Results 1 to 1 of 1

Thread: Drone #256

http://idgs.in/543347
  1. #1
    NodiX's Avatar
    Join Date
    Dec 2010
    Location
    The Dark Side of the Moon
    Posts
    459
    Points
    897.80
    Thanks: 22 / 21 / 20

    Default Drone #256

    Drone #216 - Complete
    SINOPSIS

    Setelah keberhasilan Drone #216 dalam menemukan Toxin, dunia semakin membaik walau gema perubahan masa lalu tak terngiang jelas pada zaman itu. Dunia masih antah berantah, namun, manusia yang tersisa mulai terinspirasi dari Toxin dan mulai menggabungkan kekuatan untuk menciptakan kekuatan baru untuk bertahan di dunia lama yang masih dilanda kerusakan abadi, New Land.

    Atas apresiasi para penduduk dunia lama kepada sang penyelamat mereka, Rulof sang Drone #216, ia dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi dalam New Land, yang membuat kata-katanya menjadi hukum alam yang harus dipatuhi oleh semua manusia, bahkan yang tak terikat dengan New Land.

    Semuanya berlutut pada Rulof—sang penguasa New Land, sebuah kubu gabungan dari hampir setiap kubu yang ada. Bahkan para Bandit—mereka yang sama sekali tak paham dengan asas hukum—tak berani dan tak pernah menganggu gugat kebesaran Rulof, sang penguasa dunia lama.

    Namun, sebuah benda misterius yang diberikan Legate kepada Rulof puluhan tahun yang lalu telah membangun sebuah kabut misteri baru, dan juga, kedatangan Drone #256 mencari Rulof makin menggelapkan kabut misteri itu.
    Spoiler untuk Drone #256 - Prologue :
    Dua anak kembar berdiri dengan kakunya. Meratapi rumah serta keluarga mereka yang sudah menjadi abu karena terlalap api semalaman dari kejauhan.

    Walaupun mereka kembar jika dilihat dari bentuk fisik, namun sikap mereka menghadapi kecelakaan yang baru terjadi sangatlah bertolak belakang. Yang satu, Rulof Handkorfd, menerima dengan lapang dada seraya berdiri dengan gagah menyikapi semua ini sebagai takdir dan cobaan. Sedangkan, Hadgolf Handkorfd, sang kakak menyikapi dengan angkuh dan penuh murka.

    Hadgolf yang tadinya berdiri di belakang Rulof melangkah menghampiri Rulof. Setelah mereka sejajar—sama-sama menatap rumah yang hangus terbakar, Hadgolf mendesah sebentar seraya berkata, “dunia telah memberikan kita kesempatan, namun kita telah gagal menjalaninya.”

    “Tidak, Had, ini bukan kesempatan, tapi ini takdir,” Rulof kecil memandangi Hadgolf dengan mata berbinar-binar. “Inilah perang, Had. Dan perang membutuhkan pengorbanan, pengorbanan dari kita.”

    Hadgolf kecil membalas tatapan Rulof. “Kau salah. Sudah berapa kali kita diberi kesempatan oleh dunia ini. Kehidupan hanyalah sebuah kesempatan. Kau berhasil, maka hidup terus. Kau gagal, maka kau akan mati.”

    “Sepertinya kita tidak pernah sependapat,” ujar Rulof.

    “Ya. Menurutmu orang tua yang terbakar di sana adalah keluarga, tapi menurutku ia adalah sampah!” geram Hadgolf seraya berbalik pergi.

    Rulof kecil memandangi punggung Hadgolf sesaat. “Mau kemana kau?”

    Hadgolf berbalik menghadap Rulof. “Aku akan mengambil jalanku sendiri. Jangan kau hadang aku! Aku bosan dunia ini memberikanku sebuah kesempatan. Kini, giliranku untuk memberikan dunia ini sebuah kesempatan!” ujarnya seraya berlalu kembali.

    Rulof kecil memandangi punggung Hadgolf ketika ia pergi. Mereka kembar, namun serasa tak ada ikatan dalam diri mereka. Alam pikir mereka saling bertentangan, mustahil untuk di satukan.

    PART 1
    Spoiler untuk Chapter 1 :
    Bar kala itu tengah lenggang. Risa tengah mengelap gelas seperti biasa.
    Wanita itu kini telah beruban, sangat tua. Juga suaminya, lebih tua darinya. Kurus kerempeng, kulit keriput dan otot menciut—tak seperti puluhan tahun yang lalu, berbadan gemuk. Duduk di sebuah kursi goyang di dalam bar dengan malasnya.

    Bunyi sepoi-sepoi angin luar jelas kentara dari dalam bar, menemani telinga dengan nyanyian hening.

    Pintu bar membuka. Sontak Risa menoleh, juga Bob. Kursi goyangnya makin lama makin memelan, hingga benar-benar berhenti.

    Muncul sosok seorang pria bertubuh kurus ramping di ambang pintu, mengenakan sebuah baju kemeja usang dan dekil dengan warna cokelat kontras. Topinya topi koboi, bewarna hitam gelap. Jelas terdengar derapan langkah sepatunya yang menapak lantai kayu dengan congkak.

    Pria itu memandangi Bob lekat, kemudian berpindah kepada Risa dengan congkaknya. Ia mendekati bar, dimana Risa berdiri, kemudian duduk di sebuah kursi tinggi tanpa punggung.

    Bob bergumam tak jelas ketika menelaah wajah pria itu. Namun Risa, ia diam ketika sebuah wajah tak asing melintas di benaknya ketika ia melihat wajah pria itu.

    Pria itu mengeluarkan sebuah rokok, kemudian pemantik api kuno. Ia menyalakan bara rokoknya, menghisapnya sesaat kemudian menghamburkan asapnya dengan angkuh ke wajah Risa.

    Bob geram melihatnya, seraya berdesis gusar. Namun fisiknya tak mengizinkannya untuk beraksi. Sedang Risa, terseok-seok dalam batuknya.

    “Ada yang bisa—“ suara Risa terputus ketika ia terpaksa terbatuk. “Kubantu?”

    “Tidak,” jawab sosok itu cepat dan angkuh. “Kecuali jika kau ingin mengatakan sesuatu tentang ini, maka kau tidak akan bernasib seperti adikmu.” Pria itu menyodorkan sebuah kalung kepada Risa. Kalung logam berlabel 216 dipermukaannya, tetap elegan dan mengkilap walau telah termakan usia.

    Risa terbelalak ketika mendengar adiknya. “Apa yang kau lakukan terhadap Timmy?” tanyanya gelisah. Sedang Bob mendengus mendengarnya.

    Pria itu mengangkat bahu. Kemudian mengambil sesuatu dari saku pistolnya. Sebuah logam berdenyit ketika ia menarik palu revolver single-action dengan jempolnya, mengarahkan pistolnya ke Bob dan suara ledakan mesiu menggema beberapa saat.

    Kepala Bob tua berlubang, ada sebuah peluru yang bersarang di keningnya. Suara pecahan kaca gelas menyambut setelahnya.

    Sosok itu menarik kembali palu revolvernya, menyebabkan logam berdenyit serta silindernya berputar. Kemudian ia mengarahkan pistolnya ke arah Risa. “Seperti itulah nasib adikmu,” ucapnya dingin seraya menodong Risa yang tengah menggigil ketakutan.

    Wanita tua itu menangis, “ak—aku tak tahu tentang Rulof, kumohon jangan bunuh aku. Bb—baiklah, akan kukatakan yang kutahu—ia sudah lama memimpin New Land. Kumohon, jangan bunuh aku,” ucapnya seraya mengangkat tangannya memelas belas kasih.

    Bubuk mesiu meledak. Peluru melesat tepat di sebelah telinga Risa. Tangisan wanita itu makin menjadi-jadi ketika tubuhnya makin bergetar.

    Pria itu menarik kembali palu revolvernya menggunakan jempolnya. “Asal kau tahu saja, peluruku sisa empat. Yang terakhir—kujamin—akan melubangi kepalamu,” ucapnya dingin dan parau.

    Pria itu menatap dingin Risa. Wanita tua itu masih mengangis takut. “Aku, aku tak tahu, kumohon—jangan bunuh aku,” lirihnya.

    Letusan bubuk mesiu meledak lagi. “Tiga,” ucapnya menghitung jumlah peluru di silinder revolvernya.

    “Dia memiliki jurnal disini, tapi kumohon jangan bunuh aku.”

    “Jurnal?”

    “Ya, berbentuk rekaman.”

    Pria itu menyarungkan pistolnya. “Tunjukkan,” desaknya.

    Dengan lemah wanita tua itu melangkahkan kaki menuju sebuah lukisan dinding. Dengan tangan bergetar serta tangis yang tersedu-sedu ia melepaskan lukisan dari dinding. Pria misterius itu menatapnya lekat dan tajam.

    Ada sebuah brankas di balik lukisan tadi. Risa membukanya, kemudian mengambil sebuah benda berbentuk rekaman dari dalam brankas itu.

    “Ini dia. Rekaman ini dikunci dengan sebuah sandi, hanya itu yang bisa kukatakan. Kumohon jangan bunuh aku,” lirihnya sembari menyodorkan rekaman dengan tangan bergetar.

    Pria itu mengangguk. Namun anggukannya tak memberikan janji apa-apa sebab ia malah menembak Risa, membuat tubuh wanita tua itu terhuyung-huyung sesaat dan kemudian ambruk.

    Pria itu menggunakan kalung Drone #216 untuk membuka sandi rekaman itu; memasukkan kalungnya ke dalam lubang yang pas kemudian menekan tombol ‘play’.

    Suara distorsi terdengar dari dalam rekaman. “Jika kau mendengar rekaman ini berarti kau sedang mencariku, dan kau hampir sampai untuk menggapaiku. Kau tak akan bisa, kujamin itu,” rekaman itu terputus—jeda sesaat. “Namun, jika kau ingin menghubungiku, katakan sesuatu lewat radio, kuyakin aku masih hidup untuk membalasmu nanti.”

    Pria itu mengerang dan melempar rekaman itu dengan murka, membuat benda kuno itu hancur ketika menghantam lantai. Nampak dadanya kembang kempis ketika ia terengah-engah mengendalikan emosinya. Ia memandangi mayat yang ia bunuh, keduanya secara bergantian. Kemudian mengeluarkan sebuah belati seraya mendekat ke meja bar dan mengorek permukaan kayunya dan menulis sesuatu; “256 dalam pencarian.”

    Spoiler untuk Chapter 2 :
    Di sebuah ruang kecil di balik jeruji, Rulof tengah bersandar di dinding seraya menatap kosong langit. Wajahnya datar, sedang alam fikirnya melayang entah kemana.

    Samar dibalik kegelapan Rulof melihat sosok dua sipir yang tengah berdampingan berjalan bersamaan. Dari kejauhan, samar pula mereka nampak tengah mengobrol. Suasana yang sunyi senyap membuat gelombang suara mereka menjadi mudah merambat ke telinga Rulof.

    “Kau dengar tahanan baru itu?” tanya sipir pertama.

    “Rulof, maksudmu?” balas yang sipir kedua.

    “Ya. Kudengar dia akan dihukum mati besok karena membunuh kakaknya. Padahal, ia melakukannya karena atas dasar bela diri dan ia terpaksa menusuk kakaknya. Seharusnya hukumannya dapat diringankan. Aku tak mengerti sistem pemerintahan sekarang ini.”

    “Ya, politik jaman sekarang sudah semakin kacau balau, bung. Sebaiknya kau terbiasa dengannya.”

    Ada jeda sesaat sebelum salah satu sipir mengangkat topik lain.

    “Kau dengar desas-desus itu? Seorang Legate mengirim sinyal bahwa ia telah menemukan Toxin.”

    “Tentu aku dengar, jika Toxin itu benar adanya, maka dunia baru telah dimulai.”

    “Ya, aku berharap banyak terhadap dunia baru dan semoga tidak separah dunia lama yang kacau balau itu. Aku ngeri membayangkannya.”

    “Ya, semoga saja begitu.”

    Kedua sipir itu berlalu, bagaikan angin di telinga Rulof. Dengan oborolan tak penting selanjutnya makin lama makin mengecil suaranya dan akhirnya padam.

    Yang ia lakukan hanya membela dirinya—karena Hadgolf lah yang menyerangnya terlebih dahulu. Namun mereka, pemerintah rakus itu, dengan seenaknya memukul palu keputusan dengan dilandaskan nama keadilan.

    Rulof memeluk lututnya ketika angin malam makin dingin menusuk, masuk lewat jendela berjeruji dari luar penjaranya. Malam itu terasa panjang, walaupun ia tak sedang menunggu pagi. Jantungnya berdebar-debar seraya merenungkan nasibnya esok.

    Merenung ketika menunda datangnya pagi. Ia tak ingin memejamkan matanya sesaat saja sebab tak ingin terseret ke dalam alam mimpinya. Ia ingin … menghabiskan sisa malamnya dengan mata terbuka, seraya merenungi setiap momen penting dalam hidupnya. Ia memilah-milah momen-momen itu dalam memorinya, dan hendak memilih satu untuk direnungkan lebih lanjut.

    Ia telah memilih. Sebuah momen yang sangat membuat dirinya penasaran. Rasa penasaran itu—sangat kuat hingga selalu menarik hasrat untuk membongkar misterinya ketika ia mengingat momen itu sesekali—tak terkecuali sekarang.

    Memorinya terbang jauh melampaui waktu yang telah ditentukan. Mengambang ke masa tepat sebelum semuanya hancur baginya. Keluarganya masih utuh, dan ia bersyukur dengan itu. Ayahnya adalah pria terhormat, pejabat tinggi yang ada dalam negaranya kala itu. Ia tak ingin mengingat nama kampung halamannya—terutama negaranya yang telah menghancurkan hidup sederhananya hingga berkeping-keping.

    Saat itu terbentuk sebuah aliansi yang menjaga perang saudara tetap dingin. Aliansi itu—berasal dari dua belah pihak yang tengah berseteru, dengan dipimpin oleh pihak netral yang tak bisa dibilang bersih. Dan sayangnya, pemimpin pihak netral adalah ayah Rulof. Ayah yang selama ini ia damba-dambakan. Ayah yang selama ini ia sanjung dalam hidupnya. Ayah yang selama ini telah mengecewakannya ketika ia menatap fakta dengan seksama.

    Memorinya mengantarkannya pada pekarangan luasnya. Ia tengah memegang kuas di tangan kanannya seraya mengoles ujung kuas perlahan di kanvasnya yang sudah dilumuri cat warna-warni dan telah membentuk sebuah gambar berseni tinggi—nilai seni yang terlampau jauh untuk ukuran bocah laki-laki sepertinya. Begitulah ia, Rulof kecil sang seniman berbakat. Begitu ulung bergulat dengan kuas dan kanvasnya. Sehingga membuat ayahnya yang kala itu dicintainya berdecak kagum setiap ia menyelesaikan lukisannya.

    “Itu adalah hasil karya sang seniman sejati,” puji ayahnya yang bertubuh gemuk dan pendek. “Kelak kau akan menjadi sang maestro sejati, Rulof,” tambahnya dengan senyum khas seorang ayah yang mengembang.

    Rulof kecil membalas senyuman ayahnya. Namun cepat senyum ayahnya sirna ketika mendapati Hadgolf yang tengah menghancurkan dengan kalap sebuah miniatur gedung yang kontruksinya terbuat dari berbagai benda yang beragam bentuknya. Ayah Rulof geram ketika melihat Hadgolf menghancurkan miniatur gedung itu—menghambur-hamburkan seluruh benda yang mengkontruksinya menjadi berkeping-keping. Ada alasan yang baik dibalik kegeraman ayah Rulof. Pertama, dibutuhkan ketelitian dan sebuah pemikiran matang untuk membangun miniatur gedung itu. Karena, bentuk dari setiap benda penyusun gedung itu sangat rumit, dan adalah sebuah puzzle yang amat menantang untuk menyatukan mereka. Siapa yang tidak geram melihat seorang bocah laki-laki menghancurkan apa yang seharusnya menjadi sebuah prestasi baginya? Kedua, harga untuk puzzle dengan tingkat kesulitan yang amat tinggi itu tidaklah sebanding dengan kocek para penduduk—bahkan pejabat kala itu. Terlampau mahal untuk sebuah puzzle.

    “Sudah kukatakan berkali-kali, jangan kau rusak benda itu!” bentak ayah Rulof kepada Hadgolf kecil yang tengah terengah-engah puas setelah menghancurkan puzzlenya. “Bereskan semuanya,” perintah ayah Rulof dan juga Hadgolf gusar.

    Hadgolf kecil hanya merunduk diam. Ia tak menatap mata ayahnya yang melototinya dengan penuh amarah. Rulof dapat merasakan kemarahan dan kebencian kakak kembarnya ketika ia mendapati tangan kakaknya bergetar serta mengepal. Dalam hati kecilnya, Rulof terus berbisik, “lakukanlah, Had, jangan membuat semua ini menjadi rumit.” Ia terus membisikkan itu dalam hatinya, berharap sampai ke Hadgolf dan dapat mengubah sikap kakaknya itu.

    Hadgolf menengadah, membalas lototan ayahnya yang sama membara.

    Sekejap ayahnya mengangkat telapak tangan kanannya yang membuka dan mengambil ancang-ancang hendak menampar anaknya sendiri. Dan, plak! Suara tamparannya nyaring.

    Hadgolf tak meringis ataupun merintih kesakitan. Ia seperti bisu. Diam tak bersuara. Sikap bisunya itu terus mengiris hati Rulof yang terlanjur simpati kepadanya. Ia kembali merunduk sembari membiarkan tangannya lepas ditarik gravitasi ke bawah. Tamparan tadi jelas mengiangkan bekas merah di pipi Hadgolf.

    “Sekarang, ucapkanlah maaf,” perintah sang ayah sekali lagi.

    Rulof kembali berbisik dalam hati nuraninya, tak kurang dan tak lebih seperti bisikan sebelumnya. Ia memejamkan matanya tepat setelah mendapati Hadgolf yang menengadah membalas tatapan ayahnya lagi. Dan, plak! Tamparan kedua memperjelas bekas merah di pipi Hadgolf.

    “Bisakah kau seperti Rulof?” tanya ayahnya gusar kepada Hadgolf.

    Hadgolf mengalihkan pandangannya ke Rulof. Dingin, namun nampak bersekutu. Rulof membalasnya dengan tatapan kosong dan wajah datar, tak tahu harus bagaimana ia mengekspresikan perasaannya kepada Hadgolf. Ekspresi khas Hadgolf masih sama seperti yang dulu-dulu, dan sudah lama ia mencoba untuk menerjemahkannya. Dan kini, dari tatapan kakaknya itu ia dapat menyimpulkan beberapa hal; iri, cemburu, dan dengki—atau—belas kasih, harapan dan kebahagiaan.

    Perhatian ayah Rulof kepada Hadgolf sirna ketika seorang pria tegap berseragam—penjaga rumah—menghampiri ayah Rulof dengan tergopoh-gopoh.

    “Tuan Handkorfd, ada seorang pria yang ingin bertemu dengan tuan muda Rulof,” ujarnya sopan dan resmi disela-sela engahannya.

    Wajah ayah Rulof berubah masam. Ia menyeringai ketika seorang pria muda yang dimaksud mencoba untuk menerobos berikade penjaga rumah, berlari terbirit-birit di tengah perkarang yang luas mencoba untuk menggapai Rulof kecil, walau beberapa pria tegap mengejarnya dari belakang.

    Rulof kecil panik. Tak pernah ada orang yang ingin bertemu dengannya. Tak pernah sama sekali. Ayahnya terlalu mengekang dan mengisolasinya dari dunia luar—bahkan untuk dunia luar mengetahui keberadaannya pun sudah mustahil. Dan pria ini, darimana ia mengetahui keberadaannya? Dan mau apa ia dengannya?

    Penjaga yang melapor kepada ayah Rulof langsung bergerak mencegat pria itu. Ia mendapatkan tubuh ramping pria itu dan berhasil mengekangnya tepat sebelum ia meraih Rulof.

    “Lepaskan aku!” seru pria itu memberontak. Sempat matanya bertemu dengan mata Rulof kecil. Sebenarnya, dalam memori Rulof, tak ada rekaman tentang wajah pria itu. Sehingga nampak abu ketika ia renungkan. Ia sudah lama lupa wajah pria itu.

    Pria itu memberontak lagi, berusaha berkomunikasi kepada Rulof kecil ketika tubuh penjaga yang lebih besar darinya menarik paksa tubuh rampingnya. Namun sayang lagi, memorinya tak mengizinkan untuk mengulang kembali ucapan pria itu.

    “Kau tak akan mendapatkan sebutir pun keistimewaan anakku!” geram ayah Rulof congkak. Hanya bagian itulah yang terang di memori Rulof.

    “Kalau begitu pergilah dari sini!” pinta pria itu sembari memberontak dari kekangan penjaga rumah. “Selamatkan dirimu sebelum aliansi menghianati dan membakar tubuhmu tanpa sisa!”

    Gambaran peristiwa perkarangan itu lenyap tanpa sisa. Yang tersisa kini adalah; ruangan sempit dengan berbagai jeruji yang mengekang kebebasannya. Rulof meringkuk sembari memeluk lututnya hendak mengusir kedinginan yang menusuk tulang. Berhenti menjelajah ruang semu memorinya.

    Ia ingin sekali mengingat seluruh bagian dari momen itu. Ingin sekali. Menjelaskan identitas pria yang memperingati ayahnya—juga pria yang mencoba untuk berkomunikasi dengannya.

    Namun percuma ia bergulat dengan semua itu sekarang. Sebab, sepercik sinar mentari pagi yang menyusup dari luar perlahan menghampirinya, ingin membelai tubuhnya yang menggigil kedinginan. Memberikannya sedikit rasa lega setelah lama diringkuk rasa dingin. Hari sudah pagi. Hidupnya tak akan lama lagi.

    ***


    Tiga pria berbaju zirah—berbaju besi berat dengan gaya furturistik—tengah memeriksa dua mayat yang sudah satu hari usianya. Namun yang menjadi perhatian mereka bukanlah mayat-mayat tadi, melainkan sebuah orekan di bar.

    “Dia lagi,” ujar salah satu pria itu.

    “Ya, sepertinya Drone itu mencari masalah dengan kita,” timpal pria yang lain.

    “Siapa dia?” tanya pria terakhir.

    Dua pria yang lain memandanginya. “Kau tak tahu? Dia adalah Drone yang selalu mencari tuan Rulof, Emperor of the New Land.”

    “Kukira Drone yang terakhir adalah tuan Rulof, namun dia, Drone #256, pastilah dia bukan Drone biasa,” ujar pria yang lain.

    “Biasa atau tidak biasa, jika ia mencari masalah dengan kita, maka kita harus membunuhnya.”

    Kedua pria yang lain menyetujuinya dan mengangguk berkali-kali. Kemudian mereka melangkah pergi dari bar itu setelah mendapat informasi yang tak memuaskan.


    ***

    Pintu besi itu membuka dengan sendirinya, terdengar suara denyitan logam tua bergesek pada saat yang bersamaan. Nampak seorang pria berdiri di ambang pintu, sesaat memandangi pemuda berjas putih bersih tengah sibuk mengetik sebuah keyboard tua dengan sebuah monitor besar di atasnya. Pria melirik pemuda itu sesaat, kemudian menyapanya akrab.

    “Ernald, bagaimana kabar teman kita?” tanya pria itu.

    Ernald sedikit tersentak ketika mendengar sebuah gelombang suara menyapanya disaat ia tengah sibuk dengan pekerjaannya. “Oh, hei 256, aku tak mengetahuimu datang,” ujarnya kikuk. “Soal proyek New Lander itu, aku masih tak bisa memecahkan apa yang sedang mereka bangun,” jelasnya seraya menampilkan sebuah gambar bangunan—mirip reaktor nuklir—di monitornya. Pria yang disebut 256 itu kemudian mendekat seraya menelaah gambar itu. “Proyek itu terlalu rumit bagi otak manusia, mungkin dewa yang membangunnya.”

    Pria itu memandangi Ernald. “Bukan dewa, tapi seseorang yang bermain menjadi dewa,” cetus 256.

    Ernald kembali sibuk dengan komputernya. “Apa kau mendapat sesuatu dari bar itu?”

    Pria itu mendekati Ernald, kemudian menepuk pundaknya. “Kau benar, mereka menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan Drone #216. Aku menemukan sebuah rekaman, yang mengatakan bahwa kita membutuhkan sebuah jaringan radio untuk menghubunginya.”

    “Tidak dengan lokasinya?”

    “Menghubunginya saja sudah cukup buatku, untuk saat ini.”

    Spoiler untuk Chapter 3 :
    Rulof dituntun oleh seorang pria berjas putih bersih—nampak seorang ilmuan intelektual beserta dua orang berseragam serta bersenjata yang mengawalnya. Entah apa yang dipikirkan oleh Rulof, namun semua ini tidak seperti persiapan eksekusi baginya. Tangannya tak diborgol juga tak kekang, bebas seperti seorang bocah yang tengah menghirup udara segar.

    Mereka tiba di sebuah pintu elektronik yang mengunci dan membuka dengan sendirinya. Pria berjas itu memasukkan kata sandinya, dan pintu itu membuka. Terdengar suara yang terkesan furturistik ketika pintu itu membuka, membuat Rulof terkagum sejenak.

    Mereka masuk ke ruangan itu.

    Nampak beberapa ilmuan tengah berdiri, mengelilingi sebuah tabung dengan banyak kabel yang menyambung ke tabung tersebut.

    “Salam, Rulof Handkorfd. Kami Legate. Apa kau tahu maksud kami membawamu ke sini?” tanya salah satu ilmuan.

    “Aku akan dieksekusi, bukankah begitu?”

    “Tidak, bodoh! Kau akan menjadi Drone,“ gerutu ilmuan itu. “Chip dari masa depan lebih sempurna daripada chip yang kami gunakan sekarang. Kau akan kami kirim ke masa depan untuk mengambil chip mesin waktu. Tetapi sebelumnya kami tak bisa membiarkan seorang pembunuh berkeliaran di masa depan, jadi kami harus menghapus ingatanmu.”


    ***


    Drone #256 membuka sebuah lembaran yang bergambarkan denah—peta New Land. Kemudian Ernald melingkari suatu titik menggunakan sebuah spidolnya.

    “Di sini stasiun radio yang tak terpakai,” ujar Ernald. “Namun stasiun ini sudah lama tak disentuh manusia dan alhasil Clawfear menggunakannya sebagai sarang mereka.”

    “C-024 Prototype-mu sudah jadi?”

    “Ya. Walau masih prototype tapi aku yakin benda itu akan berhasil.”

    “Bagus, kita akan gunakan benda itu untuk memancing Clawfear, lalu ratakan semuanya menggunakan Rocket Launcher ketika mereka berkumpul. Setelah itu pasang C-024 yang paling besar di pintu masuk untuk menghalangi New Lander yang hendak menyergap kita. Ada pertanyaan?”

    “Darimana kau tahu New Lander akan menyergap kita?”

    “Jika kita menggunakan radio, maka mereka akan dengan mudah melacak sinyalnya.”

    “Bagaimana jika Clawfear yang masih ada di sarangnya menyerang saat kita masuk ke stasiun radio, kita akan tewas jika mereka mengepung kita ketika kita sibuk menghubungi Drone #216.”

    Drone #256 mendesah, “jika kau ingin menyusup ke sarang Clawfear, kau harus mengetahui tingkah laku mereka terlebih dahulu.”

    Ernald mengerutkan kening serta mengangkat sebelah alisnya.

    “Ledakan akan membuat mereka bingung dan terus bersembunyi di dalam sarang mereka agar merasa aman. Itu sebabnya kita membutuhkan C-024 yang lebih besar untuk memancing Clawfear keluar dari sarang mereka.”

    “Tapi, C-024 ini masih prototype, aku tak bisa menjamin berapa lama durasi efeknya.”

    “Tak perlu lama-lama,” Drone #256 tersenyum. “Kita hanya menyalakannya ketika New Lander sudah terlihat, kemudian Clawfear akan menyerang mereka dan kuyakin Clawfear yang berada di sarang akan habis menyerang 'pengunjung itu' karena mereka mengira New Lander yang menghabisi kawanan mereka.”

    “Mengapa kau yakin bukan kita 'pengunjung itu'?”

    Drone #256 terkikik samar, “kau lihat saja nanti.”


    ***


    Seorang pria setengah baya duduk di sebuah singgasana logam yang amat megah. Bertubuh kurus dan kering serta tubuhnya setengah mesin. Pakaiannya megah, bewarna biru halayak warna dominan New Lander. Di sandingnya berdiri dua penjaga—menggunakan baju zirah serta sebuah gatling gun. Terdengar suara pintu logam bundar berputar, kemudian muncul tiga pria berbaju zirah datang melapor.

    Ketiga pria itu menghampiri pria setengah baya yang duduk di singgasana dengan gerakan serasi, kemudian mereka berlutut seraya merunduk memberi hormat.

    “Tuan Rulof, kami menemukan jejaknya lagi, Drone #256 di Blackhorn. Dan kami juga menemukan ini,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah rekaman rusak namun masih merunduk.

    Rulof tua memperhatikan benda itu. Mata Cyborgnya dengan teliti dan detail menelaah rekaman tua yang ia kenal.

    “Ia menemukannya. Bawa aku ke penyiar radio,” ujarnya lemah dengan suara parau dan terseok-seok. “Aku sudah menduganya sejak lama, sejak ingatanku dipulihkan oleh Legate yang datang puluhan tahun yang lalu,” gumamnya.

    PART 2
    Spoiler untuk Chapter 4 :
    Matahari menyengat di kala dua pria berjalan lurus menuju sebuah gedung terbengkalai. Dari kejauhan, gedung itu berdiri tegak, namun kondisinya sangat memperihatinkan.

    Pria yang berkemeja coklat serta memakai topi koboi itu berjalan sedikit di depan. Sedang pemuda yang dibelakangnya—mengenakan jas ilmuan putih—berusaha menyusul Drone #256 dengan terseok-seok. Sering ia mengeluh ketika beban Rocket Launcher yang ia jinjing sangat berat. Dan hanya mendapat balas dengusan dari Drone #256.

    Mereka berhenti sesaat, berbelok arah seraya menengadah menelaah tebing tinggi nan curam yang terdiam di sekitar stasiun radio.

    Mereka menapakkan kaki mereka ke atas tebing, dan sempat menikmati pemandangan antah berantah dari atas gundukan tanah berdebu itu—dengan kesan pesimis. Tanah tandus bewarna coklat menjadi pemandangan utama, dengan beberapa pohon layu bewarna coklat suram. Bangunan tua itu nampak lebih suram dan lebih rusak jika di pandang dari atas. Atapnya sudah rusak parah, dengan logam karataan serta kayu berlubang yang menegakkan kontruksinya. Pagar kawatnya pun sudah rusak—kemungkinan Clawfear penyebabnya. Empat-lima Clawfear—makhluk reptil yang berdiri agak membungkuk dengan dua kaki serta tangan panjang dan kekar (tidak proporsional dengan tubuhnya) serta kukunya yang panjang, tajam dan kuat menguakkan kesan predatornya—terlihat tengah berjalan mondar-mandir mengelilingi stasiun radio itu, serta menjaga lubang sarang mereka dari luar.

    Mereka terdiam, jongkok dan menyembunyikan tubuh mereka di balik bebatuan seraya memeriksa keadaan dengan wajah yang serius. Samar terdengar Ernald menelan ludahnya, dan wajahnya nampak kacau dan bergetar.

    “Aku tak pernah berhadapan dengan Clawfear sebelumnya, bagaimana jika mereka mengejarku?” cemas Ernald.

    “Aku akan melindungimu, tenanglah,” ujar Drone #256 seraya bangkit dan mencari sebuah benda yang tergeletak di tanah.

    “Kau janji?” tanya Ernald sembari berkeringat—pandangannya masih mengawasi predator reptil yang ada di bawah.

    Drone #256 menghentikan pencariannya sesaat, kemudian menerawang tubuh Ernald dari samping bahunya, memasang wajah dingin seraya menatap tajam ilmuan muda itu.

    Ernald mengusap peluh di dahi dengan punggung tangannya, kemudian kembali menelan ludahnya. Makin nyaring suaranya. Ia memandangi Drone #256 sesaat, kemudian mengawasi stasiun radio itu lagi, dan kembali ke Drone #256 yang sekarang sudah jongkok memilah-milah bebatuan sebesar bogem orang dewasa.

    “Untuk apa itu?” tanya Ernald sedikit terusik melihat tingkah rekannya yang merasa tak diperlukan di kala situasi tengah genting menurutnya.

    “Ini hanya untuk percobaan,” balas Drone #256. Ia bangkit dari jongkoknya. Samar mengembang gumpalan debu yang makin lama makin merebak dan menghilang bersama panasnya udara ketika ia berjalan menghampiri tepi gundukan tanah itu. Ia mengambil sikap hendak melempar, dengan seluruh kosentrasi yang berpusat pada targetnya ia melempar batu sebesar bogem yang tadi ia pungut dengan sekuat tenaga; melesat dengan kencang membelah udara panas yang kala itu teriknya sangat menyengat.

    Matanya meneliti batu itu ketika menari dan berputar-putar di udara, kemudian menghempas tanah berdebu dan sempat berguling-guling sesaat—jatuhnya tepat di sekitar Clawfear-Clawfear itu, membuat predator reptil mutan itu meningkatkan kewaspadaan mereka dan menengok kesana kemari dengan kacau hendak mencari si pelempar batu itu.

    “C-024,” pinta Drone #256 seraya menjulurkan telapak tangannya ke arah Ernald tanpa melepaskan tatapan matanya dari para Clawfear itu.

    Ernald tak banyak bertanya. Segera ia lepas tas punggung yang sejak berangkat ia bawa, membuka resleting-nya dan mengeluarkan sebuah logam bundar asing yang memiliki desain furturistik. Dengan sigap ia melemparkannya dan mendarat di tangan Drone #256.

    Drone #256 menekan sebuah tombol yang ada di permukaan C-024, kemudian melempar benda itu sama seperti saat ia melempar batu—dengan takaran kosentrasi dan tenaga yang sama.

    Benda itu menghempas tanah, namun dengan sigap mencengkram tanah dengan kuat. Kemudian suara nyaring dan lampu merah terang kemerlap sungguh memancing perhatian para Clawfear. Tanpa pusing menghitung detik, lima Clawfear yang tadinya berserakan kini menyatu dan berkumpul pada satu titik—mengelilingi C-024 yang menarik perhatian mereka.

    Ernald tersenyum girang ketika memandangi para Clawfear terpancing oleh penemuan barunya yang belum bisa dikatakan final—rasa puas akan keberhasilannya menguap dari dalam dirinya, menyerebak begitu saja ke seluruh tubuh membuat sebuah sensasi unik yang hampir membuatnya melompat riang. Ia memandangi Drone #256 yang berusaha untuk menyiapkan rocket launcher di bahunya, kemudian berseru, “lihat! Penemuanku berhasil! Tingkat kewaspadaan mereka ketika kau melemparkan batu itu telah meningkatkan persentase keberhasilan C-024—betul-betul sebuah kemajuan yang menggembirakan!”

    Drone #256 menarik pelatuk Rocket Launcher-nya, melesatkan sebuah misil yang bersarang di kalibernya. Gumpalan asap membumbung, mengekor misil yang tengah melesat dan menerjang para Clawfear yang tengah berkumpul.

    Sebuah ledakan cepat lenyap. Menyisakan suara gemuruh yang begitu menggetarkan keberanian. Drone #256 menurunkan Rocket Launcher dari bahunya, kemudian menjinjingnya dengan payah sembari melangkahkan kakinya turun dari tebing. Ernald sang ilmuan muda memandangi punggungnya dengan mata berbinar-binar dan penuh kekaguman.

    “Darimana kau tahu semua itu?” tanya Ernald masih dengan mata yang berbinar-binar.

    Drone #256 memelankan langkahnya, tanpa memandangi Ernald ia bertanya balik, “semua itu—apa?”

    “Kau mengetahui dengan jelas tingkah laku Clawfear, C-024 protype-ku—walaupun aku belum menulis manualnya; kau nampak seperti sudah memahami betul sifat benda itu, melebihi diriku yang merancangnya.”

    Drone #256 menoleh seraya memberi senyum simpul. “Anggap saja semua itu adalah tebakan beruntungku.”

    Ernald tersenyum, kemudian menyelaraskan langkahnya di belakang Drone #256. Alam pikirnya masih meraba argumen-argumen logis yang hendak menebak fakta—fakta di balik Drone #256 yang masih misterius baginya. Semua yang pria misterius itu katakan, lakukan, dan rencanakan seakan terancang matang dan membutuhkan sebuah proses panjang untuk itu. Setidaknya cukup panjang untuk seorang Drone yang baru saja tiba di masa ini—baru saja tercuci otaknya.

    Walaupun identitas Drone #256 itu masih abu-abu baginya—seperti kebanyakan Drone yang bergelimpangan di dunia itu, ia merasa sangat terhormat menjadi pengikut setia dan satu-satunya Drone #256. Setiap kata-kata pria itu, meresap ke benaknya dengan cemerlang dan jelas bagaikan suatu perintah seorang komandan kepada bawahannya yang tak bisa untuk di tolak. Bahkan semenjak mereka bertemu beberapa minggu yang lalu.

    Spoiler untuk Chapter 5 :
    Rulof mengiayakan saja apa yang dikatakan para Legate itu. Ia sudah tak dikekang layaknya tahanan pada umumnya, jadi ia sudah menjinak. Dengan sigap duduk di sebuah kursi ketika ia diperintah.

    Sempat ia mendapati seorang ilmuan mengangguk kepada ilmuan yang tengah mengendalikan komputer, kemudian ilmuan itu mengetik code panjang di komputernya. Tak beberapa lama kemudian suasana menjadi gelap—lampu padam sekejap. Kemudian, lampu darurat bewarna merah menyala remang menggantikan suasana gelap.

    Seorang ilmuan menghampiri Rulof yang duduk manis di sebuah kursi, sembari membawa sebuah benda berbentuk setengah bola; terbuat dari logam dan beberapa pasang kabel menempel pada permukaannya. “Rasanya akan sedikit sakit,” ucapnya sembari memasang benda itu ke kepala Rulof. “Tapi cobalah untuk menahannya. Maaf kami tak bisa memberikanmu obat penenang, karena akan membuatmu kebal terhadap prosedur pencucian otak ini.”

    Rulof mengangguk, entah ingin mengatakan paham atau sudah siap. Kemudian ilmuan itu memberi jempol kepada rekannya. Ilmuan yang bekerja dengan komputer tadi kembali menulis kode panjang.

    Pintu yang seharus tertutup kemudian berdesis membuka. Para ilmuan itu terkejut ketika mendengar desisannya.

    “Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Seharusnya—“ tiga peluru langsung bersarang di dada seorang ilmuan tepat sebelum ia menyelesaikan ucapannya.

    Suasana menjadi kacau. Kilatan cahaya letusan senjata api menyerebak secepat kilat di antara cahaya lampu merah yang remang. Juga suara letusannya, menggema dan menghilang secepat kedipan mata.

    Beberapa sosok dari kegelapan itulah yang membawa teror dengan senjata laras panjang mereka, membuat para ilmuan panik bukan kepalang. Namun tidak dengan Rulof—tak ada alasan untuknya panik, toh ia tahu eksekusi adalah jadwalnya hari ini.

    Satu per satu ilmuan tumbang, merah darah membasahi jas putih mereka ketika peluru menembus tubuh rapuh mereka. Rulof masih duduk manis di kursinya, dengan sebuah benda asing yang menempel di kepalanya.

    Semua ilmuan tewas. Kemudian letusan mesiu berhenti berkoar. Beberapa sosok itu menampakan diri mereka di bawah naungan cahaya merah remang—salah satunya langsung menyambar komputer yang sedang dalam keadaan jenuh. Kemudian merangkai kode dari awal kembali. Mereka nampak sebagai pembunuh profesional, dengan pakaian ketat dan fleksibel—menutup seluruh bagian tubuh mereka. Menggunakan helm ramping di kepala mereka. Sikap tubuh mereka tegak, dan nampak agak kuat dan ramping. Tinggi mereka juga hampir merata.

    Benda asing yang menempel di kepala Rulof langsung menjulurkan gelombang lemah gemulai yang membuatnya terbelai dan merasa tenang beberapa saat. Rileks. Namun tiba-tiba keadaan rileksnya sirna dalam sekejap ketika gelombang itu menjadi ganas dan terasa tengah menarik seluruh isi kepalanya keluar. Rulof refleks berteriak, sembari menahan rasa sakit yang teramat mengganggunya.

    Inikah prosuder pencucian otak itu? Batin Rulof. Legate itu benar, rasanya sakit sekali.

    “Kau sudah mendapatkannya, Jeff?” tanya sebuah sosok tegas.

    “Negatif, pak,” jawab sosok yang tengah bergulat dengan kode-kode komputer. “Tak ada jejak dari rancangan proyek itu,“ lanjutnya.

    “Sial!” geramnya. “Cari lagi! Pastikan tak ada bagian yang terlewat!” perintahnya tegas.

    Sosok yang mengendalikan kode-kode itu makin ganas berkutat dengan keyboardnya. Jarinya dengan lincah menekan tut demi tut keyboard sehingga tercipta beberapa baris kode hanya dalam hitungan detik. Teriakan Rulof makin nyaring dan memekikan telinga ketika otaknya terus dijelajah dengan paksa.

    Peluhnya makin bercucuran. Tubuhnya bergetar hebat. Hampir semua sosok menatap Rulof yang didera sebuah tekanan yang amat menyakitkan.

    Tiba-tiba lampu merah remang padam. Menyisakan kegelapan yang paling membutakan. Teriakan Rulof meredup. Jelas terdengar engahan nafas leganya kemudian.

    “Ada apa?” tanya sebuah suara.

    “Pemadaman otomatis, pak,” jawab suara lain sigap. “Sistem akan langsung padam ketika memorinya sudah dijelajah semua.”

    “Dan kau mendapatkan jejak proyek itu?”

    “Negatif, pak.”

    “Sial!” geram suara itu disusul oleh suara hantaman benda keras ke sebuah benda logam. Kemudian sebuah senter menyala—langsung diarahkan ke wajah Rulof yang tengah terguncang. Cahaya senter itu begitu menyilaukan di tengah-tengah kegelapan yang meringkuknya, membuatnya tak bisa melihat apa-apa.

    “Rulof Handkorfd, atas nama perdamaian, katakan sesuatu tentang proyek sialan itu!” perintah sosok yang menyorot wajah Rulof dengan senter.

    “Proyek? Proyek apa?” tanya Rulof parau seraya memicingkan matanya dan agak merunduk agar menghindar dari sorotan senter.

    Sebuah bogem mendarat di pipi kanan Rulof. “Jangan pura-pura bodoh, *******!” geram sosok itu. “Kuulangi sekali lagi; katakan sesuatu tentang proyek itu!”

    “Akan kukatakan padamu apa yang kau cari,” ujar Rulof tenang dengan darah mengalir lembut di sudut bibirnya.

    ***

    Ernald tengah menancapkan sebuah piringan logam dengan diameter sekitar tiga puluh sentimeter—lebih besar daripada C-024 yang lain. Tangan kurusnya dengan lincah menekan tombol yang ada di piringan itu, kemudian menyetel radionya ke frekuensi yang telah ditentukan agar dapat memicu piringan itu dari jarak jauh.

    “Kau sudah selesai?” tanya Drone #256 yang sejak tadi menunggu Ernald menyelesaikan tugasnya.

    “Sesaat lagi,” balas Ernald. Beberapa detik kemudian ia bangkit dari jongkoknya, kemudian berjalan menghampiri Drone #256 dengan radio detonatornya. “Kau yakin para Clawfear itu tak akan keluar dari sarang mereka?” tanyanya cemas.

    Drone #256 mengangguk. “Itulah sebabnya kita harus menghabisi Clawfear yang tengah berpatrol di luar,” ia melangkahkan kakinya menuju pintu masuk stasiun radio. Ernald mengikutinya dari belakang seraya memasang kupingnya lekat-lekat. “Tanpa koneksi dari luar, mereka tak akan bisa memastikan apakah ledakan yang kusebabkan tadi adalah sebuah serangan atau bencana alam,” Drone #256 memandangi wajah Ernald. Ilmuan muda itu mengerutkan alisnya. “Mereka adalah makhluk terencana dan over-protektif, selalu mementingkan keselamatan kaum dan selalu menunggu kabar sebelum menerjang musuh.”

    “Jadi, C-024 itu—“

    Drone #256 tersenyum. “Ketika para New Lander tiba, dan kita memancing para Clawfear—setidaknya sebagian dari seluruh kawanan akan keluar, maka mereka akan mengira bahwa ledakan tadi adalah serangan, bukannya bencana alam.”

    “Dan mereka akan saling terkoneksi dan menyerbu para New Lander itu?” tanya Ernald dengan wajah puas.

    Drone #256 mengangguk. “Sikap Clawfear terhadap perobos dan penyerang berbeda; jika kau adalah penerobos, maka ada sedikit celah untukmu. Namun, jika kau penyerang, jangan harap bisa lolos sebelum menghabisi seluruh Clawfear.”

    “Kau hebat!” puji Ernald girang. “Apakah ini sebuah tebakan yang beruntung lagi?”

    Drone #256 memandangi dengan tatapan kosong stasiun radio yang kontruksinya masih kuat, namun kondisi permukaannya menyedihkan. “Anggap saja begitu,” jawabnya datar.

    Ernald memandangi pria itu. Sepertinya drone itu tengah bergulat dengan imajinasinya. Bisa dilihat dari tatapannya, kosong. Benaknya tidak fokus akan keberadaan dunia nyata yang tengah ia tapaki, namun tengah mengembara di alam khayalnya—atau memori-memori kelamnya.

    “Memberikan dunia ini sebuah kesempatan, heh?” gumam Drone #256 penuh pertanyaan ketika ia menerawang alam pikirnya.

    Spoiler untuk Chapter 6 :
    “Akan kukatakan padamu apa yang kau cari,” ujar Rulof tenang dengan darah mengalir lembut di sudut bibirnya.

    Sosok-sosok itu menunggu kalimat baru meluncur dari mulut Rulof. Suasana menjadi hening ketika Rulof memberi jeda, membuat sosok-sosok itu bertambah antusias juga penasaran.

    “Aku juga tak tahu,” ujar Rulof gamblang seraya menekuk senyum sinisnya.

    “Sialan!” geram salah satu sosok seraya menghantam pipi Rulof dengan bogemnya. Suara samar rintihan terdengar kala itu juga. “Jangan pura-pura bodoh kau jahanam!” geramnya lagi seraya menghantam Rulof lagi.

    “Aku benar-benar tak tahu,” ujar Rulof di tengah rintihan sakitnya.

    “Omong kosong!” benta sosok itu. “Kau menulis sesuatu pada sebuah jurnal! Memori tentang jurnal itu masih ada pada database kami. Kau menulis sesuatu tentang proyek yang akan memusnahkan dunia ini.”

    “Benarkah? Aku tak ingat? Mungkin itu aku menulisnya beberapa tahun mendatang,” ucap Rulof sembari tetap mempertahankan senyum sinisnya.

    Bogem mendarat di pipi Rulof lagi, semakin nyaring rintihannya.

    “Kau kira kami bodoh? Kami mempunyai bukti dalam ingatanmu!”

    “Kalian baru saja menjelajah memoriku, dan kalian tak mendapatkan apa-apa—apa itu bisa dijadikan bukti?” ucap Rulof dengan nada yang amat merendahkan lawan bicaranya.

    “Maksudnya memori Drone-mu. Memang benar kami menyita ingatanmu dan telah mengembalikannya padamu, namun itu tidak semuanya,” terang sosok lain, suaranya persis seperti yang mengoperasikan komputer tadi.

    “Bukannya mau menyalahkan teorimu itu, bung, tapi aku belum resmi menjadi Drone.”

    “Sudah—kau sudah menjadi Drone,” balas sosok yang lain. “Kau bahkan yang terbaik dari 215 Drone yang lain. Tapi itu di dunia lama. Kau tahu, kau telah membelah dunia ini menjadi dua. Toxinmu, telah memicu munculnya dunia baru—dunia dimana tak ada kekacauan, dan jauh lebih baik daripada dunia lama.”

    “Aku tak tahu bahwa aku sehebat itu,” gumam Rulof sedikit bangga.

    “Ya, dan kami harus membawamu ke masa depan untuk diteliti lebih lanjut,” perintah sosok yang daritada memberi perintah kepada sosok lain.

    “Tapi pak, bukannya itu berbahaya jika mengirimnya ke masa depan dengan tujuan yang berbeda—itu bisa membuat gangguan pada dunia paralel,” cemas sosok lain.

    “Tak apa. Aku memang tak begitu paham tentang teori dunia paralel sialan itu. Tapi, fakta bahwa ketololannya sendiri tentang proyek itu sudah lebih dari cukup untukku untuk mengirimnya ke masa depan.”

    “Aku berharap ini adalah keputusan anda yang paling tepat.”

    “Para Legate telah memberikanku wewenang untuk mengambil keputusan, bahkan jika itu akan merugikan mereka,” balasnya. Ia beralih lawan bicara kepada Rulof. “Baiklah, kami akan kembali ke masa depan, kau bersedia untuk ikut?”

    Rulof mengangguk lemah. “Jika itu artinya aku masih bisa hidup; ya.”

    “Jeff, install Chip itu sekarang; Alex, bersiaplah untuk melakukan time travel lagi. Kau akan melompat pertama, kemudian pasang matamu pada Rulof, ia akan melompat setelahmu.”

    Senter yang menyorot Rulof berpindah, awalnya ke arah sosok yang tengah mengetik komputer sesaat, kemudian ke arah mesin waktu yang mulai memancarkan cahaya biru walau masih redup.

    Rulof berdiri lesu. Dari dalam kegelapan, seseorang memapahnya. Ia memperhatikan sosok yang memapahnya, walau dalam kegelapan rupanya masih bisa dilihat. Mirip sebuah siluet dalam kegelapan. Tak beberapa lama kemudian sebuah sinar biru terang menyeruak, dan dengan sigap Rulof mendapati sebuah lubang antar dimensi yang telah menganga di depannya. Dalam angannya ia sadar telah terlepas dari kematian, dan ia pun sadar ia masih memiliki waktu untuk mengungkap tabir misteri di kehidupannya. “Kau mencari sesuatu tentang proyek, kata sandi apa yang kau gunakan dalam proses pencarianmu?” tanya Rulof kepada Jeff, sosok yang mengendalikan komputer sedari tadi.

    “Kata-kata yang kau tulis dalam jurnalmu,” jawab Jeff.

    “Bagaimana jika aku hanya mengingat sebuah kata, proyek misalnya?” tanya Rulof lagi seraya mendekat perlahan ke lubang antar dimensi itu.

    “Itu tidak masuk ke dalam hitungan—terlalu umum.”

    “Atau bagaimana jika di dunia baru ini ingatanku tentang proyek itu lenyap, apa itu tidak masuk dalam hitungan juga?”

    “Ya, tapi kemungkinannya hampir mustahil,” jawab Alex.

    Rulof memandangi sosok yang menjawab pertanyaannya barusan—orang yang memapahnya. “Hampir mustahil berarti tidak mungkin, kan?”

    “Apa maksudmu?” tanya sosok yang sedari tadi memerintah dengan nada tinggi.

    “Aku pernah mengingat sesuatu tentang proyek—mungkin aku bisa menggali informasi dari masa lalu,” jawab Rulof.

    Sosok itu terdiam sesaat, menimbang-nimbang sesuatu. “Baiklah, masa yang mana yang ingin kau jelajahi?” tanyanya.

    Senyum simpul Rulof mengembang. “Lima belas tahun yang lalu.”

    ***
    Pria setengah baya dengan tubuh kurus kerempeng dan mata cyborg itu tengah duduk menanti sesuatu. Beberapa orang pria dan wanita tengah memeriksa laju frekuensi dan juga gelombang-gelombang radio yang melintas.

    Suara gema radio mengembang di sana-sini. Obrolan hangat, musik klasik, komedi, pidato politis, dan lain sebagainya. Tak ada yang menarik perhatian sang penguasa, sampai sebuah suara panggilan terdengar.

    “Drone #216, aku sedang mencarimu,” ujar suara distorsi dari speaker radio.

    Sekejap suara radio lain meredup.

    Seorang perwira dengan seragam biru—seragam New Land mendekat ke arah Rulof dengan membawa sebuah mikrofon. “Kau Drone #256?”

    “Ya.”

    “Aku sudah lama menunggumu,” ujar Rulof seraya mengembang senyumnya.

    PART 3 - END
    Spoiler untuk Chapter 7 :
    Rulof menyandar di sebuah pohon rindang. Sepasang mata mengawasinya, sedang dirinya mengawasi lubang antar dimensi yang menganga di dekatnya.

    Sebuah sosok hitam muncul, di susul oleh sosok lain yang sama persis.

    Dalam rangka menunggu kondisi Rulof memulih, mereka mengobrol sesaat sembari duduk tegak dan santai. Dan mereka pun cepat akrab dengan sesama. Walau sosok mereka sama persis, namun Rulof mampu mengenali mereka dari karakteristik suara mereka. Yang pertama adalah Jeff, suaranya rendah dan terkesan intelektual. Yang kedua, Alex, terdengar muda namun kasar nadanya. Dan terakhir adalah Kapten James, pria yang memimpin regu kecil-kecilan itu, suaranya bijak dan tegas.

    Kapten James bangkit. “Baiklah, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

    Rulof menengadah menatap Kapten James. Kemudian ia menunjuk sebuah rumah megah dan besar di kejauhan.

    “Rumahmu?” tanya Alex.

    Rulof menangguk cepat. “Ya.”

    “Cepatlah,” perintah Kapten James, “kami tak memiliki banyak waktu.”

    Rulof bangkit. Ia berjalan sebentar ke arah rumah itu. Ia berbalik ketika tidak mendapati suara derapan langkah kaki lainnya. “Kalian tidak ikut?”

    Kapten James menggeleng, kemudian memandangi bawahannya sesaat dan berbalik lagi ke Rulof. “Kami tak bisa, para Legate melarang kami untuk itu.”

    Rulof mengerutkan alisnya. Mendesak Kapten James untuk menyemburkan informasi lebih lanjut.

    “Dunia paralel,” Jeff menjawab kebingungan Rulof dengan nada yang sangat intelek. “Jika kami menunjukkan sosok kami kepada orang lain di masa lalu, kemungkinan akan mengubah masa depan dan akan menciptakan dunia baru.”

    Rulof mengangguk mengerti. “Jadi itu yang membuat kalian harus membunuh para ilmuan itu?”

    Kapten James mengangguk, begitu juga dengan Jeff.

    “Lalu bagaimana denganku? Apa aku yang telah melihat kalian akan mengubah masa lalu?”

    “Itulah sebabnya kami membawa ini,” ucap Jeff sembari mengeluarkan sebuah benda furturistik asing dari dalam kantong di sabuknya. “Benda ini adalah penghapus ingatan portable, namun unit ini terbatas sekali dan kami hanya diizinkan untuk membawa satu dan hanya untukmu saja.”

    “Kalian akan menghapus ingatanku setelah mengorek informasi dariku, bukankah begitu?”

    Kapten James mengangguk. “Maafkan kami, tapi itu adalah satu-satunya jalan untuk tidak mengganggu dunia paralel.”

    Rulof merunduk sesaat sembari menimbang-nimbang sesuatu. Ia kemudian memandangi Kapten James dengan lengsungan senyum di wajahnya. “Aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan.”

    Rulof berbalik lagi dan berjalan pelan ke arah rumah itu. Beberapa detik kemudian Kapten James berteriak hanya untuk memastikan Rulof mendengar kata-katanya. “Ingatlah, kau tidak boleh membocorkan identitasmu.”

    Rulof hanya mengangkat tangan kanannya dan memamerkan jempolnya tanpa berbalik satu derajat sekalipun.

    ***

    “Drone #216, kau menggunakan kekuatanmu sebagai penguasa New Land untuk membuat sebuah proyek yang bahkan para ilmuanmu sendiri tak paham dengan logikanya,” suara distorsi menyeruak dari dalam speaker.

    Rulof tersenyum di balik mikroponnya. “Mereka hanyalah semut kecil yang harus bekerja untuk ratunya. Tak peduli apakah mereka setuju atau tidak, tapi mereka harus patuh padaku.”

    “Aku ingin tahu tentang proyek itu, jelaskan!”

    Senyum Rulof makin jelas. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Anggaplah ini sebagai hadiahku karena kau sudah sejauh ini. Asal kau tahu saja, proyek itu berhubungan dengan dunia lama, ledakan, dan kehancuran,” ujarnya disusul tawa sinisnya.

    Spoiler untuk Chapter 8 :
    “Hei, diam di situ!” perintah seorang pria berseragam dengan postur tubuh tegap.

    Rulof menghentikan langkahnya, hampir sampai ke pintu gerbang yang tinggi dan kemegahannya mampu membuat orang-orang berdecak kagum.

    “Jelaskan urusanmu!”

    “Aku di sini ingin bertemu dengan Rulof,” ujar Rulof menyebut dirinya sendiri.

    Tiga penjaga yang menjaga pintu gerbang saling memandangi satu sama lain. Ada yang aneh menurut mereka.

    “Di sini tak ada yang bernama Rulof, kau sudah salah rumah rupanya,” balas seorang penjaga.

    “Jangan konyol,” ucap Rulof. “Aku tahu Rulof adalah anak yang tengah melukis itu,” lanjutnya seraya menunjuk dirinya yang masih kecil tengah melukis di atas kanvas melewati jeruji pagar.

    Ketiga penjaga itu menoleh untuk memandangi sosok Rulof kecil. Bahkan mereka bertiga tak mampu membedakan Rulof kecil dan Hadgolf kecil.

    “Bagaimana?” bisik seorang penjaga ke kedua rekannya.

    “Sebaiknya kita minta izin ke tuan besar dulu, siapa tahu ini sangat penting,” balas seorang penjaga berbisik. Ia kemudian memandang ke arah Rulof. “Kau tunggulah di situ, jangan bergerak,” ucapnya seraya membuka gerbang dan berjalan ke arah majikannya.

    Belum sampai penjaga itu menghampiri majikannya, Rulof terus memandangi Hadgolf kecil. Mungkin itulah terakhir kalinya ia melihat kakaknya. Entah mengapa timbul sebuah penyesalan terhadap kakaknya, ia tak tega membunuhnya, namun tak ingin mati di tangan kakaknya. Sebuah pilihan yang amat sulit baginya, ingin ia berbincang dengan Hadgolf untuk memperbaiki hubungannya, namun ia tak bisa. Ia malah akan menciptakan dunia baru dengan itu—walaupun ia tahu bahwa hal itu hanya teori belaka. Namun ia tak bisa memungkiri keberadaan dunia lama, juga dunia baru. Ia sekarang harus berhati-hati, tak ingin membuat langkah semberono.

    Mata Rulof berbinar-binar ketika Hadgolf kecil merusak puzzlenya yang berbentuk miniatur gedung itu. Ayahnya menghampiri Hadgolf kecil, dan kemudian membentak Hadgolf dengan nada tinggi.

    “Lakukanlah, Had, jangan membuat semua ini menjadi rumit,” gumam Rulof ketika memandang Hadgolf lekat-lekat.

    Kedua penjaga yang mengawasinya bingung ketika mendengar gumaman Rulof. Mereka kemudian menoleh kepada Hadgolf yang tengah kalap. Pada saat itu juga Rulof menerobos barikade dua penjaga, melesat dengan kencang masuk ke dalam perkarangan.

    Kedua penjaga itu sontak mengejar Rulof. Tubuh yang lebih ringan mengizinkan Rulof untuk berlari lebih kencang. Beberapa penjaga yang melihatnya ikut mengejar Rulof, namun tak ada yang berhasil menyaingi kecepatannya.

    Seorang penjaga lain yang tadinya hendak melapor ke majikannya berbalik ketika melihat Rulof berlari ke arahnya. Dengan sigap ia bergerak untuk mencegat Rulof, dan berhasil mengekangnya.

    “Lepaskan aku!” seru Rulof sembari memberontak sekuat tenaganya. Namun tubuh tegap pria yang mengekangnya tak mudah untuk ditaklukan.

    Sejenak mata Rulof bertemu dengan mata dirinya yang masih kecil. Berontakan Rulof melonggar ketika ia berkata, “Rulof, katakan sesuatu tentang proyek itu nak, sekali saja,” pintanya lembut dengan mata berbinar-binar.

    Rulof kecil menggeleng. Ia tak tahu apa-apa tentang proyek yang dikatakan oleh Rulof dewasa. Rulof putus harapan, pasrah.

    “Kau pasti pemberontak,” tebak ayah Rulof—tuan Handkorfd. “Kau tak akan mendapatkan sebutir pun keistimewaan anakku!” geramnya congkak.

    “Kalau begitu pergilah dari sini!” pinta Rulof sembari kembali memberontak dari kekangan penjaga rumah. “Selamatkan dirimu sebelum aliansi menghianati dan membakar tubuhmu tanpa sisa!”

    Tuan Handkorfd makin geram. Dalam angannya ia tak mempercayai sebutirpun kata dari ucapan Rulof. “Usir ******* ini dari rumahku!” perintah Tuan Handkorfd kepada penjaganya seraya mendengus sesaat kemudian menghampiri Rulof kecil.

    Rulof makin memberontak hendak melepaskan kekangan penjaga itu, sembari memandangi ayahnya menuntun Rulof kecil masuk ke rumah. Semakin banyak penjaga yang mengekang tubuhnya, membuatnya tak mampu berkutik lagi dan akhirnya ia diseret paksa untuk meninggalkan rumah itu.

    Tubuh Rulof menghantam tanah ketika tubuhnya dilempar begitu saja oleh beberapa penjaga berutbuh tegap. Sempat ia berguling sesaat, kemudian bangit sembari menepuk bajunya hendak menghilangkan debu tanah yang menempel.

    “Pergilah dari sini, dan jangan kembali,” seru salah seorang penjaga.

    Rulof menatapnya tajam dan dingin.

    “Sebaiknya ikuti saja perkataannya,” ujar penjaga lain.

    Sebelum Rulof berbalik, ia mendapati sosok kecil Hadgolf yang tengah menatapnya dengan mata berbinar-binar dari balik jeruji pagar. Hadgolf menatapnya lagi dengan sorotan mata itu—sorotan mata yang masih menjadi misteri bagi Rulof. Kini, keadaan berbeda. Rulof sudah tahu ekspresi apa yang seharusnya ia pertunjukkan untuk kakak kembarnya itu—sebuah senyum tulus seorang saudara.

    Hadgolf kecil membalas senyum Rulof, membuat hati Rulof menjadi nyaman. Tak pernah sekalipun ia mendapatkan senyum dari Hadgolf, dan tak pernah sekalipun ia memberi senyum kepada Hadgolf.

    Perlahan dan kaku Hadgolf mengangkat telapak tangan kanannya, kemudian melambai kaku ke arah Rulof. Rulof makin mempertegas senyumnya, kemudian membalas lambaian tangan kakak kembarnya. Ia langsung berlalu ketika mendapat teguran dari seorang penjaga rumah.

    ***
    Malam itu Rulof kecil tak bisa tidur. Ia berusaha menghapus kata-kata pria itu dari dalam benaknya—begitulah yang diminta oleh ayahnya. Ia menurut saja, karena menganggap ayahnyalah yang paling benar kala itu.

    Suara bising di kamarnya makin membuat Rulof tak bisa melompat ke alam mimpi. Ia memperjelas pejaman matanya demi menghapus bisingan itu dari benaknya. Perlahan angin malam menyapanya lembut dan dingin, menampar wajahnya dengan telak. Ia terjaga kembali, membuka matanya. Dengan cepat ia sadari dalam keadaan remang Hadgolf sudah tidak ada di ranjangnya, juga sepreinya, sudah menjadi tali yang terhubung ke luar jendela—terikat pada salah satu kaki ranjangnya.

    Rulof langsung bangkit dari tidurnya ketika mendapati jendela kamarnya terbuka. Pastilah ulah Hadgolf, bisik Rulof kecil dalam hati. Ia berlari kecil menonjolkan kepalanya keluar jendela, dan mendapati tubuh kecil Hadgolf tengah menggantung di tali dadakan yang dibuat dari ikatan seprei. Kakak kembarnya hendak turun dari kamarnya di lantai tiga, dan cepat kakaknya menyadari keberadaan Rulof yang memandanginya.

    “Turunlah!” perintah Hadgolf berbisik. “Ikutlah jika kau tidak ingin terbakar!”

    Rulof kecil menganga. Apakah Hadgolf mempercayai perkataan pria itu?

    Sekali lagi Hadgolf memerintah Rulof, dan kali ini Rulof menurut dan segera mencondongkan tubuhnya keluar jendela, mencengkram kuat-kuat tali seprei itu dan perlahan menurunkan tubuhnya ke bawah.

    Hadgolf telah menunggunya di bawah. Sebenarnya Rulof sangat takut kala itu, namun Hadgolf memberinya semangat untuk tidak melihat ke bawah.

    Akhirnya Rulof mampu juga. Dengan cepat Hadgolf menarik tangannya untuk menukik masuk ke dalam semak-semak yang ada di perkarangannya.

    Suasana hening dan sunyi senyap. Membawakan penderitaan batin akan ketakutan yang menggetarkan sanubari. Jantung Rulof kecil berdegup ketika Hadgolf nampak awas mengawasi keadaan. Rulof tahu nukan penjaga yang Hadgolf takutkan, tapi apa?

    “Mereka sedang menunggu di luar, aku melihatnya!” bisik Hadgolf kepada Rulof kecil.

    “Mereka, mereka siapa?” tanya Rulof kecil dengan jantung yang makin berdebar-debar. Suasana dingin yang mencekam tak mengizinkan peluh keluar dari tubuhnya.

    “Aliansi!” bisik Hadgolf hati-hati. “Pria itu benar, aku melihat mereka membunuh penjaga satu per satu, mereka akan membakar rumah kita!”

    Rulof tersentak, ia tak kuasa menguasai ketakutannya. Ia tak mampu berkata lagi.

    “Sepertinya sisi sebalah sana aman,” ujar Hadgolf dengan nada rendah. “Ikuti aku dan berjalan merunduklah, dan bersiap untuk memanjat pagar,” lanjutnya.

    ***
    Paginya, dua anak kembar berdiri dengan kakunya. Meratapi rumah serta keluarga mereka yang sudah menjadi abu karena terlalap api semalaman dari kejauhan.

    Hadgolf yang tadinya berdiri di belakang Rulof melangkah menghampiri Rulof. Setelah mereka sejajar—sama-sama menatap rumah yang hangus terbakar, Hadgolf mendesah sebentar seraya berkata, “dunia telah memberikan kita kesempatan, namun kita telah gagal menjalaninya.”

    “Tidak, Had, ini bukan kesempatan, tapi ini takdir,” Rulof kecil memandangi Hadgolf dengan mata berbinar-binar. “Inilah perang, Had. Dan perang membutuhkan pengorbanan, pengorbanan dari kita.”

    Hadgolf kecil membalas tatapan Rulof. “Kau salah. Sudah berapa kali kita diberi kesempatan oleh dunia ini. Kehidupan hanyalah sebuah kesempatan. Kau berhasil, maka hidup terus. Kau gagal, maka kau akan mati.”

    “Sepertinya kita tidak pernah sependapat,” ujar Rulof.

    “Ya. Menurutmu orang tua yang terbakar di sana adalah keluarga, tapi menurutku ia adalah sampah!” geram Hadgolf seraya berbalik pergi.

    Rulof kecil memandangi punggung Hadgolf sesaat. “Mau kemana kau?”

    Hadgolf berbalik menghadap Rulof. “Aku akan mengambil jalanku sendiri. Jangan kau hadang aku! Aku bosan dunia ini memberikanku sebuah kesempatan. Kini, giliranku untuk memberikan dunia ini sebuah kesempatan!” ujarnya seraya berlalu kembali.

    Rulof kecil memandangi punggung Hadgolf ketika ia pergi. Mereka kembar, namun serasa tak ada ikatan dalam diri mereka. Alam pikir mereka saling bertentangan, mustahil untuk di satukan.

    Tanpa sengaja Rulof kecil bergumam, namun cepat ia tangkis gumaman itu dari dalam benaknya.

    ***
    Rulof berjalan dengan mata berkaca-kaca serta pipi yang basah. Dari kejauhan ia melihat tiga sosok hitam yang menunggunya, bersembunyi dengan sempurna di balik pepohonan.

    Ia mengusap air matanya sebelum menyapa ketiga sosok itu.

    “Apa kau berhasil?” tanya Kapten James.

    Rulof menggeleng. Nampak jelas matanya yang masih berkaca-kaca.

    “Maafkan kami, tapi sepertinya kau gagal dan harus ikut kami untuk memeriksa memorimu lebih lanjut.”

    “Tidak,” ujar Rulof. “Aku belum gagal,” lanjutnya.

    “Apa maksudmu?” tanya Alex.

    “Bagaimana jika kita menjelajah waktu ke tiga ratus tahun mendatang? Kemana kita akan mendarat?” tanyanya.

    “Coba lihat, kita ada di dunia netral, jika ke masa depan, maka kita akan terjebak di dunia lama. Itulah sebabnya kita harus menunggu dunia baru terjadi sebelum kita kembali ke masa depan,” jawab Jeff.

    “Kalau begitu kirim aku ke dunia lama, aku yang akan membereskan semuanya,” pinta Rulof.

    Jeff dan Alex memandangi atasan mereka yang tengah menimbang keputusannya.

    “Kita semua di sini bukanlah Dewa atau Tuhan yang bisa seenaknya memainkan waktu dan bermain dengan dunia paralel, tapi kuyakin tidak ada jalan lain selain mengirimku ke dunia lama. Hanya aku sendiri yang bisa menggagalkan apa yang telah kubuat,” desak Rulof.

    “Darimana kami tahu kau tidak akan berhianat?” tanya Kapten James.

    “Dua Rulof tak akan bisa hidup berdampingan, akan kupastikan itu,” jawab Rulof.

    Kapten James tertegun sesaat, kemudian ia menghadap ke Jeff. “Siapkan mesin waktu portable itu,” perintah Kapten James.

    Rulof tersenyum ketika melihat Jeff merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan sebuah benda asing kembali dari dalam kantong yang menempel di sabuknya.

    “Biasanya kami memberikan sedikit jejak kepada para Drone tentang identitas mereka, itu berguna agar mereka tak memusingkan identitas mereka ketika baru saja di cuci otaknya, tapi sepertinya kau berbeda, kami tak akan mencuci otakmu. Bersiaplah, Rulof,” ujar Kapten James.

    Rulof mengangguk, kemudian mendekati sebuah lubang antar dimensi yang memancarkan cahaya biru terang yang baru saja di buka oleh Jeff.

    Dalam langkahnya Rulof terus merenung, dan tanpa sengaja ia bergumam, “memberikan dunia ini sebuah kesempatan, heh?”

    Alex mencegahnya melompat sembari mengulurkan sebuah kalung.

    “Apa ini?” tanya Rulof.

    “Kalung Dronemu, sebaiknya gunakanlah itu. Aku mengambilnya dari lab sebelum kita melompat ke masa ini,” balas Alex tersenyum.

    Spoiler untuk Chapter 9 :
    “Memberikan dunia ini sebuah kesempatan, heh?” tanya Drone #256 lewat mikroponnya. Gelombang suaranya berubah menjadi gelombang radio yang menyeruak ke seluruh daratan dunia lama.

    Ernald terus memandangi jendela, terlihat dengan jelas hamparan tanah kering kerontang dari atas sana. Ilmuan muda itu sudah siap dengan detonator C-024nya jikalau ada New Lander yang terlihat hendak menerobos masuk ke stasiun radio.

    “Sudah kuduga itu kau,” balas suara distorsi dari dalam speaker.

    Drone #256 terkikik. “Lupakanlah semua ini, Had, ini konyol.”

    “Tidak, tidak, tidak. Ini tidak konyol, Rulof, kau harus belajar semua itu. Sekarang giliranku memberikan dunia ini sebuah kesempatan,” jawab suara Drone #216 dari dalam speaker.

    Ernald tersontak ketika mendengar penguasa New Land itu menyebut Drone #256 sebagai Rulof. Benarkah ia Rulof?

    “Kita tidak pernah sama Had, sejak dulu,” balas Rulof—Drone #256.

    “Sudah kukatakan agar jangan menghalangiku, aku sudah menempuh jalanku sendiri, dan aku juga sudah pernah membunuhmu dulu.”

    “Di dunia lama, kau berhasil membunuhku,” ujar Rulof. “Namun di dunia baru, akulah yang membunuhmu.”

    “Itu menjelaskan mengapa kau ada di sini,” balas suara Hadgolf dari dalam speaker.

    “Dan jelaskan mengapa kau ada di sini,” desak Rulof.

    “Aku berhasil menjawab panggilanku, berhasil mengungguli setiap kesempatan yang diberikan dunia kepadaku. Setelah kita berpisah, bertahun-tahun aku merenungi perkataan pria yang mencarimu dulu. Perkataannya, telah mengilhamiku untuk membuat rancangan sebuah proyek, sebuah proyek yang tak akan bisa digagalkan oleh siapapun. Ayah benar, tak kan ada orang yang berhasil mendapatkan keistimewaan anaknya, namun tak berarti anaknya menggunakan keistimewaan mereka untuk menghancurkan dunia, iyakan?”

    Rulof mendengus.

    “Bertahun-tahun aku merancang cetak birunya—menyimpannya lekat-lekat dalam benakku, dan juga terus mengingat wajah pria itu. Hingga kusadari pria itu sangat mirip denganku. Ya, sangat mirip, dan aku pun menyadari pria itu adalah dirimu,” ujar Hadgolf. “Entah mengapa dirimu bisa muncul di masa itu, namun itu memberikanku sebuah ide brilian ketika mendengar proyek Drone, jadi aku membunuhmu dan menyamar menjadimu. Dan kau tahulah selanjutnya, aku divonis hukuman mati tetapi para Legate sialan itu mengirimku untuk mencari Toxin. Aku memberikan apa yang mereka inginkan dan mereka memberikan apa yang aku inginkan—ingatanku beserta seluruh rancangan proyek itu.”

    Rulof masih terdiam, menunggu Hadgolf melanjutkan kisahnya.

    “Legate yang mendatangiku girang ketika mendapatkan Toxin, namun tak lama. Setelah ia mengirimkan gelombang ke masa lalu, aku langsung membunuhnya. Masa bodoh dengan dunia baru, aku akan menghancurkan apa yang mereka buang—dunia lama.”

    “Jadi, penduduk dunia lama mempercayakan dunia mereka kepada ******** yang akan memusnahkan mereka?” tanya Rulof dengan nada melecehkan.

    “Kau benar, adikku.”

    “Kalau begitu tak akan kubiarkan penghianat sepertimu menyelesaikan proyek itu, akan kugagalkan apa yang telah kau mulai.”

    “Dengan siapa, bocah ingusan yang kabur dari perserikatan ilmuanku itu?”

    Rulof memandangi Ernald yang tengah memandang lekat keluar jendela. Sepertinya para tamu mereka telah datang, sebab suara ricuh tembakan dan lengkingan teriakan Clawfear menggema dari luar.

    “Takdir mungkin mengizinkan masa berubah, namun kau harus ingat ini, Had, takdir tak pernah mengizinkan perang berubah,” ucap Rulof dengan nada datar.



    Spoiler untuk EPILOGUE :
    Seorang pria berbaju zirah menghadap ke Hadgolf, penguasa New Land. Walau telah mengetahui bahwa mereka telah ditipu, namun mereka masih tetap setia kepada Hadgolf, sebab kekuasaannya adalah hal yang absolut dan tak bisa begitu saja mereka membelot. Sebab, hukum penguasa sama derajatnya dengan hukum alam bagi mereka--tak pantas untuk dihianati.

    “Tuan Hadgolf,” ujar pria itu agak canggung mengucap nama yang baru saja diubah. “Dua pos di area 34 di serang oleh para bandit.”

    “Mengapa mereka menyerang kita? Bukankah kita telah mengadakan perjanjian damai dengan mereka?” geram Hadgolf.

    Pria berbaju zirah itu terdiam sejenak. “Aku tahu, tuan. Tapi kabar dari intel kita juga mengatakan bahwa mereka tengah bersiap-siap untuk menyerang pos-pos lainnya. Dan kami telah mengambil kesimpulan bahwa mereka mencoba menggagalkan proyek kita, sebab pos-pos tersebut merupakan jalur transportasi material untuk proyek kita.”

    “Aku ingin tahu nama kelompok bandit itu,” geram Hadgolf.

    “Itulah yang saya khawatirkan tuan. Setiap nama dan lambang bandit di seluruh dunia lama dicoret dan diganti oleh lambang ‘Dust Rebels’.”

    “Dust Rebels? Bukankah mereka gabungan dari beberapa kelompok bandit yang menggagalkan penyergapan kita di stasiun radio itu?”

    “Benar, tuan. Kami menduga para bandit itu bergabung dengan Rulof, dan parahnya, seluruh bandit di dunia lama juga menggabungkan kekuatan dengan mereka.”

    Hadgolf mendengus. “Jika Rulof telah mendapatkan kekuatannya, maka kita harus menggagalkannya sebelum ia bertambah kuat! Bunuh dia, aku tak peduli dengan para bandit pengikutnya, pastikan Rulof menjadi prioritas pertama kita!” perintah Hadgolf.

    Pria berbaju zirah itu mengundurkan diri, meninggalkan Hadgolf menyendiri di ruangannya.

    Tak henti-hentinya Hadgolf mendengus. Ia geram, usahanya kini mendapat benturan yang cukup serius. Kemudian ia tertegun sesaat, seraya tak sengaja bergumam, “perang, membutuhkan pengorbanan kita.”


    STATUS: Complete
    Last edited by NodiX; 10-06-12 at 05:35.

    INFP / Enneagram 4w5
    What exactly is a dream? And what exactly is a joke?

  2. Hot Ad

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •