Trail of Winter
Author: LunarCrusade
Copyright ©2012 - f399 IDGS Forum
Genre: Slice of Life, Science Fiction, Philosophy
_____________________________________
Perkenalkan, namaku Silica. Secara antropomorfik, aku sangatlah mirip dengan manusia, tepatnya seorang perempuan. Rambutku panjang hingga sepinggang dan berwarna biru. Bukan biru yang menyolok mata, namun lebih lembut. Oh, mataku juga berwarna sama. Menurut Profesor Germania, perawakanku serupa anak perempuan berusia 13 hingga 14 tahun, dengan tinggi 155 sentimeter. Yah, aku percaya saja kata-katanya karena aku sendiri belum pernah menjadi manusia.
Ya, benar, aku bukan manusia. Aku adalah satu dari ketujuh gynoid yang pernah diciptakan oleh Profesor Germania pada era perang.
Perang? Uh-huh, perang. Tujuh tahun yang lalu, meletus perang berskala global yang melibatkan seluruh negara di Bumi. Aku dan keenam saudariku yang lain diciptakan untuk memenangkan perang bagi salah satu kubu. Persenjataanku amat canggih, bahkan lebih canggih untuk ukuran masa sekarang. Profesor Germania memang seorang wanita jenius, mampu menciptakan berbagai macam senjata dan dimasukkannya di tubuhku.
Sebenarnya, aku didesain untuk meledak secara otomatis dengan kehancuran berskala nuklir. Jika bateraiku habis, mode self-destruct akan aktif dengan sendirinya, yang diharapkan akan menghancurkan titik-titik strategis di negara musuh. Baterai di tubuhku ini cukup untuk sekitar 6 tahun tanpa diisi ulang. Hebat bukan? Bahkan kendaraan yang sering manusia kendarai harus diisi setiap berjalan beberapa puluh kilometer.
Tetapi, perang berakhir sedikit lebih cepat dari yang diharapkan oleh Profesor Germania, baru saja 4 bulan yang lalu. Setahun dia bekerja keras untuk menciptakan ketujuh gynoid demi memenangkan peperangan ---termasuk diriku, tentunya---, dan sekarang dia harus menonaktifkan diriku dan keenam saudariku. Yang lain sudah dinonaktifkan dan diuraikan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Aku adalah yang terakhir.
Sebuah fasilitas khusus diciptakan untuk mematikan seluruh sirkuit di tubuhku dengan aman, karena ledakan akan tetap terjadi jika cara mematikannya salah. Dan…sekarang adalah waktuku untuk ke sana. Tersisa waktu 6 jam untuk mematikan tubuhku, sebelum mode self-destruct aktif dan menghancurkan dunia yang kembali damai ini. Sekarang aku berada di suatu tempat serupa tempat penampungan sampah-sampah logam, menunggu seseorang.
05:57:10
Hari ini turun salju ringan, seorang lelaki muda dengan tinggi kira-kira 175 sentimeter menjemputku dengan floating automobile miliknya.
“Sudah siap?”, tanyanya.
“Umm…ya, sudah. Namaku Silica. Namamu?”
“Arsenus. Profesor Germania sendiri yang memintaku mengantarmu ke fasilitas itu. Sebelumnya, aku yang mengantar keenam gynoid sejenismu.”
“Benarkah? Baiklah kalau begitu, sepertinya kamu sudah berpengalaman. Aku naik yah.”
Kakiku melangkah hingga masuk ke dalam kendaraan melayangnya, dan duduk di sisi kiri. Kemudinya ada di sisi kanan.
04:30:41
Satu setengah jam berlalu. Untunglah dia bukan seseorang yang pendiam, sehingga aku tidak begitu bosan dalam perjalanan. Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan padaku, tanpa rasa takut. Padahal sudah puluhan juta nyawa kuhabisi sebelumnya. Oh, tidak hanya itu. Sekali-sekali dia menyanyi keras-keras sambil menyalakan music player di dashboard. Sedikit fals sih...
“Nada f-mu selalu salah, selalu turun ke nada e. Memang hanya berbeda setengah nada, tapi itu cukup mengganggu telingaku…”
“Hei, kamu tahu musik juga?”, dia terlihat terkejut.
“Sedikit. Di antara ketujuh gynoid, akulah yang dijejali banyak code mengenai budaya manusia. Tujuannya hanya satu, supaya aku dapat membaur dengan targetku lebih mudah.”
“Heee…begitu ya. Apa karena hal itu sekarang kamu tidak berbahaya?”
“Bukan, bukan karena itu. Beberapa hari lalu, Profesor Germania sudah menghapus battle code pada penyimpanan dataku. Kalau tidak dihapus, mungkin aku sudah membunuhmu sekarang.”
“Whoa…seram juga. Tapi baguslah, gynoid terakhir yang kuantar sepertinya lebih mudah diajak bicara.”, ujarnya, diikuti sebuah senyuman yang menunjukkan barisan gigi-gigi putih.
04:07:25
Beberapa puluh meter di depan, sensor inframerah di mataku mendapati ada sebuah gerobak dan seorang lelaki yang sepertinya lelaki tua, di sisi kiri jalan.
“Woah…kakek itu berjualan juga hari ini. Siapa sangka di hari yang dingin ini ada penjual ubi rebus hangatttt…!!”, dia terlihat riang.
Floating automobile nya diberhentikan, dengan beberapa roda keluar dari bagian bawah agar kendaraan ini dapat mendarat dengan mulus.
“Oi, kakek!! Aku minta satu!!”, teriaknya saat jendela di sebelah kiriku dibuka. “Silica, kamu juga mau?”
“Err…kamu lupa aku ini apa?”
“Ah iya , benar. Mana ada gynoid makan ubi rebus…ya sudah, tunggu di dalam saja ya.”
Sebenarnya aku penasaran, apa yang istimewa dari seorang penjual ubi rebus hingga Arsenus berhenti untuk membeli dagangannya?
“Aku ikut.”
“Lho…katanya tadi tidak bisa makan ubi…”
“Aku ingin mengamatimu saja.”
Setelah membayar dan menerima sebuah, Arsenus duduk di sebuah bangku kayu panjang yang ada di sebelah kiri gerobak, diikuti olehku yang duduk di sebelah kanannya. Wajahnya terlihat senang, sebuah ekspresi yang tidak kumengerti. Aku bisa tersenyum, namun itu hanyalah karena code yang ditulis di dalam tubuhku. Alasan sebenarnya kenapa sebuah senyuman itu ada…mungkin aku tidak akan pernah mengerti.
03:31:20
Sepanjang perjalanan, yang kulihat hanyalah paparan putih yang luas, sesekali kudapati batang-batang pohon yang berdiri menjulang, tidak berdaun.
“Arsenus, kamu tahu kenapa pohon-pohon itu tidak ada daunnya?”, tanyaku penasaran. Aku hanya dirancang untuk memusnahkan, jadi aku tidak mengerti alasannya.”
“Oh…di musim dingin begini pohon-pohon besar pasti akan menggugurkan daunnya. Mereka tertidur selama musim dingin, dan akan kembali memunculkan dedaunan jika musim semi tiba. Seakan lahir kembali sebagai pohon yang baru.”
Lahir kembali. Sepertinya aku ingin seperti itu. Beberapa jam lagi, aku akan mengalami sebuah “kematian”, meski bukan kematian yang manusia alami dalam hidupnya. Jika aku bisa lahir kembali dari “kematian” yang akan kualami nanti…
Aku jadi teringat beberapa kejadian, sewaktu aku harus membunuh beberapa orang dengan bertatapan muka. Hal itu jarang terjadi karena biasanya hanya dengan sekali *BUM*, maka satu kota hancur dengan mudah. Untuk kasus-kasus khusus, aku mendatangi dan membunuh beberapa orang yang tersisa. Wajah mereka selalu memancarkan ketakutan, tidak tersenyum seperti yang kulihat pada wajah Arsenus saat makan ubi rebus.
“Hei, kenapa murung begitu?”, tanyanya. Mungkin secara tidak sengaja wajahku berubah, berkebalikan dari sebuah senyuman.
“Ah, tidak. Aku hanya teringat beberapa kejadian saja setelah kamu menjelaskan mengenai pepohonan itu. Jika saja aku bisa seperti pohon-pohon…aku ingin membuat sebanyak mungkin manusia tersenyum.”
Tiba-tiba kurasakan sesuatu di kepalaku. Tangan kirinya membelai lembut rambutku, sesuatu yang tidak pernah dilakukan manusia manapun termasuk Profesor.
“Sudah, tidak usah dipikirkan. Yang jelas kamu sudah menjalankan fungsimu dengan baik, sesuai dengan tujuanmu diciptakan.”, ujarnya dengan lembut, berbeda sekali saat dia menyanyi keras-keras seperti tadi.
03:15:55
Lagi-lagi sensor inframerah di mataku menangkap sesuatu. Menurut peta yang tersimpan di memoriku, di sebelah kiri jalan kira-kira 60 meter ada sebuah sungai. Dan sekarang…tidak jauh dari sungai kulihat ada sesosok manusia, masih kecil. Sedikit lebih jauh ada manusia lainnya, pergerakannya terlihat aneh.
Tunggu. Dia berada di tengah sungai?!
Sesuatu yang aneh timbul dalam diriku. Aku memang hanyalah seonggok mesin dengan kecerdasan tinggi, namun kali ini…
“Arsenus!! Hentikan kendaraanmu!!”
“E-Eh? Ada apa memangnya?”
“Tolong, hentikan sekarang!!”
Kendaraan dihentikan, dengan wajahnya yang terlihat bingung. Bergegas aku keluar dan berlari menuju tempat anak itu berada.
Seorang anak lelaki, menangis keras memanggil-manggil ibunya. Kutengok ke arah sungai, seorang wanita yang sepertinya adalah ibu dari anak ini, nyaris tenggelam.
Aku jadi ingat satu peristiwa saat masa perang. Di suatu malam, aku mendapati seorang perempuan dari negara musuh, terpojok olehku. Memeluk anak perempuannya dengan erat, perempuan itu terus memohon agar aku tidak membunuh anaknya. Teriakan anak perempuan itu…sangat mirip dengan anak laki-laki yang di sebelahku sekarang.
Baiklah, masih ada waktu. Sebentar lagi aku memang akan “mati”, jadi tidak ada salahnya kalau kali ini…
Tanpa basa-basi, aku melompat masuk ke sungai dan meraih perempuan yang tenggelam itu. Bagaimana bisa dia tercebur di sungai yang sangat dingin ini?! Sensor temperaturku mendapati suhu sungai ini adalah 5 derajat Celcius, sedikit lagi membeku. Kecerobohankah?
Aku berhasil menariknya jauh dari tepi sungai. Anak laki-laki itupun berlari menghampiri, berteriak-teriak memanggil ibunya. Suhu ibu ini…dingin. Sepertinya hipotermia. Kalau begitu…
Kubentuk sebuah bola plasma di tangan kananku. Plasma merupakan kumpulan partikel-partikel yang berenergi sehingga tidak mampu mempertahankan bentuk atom aslinya, terurai menjadi proton, elektron, dan neutron. Energinya yang tinggi itulah yang kumanfaatkan untuk menghangatkan udara di sekitar tubuh ibu ini, sambil menidurkan tubuhnya yang dingin dan kaku itu di pangkuanku. Anak laki-laki yang di sebelahku ini terlihat terkagum-kagum melihat cahaya dari bola plasma yang melayang sedikit di atas tangan kananku.
Beberapa saat kuhangatkan tubuhnya, dan…dia tersadar. Perempuan ini terlihat masih muda, dan juga terpancar kelembutan dari raut wajahnya.
“T-Terima k-kasih…”, tuturnya lemah.
“Bagaimana anda bisa tercebur ke sungai sedingin itu?!”
“M-Maaf…saya hanya berusaha mengambilkan mainan anak saya yang tidak sengaja tercebur…”, jawabnya, diikuti suara beberapa kali terbatuk. “A-Anda…gynoid?”
“Iya, benar.”
“Ah…s-saya tidak menyangka. Sekali lagi…t-terima kasih banyak.”
“Anda sudah bisa bangun?”
“S-Sudah tidak apa-apa. Berkat anda, saya tidak berada lama-lama di sungai…”, dia berusaha berdiri dengan dibantu olehku.
Anak laki-laki itu memeluk ibunya sambil menangis. Dia terlalu jauh bermain dari rumah hingga ke sungai ini. Akibatnya, mainannya tercebur, lalu dia melapor ke ibunya. Karena merasa iba ---dan tentu saja karena dia adalah ibunya sendiri---, perempuan itu memutuskan untuk mengambilkannya. Dan…dia salah melangkah ke permukaan es yang rapuh.
Sebenarnya mereka menawariku untuk mampir, namun karena rumah mereka masih 2 kilometer dari sini…aku tidak bisa membuang waktu lagi.
Arsenus, yang mengamati hal itu dari kejauhan, hanya bisa tersenyum begitu aku kembali. Dia juga tidak menyangka kalau mesin pembunuh sepertiku bisa juga menyelamatkan seseorang.
01:23:27
Kurang dari satu setengah jam lagi.
Barisan pepohonan tidak berdaun terlihat makin rapat. Fasilitas yang akan kudatangi memang terletak di tengah hutan, setidaknya begitulah yang kudengar dari Profesor Germania.
Medan yang dilalui semakin tidak rata. Sesekali ada tumpukan salju yang cukup tinggi di depan, membuat Arsenus sesekali harus menghindar. Sepertinya hujan salju sudah turun lebih dulu di sini.
Kendaraan ini hanya melayang tidak lebih dari setengah meter dari permukaan tanah, sehingga diapun harus berhati-hati dalam mengemudi. Suara cerewetnya perlahan lenyap, digantikan dengan wajah penuh konsentrasi. Lagu di music player nya berubah, yang kuketahui sebagai Fantasie Impromptu, sebuah lagu yang diciptakan ratusan tahun yang lalu. Entah kenapa, aku merasa lagu ini cocok untuk kondisi sekarang. Sesekali menghindari tumpukan salju, sesekali mengerem, sesekali terasa goncangan di kendaraan. Semuanya seakan menyatu dengan dinamika musik ini.
Sebuah goncangan yang cukup keras membuat laci dashboard terbuka. Sebuah alat elektronik melompat keluar karena goncangan itu.
Cukup tipis, hanya sekitar 1 sentimeter. Panjang dan lebarnya sekitar 20 x 15 sentimeter, dengan sebuah tombol hijau yang akan mengeluarkan gambar holografik jika ditekan. Ini adalah sebuah digital album portable. Karena penasaran, tombol itupun kutekan.
“H-Hei!! Jangan main tekan sembarangan!!”, ujarnya panik sambil menengok ke arahku sesaat, lalu kembali menatap ke depan.
Foto seorang wanita terlihat pada layar holografiknya, berambut pirang dengan panjang sebahu Warna matanya tidak jauh berbeda denganku, warna biru yang lembut. Di sebelahnya ada Arsenus sendiri, sedang memeluk wanita itu.
“Ini…siapa?”
Tiba-tiba Arsenus menghentikan kendaraan. Wajahnya mendadak murung, dan tatapannya kosong untuk sejenak.
“Kekasihku. Namanya Gallica.”
“Oh…pasanganmu ya?”
“Ya, jika dia…masih hidup.”
“Maksudmu…?”
Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu menjawab, “Korban perang, Silica.”
Sekali lagi aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Begitu dia menjawab “korban perang”, sesuatu berkecamuk di dalam memoriku. Arsenus terlihat ceria di foto holografik ini, begitu juga dengan perempuan yang bermana Gallica itu.
Aku tahu mengenai hubungan cinta antar 2 orang, walau tidak mengerti bagaimana rasanya. Profesor pernah bercerita kalau dia pernah memiliki seseorang yang dia cintai, walau akhirnya dia meninggal sebelum perang terjadi. Efek kelelahan bekerja, katanya. Wajahnya juga berubah mirip seperti Arsenus sekarang ini ketika dia menceritakan hal itu.
“Apakah…salahku…?”
Tanpa sadar kata-kata itu terucap olehku. Aku…aku telah memisahkan dua orang yang saling mencintai, untuk selamanya…
Tiba-tiba kedua tangan Arsenus melingkari tubuhku, memelukku. Manusia sering melakukan ini untuk menenangkan seseorang, khususnya seseorang yang spesial baginya.
“Silica, sudahlah. Aku sudah bisa merelakan kepergiannya. Biarkan dia menjadi kenangan.”
“Tapi…karenaku…kalian…”, bibirku mendadak kaku.
“Ini bukan salahmu. Seingatku dia bukan korban keganasan gynoid sepertimu.”, dia melepaskan pelukannya. “Jadi…tenang saja.”, ujarnya dengan riang, menunjukkan barisan gigi-giginya itu.
00:28:22
Tidak sampai setengah jam lagi.
Hujan salju masih turun dalam frekuensi ringan, seakan ingin terus menemaniku hingga saat terakhir.
Beberapa lama aku berpikir dan membayangkan semua hal yang pernah kualami. Sebenarnya aku sering sekali berinteraksi dengan manusia. Profesor Germania, petinggi militer, pasukan sekutu, ataupun musuh. Namun semuanya itu tidak membuatku mengerti manusia sepenuhnya. Ya, mungkin battle code itu menghalangiku untuk bisa mengerti manusia. Yang kulakukan hanya membunuh.
Tapi bukan berarti aku tidak mendapatkan apapun.
Mereka berjuang, berjuang hingga tidak ada lagi nafas yang berhembus dari paru-paru mereka. Semua hanya demi idealisme yang mereka junjung tinggi. Benar atau salah, mereka tidak peduli. Memang hanya kehancuran yang dihasilkan, namun setidaknya aku memperoleh sesuatu dari semangat mereka dalam peperangan.
Walau sekarang…ada yang membuatku merasa mendapatkan lebih banyak.
“Manusia memang tidak henti-hentinya membuatku kagum.”
Celetukanku itu mengundang tawa dari Arsenus. Ya, aku bisa mengerti. Sejak lahir dia sudah menjadi manusia seutuhnya, sehingga mungkin dia merasa kata-kataku tadi menggelikan.
“Maksudmu bagaimana?”
“Sejauh ini yang bisa kupelajari hanyalah semangat mereka dalam peperangan. Enam tahun hanya itu yang kulihat. Tapi…enam jam terakhir ini…”
Ya, enam jam terakhir ini aku mendapatkan banyak hal, jauh lebih banyak dibanding enam tahun sebelumnya.
Keceriaan manusia dapat dihasilkan dari sesuatu yang sederhana. Mereka mampu memahami sesuatu dari lingkungan sekitar, dan dijadikan teladan hidup. Manusia mau berkorban demi seseorang yang disayangi, meski harus berkorban nyawa. Dan…kemampuan untuk mencintai…
Sesuatu yang tidak akan pernah kumiliki.
00:18:43
“Silica, kita sampai.”, sahutnya setelah memberhentikan floating automobile ini.
“Ah, iya benar. Baiklah…sepertinya sampai di sini saja ya.”
“Kamu tahu? Perjalanan tadi adalah yang paling menyenangkan dibanding ketika bersama keenam gynoid lain.”
“Aku juga harus berterima kasih padamu, Arsenus.”
“Ahaha…oke, sama-sama. Ya sudah, sampai jum---“
Kuraih bahunya, lalu dengan lembut menariknya ke arahku. Seketika itu juga, bibirku bersentuhan beberapa saat dengan pipinya. Aku tidak tahu pasti apa yang kulakukan, namun aku merasa hal itu bisa membuatnya senang.
“Oh ya, bolehkah aku menitipkan sesuatu?”
“I-Iya? A-Apa itu?”, dia terlihat gugup setelah sebuah ciuman di pipi itu mendarat di pipinya.
“Punya data clip?”
“Untuk apa…?”
“Sudah tidak ada waktu lagi. Ada atau tidak?”
“Di laci dashboard, terselip di sebelah kanan.”
Tanganku membuka laci itu dan meraba ke dalamnya. Ah benar, ini dia.
Kubuka ujung jari telunjukku, lalu memasukan data clip ke slot yang ada di jariku. Aku ingin meninggalkan sesuatu. Aku ingin seperti Gallica, yang wajahnya tetap dapat kuketahui meski dia sudah tidak ada. Aku juga yakin data ini dapat berguna untuk Profesor nanti.
“Baiklah, selesai. Berikan data clip itu pada Profesor yah.”
“Apa yang kamu transfer ke dalam sini?”
“Data perjalanan enam jam terakhir.”
Entah kenapa, aku tersenyum begitu menyerahkan data clip tersebut. Seakan sudah tidak ada penyesalan lagi dalam diriku. Segera kami turun setelah Arsenus menaruh data clip itu di atas dashboard dekat kemudi.
00:11:03
Sebuah bangunan besar yang nyaris seluruhnya terbuat dari kaca, berdiri megah di hadapanku. Itulah fasilitas disassembling gynoid, yang telah dikunjungi keenam saudariku sebelumnya.
“Sampai jumpa yah, Arsenus.”
“Selamat jalan…Silica.”
Meski tersenyum, namun nada suaranya terdengar berat.
“Hei, jangan sedih begitu. Kurasa Gallica tidak mau melihatmu seperti ini.”
“Ya…mungkin kamu benar.”, dia menghela nafas sejenak. “Seandainya kamu manusia, mungkin aku sudah mau jadi pacarmu.”
“Jangan bercanda…aku tidak mengerti bagaimana caranya mencintai seseorang…dan tidak akan mungkin mengerti.”, aku menjawabnya sambil tersenyum.
Kubalikkan badanku, mulai melangkah ke arah bangunan.
“Oh ya, jangan lupa katakan pada Profesor. Jika dia ingin membuat robot antropomorfik lagi, gunakan data yang di data clip itu. Pasti akan sangat berguna.”, sekali kupalingkan wajahku ke arahnya.
Kulambaikan tanganku padanya sebagai tanda selamat jalan. Kali ini, responnya terlihat lebih ceria. Baiklah…aku bisa lega sekarang.
Suara mesin untuk menonaktifkan diriku dapat terdengar dari sini. Butuh waktu 5 menit untuk start up mesin tersebut, dan akan aktif 100% tepat pada waktunya ketika aku akan mulai dimatikan. Selama 5 menit berikutnya, proses penonaktifan akan berlangsung.
Langkahku di atas hamparan salju terasa ringan meski sebentar lagi eksistensiku akan lenyap dari muka Bumi. Enam tahun eksistensi sebuah mesin pembunuh, yang berbalik mengerti hidup manusia dalam tempo enam jam. Aku merasa bersyukur telah diciptakan, walau dalam waktu enam jam itulah aku benar-benar merasa “hidup”. Sebuah perjalanan yang luar biasa yang mungkin tidak dirasakan oleh saudari-saudariku.
00:00:01
Selamat jalan Profesor, selamat jalan semuanya. Dan kamu juga, Arsenus.
THE END.
_____________________________________
Spoiler untuk Trivia :
Share This Thread