-Now Loading-
Running several applications, please wait...
Running Pierrot's_threat_Hunter.exe. ..
Running Typo_fix_v69.exe...
Running Re_Form_Cracked_v.exe...
Running Ugly_Language_Destroyer.exe...
Running Zero_Perfectness.exe...
Running ****_that_*****.exe...
Running I_don't_know_wth_i'm_doing.exe...
Non-sense overload..
Taking a piss...
Generating god-for-nothing-activity...
Some **** generated
-maintenance on process-
Spoiler untuk Chapter I : That Girl with Red Eyes :
Spoiler untuk 1.1 :SEPULUH detik. Itulah waktu yang kumiliki sebelum makhluk kecil itu benar-benar lepas dari pandanganku. Tidak perlu pikir panjang, begitu telinga kecilnya menyadari keberadaanku, saat itu juga pisauku langsung tertancap di tubuhnya. Kelinci yang malang itu mati seketika.
Muncul suara langkah kaki dari balik pohon dibelakangku. Langkah kaki pemburu yang hampir tak terdengar, namun kau akan terkejut begitu mengetahui bahwa pemilik langkah itu adalah seorang pria berbadan kekar berusia 40-an. Pemburu profesional yang juga merupakan mentorku saat ini.
“Bagaimana, Pak tua?” kataku dengan nada agak menyombongkan diri.
Pria itu melirik korban dari pisauku, kemudian mendengus pelan, “Terlalu mudah untuk levelmu nak, sudah kuduga aku harusnya mengajakmu lebih dalam.”
“Tapi kau akan kena masalah kalau membawaku lebih dalam lagi kan?”
“Yeah, aku Cuma bercanda. Cabut pisaumu dari makhluk malang itu, dan segera kuliti makhluk malang itu.”
Tanpa bicara lebih lanjut, aku melakukan perintahnya. Selesai menguliti, aku mengikatnya di ikat pinggang bersama dengan empat ekor buruanku sebelumnya. Dua ekor berang-berang, dan dua kelinci yang semuanya berhasil kubunuh dengan sekali lemparan pisau. Sebenarnya, aku lebih senang menggunakan tombak sebagai senjata untuk dilempar, namun aku belum diperbolehkan membawa benda seperti itu kedalam hutan.
Karena bagaimanapun, aku ini masih seorang Calon Hunter.
Kami berjalan melewati pagar pembatas dan hamparan padang rumput yang membatasi hutan dengan desa. Desa kami terletak di pinggiran Area 5, salah satu dari 6 Area yang membentuk negara Core. Yang menurut guru sejarah kami, negara ini dulunya bernama USA.
“Hey, Gray. Bagaimana hasilmu hari ini?” sapa seorang anak laki-laki seumuranku ketika kami baru saja sampai di desa.
“Tidak banyak, hanya tiga ekor kelinci dan dua berang-berang.”
“Berang-berang? Kau beruntung bisa mendapatkan satu. Mentorku tidak membiarkanku berburu sampai sungai. Yah, setidaknya aku harus puas dengan dua tupai dan seekor kelinci.”
Tepat sekali, kami para calon Hunter tidak diperbolehkan berburu sampai melebihi batas sungai. Meskipun di seberang sungai terdapat banyak buruan yang lebih besar seperti rusa, Lynx, dan ****** liar, namun resiko diserang hewan-hewan predator seperti beruang juga patut diperhitungkan. Setidaknya, Bruno mengizinkanku berjalan sampai ke sungai dan membunuh beberapa berang-berang sementara mentor lain hanya memperbolehkan calon pemburunya minum dari sungai itu.
Orang awam pasti berpikir, tidak ada gunanya membunuh hewan-hewan kecil tak berbahaya seperti kelinci atau tupai sebagai metode latihan, anak kecil saja bisa membunuh kelinci kalau diberi pisau. Tapi sebenarnya, ini bukan tentang seberapa kecil atau lemah musuhmu, tapi bagaimana kau bisa memburu mereka dengan pengetahuan dan kemampuan yang terlatih, untuk kemudian diaplikasikan pada target yang lebih besar.
“Kau sebaiknya pulang, kakakmu pasti sudah menunggumu dirumah.”
Aku melepaskan seekor berang-berang dari ikat pinggangku, dan melemparnya pada Bruno.
“Makan malammu,” kataku singkat.
“Bocah tengik, aku bisa membunuh seekor beruang kalau aku mau,” katanya sambil menangkap bangkai hewan yang sudah kukuliti itu.
Pernyataan bruno tidak terlalu berlebihan. Dia pernah membunuh seekor beruang dengan pisaunya beberapa bulan yang lalu. Tidak banyak orang yang bisa memburu beruang sendirian.
“Satu lemparan tepat dikepalanya, beruang itu milikmu,” katanya berbulan-bulan yang lalu sambil menyantap sup beruang, ketika ia membawa sebagian daging kerumah kami untuk dibuatkan sup oleh kakakku.
Suatu hari, Bruno keluar dari hutan sambil menyeret seekor beruang raksasa dengan sebelah tangannya. Dalam sekejap, dirinya menjadi pusat perhatian seluruh penduduk desa, namun ia tidak memamerkan tentang betapa hebat atau kuat dirinya pada orang banyak saat itu. Setidaknya, selain pada aku dan kakakku. Bruno memang sangat dekat dengan keluarga kami. Kata kakakku, ia dulu adalah sahabat baik almarhum ibuku. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan sama-sama berprofesi sebagai Hunter. Mungkin, bukan kebetulan dia jadi Mentorku sekarang.
“Aku pulang,” kataku setelah membuka pintu rumah kami, “Kak, kau ada dirumah?” Aku berjalan kearah dapur dan mendapatinya sedang memasak air di tungku pemanas.
“Selamat datang.” Ia menyambutku dengan lembut.
Kakakku sangat cantik, orang-orang di desa juga berpikir seperti itu. Bisa dibilang, ia sangat bertolak belakang denganku. Aku tidak berbicara tentang penampilan kami, lagi pula wajahku tidak jelek. Namun, saat aku berkeliaran membunuh hewan-hewan di dalam hutan, Ia menyembuhkan orang-orang yang terluka karena berburu, atau karena kecelakaan di tambang.
Ya, salah satu mata pencaharian utama di desa kecil ini adalah pekerja tambang. Desa kami memiliki tambang batu bara yang cukup besar, dan sudah menyumbang banyak, baik itu batu bara maupun korban jiwa atau luka-luka.
“Lihat siapa yang baru datang.”
Orang yang baru saja menyapaku ini adalah kekasih kakakku. Namanya Coda. Ia bertugas sebagai Guardian yang bertugas menegakkan hukum didesa ini.
Pada dasarnya, Hukum di negara Core memiliki kesamaan. Yang paling ringan adalah penjara, dan yang paling berat adalah Eksekusi dan Pengasingan. Tapi tergantung pada setiap Area, misalnya kau tertangkap karena melakukan perburuan ilegal di Area 1 yang memiliki hukum paling ketat, kau bisa dicambuk didepan umum. Sementara di Area 5 ini, kau bisa berakhir dipenjara selama beberapa minggu jika punya alasan yang bagus. Namun, kelonggaran hukum yang sengaja dipraktekkan di desa kami ini tidak membuat penduduk menjadi kriminal. Kami cukup tentram hidup berdampingan dengan para Guardian tanpa perasaan was-was akan dicambuk didepan umum.
Coda, duduk di meja makan kecil dengan kuota empat orang. Ia tidak mengenakan seragam biru Guardian dengan beberapa deret garis kuning di kedua lengan. Hanya kaus dalam putih dan celana guardiannya. Jika tidak sibuk, ia biasa beristirahat dirumahku sejak sore untuk membantu kakak menyiapkan makan malam, dan pergi setelah makan untuk kembali bekerja. Tidak hanya membantu, biasanya ia membawakan beras dan sayur-sayuran untuk makan malam kami. Bekerja sebagai Guardian adalah salah satu hal yang dapat mengangkat derajat hidupmu di desa kecil ini, meskipun mereka harus terbiasa dengan jam kerja hampir 16 jam sehari.
“Jadi kapan kalian menikah?” tanyaku sambil melahap sepotong kecil daging kelinci hasil buruanku.
Coda terbatuk, dan aku bisa melihat wajah kakakku bersemu merah. Tidak ada jawaban selama beberapa detik, dan aku hanya menatap mereka berdua sambil menaikkan sebelah alisku. Meski dari segi umur mereka jauh lebih dewasa dariku, tapi sekarang mereka berdua tampak seperti pasangan yang sangat lugu. Kadang-kadang aku menikmati mengerjai mereka seperti ini.
“Kami belum benar-benar siap untuk hal itu Gray,” kata kakakku sambil membalas lirikkan Coda, “Mungkin satu atau dua tahun lagi.”
Satu tahun lagi, itu ketika aku sudah lulus dari title Calon pemburu, menjadi pemburu yang sesungguhnya. Setidaknya begitulah yang dijanjikan Bruno karena prestasiku yang jauh melampaui Calon pemburu lain. Biasanya, Calon pemburu, seperti semua pekerjaan lainnya akan diluluskan ketika kau berumur 18 tahun. Namun kau, bisa lulus setahun lebih cepat jika dapat membuktikkan dirimu dengan baik. Aku beranggapan kalau kakakku sengaja menunda pernikahannya sampai aku cukup dewasa.
Di desa yang dikelilingi oleh hutan, gunung, dan tambang yang terletak di sebelah barat, tersedia beberapa pekerjaan yang wajib diambil oleh seluruh penduduk desa, kecuali untuk orang yang sakit-sakitan atau wanita yang sudah menikah. Semua penduduk laki-laki harus sudah bekerja pada umur 18 tahun, sesuai dengan pilihannya sendiri. Perempuan mulai pada umur 19 tahun. Kecuali pekerjaan sebagai guardian yang menuntut standar sangat tinggi terutama kemampuan fisik seseorang, akan mulai pada umur 24 tahun baik pria maupun wanita. Tentunya melalui latihan keras dan super ketat yang dijalani sejak umur 14 tahun.
Tahun-tahun terakhir disekolah, kami diberitahukan bahwa menentukan pekerjaan haruslah berdasarkan minat dan kemampuan masing-masing. Sekali menentukan satu pekerjaan, kau tidak boleh mengeluh atau bahkan berpindah pada pekerjaan lainnya.
Aku tanpa ragu memilih Hunter.
Spoiler untuk 1.2 :Aku bangun dari tidurku. Kepalaku terasa berputar karena memaksakan diri mengalahkan segala bentuk kemalasan yang dikerahkan oleh otakku agar terus berbaring.
“Gray, cepat bangun, ini hari perayaan.” Kakakku memanggil dari luar.
“Ini hari perayaan,” perintahku pada diriku sendiri.
Dengan malas, aku meninggalkan ranjangku dan berjalan keluar. Hari perayaan tidak terlalu berarti untukku karena justru, berburulah kegiatan yang membuatku merasa jadi diri sendiri. Aroma hutan, suara gemerisik pohon dan hewan-hewan kecil yang berusaha menghindari manusia. Tempat dimana aku seharusnya berada. Terimakasih, berkat hari libur ini aku tidak bisa pergi. Bahkan, aku harus ikut bekerja di alun-alun untuk mendirikan panggung dan komponen lainnya untuk digunakan malam nanti. Upahnya lumayan meski tidak bisa menutupi absen tidak berburu selama satu hari.
Di alun-alun, aku mendengar suara yang familiar memanggil namaku. Aku menoleh mengikuti arah suara itu, untuk mendapati seorang anak laki-laki bernama Ron yang kemarin menyapaku dan seorang anak perempuan berambut pirang yang juga calon pemburu.
“Hey.” Aku balas menyapa.
Hidungku menangkap aroma primrose dari tubuh May. Tidak seperti kebanyakan pemburu yang sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bau binatang, berada di dekat May rasanya menyejukkan. Itu karena ibunya memiliki kebun bunga dihalaman belakang rumahnya. Bunga-bunga itu digunakan sebagai bahan utama meracik parfum, untuk kemudian dijual.
“Aku dengar, kamu bisa lulus setahun lebih cepat.” Gadis itu berkata dengan riang.
“Itu.. aku belum terlalu yakin, tapi Bruno tampaknya mau mengusahakannya.”
“Dia harus melakukannya, kemampuanmu sekarang tidak kalah dengan pemburu sungguhan!” Ron ikut bergabung.
Obrolan kami berlanjut sampai seorang pria membubarkan kami.
"Kerja-Kerja! Jangan makan gaji buta!"
Pukul delapan, seluruh penduduk desa berkumpul dialun-alun. Sebuah layar lebar di bentangkan di panggung, dan dengan menggunakan proyektor, sebuah gambar muncul dipermukaanya. Aku memperhatikan dengan malas penjelasan berikut beberapa ilustrasi tentang bagaimana Area 7 yang merupakan Area termaju saat itu memulai invasinya pada seluruh Area di Core.
“Aku masih heran pada negara ini. Bisa-bisanya mereka membuat hari libur nasional berdasarkan kehancuran telak suatu Area.” Ron berbicara pelan, matanya melirik kearahku dan May yang berdiri disampingnya. Tapi kami hanya membiarkannya bicara sendiri.
Gambar ilustrasi yang tadinya hanya berupa slide-slide yang diganti, berubah menjadi tampilan dari rekaman peristiwa asli tentang bagimana ratusan ribu hingga jutaan jiwa jatuh dalam peperangan. Perang besar antara enam area melawan Area 7 selama dua puluh tahun berakhir dengan dimusnahkannya Area 7 selamanya dari muka bumi. Ribuan mayat penduduk Area 7 yang semuanya memiliki bola mata merah menyala dibiarkan terkubur bersama Area 7 yang kini hanya berupa reruntuhan yang tercemar oleh nuklir mereka sendiri.
Setelah film dokumenter berdurasi satu setengah jam itu berakhir, kami diperbolehkan makan, dan memulai pestanya. Orang-orang mulai menari berpasang-pasangan, membentuk kerumunan yang berputar teratur di tengah alun-alun. Mungkin tidak buruk juga sekali-kali memiliki perayaan seperti ini.
Sebuah genggaman yang halus menarik lengkan kiriku, aku refleks meletakkan gelas minuman yang kupegang dengan tangan kananku ke meja terdekat. Aku tahu tangan siapa ini.
“Ayo ikut menari, Gray.”
“Aku lebih suka melihat,” ujarku. Tapi May tidak mau berhenti menarik tanganku.
Orang-orang ini bisa saja menari sampai matahari terbit jika saja mereka lupa bahwa keesokan harinya mereka harus kembali bekerja, melanjutkan rutinitas masing-masing.
Tengah malam, alun-alun mulai ditinggalkan. Beberapa orang tinggal untuk membereskan sisa-sisa pesta, termasuk aku. May dan Ron juga ikut membantu. Kami selesai pada pukul satu, saling berpamitan dan berjalan kearah yang berbeda menuju rumah masing-masing.
“Sampai ketemu besok,” ujar May sambil melambai padaku.
Keesokan harinya kami kembali bertemu di akademi. Aku melihatnya terlebih dahulu, sedang latihan menggunakan panah dalam jarak 50 meter. Aku lebih mengenali May dalam pakaian pemburunya. Hoodie hijau berlengan pendek yang kelihatannya terbuat dari bahan yang sangat ringan, sepatu bot kulit berwarna coklat, rambut pirang terikat kebelakang. Tubuhnya lebih pendek dariku dan sangat langsing. Lengan bajunya yang sebelah kanan ditarik hingga kepundak sehingga memperlihatkan lengan kurusnya yang putih. Di kedua tangannya, terdapat sarung tangan kulit berwarna coklat yang selalu ia gunakan untuk menarik busurnya.
Satu lagi anak panah menancap tepat pada sasaran dengan mantap. Aku melirik bahu kecil dan lengan kurus May, kemudian bertanya-tanya dari mana asalnya kekuatan dan ketepatan itu.
“Hai, Gray,” sapanya ketika aku sedang mengambil beberapa buah tombak untuk pemanasan. “Kamu akan berburu lagi bersama Bruno?” tanyanya.
“Yeah, aku akan pemanasan sambil menunggunya terbangun dari tidur,” kataku sambil melempar tombak itu dari jarak sasaran 50 meter. Tombak itu bergerak keatas dan perlahan menukik hingga menancap tidak jauh dari titik pusat sasaran.
“Mungkin satu jam lagi.” Aku melempar tombak lain ke sasaran yang sama.
Berulang kali menancapkan tombak pada sasaran tembak, kemudian mencabut tombak-tombak itu ketika terasa sudah terlalu menumpuk. Berharap Bruno segera datang, namun kebiasaan terlambatnya memang amat sulit dihilangkan. Sampai seorang calon pemburu yang aku tidak tahu siapa namanya memberikan selembar surat padaku.
Aku langsung membuka surat itu, ketika calon pemburu yang memberikannya berbalik untuk kembali meneruskan latihannya. Di dalamnya terlampir sertifikat izin berburu sendiri tanpa harus ditemani mentor, beserta tulisan tangan Bruno yang buruk, yang memberitahukan bahwa dia punya urusan mendadak saat ini. Aku bisa menyimpulkan beberapa hal.
Pergi berburu sendiri,
Jangan lewati batas sungai.
Berikan sertifikat ini pada Guardian yang menjaga perbatasan hutan.
Aku sampai di hamparan padang rumput yang luas dan kosong. Padang rumput ini merupakan perbatasan antara hutan dan desa kami. Hutan itu dibatasi oleh pagar kawat setinggi enam meter, dan hanya memiliki satu pintu masuk yang bisa diakses dari desa kami. Guardian yang menjaga pintu masuk hutan itu mengenali wajahku dan membiarkanku masuk tanpa curiga, ketika aku memberikan sertifikat dari Bruno.
Aku mulai memperbaiki langkahku ketika masuk lebih dalam. Tidak lupa menghirup aroma hutan yang membuatku merasa nyaman, mataku terus melirik tempat-tempat yang menurutku menjadi jalur bergeraknya hewan-hewan kecil. Namun yang bisa kulihat hanyalah burung-burung kecil yang menyanyi di dahan pohon. Sudah lewat tengah hari, aku belum berhasil membunuh satu hewanpun. Aku memutuskan untuk berjalan menuju sungai, siapa tahu aku bisa membunuh beberapa berang-berang sekalian minum disana. Dan ternyata aku benar. Seekor berang-berang berhasil kubunuh dengan sekali lemparan pisau, ketika saat itu juga mataku menangkap siluet manusia bergerak jauh dipedalaman hutan disebrang batas sungai. Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jauh. Dua puluh detik kemudian, siluet itu kembali tertangkap oleh mataku. Sosoknya ramping, hanya berupa bayangan karena terhalang pepohonan.
Kini sosok itu terduduk. Tanpa pikir panjang aku berlari melesat kearahnya. Tidak terlalu cepat, namun tidak bersuara. Berlari dari satu pohon ke pohon yang lain. Aku berhenti di sebuah pohon yang kuperkirakan jaraknya hanya 20 meter. Aku mampu melempar pisau tepat kearah kepala dalam jarak ini. Perlahan, aku melirik kearah sosok tersebut. Namun, yang kudapati bukan hewan yang terluka.
Seorang Gadis, terduduk kepayahan. Keringatnya mengalir deras di dahi putih yang tertutup oleh beberapa helai rambut hitam panjang. Aku dapat melihat dengan jelas kedua matanya yang menangkap sosok tubuhku, menatapku tanpa ekspresi.
Mata yang merah menyala.
Spoiler untuk 1.3 :Usai perang dunia, lebih dari setengah populasi manusia menjadi korban. Tempat-tempat, Kota-kota, Negara, hilang begitu saja dari peradaban. Sisanya, banyak yang tercemar limbah kimia dan asap beracun sehingga tidak bisa lagi dihuni makhluk hidup apapun. Orang-orang hanya bisa menyesal, bahwa kehancuran terbesar bagi umat manusia ini, terjadi hanya karena akibat dari permainan politik. Tapi apa Gunanya? Penyesalan tidak akan membuahkan apapun. Mereka harus bangkit, percaya bahwa kehilangan sebesar apapun, hidup masih bisa berlanjut.
Salah satu wilayah di dunia yang mengalami kehancuran terbesar adalah Amerika. Sebagai negara yang ikut serta dalam perang dunia, mereka tidak memiliki hak untuk berputus asa. Segera bangkit dari keterpurukan, dalam hitungkan dekade, berhasil membentuk negara kesatuan baru bernama Core. Terdiri atas Tujuh Area, yang masing-masing berdiri sendiri, namun saling menopang satu sama lain.
Diantara Ketujuh Area tersebut, Terdapat satu area yang paling menonjol. Area yang memiliki kemajuan paling pesat dibanding area yang lain, Area 7, yang entah kenapa, seluruh penduduknya memiliki warna mata merah menyala.
Area 7 berkembang seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik modern, dan fasilitas ilmu pengetahuan terbesar di negara Core, semuanya terdapat di Area 7. Merekalah yang pertama kali berhasil mengembangkan kembali teknologi nuklir, namun tidak di manfaatkan sebagai senjata karena perjanjian dunia setelah perang adalah, ‘Tidak ada satu Negarapun yang boleh mengembangkan senjata untuk memusnahkan manusia.’
Tidak terkecuali Core.
Pesawat pengangkut berkecepatan suara diciptakan demi kelangsungan perkembangan Area lain. Rel kereta Bertenaga Surya di bangun diseantero Core, terimakasih pada Area 7. Semua perkembangan ini seharusnya membawa kabar gembira di hati penduduk Core, namun sebuah rasa takut atas superioritas Area 7 mulai merasuk.
Hingga semua itu menjadi kenyataan.
Area 7 melancarkan invasinya perlahan pada Area sekitarnya, berniat mengambil alih seluruh Area untuk menguasainya. Sumber daya sebuah Area tidak dapat memuaskan dahaga perkembangan yang melaju tanpa henti. Area lain, yang hanya merupakan beban, tidak lagi dibutuhkan.
Keseimbangan hancur karena sebuah Area melesat terlalu cepat meninggalkan yang lain. Seluruh Area bertekad untuk memusnahkannya, selamanya.
Perang terbesar setelah perang dunia terakhir pun meletus.
Diakhiri oleh hilangnya Area 7 dari peta dunia. Dipastikan bahwa seluruh populasi Area 7 lenyap selamanya, tidak menyisakan seorangpun. Tanpa ampun.
Saat ini, diriku tidak berada dalam hutan, namun berusaha menerawang perkataan, gambaran dokumenter, tulisan di buku, dan seluruh bayangan yang kuciptakan sendiri berdasarkan semua referensi itu.
Aku terbangun dari lamunanku. Seorang gadis seumuranku terduduk dua puluh meter jauhnya. Bola matanya yang merah menyala memandang mataku lekat-lekat.
Perlahan, kakiku membawa tubuhku berjalan. Melangkah di dedaunan kering yang gugur. Semakin mendekat, aku merasakan sensasi yang tidak asing dari gadis didepanku ini. Tubuhnya gemetaran, matanya mengawasi mataku tampak waspada. Lengannya disilangkan menutupi dadanya, dan masing-masing tangan menggenggam pundaknya.
Benar, seperti berhadapan dengan hewan buruan. Lebih tepatnya mangsa, mangsa yang tidak berdaya, menunggu ajalnya. Sebagai pemburu aku jelas bisa merasakan Gadis ini memancarkan aura yang persis sama.
Aku menjatuhkan pisau berburu yang kugenggam. Membuka kedua lenganku, berusaha meyakinkannya bahwa aku tidak berbahaya. Tapi gemetarnya tidak berhenti. Aku duduk didepannya. Wajah kami hanya berjarak tiga puluh sentimeter. Aku menatap lekat-lekat tubuhnya yang terbalut pakaian putih, kotor karena debu dan keringat. Naik keatas, jantungku agak dikejutkan dengan fakta bahwa gadis ini memiliki wajah yang sangat manis. Putih, berkeringat, dengan rambut hitamnya tergerai panjang. Beberapa helai rambut menutupi keningnya, tampak berantakan. Masih tidak percaya, aku kembali menatap matanya seakan warna merah itu hanya ilusi. Aku salah.
Mata itu nyata, merah menyala. Milik seorang gadis seumuranku, dan sekarang ia terduduk dihutan ini dikuasai kelelahan dan rasa takut. Rasa takut.. olehku?
“Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu.” Aku berusaha bicara sepelan mungkin, namun gemetarnya tetap tidak berhenti.
Sekarang aku melepas ikat pinggangku yang dipenuhi pisau, memperlihatkan rompi berburuku yang didalammnya tersimpan beberapa pisau yang tersusun rapi, lalu melemparnya jauh-jauh. Aku kembali mengatakan kalimat yang sama, jauh lebih pelan.
Setidaknya ia tidak gemetaran lagi sekarang.
Aku menggerakkan tanganku perlahan menuju wajahnya, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel dikeningnya.
“Panas,” kataku sambil menarik kembali tanganku, seperti baru saja menyentuh tungku yang berisi air mendidih. Gadis ini sakit parah, suhu badannya tidak normal.
Aku menarik tangannya perlahan untuk membantunya berjalan. Gadis itu mengernyit, entah karena sakit atau takut.
“Tidak apa-apa, aku kenal orang yang bisa menyembuhkanmu,” kataku.
Dia tak yakin, tapi tetap membiarkanku menariknya perlahan untuk berdiri. Aku melirik kakinya yang gemetar, tampaknya ia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berjalan. Aku menyandarkannya perlahan ke pohon didekatnya, kemudian mengambil kembali rompi dan ikat pinggangku yang tergeletak di tanah.
Saat ini, aku sedang menanggung resiko yang berat dengan membawa pergi gadis ini ke Area 5, ke desaku. Apakah hal ini layak dilakukan? Dengan kondisinya yang seperti ini, Ia bisa mati dimangsa hewan buas, jika keadaan tubuhnya tidak membunuhnya terlebih dahulu.
Aku segera berjalan kembali ke tempat gadis itu, kemudian berlutut memunggunginya. Aku memposisikan tubuhnya dipunggungku, kedua lengannya kuselipkan dibawah leherku dan sebelah tanganku mengangkat tubuhnya. Dia agak kaget menerima perlakuanku, namun ia tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Kuanggap kamu tidak keberatan,” kataku tanpa menoleh sedikitpun.
Berjalan sambil menggendongnya rasanya seperti sedang membawa boneka kain yang terbakar.
“Aku pasti akan kena masalah karena perbuatanku ini.. ”
Aku berhenti sejenak didepan sungai.
“Jadi awas saja kalau kamu sampai mati.”
Gadis itu masih tidak berbicara, namun sekarang aku bisa merasakan kepalanya menyentuh lembut punggungku, sehingga menularkan rasa hangat yang aneh.
Apa dia akhirnya kehabisan tenaganya? sekarat? Aku mulai membayangkan beberapa kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dalam perjalanan pulang.
Tapi sebelum berpikir macam-macam, aku harus memikirkan cara untuk mengeluarkan gadis ini dari hutan.
Spoiler untuk 1.4 :PEER, jika aku tidak salah ingat adalah nama dari Guardian yang bertugas menjaga perbatasan hutan ini. Hampir satu tahun aku berburu, aku sudah tahu betul kebiasaannya yang sangat gemar tertidur saat sedang bekerja. Aku dan Bruno beberapa kali mendapatinya sedang tertidur saat akan keluar dari hutan. Butuh keberuntungan ekstra agar dia juga tertidur sekarang, karena aku tidak mungkin memperlihatkan gadis yang ada dipunggungku ini. Aku kemudian memilih sebuah pohon yang cukup besar namun tidak terlalu tinggi.
“Tunggu sebentar ya,” kataku sambil menyandarkan gadis itu pada pohon yang baru saja kupilih.
Aku tak bisa menahan seringaiku ketika mendapati Peer yang sedang duduk diposnya sambil mendengkur. Tapi, ketika hendak membawa Gadis itu kembali, aku melihat dua orang pemburu berjalan melewati jalan setapak dari dalam hutan. Aku cepat-cepat bersembunyi dari jarak pandang mereka. Kelihatannya mereka sudah selesai berburu, dan sama sepertiku, mereka tidak begitu beruntung hari ini. Dua ekor anak rusa dan tiga ekor berang-berang adalah hasil yang menyedihkan untuk sepasang pemburu. Mereka berhenti sejenak didepan pos jaga, kemudian membangunkan Guardian yang sedang tertidur itu.
"AAAHHHH," aku menyumpah dengan putus asa ketika Peer akhirnya terbangun.
Aku menunggu dengan sabar sampai kedua pemburu itu pergi. Sia-sia saja, Peer sudah tidak memiliki niat untuk kembali tidur.
Nah, sekarang pilihan apa lagi yang kupunya. Memanjat pagar kawat ini? tanganku bisa putus duluan sebelum sampai kepuncak. Tidak ada baiknya berpikir sambil berdiam diri, kuputuskan untuk mebawanya berjalan menyusuri pagar pembatas sambil memikirkan rencana lain. Tapi, satu-satunya rencana yang bisa terpikir dibenakku adalah menghantam Peer dari belakang sampai pingsan, kemudian kabur secepat mungkin.
Jika aku tidak menemukan pohon yang berdiri menjulang tinggi didepanku ini, mungkin aku benar-benar sudah membuat Peer pingsan sekarang. Pohon Pinus itu tingginya hampir sebelas meter, berdiri tidak jauh dari pagar pembatas. Dahan-dahannya yang menjalar dilangit sampai keatas pagar pembatas memberiku ide yang cukup menyakitkan untuk dibayangkan.
Butuh kerja keras untuk memanjat pohon ini, sampai akhirnya aku merayap ke sebuah dahan yang menjalar keluar pagar pembatas. Tinggi pagar pembatas ini enam meter, aku memperkirakan diriku sekarang ini berada tujuh meter jauhnya dari permukaan tanah. Berbahaya terjatuh dari ketinggian ini, bahkan untuk pemburu terlatih sekalipun. Ditambah, beban yang sedang kutanggung di punggungku ini.
Sekarang tunggu apa lagi? Kalau sudah sampai sini tidak bisa mundur lagi kan, aku menyemangati diriku sambil menatap kebawah.
Tanah yang terhampar dibawahku adalah padang rumput yang cukup lebat. Tidak banyak membantu, malah, tidak akan membantu sama sekali. Aku melemparkan semua buruanku keatas tanah, berharap tubuh tak bernyawa mereka mampu meredam benturanku. Dengan canggung, aku memindahkan posisi gadis bermata merah itu. Sekarang tubuh kami saling berhadapan, sedangkan kedua kakinya ku silangkan diantara pinggangku.
“Mungkin akan terasa sedikit benturan. Tahan sedikit ya,” kataku dengan ekspresi tak yakin bahwa hal ini akan berhasil.
Setelah mengumpulkan seluruh keberanian yang dapat kuhimpun, aku melompat kearah bangkai-bangkai buruan yang tidak sempat kukuliti itu. Sempat kudengar suara teriakan singkat dari gadis yang kini berada dipelukanku saat kami melesat di udara.
Kedua kakiku mendarat bersamaan, diikuti bokongku yang membentur bangkai berang-berang seperempat detik kemudian. Sensasinya langsung terasa pada tulang belakang dan kakiku. Kurasakan sakit luar biasa di kedua tumit, betis dan tulang ekorku.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanyaku sambil meringis kesakitan.
Ia menggeleng singkat, aku baru sadar wajah kami berdua hanya berjarak kurang dari 10 cm. Nafasnya yang hangat memburu di depan mulutku. Alih-alih memeriksa hewan buruan yang ada dibawahku, aku langsung menoleh menghindari pandangannya dari wajahku yang memerah.
Bentuk mereka sudah tidak karuan, darah kering terciprat dari kulit yang sobek. Tulang-tulang mereka mungkin remuk, sama seperti tulangku. Tapi tetap saja aku harus membawa mereka pulang, dan mengikatnya ke ikat pinggangku. Meninggalkan mereka disini sama saja meninggalkan jejak, dan hal yang harus dihindari seorang Hunter adalah meninggalkan jejak mereka.
Kutempatkan kembali gadis itu diatas punggungku. Saat memulai langkah, kakiku rasanya seperti terbakar. Dalam perjalanan pulang, aku memilih rute menyusuri padang rumput yang butuh waktu dua kali lebih lama untuk menghindari penduduk desa. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi ketika aku kembali menggendong gadis itu dipungguku, panas tubuhnya sedikit menurun. Jadi, aku mencoba mengajaknya bicara.
“Kamu sebenarnya berasal dari mana sih?”
Dia tidak menjawab.
“Kamu punya nama kan, siapa namamu?”
Aku masih tidak mendengar suaranya.
"Berapa umurmu? 15? 16? kurasa kita seumuran."
Yang kudengar hanya suara jangkrik.
“Tubuhmu panas sekali ya, saking sakitnya kamu jadi tak bisa berkata apa-apa ya,” kataku sambil menyunggingkan senyum sarkastik.
Ah.. Aku menyerah mengajaknya bicara, pada akhirnya hanya keheninganlah yang menemaniku berjuang melawan rasa sakit dan lelah.
Setelah sampai dirumah, rasanya tumitku sudah tidak sanggup menahan berat badanku lagi. Namun, aku tetap memaksakan diri berjalan sampai kamar dan membaringkan gadis ini ke renjangku.
“Tenang saja, kakakku seorang perawat. Ia pasti bisa menyembuhkanmu,” kataku sambil berusaha tersenyum.
Sambil mengumpulkan tenaga, aku melepaskan buruanku yang sudah hancur. Melepaskan rompi pemburuku, dan berjalan dengan kaki yang menuju dapur. Lalu, aku mendengar suara ketukan pintu.
“Gray, kamu sudah pulang?” Itu suara kakak. Tampaknya ia sedang memasak di dapur.
Aku menyahut sekedarnya agar dia bisa mendengarku.
“Tolong bukakan pintunya, aku agak sibuk disini.”
Aku mendesah protes, seandainya dia bisa melihat keadaanku sekarang. Tapi, tetap saja aku melaksanakan permintaanya. Terkadang menjadi adik yang penurut itu menyakitkan... Secara harfiah, setidaknya kali ini.
“Dasar, siapa sih yang datang malam-malam begini,” ocehku pada diri sendiri untuk mengabaikan rasa sakit yang menyiksa ini.
Aku berjalan kearah pintu masuk dengan kepayahan, sebisa mungkin menyembunyikan keadaan kakiku yang pincang. Aku membuka pintu perlahan, mendapati sesosok tubuh tinggi yang mengenakan seragam biru guardian. Aku menengok keatas untuk melihat siapa pemilik seragam ini. Yang kudapati adalah wajah cekung tak asing, dan sepasang mata yang menatapku dari celah pintu yang kubuka.
Sepasang mata coklat yang sudah kukenali selama hampir setahun.
“Halo Peer.. ”
Spoiler untuk 1.5 :“Kukira, kau masih berburu.”
“Ah, aku sudah pulang dari tadi kok,” kataku dari balik pintu yang masih terbuka setengah.
“Masa.. aku tidak melihatmu pulang.”
“Kau tertidur Peer, pulas sekali.” Aku berusaha bicara senormal mungkin.
Peer menimbang perkataanku, ia tampak tak yakin. Tapi aku tahu ia memang tertidur, sampai kedua pemburu itu membangunkannya. Aku meyakinkannya bahwa aku pulang pada sore hari, beberapa jam yang lalu, saat ia sedang tertidur. Meskipun aku merasa bersalah menipunya, tapi ternyata tidak sulit meyakinkannya dengan ceritaku.
“Jadi, ada keperluan apa kau kemari?” aku bertanya sambil berusaha keras menahan rasa sakit di tumitku.
“Oh, aku tidak lama.. Beritahu kakakmu ya, Coda dapat tugas mendadak di Area lain. Mungkin tidak akan kembali dalam beberapa hari. Dan untukmu, Bruno membiarkanmu berburu sendirian untuk sementara ini... kurasa dia mendapat tugas yang sama.”
Aku mengangguk pelan, “Itu saja?”
Peer mengangkat satu jarinya, “... Lain kali.. bangunkan aku.”
Aku tertawa kecil, “Tentu saja.” Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan akhirnya berjalan pergi.
Aku langsung terduduk seketika. Tangan kananku masih menggenggam knop pintu. Keringat mulai bercucuran karena rasa sakit yang membakar di kakiku sudah tak bisa ditahan lagi.
“Aku butuh isirahat,” ujarku pada diri sendiri. Tapi sebelum itu, aku harus mencari cara untuk memberitahukan keberadaan gadis itu pada kakakku.
Sepertinya tidak perlu.
Gadis itu masih tertidur diranjangku, keningnya sudah tertutup kompres. Kakakku duduk disampingnya sambil menyuapi beberapa sendok ramuan herbal. Wajahnya tampak serius sekali.
Gadis itu melirik kearahku, dan sedetik kemudian kakakku langsung menoleh kearahku. Ia menatap mataku lekat-lekat, yang bisa kuterjemahkan sebagai,
“Kita perlu bicara, nanti.”
Kakakku menyuruh gadis itu menelan pil penurun panas, kemudian berdiri tanpa bersuara. Ia berjalan kearahku dan melewatiku begitu saja.
Ketika berbelok menuju kamarnya, ia menoleh kearahku.
“Akan kujelaskan,” kataku cepat.
Jadi, aku menjelaskan semuanya. Mulai dari saat aku memungutnya di hutan, kondisinya yang sakit parah yang sepertinya percuma kujelaskan panjang lebar, bagaimana aku lolos dari hutan tanpa sepengetahuan guardian, meremukkan hasil buruan, sampai berbohong pada Peer. Satu-satunya yang tidak sanggup kujelaskan adalah fakta bahwa bola mata gadis ini berwarna merah menyala, dan dia belum mengeluarkan sepatah katapun sejak ku bawa dari hutan.
“Kamu mau membiarkannya tinggal di rumah kita?” kakakku sepertinya lebih membutuhkan penjelasan daripada jawaban sekedarnya.
“Aku bisa berbohong dan bilang dia adalah anak ibu yang lain dari Area 6, atau kakak lebih suka kalau aku mengatakan pada seluruh penduduk bahwa, Hei aku baru saja menemukan seorang gadis bermata merah di hutan. Tebak apalagi? Kalian bisa mengintrogasinya sementara ia sedang sakit parah, atau sekalian saja kirim ke Area 1 agar dia bisa dibedah untuk diperiksa.” Entah kenapa aku tidak bisa menahan emosiku. Kata-kata itu keluar begitu saja.
Kakakku menyibakkan rambut merah yang tergerai menutupi telinganya, ia setengah mengepalkan tangan kanannya dan menyandarkannya diatas alisnya. Tangan satunya lagi menopang siku tangan yang lain. Tipikalnya saat sedang stres.
“Duduklah, aku akan kurawat luka-lukamu dulu.”
Aku menurut tanpa bicara sepatah katapun. Terjadi keheningan yang aneh saat kakakku mengoleskan salep yang terasa dingin dibagian tubuh yang sakit, sampai membalutkan perban disetiap lukaku.
“Kamu tahu, ide tentang ‘anak ibu yang lain’ itu payah,” katanya setelah ia memastikan semua perbannya terbalut dengan rapi ditubuku. Ia berjalan menjauh, kemudian membuka sebuah laci lemari kecil yang merupakan tempat ia menyimpan obat-obatannya, dan mengambil sebuah kotak kecil seukuran kotak cincin, lalu menyerahkan kotak itu padaku.
“Aku yang akan bicara pada kepala desa. Kamu jaga dia, dan cobalah bicara padanya.”
Penasaran benda apa yang ada didalamnya, aku langsung membuka kotak itu.
Ah!! Aku tidak tahu kakakku memiliki benda seperti ini.
“Kau kakak terbaik didunia, kak,” kataku sambil tersenyum selebar mungkin.
Kakakku kembali menyandarkan tangannya ke wajahnya, namun kali ini ia tersenyum. Tangannya yang lain mengusirku menjauh, yang bisa kuterjemahkan sebagai, cepat pergi ketempat gadis itu.
Aku berjalan menuju kamarku, dan mendapati seorang gadis berambut hitam sedang tidur dengan pulas disana. Jika kuperhatikan lagi, tubuhnya ramping dan tingginya tidak lebih dariku. Entah kenapa hal selanjutnya yang muncul dalam benakku adalah May.
Aku meletakkan kotak kecil pemberian kakakku di lemari pendek disamping ranjang tidur itu sambil melihat wajah tidurnya yang sangat damai. Pikirannya mungkin sedang terbang jauh entah kemana. Ah.. tanpa sadar aku sudah memperhatikan wajahnya cukup lama. Malu pada diriku sendiri, aku langsung menoleh kearah lain.
“Uhh..”
Akhirnya, kakiku tidak mampu lagi menopang berat tubuhku. Rasanya, seluruh staminaku diserap keluar, hilang entah kemana. Kuseret tubuhku, dan mencari sandaran pada dinding batu yang dingin. Sekali lagi, aku melihat kearah gadis yang kini sedang tertidur pulas diranjangku. Aku tidak salah saat pertama kali melihatnya di hutan. Ketika tertidur, ia bahkan terlihat lebih lemah dan sama sekali tanpa pertahanan. Namun di sisi lain.. sangat cantik.
Melihatnya tertidur seperti itu... rasanya, aku juga ingin menutup mata.
maintenance part I - Status : Complete
Share This Thread