Results 1 to 4 of 4
http://idgs.in/540397
  1. #1
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default [Short Story] Path of Spring

    Path of Spring




    Author: LunarCrusade
    Copyright ©2012 - f399 IDGS Forum
    Genre: Romance, Historical



    _____________________________________



    Osaka. Musim semi, Meiji 18.



    “Sakuramichi Koharu, melapor.”

    “Ah, Sakuramichi-san. Baiklah. Karena kamu sudah datang, akan kujelaskan misinya.”, kata pria yang ada di depanku.

    Namaku Sakuramichi Koharu, 18 tahun. Aku bekerja sebagai seorang polisi di kota ini. Bisa dibilang aku adalah polisi perempuan pertama di Osaka, atau mungkin…di seluruh negri. Pagi ini, seorang pria berumur 22 tahun bernama Letnan Takatsukasa Hakuji memanggilku, mengatakan ada tugas yang penting.

    Sebenarnya hanya sebuah tugas sederhana, mengantarkan sebuah surat ke kantor di Kyoto, beberapa jam dari sini. Jika mengendarai kuda dengan kecepatan penuh, aku bisa tiba siang atau sore hari. Tapi, yang mengagetkanku adalah…

    “Aku juga harus menemanimu.”

    Itulah yang dikatakan Letnan Takatsukasa. D-D-Dia…menemaniku?! Seseorang yang kusukai selama 1 tahun ini akan berada di sampingku hingga ke Kyoto?! Duh, bisa-bisa aku pingsan di tengah jalan.



    Uh-huh, aku memendam perasaan ini sudah 1 tahun. Padahal…sebelumnya aku sangat benci dengan pria.

    Aku dilahirkan dalam keluarga yang kacau. Ayahku adalah seorang yang sangat kasar terhadap istrinya sendiri, yaitu ibuku. Memaki, menarik rambut, bahkan memukul ibu dengan benda tumpul, adalah pemandangan yang biasa di rumah. Hingga suatu hari, ayahku pergi dari rumah dengan wanita lain. Hal itulah yang tanpa sadar membangun paradigma negatif terhadap pria di dalam pikiranku.

    Kondisi itu juga membuatku menjadi orang yang keras dan tidak mau kalah terhadap pria. Diterimanya diriku di kepolisian adalah salah satu hasil sifatku itu. Pada awalnya, aku ditertawakan. Jelas saja, di era seperti ini mana ada perempuan yang masuk ke bidang yang digeluti lelaki? Aku tidak tahu di masa depan nanti, namun yang jelas hal itu adalah sangat aneh dan tidak biasa untuk jaman sekarang.

    Hal itu tidak membuatku menyerah. Aku berusaha keras agar tidak dipandang sebelah mata oleh para atasan. Segala latihan fisik kujalani agar para pria tidak meremehkan diriku. Tak lama, merekapun perlahan menaruh hormat kepadaku sehingga aku juga tidak merasa berbeda dari mereka.

    Dengan kata lain, esensi diriku sebagai perempuan…memudar.



    “Bagaimana, sudah siap?”, tanyanya saat kami sudah menunggang kuda masing-masing, tidak jauh dari gerbang utama.

    “S-Sudah.”

    “Apa kamu sakit? Dari cara menjawabmu---“

    “T-Tidak kok!! Tidak apa-apa!!”

    Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi aku merasa ada aliran darah yang naik ke kedua pipiku. Bagaimana tidak? Seseorang yang telah lama kusukai, bahkan perlahan membuat sisi feminimku bangkit, sekarang akan berjalan bersama…aaaahhh!! Jantungku benar-benar berdebar kencang!!

    Hingga tapal batas Osaka, aku hanya diam, tak mampu memulai pembicaraan dengan Letnan. Untunglah, suasana luar kota yang tidak begitu ramai dan berpanorama menyejukkan ini setidaknya membuatku lebih tenang. Tentu saja berbeda, karena Osaka adalah kota pelabuhan yang sangat sibuk.

    Dan…satu hal lagi, sakura.

    Yap, pohon-pohon sakura yang kutemui sepanjang jalan memberikan kesejukkan bagiku, yang setengah panik karena berada di sisi Letnan Takatsukasa. Memang tidak rapat seperti hutan, namun pastilah terlihat beberapa dari mereka berdiri di setiap desa yang kulalui. Warna kelopaknya yang merah muda pucat itu membangkitkan sesuatu di hatiku, membuatku teringat…


    …saat pertama kali bertemu dengannya.


    Tahun lalu saat musim semi, dia datang ke kantor kepolisian Osaka, ditempatkan sebagai atasanku dan rekan-rekan sekerjaku. Seorang lelaki berbadan tegap dengan tatapan yang lembut, namun tetap mengedepankan disiplin saat bertugas. Hal itu membuatku kagum meski waktu itu belum lama mengenalnya. Belum ada rasa suka, belum.

    Perasaan itu mulai timbul ketika aku mengetahui kalau dia…menghargai wanita. Ya, jauh berbeda dengan ayahku dulu yang kasar dan pemarah. Tidak hanya denganku, namun juga dengan semua wanita. Mulai dari mengijinkan mereka lewat terlebih dahulu jika menyebrang, membantu naik ke kereta kuda, hingga menyambut dengan hormat. Kudengar dia berlaku seperti itu sejak kembali dari luar negri, bersekolah sejak umur 12 hingga 15 tahun. “Orang-orang di sana sangat menghargai wanita”, begitu katanya.



    Sekarang kulihat di tepi jalan ada anak-anak sedang bermain di bawah taburan kelopak sakura…ah, aku jadi ingat sesuatu. Perasaanku ini makin berkembang ketika mengetahui kalau Letnan ternyata juga bersikap baik terhadap anak-anak. Hal itu membuatnya disukai oleh anak-anak yang tinggal di sekitar kantor kepolisian. Sekali lagi, sifat yang jauh berbeda dengan ayahku. Beberapa kali aku menjadi korban kekerasannya.

    Pernah suatu kali ada kasus kebakaran di Osaka. Tidak begitu parah, hanya merembet ke empat rumah. Berhubung tidak ada petugas khusus kebakaran ---kuharap nantinya akan ada di masa depan---, maka para polisi ikut membantu memadamkan api, begitu juga dengan diriku dan Letnan. Hingga pada satu rumah…dengan seorang anak perempuan yang masih terjebak di dalam api.

    Begitu mendengar ada seorang anak terjebak di dalam, Letnan langsung menerobos ke dalam rumah yang membara tersebut. Aku benar-benar khawatir saat itu. Untunglah, beberapa belas menit setelahnya Letnan berhasil keluar sambil menggendong anak perempuan itu, yang terus menangis. Kalian tahu apa jawabnya ketika kutanyakan kenapa dia mau menolong anak itu? Sesuatu yang membuat hatiku benar-benar luluh.

    Dia mengatakan kalau…nyawa seorang anak sangatlah berharga. Dengan menjaganya terus hidup, maka masa depan akan terbuka lebar baginya. Siapa tahu di masa yang akan datang, dia akan berguna bagi banyak orang. “Bayangkan jika negara ini kehilangan calon orang hebat di masa depan. Sia-sia bukan?”, itu yang keluar dari mulutnya. Aku masih dapat mengingat senyumannya ketika mengatakan hal itu. Air mataku nyaris saja keluar saat itu, untung saja masih dapat kutahan.



    Sekarang, sebuah kereta kuda berpapasan dengan kami, membuat kelopak-kelopak sakura yang berada di udara menari dengan liar.

    Ya, kereta kuda seperti itulah yang membuatku benar-benar jatuh cinta pada Letnan. Bukan karena dia pernah mengantarku dengan kendaraan itu, bukan. Tapi…

    Beberapa minggu yang lalu, sebuah kereta kuda yang mirip dengan yang kulihat sekarang nyaris menabrakku. Bukan karena kesalahan pengemudi, namun entah kenapa kuda yang menarik kereta tiba-tiba berubah tidak terkendali. Selidik punya selidik, kaki kuda itu ternyata tergores sesuatu, membuatnya berlaku liar. Dan…tepat ketika tubuhku sudah tidak seimbang, Letnan Takatsukasa menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Tangan kirinya berada di punggungku, tangan kanannya meraih tangan kananku.

    Aku merasa ada aliran darah yang naik ke pipiku ketika berusaha mengingatnya. Argh…kenapa di saat seperti ini kejadian itu harus terbayang kembali?!



    “Sakuramichi…-san?”, tiba-tiba dia memanggil.

    “I-Iya? A-Ada apa, Letnan?”

    “Sudah kuduga ada yang tidak beres dengan dirimu. Ingin istirahat sebentar?”

    “T-Tidak perlu…”

    “Sakuramichi-san, ini perintah.”, ujarnya datar.

    “Tapi surat itu…”

    “Masih ada banyak waktu sebelum hari gelap. Jadi, tenang saja.”

    Aku tidak bisa menolaknya. Jika sudah menggunakan kata sakti itu, “perintah”, aku yang hanya bawahan mau tidak mau harus mematuhinya. Kamipun menepi, menambatkan kuda masing-masing pada sebuah pohon sakura…argh, kenapa harus sakura?!

    Mulutku tetap membeku selama duduk di bawah naungan pohon sakura ini, dengan Letnan duduk di sebelah kiriku. Sesekali menunduk, sesekali membuang muka, sesekali menenggak botol air agar tidak terlihat mencurigakan. Suasana ini…terlalu romantis.

    “Sakuramichi-san, yakin tidak apa-apa?”

    Entah kenapa, aku merasa dia kelewat khawatir kali ini. Di kantor, Letnan memang terkenal peduli pada para bawahan termasuk diriku. Tapi…belum pernah sekalipun dia bertanya sebanyak ini untuk mengetahui apa yang menjadi masalah seorang bawahannya. Apa wajahku terlalu aneh, sampai-sampai membuatnya seperti ini? Sebaiknya aku menenangkan diri. Aku tidak mau merepotkannya lebih jauh.

    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan sambil memandangi panorama di sekitarku yang damai dan tenang. Huff…

    “Tidak apa-apa, Letnan. Saya tidak sakit atau semacamnya.”

    “Hmm…begitu ya. Atau mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”

    “B-B-Bukan begitu…!!”

    Lagi-lagi perasaan gugup itu kembali, mewarnai ucapanku barusan.

    “Katakan saja, Sakuramichi-san. Tidak baik apabila hal yang mengganggu pikiranmu itu terus berlangsung hingga di Kyoto nanti.”

    “Baiklah…”

    Apa aku harus mengatakan perasaanku sekarang? Atau tidak? Atau iya? Atau tidak? Aaaaahhh!! Pikiranku benar-benar kacau!! Tentu saja aku tidak mungkin mengakuinya sekarang!! Harus menunggu waktu yang lebih baik, tidak saat tengah-tengah bertugas begini. Tapi…aku ingin tahu perasaannya terhadapku. Apa yang kurasakan ini hanya bertepuk sebelah tangan…? Kalau begitu…



    “Menurut anda, apa yang paling penting yang harus dimiliki seorang wanita?”

    Pertanyaan itu keluar begitu saja, setengah tidak terkendali oleh alam sadarku. Letnan sedikit terkejut begitu mendengarnya. Terlalu konyolkah?

    “Huh? Jadi itu yang mengganggu pikiranmu sejak tadi?”

    Aku hanya menjawabnya dengan mengangguk sedikit, tidak menatapnya.

    “Apa pertanyaan itu muncul karena…kamu takut? Takut orang-orang tidak melihatmu sebagai seorang perempuan?”

    Meski pada awalnya bukan itu maksudku bertanya, tapi…jawaban Letnan membuat dadaku sesak. Seakan ada sesuatu yang menusuk tepat di hati. Bukan kemarahan, bukan kesedihan, melainkan…rasa takut. Ya benar, aku takut orang-orang tidak melihat jati diriku sebagai perempuan. Kenapa rasa takut ini baru kusadari sekarang? Apa karena perasaanku pada Letnan…?

    “Anda benar...perlahan saya mulai takut akan hal itu. Saya bekerja di bidang yang digeluti lelaki, bahkan merasa tidak ada bedanya dengan rekan-rekan yang lain. Saya juga tidak cantik…bahkan rambut saya dipotong pendek, tidak terurai panjang seperti perempuan lain…”, jawabku lesu.

    “Apa semua itu penting?”, balasnya dengan santai.

    Aku tertegun mendengar kata-katanya, disertai dengan sebuah “Eh?” dan tanda tanya besar di dalam kepalaku.

    “Kamu tahu apa yang membedakan pria dan wanita selain kondisi fisiknya?”

    Sekali lagi aku merespon tanpa suara, hanya menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali.

    “Di dalam sini.”, ujarnya sambil menaruh ujung jempol kirinya di dada.

    “Hati…?”

    “Yap, benar. Jika seorang wanita memiliki hati yang dapat mencintai seorang pria dengan tulus…itu sudah cukup. Aku menganggap dia sudah dapat dikatakan sebagai wanita sejati. Dan…kamu tahu? Menurutku setiap wanita memiliki kecantikannya tersendiri. Jadi, kamu tidak usah khawatir.”, jawabnya sambil tersenyum.

    Kata-katanya itu menyentuh hatiku dengan lembut, seakan membuat sisa-sisa hatiku yang masih beku, mencair. Air matapun tak dapat kutahan lagi. Lalu…sesuatu yang mengejutkanku, terjadi.
    Dia…memelukku.

    “Sudah kuduga sejak awal, Sakuramichi-san. Kamu terbebani dengan hal itu sejak lama. Tidak apa-apa, menangislah jika itu bisa membuatmu lega…”

    Beberapa saat aku tenggelam di dalam pelukan hangatnya. Semua yang diucapkannya tadi membuatku...kembali merasa sebagai seorang wanita. Seorang perempuan yang mampu mencintai.



    Setelah semua yang terjadi barusan, tetap saja aku tidak mampu mengatakan perasaanku di depannya. Dia terlalu baik, terlalu sempurna untuk diriku. Apa dia mau menerima perasaanku jika aku mengatakannya? Sekarang aku malah merasa kalau aku tidak pantas untuknya…

    “Bagaimana, sudah baikan?”, tanyanya ketika kami kembali menunggangi kuda masing-masing.

    “Sudah, sudah. Terima kasih banyak, Letnan.”, aku berusaha tersenyum agar dia tidak lagi khawatir.

    “Oh ya, sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku ingin memberitahu sesuatu. Ini penting.”, wajahnya terlihat serius.

    “Katakan saja, Letnan. Tidak perlu ragu.”

    “Aku akan ke luar negri pada akhir musim gugur nanti. Aku akan melanjutkan sekolah ke Jerman. Maaf kalau memberitahu terlalu mendadak.”

    “E-Eh…? Untuk berapa lama…”

    “Mungkin empat hingga lima tahun, belajar lebih jauh lagi tentang kemiliteran di sana. Aku ingin kamu yang menggantikan posisiku di kepolisian jika aku sudah pergi nanti. Bersediakah?”

    Sekarang aku merasa seperti disambar petir di siang bolong. Dia tidak pernah mengabarkan hal itu di kantor, jelas saja aku benar-benar terkejut kali ini. Bagaimana ini…? Apa aku harus memendam perasaanku, tidak mengatakan padanya? Aku yakin dia mampu mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku. Tapi…apa aku tidak akan menyesal nantinya? Ditambah lagi, pria seperti dirinya sangat sulit kutemui. Apa aku akan melepaskan kesempatan ini?

    Beberapa saat aku hanya terdiam.

    “Sakuramichi…-san?”

    Dengan tutur yang tegas dan jelas, aku mengatakan, “Baik, Letnan. Saya bersedia. Saya doakan semoga anda tetap sukses dalam studi anda di luar negri.”

    Tidak bisa. Kata-kata yang mencerminkan perasaanku tetap tidak mampu keluar dari mulutku. Hingga perbatasan Kyoto pun…aku tetap tidak bisa mengungkapkan perasaanku. Aku tidak mungkin mengatakannya saat bertugas di kantor nanti, jadi seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat. Tapi kenapa? Kenapa bibirku begitu kelu di saat yang kritis seperti ini?!

    Sepanjang jalan, kelopak-kelopak sakura yang kadang menghampiri wajahku seakan menyemangati jiwaku yang depresi ini. Bahkan aku merasa mereka berbisik, supaya aku mengakui perasaanku sesegera mungkin, sebelum semuanya terlambat. Namun…tetap tidak bisa. Aku benar-benar bodoh, terlalu bodoh.



    Tanpa kata-kata, aku terus mengendarai kudaku di samping Letnan hingga tujuan pada sore hari. Ya, kantor kepolisian cabang Kyoto, dengan pohon-pohon sakura berjajar di halaman depannya.

    Tak jauh dari pintu depan kantor, berdiri seorang pria yang sepertinya berumur sekitar 50 tahun, sepertinya menunggu kedatangan kami. Ah, pasti surat itu harus dikirimkan padanya.

    Letnan Takatsukasa turun dari kudanya, diikuti olehku. Sudah, sudah. Aku tidak boleh memasang wajah cemberut di depan orang lain.

    “Ayah, aku sudah datang seperti yang diminta.”

    Eh…? Ayah? Jadi pria itu ayah dari Letnan Takatsukasa?

    “Jadi ini orangnya, anakku?”

    “Benar, ayah. Dialah orang yang kupilih.”

    Awalnya aku mengira pembicaraan mereka adalah soal kenaikan pangkatku, yang akan kuterima setelah Letnan pergi ke Jerman. Tapi…

    “Rekan kerjamu…eh? Meski begitu, dia cukup cantik.”, ujar pria itu sambil menatapku.

    Uh? Ada apa ini sebenarnya? Kenapa dia menyinggung penampilan fisikku juga? Apa maksud semua ini?

    “Baiklah, ayah hormati keputusanmu ini.”, dia diam sejenak, lalu bertanya padaku, “Jadi…siapa namamu, nona?”

    “Sakuramichi Koharu, tuan!!”, tanpa sadar aku langsung mengambil sikap tegap seperti saat sedang melapor pada Letnan ataupun polisi lain yang berpangkat lebih tinggi.

    “Hahaha…sepertinya kamu wanita yang penuh semangat.”, lalu kembali dia menghadap ke arah Letnan, “Tidak buruk, anakku. Nah sekarang, kapan bisa kita adakan pernikahannya?”

    HAH?! MENIKAH?!

    “L-L-Letnan…apa maksud semua ini?!”

    “Sebaiknya kau beritahukan padanya, anakku. Wajahnya sudah terlalu merah begitu….hahaha…”, sahut pria itu, ditutup dengan sebuah tawa.

    “Emm…bagaimana ya memulainya. Jadi begini. Sebenarnya tujuanku ke sini adalah menunjukkan calon istriku pada ayah…”

    “HEEEEEEEEE???!!! J-J-Jadi…s-saya…”

    Kakiku mendadak lemas, tidak percaya dengan semua ini. A-Aku jadi i-istri…AAAAHHH!!! Aku langsung kehilangan keseimbangan, dan dengan sigap Letnan langsung menahan tubuhku, mirip seperti yang dilakukannya saat aku nyaris tertabrak kereta kuda waktu itu.

    “I-Ini bercanda kan…? Letnan, tolong katakan kalau semua ini…”, aku berusaha berdiri kembali.

    “Aku serius, Sakuramichi-san. Sebenarnya…aku sudah menyukaimu sejak aku masuk ke kantor di Osaka.”

    “T-Tapi kenapa…bukankah anda pantas mendapat yang lebih baik dari saya?”

    “Hah? Siapa lagi wanita yang lebih baik darimu? Pekerja keras, pantang menyerah, dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Apalagi yang kurang?”

    Mendadak kata-katanya terhenti, seakan dia sedang berpikir apa yang akan dikatakan selanjutnya.

    “Dan…kurasa potongan rambut pendek itu sangat cocok untukmu…”, ujarnya sambil memalingkan muka.

    Aku bersumpah, aku melihat wajahnya memerah walau hanya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkannya ketika bertugas.

    Kembali air mataku mengalir. Bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan. Sebuah bentuk kebahagiaan yang meluap-luap. Yah…ditambah sedikit kaget juga sih. Bagaimana aku tidak terkejut?! Ini seperti mendapat hadiah satu juta Yen, dilempar di depan wajahku!!

    “S-Sakuramichi-san? Kenapa menangis begitu…”

    “Bukankah ayah selalu mengajarkanmu untuk tidak membuat wanita menangis? Hei, anakku?”, sahut pria itu dengan nada tegas.

    “B-Bukan salahku, ayah---“

    “M-Maaf, tuan. Saya hanya…terlalu bahagia mendengar ini semua…”, langsung saja kupotong kata-kata Letnan.

    “Ah, begitu rupanya. Anak saya ini memang suka membuat orang lain terkejut…jadi tolong dimaklumi saja ya…hahaha…”, ujarnya, ditutup dengan sebuah tawa terbahak-bahak.

    “Dan kenapa anda tidak pernah memberitahu saya, Letnan?! Saya juga memendam perasaan terhadap anda sejak lama…”

    “Emm…bagaimana ya. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat saja. Yah, untung saja sekarang tidak terlalu dekat dengan waktu kepergianku nanti. Lagipula tidak mungkin aku mengganggu konsentrasimu saat bertugas dengan mengatakan hal itu, benar?”

    “Tunggu. Berarti anda sudah tahu sejak lama kalau saya ternyata menyukai anda?!”

    “Ehehe…ketahuan juga.”

    Darah terasa naik ke pipiku. Aku benar-benar merasa malu, mungkin aku bisa mati karena rasa malu ini. Kalau begitu akan jauh lebih baik jika aku bisa jujur padanya lebih cepat!! Aaaaahhhh!!

    “Nak, mungkin kamu bisa menunjukkan surat itu padanya sekarang?”, sahut orang tua itu.

    “Ah, iya benar. Sebentar ya…”, dia mengambil surat itu dari kantongnya, lalu menyerahkannya padaku.

    “Uh? Surat ini bukan untuk ayah anda?”

    “Buka saja, Sakuramichi-san.”

    Aku benar-benar kaget melihat isi surat tersebut. Tidak panjang, hanya sebuah kalimat sederhana.

    “Letnaaaaannn….!! Kenapa anda begitu tega menyembunyikan ini dari sayaaaa??!!”, kumaki dia keras-keras.

    “Kamu masih meneriakiku dengan menyebut pangkatku?”, ujarnya tenang.

    “Err…maaf…Hakuji-san.”

    Aku yakin, sekarang aku sedang memberikan senyum terbaikku pada seorang lelaki, seorang pria yang kucintai.



    ******

    “Dan…begitulah bagaimana ibu bisa bertemu dengan ayah.”

    “Hee…begitu rupanya. Berarti ibu masih menyimpan surat yang ditulis oleh kakek yah?”, tanya anak perempuan di hadapanku. Tentu saja, anakku sendiri. Usianya 9 tahun sekarang.

    “Sepertinya masih, dan…harusnya memang masih ada. Tidak mungkin dibuang begitu saja…sebentar ya, akan ibu cari.”

    Tentu aku tidak akan membuang surat itu. Tanpa adanya secarik kertas bertuliskan satu kalimat sederhana tersebut, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dan menikah dengan Hakuji-san. Kalau kuingat-ingat lagi kejadian itu…aku jadi tertawa sendiri. Nah, ini dia, ada di laci sebelah tempat tidurku, laci paling bawah.

    “Huh? Hanya begini saja isi suratnya?”, tanyanya setelah menerima lembaran kertas itu.

    “Suatu saat kamu akan mengerti kenapa surat itu selalu disimpan dengan baik. Jika kamu sudah menemukan seorang pria…mungkin?”

    “Hmm…begitu ya. Tapi sepertinya masih lama sekali… Lalu, bagaimana mengenai pekerjaan ibu di kepolisian?”

    “Kita simpan cerita itu lain waktu. Sekarang sudah saatnya ke pelabuhan…sebentar lagi ayah akan tiba dari Korea.”

    “Waaahh!! Negara kita menang kan? Ayah pasti akan mengajak kita makan-makan!!”

    “Hoho…tentu saja. Kalau dia lupa, akan kugelitiki dia sampai ingat.”

    “Aku juga pasti akan menggelitiki ayah…hehehe…”

    “Baiklah. Sudah siap untuk pergi?”

    “Sudah, sudah.”, jawabnya sambil mengangguk beberapa kali dengan cepat.

    “Pelabuhan pasti akan ramai sekali. Supaya kamu tidak tersesat, pegang tangan ibu erat-erat yah…Sakura-chan.”




    Apa kalian juga ingin tahu apa isi suratnya? Baiklah…akan kuberitahu.

    “Anakku, jika kamu telah menemukan pendamping hidup yang cocok, datanglah ke kantor ayah di Kyoto.”





    THE END

    _____________________________________


    Spoiler untuk Trivia :




    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  4. #2
    pandaddict's Avatar
    Join Date
    Oct 2010
    Location
    jakarta barat
    Posts
    3,778
    Points
    409.78
    Thanks: 339 / 152 / 113

    Default

    INI INI!
    yang PALING cia suka *ohmenwanitagininih*

    agak ga kebayang akhirnya.
    gara-gara sifat Letnannya bgtu.
    si cewenya bgtu pula.

    dan 1 lagi.
    banyak SAKURAAAA

  5. #3
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    akhirnya?
    kawin pasti dongs /"

    yang cowo sok" gentlemen (apalagi namanya Hakuji [白士], yg artinya "white gentlemen"),
    yang cewe tsundere akut

    bagus deh kalo suka,
    ga sia" bikin cerita rada shoujo gini EKWOKSOAEKOSKAOKWAOKE dimana saya harus mencoba membayangkan menjadi wanita kyaa kyaa kyaaaa


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #4
    pandaddict's Avatar
    Join Date
    Oct 2010
    Location
    jakarta barat
    Posts
    3,778
    Points
    409.78
    Thanks: 339 / 152 / 113

    Default

    menikah dan mempunyai seekor sakura-chan

    SUBARASHI!
    Last edited by pandaddict; 05-06-12 at 12:04.

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •