun dia menjawab “Baiklah,” sambil tersenyum lebar padaku. Karena aku tidak ingin mengganggunya, aku memutuskan untuk kembali ke kaki bukit, menyusuri jalan setapak yang dihiasi semaraknya warna-warni pepohonan.

    Malamnya, aku kesulitan untuk tidur. Kembali aku mengingat anak itu. Aku bukan lelaki pengidap ********* atau semacamnya, namun paras wajah anak perempuan itu yang cantik sekaligus menggemaskan membuatku luluh. Entah mengapa…argh…




    Senin, 12 Oktober.

    Sepulang sekolah, aku menceritakan kejadian kemarin pada temanku, Saturn.

    “Kamu benar-benar ke sana?!”, Saturn terlihat terkejut.

    “Umm…ya.”

    “Tidak ada hal aneh yang terjadi di sana?”

    “Tidak. Oh, ada satu. Ada seorang anak perempuan…”

    “Anak…perempuan?”

    “Uh-huh. Mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun…”

    “Sebagai temanmu, aku hanya mencoba memperingatkan…jangan terlalu sering ke tempat itu. Bukit itu seperti terkutuk…”

    “Hah? Kamu bercanda?”

    “Aku tidak bohong. Bukit itu sudah sering merenggut nyawa manusia sejak kamu pergi. Tidak jarang orang-orang juga melihat sesosok hantu atau semacamnya…”

    “Bwahaha!! Duh, kamu terlalu khawatir. Lihat diriku. Tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padaku, bahkan tidak satu goresanpun.”

    “Ya…terserahlah. Setidaknya aku sudah memberitahumu.”

    Hmm, aku jadi ingin kembali ke bukit itu untuk membuktikan kata-kata Saturn tadi. Masih jam 4 sore, dan tidak sampai setengah jam aku akan tiba di sana. Kembali aku menuju ke tempat itu dengan sepeda, memarkirkan sepedanya di supermarket, lalu berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang sama.

    Dan…tidak kusangka, aku bertemu dengannya kembali.

    “Halo.”, aku menyapanya begitu melihat dirinya berada di pinggir tebing yang kemarin.
    “Seperti perkiraanku, kamu pasti datang lagi.”

    “Eh? Kenapa kamu tahu?”

    “Kamu pasti penasaran dengan namaku, iya kan?”

    Memang benar aku belum bertanya namanya kemarin. Tapi tujuanku ke sini bukan untuk mengetahui hal itu. Aku hanya merasa terdorong untuk bertemu dengannya…

    Kembali aku duduk beberapa langkah sebelum pinggiran tebing, diikuti olehnya yang duduk di sebelah kananku.

    “Orang yang kamu tunggu itu sudah datang?”, tanyaku.

    “Ng…belum. Mungkin dia lupa atau semacamnya.”

    “Apa kamu benar-benar sudah membuat janji dengannya?”

    “Sudah kok. Tapi…mungkin dia tidak akan ke sini hari ini…”, wajahnya berubah murung.

    Kutaruh tangan kananku di kepalanya, lalu membelai rambut coklatnya itu dengan lembut.

    “Sudah, jangan sedih begitu. Coba kamu hubungi lagi, siapa tahu dia lupa.”, ujarku.

    Wajahnya berubah kembali ceria saat aku mengelus-elusnya. Dia sepertinya senang diperlakukan seperti ini.

    Tidak banyak yang bisa kutanyakan darinya hari ini karena hari begitu cepat berubah menjadi gelap. Secepatnya aku harus menuruni bukit sebelum tidak ada lagi cahaya yang menyinari jalan yang menuju ke bawah. Sesaat sebelum aku melangkah memasuki deretan pohon maple…

    “Oh ya, siapa namamu?”

    “Ceres. Ceres Demetria.”

    Nama itu menggelitik kepalaku. Bukan karena namanya yang aneh ---seperti Saturn---, tapi karena efek déjà vu itu terasa kembali. Nama yang pernah kudengar, nama yang pernah kuingat sebelumnya. Yah, kurasa wajar kalau aku lupa. Sudah 7 tahun lebih berlalu, dan aku tidak mungkin ingat semuanya. Sewaktu aku baru tiba di sini, yang dapat kuingat juga hanya sedikit orang, yang benar-benar sering bersamaku saat diriku masih kecil.

    Aku juga sempat menawarkan diri untuk menemaninya turun, namun dia menolak. “Aku ingin menunggu sebentar lagi.”, begitu katanya. Ya sudahlah, lagipula kurasa dia sudah mengenal dengan baik tempat ini.




    Selasa, 13 Oktober.

    “Biar kutebak, kamu pergi ke tempat itu kemarin. Benar?”, tanya Saturn beberapa belas menit sebelum kelas dimulai. Dia duduk di kursi di depanku, yang bukan merupakan bangkunya sendiri. Bangku miliknya berbeda 2 baris denganku.

    “Yap, benar. Ada apa? Apa kamu takut kalau aku terkena kutukan atau semacamnya?”

    “Tunggu sebentar di sini.”

    Dia menuju ke mejanya, meraih tas, membukanya, lalu mengambil beberapa tumpuk koran. Tumpukan kertas-kertas setinggi hampir 10 sentimeter ditaruh di atas mejaku.

    “Untuk apa koran-koran ini?”, tanyaku keheranan.

    “Periksalah begitu kembali ke rumah. Ini adalah bukti seberapa banyak korban yang tewas di bukit itu, dan masih bisa kukumpulkan lebih banyak jika aku meminta bantuan ayahku. Sejak sering terjadi kecelakaan, aku tidak berani bermain ke sana lagi…”

    Benarkah tempat itu terkutuk? Benarkah sudah banyak nyawa yang direnggut oleh bukit itu? Tidak bisa kupercaya, tempat seindah itu…

    Jika tempat itu memang berbahaya, sudah selayaknya aku memberi peringatan pada anak perempuan itu, Ceres. Baiklah, akan kukunjungi tempat itu nanti sepulang sekolah, sekedar untuk memberitahu dirinya mengenai kasus-kasus kecelakaan yang terjadi di sana. Dia pasti jadi lebih waspada jika kuberitahu. Apalagi sering berdiri di pinggir tebing itu…terlalu berbahaya.

    Benar saja, Ceres ada di tebing itu. Duduk termenung, memandang jauh ke arah kota di selatan sana.

    “Dia belum datang juga ya?”, tanyaku saat duduk di sebelah kirinya.

    Duh, kenapa aku yang jadi penasaran begini?

    “Belum. Tapi mungkin sebentar lagi dia akan kemari.”, jawabnya, namun kali ini nada bicaranya lebih tenang.

    “Ah, syukurlah. Oh ya, aku hanya ingin memberitahu, di tempat ini katanya sering terjadi kecelakaan. Kuharap kamu lebih berhati-hati saat berada di sini. Oke?”

    Dia mengangguk satu kali, disertai senyuman lebar terlukis di wajahnya. Baguslah, kurasa dia mengerti.

    Aku bercerita lebih banyak hari ini. Dia terus mendesakku untuk menceritakan bagaimana kehidupan di kota besar, yang jauh berbeda dengan di kota ini. Wajahnya yang menggemaskan itu memancarkan kekaguman saat aku mulai menggambarkan bagaimana hidup di kota besar. Suasananya yang ramai, banyaknya sarana hiburan, dan hidup yang lebih mudah. Walau di dalam diriku…aku lebih suka hidup di kota kecil seperti ini. Tenang, nyaman, tidak perlu melakukan semuanya serba cepat. Tanpa sadar waktu terus berlalu, sekarang sudah jam 5 lewat sedikit.

    “Ah, sepertinya aku harus pulang.”, sahutku. “Mau ikut ke bawah?”

    “Ng…baiklah.”

    Aku kembali berdiri, diikuti olehnya. Baru saja aku ingin melangkah, dia meraih tangan kiriku dengan wajah memelas. Mungkinkah dia takut? Tapi sudah dua hari terakhir tidak ada rasa ketakutan terpancar saat dirinya kutinggalkan. Aneh.

    Wajah bukit ini belumlah berubah, masih bercorak warna musim gugur. Merah, jingga, dan kuning. Tak hentinya aku merasa kagum dengan keindahan bukit ini. Pohon-pohon maple memang tersebar di seluruh kota, namun konsentrasi tumbuhnya yang padat di bukit ini memberikan aura tersendiri. Sebuah pemandangan alam yang tidak mungkin kunikmati di kota besar tempatku tinggal dulu.

    “Kamu suka dengan pepohonan di sini ya?”, tanya Ceres, masih memegang tanganku dengan erat.

    “Uh-huh. Terlepas dari segala kabar kalau tempat ini berbahaya, tak bisa kupungkiri kalau semua ini sangatlah indah. Aku suka sekali dengan warna-warnanya.”

    Selesai aku mengatakan itu, dia melepaskan genggamannya dan berlari, lalu berhenti beberapa langkah di depanku. Rambut coklatnya yang seakan bermain dengan angin terlihat cocok dengan pemandangan musim gugur di kiri dan kanan jalan setapak ini.


    “Syukurlah. Sepertinya kamu masih sama seperti dulu.”, ujarnya pelan sambil tersenyum.


    Meski samar-samar, aku masih bisa mendengarnya. Seperti…dulu? Apa maksudnya? Aku memang sempat menduga kalau aku pernah melihat dirinya. Ingatanku masih samar-samar, sepertinya aku masih butuh beberapa hal lagi yang bisa membuatku ingat sepenuhnya.

    Di tengah keterkejutanku karena mendengar kata-kata itu, tiba-tiba saja Ceres berlari ke arah kaki bukit. Spontan saja aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Semakin aku berusaha menambah kecepatan, dia semakin jauh. Bagaimana bisa anak sekecil dia lari secepat itu?! Tunggu. Aku jadi ingat kata-kata Saturn. Apa benar…?

    Aku tidak bisa mengejarnya. Dia seakan menghilang ditelan langit senja.




    Minggu, 18 Oktober.

    Hari ini aku kembali mengunjungi tempat tinggal Saturn, kembali menyelidiki segala hal mengenai bukit itu. Selama 4 hari belakangan aku melakukan hal itu. Dengan bantuan Saturn dan ayahnya yang seorang polisi, aku mengumpulkan dan membaca sebanyak mungkin artikel tentang tewasnya orang-orang di bukit itu. Cukup banyak, jika ditotal sudah 23 orang dalam 7 tahun terakhir. Namun satu hal yang dapat kusimpulkan, semua kematian itu terjadi karena ketidaksengajaan. Mungkin mereka ceroboh atau mengalami halusinasi, sehingga terjadi kecelakaan.

    Koran terakhir. Semua tumpukan telah kubaca, menyisakan yang ini saja. Tertera tanggal 19 Oktober, 7 tahun yang lalu. Dengan kata lain, ditulis sehari setelah aku meninggalkan kota dengan julukan Maple Town ini.

    Kubuka satu per satu kertas koran yang mulai buram, mencari di segala sudut mengenai artikel kecelakaan itu. Beberapa saat mencari, akhirnya kutemukan satu artikel. Kutelusuri dengan teliti setiap kata yang tertulis, dan…

    Aku tidak merasa takut ataupun ngeri. Entah kenapa, air mataku mendadak mengalir begitu aku membaca artikel tersebut.

    “Saturn, aku akan ke bukit itu sekarang.”

    “Hah?! Apa kamu sudah gila? Setelah membaca semua itu, kamu masih ingin---“

    “Ada seseorang yang membutuhkan bantuanku. Tenanglah, aku pasti kembali.”

    Jam 5 sore, hanya sedikit waktu tersisa sebelum langit berubah gelap. Menyusuri jalan dengan sepeda, memarkirkannya di supermarket, lalu berjalan kaki menuju bukit.

    Ada yang berbeda ketika aku mulai menjejakkan kaki di bukit ini. Perasaan nyaman itu muncul lagi, sama seperti ketika aku mengunjunginya kembali setelah 7 tahun berlalu. Suasana hening tidak lagi membuatku takut. Dengan langkah yang pasti, aku menyusuri jalan yang pernah kulalui bersama dirinya.


    Bersama dia, Ceres Demetria.


    Aku ingat sekarang. Sebenarnya dia adalah salah seorang yang dulu sering bermain denganku. Aku juga ingat kenapa aku bisa lupa. Jawabannya sederhana, karena dia seorang perempuan. Anak laki-laki pada usia itu yang lebih sering bermain dengan anak perempuan pastilah akan ditertawakan, baik oleh anak laki-laki lainnya ataupun anak perempuan. Tapi ada yang berbeda dengan Ceres. Entah kenapa, aku selalu merasa nyaman ketika berada dengannya.

    Yah, namun karena teman laki-lakiku banyak, aku tidak mau membiarkan diriku ditertawakan hanya karena bergaul dengan seorang perempuan. Ditambah lagi banyak orang yang mengenalku di kota ini, membuatku makin merasa kalau hubunganku dengan Ceres tidak boleh diketahui orang lain, bahkan beberapa kali aku menyangkalnya terang-terangan. Penyangkalan-penyangkalan itulah yang secara tidak sadar memahat alam bawah sadarku, membuat ingatanku mengenai dirinya menjadi longgar.

    Setiap kali aku melangkah di atas jalan setapak ini, potongan memori tentang dirinya bangkit. Setiap kali aku memandang ke arah pohon-pohon maple yang seakan mengawasiku, jalinan kenangan bersamanya timbul kembali. Setiap kali angin berhembus membawa dedaunan melayang menuju langit, rantai ingatanku mengenai waktu yang kujalani dengannya…ah…aku benar-benar ingat sekarang.

    Menurut apa yang kuingat, Ceres tidak menyukai bukit ini. Terlalu menyeramkan katanya. Namun aku selalu mengajaknya bermain ke sini, karena cocok untuk menghabiskan waktu bersama tanpa beresiko diketahui anak-anak lain. Memang terkadang para anak laki-laki mengunjungi tempat ini, namun hal itu tidaklah sering. Jika mereka datangpun, kami bisa bersembunyi dengan mudah.

    Di tempat inilah hati kami bisa saling terbuka, saling bercerita mengenai apa saja, hingga tertawa bersama. Hal itulah yang membuatku…


    …mencintainya.


    Ya, aku mencintai Ceres. Dia adalah cinta pertamaku. Tidak heran jika aku merasakan getaran yang sama ketika melihatnya kembali minggu lalu. Aku ingin dapat mencintainya kembali, namun sekarang semuanya sudah terlambat…

    “Hai.”, sapanya ketika aku muncul dari tebalnya pepohonan, sedang duduk tak jauh dari pinggir tebing.

    “Orang yang kamu tunggu itu sudah datang?”, tanyaku, duduk di sebelah kirinya.

    “Sepertinya sudah.”, jawabnya, disertai sebuah senyuman manis.

    “Ceres, aku…”

    Tiba-tiba dia berdiri, lalu memelukku dengan lembut.

    “Sudah, tidak apa-apa. Aku senang sekarang kamu sudah ingat. Berkat dirimulah aku belajar menyukai tempat ini, karena selalu ada dirimu saat kita bermain di sini…”, ujarnya sambil sesekali membelai kepalaku.

    Aku tidak mampu berkata apa-apa selama beberapa saat, hanya menangis di pelukannya. Ini semua salahku. Jika saja sebelum pergi aku sempat mengunjungi tempat ini, maka semuanya bisa dicegah. Kecelakaan itu, kematiannya, dan hilangnya cintaku…

    “Kamu pasti…kesepian selama tujuh tahun ini…”, ujarku, masih memeluknya dengan erat.

    “Semua itu seakan tidak ada artinya sejak kamu kembali…aku benar-benar lega, kupikir aku tidak akan bisa melihatmu lagi…”

    “Maaf aku sudah melupakan janjiku tujuh tahun yang lalu. Aku hanya tidak ingin semua menertawaiku atau semacamnya…”

    “Setidaknya kamu sudah memenuhinya sekarang…janji untuk melihat matahari terbenam berdua saja di hari kepergianmu…”

    Setelah itu, dia berlutut di sebelahku untuk menyamakan tinggi badannya dengan diriku yang sedang duduk. Lalu…


    Dia mencium bibirku.


    Beberapa saat bibirnya yang kecil bersentuhan dengan milikku. Sebuah ciuman yang singkat, namun memberi arti yang mendalam. Aku bisa merasakan perasaan cintanya yang polos melalui ciuman itu. Aku…tidak akan melupakannya.

    “Ceres…”

    “Sekarang aku sudah tidak perlu menunggu siapapun lagi… Terima kasih sudah mengingat semuanya, Acer. Selamat jalan...”


    Cahaya jingga di langit makin meredup dan akhirnya, gelap. Hilangnya mentari di horizon diikuti dengan Ceres yang perlahan pergi, tidak akan pernah kembali untuk selamanya.

    Di jalan setapak ini, angin dan pepohonan hanya membisu seakan tidak pernah mengetahui keberadaan seorang anak bernama Ceres Demetria. Daun-daun maple akan terus berguguran selama beberapa minggu, menutupi jalan setapak ini hingga waktunya musim dingin…menangisi kepergiannya untuk selamanya.

    Tak pernah lagi kutemui dirinya setelah kejadian itu…




    THE END


    _____________________________________


    Spoiler untuk Trivia :

    • Semua nama karakter di sini diambil dari segala hal yang berhubungan dengan musim gugur
      • Ceres = dewi panen orang Romawi, dimana masa panen besar biasanya terjadi saat musim gugur.
      • Demetria --> Demeter, identik dengan Ceres, tapi di Greek myth
      • Saturn = dewa panen dan pertanian orang Romawi, sering diidentikkan dgn Cronus pada Greek myth
      • Acer = genus dari spesies" pohon maple
    • Inspired from visual novel: Hoshizora no Memoria

    Last edited by LunarCrusade; 27-05-12 at 06:31.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  4. #2
    pandaddict's Avatar
    Join Date
    Oct 2010
    Location
    jakarta barat
    Posts
    3,778
    Points
    409.78
    Thanks: 339 / 152 / 113

    Default

    SUBARASHI

    pas d tgh crita uda ketauan sih akhirnya gimana.
    tapi pinter-pinter yang bikin cerita akhirnya mau diapain.

    dan alhasil...

    Spoiler untuk :
    dedy bkin anak orang mewek


    ---

    yg msh bikin pnasaran :
    1. artikelnya ga dksh tw .
    2. kecelakaanny ga dksh tw .
    tapi berhubung judule short story jadi yaa...

  5. #3
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    eh seriusan mewek kaw?

    isi artikel dan kecelakaannya apaan sebenernya tergantung imajinasi kamuh
    walau ada clue besar sebenernya
    Spoiler untuk duer :

    kenapa Ceres selalu mulai nongol di sekitar tebing? ga pernah mulai ketemu pas masih di kaki bukit atau jalan setapak ke atas?

    terus inget janjinya Acer sama Ceres?

    kalo dicari hubungannya seharusnya ketemu




    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #4
    pandaddict's Avatar
    Join Date
    Oct 2010
    Location
    jakarta barat
    Posts
    3,778
    Points
    409.78
    Thanks: 339 / 152 / 113

    Default

    ia nangis

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •