Results 1 to 3 of 3
+ Reply to Thread
http://idgs.in/584285
  1. #1
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default Maintenance Red Eyes

    -Now Loading-


    Running several applications, please wait...
    Running Pierrot's_threat_Hunter.exe. ..
    Running Typo_fix_v69.exe...
    Running Re_Form_Cracked_v.exe...
    Running Ugly_Language_Destroyer.exe...
    Running Zero_Perfectness.exe...
    Running ****_that_*****.exe...
    Running I_don't_know_wth_i'm_doing.exe...

    Non-sense overload..

    Taking a piss...

    Generating god-for-nothing-activity...

    Some **** generated

    -maintenance on process-


    Spoiler untuk Chapter I : That Girl with Red Eyes :

    Spoiler untuk 1.1 :
    SEPULUH detik. Itulah waktu yang kumiliki sebelum makhluk kecil itu benar-benar lepas dari pandanganku. Tidak perlu pikir panjang, begitu telinga kecilnya menyadari keberadaanku, saat itu juga pisauku langsung tertancap di tubuhnya. Kelinci yang malang itu mati seketika.

    Muncul suara langkah kaki dari balik pohon dibelakangku. Langkah kaki pemburu yang hampir tak terdengar, namun kau akan terkejut begitu mengetahui bahwa pemilik langkah itu adalah seorang pria berbadan kekar berusia 40-an. Pemburu profesional yang juga merupakan mentorku saat ini.

    “Bagaimana, Pak tua?” kataku dengan nada agak menyombongkan diri.

    Pria itu melirik korban dari pisauku, kemudian mendengus pelan, “Terlalu mudah untuk levelmu nak, sudah kuduga aku harusnya mengajakmu lebih dalam.”

    “Tapi kau akan kena masalah kalau membawaku lebih dalam lagi kan?”

    “Yeah, aku Cuma bercanda. Cabut pisaumu dari makhluk malang itu, dan segera kuliti makhluk malang itu.”

    Tanpa bicara lebih lanjut, aku melakukan perintahnya. Selesai menguliti, aku mengikatnya di ikat pinggang bersama dengan empat ekor buruanku sebelumnya. Dua ekor berang-berang, dan dua kelinci yang semuanya berhasil kubunuh dengan sekali lemparan pisau. Sebenarnya, aku lebih senang menggunakan tombak sebagai senjata untuk dilempar, namun aku belum diperbolehkan membawa benda seperti itu kedalam hutan.

    Karena bagaimanapun, aku ini masih seorang Calon Hunter.

    Kami berjalan melewati pagar pembatas dan hamparan padang rumput yang membatasi hutan dengan desa. Desa kami terletak di pinggiran Area 5, salah satu dari 6 Area yang membentuk negara Core. Yang menurut guru sejarah kami, negara ini dulunya bernama USA.

    “Hey, Gray. Bagaimana hasilmu hari ini?” sapa seorang anak laki-laki seumuranku ketika kami baru saja sampai di desa.

    “Tidak banyak, hanya tiga ekor kelinci dan dua berang-berang.”

    “Berang-berang? Kau beruntung bisa mendapatkan satu. Mentorku tidak membiarkanku berburu sampai sungai. Yah, setidaknya aku harus puas dengan dua tupai dan seekor kelinci.”

    Tepat sekali, kami para calon Hunter tidak diperbolehkan berburu sampai melebihi batas sungai. Meskipun di seberang sungai terdapat banyak buruan yang lebih besar seperti rusa, Lynx, dan ****** liar, namun resiko diserang hewan-hewan predator seperti beruang juga patut diperhitungkan. Setidaknya, Bruno mengizinkanku berjalan sampai ke sungai dan membunuh beberapa berang-berang sementara mentor lain hanya memperbolehkan calon pemburunya minum dari sungai itu.

    Orang awam pasti berpikir, tidak ada gunanya membunuh hewan-hewan kecil tak berbahaya seperti kelinci atau tupai sebagai metode latihan, anak kecil saja bisa membunuh kelinci kalau diberi pisau. Tapi sebenarnya, ini bukan tentang seberapa kecil atau lemah musuhmu, tapi bagaimana kau bisa memburu mereka dengan pengetahuan dan kemampuan yang terlatih, untuk kemudian diaplikasikan pada target yang lebih besar.

    “Kau sebaiknya pulang, kakakmu pasti sudah menunggumu dirumah.”

    Aku melepaskan seekor berang-berang dari ikat pinggangku, dan melemparnya pada Bruno.

    “Makan malammu,” kataku singkat.

    “Bocah tengik, aku bisa membunuh seekor beruang kalau aku mau,” katanya sambil menangkap bangkai hewan yang sudah kukuliti itu.

    Pernyataan bruno tidak terlalu berlebihan. Dia pernah membunuh seekor beruang dengan pisaunya beberapa bulan yang lalu. Tidak banyak orang yang bisa memburu beruang sendirian.

    “Satu lemparan tepat dikepalanya, beruang itu milikmu,” katanya berbulan-bulan yang lalu sambil menyantap sup beruang, ketika ia membawa sebagian daging kerumah kami untuk dibuatkan sup oleh kakakku.

    Suatu hari, Bruno keluar dari hutan sambil menyeret seekor beruang raksasa dengan sebelah tangannya. Dalam sekejap, dirinya menjadi pusat perhatian seluruh penduduk desa, namun ia tidak memamerkan tentang betapa hebat atau kuat dirinya pada orang banyak saat itu. Setidaknya, selain pada aku dan kakakku. Bruno memang sangat dekat dengan keluarga kami. Kata kakakku, ia dulu adalah sahabat baik almarhum ibuku. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan sama-sama berprofesi sebagai Hunter. Mungkin, bukan kebetulan dia jadi Mentorku sekarang.



    “Aku pulang,” kataku setelah membuka pintu rumah kami, “Kak, kau ada dirumah?” Aku berjalan kearah dapur dan mendapatinya sedang memasak air di tungku pemanas.

    “Selamat datang.” Ia menyambutku dengan lembut.

    Kakakku sangat cantik, orang-orang di desa juga berpikir seperti itu. Bisa dibilang, ia sangat bertolak belakang denganku. Aku tidak berbicara tentang penampilan kami, lagi pula wajahku tidak jelek. Namun, saat aku berkeliaran membunuh hewan-hewan di dalam hutan, Ia menyembuhkan orang-orang yang terluka karena berburu, atau karena kecelakaan di tambang.

    Ya, salah satu mata pencaharian utama di desa kecil ini adalah pekerja tambang. Desa kami memiliki tambang batu bara yang cukup besar, dan sudah menyumbang banyak, baik itu batu bara maupun korban jiwa atau luka-luka.

    “Lihat siapa yang baru datang.”

    Orang yang baru saja menyapaku ini adalah kekasih kakakku. Namanya Coda. Ia bertugas sebagai Guardian yang bertugas menegakkan hukum didesa ini.

    Pada dasarnya, Hukum di negara Core memiliki kesamaan. Yang paling ringan adalah penjara, dan yang paling berat adalah Eksekusi dan Pengasingan. Tapi tergantung pada setiap Area, misalnya kau tertangkap karena melakukan perburuan ilegal di Area 1 yang memiliki hukum paling ketat, kau bisa dicambuk didepan umum. Sementara di Area 5 ini, kau bisa berakhir dipenjara selama beberapa minggu jika punya alasan yang bagus. Namun, kelonggaran hukum yang sengaja dipraktekkan di desa kami ini tidak membuat penduduk menjadi kriminal. Kami cukup tentram hidup berdampingan dengan para Guardian tanpa perasaan was-was akan dicambuk didepan umum.

    Coda, duduk di meja makan kecil dengan kuota empat orang. Ia tidak mengenakan seragam biru Guardian dengan beberapa deret garis kuning di kedua lengan. Hanya kaus dalam putih dan celana guardiannya. Jika tidak sibuk, ia biasa beristirahat dirumahku sejak sore untuk membantu kakak menyiapkan makan malam, dan pergi setelah makan untuk kembali bekerja. Tidak hanya membantu, biasanya ia membawakan beras dan sayur-sayuran untuk makan malam kami. Bekerja sebagai Guardian adalah salah satu hal yang dapat mengangkat derajat hidupmu di desa kecil ini, meskipun mereka harus terbiasa dengan jam kerja hampir 16 jam sehari.

    “Jadi kapan kalian menikah?” tanyaku sambil melahap sepotong kecil daging kelinci hasil buruanku.

    Coda terbatuk, dan aku bisa melihat wajah kakakku bersemu merah. Tidak ada jawaban selama beberapa detik, dan aku hanya menatap mereka berdua sambil menaikkan sebelah alisku. Meski dari segi umur mereka jauh lebih dewasa dariku, tapi sekarang mereka berdua tampak seperti pasangan yang sangat lugu. Kadang-kadang aku menikmati mengerjai mereka seperti ini.

    “Kami belum benar-benar siap untuk hal itu Gray,” kata kakakku sambil membalas lirikkan Coda, “Mungkin satu atau dua tahun lagi.”

    Satu tahun lagi, itu ketika aku sudah lulus dari title Calon pemburu, menjadi pemburu yang sesungguhnya. Setidaknya begitulah yang dijanjikan Bruno karena prestasiku yang jauh melampaui Calon pemburu lain. Biasanya, Calon pemburu, seperti semua pekerjaan lainnya akan diluluskan ketika kau berumur 18 tahun. Namun kau, bisa lulus setahun lebih cepat jika dapat membuktikkan dirimu dengan baik. Aku beranggapan kalau kakakku sengaja menunda pernikahannya sampai aku cukup dewasa.

    Di desa yang dikelilingi oleh hutan, gunung, dan tambang yang terletak di sebelah barat, tersedia beberapa pekerjaan yang wajib diambil oleh seluruh penduduk desa, kecuali untuk orang yang sakit-sakitan atau wanita yang sudah menikah. Semua penduduk laki-laki harus sudah bekerja pada umur 18 tahun, sesuai dengan pilihannya sendiri. Perempuan mulai pada umur 19 tahun. Kecuali pekerjaan sebagai guardian yang menuntut standar sangat tinggi terutama kemampuan fisik seseorang, akan mulai pada umur 24 tahun baik pria maupun wanita. Tentunya melalui latihan keras dan super ketat yang dijalani sejak umur 14 tahun.

    Tahun-tahun terakhir disekolah, kami diberitahukan bahwa menentukan pekerjaan haruslah berdasarkan minat dan kemampuan masing-masing. Sekali menentukan satu pekerjaan, kau tidak boleh mengeluh atau bahkan berpindah pada pekerjaan lainnya.

    Aku tanpa ragu memilih Hunter.


    Spoiler untuk 1.2 :
    Aku bangun dari tidurku. Kepalaku terasa berputar karena memaksakan diri mengalahkan segala bentuk kemalasan yang dikerahkan oleh otakku agar terus berbaring.

    “Gray, cepat bangun, ini hari perayaan.” Kakakku memanggil dari luar.

    “Ini hari perayaan,” perintahku pada diriku sendiri.

    Dengan malas, aku meninggalkan ranjangku dan berjalan keluar. Hari perayaan tidak terlalu berarti untukku karena justru, berburulah kegiatan yang membuatku merasa jadi diri sendiri. Aroma hutan, suara gemerisik pohon dan hewan-hewan kecil yang berusaha menghindari manusia. Tempat dimana aku seharusnya berada. Terimakasih, berkat hari libur ini aku tidak bisa pergi. Bahkan, aku harus ikut bekerja di alun-alun untuk mendirikan panggung dan komponen lainnya untuk digunakan malam nanti. Upahnya lumayan meski tidak bisa menutupi absen tidak berburu selama satu hari.

    Di alun-alun, aku mendengar suara yang familiar memanggil namaku. Aku menoleh mengikuti arah suara itu, untuk mendapati seorang anak laki-laki bernama Ron yang kemarin menyapaku dan seorang anak perempuan berambut pirang yang juga calon pemburu.

    “Hey.” Aku balas menyapa.

    Hidungku menangkap aroma primrose dari tubuh May. Tidak seperti kebanyakan pemburu yang sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bau binatang, berada di dekat May rasanya menyejukkan. Itu karena ibunya memiliki kebun bunga dihalaman belakang rumahnya. Bunga-bunga itu digunakan sebagai bahan utama meracik parfum, untuk kemudian dijual.

    “Aku dengar, kamu bisa lulus setahun lebih cepat.” Gadis itu berkata dengan riang.

    “Itu.. aku belum terlalu yakin, tapi Bruno tampaknya mau mengusahakannya.”

    “Dia harus melakukannya, kemampuanmu sekarang tidak kalah dengan pemburu sungguhan!” Ron ikut bergabung.

    Obrolan kami berlanjut sampai seorang pria membubarkan kami.

    "Kerja-Kerja! Jangan makan gaji buta!"



    Pukul delapan, seluruh penduduk desa berkumpul dialun-alun. Sebuah layar lebar di bentangkan di panggung, dan dengan menggunakan proyektor, sebuah gambar muncul dipermukaanya. Aku memperhatikan dengan malas penjelasan berikut beberapa ilustrasi tentang bagaimana Area 7 yang merupakan Area termaju saat itu memulai invasinya pada seluruh Area di Core.

    “Aku masih heran pada negara ini. Bisa-bisanya mereka membuat hari libur nasional berdasarkan kehancuran telak suatu Area.” Ron berbicara pelan, matanya melirik kearahku dan May yang berdiri disampingnya. Tapi kami hanya membiarkannya bicara sendiri.

    Gambar ilustrasi yang tadinya hanya berupa slide-slide yang diganti, berubah menjadi tampilan dari rekaman peristiwa asli tentang bagimana ratusan ribu hingga jutaan jiwa jatuh dalam peperangan. Perang besar antara enam area melawan Area 7 selama dua puluh tahun berakhir dengan dimusnahkannya Area 7 selamanya dari muka bumi. Ribuan mayat penduduk Area 7 yang semuanya memiliki bola mata merah menyala dibiarkan terkubur bersama Area 7 yang kini hanya berupa reruntuhan yang tercemar oleh nuklir mereka sendiri.

    Setelah film dokumenter berdurasi satu setengah jam itu berakhir, kami diperbolehkan makan, dan memulai pestanya. Orang-orang mulai menari berpasang-pasangan, membentuk kerumunan yang berputar teratur di tengah alun-alun. Mungkin tidak buruk juga sekali-kali memiliki perayaan seperti ini.

    Sebuah genggaman yang halus menarik lengkan kiriku, aku refleks meletakkan gelas minuman yang kupegang dengan tangan kananku ke meja terdekat. Aku tahu tangan siapa ini.

    “Ayo ikut menari, Gray.”

    “Aku lebih suka melihat,” ujarku. Tapi May tidak mau berhenti menarik tanganku.

    Orang-orang ini bisa saja menari sampai matahari terbit jika saja mereka lupa bahwa keesokan harinya mereka harus kembali bekerja, melanjutkan rutinitas masing-masing.

    Tengah malam, alun-alun mulai ditinggalkan. Beberapa orang tinggal untuk membereskan sisa-sisa pesta, termasuk aku. May dan Ron juga ikut membantu. Kami selesai pada pukul satu, saling berpamitan dan berjalan kearah yang berbeda menuju rumah masing-masing.

    “Sampai ketemu besok,” ujar May sambil melambai padaku.



    Keesokan harinya kami kembali bertemu di akademi. Aku melihatnya terlebih dahulu, sedang latihan menggunakan panah dalam jarak 50 meter. Aku lebih mengenali May dalam pakaian pemburunya. Hoodie hijau berlengan pendek yang kelihatannya terbuat dari bahan yang sangat ringan, sepatu bot kulit berwarna coklat, rambut pirang terikat kebelakang. Tubuhnya lebih pendek dariku dan sangat langsing. Lengan bajunya yang sebelah kanan ditarik hingga kepundak sehingga memperlihatkan lengan kurusnya yang putih. Di kedua tangannya, terdapat sarung tangan kulit berwarna coklat yang selalu ia gunakan untuk menarik busurnya.
    Satu lagi anak panah menancap tepat pada sasaran dengan mantap. Aku melirik bahu kecil dan lengan kurus May, kemudian bertanya-tanya dari mana asalnya kekuatan dan ketepatan itu.

    “Hai, Gray,” sapanya ketika aku sedang mengambil beberapa buah tombak untuk pemanasan. “Kamu akan berburu lagi bersama Bruno?” tanyanya.

    “Yeah, aku akan pemanasan sambil menunggunya terbangun dari tidur,” kataku sambil melempar tombak itu dari jarak sasaran 50 meter. Tombak itu bergerak keatas dan perlahan menukik hingga menancap tidak jauh dari titik pusat sasaran.

    “Mungkin satu jam lagi.” Aku melempar tombak lain ke sasaran yang sama.



    Berulang kali menancapkan tombak pada sasaran tembak, kemudian mencabut tombak-tombak itu ketika terasa sudah terlalu menumpuk. Berharap Bruno segera datang, namun kebiasaan terlambatnya memang amat sulit dihilangkan. Sampai seorang calon pemburu yang aku tidak tahu siapa namanya memberikan selembar surat padaku.

    Aku langsung membuka surat itu, ketika calon pemburu yang memberikannya berbalik untuk kembali meneruskan latihannya. Di dalamnya terlampir sertifikat izin berburu sendiri tanpa harus ditemani mentor, beserta tulisan tangan Bruno yang buruk, yang memberitahukan bahwa dia punya urusan mendadak saat ini. Aku bisa menyimpulkan beberapa hal.

    Pergi berburu sendiri,

    Jangan lewati batas sungai.

    Berikan sertifikat ini pada Guardian yang menjaga perbatasan hutan.



    Aku sampai di hamparan padang rumput yang luas dan kosong. Padang rumput ini merupakan perbatasan antara hutan dan desa kami. Hutan itu dibatasi oleh pagar kawat setinggi enam meter, dan hanya memiliki satu pintu masuk yang bisa diakses dari desa kami. Guardian yang menjaga pintu masuk hutan itu mengenali wajahku dan membiarkanku masuk tanpa curiga, ketika aku memberikan sertifikat dari Bruno.

    Aku mulai memperbaiki langkahku ketika masuk lebih dalam. Tidak lupa menghirup aroma hutan yang membuatku merasa nyaman, mataku terus melirik tempat-tempat yang menurutku menjadi jalur bergeraknya hewan-hewan kecil. Namun yang bisa kulihat hanyalah burung-burung kecil yang menyanyi di dahan pohon. Sudah lewat tengah hari, aku belum berhasil membunuh satu hewanpun. Aku memutuskan untuk berjalan menuju sungai, siapa tahu aku bisa membunuh beberapa berang-berang sekalian minum disana. Dan ternyata aku benar. Seekor berang-berang berhasil kubunuh dengan sekali lemparan pisau, ketika saat itu juga mataku menangkap siluet manusia bergerak jauh dipedalaman hutan disebrang batas sungai. Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jauh. Dua puluh detik kemudian, siluet itu kembali tertangkap oleh mataku. Sosoknya ramping, hanya berupa bayangan karena terhalang pepohonan.

    Kini sosok itu terduduk. Tanpa pikir panjang aku berlari melesat kearahnya. Tidak terlalu cepat, namun tidak bersuara. Berlari dari satu pohon ke pohon yang lain. Aku berhenti di sebuah pohon yang kuperkirakan jaraknya hanya 20 meter. Aku mampu melempar pisau tepat kearah kepala dalam jarak ini. Perlahan, aku melirik kearah sosok tersebut. Namun, yang kudapati bukan hewan yang terluka.

    Seorang Gadis, terduduk kepayahan. Keringatnya mengalir deras di dahi putih yang tertutup oleh beberapa helai rambut hitam panjang. Aku dapat melihat dengan jelas kedua matanya yang menangkap sosok tubuhku, menatapku tanpa ekspresi.

    Mata yang merah menyala.


    Spoiler untuk 1.3 :
    Usai perang dunia, lebih dari setengah populasi manusia menjadi korban. Tempat-tempat, Kota-kota, Negara, hilang begitu saja dari peradaban. Sisanya, banyak yang tercemar limbah kimia dan asap beracun sehingga tidak bisa lagi dihuni makhluk hidup apapun. Orang-orang hanya bisa menyesal, bahwa kehancuran terbesar bagi umat manusia ini, terjadi hanya karena akibat dari permainan politik. Tapi apa Gunanya? Penyesalan tidak akan membuahkan apapun. Mereka harus bangkit, percaya bahwa kehilangan sebesar apapun, hidup masih bisa berlanjut.

    Salah satu wilayah di dunia yang mengalami kehancuran terbesar adalah Amerika. Sebagai negara yang ikut serta dalam perang dunia, mereka tidak memiliki hak untuk berputus asa. Segera bangkit dari keterpurukan, dalam hitungkan dekade, berhasil membentuk negara kesatuan baru bernama Core. Terdiri atas Tujuh Area, yang masing-masing berdiri sendiri, namun saling menopang satu sama lain.

    Diantara Ketujuh Area tersebut, Terdapat satu area yang paling menonjol. Area yang memiliki kemajuan paling pesat dibanding area yang lain, Area 7, yang entah kenapa, seluruh penduduknya memiliki warna mata merah menyala.

    Area 7 berkembang seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik modern, dan fasilitas ilmu pengetahuan terbesar di negara Core, semuanya terdapat di Area 7. Merekalah yang pertama kali berhasil mengembangkan kembali teknologi nuklir, namun tidak di manfaatkan sebagai senjata karena perjanjian dunia setelah perang adalah, ‘Tidak ada satu Negarapun yang boleh mengembangkan senjata untuk memusnahkan manusia.’

    Tidak terkecuali Core.

    Pesawat pengangkut berkecepatan suara diciptakan demi kelangsungan perkembangan Area lain. Rel kereta Bertenaga Surya di bangun diseantero Core, terimakasih pada Area 7. Semua perkembangan ini seharusnya membawa kabar gembira di hati penduduk Core, namun sebuah rasa takut atas superioritas Area 7 mulai merasuk.

    Hingga semua itu menjadi kenyataan.

    Area 7 melancarkan invasinya perlahan pada Area sekitarnya, berniat mengambil alih seluruh Area untuk menguasainya. Sumber daya sebuah Area tidak dapat memuaskan dahaga perkembangan yang melaju tanpa henti. Area lain, yang hanya merupakan beban, tidak lagi dibutuhkan.
    Keseimbangan hancur karena sebuah Area melesat terlalu cepat meninggalkan yang lain. Seluruh Area bertekad untuk memusnahkannya, selamanya.

    Perang terbesar setelah perang dunia terakhir pun meletus.

    Diakhiri oleh hilangnya Area 7 dari peta dunia. Dipastikan bahwa seluruh populasi Area 7 lenyap selamanya, tidak menyisakan seorangpun. Tanpa ampun.

    Saat ini, diriku tidak berada dalam hutan, namun berusaha menerawang perkataan, gambaran dokumenter, tulisan di buku, dan seluruh bayangan yang kuciptakan sendiri berdasarkan semua referensi itu.

    Aku terbangun dari lamunanku. Seorang gadis seumuranku terduduk dua puluh meter jauhnya. Bola matanya yang merah menyala memandang mataku lekat-lekat.

    Perlahan, kakiku membawa tubuhku berjalan. Melangkah di dedaunan kering yang gugur. Semakin mendekat, aku merasakan sensasi yang tidak asing dari gadis didepanku ini. Tubuhnya gemetaran, matanya mengawasi mataku tampak waspada. Lengannya disilangkan menutupi dadanya, dan masing-masing tangan menggenggam pundaknya.

    Benar, seperti berhadapan dengan hewan buruan. Lebih tepatnya mangsa, mangsa yang tidak berdaya, menunggu ajalnya. Sebagai pemburu aku jelas bisa merasakan Gadis ini memancarkan aura yang persis sama.

    Aku menjatuhkan pisau berburu yang kugenggam. Membuka kedua lenganku, berusaha meyakinkannya bahwa aku tidak berbahaya. Tapi gemetarnya tidak berhenti. Aku duduk didepannya. Wajah kami hanya berjarak tiga puluh sentimeter. Aku menatap lekat-lekat tubuhnya yang terbalut pakaian putih, kotor karena debu dan keringat. Naik keatas, jantungku agak dikejutkan dengan fakta bahwa gadis ini memiliki wajah yang sangat manis. Putih, berkeringat, dengan rambut hitamnya tergerai panjang. Beberapa helai rambut menutupi keningnya, tampak berantakan. Masih tidak percaya, aku kembali menatap matanya seakan warna merah itu hanya ilusi. Aku salah.

    Mata itu nyata, merah menyala. Milik seorang gadis seumuranku, dan sekarang ia terduduk dihutan ini dikuasai kelelahan dan rasa takut. Rasa takut.. olehku?

    “Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu.” Aku berusaha bicara sepelan mungkin, namun gemetarnya tetap tidak berhenti.

    Sekarang aku melepas ikat pinggangku yang dipenuhi pisau, memperlihatkan rompi berburuku yang didalammnya tersimpan beberapa pisau yang tersusun rapi, lalu melemparnya jauh-jauh. Aku kembali mengatakan kalimat yang sama, jauh lebih pelan.

    Setidaknya ia tidak gemetaran lagi sekarang.

    Aku menggerakkan tanganku perlahan menuju wajahnya, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel dikeningnya.

    “Panas,” kataku sambil menarik kembali tanganku, seperti baru saja menyentuh tungku yang berisi air mendidih. Gadis ini sakit parah, suhu badannya tidak normal.

    Aku menarik tangannya perlahan untuk membantunya berjalan. Gadis itu mengernyit, entah karena sakit atau takut.

    “Tidak apa-apa, aku kenal orang yang bisa menyembuhkanmu,” kataku.

    Dia tak yakin, tapi tetap membiarkanku menariknya perlahan untuk berdiri. Aku melirik kakinya yang gemetar, tampaknya ia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk berjalan. Aku menyandarkannya perlahan ke pohon didekatnya, kemudian mengambil kembali rompi dan ikat pinggangku yang tergeletak di tanah.

    Saat ini, aku sedang menanggung resiko yang berat dengan membawa pergi gadis ini ke Area 5, ke desaku. Apakah hal ini layak dilakukan? Dengan kondisinya yang seperti ini, Ia bisa mati dimangsa hewan buas, jika keadaan tubuhnya tidak membunuhnya terlebih dahulu.

    Aku segera berjalan kembali ke tempat gadis itu, kemudian berlutut memunggunginya. Aku memposisikan tubuhnya dipunggungku, kedua lengannya kuselipkan dibawah leherku dan sebelah tanganku mengangkat tubuhnya. Dia agak kaget menerima perlakuanku, namun ia tidak mengeluarkan sepatah katapun.

    “Kuanggap kamu tidak keberatan,” kataku tanpa menoleh sedikitpun.

    Berjalan sambil menggendongnya rasanya seperti sedang membawa boneka kain yang terbakar.

    “Aku pasti akan kena masalah karena perbuatanku ini.. ”

    Aku berhenti sejenak didepan sungai.

    “Jadi awas saja kalau kamu sampai mati.”

    Gadis itu masih tidak berbicara, namun sekarang aku bisa merasakan kepalanya menyentuh lembut punggungku, sehingga menularkan rasa hangat yang aneh.

    Apa dia akhirnya kehabisan tenaganya? sekarat? Aku mulai membayangkan beberapa kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dalam perjalanan pulang.

    Tapi sebelum berpikir macam-macam, aku harus memikirkan cara untuk mengeluarkan gadis ini dari hutan.


    Spoiler untuk 1.4 :
    PEER, jika aku tidak salah ingat adalah nama dari Guardian yang bertugas menjaga perbatasan hutan ini. Hampir satu tahun aku berburu, aku sudah tahu betul kebiasaannya yang sangat gemar tertidur saat sedang bekerja. Aku dan Bruno beberapa kali mendapatinya sedang tertidur saat akan keluar dari hutan. Butuh keberuntungan ekstra agar dia juga tertidur sekarang, karena aku tidak mungkin memperlihatkan gadis yang ada dipunggungku ini. Aku kemudian memilih sebuah pohon yang cukup besar namun tidak terlalu tinggi.

    “Tunggu sebentar ya,” kataku sambil menyandarkan gadis itu pada pohon yang baru saja kupilih.

    Aku tak bisa menahan seringaiku ketika mendapati Peer yang sedang duduk diposnya sambil mendengkur. Tapi, ketika hendak membawa Gadis itu kembali, aku melihat dua orang pemburu berjalan melewati jalan setapak dari dalam hutan. Aku cepat-cepat bersembunyi dari jarak pandang mereka. Kelihatannya mereka sudah selesai berburu, dan sama sepertiku, mereka tidak begitu beruntung hari ini. Dua ekor anak rusa dan tiga ekor berang-berang adalah hasil yang menyedihkan untuk sepasang pemburu. Mereka berhenti sejenak didepan pos jaga, kemudian membangunkan Guardian yang sedang tertidur itu.

    "AAAHHHH," aku menyumpah dengan putus asa ketika Peer akhirnya terbangun.

    Aku menunggu dengan sabar sampai kedua pemburu itu pergi. Sia-sia saja, Peer sudah tidak memiliki niat untuk kembali tidur.

    Nah, sekarang pilihan apa lagi yang kupunya. Memanjat pagar kawat ini? tanganku bisa putus duluan sebelum sampai kepuncak. Tidak ada baiknya berpikir sambil berdiam diri, kuputuskan untuk mebawanya berjalan menyusuri pagar pembatas sambil memikirkan rencana lain. Tapi, satu-satunya rencana yang bisa terpikir dibenakku adalah menghantam Peer dari belakang sampai pingsan, kemudian kabur secepat mungkin.

    Jika aku tidak menemukan pohon yang berdiri menjulang tinggi didepanku ini, mungkin aku benar-benar sudah membuat Peer pingsan sekarang. Pohon Pinus itu tingginya hampir sebelas meter, berdiri tidak jauh dari pagar pembatas. Dahan-dahannya yang menjalar dilangit sampai keatas pagar pembatas memberiku ide yang cukup menyakitkan untuk dibayangkan.

    Butuh kerja keras untuk memanjat pohon ini, sampai akhirnya aku merayap ke sebuah dahan yang menjalar keluar pagar pembatas. Tinggi pagar pembatas ini enam meter, aku memperkirakan diriku sekarang ini berada tujuh meter jauhnya dari permukaan tanah. Berbahaya terjatuh dari ketinggian ini, bahkan untuk pemburu terlatih sekalipun. Ditambah, beban yang sedang kutanggung di punggungku ini.

    Sekarang tunggu apa lagi? Kalau sudah sampai sini tidak bisa mundur lagi kan, aku menyemangati diriku sambil menatap kebawah.

    Tanah yang terhampar dibawahku adalah padang rumput yang cukup lebat. Tidak banyak membantu, malah, tidak akan membantu sama sekali. Aku melemparkan semua buruanku keatas tanah, berharap tubuh tak bernyawa mereka mampu meredam benturanku. Dengan canggung, aku memindahkan posisi gadis bermata merah itu. Sekarang tubuh kami saling berhadapan, sedangkan kedua kakinya ku silangkan diantara pinggangku.

    “Mungkin akan terasa sedikit benturan. Tahan sedikit ya,” kataku dengan ekspresi tak yakin bahwa hal ini akan berhasil.

    Setelah mengumpulkan seluruh keberanian yang dapat kuhimpun, aku melompat kearah bangkai-bangkai buruan yang tidak sempat kukuliti itu. Sempat kudengar suara teriakan singkat dari gadis yang kini berada dipelukanku saat kami melesat di udara.

    Kedua kakiku mendarat bersamaan, diikuti bokongku yang membentur bangkai berang-berang seperempat detik kemudian. Sensasinya langsung terasa pada tulang belakang dan kakiku. Kurasakan sakit luar biasa di kedua tumit, betis dan tulang ekorku.

    “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanyaku sambil meringis kesakitan.

    Ia menggeleng singkat, aku baru sadar wajah kami berdua hanya berjarak kurang dari 10 cm. Nafasnya yang hangat memburu di depan mulutku. Alih-alih memeriksa hewan buruan yang ada dibawahku, aku langsung menoleh menghindari pandangannya dari wajahku yang memerah.

    Bentuk mereka sudah tidak karuan, darah kering terciprat dari kulit yang sobek. Tulang-tulang mereka mungkin remuk, sama seperti tulangku. Tapi tetap saja aku harus membawa mereka pulang, dan mengikatnya ke ikat pinggangku. Meninggalkan mereka disini sama saja meninggalkan jejak, dan hal yang harus dihindari seorang Hunter adalah meninggalkan jejak mereka.

    Kutempatkan kembali gadis itu diatas punggungku. Saat memulai langkah, kakiku rasanya seperti terbakar. Dalam perjalanan pulang, aku memilih rute menyusuri padang rumput yang butuh waktu dua kali lebih lama untuk menghindari penduduk desa. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi ketika aku kembali menggendong gadis itu dipungguku, panas tubuhnya sedikit menurun. Jadi, aku mencoba mengajaknya bicara.

    “Kamu sebenarnya berasal dari mana sih?”

    Dia tidak menjawab.

    “Kamu punya nama kan, siapa namamu?”

    Aku masih tidak mendengar suaranya.

    "Berapa umurmu? 15? 16? kurasa kita seumuran."

    Yang kudengar hanya suara jangkrik.

    “Tubuhmu panas sekali ya, saking sakitnya kamu jadi tak bisa berkata apa-apa ya,” kataku sambil menyunggingkan senyum sarkastik.

    Ah.. Aku menyerah mengajaknya bicara, pada akhirnya hanya keheninganlah yang menemaniku berjuang melawan rasa sakit dan lelah.



    Setelah sampai dirumah, rasanya tumitku sudah tidak sanggup menahan berat badanku lagi. Namun, aku tetap memaksakan diri berjalan sampai kamar dan membaringkan gadis ini ke renjangku.

    “Tenang saja, kakakku seorang perawat. Ia pasti bisa menyembuhkanmu,” kataku sambil berusaha tersenyum.

    Sambil mengumpulkan tenaga, aku melepaskan buruanku yang sudah hancur. Melepaskan rompi pemburuku, dan berjalan dengan kaki yang menuju dapur. Lalu, aku mendengar suara ketukan pintu.

    “Gray, kamu sudah pulang?” Itu suara kakak. Tampaknya ia sedang memasak di dapur.

    Aku menyahut sekedarnya agar dia bisa mendengarku.

    “Tolong bukakan pintunya, aku agak sibuk disini.”

    Aku mendesah protes, seandainya dia bisa melihat keadaanku sekarang. Tapi, tetap saja aku melaksanakan permintaanya. Terkadang menjadi adik yang penurut itu menyakitkan... Secara harfiah, setidaknya kali ini.

    “Dasar, siapa sih yang datang malam-malam begini,” ocehku pada diri sendiri untuk mengabaikan rasa sakit yang menyiksa ini.

    Aku berjalan kearah pintu masuk dengan kepayahan, sebisa mungkin menyembunyikan keadaan kakiku yang pincang. Aku membuka pintu perlahan, mendapati sesosok tubuh tinggi yang mengenakan seragam biru guardian. Aku menengok keatas untuk melihat siapa pemilik seragam ini. Yang kudapati adalah wajah cekung tak asing, dan sepasang mata yang menatapku dari celah pintu yang kubuka.

    Sepasang mata coklat yang sudah kukenali selama hampir setahun.

    “Halo Peer.. ”



    Spoiler untuk 1.5 :
    “Kukira, kau masih berburu.”

    “Ah, aku sudah pulang dari tadi kok,” kataku dari balik pintu yang masih terbuka setengah.

    “Masa.. aku tidak melihatmu pulang.”

    “Kau tertidur Peer, pulas sekali.” Aku berusaha bicara senormal mungkin.

    Peer menimbang perkataanku, ia tampak tak yakin. Tapi aku tahu ia memang tertidur, sampai kedua pemburu itu membangunkannya. Aku meyakinkannya bahwa aku pulang pada sore hari, beberapa jam yang lalu, saat ia sedang tertidur. Meskipun aku merasa bersalah menipunya, tapi ternyata tidak sulit meyakinkannya dengan ceritaku.

    “Jadi, ada keperluan apa kau kemari?” aku bertanya sambil berusaha keras menahan rasa sakit di tumitku.

    “Oh, aku tidak lama.. Beritahu kakakmu ya, Coda dapat tugas mendadak di Area lain. Mungkin tidak akan kembali dalam beberapa hari. Dan untukmu, Bruno membiarkanmu berburu sendirian untuk sementara ini... kurasa dia mendapat tugas yang sama.”

    Aku mengangguk pelan, “Itu saja?”

    Peer mengangkat satu jarinya, “... Lain kali.. bangunkan aku.”

    Aku tertawa kecil, “Tentu saja.” Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan akhirnya berjalan pergi.

    Aku langsung terduduk seketika. Tangan kananku masih menggenggam knop pintu. Keringat mulai bercucuran karena rasa sakit yang membakar di kakiku sudah tak bisa ditahan lagi.

    “Aku butuh isirahat,” ujarku pada diri sendiri. Tapi sebelum itu, aku harus mencari cara untuk memberitahukan keberadaan gadis itu pada kakakku.

    Sepertinya tidak perlu.

    Gadis itu masih tertidur diranjangku, keningnya sudah tertutup kompres. Kakakku duduk disampingnya sambil menyuapi beberapa sendok ramuan herbal. Wajahnya tampak serius sekali.

    Gadis itu melirik kearahku, dan sedetik kemudian kakakku langsung menoleh kearahku. Ia menatap mataku lekat-lekat, yang bisa kuterjemahkan sebagai,

    “Kita perlu bicara, nanti.”

    Kakakku menyuruh gadis itu menelan pil penurun panas, kemudian berdiri tanpa bersuara. Ia berjalan kearahku dan melewatiku begitu saja.

    Ketika berbelok menuju kamarnya, ia menoleh kearahku.

    “Akan kujelaskan,” kataku cepat.



    Jadi, aku menjelaskan semuanya. Mulai dari saat aku memungutnya di hutan, kondisinya yang sakit parah yang sepertinya percuma kujelaskan panjang lebar, bagaimana aku lolos dari hutan tanpa sepengetahuan guardian, meremukkan hasil buruan, sampai berbohong pada Peer. Satu-satunya yang tidak sanggup kujelaskan adalah fakta bahwa bola mata gadis ini berwarna merah menyala, dan dia belum mengeluarkan sepatah katapun sejak ku bawa dari hutan.

    “Kamu mau membiarkannya tinggal di rumah kita?” kakakku sepertinya lebih membutuhkan penjelasan daripada jawaban sekedarnya.

    “Aku bisa berbohong dan bilang dia adalah anak ibu yang lain dari Area 6, atau kakak lebih suka kalau aku mengatakan pada seluruh penduduk bahwa, Hei aku baru saja menemukan seorang gadis bermata merah di hutan. Tebak apalagi? Kalian bisa mengintrogasinya sementara ia sedang sakit parah, atau sekalian saja kirim ke Area 1 agar dia bisa dibedah untuk diperiksa.” Entah kenapa aku tidak bisa menahan emosiku. Kata-kata itu keluar begitu saja.

    Kakakku menyibakkan rambut merah yang tergerai menutupi telinganya, ia setengah mengepalkan tangan kanannya dan menyandarkannya diatas alisnya. Tangan satunya lagi menopang siku tangan yang lain. Tipikalnya saat sedang stres.

    “Duduklah, aku akan kurawat luka-lukamu dulu.”

    Aku menurut tanpa bicara sepatah katapun. Terjadi keheningan yang aneh saat kakakku mengoleskan salep yang terasa dingin dibagian tubuh yang sakit, sampai membalutkan perban disetiap lukaku.

    “Kamu tahu, ide tentang ‘anak ibu yang lain’ itu payah,” katanya setelah ia memastikan semua perbannya terbalut dengan rapi ditubuku. Ia berjalan menjauh, kemudian membuka sebuah laci lemari kecil yang merupakan tempat ia menyimpan obat-obatannya, dan mengambil sebuah kotak kecil seukuran kotak cincin, lalu menyerahkan kotak itu padaku.

    “Aku yang akan bicara pada kepala desa. Kamu jaga dia, dan cobalah bicara padanya.”

    Penasaran benda apa yang ada didalamnya, aku langsung membuka kotak itu.

    Ah!! Aku tidak tahu kakakku memiliki benda seperti ini.

    “Kau kakak terbaik didunia, kak,” kataku sambil tersenyum selebar mungkin.

    Kakakku kembali menyandarkan tangannya ke wajahnya, namun kali ini ia tersenyum. Tangannya yang lain mengusirku menjauh, yang bisa kuterjemahkan sebagai, cepat pergi ketempat gadis itu.



    Aku berjalan menuju kamarku, dan mendapati seorang gadis berambut hitam sedang tidur dengan pulas disana. Jika kuperhatikan lagi, tubuhnya ramping dan tingginya tidak lebih dariku. Entah kenapa hal selanjutnya yang muncul dalam benakku adalah May.

    Aku meletakkan kotak kecil pemberian kakakku di lemari pendek disamping ranjang tidur itu sambil melihat wajah tidurnya yang sangat damai. Pikirannya mungkin sedang terbang jauh entah kemana. Ah.. tanpa sadar aku sudah memperhatikan wajahnya cukup lama. Malu pada diriku sendiri, aku langsung menoleh kearah lain.

    “Uhh..”

    Akhirnya, kakiku tidak mampu lagi menopang berat tubuhku. Rasanya, seluruh staminaku diserap keluar, hilang entah kemana. Kuseret tubuhku, dan mencari sandaran pada dinding batu yang dingin. Sekali lagi, aku melihat kearah gadis yang kini sedang tertidur pulas diranjangku. Aku tidak salah saat pertama kali melihatnya di hutan. Ketika tertidur, ia bahkan terlihat lebih lemah dan sama sekali tanpa pertahanan. Namun di sisi lain.. sangat cantik.

    Melihatnya tertidur seperti itu... rasanya, aku juga ingin menutup mata.




    maintenance part I - Status : Complete
    Last edited by -Pierrot-; 05-11-12 at 07:04.

  2. Hot Ad
  3. #2
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Saving Old data...

    Running Pierrot's_packet_v692

    Loading old data...

    Generating god-for-nothing-activity...

    Some **** generated

    -maintenance on process-


    Spoiler untuk Chapter II : Her name is Scarlet :
    Spoiler untuk 2.1 :
    Tubuh rampingnya yang terbalut selimut adalah pemandangan pertama yang kulihat saat aku baru membuka mataku. Aku berjalan kearahnya, lalu menyentuh keningnya dengan pergelangan tanganku.

    Demamnya sudah hilang.. Aku agak terkejut bagaimana ia bisa sembuh secepat ini, padahal kemarin tubuhnya sepanas tungku air mendidih.

    Aku berjalan keluar dari kamar. Menyadari matahari sudah cukup tinggi, aku berkeliling didalam rumah mencari kakakku untuk minta penjelasan kenapa ia membiarkanku kesiangan.

    Namun, yang kudapati hanyalah makanan yang sudah siap santap, beberapa macam buah-buahan, nasi untuk porsi dua orang, dan seporsi daging kelinci yang dimasak hancur terpajang di meja. Ahh.. benar juga, aku tidak sempat makan kemarin.

    Langkah kaki yang ringan terdengar tidak jauh dibelakangku. Aku menoleh dan mendapati Gadis bermata merah itu sedang berdiri di ambang pintu, dengan mata yang masih setengah terbuka ia menatap kearahku.

    Aku mengambil sebuah apel dan menyodorkan sepiring buah-buahan untuknya.

    “Mau makan?” tanyaku sambil menggigit apel.

    Ia melirik piring yang kusodorkan, lalu mengangguk pelan.

    “Namaku Gray,” kataku saat ia melirikku untuk yang keempat kalinya.

    Gadis itu tidak menjawab, ia memalingkan pandangannya kembali pada piring makannya.

    Bisa kubilang, kami berdua terjebak disituasi yang canggung. Sesekali dia melirikku saat sedang makan, namun tidak mau bicara sepatah katapun.

    “Makanannya enak?” Aku mencoba memulai percakapan.

    Ia mengangguk sambil mengunyah makanannya tanpa bersuara.

    “Ingin memberi tahu namamu juga?”

    Ia tidak bereaksi terhadap pertanyaanku kali ini. Dan, aku akhirnya tidak bertanya apa-apa lagi.

    Selesai makan, aku membereskan meja tempat kami makan, mencucinya lalu berjalan kekamarku. Aku mengambil kotak kecil yang kemarin diberikan kakakku, lalu memberikannya pada gadis itu. Dia menerima kotak itu tanpa bertanya, tapi tidak membukanya.

    “Mau ikut menghirup udara segar? Aku bisa mengajakmu berkeliling.”

    Gadis itu menggeleng cepat. Aku lalu menunjuk kotak kecil yang ada di kedua tangannya,

    “Hadiah dari kakakku. Buka saja.”

    Dia perlahan membukanya, kemudian menoleh kearahku dengan wajah bingung.

    Aku mengambil kotak itu dan mengeluarkan isinya. Sepasang Lensa kontak berwarna hitam.

    “Bisa timbul masalah kalau orang-orang melihat warna matamu kan?”

    Gadis itu menduduk, kemudian mengangguk singkat.

    “Kamu bisa memakainya sendiri?”

    Gadis itu menggeleng pelan sambil menatapku.

    Aku menghela nafas berat kemudian berkata, “Setidaknya kamu mau memakainya.”

    Kamipun keluar, aku terkejut ketika ia tiba-tibamenggandeng erat tanganku. Wajahku bersemu merah saat itu juga, dan aku langsung memalingkan wajah sambil menunggu detak jantungku kembali normal.

    Sebenarnya apa sih yang ada didalam pikiran gadis ini? aku tidak punya bayangan sama sekali begitu melihat ekspresinya yang datar.

    Teman-temanku di Akademi pasti bertanya-tanya kenapa aku bolos hari ini, mengingat kondisi kakiku yang belum pulih aku memang belum mampu berburu dengan baik. Yah, biarlah mereka bertanya-tanya hari ini. Akan kujelaskan besok saja.

    Aku menunjukkan padanya beberapa bangunan dan fasilitas penting didesa, ia menanggapinya dengan ikut memandang hal-hal yang kutunjuk dengan jariku, dan mengangguk singkat ketika mendengarku bicara. Rasanya aneh sekali melakukan hal ini.

    “Hari yang cerah untuk jalan-jalan eh, Gray. Siapa gadis manis yang bersamamu ini?” sapa seorang pekerja tambang yang sedang mendorong gerobaknya.

    “Saudara jauh,” kataku singkat sambil tersenyum, lalu kembali berjalan agar tidak ditanyai lagi.

    Aku menyadari bahwa akan sangat berbahaya bagi kami jika sampai berpapasan dengan orang yang kukenal baik. Jika itu terjadi, aku tidak bisa menghindari percakapan yang menuntutku untuk mempernalkan pendatang baru ini. Jadi, aku mengajaknya ke hutan. Tempat dimana aku bisa merasa jauh lebih baik. Kuharap dia juga begitu.



    Dan satu cobaan lagi untukku kali ini adalah menghadapi Peer.

    “Hey Gray, kali ini kau membawa gadis? Aku baru melihatnya,” kata pria berseragam biru itu.

    “Ah, ini saudara jauhku. Dia baru sampai kemarin.”

    “Hm.. aneh sekali, aku tidak tahu ada orang baru yang datang kemarin.”

    “Kau bisa tanyakan kakakku untuk hal itu, aku hanya bertugas mengajaknya berkeliling.” Aku menaikkan alisku. “Bisa kami masuk?”

    Peer menimbang sebentar, sementara tanpa sadar aku agak mengeraskan genggaman tanganku.

    “Kenapa tidak?” katanya sambil melirik kedua tangan kami yang saling bergandengan, lalu mempersilahkan kami masuk ke hutan.

    Aku berjalan melewatinya, sambil berusaha mengatur ekspresiku senormal mungkin.

    “Tunggu dulu.”

    Tubuhku membeku sesaat, aku kemudian menoleh kearahnya.

    “Kenapa?” sahutku.

    “Kau tidak berburu hari ini?” katanya sambil melihat ikat pinggangku yang kosong tanpa di gantungi serumpun pisau.

    “Aku membawa beberapa pisau di rompiku, aku tidak bisa berburu banyak hari ini,” jawabku sambil menoleh singkat pada anak perempuan disampingku.

    Peer mengangguk tampak mengerti, “Jangan lewati batas sungai.”

    Biasanya Bruno yang mengatakan kalimat itu, agak aneh mendengarnya dari orang lain.

    “Tentu saja,” jawabku sambil berbalik dan berjalan masuk ke hutan.

    Aku mengajaknya berjalan melewati jalur mendaki yang jarang dilewati. Buruk untuk keadaan kakiku, tapi aku tidak ingin pemburu lain melihat kami. Sejauh ini aku belum membunuh seekor hewanpun. Aku juga, sebenarnya tidak ingin berburu hari ini, tapi aku tidak boleh bergantung pada persediaan makanan yang diberikan Coda.

    Kami berhenti berjalan didaerah berbatu. Aku memilih sebuah batu besar yang tertanam diatas tanah, lalu duduk diatasnya untuk mengistirahatkan kakiku.

    “Kamu tidak lelah?”

    Gadis itu menggeleng.

    “Mau makan?” Aku menyodorkan bebebrapa butir buah blackberry yang kubawa dari rumah.

    Ia mengambilnya tanpa bersuara, lalu mulai melahapnya.

    Dari atas sini, aku bisa melihat hutan yang terhampar dan matahari yang mulai bergerak ke barat.

    Aku berdiri disampingnya, lalu berkata, “Aku mau berburu sebentar, kamu jangan kemana-mana ya.”

    Gadis itu mengangguk.



    Aku sepertinya berburu cukup lama, karena matahari tampaknya akan terbenam sebentar lagi. Aku mendaki jalur yang sama, mendapatinya masih duduk pada batu yang sama. Akupun duduk disampingnya untuk beristirahat sejenak. Seharusnya kami pulang sekarang, tapi ada rasa malas yang aneh ketika aku duduk dibatu ini memandang matahari yang mulai menenggelamkan dirinya. Mata kami berdua terpaku pada pemandangan tersebut.

    Matahari yang mewarnai awan disekitarnya, tampak seperti terseret kedalam gunung. Garis-garis jingga yang tertoreh dilangit menentramkan hatiku.Aku melirik kearah gadis disampingku, ia memejamkan matanya, membiarkan desiran angin membelai wajahnya. Rambut hitamnya yang panjang menari-nari bersama angin.

    Warna langit mulai berubah gelap, gadis itu membuka matanya lalu menangkap basah aku yang sedang memandanginya dari samping. Aku benar-benar kehilangan kata-kata, saat ia menatap mataku dengan sepasang bola mata hitam barunya.

    Mulutnya yang mungil terbuka perlahan. Satu kata pertama yang ia ucapkan dan tak akan pernah kulupakan selamanya.

    “Scarlet...” katanya sambil menatap mataku, “Itu namaku..”


    Spoiler untuk 2.2 :
    “Gray, kamu ada dirumah?” Samar-samar, aku bisa mendengar seseorang memanggilku dari balik pintu depan rumahku.

    Aku membuka mataku perlahan, mendapati Scarlet masih tertidur pulas diranjangku. Aku pun berdiri diatas lantai kayu yang dingin, berjalan kearah suara yang membangunkanku dari alam mimpi.

    “Gra.. ” Ron tidak melanjutkan kalimatnya, ketika aku membuka pintu rumahku.

    Disamping Ron ada May dengan rambut pirangnya yang digerai. Seingatku, May tidak mengikat rambutnya hanya ketika ia tidak akan pergi berlatih di akademi atau berburu.

    “Aku kesiangan lagi ya,” kataku sambil melihat kearah langit.

    Aku menguap sejenak, lalu menatap mereka berdua dengan mata setengah terbuka.

    “Ayo masuk,” kataku sambil membukakan pintu.

    Mereka berdua masuk tanpa bicara lebih lanjut.

    “Aku baru mau menjelaskan alasan kenapa aku tidak pergi ke akademi kemarin... ”

    “Ini hari minggu bodoh, memangnya kamu mau menjelaskan kemana,” sela Ron.

    Aku terdiam sesaat, memandang kearah dua teman baikku itu, lalu menyadari kalau mereka berdua tidak mengenakan kostum berburu mereka.

    “Oh.. bodohnya aku,” kataku sambil memasang tampang tidak berdosa.

    “Kudengar dari kakakmu, katanya kamu sakit kemarin,” tanya May.

    Aku berpikir sejenak, tahu akhirnya alasan kenapa kakak pergi pagi-pagi sekali kemarin.

    “Begitulah,” ujarku sambil mengangkat perlahan kedua kakiku yang terbalut perban.

    “Kemarin, dia pergi ke Akademi. Dia juga memberitahukan, kalau kamu mungkin tidak akan datang untuk latihan,” ujar Ron.

    Aku mencerna perkataan Ron, dan menyadari betapa minimnya informasi yang kakakku beritahukan pada mereka. Mengingat kejadian yang sebenarnya jauh lebih rumit dari itu.

    “Tidak terlalu parah. Aku hanya perlu istirahat beberapa hari saja.”

    Aku berharap, mereka tidak tahu kalau aku sebenarnya pergi kehutan bersama Scarlet, dan mendaki gunung kemarin. Tadinya, aku bermaksud melanjutkan ceritaku untuk meyakinkan mereka sampai menemukan waktu yang tepat untuk menjelaskan keberadaan gadis itu di rumahku.
    Itu.. Sampai aku melihat ekspresi terkesima mereka berdua.

    Aku menoleh kebelakang. Walau tanpa melakukan itu, aku sebenarnya sudah tahu ‘apa’ yang mereka lihat disana.

    Scarlet, dengan matanya yang masih setengah terbuka, berdiri diambang pintu dan hanya mengenakan celana pendek dan pakaianku yang longgar di tubuhnya.

    Rasanya, aku ingin memukul wajahku sendiri keras-keras..

    “Saudara jauhku,” kataku sambil berusaha berkata sesantai mungkin. Bayanganku untuk menjelaskan beberapa dusta lagi pada mereka berdua, hancur sudah.

    “Aku lapar.. “ Aku bisa mendengar suaranya yang hanya berjarak kurang dari satu meter dibelakang, dan perlahan mendekat.

    Ia sekarang berdiri disamping kursiku. Tangannya mengambil sebuah apel yang terpajang dipiring. Sambil mengunyah apelnya, ia menyadari dua pasang mata yang sedang memandang kearahnya. Ia kemudian memandangku, dan otomatis pandangan mereka berdua langsung beralih padaku.

    “Oke.. oke.. masing-masing dua pertanyaan,” ujarku sambil meniru gaya frustasi kakakku.

    “Siapa namanya?” Ron bertanya sambil mengangkat tangannya. Ia tampak terlalu bersemangat.

    “Scarlet,” aku tegang juga membayangkan diriku sendiri yang baru mengetahui nama itu kemarin sore.

    “Kapan dia datang?” May bertanya dengan riang, semangatnya tidak kalah dengan Ron.

    “Dua hari yang lalu..”

    “Naik Kereta?” tanya Ron.

    “Ya.. Itu kuanggap pertanyaan keduamu.”

    “Apa?”

    “Kenapa dia memakai pakaianmu Gray?” lanjut May tanpa mempedulikan Ron.

    “Barang bawaannya dicuri dikereta.” Aku cepat-cepat mengarang cerita.

    “Dia tidur dikamarmu?” tanya Ron dengan nada ingin tahu yang tak wajar.

    “Cukup!”

    “Aku bisa meminjamkannya beberapa pakaian lama,” kata May sambil memandang Scarlet dengan ceria.

    “Terimakasih May.” Aku terseyum tulus padanya, lalu menengok kearah Scarlet.

    Ia balik menatapku, sekejap tampak bingung lalu menoleh kearah May.

    “Terimakasih, aku menghargainya,” ujar Scarlet sambil tersenyum singkat.



    Tidak terasa, kami mengobrol sampai menjelang tengah hari. Scarlet sendiri masih tidak banyak bicara. Sekalipun Ron atau May mencoba berbicara dengannya, ia hanya membalas dengan anggukan atau gelengan sehingga saat itu juga ia sukses menghancurkan rencana mereka untuk membuka topik pembicaraan dengan dirinya sebagai bintang tamu.

    Jadi entah kenapa, kami akhirnya berjalan-jalan diluar. Berempat, tentu saja bersama Scarlet yang tidak mau melepaskan genggaman tanganku. May agak mendongak melihat Scarlet menangkap tanganku saat kami baru akan beranjak keluar.

    “Rasanya kok Guardian didesa ini jumlahnya sedikit berkurang ya,” kata Ron sambil melihat sekeliling.

    Sekarang aku teringat, Coda mendapat tugas mendadak selama beberapa hari. Bruno juga tiba-tiba mendapatkan misi sehingga ia membiarkanku berburu sendirian untuk sementara.

    “Apa para pemburu di akademi juga banyak yang menghilang?” tanyaku.

    “Daripada menghilang, lebih tepatnya mereka ditugaskan ditempat lain Gray.” May menjawab pertanyaanku.

    “Sebenarnya tidak banyak juga kok, mungkin hanya dua atau tiga orang saja.”

    “Dan, yang dipekerjakan semuanya pemburu pro. Aku iri sekali padamu Gray, mentorku tidak dipanggil untuk tugas yang sama,” sahut Ron.

    “Kau tidak akan mendapat izin yang sama sekalipun mentormu juga dipanggil Ron.” May menangkap maksud Ron.

    “Tunggu.. dari mana kalian tahu aku mendapat izin berburu sendirian?”

    “Oh, ayolah Gray. Gosip tentangmu sudah menyebar diseluruh penjuru akademi. Calon pemburu berbakat jarang tidak populer,” kata May sambil menatap sarkastik kearahku dan Scarlet.

    “Aku penasaran apakah para Guardian dan Pemburu ini dipekerjakan dalam tugas yang sama,” ujar Ron.

    “Mungkin yang benar-benar ingin kau ketahui adalah, tugas apa yang sampai membuat keduanya dibutuhkan bersamaan.” selidik May.

    Aku agak terkejut mendengar intuisi May, tajam seperti biasanya. Aku memandang Scarlet yang tampak tidak mempedulikan obrolan kami sambil bertanya-tanya dalam hati apakah semua perempuan intuisinya setajam ini.

    “Memangnya kau tidak penasaran?” balasku.

    “Siapa yang tidak,” May tersenyum nakal, “Tapi cepat atau lambat, kurasa kita akan tahu.”


    Spoiler untuk 2.3 :
    “Bagaimana Gray?” tanya May sambil memegang kedua pundak Scarlet. Gadis itu tidak lagi mengenakan pakaianku yang kebesaran ditubuhnya. Yang dikenakannya sekarang adalah sebuah blus berwarna hijau daun tanpa lengan, dan celana pendek putih yang tergantung hampir 10 cm diatas lutut.

    Tanpa sadar, aku memandangnya terpana selama beberapa detik.

    “Ba.. bagus sekali.” Aku melihat wajah May yang sedikit cemberut, lalu segera menambahkan,

    “Setidaknya dia tidak perlu memakai bajuku lagi.”

    “Ini baju-baju lamaku, kondisinya masih sangat bagus. Kamu boleh ambil semuanya,” ujar May tanpa mempedulikanku.

    Scarlet melihat pantulan dirinya dicermin, sambil memegangi sebelah lengannya yang telanjang.

    “Benarkah?” katanya malu-malu.

    “Tentu saja.” May berkata dengan riang sambil menggenggam kedua tangan Scarlet. “Aku turut prihatin atas kejadian di kereta api yang menimpamu,” ia berkata dengan tulus.

    Rasanya, dadaku meluap mendengar kalimat itu. Gadis ini benar-benar mempercayai kebohonganku dengan sepenuh hatinya. Aku langsung melihat wajah Scarlet untuk melihat reaksinya, semoga saja ia tidak sama terkejutnya denganku.

    Namun, yang kulihat adalah wajah dengan senyuman yang tidak kalah tulusnya.

    “Terimakasih,” katanya.

    Dia ini pintar juga..



    Malam ini kami pulang sambil membawa sekantong plastik besar penuh pakaian. Aku menentengnya dengan sebelah tanganku, Scarlet menggandeng sebelah yang lain dengan tangannya yang tertutupi sweater.

    “Aku tidak menyangka kamu bisa tersenyum seperti itu, tadi.”

    “Tadi, yang mana?” tanyanya datar.

    “Saat dia mengangkat kisah ‘pencurian di kereta’mu.”

    “itu bukan kisahku, itu kisahmu.” Ia membantah tanpa sedikitpun meninggikan intonasi suaranya.

    Aku terdiam sejenak sambil memandangi langit malam yang mendung.

    “Jadi, apa kamu mau menceritakan kisahmu sendiri?”

    Ia terdiam, ekspresinya semakin datar.

    Angin dingin berhembus seperti sedang menertawakan kami berdua. Aku menutup sebelah mataku karena kemasukan debu, namun pandangan Scarlet tetap lurus. Rambutnya yang panjang terurai berterbangan.

    Angin berhenti berhembus, menyisakan kami berdua dalam sunyi. Keheningan yang canggung itu kembali melanda kami berdua.

    “Ahhh, aku tidak tahan!” kataku sambil mengacak-acak rambutku dengan sebelah tanganku.

    Scarlet tampak tertarik dengan reaksiku.

    “Gadis sialan, sampai kapan kamu mau terus-terusan memakai topeng seperti ini haah!!”

    Aku menarik-narik pipinya dengan gemas.

    “Aaah.. aduhh, apa.. apa yang kamu lakukan!” katanya sambil berusaha menjauhkan tanganku dari wajahnya.

    “Meski kamu berhasil tampil bagus didepan May, tapi sekarang kamu terus-terusan memasang wajah suram seperti itu didepanku,” kataku, kemudian melepaskan cubitanku pada pipinya.

    Dia melotot kearahku.

    “Lihat, akhirnya aku bisa melihatmu marah sekarang.” Aku tersenyum mengejek.

    Wajah putihnya memerah, ia berbalik untuk terus berjalan tapi tangannya masih menempel padaku.

    Aku tertawa melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan.

    “Sekarang aku tidak yakin, yang mana sebenarnya wajahmu.” Aku berkata dengan muram.

    Ia memperlambat langkahnya.

    “Aku tidak tahu kenapa kamu bisa sekarat di hutan. Aku juga tidak yakin dari mana asalmu.”

    Aku berhenti berjalan.

    “Aku tidak tahu apa-apa tentangmu.. kamu seperti sedang dikelilingi kabut yang tebal..” Aku bernafas sejenak, “Waktu itu kamu membiarkanku menolongmu. Walaupun kamu tidak bicara sepatah katapun, aku yakin kamu percaya padaku.”

    Aku terus menatapnya dari belakang, tapi ia sama sekali tak bergeming.

    “Setidaknya, kalau rasa percaya itu masih ada... Biarkan aku masuk kedalam kabut itu bodoh!” Suaraku bergetar di udara malam.

    Scarlet membeku saat itu juga. Sedangkan aku hanya bisa menatap rambut hitam panjangnya dari belakang.

    Beberapa detik kemudian ia berbalik untuk menatapku. Matanya berkaca-kaca, ia menggigit bibirnya untuk menahan air mata tapi kali ini emosinya menang. Air matanya merembes keluar, mengalir tanpa ampun. Ia berlari menerjang kearahku dan membenamkan wajahnya. Aku bisa mendengarnya menangis terisak-isak, kedua tangannya menjambak kain bajuku.

    “Lihat, akhirnya aku bisa melihatmu menangis sekarang.”

    Ia menyangkal dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya masih terbenam di dadaku. Aku mengingat kembali sosoknya ketika kami baru pertama kali bertemu. Apapun yang membuatnya berakhir dalam kondisi seperti waktu itu, bukanlah pengalaman yang layak ditempuh oleh gadis seumurannya.

    Dan,

    Melihatnya menangis seperti ini.. ia pasti sudah berjuang sangat keras seorang diri..

    Aku membelai rambutnya, sementara tanganku yang lain memeluk punggungnya.

    “Ayo kita pulang.”



    Aku tidak bisa menemukan kakakku dirumah, yah aku tidak begitu peduli. Biasanya ia memang suka pulang larut kalau jumlah pasien membeludak di rumah sakit. Saat ini, aku hanya berharap sedikit buah-buahan masih tersisa untuk mengganjal perutku.

    Aku berjalan kekamarku sambil membawa beberapa butir anggur, dan apel yang sudah diiris tipis-tipis diatas sebuah nampan, beserta dua cangkir teh hangat yang baru saja kuseduh.

    “Cuma ini yang tersisa. Makanlah, aku tidak begitu lapar,” kataku, meski perutku agak keroncongan.

    Ia memandang dengan ragu, kemudian mulai memakannya sambil duduk diranjangku. Selama itu, kami berbincang-bincang ringan mengenai kehidupan sekolahku, teman-temanku, dan bagaimana pelatihanku di akademi. Aku memberitahunya beberapa lelucon, dia tidak mengerti sebagian besar leluconku tapi menurutku ini perkembangan yang sangat baik. Setidaknya, ia bukan lagi gadis yang hanya bisa mengangguk dan menggeleng jika diajak bicara.

    Scarlet menguap panjang ketika aku menceritakan bagaimana Bruno berhasil membunuh seekor beruang dengan pisaunya.

    “Sudah masuk jam tidurmu ya.”

    Dia mengangguk letih, kemudian mulai berbaring. Tangannya mencari tanganku, ia pun menggenggamnya.

    Aku menyingkirkan rambut yang jatuh kekeningnya.

    “Tidur sana.”

    Ia memejamkan matanya, dan mulai terlelap dalam beberapa menit. Aku menyaksikan wajah tertidurnya yang damai. Rasa kantuk mulai menyerangku, rasanya aku tidak bisa tahan terjaga kalau melihat wajah tertidur gadis ini.

    Dengan kedua tangan kami masih saling bergandengan, aku pun tertidur sambil bersandar diranjang.

    Aku bersumpah baru sempat memejamkan mata selama beberapa menit, sampai kakakku membuka pintu kamarku dengan kasar. Wajahnya pucat seperti baru dikejar hantu.

    “LARI.. !!”


    Spoiler untuk 2.4 :
    KAGET! itulah hal pertama yang kurasakan. Namun, maksud dan pikirannya merasuk dengan cepat kedalam otakku, begitu melihat ekspresi ketakutannya ketika sesaat ia melirik kearah Scarlet.

    Gadis berambut hitam disampingku terbangun dari tidurnya, dan mendapati kakakku sedang berdiri didepan ruangan ini. Ia menoleh kearahku untuk minta penjelasan, namun diurungkan niatnya begitu melihat ekspresi wajahku yang sama terkejutnya.

    “Apa.. apa maksudmu, kak.”

    Ia menarik nafas sejenak, dan mulai berkata, “Guardian, sebentar lagi mereka akan datang... untuk menangkapnya.”

    “Ap.. apa? tapi bagaimana mereka..”

    Kakakku hanya menggeleng, “Tanpa sengaja aku mendengar beberapa guardian, membicarakannya. Mereka tahu dia ada disini...” Ia tampak kesulitan merangkai kata, tipikalnya saat sedang gelisah. “Mereka berbicara tentang misi... untuk menangkapnya jika saatnya tiba.. setidaknya itu yang kudengar.”

    Tubuhku terasa membeku.

    Jadi mereka sudah tahu? Tapi, kenapa.. kenapa selama ini membiarkan kami?

    Aku termenung ditempat saat itu juga. Berbagai pikiran dan perasaan gelisah mulai datang menyerang. Saat itu juga, waktu diruangan ini terasa berhenti. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bicara.

    Sampai, sebuah sentuhan lembut yang familiar terasa di pundak kananku.

    “Hei Gray, kamu sudah berjanji pada gadis ini, kan?”

    Aku menatap mata kakakku. Ia kelihatan sedih.

    “Anak laki-laki tidak boleh mengingkari janjinya loh..”

    Aku tertawa kecil mendengar perkataannya, “Sampai kapan kau mau terus menganggapku anak-anak, kak.”

    Aku menggenggam pergelangan tangannya, kemudian menciumnya. Rasanya mataku perih karena ingin menangis, tapi aku tidak boleh. Didepan gadis ini.. didepan Scarlet. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak boleh ada penyesalan.

    “Hati-hati ya, kak,” kataku sambil tersenyum seyakin mungkin.

    Kakakku balas tersenyum, air mata yang sejak tadi di tahannya merembes keluar perlahan. Tapi rasa takut di wajahnya sudah pudar sama sekali.

    Aku menarik tangan Scarlet dengan perlahan dan menuntunnya berdiri.

    “Ayo kita pergi.” Aku berkata dengan lembut.

    Scarlet tampak bingung, tapi ia tetap menurut.

    Aku berjalan perlahan, melewati kakakku yang sedang berdiri termenung menatap lantai kayu yang dingin. Aku berhenti sejenak didepan pintu dan berkata,

    “Aku akan.. “ Aku menggeleng cepat, “Aku pasti pulang, kak.. Aku janji..”



    Kepalaku terasa sakit karena serangkaian pikiran yang kembali menyerang, begitu aku melangkahkan kaki keluar dari rumah. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyangkalnya. Karena keegoisanku, kakakku tidak mungkin lolos dari hal ini begitu saja begitu mereka mengetahui aku dan Scarlet sudah tidak ada lagi di rumah ini. Belum lagi, May dan Ron, tanpa sadar aku juga sudah melibatkan mereka berdua. Bukannya tidak mungkin mereka akan di curigai bersekongkol denganku karena orang-orang mungkin sudah melihat kami berempat berjalan bersama di tengah desa.

    Setidaknya, aku harus memperingatkan mereka.

    Aku berbelok di persimpangan yang akan mengarahkan kami ke padang rumput, melewati beberapa gang yang berliku, dan sampai di depan sebuah rumah dengan pagar kayu setinggi 1,5 meter, mengelilingi pekarangan luas yang merupakan kebun bunga pribadi.

    “Gray.. rumah ini.”

    Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk melalui pintu pagar yang tidak terkunci. Aku berjalan ke sisi rumah dan mendapati sebuah jendela kaca yang tertutup gorden dari dalam. Aku mengetuk jendela kaca itu perlahan.

    Dalam hitungan detik, gorden yang ada dibalik jendela kaca itu terbuka. Sosok yang membuka gorden itu dari dalam adalah seorang gadis berambut pirang panjang yang dibiarkan tergerai begitu saja, mengenakan sweater putih tanpa lengan yang tampak tidak kontras di kulitnya.

    “Gray, kunjungan yang tidak biasa,” kata May sambil membuka jendela kacanya, tampak kaget melihatku berdiri didepan dinding kamarnya bersama Scarlet pada tengah malam seperti ini.

    “Maaf mengganggu,” kataku sambil tersenyum canggung. “Aku ingin bicara.”

    Ia melompat dengan anggun dari balik jendela itu, dan mendarat didepanku dengan kedua kakinya menapak tanah tanpa bersuara sedikitpun.

    “Tengah malam begini?” Ia balas tersenyum.

    “Maaf... ini tidak bisa ditunda lagi.”

    “Kalau begitu bicaralah,” katanya sambil menatapku. Kedua pasang mata kami hanya berjarak kurang dari 50 sentimeter.

    Jadi aku menjelaskan semuanya.

    Mata May tampak terbelalak menerima semua informasi yang kubeberkan padanya. Ia terdiam sesaat sambil memandang kosong kearah lain. Aku terus menatap wajahnya dengan sedih, bertanya-tanya apa reaksinya setelah ini. Marah? Kecewa? Keduanya mungkin.. aku sudah membohonginya, mengkhianatinya sebagai teman.

    “Sulit dipercaya memang, tapi semua yang kuceritakan barusan sepenuhnya fakta. Maaf sudah membohongimu... May.”

    Dia menghela nafas sejenak, kemudian meninju bahuku sambil tersenyum.

    “Tidak apa-apa, aku mengerti kok.”

    Aku agak terkejut mendengar jawabannya.

    “Kamu tidak marah? Aku sudah membohongimu..”

    “Tentu saja aku kesal, bodoh!” Ia menusukkan jari telunjuknya pada dahiku, “Tega-teganya kamu merahasiakan hal sepengting ini dari sahabat-sahabatmu.”

    “Ma.. maaf.”

    “Tapi aku mengerti kok.. kamu mengambil keputusan ini, karena tidak mau melibatkan kami.. karena mengkhawatirkan aku dan Ron, kan?” Ia tersenyum sambil mencondongkan wajahnya padaku.

    Aku menoleh kearah lain, kemudian berkata, “Yah.. begitulah.”

    “Heheh.. Gray, kamu pintar, tapi ketika dalam kondisi tanpa pertahanan seperti ini, kamu jadi gampang sekali ditebak.”

    Aku tersenyum sejenak sambil memandangnya, ”Beritahu Ron tentang hal ini ya, mungkin aku tidak akan sempat mengunjunginya.”

    “Tidak sempat atau tidak mau? Dia pasti langsung mengamuk sedetik setelah kamu selesai menjelaskan semuanya.”

    “Tidak diragukan lagi.”

    Kami berdua tertawa.

    “Tetap saja.. kamu serius, mau pergi?”

    Aku menoleh kearah Scarlet yang dari tadi berdiri sambil bersandar di pagar kayu.

    “Aku sudah berjanji.. ini pilihanku.”

    May memandang kearah tanah, entah kenapa ekspresinya tampak sangat kesepian. Sambil tersenyum sedih ia berkata, “Aku mengerti, hanya saja..” Ia menggeleng cepat. “Kalau kamu berjalan dari sini kearah utara menyusuri pagar pembatas sampai jalur mulai menanjak, kamu bisa menemukan lubang dibagian bawah pagar. Cukup untuk dimasuki satu orang.”

    Aku terbelalak mendengar informasi itu. Tadinya aku berniat keluar dari desa melalui pintu masuk hutan, dan menghajar Guardian yang sedang berjaga. Spontan aku menggenggam kedua tangannya.

    “Terimakasih May, kamu tidak tahu betapa berharganya informasi ini..”

    “Tidak ada gunannya menahanmu, kupikir sedikit bantuan seperti ini akan lebih baik.”

    “Terimakasih.” Aku tersenyum padanya.

    Ekspresi sedih itu masih belum pudar, namun ia balas tersenyum. Aku merasakan genggaman tangan May bergetar sesaat..

    Angin berhembus diantara kami. Sepasang mata biru milik May menatap lurus kearah mataku, lagi-lagi tatapan yang sama seperti saat ia menundukkan kepalanya tadi. Ia tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya.

    Dan, sedetik kemudian ia berjinjit untuk menciumku.. MAY MENCIUMKU!!
    Semuanya terjadi begitu cepat, aku tidak tahu bagaimana tapi aku tidak dapat menolaknya. Aku tidak bisa tidak melihat wajah beserta kedua matanya yang terpejam saat itu juga.

    “A.. aahh..” Kemampuanku untuk berkata-kata entah kenapa hilang begitu saja.

    May tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai berubah merah, tapi dia tetap menatapku. Kini tangannya bali meremas tanganku.

    “Kamu harus pulang, janji?”

    Aku terdiam sesaat, butuh waktu empat detik sampai otakku kembali bekerja, aku mengangguk sekali padanya.

    “Tentu saja.. Aku janji..”

    Ia melepas kedua tangannya, kemudian menoleh kearah Scarlet.

    “Semoga beruntung,” katanya sambil tersenyum tulus.



    “Lihat, May benar,” kataku sambil menunjuk kebawah.

    Kami berdua berhasil merangkak masuk ke celah yang tampaknya sudah ada ditempat ini selama bertahun-tahun. Dibalik pagar ini, adalah hutan belantara tanpa ada jalan setapak. Hutan dimalam hari sangat berbeda, kegelapan malam yang pekat dulu membuatku hampir tidak bisa membedakan warna kayu dan daun. Namun, sekarang mataku sudah cukup terlatih untuk melihat hampir semua objek di kegelapan ini. Tanpa ragu, aku berlari sambil menggandeng tangan Scarlet melewati semak dan pepohonan yang bertebaran di depan kami.

    “Maaf,” katanya tiba-tiba.

    “Ada yang salah?” tanyaku.

    Aku agak penasaran tentang kondisi Scarlet sejak kami meninggalkan rumah May. Biasanya ia memang pendiam, tapi kali ini berbeda. Dia tampak tidak bersemangat, dan ekspresinya tampak lesu.

    Aku membayangkan ciumanku dengan May beberapa saat yang lalu, wajahku sesaat berubah merah. Jangan-jangan..

    Scarlet menggeleng perlahan, “Karena aku, kalian semua kerepotan begini.”

    Oh.. ternyata bukan karena itu.

    “Tidak ada gunannya minta maaf, mau kamu katakan seratus kali juga tidak ada yang akan berubah. Semua yang sudah terjadi, terjadilah.” Aku berkata tanpa menoleh kearahnya. “Jadi, aku tidak ingin dengar lagi kata-kata tidak berguna seperti itu dari mulutmu, ini pilihanku, dan kau tidak perlu minta maaf karenanya.”

    Genggaman tangannya agak menegang. Aku menoleh kearahnya, namun ia sedang memalingkan wajahnya kebawah. Sekilas, mungkin hanya perasaanku tapi kurasa aku baru saja melihat rona merah diwajahnya.



    Aku menuntun Scarlet melompati sederetan batu yang akan membawa kami keseberang sungai. Ia tampak tidak kesulitan melakukannya, tapi akan sangat berbahaya jika kami kehilangan pijakan karena kegelapan ini. Kami baru saja berhasil menyebrangi sungai dan berjalan beberapa meter, sampai sebuah pisau menancap tepat di sebuah pohon yang jaraknya hanya satu meter dari telinga kananku. Spontan, aku menoleh kebelakang, menyusuri dari arah mana pisau ini datang.

    Harusnya aku sudah tahu..

    “SUDAH KUBILANG, JANGAN LEWATI BATAS SUNGAI!!”

    Suara Bruno menggelegar di tengah udara malam.


    Spoiler untuk 2.5 :
    Kenapa Bruno ada disini?

    Kenapa dia tahu aku ada disini?

    Tunggu..

    Dia baru saja melempar pisaunya kearahku!


    Berbagai pertanyaan mulai merasuk, sayangnya aku tidak punya waktu untuk berpikir. Aku berbalik, dan langsung mencabut pisau yang tertancap pada pohon dibelakangku.

    “Ayo lari,” bisikku pada Scarlet.

    “DIAM DI TEMPAT, BOCAH!”

    Kalau saja aku sedang tidak membelakanginya, mungkin aku benar-benar akan membeku ditempat saat ini juga.

    Suara mendesing terdengar tidak jauh di belakangku. Refleks, aku langsung menunduk untuk menghindarinya. Kali ini, pisaunya tepat mengearah ke kepalaku. Terlambat menghindar beberapa detik saja, otakku pasti sudah berlubang.

    “KAU TIDAK TAHU APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!”

    Aku tidak percaya dia mengatakan hal itu setelah melempar pisaunya tepat kearahku.

    Dikejar Bruno dan pisau-pisaunya, rasanya seperti sedang diburu oleh predator paling mematikan dimana aku bisa terbunuh kapan saja. Aku pernah melihatnya melempar pisau dalam sesi latihan, dia tak pernah meleset. Kini akulah sasarannya.

    Setidaknya, dalam hal kecepatan aku lebih unggul darinya. Eh tidak juga..

    Aku melirik kearah gadis yang sedang berlari tidak jauh dibelakangku. Jangankan berlari sekuat tenaga, sekarang aku juga punya tanggungan.

    Beberapa menit belakangan, Bruno sudah tidak lagi melempar pisau-pisaunya. Wajar saja, karena aku berlari diantara pepohonan sambil memperkirakan jarak pandangnya. Hal yang ia ajarkan beberapa bulan yang lalu untuk menghindari kejaran lawan yang bisa menyerang dari jarak jauh, tidak pernah terpikirkan akan kupraktekkan dalam situasi seperti ini.

    Aku mempercepat langkahku, ketika kami akhirnya sampai didaerah yang sudah tidak lagi dipadati pepohonan. Didepanku, terbentang Rel kereta yang dibangun diatas gundukan batu setinggi satu meter. Mataku dengan cepat menelusuri rel ini kearah pegunungan di barat laut, kudapati gua raksasa buatan manusia yang menganga di perut gunung batu dua ratus meter dari tempatku berdiri.

    Aku pernah dengar dari Coda, kalau ditengah hutan tidak jauh dari batas sungai, terdapat rel kereta yang yang diperuntukkan khusus untuk kereta barang, terbentang menembus gunung batu yang membatasi Area 5 dengan Area 4. Kabarnya, kereta itu akan berhenti persis pada tengah malam sebelum menyusuri gunung untuk mengisi bahan bakar terlebih dahulu.

    Sedikit lagi, pikirku dalam hati. Bodohnya, aku melonggarkan pertahananku saat itu juga. Hanya beberapa detik, namun Bruno dapat menyadarinya bahkan sebelum aku sadar atas kelalaianku sendiri.

    Aku terlambat menyadari desingan pisau yang akhirnya mendarat dengan sempurna di bahu kananku.

    “Aaaakhh..” Aku mengeluarkan teriakan tertahan.

    Scarlet tampak sangat terkejut, ia ingin menghampiri bagian tubuhku yang terluka tapi aku segera menyuruhnya untuk menjauh.

    “Jangan mendekat, kau bisa jadi sasarannya juga!” teriakku sambil menahan darah yang mengalir.

    “Reaksi mu lambat bocah.”

    Aku menoleh kearah sumber suara itu. Tidak pernah aku bermimpi akan diperlakukan seperti ini oleh mentorku sendiri.

    “Sedikit lebih terlambat lagi, paru-parumu pasti sudah berlubang sekarang.”

    Aku memolotinya, tapi ia hanya memandang sinis kearahku. Aku mulai ragu apakah pria yang ada dihadapanku ini benar-benar Bruno.

    “Kuberi kesempatan untukmu bocah, berikan gadis itu. Aku akan berusaha agar kau tidak dicambuk di alun-alun esok hari. Tidak dengan lubang di bahumu.”

    “Kalau aku menolak?”

    Aku bergeser dan memastikan Scarlet berada tepat dibalik punggungku.

    “Menyingkir dari sana. Kau tidak berpikir tindakan sok pahlawanmu itu akan berakhir dengan baik, kan.”

    “Gadis remaja itu fetish barumu ya,” kataku tak peduli.

    “Jangan memaksaku bocah, Aku sudah pernah bilang kalau misi itu segalanya bagi seorang hunter.”

    “Gadis ini, misi??? Kau gila ya!”

    “Kau tidak tahu apa-apa..”

    “TIDAK, kau yang tidak tahu apa-apa.”

    Luka dibahu kananku rasanya seperti terbakar. Tapi bahkan dengan kondisi seperti ini, Bruno sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun gerik untuk menyerang.

    Tekanan seperti Predator pembunuh tadi hilang. Kini, aku sedang berbicara dengan Bruno, mentorku. Yang entah kenapa aku jadi membayangkan, mungkin seperti ini rasanya bertengkar dengan seorang Ayah.

    Suara peluit kereta yang memekakkan telinga langsung menghancurkan keteganganku begitu saja. Aku melirik kearah beberapa siluet hitam yang keluar dari kotak besi itu. Jarak kami lumayan jauh, mereka tidak akan menyadari apapun yang terjadi disini.

    “Bocah.. kau tidak berpikiran untuk..”

    Tampaknya, Bruno sukses membaca niatku. Matanya terbelalak, & tubuhnya menegang sesaat.

    “Dengar nak, aku sedang mencoba untuk menyelamatkanmu dari kebodohanmu sendiri.”

    “Aku tidak keberatan jadi orang bodoh, jika itu artinya aku bisa memilih jalanku sendiri.”

    Aku menarik keluar pisau yang sudah sejak tadi tertancap di bahu kananku, dan melemparnya jauh-jauh ke hutan. Pisau yang dilempar Bruno di batas sungai tadi masih kungenggam erat ditangan kananku. Aku menatapnya penuh keyakinan, bersiap untuk melempar pisau ini tepat ke wajahnya kapan saja. Paham apa maksudku, sedetik kemudian ia sudah berada dalam pertahanan terbaiknya. Kini ia tidak lagi berada dalam mode ‘Orang tua tukang ceramah’.

    “Kau yang memilih, jangan menyesal nantinya bocah.”

    “Tidak akan pernah..”



    maintenance part II - Status : Complete
    Last edited by -Pierrot-; 11-11-12 at 20:51.

  4. #3
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk Chapter III : :
    Spoiler untuk 3.1 :
    Pertama kali aku mengacungkan pisau pada Bruno, kalau tidak salah waktu itu umurku baru 9 tahun. Pisau yang kupegang saat itu, terbuat dari kayu dan didesain khusus untuk pemula. Aku masih ingat bagaimana dia bilang kalau menghindari pertarungan sesama pengguna pisau sangat dianjurkan, jika kemampuan bertarungmu tidak berbeda dengan lawanmu, atau lebih parah lagi ketika lawan mu jauh lebih ahli.

    Situasi saat ini, jelas-jelas berada diantara kedua kondisi tersebut. Masalahnya, aku tidak tahu yang mana dan tidak mungkin aku bisa mundur dari pertarungan yang kumulai sendiri. Dalam hal pengalaman, kami jelas tidak bisa dibandingkan. Itu artinya keahlian dan tehniknya pasti masih jauh diatasku. Namun aku cukup percaya diri dengan kekuatanku, dan kelincahanku jelas-jelas jauh diatasnya.

    Ah, tidak ada gunanya menimbang hal yang tak pasti. Saat ini, aku harus bisa menciptakan setting bertarung yang dapat memaksimalkan semua keunggulan yang kupunya.

    Tanpa bersuara, aku berlari dengan kecepatan tinggi pada lintasan memutar kearah kiri sembari tangan kananku bersiap untuk menangkis serangan atau melempar pisau ini kapan saja. Sedangkan Bruno, hanya berdiri terpaku, sama sekali tidak mencoba melempar pisaunya.

    Dalam posisi diam, seharusnya ia bisa jadi target yang mudah. Aku mengincar dadanya yang lebar, dan langsung melesatkan pisau ditangan kananku ini. Dengan mudah ia menangkisnya dengan sebuah belati yang berukuran sedikit lebih besar dari pisau lempar biasa.

    Nafasku tertahan, itu pisau tempur miliknya.

    Aku bahkan tidak bisa melihat kapan ia menarik keluar senjata kesayangannya itu. Dengan panjang keseluruhan 13 inci, pisau berwarna hitam legam itu juga terlihat lebih lebar dibanding pisau tempur pada umumnya. Aku sempat bosan melihat benda itu ketika Bruno tanpa henti memamerkannya dalam kisah kepahlawanannya menaklukan seekor beruang raksasa. Membayangkan kulitku sebentar lagi mungkin akan dikoyak oleh benda itu membuatku agak merinding.

    Agaknya, dalam pertarungan dua pengguna pisau, kemungkinan tidak akan terluka nyaris mendekati nol. Karena itu, dasar yang sudah diterapkan dengan mantap dalam pikiran dan mental kami adalah keberanian untuk menerima serangan benda tajam kapan saja.

    Namun, situasi saat ini jelas melebihi harapanku. Akurasi lemparan pisauku masih jauh dibawahnya. Jika ia meminta pertarungan jarak dekat maka dengan senang hati akan kulayani. Dalam satu kedipan mata, pisau tempur sepanjang 12 inci dengan gagang coklat tua sudah melekat dengan mantap dalam genggaman tangan kananku.

    Dengan cepat aku melesat mendekati Bruno, sesingkat mungkin berhenti dengan pivot pada kaki kiri dan menebas LHR hitamnya dari dalam untuk menggoyahkan pertahanannya. Secepat kilat aku mengelak maju kearah kanan sebelum ia balas menusuk kearah udara kosong yang tadinya adalah lokasi wajahku berada. Gagal mengenai sasaran menyebabkan Bruno kehilangan momentum, sebaliknya tangan kananku sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kedua. Kali ini kukerahkan semua tenaga dan kecepatanku dengan menghentakkan kaki kanan kedepan dan menusuk dengan tajam ke punggungnya yang terbuka.

    Kurang dari sepuluh senti sebelum bilah pisauku mengenai punggung Bruno, tapak sepatu kulitnya tiba-tiba saja bersarang dengan mantap di perutku. Tendangan belakang keras dari Bruno sukses mementalkanku sejauh tiga meter.

    Kugulingkan tubuhku begitu mencapai tanah agar bisa kembali berdiri dengan cepat. Namun Bruno sama sekali tidak membiarkanku beristirahat. Kali ini ia balas menerjang kearahku tepat dari depan.

    Dari depan? yang benar saja.

    Sekuat tenaga aku mengirimkan tendangan rendah pada Pahanya. Ia meringis sejenak. Seakan tidak menghiraukan, tinju kirinya dengan cepat menusuk kearah wajahku. Namun tanganku sudah siap mementahkan serangannya.

    Tendangan rendah tidak begitu efektif untuk menghabisi lawan, namun sangat aman untuk dijadikan serangan pembuka karena tubuh bagian atasmu masih berada dalam posisi terbaiknya.

    Tukk..

    Tinju kirinya terasa ringan. Gawat, ini jebakan!

    DUAGH!!!

    Terlambat menyadarinya, belum sempat aku menurunkan pertahananku kembali, tendangan menyamping Bruno sukses menghancurkan satu atau dua tulang rusukku.

    Kali ini tubuhku tidak sampai terpental, namun rasa sakitnya jauh melebihi tendangan yang tadi. Usai serangan, Bruno tidak lagi mengejarku dengan brutal. Sepertinya tendanganku juga berefek cukup fatal pada kakinya.

    “Tendangan barusan boleh juga, bocah.”

    Aku memaksakan sebuah senyum mengejek, sebisa mungkin tidak ingin menyentuh rasa sakit seperti terbakar di rusuk kiriku ini seperti halnya Bruno yang sama sekali tidak menunjukkan penderitaan atas paha kirinya. Berbicara dalam kondisi ini, sama saja membiarkannya tau seberapa efektif serangannya barusan.

    “Sudah waktunya kita akhiri ini,” Bruno berkata dengan nada mengancam.

    Aku memantapkan kuda-kudaku sebagai jawaban atas intimidasinya.

    Tidak boleh kalah.

    Tidak boleh kalah.

    Tidak boleh..


    Kali ini kami berdua maju bersamaan.

    Secepat kilat, kutebaskan pisauku pada lehernya. Namun, secepat itu juga ia menunduk dan menusuk pahaku dengan LHR hitamnya. Kaki kanannya menjegal kaki kiriku yang baru saja terluka, dan tangan kirinya menangkap tangan kananku yang bersenjata. Keseimbangan kaki kiriku dalam sekejap direngut, namun tepat sebelum itu terjadi lutut kananku kudaratkan dengan keras tepat kewajahnya, menimbulkan suara retak yang menjijikkan. Kurasa aku baru saja menghancurkan hidungnya.

    Entah apa lagi yang terjadi, kini posisiku sudah berada dibawahnya.

    Tangannya memelintir tanganku, memaksaku melepaskan pisau tempur bergagang coklat yang bahkan tidak sekalipun berhasil kudaratkan tepat pada sasaran. Wajahnya yang berlumuran darah menatap wajahku dari atas. Nafasnya tersengal-sengal, begitu juga denganku.

    “Sudah berakhir, bocah.”

    Kalah.


    Spoiler untuk 3.2 :
    “GRAAAY!!”

    Aku tidak bisa tidak mendengar teriakan Scarlet. Kuhadapkan wajahku pada arah suara itu. Tidak begitu jauh dari pandangan, gadis itu mulai berlari mendekat.

    “Jangan mendekat!” teriakku.

    Scarlet menghentikan langkahnya. Dalam kegelapan malam ini, mataku yang sudah terlatih dapat dengan mudah menangkap siluet tubuhnya yang gemetaran dengan wajah yang dipenuhi teror.

    “Masih belum..”

    Kalimatku dipotong oleh hantaman keras tinju Bruno pada pipi kananku. Scarlet memekik tertahan saat itu juga.

    “Masih belum apa hah?”

    Wajahku tergeletak menghadap kearah lain akibat pukulan Bruno.

    “Apa-apaan wajahmu itu Scarlet,” kataku tanpa mencoba memperbaiki posisi kepalaku. “Aku sudah berjanji akan membawamu pergi dari sini kan?”

    Aku menoleh singkat kearah Pria yang saat ini sedang menahan tubuhku diatas tanah. Ia menyeka darah yang berlumuran diwajahnya, namun alirannya tetap tidak berhenti. Membuktikan bahwa tendanganku mengenainya cukup telak.

    “Kau percaya padaku, kan?.” Aku memaksakan sebuah senyum, namun darah malah mengalir dari mulutku. “Duduk diam dan lihat saja dari sana. Paman ini akan kuhajar sebentar lagi.”

    “Kau cukup tenang dalam keadaan seperti ini bocah,” ejek Bruno

    Aku menghiraukan perkataanya, dan menoleh singkat kearah Scarlet untuk memastikan kalau dia sudah jauh lebih tenang sekarang.

    “Dalam keadaan seperti ini harusnya kau menyuruhnya lari kan?”

    “Sudah kubilang, aku belum kalah.”

    Dia memukulku lagi.

    “Apa yang kau harapkan dari tindakan bodohmu ini, bocah?”

    Aku hanya diam sambil balik menatapnya dengan tajam.

    “Apa kau mengerti, apa yang sedang kau lakukan saat ini?”

    Aku membayangkan wajah menangis kakakku, orang-orang yang kukenal di desa, Ron, May..

    Scarlet.

    Tampak kecewa mendengar tidak adanya balasan suara dariku, Bruno menyipitkan matanya dan menghela nafas berat. Untuk beberapa saat ia hanya menatap mataku sambil bergumam tidak jelas.

    “Kau rela.. membuang mereka semua?” Nada suaranya merendah.

    Ketika terkunci oleh tubuh lawan dalam keadaan terbaring, kebanyakan orang akan panik dan berusaha melepaskan diri begitu tubuhnya menyentuh tanah. Memukul tubuh lawan dengan kondisi tangan setengah bebas atau berontak dengan menggerakan seluruh bagian tubuh sekuat tenaga, reaksi seperti itu umum bagi para amatir, dan tentu saja tidak ada gunanya sama sekali.

    Satu hal yang perlu diingat, hanya karena gerakanmu menjadi lebih terbatas ketika lawan menguncimu di tanah, bukan berarti tubuhmu tidak dapat digerakkan lagi. Karena dalam situasi seperti itu pun, masih ada cara untuk membalikkan keadaan.

    “Ayo jawab, bocah!”

    Aku belum kalah.

    Setelah ini, hanya ada satu kesempatan untukku.

    “Aku tidak mengerti apa yang kau maksud,” kataku sambil tersenyum mengejek

    Setidaknya hanya satu kesempatan yang bisa kubuat.

    Pandangan mata Bruno mendadak terlihat gelap, namun saat itu juga waktu terasa berjalan lebih lambat di pandanganku.

    Tangan kanannya mengepal dengan keras sampai sedikit bergetar, kini mengambil ancang-ancang kuat untuk siap diterjangakan tepat kewajahku. Dibutakan amarah, Bruno menarik lengan kananannya terlalu kuat dan terburu-buru. Sehingga dalam sepersekian detik, aku bisa merasakan tubuh bagian kiri yang dibebankannya sedikit berkurang, dan kedua kakinya meregang sedikit.

    Hanya syarat inilah yang kubutuhkan untuk segera menangkap persimpangan antara paha dan betisnya dengan kakiku, dan dengan kedua tanganku aku memeluk dan menarik tubuhnya pada tubuhku untuk sekuat tenaga kubanting kearah kanan. Dengan segera aku memposisikan diri diatasnya.

    Reversal.

    Terengah-engah, aku memandang wajah tua itu dari atas. Ekspresinya tampak sangat terkejut, tentu saja. Dia sendiri yang mengajarkan tehnik ini padaku, dan baru kali ini kugunakan dalam pertarungan sungguhan.

    “Aku tidak pernah bermaksud membuang mereka semua,” kataku pelan.

    Bruno terdiam. Sekarang, ia yang menatapku dari bawah.

    “Aku juga sadar kalau apa yang kulakukan saat ini sangat membahayakan bagi diriku dan juga orang-orang terdekatku, tapi..”

    Aku membiarkan kalimatku menggantung, karena..

    Kau harusnya mengerti kan.

    Bruno sesaat memejamkan matanya, ia tampak menimbang sesuatu dalam pikirannya sampai akhirnya memutuskan untuk angkat bicara.

    “Empat hari yang lalu, aku dan beberapa pemburu lain ditugaskan pada sebuah misi kelas S.”

    Mataku terbelalak mendengarnya.

    “Misi kelas S? Hei.. hei, apa kau mau bilang kalau..”

    Bruno menjawab sisa ketidakpastiankan pada kalimatku dengan menoleh kearah Scarlet.

    “Kenapa dia..”

    Dibutakan emosi, aku menjambak kerah leher Bruno. Bagaimanapun, misi kelas S hanya untuk seorang gadis? Apa yang sebenarnya ada di pikiran orang-orang CG?

    “Aku tanya sekali lagi,” Bruno berkata sambil menatap mataku yang sedang memandang kosong entah kemana. “Apa kau mengerti, apa yang sedang kau lakukan saat ini, bocah?”

    Bola mata merah yang menyala dalam kegelapan hutan itu kembali merasuk kedalam otakku. Beberapa detik kemudian, segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi kedepannya mulai membantai kesadaranku tanpa ampun. Apa aku bisa, Seorang diri..

    Scarlet, itu namaku.

    Ah..

    Apa yang baru saja kupikirkan? Meski hanya sesaat, bisa-bisanya aku dibuat bimbang semudah ini. Padahal aku sendiri yang bilang kalau akulah yang memilih jalanku sendiri.

    Aku menundukkan kepalaku, merasa seperti orang bodoh cengkramanku pada kerah baju Bruno semakin menguat.

    “Mungkin, sebenarnya aku memang tidak terlalu mengerti. Tapi..”

    Bruno tampak tertarik pada responku.

    “Tidak ada gunanya terlalu memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Berpikir dan menduga-duga tidak akan membawaku kemana-mana. Aku juga tidak peduli seberapa besar bahaya yang menantiku didepan sana,” Aku mengambil nafas sejenak. “Jika ada yang menghalangi, aku hanya perlu mengatasinya.. sesederhana itu.”

    “Kau cukup percaya diri heh?”

    “Aku tidak mau menyesali jalan yang kupilih.”

    Ini bahkan belum setengah jalan.

    “Nyawamu mungkin saja terengut, bocah.”

    “Tidak akan kubiarkan itu terjadi.”

    Bruno terkekeh senang.

    “Dasar gila..”

    “Katakan sesukamu orang tua.”

    “Setelah ini, apapun yang kukatakan tidak akan mempengaruhi keputusanmu, benar?”

    “Apa itu bahkan pertanyaan?”

    “Keh.. keh.. dan sekarang kau pikir kau sudah menang?”

    “Kenapa tidak? Anggap saja kau mengajarkanku terlalu baik.”

    Sedetik kemudian salah satu pergelangan kakiku seperti terkait oleh cambuk raksasa dan tubuhku tiba-tiba saja ditarik kebawah. Dalam sekejap saja, posisi kami lagi-lagi tertukar.

    “Tidak juga,” Bruno tersenyum mengejek.

    Ia menangkap tangan kananku dan mengajakku berdiri.

    “Pergi, temui gadis itu.”

    “Kau.. melepasku?”

    “Memang kapan aku pernah menangkapmu, *****.”

    Aku tertawa pelan mendengar bentakannya. Agak canggung, aku berbalik perlahan untuk mulai berjalan.

    “Uhh..” Gerakanku agak terhenti pada langkah pertama. Seluruh tubuhku rasanya seperti terbakar, terutama paha kiriku. Ah, aku lupa LHR Bruno masih tertancap disana. Perlahan aku mencabutnya, prosesnya lumayan membuatku menderita, namun begitu berhasil terlepas sepenuhnya aku langsung membuang benda itu ke tanah.

    Belum sempat aku mengadah kembali, Scarlet sudah menerjang kearahku. Rasanya sakit juga diterjang tiba-tiba seperti ini, tapi entah kenapa, kehangatan tubuhnya justru memberi sensasi menyejukkan yang aneh.

    “Maaf..” Wajahnya memerah, antara malu atau ingin menangis.

    Aku hanya menghela nafas, kemudian menepuk kepalanya sambil tersenyum.

    “Aku belum kalah kan.”

    “Dasar bodoh..”

    Perhatian kami teralih oleh suara berderak dari hancur tertembusnya segaris kecil tanah keras. Sebuah pisau tempur bergagang coklat kayu yang familiar tertancap tidak jauh dari kakiku.

    “Maaf jika aku mengganggu, tapi bukankah jadwal kalian agak padat malam ini?” gurau Bruno.

    Aku menoleh kearah Kereta yang sedang berhenti itu. Beberapa orang mulai berjalan masuk, sepertinya urusan mereka sudah hampir selesai. Seharusnya begitu juga dengan kami.

    Aku memaksakan diri berjalan kearah Bruno, dengan Scarlet disebelahku menawarkan bahunya untuk membantuku.

    “Apa benar tidak apa-apa..”

    Bruno mendengus. “Hei, aku bukan ayahmu. Kau mau pergi keujung dunia untuk bunuh diri juga, itu bukan urusanku sama sekali.”

    “Begitu ya,” aku merespon dengan senyum masam.

    Saat kami betiga akhirnya berpapasan, Bruno kembali bicara.

    “Hati-hati.. Gray.”

    ...

    “... me.. menjijikkan. Jangan pernah panggil namaku lagi, rasanya aneh itu keluar dari mulutmu.”

    “A.. apa-apaan wajahmu.. kau, berandalan tidak tahu diri!”

    Kami berdua tertawa.

    Sudah lama sekali aku tidak tertawa lepas seperti ini. Dulu kami biasa tertawa bersama saat sedang makan di rumah kakakku. Kadang-kadang Coda juga ada.

    Sambil berjalan, aku memejamkan mataku untuk beberapa saat. Bayangan kami berempat duduk di meja makan yang kecil sambil tertawa, tergambar jelas di benakku.


    Aku dan Scarlet berlari kearah kereta yang mulai bergerak perlahan. Kami naik ke sela-sela gerbong yang bentuknya seperti jembatan kecil dan berfungsi menghubungkan satu gerbong dengan yang satu lainnya.

    Aku berbalik kearah Bruno, ia memungut LHR hitamnya, penuh perhatian membersihkan noda darah dan tanah yang menempel, kemudian balik melihat kearah kami. Aku yakin betul dia sedang tersenyum saat itu.


    Spoiler untuk 3.3 :
    Ketika Kereta mulai bergerak perlahan, kami berdua masuk ke salah satu gerbong yang untungnya tidak dikunci. Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di gerbong ini. Hanya ada tumpukan kontainer raksasa yang akhirnya kami jadikan sandaran untuk duduk. Sesaat setelah itu, Scarlet mulai merawat luka-lukaku. Meski dibilang merawat, karena kami pergi dari rumah tanpa ada persiapan satupun, ia terpaksa menggunakan sweater yang melekat ditubuhnya untuk membalut luka di bahu dan kakiku.

    Aku menawarkan bajuku untuk peran tersebut, tapi ditolak mentah-mentah karena kondisinya yang kotor dan tidak steril sangat tidak layak digunakan untuk membalut luka. Yang membuatku agak terkejut adalah, ia ternyata sangat cekatan dalam hal seperti ini. Masih tidak bisa dibandingkan dengan kakak, tapi jelas ini bukan kali pertamanya.


    Kecepatan Kereta api ini membuatku agak tercengang. Aku hanya pernah dua kali naik kereta sebelumnya, wajar saja kalau aku belum terbiasa. Mengingat tugasnya yang hanya sebagai pengantar barang dan modelnya yang sudah kuno, kereta ini cepat juga. Atau mungkin kereta pengangkut barang memang lebih cepat dari kereta penumpang?

    Pikiranku mulai melayang entah kemana, kebiasaan ini muncul ketika aku sedang bosan. Meski saat ini aku duduk berdampingan dengan seorang gadis, tidak ada sepatah katapun yang muncul dari kedua mulut kami. Aku tahu Scarlet masih belum pulih, jadi tugas untuk memulai obrolan sepenuhnya ada padaku. Tapi dalam kondisiku yang sekarang ini, hal itu sudah tidak memungkinkan lagi. Kalau situasi ini terus berlanjut selama 10 menit kedepan, aku pasti langsung tertidur.

    “Umm..”

    “Kenapa?” tanyaku.

    “Lukamu.. masih terasa sakit?” Suaranya terdengar agak bergetar. Mungkin lebih tepatnya menggigil.

    “Tidak apa-apa, Bruno juga tidak serius menendangku waktu itu.”

    Tidak, orang tua ******* itu benar-benar serius menghajarku.

    Scarlet tertawa kecil, jelas saja. Siapapun yang melihat, tidak akan percaya kalau pelaku yang mebuatku berakhir dalam kondisi seperti ini ternyata belum mengeluarkan seluruh kemampuannya.

    “Kamu benar-benar dikelilingi orang baik ya.”

    “Nah, Bruno sama sekali tidak baik. Kalau kau mau tahu, saat masih kecil beberapa kali aku ditinggalkan dalam hutan sendirian olehnya.” Meski berkat hal itulah, kini aku jadi benar-benar terbiasa dengan hutan.

    Scarlet memandang kearahku sambil tersenyum, sesaat kemudian matanya kembali mengarah pada kontainer hijau dihadapan kami.

    “Bukan hanya Bruno. Kakakmu, orang-orang didesa, temanmu Ron, dan juga gadis itu.. semuanya melihatmu dengan mata yang jujur. Kamu benar-benar beruntung.”

    Mata yang jujur? Aku penasaran apa artinya itu. Meski aku bisa membayangkan sedikit dari maksudnya.

    “Aku merasa bersalah, membuatmu meninggalkan mereka semua. Di lain pihak, aku juga senang kamu mau pergi bersamaku.. ah, mungkin lebih tepatnya membawaku pergi..”

    “Pikiranmu terlalu positif. Jumlah orang baik dan jahat didunia ini perbedannya seperti luas daratan dan lautan.”

    Aku melepas Rompi pemburuku dan memakaikannya pada Scarlet.

    “Tidurlah, seharusnya kau sudah tidur dari tadi kan.”

    Kepalanya mengadah, dan kedua matanya menatapku karena perlakuanku barusan. Ia kemudian menunduk, sambil menyentuh lembut rompi pemberianku dengan sebelah tangannya.

    “Terimakasih.”

    Aku mengintip sebuah senyum bersamaan dengan perkataannya yang terdengar begitu dalam bagiku. Sesaat kemudian aku bisa merasakan berat tubuhnya pada tangan kananku.


    Sebenarnya ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan pada gadis ini. Pertanyaan yang juga muncul ketika mata merahnya menatapku untuk pertama kalinya, tiga hari yang lalu.

    Siapa gadis ini?

    Dari mana gadis ini berasal?

    Kenapa dia bisa ada di tempat seperti ini?


    Tidak banyak yang kuketahui dari gadis ini selain namanya. Namun rasanya tidak mungkin menanyakan semua itu dalam situasi seperti ini. Lagi pula, aku akan lebih senang kalau dia sendiri yang menceritakannya padaku.

    Yah, mungkin suatu saat nanti.


    Dadaku mulai berdegup kencang, bukan hanya karena ia sedang tertidur sambil bersandar padaku. Ada sesuatu yang lain..

    Aku dikelilingi orang-orang baik seperti teman-teman dan kakakku, Bruno dan juga Coda. Ya, aku memang beruntung, tidak diragukan lagi. Tapi, apa aku sudah berlaku cukup baik pada mereka? Seenaknya membuat masalah dan pergi begitu saja. Dan lagi, perasaan yang kini meluap dalam dadaku. Kegembiran, rasa penasaran, semangat, entah apa lagi, mebuat darahku serasa bergejolak.

    Jauh didalam lubuk hatiku, aku menantikan saat seperti ini. Melangkahkan kaki pada awal sebuah petualangan panjang tanpa tahu apa saja yang akan terjadi, dan tidak diizinkan untuk kembali lagi. Mungkin hal itulah yang membuatku rela meninggalkan semuanya dan memilih untuk pergi bersama gadis ini.

    Aku memandang langit-langit gerbong yang gelap dengan mata setengah tertutup.

    Aku memang egois.

    Berulang-ulang pernyataan ini menggema dalam diriku.


    Aku menggoyangkan pundak Scarlet dengan lembut ketika laju kereta mulai melambat. Perlahan matanya terbuka, tampak letih ia menoleh kearahku.

    “Aku.. masih ngantuk..” katanya.

    Geezz.. kesadarannya belum pulih sepenuhnya.

    “Bangun Scarlet, kita sudah sampai.” Aku menggoyangkan kedua pundaknya sedikit lebih keras sampai kedua matannya mulai terbuka sepenuhnya.

    “Sudah sampai? Dimana?”

    Ah, aku lupa memberitahukannya kemana arah tujuan kereta ini.

    “Kau akan tahu kalau sudah keluar dari sini, ayo cepat sebelum ada yang menyadari keberadaan kita.”

    Aku menarik tangan Scarlet dan menuntunnya berdiri. Terimakasih padanya, dan berkat isitirahat penuh selama beberapa jam, luka di bahu dan pahaku tidak mampu lagi menahanku sekarang.

    Kami berjalan ditengah stasiun yang sepi namun sangat luas itu. Ini ketiga kalinya kakiku menginjak lantai marmer stasiun ini, tidak ada yang berubah. Pilar-pilar perak raksasa menopang langit-langit stasiun, deretan kursi panjang yang menghadap kearah rel. Merasa tidak ada gunanya berlama-lama disini, aku bergegas menuju pintu keluar stasiun. Meski ini tempat umum, waktunya tidak lazim dan seharusnya tidak ada orang selain yang berkepentingan berkeliaran dalam stasiun ini.

    Dan pemandangan yang menunggu kami didepan adalah, kota dengan kemegahan luar biasa. Deretan gedung-gedung besar setinggi tiga sampai empat lantai, dan lampu-lampu jalan yang masih menyala menjulang disepanjang baris jalan yang bersih. Di beberapa bagian jalan aku bisa melihat orang-orang berseragam oranye sedang membersihkan jalan dengan peralatan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

    “Selamat datang di Plata. Ibu kota Area 4,” kataku pada Scarlet yang sedang tercengang melihat pemandangan didepannya.

    Plata adalah kota termegah dan terbesar diseantero Area 4. Berbagai macam pekerjaan, dari tukang bersih-bersih jalan sampai pembunuh bayaran, semuannya tersedia disini. Perlu diingat, yang kedua itu ilegal, namun sudah menjadi rahasia umum kalau di dalam kota ini bertebaran jasa-jasa seperti itu juga. Tidak seperti desa tak bernama yang terletak dipinggiran Area 5. Yep, desaku. Mungkin karena di bagian itu hanya ada satu desa, dan lagi, desa kami tidak terlalu banyak memberikan kontribusi berarti bagi pemerintah Area, mereka tidak ingin repot-repot memberinya nama. Anehnya, kami semua merasa tidak keberatan akan hal itu.

    “Apa tidak apa-apa, berkeliaran di kota besar seperti ini?”

    “Tenang saja, menjadi target misi kelas S tidak secara langsung membuatmu jadi Buronan.”

    “Maksudmu?” Scarlet memandangku bingung.

    “Pokoknya, untuk saat ini tidak akan terjadi apa-apa.”

    Misi yang diberikan untuk beberapa pekerja tertentu seperti Pemburu dan Guardian, dibagi dalam empat kelas. C, B, A dan S. Kelas C, B, dan A dibedakan berdasarkan tingkat kesulitannya, namun kelas S berbeda. ‘S’ untuk ‘Secret’ itu berarti misi ini sangat sangat dijaga kerahasiaannya, bukan karena lebih sulit dari tingkatan yang lain. Biasanya misi ini menyangkut masalah keamanan negara, dan hal-hal lain yang tidak boleh sampai tersebar di masyarakat luas, bahkan diantara para petinggi negara, hanya sedikit yang mengetahui eksistensi dari misi kelas S yang sedang dijalankan. Oleh karena tata cara yang tidak biasa demi menjaga kerahasiaan, hanya sedikit orang yang disewa untuk menyelesaikan misi ini. Bruno dan yang lain dipilih karena tidak ada gunannya menyewa orang luar.

    Namun bukannya tidak mungkin hal ini akan berkembang jauh lebih berbahaya nantinya.


    Scarlet menggenggam tanganku seperti biasanya, dan aku menuntunnya berjalan melewati lorong-lorong sempit di sela-sela gedung.

    “Hei, Gray. Kamu pernah ke tempat ini sebelumnya?” tanya Scarlet yang sejak tadi patuh mengikuti arah jalanku.

    Berbeda dengannya yang langsung terkesima oleh kemegahan kota ini, raut wajahku sama sekali tidak menunjukkan hal serupa. Ditambah lagi, rute yang kami lewati saat ini hampir menyerupai labirin, namun aku terus berjalan tanpa keraguan.

    “Dua tahun yang lalu, aku sempat tinggal di kota ini.”

    “Benarkah? Berapa lama?” ia tampak tertarik.

    “Umm.. sekitar lima bulan mungkin.”

    “Selama itu? Apa yang kamu lakukan dikota ini?”

    “Salah satu program pelatihan calon pemburu,” Aku menghentikan langkahku seketika. “Nanti akan kujelaskan lagi.”

    Didepanku berdiri seorang pria, Tingginya tidak lebih dariku, umurnya mungkin awal 20-an. Rambut pirangnya yang panjang dan diikat kebelakang, kelihatan jelas tidak alami. Mungkin dia mengecatnya dengan semacam pewarna rambut. Hal seperti itu memang menjadi trend di kota ini. Di belakangnya, ada dua orang pria lagi. Yang satu berambut hitam panjang, dan yang satu botak, keduanya sedang duduk bersandar pada dinding gedung sambil merokok.

    Rokok.. Kakak melarangku merokok karena dapat menghancurkan paru-paruku dan membuat nafasku lemah. Lagi pula barang seperti itu tidak banyak dijual di desa kami.

    Mereka bertiga melihat kami seperti sedang melihat santapan lezat. Ralat, yang mereka lihat sebenarnya adalah gadis yang sedang berdiri disampingku.

    Preman jalanan rupanya.


    Spoiler untuk 3.4 :
    “Oi.. aku tidak tertarik sama anak dibawah umur,” Si rambut hitam bicara. Ia berjalan kearah kami dengan malas.

    “Kalau begitu buatku saja,” Kata si botak yang melangkah mendahului si rambut hitam.

    “Enak saja, aku yang pertama kali melihatnya!” Seru si pirang sambil menoleh kearah mereka berdua.

    Aku menyuruh Scarlet bersembunyi dibalik punggungku. Seketika itu pandangan mata mereka semua, beralih padaku.

    “Minggir bocah kampung, kami tidak ada urusan denganmu,” ejek si pirang.

    ... Bocah.. kampung.. ?

    Aku maju perlahan tanpa bersuara, dan Scarlet langsung menarik lengan bajuku.

    “Gray, lukamu,” bisiknya.

    “Tidak apa-apa.. Kalau cuma setingkat mereka, tidak masalah,” balasku sambil menghalau genggamannya.

    Tidak.. ini jelas masalah. Tubuhku masih tidak layak pakai akibat pertarungan semalam. Meski mereka bertiga tidak bisa kusebut sebagai ‘lawan yang pantas’, namun dalam kondisi seperti ini, balik melawan bukanlah keputusan cerdas.

    Tapi sayangnya, moodku lagi buruk.

    “Hey lihat matanya, seram sekali. Aku jadi takuuut.. Hahahah...”

    BUAGHHH!!

    Tinju kananku mencium rahang si pirang hingga ia terpental sejauh dua meter kebelakang.

    Ia tidak berdiri lagi.


    Satu hal penting yang harus selalu diingat ketika berkelahi dengan musuh dalam jumlah yang jauh lebih banyak, The weakest one goes first.


    Tanpa buang waktu aku melesat menuju si botak yang masih terkejut oleh peristiwa barusan.


    Mental Diversion. Efek dari eksekusi barusan menegaskan bahwa aku, kini adalah keberadaan yang sangat berbahaya. Untuk beberapa orang yang bermental lemah, hal ini akan dipandangnya sebagai intimidasi.

    Hasilnya, ketika aku mendekati si Botak, ia sontak panik tanpa yakin harus berbuat apa. Dalam kondisi seperti ini, ia akan ragu menyerang dan pertahannya juga ikut melemah.

    DUAGHH!!

    Dari postur tubuhnya, orang ini tampak lebih tangguh dari pada si pirang kurus barusan. Aku terpaksa menghajar rahang kirinya dengan bagian bawah telapak tanganku. Aku sudah diberi tahu Bruno kalau tehnik ini tidak boleh terlalu sering digunakan karena sangat beresiko merusak pergelangan tangan, namun dalam kondisiku sekarang aku tidak boleh berlama-lama pada satu lawan dan wajib menghabisi mereka semua dengan sekali serang.

    Satu lagi.

    Aku menoleh pada si rambut hitam yang terpaksa melihat kedua temannya dihabisi tanpa mampu berbuat apa-apa. Ia melotot kejam kerahku, tangannya yang gemetaran masuk kedalam kantung jaketnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna perak mengkilat yang tak asing.

    Pisau lipat.

    “Kalau kau mau bersujud minta maaf sekarang, akan kubiarkan kau pergi hanya dengan bayaran sebelah telingamu, bocah.”

    Amatir.


    Ada dua kelemahan besar dalam menggunakan senjata tajam, yang berlaku untuk para amatir. Yang pertama, jarang ada orang yang mampu menusuk tubuh manusia tanpa keraguan sedikitpun. Mengeluarkan senjata yang seharusnya keberadaannya belum diketahui lawan, hanya amatir yang bermaksud mengintimidasi lawan lah yang akan berbuat seperti itu.


    Aku berjalan lurus menatapnya tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. Hal ini tentu menambah stress pada mentalnya.

    “AAAAHHHHH!!!!” Si rambut hitam berteriak sekeras mungkin, sambil berlari menerjang dengan pisau ditangan kanannya, siap ditusukkan begitu masuk pada jarak serangnya.


    Yang kedua, benda itu secara tidak sadar membatasi pola serangan. Dengan kata lain, ia hanya akan menggunakan pisau ditangan kananya untuk menusuk atau menebasku. Paling tidak untuk serangan pertama.


    Tangan kanan si rambut hitam menusuk lurus kearah dadaku. Namun hal ini sudah kuperkirakan. Aku melangkah ke kiri dan menangkap bagian luar dari lengan baju kanannya dengan tangan kananku. Menjadikannya tumpuan, aku melangkah maju ke sisi belakang tubuhnya. Dalam posisi ini, gerakannya berada pada kontrol tangan kananku, dan kini aku berada hanya satu putaran pinggul sebelum benar-benar meninju kepalanya.

    Ughh..

    Tinju kiriku hanya berhasil menggores rambutnya.

    Seketika, aku terduduk sambil menahan rusuk kiriku yang berdenyut kencang. Benar juga, bagian ini semalam hancur karena tendangan menyamping Bruno, dan terlewatkan oleh Scarlet karena ia terlalu fokus membalut luka bekas tusukan pisau.

    Aku mendongak keatas dan mendapati sesosok wajah dipenuhi amarah.

    “Kau..Bocah tengik sialan..” suaranya terdengar bergetar.

    Kedua kakiku kini bergetar memprotes perintah otakku untuk berdiri dan kembali bergerak, namun sia-sia saja.

    Habis sudah.. tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

    DUGHHH!!!

    Si rambut hitam tumbang. Dan yang mebuatnya tumbang.. Scarlet?

    Ia berdiri didepanku, kedua tangannya menggenggam sebongkah batu seukuran tubuh tupai dewasa. Kuda-kudanya lemah, kakinya menyilang dan gemetaran. Nafasnya berat seperti baru berlari satu mil. Ia memandang korban yang baru saja jatuh akibat tindakannya, dan sedetik kemudian jatuh terduduk dengan wajah menunduk kebawah.

    “Kau.. tidak apa-apa?” tanyaku.

    “... Itu kalimatku, bodoh.”


    “Disini saja,” kataku pelan pada gadis yang sedang memapahku.

    Aku menjatuhkan diriku dan bersandar pada dinding gedung yang dingin. Scarlet mengambil posisi disebelah kananku. Matahari sudah hampir terbit, kurasa kami sudah berjalan cukup jauh, dari tempat perkelahian dengan tiga preman jalanan tadi. Aku tidak bisa terus-terusan berjalan sambil dipapah seorang gadis, jadi kuputuskan untuk istirahat sejenak di lorong yang sepi ini.

    Dan kali ini, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mulai bicara satu sama lain.

    “Aku diberikan hak khusus untuk berlatih di Kota ini, dua tahun yang lalu.”

    “Latihan berburu? Memangnya apa yang bisa kamu buru di tempat seperti ini?”

    “Bukan latihan berburu, lebih tepatnya latihan bertempur.”

    “Bertempur.. berkelahi dengan manusia, begitu?”

    “Ya. Tidak seperti desaku, warga kota ini tidak memerlukan pemburu untuk mengisi perut mereka. Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk pekerjaan seperti Bodyguard, Guardian atau semacamnya.”

    “Ah.. tidak heran kamu sangat kuat. Ternyata kamu mendapat pelatihan seperti itu.”

    “Sebenarnya, pelatihan mereka tidak begitu berpengaruh untukku.”

    “Kenapa?”

    “Meski perlengkapan latihan disana teramat lengkap, sejujurnya aku tidak kuat mengikuti disiplin mereka. Di tambah lagi, aku tidak tahan dikurung dalam ruangan tertutup selama dua belas jam sehari. Aku malah lebih memilih menginap dihutan selama seminggu. Pada akhirnya, aku hampir tidak pernah hadir dalam pelatihan itu.”

    “Eeeh? Apa itu boleh?”

    “Tentu saja tidak. Baru 5 bulan, aku sudah dikeluarkan dari sana. Padahal, program itu seharusnya berlanjut selama setahun penuh.”

    “Jadi selama lima bulan itu, apa saja yang kamu kerjakan?”

    Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.

    “Berpetualang, di jalanan pada malam hari.. bersama seorang sahabat.”

    “Kamu punya kenalan di kota ini?”

    “Sedikit.. namun, aku benar-benar gembira telah datang ke kota ini.”

    Scarlet memandang wajahku yang tengah tersenyum. Ia tampak tertarik.

    “Ceritakan,” pintanya. “Ah.. tapi sebelum itu..”

    “Ada yang salah?”

    “Err.. Preman yang tadi.. apa dia tidak apa-apa?”

    “Hah?”

    “Ma.. maksudku, aku sudah memukul kepalanya dengan batu.. memang tidak sampai berdarah, tapi batunya berat sekali.. dan, di.. dia tidak bangun lagi.. jadi, apa dia... mati?

    ...

    Pagi itu, aku hampir tidak bisa menghentikan tawaku.


    maintenance part II - Status : Complete

    Overall maintenance - Status : Complete [100%]
    Last edited by -Pierrot-; 11-11-12 at 20:52.

+ Reply to Thread

Posting Permissions

  • You may post new threads
  • You may post replies
  • You may post attachments
  • You may edit your posts
  •