Results 1 to 4 of 4
http://idgs.in/549416
  1. #1
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default [Mini Series] Thera ~miracle of blue planet~ [Finished]

    Thera ~miracle of blue planet~




    Author: LunarCrusade
    Copyright ©2012 - f399 IDGS Forum
    Genre: Romance, Science Fiction



    --------------------------------------------

    Contents:
    • Sequence 1: Sky ~night of meteor shower~
    • Sequence 2: Girl ~encounter of mystery~
    • Sequence 3: Landworker ~gift of nature~
    • Sequence 4: Emptiness ~early days of a planet~
    • Sequence 5: Lifebringer ~last wish of earth~
    • Sequence 6: Catastrophe ~instability of the heart~
    • Sequence 7: Terra ~little planet of love~


    --------------------------------------------


    Spoiler untuk Sequence 1 :


    ==================================
    Sequence 1: Sky ~night of meteor shower~
    ==================================





    “Hujan meteor akan berlangsung selama beberapa hari ke depan dengan intensitas kecil hingga sedang. Diharap para penduduk agar berhati-hati.”

    Kumatikan televisi holografikku, yang sejak beberapa menit lalu menyiarkan berita mengenai adanya hujan meteor. Tidak begitu besar dan tidak membahayakan, namun tetaplah semuanya harus berhati-hati. Tidak ada yang mau tertimpa pecahan batu meteor dan menyebabkan benjolan di kepala.

    Hmm…mungkin aku akan mengamatinya nanti malam. Pastilah langit akan lebih semarak dengan kehadiran hujan meteor itu.

    Malampun tiba, ditandai dengan munculnya satelit alami planet ini di langit. Dinamai Selene, sebuah objek angkasa berbentuk seperti bola, dengan besar sekitar 1/6 diameter planet ini, Terra.

    Terra…aku jadi ingat pelajaran sejarah saat sekolah dulu.




    700 tahun yang lalu, manusia hanya punya satu planet sebagai tempat tinggal: Bumi. Letaknya ratusan tahun cahaya dari sini, dan sekarang sudah tidak lagi berpenghuni. Yang tersisa hanyalah bongkahan batu raksasa, melayang di urutan orbit ketiga dari Sol. Untunglah sebelum planet itu tidak lagi bisa dihuni, manusia sudah berusaha untuk mengubah planet-planet lain ---prosesnya disebut dengan terraforming---, agar bisa dihuni.

    Namun…bukan berarti semuanya berjalan tanpa masalah.

    Banyak diantaranya yang gagal dan memakan korban jiwa, mengakibatkan populasi manusia di alam semesta tidak lagi bisa dihitung secara pasti. Dihajar badai asteroid saat perjalanan ke planet tujuan, lubang hitam yang tiba-tiba muncul, tersesat akibat sistem navigasi yang rusak diterjang badai kosmik, hingga kegagalan saat terraforming, membuat manusia yang tersebar di seluruh jagat raya tidak lagi berusaha terlalu keras untuk mengubah planet tertentu menjadi habitatnya.

    Salah satu diantara yang berhasil adalah planet ini, Terra, yang dinamai sesuai nama dewi Bumi dalam salah satu mitologi orang-orang Bumi pada masa lalu. Yah, meski tidak bisa dikatakan 100% berhasil. Kehidupan di planet ini masih harus ditopang oleh 2 buah menara raksasa, menjulang hingga ketinggian 15 kilometer, yang ditaruh di masing-masing kutub. Fungsinya adalah menjaga agar kondisi atmosfer planet ini tetap stabil. Meski memiliki kemampuan yang luar biasa, keduanya sangatlah rapuh. Sedikit saja terjadi gangguan pada sistem komputer di dalam menara tersebut, cuaca akan berubah kacau.

    Entah apa yang menyebabkan Terra dan planet-planet lainnya menjadi sulit diubah…




    Suara pasir yang bergesekan dengan kaki mewarnai setiap langkahku sejak keluar rumah. Rumahku berada di pinggir pantai, dengan hamparan pasir putih dan lautan luas sebagai halaman depan rumah. Hiruk pikuk perkotaan tidak terasa di tempat ini. Hening, tenang, dan damai.

    Kilauan bintang-bintang di langit nampak jelas dari pantai tempatku berdiri. Keberadaan mereka seakan ingin menemani Selene, tidak tega melihatnya sendirian di langit. Sesekali terasa angin sejuk yang datang dari arah belakang, berhembus ke laut lepas. Beberapa kali aku menarik dan menghembuskan nafas, menikmati udara pantai yang tidak begitu dingin ini.

    Kurebahkan tubuhku di atas pasir, lalu memandang ke arah langit malam. Ombaknya tenang malam ini, sehingga aku tidak perlu khawatir berada di pantai berlama-lama. Perlahan mataku mulai memperhatikan setiap sudut langit, mengawasi seandainya apakah ada satu atau dua meteor yang terlihat.

    Satu.

    Jejak cahayanya tertangkap oleh kedua mataku. Cepat. Dalam sekejap sudah menghilang di antara bintang-bintang.

    Dua.

    Satu lagi melintas di langit, kali ini seakan datang dari arah Selene. Meski aku tahu, partikel-partikel kosmik itu pastilah berasal dari tempat lain entah di mana.

    Tiga.

    Melihat yang ketiga, aku jadi ingat sesuatu, mitos dari orang-orang Bumi. Jika ada bintang jatuh ---yang sebenarnya adalah meteor jatuh--- dan kamu mengucapkan keinginanmu ketika melihatnya, maka keinginanmu itu akan terwujud.

    Apa benar…?

    Ah, tidak ada salahnya mencoba. Terwujud atau tidak, itu urusan belakangan.

    Empat.

    Argh, cepat sekali?! Aku belum sempat memikirkan apa yang kuinginkan!!

    Tenang, tenang. Pikiranku harus lebih jernih. Kutarik nafas dalam-dalam, dan mendapati satu buah lagi melintas.

    Lima.

    “Aku ingin seorang yang bisa mengisi hatiku.”, kuucapkan itu dengan cepat.




    Selama 19 tahun menjadi seorang lelaki yang kesepian, hanya itu yang kuharapkan. Ya, itulah yang paling kuinginkan saat ini. Aku tidak menginginkan yang macam-macam, cukup seorang perempuan yang mampu mengisi hari-hariku dengan penuh warna.


    Spoiler untuk Sequence 2 :


    =================================
    Sequence 2: Girl ~encounter of mystery~
    =================================






    Yang kemarin malam benar-benar memuaskan. Awalnya memang hanya dalam jumlah sedikit, namun seiring berjalannya waktu, jalur-jalur meteor yang bercahaya di langit karena terbakar atmosfer menjadi semakin banyak. Langit malam pun menjadi lebih meriah dengan adanya hujan meteor itu.

    Dan sekarang, pagi hari. Bintang terdekat dari planet ini, Helion Delta, telah terbit. Orang-orang Bumi di masa lalu selalu menyebut Sol, bintang terdekat dari planet mereka, dengan sebutan “matahari”. Kebiasaan itu juga diikuti oleh manusia-manusia di seluruh jagat raya. Dan yang mendapat sebutan “matahari” untuk tata surya ini adalah Helion Delta.




    Cahayanya yang hangat merasuk ke rumahku, ke kamarku. Akupun terbangun.

    Seperti biasa, aku selalu keluar rumah sejenak pada pagi hari. Sekedar menikmati udara laut yang hangat untuk beberapa belas menit, menyegarkan tubuh dan pikiranku.

    Kubuka pintu depan, dan…

    Apa…itu? Manusiakah?!

    Sesosok tubuh tergeletak telungkup di tepi pantai, sesekali air laut bergerak menyapu tubuhnya. Makin dekat aku berjalan ke arahnya, makin jelas kalau dia…

    …perempuan?

    Apa ini hasil dari harapanku kemarin malam?! Tidak, tidak. Ini terlalu kebetulan dan tidak masuk akal. Aku lebih berharap sebuah pertemuan yang normal.

    Dia hanya mengenakan one piece long dress putih, basah kuyup oleh air laut. Tidak ada alas kaki, tidak ada ornamen yang menghiasi rambut coklatnya yang panjang itu. Kucoba membangunkannya beberapa kali, namun tidak ada hasil. Matanya tetap terpejam. Walau begitu, nadinya masih terasa berdetak saat kutaruh jariku di pergelangan tangannya. Baiklah, akan kubawa dia ke dalam saja.

    Kuangkat tubuhnya di depan, princess carry. Tidak begitu berat, mungkin hanya sekitar 40-an kilogram. Kurasa usianya sekitar 15 atau 16 tahun. Kuperhatikan juga dirinya lebih detail saat menggendongnya. Kulitnya putih mulus, terlihat sehat. Bibir kecilnya tidak terlihat pucat, normal-normal saja. Aneh, seakan suhu air laut yang dingin itu tidak mempengaruhi aliran darahnya. Helaian rambut coklat panjangnya yang mengenai lenganku juga terasa lembut. Tingginya biasa-biasa saja, mungkin sedikit lebih tinggi dari bahuku kalau berdiri. Tubuhnya…ups. Dia tidak mengenakan apapun di dalamnya?! Bajunya agak transparan karena basah. Maaf, gadis asing. Bukan maksudku untuk melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.

    Kubaringkan dia di sofa ruang tamu. Ah benar, aku harus menghangatkan tubuhnya. Segera kupanggil alat pemanas yang kupunya, dapat dikendalikan dengan suara pemiliknya. Bentuknya seperti balok dengan tinggi 1 meter, serta panjang dan lebar sekitar 30 sentimeter. Bergeraknya juga tidak menyentuh tanah, melayang. Begitu tiba tidak jauh dari perempuan itu, kuperintahkan alat itu untuk menghembuskan udara hangat sekitar 30 derajat Celcius.

    Sebenarnya aku kasihan melihat bajunya yang basah itu, tapi…aku tidak berani menggantinya. Baiklah, kuperintahkan saja pemanas itu untuk menaikkan suhunya, hingga 35 derajat. Mudah-mudahan pakaiannya akan cepat kering. Sementara itu, aku akan membuatkan sesuatu yang hangat untuknya. Secangkir coklat hangat sepertinya bagus.




    “Mmm…”

    Suara perempuan itu terdengar, sesaat setelah aku menaruh cangkir berisi coklat hangat di meja dekat sofa.

    Tanpa sadar, aku terus memperhatikan wajahnya. Perlahan kelopak matanya mulai terbuka, memperlihatkan warna iris matanya yang berwarna hijau layaknya dedaunan. Begitu…indah. Kombinasi coklatnya rambut dan hijaunya mata, membuat dirinya terlihat begitu cantik.

    Argh, kenapa aku terus menghubungkan dirinya dengan permintaanku kemarin malam?!

    Tatapannya pun beralih ke arahku, dan…

    “WAAAAAAAAAAAAA…!!!!”

    Suasana damai rumah ini hancur sudah. Teriakannya begitu keras, membuat telinga kananku agak berdengung dibuatnya. Perempuan itu langsung melompat dan berlindung di balik sofa. Hanya dari ujung kepala hingga hidung saja yang bisa kulihat.

    “S-S-Siapa kamu?! D-Di mana aku sekarang?!”, tanyanya dengan panik.

    “I-Ini rumahku. Tadi kamu kutemukan tergeletak di pantai.”, suaraku juga agak gemetar.

    “Lalu bagaimana aku bisa berada di dalam?! Apa kamu…AAAAAHHH!!!!”

    “Hei, tenanglah!! Aku hanya membawamu ke dalam, berpikir kalau kamu akan kedinginan jika ditinggal saja di luar!!”

    Perempuan itu menengok sebentar ke arah badannya, lalu bertanya setengah panik dengan wajah memerah, “K-K-Kamu melihatnya kan?! Jawab!!”

    “H-Hah?! Mana mungkin aku tertarik dengan yang sekecil punyamu?!”

    Suasana mendadak hening. Aliran darah makin banyak yang mengalir ke pipinya, membuat wajahnya sangat merah meski dilihat dari jarak lebih dari 1 meter.

    “T-Ternyata kamu sudah melihatnya!! Apa kamu juga melakukan s-sesuatu terhadapku…?!”, mendadak dia berdiri.

    “Itu ketidaksengjaaan!! Dan aku tidak melakukan apapun selain menggendong dan membawamu ke dalam!! Sekarang cepat ganti pakaianmu sebelum kamu menuduhku seorang yang mesum atau semacamnya!!”

    “Tapi aku tidak punya pakaian lain, dasar bodoh!!”

    Benar juga ya. Aku tidak melihatnya membawa barang lain, hanya ada pakaian yang menempel di badan. Lalu…bagaimana bisa dia terhanyut? Dari pakaiannya aku tahu dia bukan astronot yang mengalami kecelakaan di luar angkasa. Jadi, mungkin dia mengalami kecelakaan dalam perjalanan di laut. Nanti akan kucoba memeriksanya di jaringan berita Terra.

    “Aku tidak punya baju untuk perempuan…”

    “Ibumu? Kakak atau adik perempuanmu? Sepupu perempuanmu? Apa kamu tidak tinggal dengan salah seorang dari mereka?”

    “Ibu beserta ayahku ada di kutub selatan, termasuk dalam tim ilmuwan yang bertugas di menara pengatur cuaca sana. Aku tidak punya kakak maupun adik, sementara anggota keluarga yang lainnya tinggal di benua lain.”

    “Ah…jadi kamu sendiran saja?”

    “Benar.”

    Entah kenapa wajahnya berubah, sekarang tersenyum padaku. Apa dia merasa kasihan denganku yang tinggal sendirian?


    “Ya sudah, kupinjam bajumu saja dulu untuk sementara. Boleh tidak?”

    “Boleh saja sih…tapi kamu sendiri bagaimana? Apa tidak punya tempat tinggal? Keluargamu pasti mengkhawatirkanmu saat ini.”

    Sekarang wajahnya berpaling, agak menunduk. Ekspresinya juga berubah murung.

    “Aku tidak punya keluarga lagi…”, namun raut wajahnya berubah dengan cepat, “Tapi itu bukan masalah. Yang jelas aku pinjam dulu pakaianmu. Badanku mulai terasa dingin.”

    “Ya sudah, ke kamarku saja sana.”, kataku sambil menunjuk ke arah pintu yang berada tidak jauh dari belakangnya. “Pintu dan lemarinya tidak kukunci, kamu boleh ambil pakaian yang mana saja.”

    “Baiklah…jangan mengintip ya.”

    “Cih, siapa pula yang mau mengintipmu.”




    Setelah mengganti pakaiannya dengan kaus hijau milikku ---yang jelas sekali terlalu besar untuknya---, dia kembali ke sofa, lalu duduk. Matanya terarah kepada cangkir berisi coklat hangat yang sekarang mungkin sudah lumayan dingin.

    “Itu untukku?”, tanyanya sambil menunjuk cangkir.

    “Oh iya, tadi sengaja kubuatkan untukmu. Tapi karena sedikit kepanikan tadi…pasti sudah dingin.”

    “Tidak apa-apa. Kuminum dulu ya.”

    Hanya dalam beberapa detik, minuman coklat yang kubuat langsung diteguk habis. Alat pemanas yang di dekat sofapun kuperintahkan untuk pergi, kembali ke kamarku. Selagi cangkir masih di tangannya, matanya mengikuti gerakan alat pemanas itu.

    “Alatmu canggih, tapi kenapa rumahmu kuno begini?”, tanyanya dengan mata yang memindai seluruh rumah. Rumahku terbuat dari batu bata, mirip dengan arsitektur rumah-rumah orang Bumi pada abad ke-18. Kecil, tetapi nyaman.

    “Semua penduduk planet ini juga begitu. Hanya pusat penelitian di kutub utara dan selatan yang memiliki area residensial yang tampak super canggih. Kamu tidak tahu hal itu?”

    “Tidak.”

    “Memangnya kamu dari planet mana hah…?”, tanyaku dengan setengah meledek.

    “Ng…tidak tahu.”

    “Kamu bukan dari Terra kan?”

    “Tidak ingat.”

    “Lalu bagaimana bisa kamu terdampar di sini?!”

    “Mana aku tahu.”

    “GAAAAHHH!! Apa kamu tidak ingat apapun?!”, rasanya ingin kutarik-tarik rambutnya dan kucubiti pipinya.

    “Sedikit. Setidaknya aku masih ingat namaku sendiri.”

    “Oke. Jadi, siapa namamu?”

    “Thera. Dan mulai hari ini aku akan menumpang di sini. Bagaimana?”

    Namanya terdengar mirip dengan nama planet ini.

    “Heh, memutuskan seenaknya begitu. Ini rumahku, bukan rumahmu. Jadi aku yang berhak menentukan.”

    “Kamu tega membiarkanku berkeliaran begitu saja?”, wajahnya dibuat memelas, dan aku tahu dia hanya berpura-pura. Tapi…ya sudahlah. Kasihan juga jika membiarkannya menggelandang. Aku juga punya satu kamar ekstra untuk tamu, yang bisa digunakannya untuk tidur.

    “Huh…ya sudah. Untung suasana hatiku sedang baik hari ini. Kamu boleh tinggal di sini, sampai kamu bisa pulang ke tempat asalmu. Entah di planet ini ataupun di planet lain.”

    “Dan kamu belum menyebutkan namamu.”

    “Georgius.”

    “Ah…baiklah. Terima kasih, Georgius.”




    Senyuman yang terlukis di wajahnya membuatku terpukau selama beberapa detik. Ya sudahlah, tidak buruk juga membiarkan perempuan cantik sepertinya tinggal untuk sementara.

    Eh, tunggu. Berarti sekarang aku serumah dengan seorang perempuan?! Astaga…


    Spoiler untuk Sequence 3 :


    =================================
    Sequence 3: Landworker ~gift of nature~
    =================================






    Untunglah Thera tidak begitu merepotkan. Setidaknya dia masih tahu diri dengan statusnya sebagai penumpang asing di rumahku. Tidak pernah meminta yang aneh-aneh, hanya sekali saja ketika 2 hari lalu, memintaku memberikan beberapa pakaian untuknya. Kalau yang itu jelas aku tidak bisa menolak, karena tidak mungkin aku membiarkan baju-bajuku terus dipakai olehnya.

    Dua kali sudah aku juga memeriksa berita-berita yang terjadi beberapa hari terakhir, baik di jaringan berita Terra maupun jaringan berita antar galaksi. Tidak ada peristiwa aneh yang terjadi di planet ini maupun planet berpenghuni lainnya yang berjarak maksimal 5 tahun cahaya dari sini. Hanya hujan meteor itu saja peristiwa unik yang terjadi, dan masih berlangsung hingga hari ini.




    “Oh ya, pekerjaanmu apa?”, tiba-tiba dia bertanya saat sarapan.

    “Memangnya kenapa? Apa kamu takut aku kehabisan uang sehingga akan mengusirmu ke luar?”, kubertanya balik dengan nada ketus.

    “Huh…cara menjawabmu tidak usah begitu dong. Aku hanya ingin tahu saja. Biasanya orang seusiamu sudah bekerja.”

    “Landworker.”

    “Eh? Pekerjaan apa itu?”

    Dia tidak tahu? Hmm, berarti kemungkinan besar dia memang tidak berasal dari planet ini.

    “Membuat daratan. Planet ini baru dua ratus tahun dihuni manusia setelah tiga ratus tahun mengalami proses terraforming, mengisinya dengan udara dan juga air. Karena itulah, sebagian besar permukaan planet masih berupa lautan. Nah, jika dibutuhkan tempat baru, para Landworker akan membuat daratan untuk manusia tinggal. Bisa dengan memperluas pulau atau benua yang sudah ada, atau membuat daratan baru yang terpisah. Gajinya cukup besar meski tidak setiap hari ada proyek.”

    Jelas saja gajinya besar. Pekerjaan itu adalah salah satu yang menentukan kelangsungan hidup manusia di Terra.

    “Hee…begitu ya. Apa pekerjaan itu menyenangkan?”

    “Untukku, ya. Sejak kecil aku lebih tertarik dengan ilmu mengenai tanah dan batuan dibanding cuaca atau angkasa luar.”

    “Lalu apa yang kamu kerjakan jika tidak ada proyek?”

    “Hmm, kebetulan sekarang adalah waktu yang tepat. Kalau kamu ingin tahu, ikutlah denganku selesai kita sarapan.”

    Keluar rumah, lalu berjalan kaki menuju kota. Udara sejuk dan jalan menuju kota yang tidak ramai membuatku cukup tenang, meski sebelumnya agak gugup karena berjalan berdua saja dengan perempuan secantik Thera. Aku tidak bisa menyangkal kalau parasnya jauh di atas rata-rata.




    Beberapa lama berjalan, bangunan-bangunan kota mulai jelas terlihat. Tampak kekaguman di wajah Thera saat kami mulai memasuki jalanan kota yang terbuat dari batu-batu berbentuk persegi panjang yang tersusun rapi.

    Dan…ini dia, toko alat-alat pertanian. Letaknya tidak begitu di tengah kota.

    Kota ini, yang terdekat jaraknya dengan rumahku, Aqua Major, adalah salah satu kota yang tergolong besar di Terra. Hanya sekitar 4 kilometer dari rumah.

    Walau menampung sekitar 7 juta orang, suasana antik tetaplah terasa. Bangunan-bangunannya memiliki arsitektur yang sejenis dengan rumahku. Sesekali memang terlihat kendaraan-kendaraan melayang, namun hanya para polisi dan pemadam kebakaran yang menggunakannya, atau orang-orang yang mengantar barang dalam jumlah besar. Penduduk sini lebih memilih untuk jalan kaki. Jika tidak ingin jalan kaki, para penduduk biasanya memilih bersepeda ---tentu saja yang digerakkan manual dengan kaki---, atau kapal motor besar yang menyusuri pantai dan 2 kanal besar di barat dan timur kota. Ada juga kereta melayang dengan rel anti-gravitasi, biasanya digunakan untuk perjalanan ke luar kota. Ya, semua kendaraan di planet ini tidak menghasilkan polusi yang merusak. Singkatnya, kota ini sangat eksotik dengan perpaduan antara nuansa kuno dan teknologi.

    Kondisi seperti itu juga sangat menguntungkan untukku. Dengan suasana kota yang demikian, tidak pernah sekalipun suara-suara dari kota terdengar hingga ke rumahku, kecuali saat ada festival. Polusi cahayapun menjadi sangat minim ---tidak ada yang menggunakan lampu-lampu berintensitas cahaya tinggi---, sehingga hujan meteor waktu itu dapat kulihat dengan jelas.

    “Jadi, apa yang ingin kamu beli di sini?”

    “Bibit tanaman. Aku juga senang berkebun.”

    “Hee…begitu ya. Nanti kubantu juga, boleh?”

    “Ya, ya. Terserah kamu saja, asal tidak merepotkan.”

    Yang kubeli adalah 2 bungkus bibit jagung, beserta 4 kantong pupuk berukuran sedang. Aku memang tidak pernah menanam terlalu banyak, hanya sekedar hobi saja untuk mengisi waktu.

    “Bagaimana dengan alat-alatnya?”, tanyanya.

    “Banyak yang masih layak pakai, kusimpan di gudang rumah.”

    Berhubung aku adalah langganan tetap di toko ini, maka setiap pembayaran akan ditarik langsung dari rekeningku. Tidak perlu prosedur aneh-aneh, praktis.




    Kembali ke rumah, aku bergegas mengeluarkan semua alat yang kubutuhkan dari dalam gudang. Sarung tangan, karung besar yang kosong, cangkul, sekop kecil maupun besar, hingga garpu tanah, semuanya kuambil. Uh-huh, semua orang di Terra juga masih menggunakan alat-alat manual seperti ini untuk bercocok tanam, khususnya jika melakukannya dalam jumlah kecil. Yak, siap untuk mulai bekerja.

    Targetnya adalah halaman belakangku, di lahan seluas 20 x 20 meter. Cukup kecil…eh? Tentu saja, karena aku bukan seorang petani komersial. Semuanya hanyalah hobi semata. Hasil panen juga lebih banyak kusimpan dan kumakan sendiri. Jika terlalu banyak, aku biasanya akan memberikannya pada siapapun, entah orang-orang yang rumahnya tidak jauh dari sini ataupun yang sedang lewat dekat rumah.

    Hal yang pertama kali harus dilakukan adalah menyiangi tanaman-tanaman yang tidak diinginkan. Areal ini belum lagi kutanami sejak 3 bulan yang lalu, sehingga ditumbuhi rumput serta tanaman-tanaman liar. Thera kuijinkan membantu, dan terlihat sangat gembira melakukan pekerjaan ini. Melihat raut wajahnya yang riang itu, aku juga ikut bersemangat.

    “Hei…lubang apa ini? Georgius, coba lihat ke sini!!”, tiba-tiba dia memanggil sambil menunjuk ke salah satu lubang di tanah.

    “Oh, itu sarang tikus tanah. Yah, karena tempat ini sudah lama tidak kutanami, mereka jadi membangun sarang di sini.”

    “Apa…ada isinya?”, tanyanya sambil menunduk, mengamati ke dalam lubang dengan sebelah mata tertutup.

    “Coba saja ulurkan tanganmu ke dalam.”

    Sebenarnya aku hanya ingin menggodanya. Pastilah dia tidak akan mau memasukkan tangannya dengan resiko digigit tikus tanah. Nyatanya…

    Dia menangkap satu. HAH?!

    “Wah…lucu sekali…”, sambil mengusap-usap tikus tanah yang ditangkapnya itu di pipinya. Anehnya lagi, tikus tanah itu tidak memberontak.

    “Hei, taruh tikusnya. Kotor.”

    “T-Tapi…”, wajahnya berubah memelas. “Kamu tidak akan membunuhnya kan?”

    “Huh? Tentu saja tidak. Biasanya tikus tanah seperti itu akan kukumpulkan, lalu kulepaskan di tempat lain yang jauh dari sini.”

    “Begitukah? Baiklah!! Akan kucoba mengumpulkannya satu persatu.”, ujarnya dengan penuh semangat. Akupun mengambil sebuah kotak kayu besar agar Thera bisa menaruh tikus tanah yang ditangkapnya di kotak ini.

    Gadis yang aneh. Dia terdengar gembira begitu mengetahui kalau aku tidak pernah membunuh salah satu dari tikus tanah itu. Pada dasarnya aku memang tidak suka membunuh hewan, kecuali yang membahayakan nyawaku.

    Menurut apa yang pernah kupelajari, hewan-hewan di Terra tidak jauh berbeda dengan yang dulu pernah hidup di Bumi. Tidak ditemui adaptasi secara genetik pada hewan-hewan tersebut. Mungkin disebabkan karena kondisi atmosfer dan gaya gravitasi yang 99,99% sama dengan di Bumi. Tidak terkecuali dengan tikus tanah itu. Sekali waktu aku pernah melihat dokumentasi mengenai hewan-hewan Bumi, dan tikus tanah yang pernah tinggal di sana tidak ada bedanya dengan yang ada di halaman belakang rumahku.

    11 ekor berhasil ditangkap oleh Thera, dan lahan inipun bersih dari tikus tanah. Wow, jumlahnya pas sekali untuk membentuk tim sepakbola. Baiklah, akan kulepaskan nanti sore setelah menyelesaikan mengolah tanah.

    Sekali lagi, Thera terlihat gembira saat mulai menggunakan alat-alat untuk mengolah tanah. Dia juga terlihat sangat terbiasa menggunakan cangkul. Apa dia anak seorang petani atau semacamnya? Tak bisa kupungkiri, semuanya jadi berjalan lebih cepat dengan bantuannya. Mulai dari menyiangi tanaman liar, menggemburkan tanah, menaburkan pupuk, hingga menanam bibit jagung, semuanya dilakukannya dengan baik, bahkan menghemat waktu sampai 2 jam lebih cepat dibanding biasanya.




    “Selamat jalan ya!! Semoga menemukan rumah baru!!”, seru Thera saat melepas semua tikus tanah itu di sebuah lahan kosong sekitar 3 kilometer dari rumahku, berlawanan dengan arah ke kota.

    “Baiklah, bisa kita pulang sekarang?”

    “Kamu…benar-benar tidak akan membunuh mereka kan? Meski mereka sewaktu-waktu bisa saja kembali ke halaman rumahmu?”

    Aneh. Kenapa dia takut begitu?

    “Tidak usah khawatir, Thera. Sudah dua tahun terakhir aku selalu berlaku demikian. Jika mereka kembali, tinggal kulepaskan lagi di tempat lain. Mereka tidak membahayakanku, jadi tidak sepantasnya mereka dimusnahkan.”

    “Hee…begitu ya. Ternyata kamu memang orang baik.”, ditutup dengan senyum ceria.

    “Sudah ah, mau pulang atau tidak?”, tanyaku sambil membalikkan badan.

    “Iya, iya. Huh…galak sekali sih.”, diapun melangkah hingga ke sebelahku, lalu berkata, “Mungkin suatu hari planet ini akan membalas kebaikanmu itu…yah, cepat atau lambat.”

    Ucapannya itu ditutup dengan sebuah tawa kecil, seakan dia tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh planet ini, Terra, terhadapku.

    “Semoga saja begitu.”, jawabku datar.

    Bagaimana mungkin planet ini bisa membalas kebaikanku? Terra bukan benda hidup yang memiliki pikiran. Mustahil dia bisa merespon apa yang kulakukan.

    Mustahil…eh?




    Entah apa yang terjadi semalam, namun keesokan paginya…

    Baru saja aku terbangun dan melangkah ke dapur, mataku menangkap sesuatu saat melintasi jendela yang menghadap ke halaman belakang. Kuning.

    HAH?! KUNING?!

    Di tengah keterkejutanku, aku langsung berlari dan membuka pintu belakang. Tidak bisa kupercaya. Bagaimana mungkin?!

    “Hei Georgius…ada apa sih ribut-ribut…”, sahut Thera dengan suara seperti orang baru bangun tidur, dari arah pintu kamar yang dipakainya.

    “Thera, kemarilah!! Jagung-jagung yang kemarin ditanam sudah siap panen semuanya!!”

    Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu belakang dan menghampiriku yang sedang berdiri tak jauh di depan pintu.

    “Huh…sudah kubilang kan? Planet ini akan membalas kebaikanmu. Sudah ah, aku mau tidur lagi…”, komentarnya sambil menepuk-nepuk punggungngku. Setelah itu, dia kembali berjalan ke kamarnya.

    Mustahil. Ini mustahil. Biasanya aku membutuhkan waktu 4 bulan, sekarang hanya sehari?! Apa benar ini karena sifatku yang tidak membunuh hewan secara sembarangan? Anehnya lagi, kenapa Thera bisa ‘meramalkan’ hal ini? Atau jangan-jangan ini semua perbuatan Thera?


    Spoiler untuk Sequence 4 :


    ======================================
    Sequence 4: Emptiness ~early days of a planet~
    ======================================






    Hingga siang hari, kegiatan hanya kuisi dengan memanen jagung dan memasukkannya ke beberapa buah karung. Tentu saja, Thera ikut membantu. Aku tidak pernah menanam tanaman yang sama 2 kali berturut-turut, jadi hasil panen pastilah kumanfaatkan seluruhnya. Hmm, berikutnya mungkin aku akan menanam kacang kedelai untuk memulihkan unsur nitrogen pada tanah.

    “Bagaimana? Sudah semua dimasukkan ke karung?”, tanyaku.

    “Sudah, sudah.”, jawab Thera sambil mengangguk cepat dua kali.

    “Bagus, sepertinya kita bisa istirahat sekarang. Terima kasih banyak ya sudah membantu.”

    Dengan kata lain, sepanjang sisa hari ini aku tidak ada kegiatan lain sama sekali. Oh, mungkin aku bisa mengajak Thera ke tempat itu, sekaligus sebagai ungkapan terima kasih padanya karena sudah banyak membantu.




    Selagi membuat makan siang, aku juga membuat beberapa makanan yang bisa kubawa nanti saat pergi ke tempat itu.

    “Banyak sekali membuat makanannya?”, tanyanya keheranan saat memperhatikanku memasak.

    “Karena setelah makan siang, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”

    “Ke mana?”

    “Sebuah pulau kecil, beberapa puluh kilometer dari sini. Letaknya memang terpencil, tapi karena itulah aku sering ke sana untuk menenangkan pikiran.”

    “Sepi..? Terpencil…? Kamu tidak akan berbuat aneh-aneh di sana kan?!”, ujarnya setengah panik.

    “Hei, hei, tenang dulu. Aku tidak akan melakukan yang macam-macam. Hanya sebagai rasa terima kasih saja karena kamu telah membantu sejak kemarin. Tidak enak rasanya mempekerjakanmu tanpa memberikan apapun.”

    “Benarkah?”, raut wajahnya berubah, tidak lagi takut. “Tapi…sudah diijinkan tinggal di sini saja aku sudah senang…”

    “Itu lain lagi. Aku hanya tidak tega melihatmu tidur di jalanan kota. Yang ini murni sebagai imbalan atas usahamu.”

    “Hee…begitu ya. Ya sudah terserah kamu saja.”, wajahnya terlihat riang.

    Thera terlihat tidak sabaran, dapat kuketahui dari cara makannya yang begitu cepat. Aneh, padahal sebelumnya dia merasa curiga dan takut saat kuajak.




    Berbekal sebuah motor anti-gravitasi dari garasi rumah ---yang jarang kugunakan kecuali ingin ke pulau itu---, kamipun pergi menyusuri laut lepas. Motor ini memiliki peta dan sistem navigasi di dekat setangnya. Lokasi pulau itu sudah tersimpan di sistem navigasi motor ini, sehingga tidak perlu takut akan tersesat. Begitu helm pelindung sudah terpasang, kamipun langsung berangkat.

    Berhubung aku bukan orang yang suka terburu-buru, motor ini kujalankan dengan pelan, sekitar 35 kilometer per jam saja. Hembusan angin saat berkendara dengan kecepatan seperti ini adalah favoritku. Tapi…

    “Pelan sekali terbangnya…bisa lebih cepat sedikit tidak?”, komentarnya saat kami berada di atas laut.

    “Kamu yakin ingin lebih cepat?”

    “Aku mulai bosan dan mengantuk kalau begini…”

    Sebenarnya aku tidak mau mempercepat motor ini. Tapi karena ini semua adalah untuknya…baiklah, akan kuturuti.

    “Baiklah…pegangaaaaaaannn…!!!!”

    Kutambah kecepatan motor ini hingga sekitar 90 kilometer per jam. Akselerasi tersebut disertai dengan tawa ceria dari Thera. Meski sekarang…aku gugup karena dia juga memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan pipinya yang menyentuh bagian belakang leherku. Aku bisa merasakan kehangatannya, walau angin laut bertemperatur sejuk. Belum pernah aku dipeluk seperti ini. Ditambah lagi, sekarang aku kembali mengingat permohonanku saat hujan meteor beberapa hari lalu itu. Apa benar dia…?

    “Hei, kamu sedang memikirkan apa?”, tanyanya setelah menengok sebentar ke wajahku.

    “Ng…t-tidak apa-apa.”

    “Gugup karena dipeluk seorang perempuan ya?”, tanyanya dengan nada meledek.

    “S-Sebenarnya sih…iya. Aku jarang bergaul dengan seorang perempuan.”

    “Hee…begitu ya. Di tempat kerjamu apa tidak ada seorang perempuanpun yang menarik?”

    “Jarang ada perempuan yang mau menjadi Landworker. Jadinya ya…begitu…”

    “Hahaha…kasihan sekali dirimu.”, ledeknya. Mendadak dia berdiri lalu berkata, “Apa itu pulaunya?”, aku bisa melihat tangan kanannya menunjuk ke arah depan.

    “H-Hei…jangan berdiri begitu!! Iya benar, itu pulaunya. Sekarang duduklah dengan tenang atau kita akan jatuh!!”

    “Ehehe…maaf, maaf.”, responnya, lalu kembali duduk.




    Sebuah pulau kecil, mungkin hanya 10 kali luas halaman rumahku. Di situlah terkadang aku menyendiri sambil menikmati pemandangan laut. Komposisi pasir pantainya sama dengan yang di depan rumahku, pasir putih. Selain pantai berpasir putih, terdapat kumpulan pepohonan di tengah pulau yang belum pernah kumasuki sama sekali. Lagipula kurasa tidak ada sesuatu yang menarik di sana.

    “Woah…ada hutan juga di sini.”, ujarnya dengan tatapan berbinar-binar. “Kamu pernah ke sana?”

    “Belum. Aku hanya selalu berada di pantainya.”

    Tunggu. Ada yang aneh dengan hutan itu. Jumlah pepohonan yang ada sedikit berkurang dibanding biasanya, terkonsentrasi di satu titik. Jika hanya 1 atau 2 pohon, mungkin aku tidak akan menyadarinya. Tapi sejauh yang bisa kulihat, kira-kira ada belasan pohon yang hilang.

    “Bisa kita ke sana?”, ujarnya memohon.

    “Hah? Buat apa?”

    “Kamu takut?”

    “Bukan begitu…tapi untuk apa kita ke dalam sana?”

    “Aku tahu sebenarnya kamu mengkhawatirkan hutan itu. Terlihat jelas dari wajahmu.”

    Eh? Apa benar begitu? Aku hanya heran dengan hilangnya beberapa pohon saja, tidak lebih.

    “Sudah, ayo kita masuk ke sana.”, katanya sambil menarik tangan kananku, karena tangan kiriku sedang membawa keranjang rotan berisi makanan.

    “Eeehhh…!! Thera, tunggu sebentar!!”

    Dia tidak mendengar dan terus menarik tanganku. Huh...terpaksa aku mengikuti kemana dia melangkah. Ng…tangannya benar-benar lembut. Aku jadi merasa bersalah telah mengijinkannya bekerja di halaman rumah. Untung saja tangannya tidak terluka waktu itu.




    Beberapa lama memasuki hutan, area pepohonan yang menghilang itu terlihat makin dekat. Makin dekat hingga…ah, ternyata mereka runtuh. Bukan karena ditebang, tapi karena sebuah meteorit sebesar kepala manusia yang sekarang tergeletak di tanah. Mungkin itu penyebab runtuhnya beberapa pohon, patah diterjang jatuhnya meteorit itu. Tidak mengherankan, karena sejak beberapa hari yang lalu memang ada hujan meteor. Yang satu ini beruntung bisa lolos dan sampai ke tanah, tidak habis seluruhnya dimakan atmosfer Terra.

    Di lokasi meteorit, terbentuk kawah kecil berukuran kira-kira 5 kali diameter meteorit tersebut. Tetapi ada yang aneh dengan tanahnya…

    “Hmm? Ini…apa ya?”, Thera berkomentar setelah melihat ada plat logam, tersingkap dari tanah di atasnya karena meteorit yang jatuh itu.

    “Logam?”

    “Sepertinya begitu.”, ujarnya sambil mengetuk-ngetuknya. “Mungkin ada sesuatu di dalamnya. Apa kamu tahu sesuatu?”

    “Hmm…tidak.”, kugeleng-gelengkan kepala beberapa kali.

    Sekarang dia sedikit menggali dengan tangannya, menyingkirkan tanah di sekitar plat logam itu dengan tangannya.

    “H-Hei, jangan langsung dengan tangan begitu…”

    “Kenapa memangnya?”

    “Tidak…hanya saja tanganmu…”

    “Hee…aku mengerti. Kamu takut tanganku terluka, begitu? Tenang saja, aku akan hati-hati. Lagipula ini sudah biasa kulakukan.”

    Karena aku tidak tega melihatnya menyingkirkan tanah dengan tangan tidak terlindung apapun, kuputuskan untuk ikut menggali. Meteorit itu pun kugeser agak jauh. Plat logamnya ternyata cukup lebar, sehingga kami berdua dapat duduk di atasnya. Beberapa saat menggali, ada sesuatu yang lain tersingkap beberapa sentimeter di sebelahnya, tepatnya sebelah kananku. Plat transparan, sepertinya dari fiber. Kucoba menyentuhnya…

    “Waaaaaaaa…!!!!”

    Plat logam itu terbuka, tepat ketika aku dan dia berada di atasnya.




    “Aaahhh…!! Dasar bodoh!! Gara-gara kamu, kita jadi jatuh begini…!!”, dia memaki.

    “Heh, tidak perlu marah-marah!! Aku tidak tahu apa-apa!!”

    “Ah sudahlah. Yang jelas sekarang kita di mana?”

    Gelap. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari atas, dari lubang tempat kami terperosok. Permukaan tanahnya…rata, tidak bergelombang.

    “Bawa alat penerang tidak?”, tanyanya.

    “Seharusnya ya. Sebentar…”

    Kuambil sesuatu dari kantong belakang celanaku. Ini dia, sebuah bola kecil berdiameter tidak lebih besar dari panjang jempolku. Kugosok sedikit dengan jempol, dan…yap, menyala. Keranjang makanannya…oh itu dia, di sebelah kiriku. Kuambil, lalu berdiri sambil membiarkan bola cahaya itu melayang di depanku. Benda ini memang bisa melayang jika mode penerangannya sedang aktif. Ekspresi Thera terlihat terkagum-kagum melihat bola kecil ini yang melayang sambil mengeluarkan cahaya.

    Kuperhatikan sekeliling, ternyata ini adalah sebuah lorong. Ada tangga menuju ke lubang di atas tadi, yang bisa dinaiki sewaktu-waktu jika ingin kembali. Tapi…

    “Hei, kalau lorong itu menuju ke mana ya?”, Thera menunjuk ke arah sebuah lorong yang terus menuju entah ke mana.

    “Mana aku tahu? Aku tidak tahu sama sekali mengenai keberadaan tempat ini.”

    “Hee…begitu ya. Mau mengikuti lorongnya?”

    Aku jadi ikut penasaran. Sepertinya tidak ada salahnya menyusuri lorong tersebut, mungkin ada sesuatu yang menarik di ujungnya.

    “Oke. Tapi kalau ternyata terlalu berbahaya, kita kembali saja. Mengerti?”

    Dia menjawab dengan beberapa kali mengangguk cepat. Gadis yang satu ini sepertinya punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap apapun yang menarik perhatiannya.

    Dengan bola cahaya kecil di depan, kami berjalan menyusuri lorong itu. Tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan ujungnya. Ternyata lorong ini terhubung dengan suatu ruangan yang sangat besar berbentuk kubah, dengan beberapa pintu di tembok logamnya. Uh-huh, ruangan ini juga terbuat dari logam, sepertinya logam yang sama dengan pintu di permukaan ---jelas saja itu pintu, bukan jebakan--- dan lorong yang tadi kami telusuri.




    “Wow…ini ruangan apa ya? Besar sekali.”, ujarnya sambil memperhatikan ke seluruh ruangan.

    Sama seperti Thera, mataku ikut mengamati seluruh ruangan. Kalau kuperhatikan dengan seksama, ruangan ini terlihat canggih, berbeda dengan pemukiman penduduk di permukaan. Tidak ada kabel, tidak ada pipa. Yang bisa kutemui hanyalah jalur-jalur yang terbuat dari logam, dengan warna yang berbeda dari tembok. Sepertinya untuk distribusi aliran listrik. Selain itu hanya ada beberapa lubang persegi dengan tutup yang berlubang-lubang seperti jaring, pastilah untuk sistem ventilasi.

    Kuperiksa sebuah pintu yang ada di tembok ruangan. Tidak ada gagangnya. Oh, di sebelah kanan setiap pintu ternyata ada panel dari plat transparan seperti yang ada di atas tadi. Kucoba membuka pintunya dengan menyentuh panel, ternyata ada sebuah kasur bertingkat di dalam. Sebuah kamar kah?

    “Ada tempat tidur? Apa mungkin dulu ada yang tinggal di sini?”, tanya Thera yang sejak tadi mengikutiku.

    “Mungkin? Aku sendiri tidak bisa menebak tempat apakah ini. Sepertinya sudah lama sekali ditinggalkan.”

    “Hee…begitu ya. Bagaimana kalau kita periksa semua pintu? Sekedar untuk memuaskan rasa penasaran saja.”

    “Baiklah, kurasa di tempat ini juga tidak berbahaya.”

    Satu persatu pintu yang ada dibuka, baik olehku ataupun Thera. Total ada 14 pintu yang sudah dibuka. Kebanyakan juga berisi tempat tidur, ada juga yang memiliki lemari. Dua ruangan berbeda sendiri, berisi perangkat komputer yang sepertinya sudah sangat tua. Tidak pernah kutemui lagi model yang seperti itu.

    Dan…pintu terakhir. Warna dan bentuknya berbeda dengan yang lain, mungkin isinya juga berbeda.

    Benar saja, sangat berbeda. Ruangan yang ini lebih besar dibanding yang lain, dengan komputer-komputer yang lebih besar terpasang di sisi temboknya. Beberapa layar terpasang di atas perangkat komputer, yang jelas adalah model kuno, karena bukan layar holografik seperti televisiku. Mungkinkah ini ruang kontrolnya?

    “EEEEHHH!! Thera, jangan menyentuh apapun sembarangan!!”

    Aku berteriak seperti itu karena melihatnya menyentuh panel-panel komputer yang ada. Tiba-tiba saja sebuah layar besar di tengah tembok yang berhadapan dengan pintu masuk, menyala.

    “Woah!! Ternyata layarnya menyala!!”

    “Heh, jangan pegang-pegang sembarangan!! Bagaimana kalau tempat ini meledak?”, kupukul kepalanya, tidak terlalu keras.

    “Uh…iya, iya. Maaf. Tapi…itu apa ya yang ditayangkan?”, dia menunjuk ke arah layar yang menyala.

    Film? Mirip, tapi sepertinya bukan. Yang ditayangkan dapat dikatakan lebih serupa dengan video dokumentasi. Kenapa kubilang demikian? Karena cara merekamnya terlihat amatir, dan juga tidak terlihat ada editing yang berarti.




    Beberapa orang terlihat sedang berada di permukaan, membawa beberapa alat tertentu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Langit di video itu sudah terlihat biru, namun daratannya masih terlihat gersang, merah. Lautan? Terlihat jauh dari alat perekamnya, berupa sebuah garis yang tebalnya 2 sentimeter. Daratan tempat orang-orang itu berdiri juga lebih tinggi dari daratan di depan mereka. Tunggu. Jangan-jangan video ini…

    Tanpa sadar aku duduk di lantai, di sebelah kanan Thera yang sudah duduk lebih dahulu.

    “Hei, aku minta makanannya.”, pintanya sambil tetap memandang ke layar.

    “Ah…sandwich nya agak berantakan karena terjatuh tadi.”, kutengok sebentar ke dalam keranjang.

    “Sudah, tidak apa-apa. Kemarikan saja keranjangnya.”

    Ditaruhnya keranjang berisi makanan itu di pangkuannya, lalu tangannya merogoh ke dalam. Sepotong roti, sepotong daging, selembar daun selada, semuanya diambil berturut-turut sambil menonton video dokumenter tersebut.

    “Yang di video itu…apakah planet ini?”, tanyanya setelah menelan potongan tomat.

    “Kemungkinan besar begitu. Dengan kata lain, video itu berasal ketika masa-masa terraforming planet ini dilakukan. Bangunan ini juga pastilah bagian dari area residensial pada masa itu, saat Terra masih gersang dan belum seratus persen layak huni.”

    “Hee…begitu ya. Pasti sulit dan rumit ya, mengubah planet gersang menjadi penuh kehidupan.”

    “Begitulah. Untuk Terra sendiri perlu waktu tiga ratus tahun. Planet-planet lainnya di jagat raya seingatku tidak jauh berbeda. Yang paling lama sekitar lima ratus tahun.”

    “Apakah planet-planet lainnya juga seperti Terra?”

    “Hmm…aku belum pernah mengunjunginya secara langsung, jadi aku hanya bisa memberitahu berdasarkan apa yang pernah kubaca. Kebanyakan planet tergolong super canggih, dengan rumah-rumah berteknologi tinggi dan kota-kota raksasa. Sangat tidak cocok dengan kondisi alam sekitarnya yang diubah mirip dengan Bumi di masa lalu, dan nyaris tidak ada bedanya dengan teknologi terakhir manusia di Bumi. Tapi…”

    “Tapi?”

    “Semuanya, termasuk Terra, punya keanehan. Sekeras apapun usaha manusia untuk melakukan terraforming, pasti ada saja yang kurang.”

    “Kurang? Maksudmu?”

    “Kudengar di planet Utsushiyo, sekitar 100 tahun cahaya dari sini, mereka masih membutuhkan penghasil air. Entah kenapa siklus hidrologis tidak berjalan dengan semestinya. Contoh lainnya, di planet Midgard, 30 tahun cahaya dari sini, siklus nitrogen tidak berjalan normal. Pengikatan nitrogen oleh akar tumbuhan tidak berlangsung seperti seharusnya. Masih banyak yang salinitas air lautnya tidak stabil, persentase oksigennya berubah-ubah tidak menentu, bahkan ada yang temperaturnya naik turun.”

    “Hee…sepertinya kamu tahu banyak ya. Bagaimana dengan Terra sendiri?”

    “Atmosfernya tidak stabil. Jika tidak dibangun menara raksasa di kutub utara dan selatan sana, cuaca bisa kacau. Pernah terjadi sekali, dan muncul badai hebat di seluruh planet.

    Beberapa saat dia tidak meresponku, hanya mengelus-elus lantai sambil menatapnya dengan tatapan penuh belas kasihan.

    “Kamu tahu kenapa hal itu bisa terjadi? Itu karena…mereka semua kosong. Ya, kosong. Termasuk Terra juga.”

    “Kosong…?”

    “Uh-huh, kosong. Kamu tahu kenapa Bumi bisa penuh dengan kehidupan selama sekitar tiga setengah miliar tahun tanpa bantuan apapun? Itu karena Bumi punya sesuatu.”

    “Hei, hei, aku tidak mengerti maksudmu. Kenapa mendadak kamu jadi pintar begini? Padahal sejak tadi kamu bertanya terus.”

    “Itu…tidak penting. Yang jelas aku akan memberitahu satu hal padamu. Selama planet-planet itu kosong, aku berani bertaruh kalau mereka tidak akan pernah bisa sempurna seperti Bumi.”

    “Heh, memangnya semua planet yang dihuni manusia harus diisi dengan apa? Jangan sok tahu begitu.”

    “Terserah apa katamu.”

    Kata-katanya tidak berhenti di situ. Bibirnya bergerak-gerak seakan mengucapkan sesuatu, namun terlalu pelan untuk kudengar. Apa dia lelah? Atau mengantuk? Melantur tidak jelas begitu.




    Video itu terus berjalan, sekarang sedang menayangkan air laut yang terus bertambah, hingga ke tempat orang-orang itu berdiri. Wajah mereka terlihat gembira, dan salah satunya menghubungi entah siapa, melalui alat yang dipengangnya. Seketika itu juga ada beberapa di antara mereka yang mengintip melalui alat-alat yang dibawanya, mungkin sedang mengukur ketinggian air lautnya. Beberapa lagi menciduk air laut dengan wadah kecil, lalu mencelupkan sebuah alat ke dalamnya. Mengukur salinitas, mungkin?

    “Tapi aku senang.”, tiba-tiba dia menyahut.

    “Eh? Senang kenapa?”

    “Sepertinya hanya penduduk Terra yang benar-benar menyayangi planet mereka sendiri. Menganggapnya sebagai rumah, bukan sekedar tempat untuk dieksploitasi.”

    “Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu? Memangnya kamu pernah mengunjungi planet-planet lainnya?”

    “Kamu pernah cerita kan? Kota-kota yang tersebar di seluruh Terra tidak jauh berbeda kondisinya dengan Aqua Major. Tidak ada sama sekali hal yang bisa merusak kondisi lingkungan planet ini, yang dikeluarkan baik oleh bangunan ataupun kendaraan.”

    “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana bisa kamu membandingkan kondisi Terra dengan planet lainnya? Tadi aku tidak menceritakan semuanya secara detail mengenai planet-planet di luar Terra.”

    “Mmm…hanya perasaanku saja.”, nada bicaranya terdengar sedikit berbeda. “Tidak hanya itu, aku juga senang berada dengan seseorang…”

    Suaranya menghilang, namun bibirnya tetap bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Kemudian dia tersenyum ke arahku.

    “Huh…sudah ah. Lebih baik kita kembali, nanti keburu gelap.”, ujarku sambil berdiri.

    “Lalu layarnya? Bagaimana cara mematikannya?”

    “Aku tidak tahu. Biarkan saja, mungkin nanti akan mati dengan sendirinya.”

    “Hee…begitu ya. Ya sudahlah.”, dia ikut berdiri, menenteng keranjang makanan.

    Ah, aku jadi ingat. Aku belum makan apapun dari dalam situ.

    “Kemarikan keranjangnya. Aku mau makan sandwichnya.”

    Dengan wajah polos, dia menyerahkan keranjangnya. Begitu aku memasukkan tanganku…

    “Eh…? EH?! Semuanya kamu habiskan?!”, seruku.

    “Ehehe….maaf, tanpa sadar aku malah memakan semuanya….”

    “Theraaaaa…!!”




    Perempuan yang cantik, misterius, sekaligus aneh. Aku merasa dia tahu nyaris segalanya tentang semua planet yang dihuni manusia. Perasaanku saja kah? Tentu saja tidak mungkin orang semuda dia sudah mengunjungi banyak tata surya di tempat-tempat lain. Tapi…sesuatu di dalam diriku berkata lain, memberitahu kalau ucapannya tadi benar adanya.

    Yang lebih membuatku heran, apa yang dimaksudnya dengan ‘kosong’? Kenapa Bumi dikatakan memiliki ‘sesuatu’?


    Spoiler untuk Sequence 5 :


    ===================================
    Sequence 5: Lifebringer ~last wish of earth~
    ===================================






    Hujan meteor masih berlangsung hingga 3 minggu setelah kedatangan Thera. Kehadirannya membuat langit setiap malamnya terlihat begitu indah. Meski sebenarnya agak aneh, karena belum pernah terjadi hujan meteor yang berlangsung begitu lama sebelumnya.

    Bukan hanya langit malam yang menjadi lebih semarak dengan adanya lintasan-lintasan cahaya meteor, tetapi hari-hariku juga perlahan diwarnai oleh keberadaan gadis itu. Rumahku…tidak, bukan hanya rumah namun juga hatiku, beranjak berubah. Suasananya yang hening selama sekitar 2 tahun digantikan oleh tawa dan keceriaan. Apa benar dia orangnya? Apa benar Thera yang akan terus mengisi hatiku seumur hidupku?

    Sebelum aku siap dengan semua itu, aku harus menyelidiki asal-usulnya lebih jauh. Tidak mungkin aku mencintai seseorang dengan rasa penasaran yang menyelimuti pikiranku seperti sekarang ini. Masih terbayang di benakku kemunculannya yang terlalu tiba-tiba itu. Bahkan aku sempat berpikiran kalau dia tiba bersama meteor-meteor itu…ah, mustahil.




    Kembali malam ini aku berbaring di pantai. Sekedar menatap langit yang dihiasi garis-garis terang yang terus bermunculan, walau menghilang dengan cepat sesudahnya. Thera juga ikut menemani di sebelahku.

    “Rasanya aku tidak akan bosan melihat hujan meteor itu.”, komentarnya.

    “Ya, sama denganku. Meski Selene bersinar terang di langit ditemani gemerlapnya bintang-bintang, namun…hujan meteor itu memberi nuansa yang berbeda.”

    “Selene?”

    “Benda yang hampir bulat di langit itu lho…”

    “Oh…maksudmu, bulan?”

    Eh? Bulan? Istilah yang kuno sekali. Memang benar kalau setiap bintang terdekat dari planet tertentu –-yang dihuni manusia tentunya--- selalu disebut dengan “matahari”, namun tidak dengan satelit alami setiap planet. Mereka selalu disebut dengan nama masing-masing.

    “Hei, kenapa diam saja begitu?”, tanyanya.

    “Maaf, maaf. Aku hanya bingung mendengarmu mengucapkan kata itu. Bulan.”

    “Kenapa harus bingung? Bukankah sudah sewajarnya manusia menyebut---“

    Mendadak kata-katanya berhenti. Aku segera mengambil posisi duduk dan menatapnya dengan tajam. Wajahnya agak berpaling dariku begitu kutatap dia.

    “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”

    “B-Bukan. Bukan apa-apa.”

    “Thera, jujurlah. Sejak awal sebenarnya aku sudah menaruh curiga padamu. Kamu…seperti pernah hidup di Bumi sebelumnya.”

    Dia hanya tertunduk lesu, duduk dengan dagu yang ditopang oleh kedua lututnya. Sorot matanya terlihat murung, menatap ke laut lepas yang kosong.

    “Kamu benar…aku memang berasal dari Bumi.”




    Aku nyaris tidak percaya kata-katanya. Bukankah Bumi sudah kosong sejak beberapa ratus tahun yang lalu? Baiklah, mari berasumsi kalau masih ada sedikit sekali orang di Bumi, yang tidak diketahui keberadaannya. Lalu bagaimana bisa dia tiba di sini? Dia tidak mengenakan baju yang biasa dikenakan seorang astronot saat terdampar di pantai.

    “Mungkin kamu tidak akan percaya hal ini, Georgius. Tapi aku akan memberitahumu sesuatu, rahasia yang disimpan oleh Bumi seumur hidupnya yang kurang lebih lima miliar tahun itu, dengan tiga setengah miliar tahun penuh kehidupan.”

    “Maksudmu, mengenai kekosongan Terra dan planet-planet lainnya?”

    “Iya, itu maksudku. Yang kukatakan waktu di pulau itu merujuk pada…”

    Thera menaruh tangan kanannya di dada. Perlahan, muncul cahaya terang keluar dari situ. Sekitar 3 detik setelahnya, Thera mengulurkan tangan kanannya padaku, dengan sebuah berkas cahaya melayang di atas telapak tangannya. Berkas cahaya itu berubah-ubah warna setiap beberapa saat. Warnanya berturut-turut adalah coklat, hijau, dan biru.

    “…benda ini. Bio Essence.”

    “Bio…Essence?”

    “Ya, dan benda inilah yang tidak dimiliki planet manapun di jagat raya. Hanya Bumi yang memilikinya.”

    “Tunggu, tunggu. Aku masih tidak paham. Dengan kata lain, Bio Essence itulah yang menyebabkan Bumi begitu sempurna?”

    “Benar.”

    “Lalu bagaimana benda itu bisa ada padamu?!”

    “Karena Bumi yang menginginkannya.”

    “Ah, aku bingung. Bukankah Bumi hanya sekedar planet? Bagaimana bisa dia---“

    “Hipotesis Gaia.”, dia memotong kata-kataku.

    Aku pernah mendengar hal itu sebelumnya. Hipotesis Gaia. Sebuah hipotesis yang mengatakan kalau Bumi adalah sebuah sistem kompleks yang mampu mengatur dirinya sendiri. Ya, mengatur, sebagai kata kerja aktif. Bumi seakan hidup dan mampu membuat kehidupan begitu stabil dalam jangka waktu yang sangat lama. Sampai sekitar seratus tahun yang lalu, hipotesis itu belum bisa dikatakan sebagai teori ilmiah. Namun melihat kejadian yang terjadi di semua, ya, semua planet yang dihuni manusia, beberapa ilmuwan mulai meneliti kembali mengenai kebenaran dari hipotesis tersebut. Dan yang ada di depanku sekarang…

    “Bio Essence ini adalah Bumi sendiri. Mungkin kamu bisa menyebutnya sebagai roh dari Bumi.”

    “Dan…apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini?”

    “Baiklah, akan kuceritakan pelan-pelan. Dengar baik-baik ya.”




    Sekitar 600 tahun yang lalu, Bumi sudah berada dalam kondisi yang amat kritis. Siapa lagi yang bisa disalahkan kalau bukan manusia itu sendiri. Sudah sangat lama Bumi dibuat sakit-sakitan dengan substansi-substansi tidak alamiah yang dikeluarkan oleh aktivitas manusia.

    Beruntung, di beberapa planet sudah dilakukan usaha-usaha terraforming, sehingga manusia bisa pindah kapan saja. Selama 100 tahun berikutnya manusia masih bisa bertahan hidup seadanya di Bumi, walau perlahan pindah ke beberapa planet yang sudah bisa menyokong kehidupan. Mungkin Terra juga termasuk tujuan manusia pada waktu itu. Bumipun ditinggalkan dan akhirnya menjadi sepi, sangat sepi.

    Semua manusia? Tidak. Ada beberapa orang yang masih bersikeras untuk tinggal di Bumi, berharap kalau planet itu bisa disembuhkan. Thera termasuk di antara orang-orang tersebut. Namun…tidak. Bumi tidak menginginkannya. Dia tidak ingin lagi tinggal di batu ketiga dari Sol yang sudah rusak itu.

    Thera, sebagai seorang anak yang dilahirkan dalam masa-masa sulit, tidak mengerti apa yang diinginkan oleh orang-orang Bumi pada waktu itu. Dan suatu hari, Bumi memanggilnya. Ya, dia mendengar Bumi bicara melalui pikirannya. Entah bagaimana Thera dipindahkan ke suatu tempat yang bukan rumahnya di Bumi, lalu Bio Essence, atau roh Bumi itu sendiri, muncul di hadapannya.

    Bumi hanya meminta satu hal pada Thera, yaitu membawanya ke tempat yang tepat. Ke sebuah planet dimana semua yang hidup di dalamnya mampu merawat tempat tinggalnya dengan baik, mampu hidup selaras dengan lingkungannya. Bio Essence itupun masuk ke dalam tubuh Thera dan membuatnya bisa bertahan hidup di luar angkasa, bahkan tanpa makanan dan oksigen sekalipun.




    “Sudah sekian lama aku mencari, belum ada planet yang tepat. Dan mungkin kali ini…Terra…”, ujarnya sambil menatap langit.

    Sebenarnya aku tidak ingin percaya semua ini. Namun kehadiran Bio Essence yang melayang di depanku itu membuat diriku tidak bisa menyangkalnya.

    “Coba kamu sentuh Bio Essence itu.”, katanya.

    Kuturuti kata-katanya, lalu menyentuh berkas cahaya itu dengan telunjuk kanan. Hangat, begitu hangat. Thera tersenyum lega begitu melihat hal itu.

    “Bio Essence tidak bereaksi negatif terhadapmu. Tidak hanya pada dirimu, namun juga pada seluruh planet. Jika dia tidak merasa cocok pada satu planet tertentu, aku akan merasa kedinginan dan segera pergi, namun tidak dengan kali ini. Itu berarti satu hal, Terra adalah tempat yang cocok. Planet ini akan sempurna seperti Bumi jika Bio Essence ini bersatu dengan Terrra.”

    “Baiklah…sepertinya aku mulai paham. Tapi aku ada satu pertanyaan. Bagaimana Bio Essence ini tidak bisa ditemukan oleh orang-orang Bumi sendiri?”

    “Dia tinggal di dimensi kelima.”

    “Hah?”

    “Kamu tahu? Alam semesta yang diketahui manusia terbatas pada dimensi koordinat ruang dan waktu. Tiga pada dimensi ruang, dan satu dimensi waktu. Nah, Bio Essence ini berada dalam dimensi di atasnya.”

    “Lalu bagaimana bisa dia mengatur kehidupan di Bumi, sementara berada di dimensi lain?”

    “Sesuatu yang berada dalam dimensi yang lebih tinggi dapat mempengaruhi tingkatan dimensi di bawahnya, namun tidak sebaliknya.”

    “Huh, ternyata kamu terlalu pintar.”

    “Ahaha…kamu bisa saja. Hampir enam ratus tahun hidup sebagai pembawa Bio Essence, tidak mungkin aku tidak mengerti hal itu. Bumi mengajari banyak hal padaku selama aku bersamanya.”

    “Jadi usiamu…”

    “Metabolisme tubuhku berhenti total saat berusia lima belas tahun ketika Bumi memanggilku. Aku yang dipilih karena aku adalah manusia terakhir yang lahir di Bumi. Mungkin…dia masih ingin mengingat kenangan bersama manusia yang pernah tinggal bersamanya.”

    “Ternyata kamu sudah nenek-nenek.”, ujarku meledek.

    “Heh, kurang ajar…”




    Pembicaraan super rumit itu diakhiri dengan tawa dariku dan juga Thera. Takut? Tidak, aku tidak takut sama sekali. Aku malah merasa lega. Segala sesuatu tentang dirinya akhirnya dapat kuketahui. Tak lama, Bio Essence itu kembali ke dalam tubuhnya.

    “Baru kali ini aku menceritakannya pada orang lain. Sebelumnya aku tidak mengatakannya pada siapapun, karena aku yakin tidak ada yang percaya dengan ceritaku.”, sahutnya.

    “Aku percaya, Thera. Aku percaya semua ucapanmu.”

    “B-Benarkah?”, wajahnya berubah merah.

    “Tidak mungkin aku bisa mencintaimu kalau aku tidak belajar untuk mempercayaimu lebih dulu---“

    Mendadak kata-kataku terhenti. Tunggu. Itu sama saja dengan mengatakan perasaan cintaku padanya!! Aaaaaahhh!!!

    “Geor…gius?”, raut wajahnya terlihat terkejut.

    “M-Maaf, m-maaf. Bukan apa-apa.”

    Air matapun mengalir di pipinya.

    “E-Eh? Jangan menangis begitu… maaf kalau aku salah bicara.”

    “Bukan begitu.”, jawabnya sambil mengusap air matanya. “Cinta. Belum pernah aku mendengarnya seumur hidupku. Aku…belum pernah mendengar seseorang mengatakannya padaku…”

    Manusia terakhir yang dilahirkan di Bumi, Thera. Pastilah tidak ada seorangpun lelaki yang memikirkan soal cinta di masa-masa sulit seperti waktu itu. Dan 600 tahun menjadi pembawa Bumi, harus berkelana ke seluruh jagat raya mencari planet yang tepat…pastilah dia tidak akan terpikir mengenai hal itu sama sekali, cinta.


    Akupun memeluknya.


    “Aku akan belajar mencintaimu, Thera. Itu pasti. Aku tahu kamu tetap seorang manusia yang pantas untuk dicintai…”, kataku dengan lembut.

    “Terima kasih, Georgius. Aku juga akan mempercayaimu…percaya kalau kamu bisa mencintaiku…”




    Kutatap wajahnya yang disinari cahaya Selene. Digerakkan oleh perasaan cinta, aku mencium bibirnya yang lembut itu. Bisa kurasakan nafasnya yang hangat, serta gerakan lidahnya yang membelai lidahku dengan lembut.

    Permohonanku saat hari pertama hujan meteor terwujud sudah. Penantianku selama 19 tahun telah berakhir. Aku bersumpah tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, kesempatan untuk mencurahkan segenap kasih sayangku padanya, Thera, sang pembawa kehidupan.


    Spoiler untuk Sequence 6 :


    ========================================
    Sequence 6: Catastrophe ~instability of the heart~
    ========================================






    Pagi pun tiba. Helion Delta, sang matahari, kembali terbit. Arah rotasi Terra sama dengan Bumi, sehingga matahari tetap muncul dari tempat yang sama seperti di Bumi, di timur. Pagi yang cerah, sepertinya akan terus begitu hingga sore nanti. Hari yang cocok untuk mengajak Thera keluar rumah. Kencan pertama tentunya. Hmm…mungkin aku akan memeriksa ramalan cuaca sebentar. Siapa tahu akan hujan saat kencan nanti.




    Baru saja aku ingin mengatakan perintah untuk menyalakan televisi holografik, benda itu menyala dengan sendirinya. Televisi holografik itu hanya akan menyala otomatis jika ada berita gawat darurat yang harus disebarkan ke seluruh Terra secepat mungkin. Jangan-jangan…

    “Pemberitahuan kepada seluruh penduduk Terra. Pukul 07.11 pagi ini, sekitar 2 menit yang lalu, telah terjadi sebuah tabrakan meteor di kutub utara. Menurut responden kami di sana, menara pengatur cuaca ikut tertabrak, mengakibatkan sedikit masalah pada sistem stabilisator atmosfer. Dilaporkan bahwa para ahli yang bertugas memperbaikinya telah bergerak saat ini juga. Diharap seluruh penduduk agar tidak panik akan kejadian ini.”

    Sudah kuduga ada yang aneh dengan hujan meteor kali ini. Rentang waktunya terlalu lama. Tapi syukurlah, ibu dan ayahku bekerja di kutub selatan, sehingga aku bisa yakin kalau tidak terjadi apa-apa pada mereka.

    Tapi hal ini berarti…cuaca akan tidak stabil untuk sementara waktu. Gangguan satu detik saja pada menara tersebut akan mempengaruhi kondisi atmosfer planet ini.

    Kupikir beritanya hanya sampai di situ saja. Namun terlihat pembawa acara itu terdiam sejenak, berusaha mendengarkan sesuatu dari alat komunikasi di telinganya.

    “Maaf pemirsa, sepertinya ada tambahan. Hujan meteor sekarang terus berlangsung di kutub utara, membuat para petugas kesulitan untuk memperbaiki menara. Sekarang akan kita saksikan keputusan langsung dari pemerintah Terra.”

    Yang berikutnya ditayangkan adalah pemberitahuan langsung dari pimpinan tertinggi planet ini, mengatakan bahwa telah disampaikan perintah pada seluruh petugas keamanan di seluruh Terra untuk mengantisipasi setiap hal yang tidak diinginkan. Dia juga berharap agar penduduk tetap tenang dan mematuhi setiap prosedur yang akan dikatakan oleh para petugas penyelamat.

    Gawat. Ini benar-benar gawat.




    “Georgius, ada apa?”, tiba-tiba aku mendengar suara Thera keluar dari kamar.

    “Sepertinya kita harus berlindung. Menara pengatur cuaca di kutub utara mengalami kerusakan akibat hantaman meteor. Tidak hanya satu kali, tetapi masih terus berlangsung hingga saat ini. Sudah pasti cuaca akan kacau sebentar lagi.”

    “Hee…begitu ya. Apa sudah saatnya aku memberikan Bio Essence pada planet ini…?”

    Belum sempat aku menjawab, langit di luar sudah berubah kelam. Kecepatan angin bertambah drastis, hujan deras tiba-tiba turun, dan petir terus menerus menyambar. Suara jendela-jendela rumahku juga terdengar begitu keras, bergetar karena angin kencang. Berhubung rumahku berada dekat pantai, laut juga ikut bergelora, menghasilkan ombak yang tinggi.

    “Aku sempat membangun bunker tahun lalu, tepat di bawah kamarku. Lebih baik kita berlindung sekarang jika Bio Essence itu belum bisa diberikan pada Terra.”

    “Ng…maaf, tapi aku tidak bisa.”

    “Eh? Kenapa?”, tanyaku.

    Mendadak dia membuka kunci pintu depan dan berlari keluar. Kupanggil dia keras-keras, “Hei Thera!! Kamu mau ke mana?!”

    Langkahnya terhenti di depan teras. Aku ingin meraihnya, namun angin dan hujan yang terlalu kencang ini membuatku sulit untuk berjalan, bahkan ketika aku baru saja membuka pintu. Yah, meski perlahan aku bisa juga sampai di dekatnya.

    “Thera!! Jangan bodoh!! Kalau kamu memang ingin memberikan Bio Essence itu, lakukan sekarang—“

    Dia menangis. Memang air matanya tidak terlihat karena tertutup oleh hujan yang deras, namun dari raut wajahnya aku tahu dia sedang menangis.

    “Thera…ada apa?!”, aku memang harus bicara keras-keras agar suaraku tidak tersapu angin.

    “Aku…aku tidak bisa, Georgius!! Aku benar-benar bingung…!!”

    “Apa lagi yang kamu tunggu?! Bukankah Bio Essence itu adalah satu-satunya harapan bagi planet ini?!”

    “Kamu tidak akan bisa bertemu denganku lagi setelahnya!! Apa kamu tahu hal itu?!”

    Meski samar-samar, namun suaranya itu begitu keras terngiang-ngiang di telingaku. Kata-katanya itu sejenak membuatku melupakan cuaca di sekitarku yang super kacau ini. Apa maksudnya kalau aku tidak bisa bertemu dengannya lagi?

    “Apa maksudmu?!”

    “Hidupku juga bergantung pada Bio Essence!! Memberikan Bio Essence pada Terra sama saja dengan membunuhku…!! Coba pikirkan, mana ada manusia yang dapat hidup selama enam ratus tahun, mengembara di luar angkasa, tanpa bantuan apapun?! Apa kamu mengerti???!!!”

    Hatiku tersentak, pikiranku membisu, mulutku berubah kaku. Ini mustahil. Mustahil!! Apa aku harus kehilangan Thera sekarang? Aku baru saja mendapatkan cintanya, dan sekarang harus melepasnya begitu saja?! Tapi…aku juga tidak mungkin mengorbankan seluruh planet ini demi dirinya seorang. Nyawa 2 miliar penduduk planet ini bergantung pada keputusan Thera sekarang…argh, apa yang harus kulakukan?!




    Kupeluk dirinya, mengabaikan segala kondisi cuaca yang kacau ini. Aku tahu dia sedang menangis sekarang, terisak-isak. Pastilah dia juga sangat kebingungan. Mungkin ini adalah dilema terbesar yang pernah dia hadapi seumur hidup.

    “Thera, tenangkan dirimu. Berpikirlah dengan jernih, apa yang akan kamu lakukan setelah ini.”

    “T-Tapi…Georgius…aku benar-benar bingung. Hatiku serasa ditarik-tarik… Aku harus memilih antara dirimu atau planet ini…”

    “Aku juga, Thera. Sama sepertimu. Aku tidak mau kehilangan dirimu, tetapi aku juga tidak mungkin membuat dua miliar manusia menderita hanya karena keegoisanku…”

    “Ini…benar-benar berat bagiku. Aku tidak menyangka di planet ini akan ada seseorang yang mencintaiku…aku juga tidak mau kehilangan dirimu, Georgius.”

    Tiba-tiba muncul ombak yang sangat tinggi, menghantam pantai dan juga rumahku. Untung saja aku sempat memeluk Thera dan tiarap di tanah, sehingga tidak terseret arus ombak tersebut. Kutengok sebentar ke arah rumah, pintu depannya sudah hilang entah kemana karena tersapu ombak barusan. Beberapa jendela juga terlihat sudah pecah.

    Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak cuaca kacau ini terjadi. Namun hal ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Seluruh kehidupan di planet ini akan musnah jika Bio Essence tidak segera diberikan pada Terra.

    “Thera, cepatlah!! Semakin lama kamu berpikir, kehancuran akan semakin parah!!”

    “B-Baiklah.”

    Dia berusaha berdiri, lalu merentangkan tangan kanannya ke udara. Entah bagaimana, tercipta semacam perisai energi yang melindungi kami berdua. Mungkin radiusnya sekitar 3 meter. Baik hujan, angin, maupun ombak tidak ada yang mampu menembus perisai yang dibuatnya itu. Suara ribut yang dihasilkan oleh cuaca yang aneh ini juga tidak terdengar dari tempatku berdiri sekarang. Apakah ini juga salah satu kekuatan dari Bio Essence?

    Setelah itu, dia menaruh kedua tangannya di dada. Cahaya terang muncul, sama seperti yang dilakukannya kemarin malam. Berkas cahaya itu, Bio Essence, muncul dan melayang di antara kami berdua.




    “Georgius, sekali lagi aku ingin tanya. Apa kamu yakin?”

    “Menara itu tidak mungkin diperbaiki jika hujan meteor terus menerus turun, Thera. Akan banyak korban yang jatuh jika kita menunggu terlalu lama.”

    “Kamu…benar-benar baik. Tidak hanya pada alam, namun juga manusia. Aku senang, hidupku telah diisi oleh orang sepertimu.”

    “Aku juga. Melalui sebuah pertemuan yang terbilang aneh… aku tidak menyangka kalau perlahan muncul perasaan suka terhadapmu. Senyuman dan keceriaanmu telah mengisi hidupku yang kosong…”

    “Baiklah…apa kamu siap?”

    “Ya, Thera. Lakukanlah.”

    “Bumi, tolonglah.”, ujarnya pada berkas cahaya itu.

    Bio Essence mengeluarkan cahaya putih yang amat terang, menyilaukan mataku. Bahkan tanah di sekitar tempatku berdiri juga ikut berubah warna, sama seperti warna cahaya itu. Ternyata benda itu membentuk sebuah pilar cahaya yang tingginya hingga ke langit. Berkas cahaya itu perlahan naik, sesekali berubah warna sesuai urutan coklat-hijau-biru. Setelah kira-kira satu meter di atasku, dia berhenti.

    “Sudah saatnya, Georgius. Jika Bio Essence itu mengeluarkan bola cahaya yang melebar dengan cepat, maka aku akan menghilang setelahnya. Perjalananku sebagai pembawa Bumi akan berakhir.”

    Tak bisa kupungkiri, hatiku benar-benar hancur saat ini. Namun aku tidak bisa berhenti sekarang. Biarlah untuk saat ini perasaanku terasa amat sakit, demi kelangsungan hidup banyak orang, hewan, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya, yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada planet ini, Terra.

    Terra, sebuah planet yang dibentuk dengan penuh dedikasi oleh orang-orang di masa lalu. Membiarkannya hancur sama saja dengan mengecewakan mereka, mereka yang berusaha menemukan rumah baru setelah Bumi tidak lagi bisa mendukung kehidupan.

    Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu menghembuskannya perlahan. Aku tahu kata-kata ini akan membuatnya tidak ragu untuk menyelesaikan ini semua.

    “Terima kasih banyak, Thera.”, aku berusaha memasang senyuman terbaikku.

    “Terima kasih juga, Georgius.”, ujarnya sambil tersenyum, namun air mata tetap mengalir di pipinya.




    Aku melangkah mendekatinya, masuk ke pilar cahaya itu. Kusentuh pipi kanannya yang lembut itu. Kutengok ke atas, ternyata Bio Essence sudah membentuk bola cahaya yang berwarna sama dengan dia, coklat-hijau-biru. Lalu, perlahan kudekatkan wajahku pada Thera, makin dekat…

    Di tengah kilauan cahaya yang makin terang, aku bisa merasakan sentuhan bibirnya pada bibirku. Selamanya…aku tidak akan melupakan hal ini.

    Selamat jalan---


    Spoiler untuk Sequence 7 :


    ================================
    Sequence 7: Terra ~little planet of love~
    ================================






    Beberapa tahun berlalu sejak badai hebat itu. Peristiwa nyaris kiamat itu terus dikenang oleh seluruh penduduk Terra. Untung saja, Bio Essence mampu menjalankan tugasnya dengan baik, membuat planet ini tidak lagi membutuhkan menara pengatur cuaca di kutub utara dan selatan. Musim-musim bergulir dengan normal, hujan dan badai pun terjadi secara wajar. Planet ini…sudah sempurna.

    Tak ayal, hal itu membuat ayah dan ibuku kembali dari kutub selatan. Mereka tidak tinggal serumah denganku, dan memilih untuk tinggal di Aqua Major. Kudengar sekarang mereka bekerja di badan antariksa Terra, dan menangani proyek raksasa di luar angkasa sana. Uh-huh, ada rencana untuk membuat kapal antariksa besar dengan menggunakan material dari kedua menara pengatur cuaca, dibangun langsung di luar angkasa.




    Bagaimana denganku sendiri?

    Tentu saja aku tidak meninggalkan profesiku sebagai Landworker. Beberapa proyek telah kutangani, salah satunya memperluas area sebuah pulau yang letaknya cukup jauh. Yap, sekarang aku mendapatkan kenaikan pangkat, menjadi pimpinan proyek. Sebelumnya aku hanya seorang bawahan, meski tetap tidak turun langsung mengangkut tanah atau semacamnya.

    Bertani? Itu juga selalu kulakukan di waktu senggang. Aku tetap tinggal di pinggir pantai, sehingga halaman belakangnya terus kugunakan untuk menanam bermacam-macam tumbuhan. Dengan teknik menanam secara rotasi pastinya. Sekali menanam tanaman A, setelahnya tanaman B, lalu tanaman C, baru kembali ke tanaman A, lalu menanam tanaman D, E, F, begitu seterusnya. Kebiasaanku untuk mempertimbangkan kestabilan zat hara pada tanah tidaklah hilang.

    Hmm, untuk musim tanam kali ini…aku akan menanam kol saja.

    Seperti biasa, aku membeli bibitnya di toko langgananku di Aqua Major. Aku juga membeli sebuah sarung tangan, karena yang biasa kugunakan sudah berlubang. 2 kantung bibit kol dan 4 kantong pupuk berukuran sedang, ditambah sepasang sarung tangan. Baiklah, sudah semua. Setelah mengkonfirmasi totalnya, pembayarannya pun langsung ditarik dari rekeningku. Saatnya pulang.




    “Aku pulang…!”, ujarku saat melangkah masuk.

    “Papaaaaa…!!”

    Seorang anak perempuan berlari menghampiri, lalu memelukku. Namanya Tellia, 9 tahun. Rambutnya coklat panjang, dihiasi sebuah bando berwarna hijau daun. Matanya biru sama sepertiku. Kalian teringat sesuatu dengan warna rambutnya? Tentu saja, karena dia adalah anakku…


    …dan Thera. Yap, dia adalah istriku sekarang.


    Aroma yang luar biasa enaknya tercium dari arah dapur. Pasti dia sedang memasak.

    “Mama sedang masak ya?”, tanyaku pada Tellia.

    “Iya Pa. Kata Mama, makan dulu, baru kita bisa menanam di belakang.”

    “Oh, Papa sudah pulang rupanya. Sebentar lagi matang, sabar sedikit ya.”, sahut Thera dari arah dapur.

    Makananpun matang, seporsi spaghetti dengan saus tomat cincang plus beef bacon. Hmm, sepertinya enak.

    Semuanya habis dengan cepat. Baik aku, Thera, maupun Tellia sama-sama punya kebiasaan makan dengan cepat, jadi tidak mengherankan jika seisi meja bisa kosong hanya dalam waktu kurang dari 20 menit.

    Berarti, sekarang saatnya menanam.




    Sebulan sudah halaman belakang tidak kutanami, jadi tidak heran kalau ada beberapa tanaman liar yang tumbuh. Tentu saja itu yang harus kutangani--- maksudku, kami tangani pertama kali. Istri dan anakku selalu membantu dalam urusan ini.

    Dengan adanya tiga orang yang bekerja, semuanya jadi jauh lebih cepat. Sejak selesai makan siang, tidak sampai pukul 4 sore sampai semuanya selesai. Untung saja tidak ada gangguan tikus tanah kali ini. Kalau ada…mungkin Thera dan Tellia akan bermain-main dengan mereka sebentar. Sepertinya sifat Tellia yang satu itu benar-benar diwarisinya dari Thera.

    Berhubung Tellia sedang mandi, aku bisa mengobrol berdua saja di halaman belakang dengan istriku, Thera.

    “Mama tidak bisa menumbuhkan mereka lagi dengan cepat seperti tanaman jagung yang waktu itu?”, tanyaku.

    “Huh…Papa ini. Sudah tahu kalau yang waktu itu adalah perbuatan Bio Essence. Dia sudah bersatu dengan Terra sekarang, jadi tidak mungkin lagi kulakukan hal itu.”

    “Hahaha…iya, maaf. Papa tahu kok. Bio Essence ya…bagaimana kabarnya sekarang? Mama masih bisa berkomunikasi dengannya kan?”

    “Ya, masih. Dan…dia sangat senang. Akhirnya dia bisa tenang setelah enam ratus tahun tidak menemukan tempat yang tepat. Dia bahagia karena mendapati bahwa penduduk planet ini bukanlah kumpulan manusia-manusia perusak.”

    “Hmm, kalau begitu, apa sebaiknya nama planet ini tidak diubah menjadi Bumi saja?”

    “Tidak perlu, Pa. Bumi hanyalah nama yang digunakan Bio Essence untuk menghargai manusia-manusia yang telah memberinya nama. Mulai sekarang dia adalah planet ini, dia adalah Terra.”

    “Jangan lupa ucapkan terima kasih padanya atas kejadian waktu itu. Kalau tidak…mungkin Papa tidak bisa menikahi Mama.”

    “Oh, tentu saja sudah. Sebenarnya Mama juga tidak mengerti kenapa dia bisa melakukan hal itu. Tapi…ya sudahlah, Mama bisa tetap hidup hingga sekarang. Tetap memiliki Papa, dan Tellia tentunya.”

    Kupeluk istriku, sambil mengingat kembali kejadian waktu itu. Entah kenapa, Thera tidak menghilang seperti yang dikatakannya. Waktu itu aku hanya mendengar Bio Essence berkata, “Jaga Thera baik-baik.”, lalu dia menghilang, masuk ke dalam tanah. Apa mungkin dia tersentuh melihat cinta di antara aku dan Thera yang begitu besar?

    “Aaaahhh!! Papa, Mama, aku juga mau dipeluk!!”, sahut Tellia. Rupanya dia sudah selesai mandi dan berpakaian.

    “Ahaha…iya, iya. Kemarilah, duduk di tengah-tengah.”, jawabku.




    Begitulah kisahku, aneh tapi sangat luar biasa. Melalui sebuah pertemuan yang tidak masuk akal, sekarang aku benar-benar bahagia. Siapa sangka dengan selalu berbuat baik terhadap alam, maka akan ada hadiah yang menantimu di depan? Aku, dan juga seluruh penduduk Terra, selalu mencintai planet ini meski waktu itu belumlah stabil, sebelum kedatangan Thera dan Bio Essence. Dan sekarang, inilah buktinya.

    Kuharap kebahagiaan ini akan terus berlangsung untuk semua orang, tidak hanya diriku. Kebahagiaan yang diberikan oleh planet ini, planet kecil yang penuh dengan cinta. Terra.





    THE END


    =================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Dikerjain tanggal 26, selesai tanggal 29 pagi. REKOR BARU.
    • Dibikin setelah entah kenapa gw keinget mengenai Gaia hypothesis wahyu dari langit kayaknya *plak
    • Sebenernya pemicunya adalah setelah gw membaca sinopsis VN AQUA. Ditambah dengan sedikit aura anime ARIA series (3 season + 1 OVA, capek gw copasin linknya akwkawkawkakaw) + Gaia hypothesis + romance = jadilah cerita ini.
    • Target gw bikin cerita ini adalah bikin serial yang ga panjang", jadi memang sengaja ga begitu detail.
    • Thera adalah sebuah anagram. Dibolak-balik hurufnya, jadilah "Earth".
    • Georgius artinya "pekerja tanah/Bumi" (earth worker), atau petani.
    • Tellia diambil dari kata "Tellus", artinya bumi. (Tellus dan Terra artinya sama)






    Monggo komentarnya
    Last edited by LunarCrusade; 29-06-12 at 16:33.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  2. Hot Ad
  3. #2
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Serial baru cepet ya dikerjainnya? Dan cepet pula gue bacanya, cuma 2 jem
    1 hal, pendek ya? Beda dari cerita yang biasanya... Tapi jujur, gue malah rada kecewa, kaga kaya baca cerita lu yang laen.

    Hubungan cinta antara si Georgius sama Thera itu dimulai seudah 3 minggu an mereka ketemu, kan? Ngg, normal sih... Tapi kurang dijelasin, apa aja yang bikin mereka bisa jatuh cinta, ***** bengek dan segala macemnya. Logically, sekalipun ada manusia yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama, cuma nanem jagung dan jalan2 sekali, terus sampe sebegitu cinta nya?

    Hmm,mungkin ada juga...tapi berhubung gue yang baca, jadi hal kaya gini gue rada gelo

    Ngga cuma itu, hal laen juga kurang jelas gitu, eh bukan kurang jelas juga tapi kurang mantep. Mungkin gara2 terlalu singkat, jadi ngga bisa dideskripsiin semua? Gue ngga bisa ngebayangin semua kejadiannya dengan detail, yes, beda banget sama cerita lu yang laen.
    Contohnya pas kejadian badai gila2an itu, tense nya ngga berasa. Masih, pagi, nyalain tv, Thera bangun, langsung badai, dan blam~ beres

    Emang diceritain si Georgius ngerasa udah lama gitu, tapi gue ngga ngerasa. Kalo gue liat2, seharusnya badai itu adalah klimaks cerita, bener? Tapi badai nya sendiri berlangsung terlalu singkat di cerita, seakan2 mau ada tsunami yang ombaknya 20meter, tapi belom nyentuh pesisir pantai mendadak udah surut. Kurang greget gitu lho.

    Terus di chapter terakir, mendadak diabisin dengan cepet juga. Tau2 udah nikah dan punya anak. Gue sendiri di akhir chapter 6 ngebayanginnya malah bakal ada beberapa waktu dulu yang ngasih liat kalo Terra jadi tenang, manusia2 berusaha pulih dari kerusakan, dsb. Tapi endingnya cukup bahagia juga ya, dan suasana hangatnya keluarga masih berasa. Mantep.

    Tapi overall, ide nya masih keren. Walopun agak serem juga ketemu cewe 600 taun
    Yang paling gue suka itu di Chapter 1 sebenernya, tenang, liat meteor berjatuhan, dan akibat cuma 1 kejadian itu doang semuanya tergambarkan secara jelas aowkaokwokowkoakwo.

    Well, sorry2 nih kalo komennya gimana2 gitu. Ini akibat pembaca kebanyakan baca cerita romance + cerita gegeloan laen. Ngga bermaksud buat menjelekkan apalagi mencela bodi nya Thera yang rata
    oh, btw, beda umurnya kali ini ngga jauh ya? (secara pertumbuhan tubuhnya terhenti di umur segitu sih )

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  4. The Following User Says Thank You to MelonMelon For This Useful Post:
  5. #3
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    gw sendiri juga ga ngerti kerasukan apa bisa mendadak nulis ini kerasukan ***** kejer setoran kali ye

    dan gw ngerasa memang terlalu rushing sih (dari gw nya ngerasa gitu)
    entah kenapa gw kayak pengen lepasin attribut "super detail" gw, buat mengakomodir pembaca yg lebih suka baca yg pendek"

    soalnya gedek juga gw, kalo nulis pasti adaaaaaa aja yg bilang kepanjangan, dan gw rasa itu salah satu yg bikin sepi komen

    but it seems failed huh
    atau jangan" karena chara utamanya kagak loli jadi imajinasi gw kagak jalan #dibacok


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #4
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Soalnya yang komen kaya gitu baru gue, dan gue kebiasa baca cerita lu yang super duper detail itu
    Kalo yang kaga baca dan meratiin cerita lu yang laen2 sih rasanya bakal ngerasa cerita ini bagus, karena jalan ceritanya sendiri bagus

    Eniwei kalo kaga mau detail, coba bikin cerita yang lebih fokus ke sedikit kejadian tapi intens. Contoh nya ya kaya gini, kejadian dikit, tapi intens kaya di golta. Bikin pembaca seengganya bisa ngerasain apa yang dirasain si tokoh utama secara real
    Tapi emang gabakal jadi pendek sih cerita pendek2 buat gue kurang seru juga sih (padahal sendirinya nulis cerita pendek) woakwoakowkoaokokw

    oh, buat cerita lanjut nya loli lagi dongs

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •