Railway of Summer
Author: LunarCrusade
Copyright ©2012 - f399 IDGS Forum
Genre: Romance, Supranatural
_____________________________________
Hangatnya mentari.
Kicauan burung.
Aroma rerumputan.
Birunya langit.
Semua itu yang dapat kutangkap melalui panca indera yang ada di tubuhku. Ah, satu hal lagi. Rel kereta.
Rel kereta? Ya, rel kereta. Di depanku terbentang besi-besi panjang yang disusun sejajar, dengan penyangga beton yang melintang di bawah kedua jalur besi-besi itu. Kuarahkan pandanganku ke kiri dan kanan, mengikuti jalurnya, mendapatinya seakan menghilang di garis horizon. Di batas langit hanya terlihat paparan padang hijau yang luas.
Dan…stasiun ini. Ya, stasiun. Sebuah stasiun kereta yang sudah tua, terbuat dari kayu, berdiri kokoh di tepi rel kereta. Yang ada hanyalah stasiun ini, tidak ada bangunan lain di sekitarnya. Yang menemaninya hanyalah sebatang pohon besar di seberangnya, di seberang rel sebelah sana. Terlihat hijau dan kokoh, seakan ceria disinari matahari di atasnya.
Kekosongan dan kehampaan. Itulah yang terasa di tempat ini. Namun…
“Hei, bengong saja?”
Aku tidak sendirian. Ada seorang perempuan yang sepertinya sebaya denganku, yang juga berada di stasiun tua ini. Rambutnya hitam panjang, dan memiliki tatapan mata coklat tua yang lembut. Penampilannya sederhana, hanya sebuah one piece long-dress putih dan sebuah topi bundar dari anyaman rotan. Dia sudah berada di stasiun ini sebelum diriku. Sejak kapan…?
“Belum lewat juga keretanya ya?”, tanyanya sambil mengambil duduk di sebelah kananku.
“Belum…yah, sepertinya aku harus bersabar lebih lama lagi.”
Rel kereta. Meski ada rel membentang di depanku, belum pernah satu kalipun ada kereta yang lewat. Apa alasannya? Aku tidak tahu. Yang bisa kulakukan hanya menunggu, menunggu, dan menunggu. Entah sampai kapan…
“Bosan?”, tanyanya.
“Tentu saja, karena aku tidak tahu kapan kereta itu akan datang.”
“Sebegitu pentingkah kereta itu untukmu?”
“Aku ingin cepat-cepat pulang. Banyak orang yang menungguku.”
“Huh…kamu beruntung sekali yah. Sementara aku, mungkin tidak akan ada yang menungguku. Sama seperti pohon yang di depan kita itu.”, tangan kanannya menunjuk ke arah seberang.
“Pohon itu…sepertinya sudah lama sekali dia ada di situ.”
“Mungkin? Aku juga tidak tahu. Sejak aku berada di sini, pohon itu sudah berdiri tegak di sana, tidak bergeming.”
Aku tidak tahu jenis pohon itu, namun ukurannya besar, sedikit lebih tinggi daripada stasiun ini. Daun-daun tumbuh dengan lebat di cabang-cabang dan ranting-rantingnya, menari-nari karena hembusan angin lembut yang dapat kurasakan ini.
“Aku tidak jauh berbeda dengan pohon itu.”, sahutnya.
“Eh? Maksudmu?”
“Coba kamu perhatikan, apa saja yang bisa kamu sebutkan tentang pohon itu?”
“Hmm…terlihat kokoh dan kuat. Daun-daunnya tumbuh dengan lebat, seakan menyambut dengan gembira kereta yang mungkin akan melewatinya. Sayangnya, tidak ada pohon sejenis di sekitarnya. Dia sendirian.”
“Ya, itu. Di luar, aku selalu terlihat ceria, terlihat bahagia. Aku selalu berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihanku, beban beratku. Dan…aku tidak punya siapapun, sendirian. Karena itulah aku tidak sepertimu yang tidak sabaran menunggu kereta yang akan lewat.”
“Jadi itu alasannya kamu tidak ingin cepat-cepat pulang?”
“Pulang? Untuk apa? Siapa yang akan merindukan kehadiranku…?”, dibalasnya dengan pertanyaan pula, terdengar lesu.
Perempuan yang misterius. Aku heran, apa dia tidak ingin meninggalkan tempat ini? Setahuku, dia sudah berada di sini sebelum aku tiba, dan tidak ada orang lain lagi selain dirinya. Apa benar dia orang yang ditolak? Apa benar dia orang yang terbuang? Apa benar dia…orang yang tidak diinginkan?
Waktu seakan berhenti di tempat ini. Yang ada hanyalah pemandangan musim panas, cerah, penuh kehangatan. Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktuku bersama perempuan itu.
Satu jam?
Satu hari?
Satu minggu?
Satu bulan?
Satu tahun?
Atau sudah satu abad? Ah, aku tidak tahu.
Aku memang suka musim panas, dan itu yang paling kusukai di antara ketiga musim lainnya. Suasana cerah musim panas membuatku ceria sepanjang hari. Aku tidak suka cuaca mendung, gelap, dan dingin. Musim dingin adalah musuh terbesarku. Tapi…ini sudah terlalu lama. Sepanjang waktu hanya ada matahari, langit biru, dan rumput hijau. Tentu saja ditambah stasiun ini, pohon itu, dan rel yang membentang.
Dan pertanyaan itu lagi.
“Bosan?”, tanyanya.
“Huh…itu lagi yang kamu tanyakan. Memangnya kamu tidak punya pertanyaan lain untuk memulai pembicaraan?”
“Ahaha…maaf. Aku memang kurang pandai untuk memulai suatu omongan.”
“Tapi kalau sudah mulai bicara, kamu susah dihentikan.”, kataku sinis.
“Hehehe…kamu bisa saja. Wajar saja lah. Waktu itu aku sudah pernah cerita kalau aku ini orang yang kesepian kan?”
“Iya, lalu?”
“Sebenarnya aku ingin punya orang-orang yang bisa kuajak bicara panjang lebar. Membicarakan apa saja. Keluarga, hobi, bahkan sampai masalah perasaan. Jadi…maaf yah kalau aku terlalu cerewet...ehehehe…”, dia tersenyum.
“Oh iya, aku belum tahu ceritanya kenapa kamu memilih untuk naik kereta dari stasiun ini. Bisa kamu ceritakan?”, tanyaku penasaran.
Jujur saja, pertanyaan itu mendekam di dalam pikiranku sejak pertama kali bertemu dengannya di tempat ini. Namun, entah mengapa itu tidak bisa kukeluarkan dari pita suaraku. Setiap aku bicara dengannya, aku terus terbawa oleh pembawaannya. Dia banyak bercerita meski selalu diawali dengan bertanya, “Bosan?”
“Hmm…kenapa ya? Sulit untuk kukatakan…”
“Belum ingin menceritakannya?”
“Ng…bukan begitu. Hanya saja, aku masih bingung bagaimana menyusun kata-kata yang bagus.”
“Hahaha…kita sudah lama berada di sini, dan kamu masih bisa kebingungan merangkai kata untuk bicara denganku? Sudah, tidak usah berpikir terlalu lama. Katakan saja apa yang kamu pikirkan sekarang.”
“Itu karena musim panas mirip dengan diriku.”
“Jadi itu alasannya kamu memilih menunggu di stasiun ini?”
Dia merespon dengan mengangguk ceria.
“Kalau aku…suka sekali cuaca cerah, karena itu aku menyukai musim panas. Aku suka udaranya yang hangat, diselingi dengan hembusan angin yang sejuk. Jika sudah begitu, rasanya aku lebih bersemangat melakukan apa saja.”
“Begitu ya…kalau aku berbeda.”
“Berbeda bagaimana?”
“Kamu tahu? Musim panas adalah musim yang paling penuh dengan kekosongan. Sama denganku, tidak ada yang mengisi hidupku…”, dia sedikit menunduk.
“Sepertinya kamu sering sekali menghubungkan sesuatu dengan kisah hidupmu sendiri.”
“Begitukah? Tapi yang kukatakan itu benar. Aku kosong. Tidak pernah ada seorangpun yang mengisi hidupku. Semuanya pergi, semuanya meninggalkanku. Aku ingin suatu hari ada sesorang yang mampu mengisinya…”
Keheningan tercipta selama beberapa saat. Keheningan itu kuisi dengan memikirkan kembali kata-kata perempuan itu. Aku…berbeda dengannya. Siapa sih yang tidak mau berteman denganku? Wajahku tampan, kecerdasanku di atas rata-rata, kondisi ekonomiku lumayan, dan tidak ada satupun yang membenciku. Keluargaku harmonis, kedamaian selalu ada di rumahku. Tapi…
“Kamu juga sama, iya kan?”, dia seakan menebak pikiranku.
“Maksudmu?”
“Iya, sebenarnya kamu sama denganku. Semua orang menyukaimu, namun tidak ada yang benar-benar menyayangimu. Yah, keluargamu mungkin benar-benar menyayangimu, namun…bukankah suatu hari kamu harus lepas dari mereka?”
“Bagaimana…kamu bisa tahu?”
“Aku bisa merasakan semuanya.”, katanya sambil memegang tangan kananku. Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Hatimu penuh kekosongan. Aku tahu kamu juga ingin ada seseorang yang mengisinya.”
Dia benar. Aku membutuhkan seseorang. Mungkin aku tidak ditolak oleh sekitarku, namun tidak pernah ada yang serius menjalin hubungan denganku. Semuanya hanya sekedar ‘teman’. Tidak ada sahabat, apalagi pendamping yang setia. Memang semuanya tidak begitu terasa jika dalam kondisi normal. Namun jika aku mengalami masalah atau semacamnya, kehadiran seseorang seperti itu menjadi sangat penting.
“Kamu tahu? Karena aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan itulah…kamu berada di sini.”, dia melanjutkan.
“Jadi…”
“Iya, aku yang memanggilmu. Aku yang memintamu ke tempat ini. Aku ingin menunggu kereta itu bersamamu.”
“Tapi kenapa? Aku bahkan belum pernah mengenalmu sebelumnya. Namamupun aku tidak tahu!!”, mendadak aku tidak sabaran.
“Mataku selalu tertuju padamu, namun kamu tidak pernah mengetahuinya. Pada awalnya aku memang hanya tertarik sesaat. Tapi…seiring berjalannya waktu, tanpa sadar aku terus memandangmu, ya, hanya kamu.”
“A-Aku tidak pernah tahu…”
“Sudah, tidak apa-apa. Temanmu banyak, dan kamu sering sekali menghabiskan waktu dengan mereka. Wajar saja kamu tidak memperhatikanku sama sekali.”, dia berusaha menenangkanku sambil tersenyum.
“Jika benar, kenapa kamu bisa terus menutupinya? Sudah berapa lama?”
“Mmm…berapa lama ya? Mungkin lima tahun.”
“Sudah selama itu?!”
“Ehehe…maaf yah, aku tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkannya. Walau begitu, aku terus mengikutimu. Bahkan ketika lulus SMA, akupun sengaja memilih sekolah yang sama denganmu. Err…kok kedengarannya seperti seorang stalker ya…”, dia tertawa, namun terlihat seperti agak dipaksakan.
Aku tertegun mendengar penjelasannya. Sudah selama itu dia memendam perasaannya terhadapku? Lima tahun?! Aku tahu tidak mudah untuk memendam perasaan terhadap orang yang sama selama itu. Jujur saja, sebelumnya aku tidak pernah tahu keberadaannya. Aku tidak pernah tahu kalau dia terus memandangku. Aku tidak pernah tahu dia mengikutiku, bahkan…
“Maaf, aku memang lelaki bodoh…”
“Ahaha…sudah, tidak apa-apa. Yang jelas aku lega, aku bisa mengungkapkan perasaanku di sini.”
Aku bisa merasakannya. Semua yang dikatakannya adalah tulus, tidak seperti kebanyakan orang jaman sekarang yang menganggap remeh, bahkan tidak percaya arti cinta. Hubungan dibangun atas dasar materi yang fana, bukan cinta yang abadi. Tentu saja aku bisa merasakan ketulusannya itu, karena…
…tempat ini adalah dirinya.
Itulah alasannya kenapa dia selalu memisalkan dirinya dengan pohon itu ataupun cuaca musim panas ini. Kosong. Ya, kekosongan. Tempat ini adalah hatinya. Hatinya yang hampa. Di tempat inilah, di mimpi ini, perasaanku dengannya menyatu.
Musim panas adalah yang paling menyenangkan buatku, namun kata-katanya benar. Musim panas adalah yang paling kosong di antara musim-musim yang lainnya. Musim semi selalu diwarnai bunga sakura yang bermekaran, musim gugur selalu diwarnai dengan paduan warna merah-kuning-jingga-coklat yang cantik dari dedaunan yang gugur, dan musim dingin yang tidak kusukai, selalu diisi dengan jatuhnya salju yang putih dari langit. Sementara musim panas? Apa? Apa yang ada di dalamnya? Langit yang terlihat begitu tinggi, awan yang tipis, matahari yang sendirian di langit, ditambah suara-suara serangga, menciptakan kesan kosong, hampa, dan sendirian.
Mungkinkah itu alasannya…kenapa aku menyenangi musim panas? Apakah karena paling mirip dengan diriku?
Dari kejauhan terdengar suara. Suara kereta.
“Ah, itu keretanya datang.”, katanya.
Kereta itu berhenti di depan stasiun, dan tanpa basa-basi kulangkahkan kakiku ke dalamnya.
“Kamu…tidak naik?”
“Aku tidak bisa. Maksudku, belum bisa. Ini belum saatnya bagiku untuk pulang.”
“Eh? K-Kenapa?”, aku sedikit kaget.
“Kamu mengerti kan? Tempat ini adalah aku, diriku, mimpiku, hatiku. Selama di dunia sana tubuhku belum siap, aku tidak bisa kembali.”
“Tunggu. Apa kamu juga…”
“Iya. Hanya saja kejadian itu terjadi lebih dulu. Maaf yah, sepertinya kamu harus kembali duluan. Tenang saja, suatu hari nanti kita akan bertemu lagi…”
Mesin kereta dinyalakan kembali.
“T-Tunggu!! Aku belum tahu namamu!! Jika aku sudah kembali, aku berjanji, aku akan mencarimu!!”
Perlahan pintu kereta ditutup. Sial!! Aku tidak bisa mendengar suara dari mulutnya itu!!
Tunggu. Yang dikatakannya… Na-tsu-ga-wa-i-no-chi. Natsugawa Inochi…? Ah, aku ingat sekarang!! Setahun yang lalu ketika aku kelas 2 SMA, aku pernah mendengar kalau ada seorang siswi kelas 1 di sekolahku yang mengalami kecelakaan, dan mengalami koma. Dan namanya…Inochi. Natsugawa Inochi. Jadi dia…?!
………
………
Ah, hari yang melelahkan. Kembali, musim panas. Aku bersitirahat sejenak di sebuah taman, duduk di bangku kayu panjang sambil menikmati sekaleng soft drink. Sudah tiga musim panas berlalu sejak kejadian itu, dan sekarang aku sudah berkuliah. Kecerdasanku terbilang lumayan, sehingga koma selama dua bulan akibat kecelakaan yang kualami tidaklah membuatku kesulitan untuk lulus dari sekolah.
Semuanya masih misteri. Natsugawa Inochi…sejak hari itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Menurut kabar yang kudengar, ketika aku sadarkan diri dan kembali bersekolah, kondisinya masih belum pulih. Tetap koma. Ketika aku memutuskan ingin menjenguknya, dia sudah dipindahkan ke rumah sakit di luar negri. Terlambat. Semuanya terlambat. Padahal, dia satu-satunya orang yang…ah…
Sebesar itukah rasa cintanya padaku? Sebesar itukah, sehingga dia mampu membuatku masuk ke dalam hatinya? Sebesar itukah…
Tanpa sadar, air mataku mengalir. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku. Kenapa? Kenapa aku tidak bertemu dengannya sebelum kejadian itu? Jika aku sempat mengenalnya, Inochi, sebelum dia mengalami kecelakaan, mungkin dia tidak akan bernasib seperti itu. Dan aku mungkin tidak akan mengalami hal yang sama setahun setelahnya. Ah, sudahlah. Aku mau pulang saja sekarang.
Kulanjutkan perjalanan pulang ke apartemenku, yang letaknya tidak jauh dari stasiun kereta. Aku berdiri di dekat palang pintu kereta sekarang. Stasiun, rel, kereta. Argh, lagi-lagi aku mengingat kejadian itu. Refleks, aku berteriak keras-keras, sambil menatap langit biru cerah yang terlihat tinggi.
“SIAAAALLLL!!”
Orang-orang bilang padaku untuk melupakan dirinya, dengan alasan masih banyak perempuan lain di luar sana. Ah, omong kosong!! Semuanya hanya dekat denganku karena fisikku, kecerdasanku, dan uangku!! Tentu saja aku tidak bisa melupakan dia, dia yang bisa mencintaiku tanpa alasan apapun selain karena melihat hatiku sendiri!!
Tiga tahun ini aku berusaha mencarinya. Segala cara yang kubisa sudah kulakukan untuk mendapatkan informasi, sekecil apapun, tentang keberadaannya. Namun…tidak ada hasil. Jika benar dia adalah cinta sejatiku, bukankah sejauh apapun kita berpisah, pasti akan bertemu kembali? Sudah tiga tahun. Sudah tiga tahun aku tidak mendapat kabar apapun…argh…
“Inochi, di mana kamu sekaraaaaang??!!”
Untunglah sewaktu aku berteriak keras-keras seperti itu, ada suara derau kereta yang sebentar lagi melintas. Setidaknya tidak ada yang mendengarku meracau tidak jelas di siang bolong.
Kereta itupun lewat di depanku…
Tunggu. Perasaan apa ini. Ada yang aneh. Ada yang mengganjal di hatiku. Dari mana. Dari mana?!
Kuarahkan pandangan ke jalanan sekitarku, tidak ada seorangpun. Kosong. Ya, kosong. Seperti langit musim panas, seperti hatiku, seperti hati Inochi. Ah…aku pasti sudah gila. Ya, gila!! Gila karena perempuan itu!! Gila karena perasaan cinta ini!!
Apakah asalnya dari kereta barusan?! Apakah dari benda logam yang berlari di atas rel baja yang sejajar itu aku akan menemukan harapan?! Ah, aku makin tidak sabaran.
Sekencang mungkin aku berlari di sisi rel untuk mengejarnya. Beberapa ratus meter berlalu, kereta berhenti tepat di stasiun, stasiun yang letaknya tidak jauh dari apartemenku. Kakiku melangkah masuk ke pintu utamanya, lalu berdiri diam terpaku sementara mataku memandang ke arah kereta. Pintunya terbuka, dan sesaat kemudian seorang perempuan keluar. Wajahnya membangkitkan ingatanku dengan jelas, sangat jelas.
Dia langsung tersenyum begitu melihatku. Sebuah senyuman yang sudah tiga tahun tidak kulihat. Sebuah senyuman yang hanya dimiliki oleh seseorang.
Aku tertegun sesaat ketika melihat dirinya. Dia…
“Hmmph…terlalu lama, dasar bodoh…”, ujarku lega sambil tersenyum kecil.
“Maaf kalau terlalu lama, senpai. Pengobatan berlangsung sedikit lebih lama dari jadwal.”, dia merespon sambil menggaruk-garuk kepala.
“Huh…ya sudahlah. Oh ya, apa kamu tidak ingin mengatakan ‘itu’ lagi? Sepertinya aku kangen dengan ‘itu’ setelah tidak mendengarnya selama tiga tahun…”
“Hmm? ’Itu’…? Ah, aku mengerti.”
Dia terdiam sejenak, lalu mengambil nafas dan membuangnya perlahan.
“Bosan?”, disertai sebuah senyuman yang lembut.
Kupeluk dirinya dengan erat. Penantian panjang ini tidak sia-sia…bagi kekosongan hatiku, bagi kehampaan hatinya.
THE END
_____________________________________
Spoiler untuk Trivia :
Share This Thread