Author :
Kyuu1704 / Zulham, 19.25 : 20-09-2010
Tagline :
“This world is rotten, rotten people should be killed off to cleanse this world”
[Light Yagami]
Soundtrack :
DELUHI - Freedom
the GazettE - Worthless War
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
!Start force
Entahlah...
Aku tidak mengetahui asal usul diriku, menatap wajah asli kedua orang tuaku pun tidak pernah. Hanya satu yang aku tahu, sejak kecil sampai 6 tahun ini mereka selalu mengajariku tersenyum, disini, di tempat yang mereka sebut rumah. Ya rumah yang mempunyai tulisan panti asuhan di tengah dinding yang warnanya mulai memudar.
Mereka...
Memanggilku Kyuu, Kyuunai Amakusa. Seorang anak lelaki yang katanya terbuang dan ditampung dirumah sempit ini. Meski tinggal dilingkungan yang terlantar dan kecil, tapi aku cukup merasakan banyak kebahagiaan, ditengah hangatnya kebersamaan, bersama mereka, tujuh orang yang kuanggap sebagai saudara atau keluarga bagiku. Aku sendiri adalah orang termuda di rumah ini, makannya aku banyak memanggil kakak kepada mereka yang sudah berumur belasan dan puluhan tahun. Dan mereka selalu menyanyangiku, belum pernah aku menangis di rumah ini. Setiap hari kehidupanku disini tidak pernah lepas dari kata senyuman.
Kita...
Hanya sekelompok orang pinggiran yang mencoba bertahan hidup. Kata kakak “dunia diluar tak ubahnya dengan rimba belantara”, tidak mudah bertahan hidup diluar sana, banyak kejahatan dan orang-orang berpikiran busuk yang setiap hari selalu bergelut dengan dunia. Menjadi orang baik belum tentu selamat dalam dunia yang sebagian besar telah berbaur dalam kenistaan. Ya inilah kita, orang yang terasing di pinggiran desa, bertahan hidup dari alam, dengan berkebun, ternak, atau sekedar memancing ikan untuk menyambung nyawa. Kakak juga mengajarkan padaku, sedikit pendidikan yang cukup untuk memahami tulisan dan angka.
Hingga pada suatu saat...
Ketika pulang dari kebun, untuk pertama kalinya kulihat bangunan tempatku berteduh sehari-hari telah berubah menjadi puing-puing kecil, hancur, dan berantakan. Dibawah hamparan langit yang mulai mendung ini aku masih terdiam, hanya berani menatap dari kejauhan rongsokan pondasi bangunan tersebut. “Apakah aku salah mengambil jalan pulang?”, batinku dalam hati. Hingga rintik gerimis menyadarkanku, kuberanikan diri melangkah menuju ketakutanku tersebut. Perlahan, selangkah demi selangkah.
Rintik hujan kali ini terasa perih...
Terdiam, langkahku berhenti. Rasanya aku ingin berlari, tapi entah mengapa tubuh ini menjadi kaku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan diantara puing ini, yang ironis akhirnya kuketahui adalah rumahku sendiri. “Ya, tidak mengapa aku masih bisa membangunnya kembali, meski saat ini umurku baru 9 tahun, aku akan berusaha” hiburku dalam hati. Tapi percuma, bukan masalah itu sebenarnya. Sekiranya aku dapat membangun kembali rumah ini, tapi bagaimana mayat kakak dan saudara-saudaraku? aku masih sadar akan batasku, aku hanya seorang bocah, bukan Tuhan.
Derasnya hujan, tak akan mempu menghapus tetesan air mataku...
Untuk pertama kalinya aku tahu rasanya menangis. Setiap hari aku diajari riangnya tertawa dan manisnya tersenyum oleh mereka. Sungguh bodoh, kali ini saat menguburkannya, aku tak bisa menunjukkan raut wajah seperti hari-hari sebelumnya. Teringat perkataan kakak, “Jangan menangis ya, berusahalah menutup kesedihanmu dengan senyuman”, ah kumohon maafkan aku, kali ini aku gagal melakukannya. batinku sambil menatap mata mayat mereka terakhir kalinya, ya, mata yang sudah terpejam. Akhirnya, kututup lubang kubur mereka dengan timbunan tanah. Apakah ini yang disebut akhir?
Semuanya kembali pada titik kosong...
Tanpa terasa kegelapan mulai merayap. Aku masih terjaga dipekatnya tengah malam ini, ditemani nyanyian hewan-hewan malam yang tetap saja terasa hampa bagiku. Selanjutnya, apa yang akan kulakukan? Saat ini aku tidak mampu untuk mengerti lagi, biasanya dari pagi sudah diisi dengan kegembiraan mereka dan malamnya ditutup dengan canda mereka, tapi sekarang? Aku hanya sendiri, apakah aku harus tertawa dalam kesendirianku? menertawakan hidup yang tidak lucu ini? Ah, seperti orang kurang waras saja. Sejujurnya, aku hanyalah seorang anak yang takut menghadapi hari esok seorang diri.
“Aku ingin menjadi Dewa”
Teriakku dalam hati, imajinasi seorang bocah yang merasa kehilangan arti hidup sebagai manusia. Menjadi dewa yang menghapuskan semua kejahatan di dunia, sepertinya akan meyenangkan. Hanya ada kedamaian, seperti kehidupan para malaikat. Tidak ada lagi kejahatan, tidak ada lagi kehancuran yang menyebabkan kematian. Setidaknya, tidak akan ada hal yang menyebabkanku menangis lagi. “Haha semoga saja”, aku mencoba menghibur diri sendiri, meskipun saat itu aku masih menitikkan air mata.
Tiada lagi suara, semuanya membisu...
Masih dimalam itu, tiba-tiba dari kegelapan disampingku muncul suatu bentuk yang tidak kukenal (baca : Shinigami), dia menatapku lekat-lekat. Ukuran tubuhnya mungil hampir sepertiku yang masih bocah ini, bedanya dia melayang dengan empat sayap di punggungnya, ya sayap-sayap hitam yang terlihat rapuh seakan gugur diterpa angin. Rambutnya yang acak bagai belukar menutupi sebagian wajah atasnya. Kontras dengan badannya yang kelabu, sinar matanya juga berbeda dengan manusia, bola mata sewarna darah itu terus saja beradu dengan mataku. Dan dia masih terdiam. Tanpa seyuman.
Dia tetap saja, membisu...
Aku yang masih trauma sewaktu melihat rumahku hancur sore tadi, tidak tahu harus berbuat apa sewaktu pertama kali melihatnya. Percuma jika harus lari, meskipun lari toh aku tetap tidak memiliki kehidupan lagi. Jadi aku hanya duduk disini, pasrah menunggu apa yang terjadi. “Siapa kau?” tanyaku dengan terbata. “Hei, siapa kau?” tanyaku lagi. Tapi dia masih saja diam dengan arah mata tertuju padaku. “Sial, Kutanya siapa kau! Apakah kau yang menyebabkan rumah ini hancur?” tanyaku dengan nada meninggi. Dia tidak menjawab, hanya menggeleng, dan kembali menatapku. “Arrgghhh!!” kucoba melampiaskan kekesalanku, kulemparkan tinju mentahku pada mukanya berkali-kali. Aneh, dia tidak mengelak, tapi tetap saja aku tidak mampu menyentuhnya, barang sehelai rambut pun tidak. “Percuma”, batinku. Sudah satu jam lebih tidak ada hasil yang kudapatkan, Dan dia masih terdiam.
Sayap-sayapnya mencoba memelukku...
Bagai memecahkan batu karang dengan kepalan tangan, hal yang sia-sia bagi bocah sepertiku. “Ah, sudahlah, sana pergi”, usirku dengan perasaan kesal yang masih berselimut. Tapi tetap aja, dia masih mengikuti langkahku, lagi dan lagi, ketika aku berlari menjauh, dia membuntutiku, ketika aku berhenti, dia masih disampingku. “Aneh”, pikirku dalam hati. “Hai, kau ingin bersamaku?” kucoba bertanya padanya lagi. Tapi seperti biasa, dia hanya diam. Sepertinya dia menjawab melalui sifatnya tadi yang selalu mengikutiku, bukan melalui kata-kata. “Ah baiklah, namaku Kyuu, aku tidak memintamu menjawab, silahkan kalau kau ingin bersamaku, tapi aku tidak lagi mempunyai kehidupan, semuanya sudah terenggut tadi sore, aku juga tidak yakin apakah aku ingin tetap bernafas esok pagi”, kataku sambil menatap matanya yang merah. “Cray, Shinigami”, ujarnya. Itulah pertamakalinya aku mendengar dia berbicara.
Catatan Kematian...
“Baiklah, aku sedikit memahaminya, kuanggap namamu Cray, dan Shinigami adalah sebutan bagi makhluk sepertimu. Haha sungguh lucu, Shinigami? Dewa Kematian ya? Apakah ada hal semacam itu?” tanyaku pada sosok yang baru kukenal itu. Namun dia hanya diam, tanpa berbicara dia memberiku sebuah buku, itulah pertama kalinya aku dapat menyentuh tangannya yang kaku. Buku itu bewarna hitam dengan tulisan “Death Note” disampulnya. “Hei? Apa ini?” tanyaku pada Cray. Tak menjawab dia hanya diam. “Ah, kamu makhluk pendiam ya Cray”, batinku dalam hati.
Hujan yang reda telah menyingkirkan awan mendung, di bawah terangnya cahaya bulan aku mencoba memahami buku yang kupegang ini secara otodidak. Halaman depan berisi peraturan penggunaan buku ini, semuanya kucermati satu persatu. “Karangan yang mustahil, mana ada yang seperti ini? Seperti dongeng saja, bisa mencabut nyawa orang melalui buku ini? Jangan bercanda.” tanyaku pada Cray. Tapi seperti biasa, mudah ditebak dia hanya diam sambil mempehatikanku. “Ah, menyebalkan”, gerutuku seraya menutup halaman buku.
Tiga tahun berlalu...
Sekarang usiaku 12 tahun. sekalipun aku belum pernah menggunakannya, buku itu hanya kusimpan dibalik pinggangku yang ditutupi baju usang. Dengan adanya buku ini aku mencoba menjalani kehidupan, siapa tahu suatu saat aku akan menggunakannya, entahlah. Yang pasti kehidupanku kini sudah berubah, tapi dalam artian yang semu. Aku masih merasa tidak menemukan tujuan untuk apa aku hidup. Dan dia masih setia mengikutiku, Cray.
Bertahan di tengah kehidupan yang menyebalkan...
Pagi setelah kejadian malam itu, aku beranjak meninggalkan puing bekas rumahku, kuputuskan untuk pergi ke kota seberang, dengan alasan ingin melihat dunia luar. Disana aku bertahan hidup dengan menggelandang dari satu tong sampah ke tong sampah lainnya, sejak umur 9 - 10 tahun. Dan ketika beranjak 11 tahun, aku bertemu dengan seorang yang kusebut paman.
“Hai, kau tidak bosan menggelandang terus?” tanya lelaki bertubuh gempal itu padaku saat mengais sampah didepan tokonya. “Tidak, beginilah caraku bertahan hidup, hanya ini yang bisa kulakukan” jawabku sambil menggenggam sisa roti hasil mengais sampah. “Oh, begitu ya, bagaimana jika kau membantuku? aku sedang membutuhkan karyawan untuk membersihkan toko ini, kalau sekedar makan sehari-hari dan uang jajan aku bisa memberimu”, ajaknya sambil tersenyum padaku. “Benarkah? baiklah,terima kasih, nama saya Kyuu, sekali lagi terima kasih atas bantuannya” jawabku sambil membalas senyumannya. “Hm, tidak masalah, lagipula aku kesepian disini, hahaha, panggil saja aku paman Roove”, ucapnya sambil menatapku. Ya, meski dia orang baik dia tetap seperti manusia lainnya, hanya aku yang sampai saat ini bisa melihat Shinigami ku, Cray. Esok selanjutnya, aku tinggal di toko dan bekerja disini, tepatnya toko koran dan majalah. Dari berita yang setiap hari kubaca lah, akhirnya aku belajar tentang dunia ini.
Hidup ini tidak lepas dari kesakitan...
Sudah setahun aku bekerja dan belajar dalam toko ini, dibalik ruangan 5x5 meter aku mulai mengenal dunia ini. Busuk, setiap hari tidak lepas dari tindakan kriminalitas. Aparat penegak hukum pun tidak lepas dari tindakan tercela. Kejahatan bagai makanan sehari-hari dalam realita hidup ini. Berbagai macam kejahatan terekam dalam media cetak dan elektronik, setiap hari selalu ada kejahatan baru yang diberitakan dalam koran, majalah, dan juga televisi yang kutonton, semuanya menyedihkan. “Cray, apakah duniamu juga seperti ini?”, tanyaku menghibur diri pada shinigami itu. Tapi aku tidak akan pernah tahu jawabannya, karena aku sudah mengenal dia. Dia hanya diam dalam kesetiannya mengikutiku, aku mulai berpikir kalau shinigami itu tuli dan bisu, yah setidaknya dia tidak menimbulkan masalah.
Tiga tahun kembali berlalu...
Dunia belum berubah, masih betah hidup dalam ikatan kejahatan. Umurku telah beranjak 15 tahun, tapi pola pikirku jauh dari kata labil. Kehidupan seakan memaksaku meninggalkan pikiran kekanak-kanakan, dan sekarang aku menjadi jarang tersenyum, tidak seperti masa kecil dulu. Meskipun belum memiliki tujuan hidup yang pasti, tapi aku tidak akan sudi mati tergerus jahatnya dunia ini. Aku akan menghadapi dunia ini, sampai menemukan jawaban ataupun arti dari kehidupanku sendiri, ya menghadapi dunia yang tidak mungkin dilawan dengan pikiran anak-anak. “Jadilah kuat seperti orang dewasa, bukan menjadi lemah seperti anak kecil”, itulah salah satu nasehat paman Roove yang kuingat. Death Note, yang bagaikan imajinasi anak kecil pun sedikit kulupakan, kubiarkan bersarang dilaci lemariku, entah sudah berapa puluh bulan lamanya. Namun dalam diam dia masih setia disampingku, Cray, dan sedikit demi sedikit aku mulai belajar untuk mengacuhkannya.
Dunia kecilku, luka masa lalu yang kembali tersayat...
Tengah malam, tak sengaja kulihat berita di televisi. Berita mengenai investigasi monopoli wilayah yang dilakukan oleh para petinggi dunia ini. Banyak fakta licik terungkap, mulai dari pembelian paksa lahan, pengusiran penduduk, penghancuran bagunan, perang, hingga hal-hal negatif lainnya. Sampai pada pernyataan “pembasmian penduduk dan perataan bangunan di pinggiran Elan telah dilakukan”, ungkap pewarta berita nasional tersebut. Sangat lekat di ingatanku para pelaku pembumi hangusan hal itu.
Aku masih termenung, bersandar dikursi, menatap layar kaca dengan pandangan yang mulai melayang ke masa lalu. Tak terasa mataku mulai meneteskan air mata, meski hanya satu tetes tetap saja ini disebut menangis, padahal aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kalinya aku menangis. “Elan, rumah, kakak, aku, senyum, hancur...”, ucapku terbata dengan beban pikiran yang seakan meledak dalam pikiranku.
Impianku, aku teringat akan impianku...
Samar-samar, pandanganku yang kabur mulai menangkap cahaya dengan jelas kembali. Saat itu dia menatapku, Cray. Pandangan yang sama seperti pertama kali mata kita betemu dulu, ya, aku tersadar akan sorot mata sayu itu. Mata yang seakan menjawab impianku kala itu, “Aku ingin menjadi dewa”, hatiku tersentak oleh khayalan masa kecilku, khayalan yang sudah lama kulupakan. “Tunjukkan padaku kebenaran, Cray”, kataku sambil berdiri dan langsung mengambil senjata itu, senjata yang Shinigami sebut sebagai Death Note.
First blood, awal dari kebenaran(ku)...
“DEATH!” tulisku pada sebelas nama kriminal yang mengacaukan masa kecilku, entah siapa mereka, pejabat ataukah sebatas kaum proletar, aku tidak peduli. Kututup lembaran Death Note dan memandang ke arah Cray. Sunyi, aku tidak bicara sepatah katapun, sama seperti dia. Hanya diam, dengan tatapan mata penuh harap, seakan berkata “tolonglah, kali ini saja”. Setelah itu akupun terlelap dalam tidurku, sebuah istirahat yang biasanya terasa kurang nyenyak tanpa harumnya bunga tidur.
Esoknya, berbagai kabar cetak dan elektronik ramai memberitakan mengenai tewasnya sebelas mafia tanah karena serangan jantung, ya mereka yang semalam namanya kutulis di buku kematian itu. “Kebetulan ataukah Hukuman Tuhan?”, tulis headline di berbagai media mengenai kasus itu. Mulanya aku kaget tidak percaya, tapi akhirnya akupun tersenyum, ah rasanya seperti menemukan kebahagiaan kembali. “Haha... hari ini terasa sangat indah ya Cray” senyumku manis pada shinigami itu.
Kesanalah aku akan melangkah...
Ya, telah kuputuskan. Mulai saat ini aku akan melakukan itu, hal yang disebut mencabut nyawa. Ideologi ciptaanku untuk memusnahkan semua manusia yang kuanggap menjijikkan. Dunia ini busuk, semua orang busuk harus dibunuh untuk membersihkan dunia ini, itulah jalan kebenaranku. “Aku tak akan berpura-pura bermain menjadi dewa, karena aku adalah dewa”, ujarku sombong pada hatiku sendiri. Setidaknya aku mulai rajin mengikuti berita, mulai dari televisi hingga harian umum, tiap hari mereka tidak pernah lepas dari incaranku, para kriminalitas dan narapidana.
Dan hari ini, 47 nama pelaku kejahatan telah kucatat dalam buku kesayanganku. “Saatnya bekerja Cray”, senyumku pada dia sambil menuliskan satu kata “MATI...”
Tidak ada seyuman untuk mereka. Mati, mati, dan mati...
Enam bulan telah berlalu, telah banyak manusia keji yang mati diatas catatan bukuku, aku tidak tau pasti jumlahnya, entah ribuan atau bahkan puluhan ribu nama. Tapi aku belum mampu mengubahnya, meski intensitas kejahatan sedikit menurun, dunia masih berbau busuk seperti biasanya. Baiknya, aku semakin menguasai penggunaan Death Note, aku mulai dapat mengontrol sikap seseorang sebelum mati. Itulah salah satu sumber hiburanku, biasanya aku menuliskan “tusuklah ubun-ubunmu sendiri sampai otakmu tercecer”, “benturkan kepalamu ke dinding sambil tertawa sampai mati”, “tikamlah jantungmu perlahan-lahan dan rasakan kematianmu”, “siram dirimu dengan bensin, percikkan api ke tubuhmu, dan menarilah”, “potong kedua urat nadi tanganmu, lalu taburi garam diatasnya”, “minumlah air keras sebanyak mungkin sampai mati”, “congkel kedua matamu, lalu gantunglah lehermu”, “mutilasi lah dirimu sendiri sambil menyanyi”, “suntik hatimu, sedot semua darahnya keluar, lalu matilah”, “sembelihlah dirimu sambil tertawa”, “matilah, keluarkan isi perutmu dengan belati”, dan berbagai cara kematian lainnya, aku sudah lupa. Tapi yang pasti aku selalu tersenyum menikmatinya. Karena aku menyukainya, smile killer.
Para pembuat sampah tidak lain juga sampah...
Aku masih heran dengan jawaban “dimana kedamaian?”. Setelah 2 tahun ini, mungkin sudah jutaan lebih manusia hina yang kucabut nyawanya, tetap saja dunia ini belum terwujud seperti harapanku. Padahal setiap hari telah kugoreskan penaku untuk mengakhiri hidup para ******** dan pesundal, tetap saja hasilnya nihil, rasanya aku masih mendengar ironi dalam hidup ini. “Paman, paman? kenapa kejahatan di dunia ini tidak pernah surut ya?, padahal banyak pelaku kriminal yang telah mati”, tanyaku saat senggang pada Paman yang kuanggap bijak. “Oh, karena tidak ada yang menumpas kejahatan, kejahatan hanya ditahan sementara, coba analogikan menyelesaikan kejahatan dengan cara menebang batang pohon, lalu bandingkan dengan cara mencabut akarnya, mengerti? Haha... kau ini lucu sekali, lagipula itu kan bukan urusanmu, itu urusan para petinggi negeri ini, yah walaupun banyak diantara mereka yang sesat dan malah menghancurkan sendiri negeri ini. “Haha, hanya iseng bertanya saja kok paman”, elakku sambil menghabiskan makan malam. “Ya, itulah mereka, para petinggi negeri ini yang salah, mereka lah akar semua kejahatan, gara-gara kebijakan dan perbuatan sesat mereka maka timbulah kejahatan di dunia ini”, renungku malam itu, mencoba menggambarkan nasehat Paman Roove dengan sudut pandangku sendiri. Mungkin itu juga sebagai jawaban, kenapa sampai saat ini tidak ada yang sadar, tidak ada yang menganggapku kira (baca : killer) yang bermain dibelakang layar penghancuran aksi kriminalitas, karena keegoisan mereka, pejabat pemerintahan maupun penegak hukum semuanya sama saja, hanya terpaku pada harta, jabatan, dan nafsu duniawi semata. Ya itulah mereka, para pembuat sampah.
Sampah yang terbungkus rapi tetap saja disebut sampah...
Mereka yang kuanggap benalu, para petinggi negeri ini. Parasit yang menghacurkan dunia ini dari dalam. Jabatan pejabat, menteri, aparat, dan pegawai negara lainnya hanyalah formalitas. Toh, apa usaha mereka memajukan negeri ini? kenyataannya banyak dari mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan semata. “Matilah semuanya!!! tidak ada sampah yang pantas memimpin dunia ini!!!”, janjiku pada diri sendiri. Dan semuanya dimulai, langkah baru pembersihan beberapa pemimpin dunia ini. Beberapa puluh nama petinggi dan penggerak dunia telah kutulis dalam Death Note, kudapat dari harian-harian umum yang kubaca. Merekalah yang dicurigai menyalahkan gunakan kekuasaan untuk menodai dunia ini. “Tulis nama rekan kejahatan kerah putihmu, kirimkan ke media, dan MATILAH dengan cara yang tidak kausukai!” tulisku tebal dilembaran Death Note. Dan mulai esok hari, media pun penuh dengan nama-nama calon korbanku. “Menyenangkan... saatnya bekerja lebih serius”, batinku sambil menyeleksi ratusan nama dari media.
Keseimbangan tidaklah penting (menurutku)...
Tidak terlalu buruk untuk dua tahun terakhir ini, usiaku sudah 19 tahun, dan mataku mulai melihat dunia yang berangsur mendekati kata kedamaian. Pemusnahan berjuta-juta akar kejahatan petinggi dunia ternyata bermanfaat juga, negara kembali stabil, hukum kembali menggema tanpa suapan dan pandang bulu, sampah-sampah berdasi telah gugur digantikan orang yang lebih pantas. Populasi manusia tidak lagi penuh sesak, entah sudah berapa ratus juta jiwa sampah yang telah terkubur. Tapi bagiku itu hanya euphoria sesaat, aku masih mempunyai sifat manusia yang menginginkan lebih dan lebih, haus akan rasa puas. “Aku ingin damai, damai, dan lebih damai” ucapku sambil menghirup wangi dunia revisiku ini. Ya, aku hanya manusia ingin terus berada dalam status dewa ini, seperti impian masa kecilku, menghapuskan tiap kejahatan, karena kejahatan adalah dosa, dan dosa adalah kematian, selamanya, itulah caraku tersenyum.
Dan sejenak dalam sedikit kepuasanku menikmati dunia sekarang ini, tiba-tiba Cray berkata “dunia butuh keseimbangan”, ucapnya sambil memandang mataku. Aku terdiam sejenak akan perkataan shinigami itu, kata yang keluar dari mulutnya setelah 10 tahun tidak terdengar. “Ha? barusan kau berkata sesuatu Cray?”, tanyaku seolah tidak percaya (padahal ucapan itu masih terngiang dipikiranku). Tapi dia tidak menjawab, seperti biasa hanya diam dan menatapku, kala itu bola matanya seakan menggambarkan ketegasan. “Ah, sudahlah...”, acuhku padanya.
Menghancurkan apa yang disebut batas...
Waktu berlalu dan terus berlalu, tapi ego ku melenyapkan kejahatan belumlah berhenti. Sepertinya diriku telah kecanduan akan rasanya tersenyum itu, ya tersenyum menurut versiku sendiri tentunya, tidak lepas dengan cara membunuh pelaku kejahatan. Meski sekarang dunia semakin membosankan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana aku bisa tertawa sepuasnya. Semuanya kubunuh, tiap jenis kejahatan yang kutemui akan kulenyapkan. “Dunia dimana kejahatan adalah 0”, itulah mimpiku yang baru. Sekarang, bagiku semua dosa adalah sama, entah itu kejahatan ringan, entah itu kejahatan berat, semuanya adalah pendosa. Dan hiperbola ku semakin menjadi, orang yang baru dituduh penjahat (belum menjadi terdakwa) langsung kubunuh dalam Death Note, sampai anak kecil yang merebut permen dari teman sebayanya pun juga kubunuh.
“Hentikan...” kata Cray, sekali lagi dia berbicara padaku. “Ah? kenapa? kau takut? cukup nikmati saja kedamaian ini”, jawabku yang semakin tertelan dalam egoisme sendiri. Seandainya aku dapat membunuh shinigami, akan kubunuh dia, sepertinya akhir-akhir ini padangan matanya padaku semakin menyebalkan.
Dibawah batas normal...
Setahun terlah berlalu, bagaimana nasib dunia ini? yang pasti masih dibawah kendaliku dalam Death Note. Aman, tanpa kejahatan, begitulah menurutku. “Cray, lihatlah sekarang dunia semakin aman kan?” tanyaku pada shinigami bersayap empat itu, tapi dia tidak menjawab, hanya menunduk diam. Ah membosankan, sudah satu tahun terakhir ini dia nampak lebih banyak menunduk, berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, bagiku malah terlihat seperti seorang yang putus asa, menatap kosong pada hamparan tanah. Tidak puas, aku bertanya pada paman Roove, “Paman paman, sepertinya dunia semakin aman saja ya, bagaimana pendapat paman?” tanyaku penuh senyuman pada orang yang terlihat setengah abad itu. “Hmm, menurutmu begitu ya?” orang bijak itu kembali bertanya padaku. “Ya! sudah pasti! benar kan?” jawabku penuh keyakinan. “Tidak ada salahnya, itu kan opinimu sendiri, tapi menurutku dunia ini sekarang sudah mati” katanya. “Mati? apanya yang mati paman? kejahatan ya? hehe...”, tanyaku lagi masih dengan aksen tersenyum. “Tidak juga, sepertinya kurang tepat, mau dengar pendapatku tentang keadaan dunia sekarang?”, tawarnya padaku. “Hm, tentu”, jawabku penasaran. “Menurutku dunia ini sudah tidak seimbang lagi, dimana kejahatan seakan dilenyapkan dengan paksa, manusia terpaksa hidup dalam kedamaian, dimana kedamaian itu hanyalah sebuah kata yang semu. Memang tidak ada lagi kejahatan, tapi nyatanya manusia bergulat dengan kedamaian itu sendiri, lebih tepatnya ketakutan berbuat salah dalam kedamaian, pura-pura tersenyum padahal hidup dalam tekanan. Terpaksa hidup dalam kesempurnaan, padahal dirinya sendiri bukanlah makhluk yang sempurna. Kau mengerti maksudku?”, kata paman. Aku terdiam, mencoba memahaminya dengan sudut pandangku. Begini, akan kuberi contoh, “Lebih baik yang mana menurutmu? hidup di tempat mewah dengan keterpaksaan ataukah hidup di tempat sederhana dengan perasaan ikhlas“, tanya paman padaku. “Entahlah paman, aku bingung, keduanya sama-sama memiliki kelebihan, antara kemewahan dan keikhlasan”, jawabku. “Begitulah analoginya, sesuatu yang terlihat belum tentu terasa sama, kemewahan hanya sekedar bentuk tapi keikhlasan itu adalah rasa”, jelas paman padaku. “Lalu, apa hubungannya dengan dunia sekarang?”, tanyaku menegaskan. “Hm, kedamaian itu tidak sekedar terlihat, tapi juga dirasakan, ibaratnya kedamaian itu bukanlah sebuah bentuk tapi suatu perasaan. Kau lihat dunia sekarang, damai bukan? tapi itu hanya terlihat dan menurut pandanganmu. Tapi apakah kau bisa melihat ke dalam hati seseorang, tepatnya merasakan kedamaian itu di hati mereka?” tanya paman dengan tersenyum. “Aku tidak bisa”, jawabku dengan senyum yang mulai memudar.
Kenangan indah tidak akan terhapus karena sebuah perpisahan...
Aku tersentak oleh jawaban paman minggu kemarin. Ya, dengan kata lain aku gagal mewujudkan impianku, kedamaian dalam artian yang sebenarnya. Kedamaian itu hanya sebatas kulihat di dunia ini, selebihnya aku tidak merasakannya dalam lubuk hatiku. Dan sekarang aku tidak tahu harus bagaimana, entah apalagi yang harus kuperbuat, dunia ini seolah hidup dalam kepalsuan. Terlihat damai tapi tidak terasa damai, kulihat masyarakat terpaksa menjaga sikap, takut akan kesalahan, jika salah sedikit saja mungkin mereka akan mati karena hukuman dewa (yang tidak lain adalah aku sendiri), kebebasan hidup manusiawi seakan telah terkekang. “Haahh…”, aku menghela nafas setelah merapikan ruang kerjaku. “Paman, terimakasih untuk semuanya, aku pergi”, pamitku pada paman. “Hei, mau kemana kau? kenapa kau ingin pergi? lebih baik kau tetap disini”, paman itu mencoba menahan langkahku. “Ah sejujurnya aku masih ingin disini, tapi sudah cukup, terima kasih, aku ingin ke luar, merasakan dunia dengan hatiku sendiri”, kata ku dengan senyum. “Ya baiklah, itu hakmu, kapan-kapan jangan lupa berkunjung lagi kesini”, kata paman sambil menepuk pundakku. “Selamat tinggal...”, kata terakhirku sambil menahan air mata. Tujuan langkahku setelah ini adalah pinggiran Elan, rasanya aku ingin melihat kembali rumahku dulu.
Inilah yang disebut jawaban...
Malam mulai menyelimuti pinggiran kota ini, semuanya tampak redup. Remang-remang terlihat jika keadaan sekitar masih sama seperti dulu, ternyata daerah terpinggir ini belum tersentuh oleh orang luar. Hanya ditemani api unggun dan sahabat setiaku, Cray. Aku duduk termenung di atas puing sambil menatap jauh ke tempat dimana dulu aku menguburkan kakak-kakakku. Aku merasa sudah tamat, tidak memiliki hal yang patut untuk diperjuangkan lagi, sepertinya aku sudah merasa cukup dengan hidupku.
“Kyuu, apa yang kau lakukan!!!”, teriak Cray sambil menatapku. Kututup lembaran Death Note, dan memandangnya tidak percaya, dia berteriak dan memanggil namaku untuk yang pertama kalinya. “Hei, kenapa kau?”, tanyanya sekali lagi padaku. “Cray, kenapa kau baru bicara saat ini?” tanyaku sambil tersenyum.”Apakah yang kulakukan salah, berikan alasanmu mengenai kedamaian dunia ini, kumohon untuk yang terkahir kalinya Cray”, pintaku masih dengan tersenyum. Selanjutnya dia, Cray, kulihat juga tersenyum untuk yang pertama kalinya, dan mulai menjawab, “Alasanku memberikanmu Death Note dulu adalah, supaya kau bisa merubah dunia. Kulihat dari sorot matamu waktu itu, kau memiliki kemauan untuk melakukannya. Merubah dunia sampai batas normal, dimana kejahatan setara dengan kedamaian. Tapi kau melewati batasnya, malah memaksakan menghancurkan kejahatan dan membuat kehidupan menjadi tidak seimbang. Padahal dulu sudah pernah kuperingatkan padamu, dunia butuh keseimbangan, tetapi kau telalu dikuasai mimpimu tentang kesempurnaan. Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, ingatlah semua manusia pernah melakukan kesalahan, dan itu manusiawi. Lagipula kita juga tidak hidup dalam dunia malaikat, kita masih hidup di dunia manusia ini, dunia yang tidak lepas dari khilaf, dunia dimana masih ada cahaya dan kegelapan”. Entah kenapa setelah berbicara dia mulai terjatuh, seperti kehilangan kekuatannya. “Ya, aku tersadar akan perkataan itu, seperti kata-kata paman kala itu, terima kasih Cray, aku lupa mengucapkan terima kasih padamu, sekali lagi terima kasih. Oh iya, bagaimana nasib dunia ini selanjutnya?”, tanyaku lagi. “Tidak masalah, biarkan saja tanpa penggunaan Death Note di luar batas, akhirnya dunia akan menemukan keseimbangannya kembali”, jawab Cray. Dan dia semakin tersungkur, sayap-sayapnya mulai menjadi pasir. “Cray?”, sapaku pada dia dengan tatapan sayu. “Ya, ini sudah batasku, tahukah kau kenapa aku jarang berbicara? karena aku dilarang berbicara lebih dari 150 kata pada manusia (atau mati), itulah perintah raja shinigami padaku. Dan sekarang sudah waktunya, terima kasih Kyuu, senang mengenalmu...”, katanya terakhir kali sambil tersenyum. Kulihat semua bagian tubuhnya mulai menjadi pasir, tersapu angin yang terasa dingin ditengah malam ini. Dan aku pun sendiri dalam sunyi, memandang tumpukkan pasir yang mulai menghilang tersapu angin. “Tidak ke surga, juga ke neraka, sepertinya cukup, tidak merasakan kedamaian, tidak merasakan derita. Hanya ada kehampaan, aku tidak mempermasalahkannya, yang terpenting adalah orang lain, sepantasnya mereka merasakan kedamaian, bagiku itu sudah cukup”, batinku terkahir kali.
Catatan terakhir...
Dibawah sinar rembulan, kulemparkan Death Note kedalam kobaran api didepanku. Semilir angin mulai berhembus, membalik halaman demi halaman buku yang sedang terbakar itu, sampai pada tulisan di halaman terakhir, “26 September 2010, 00:17, Kyuunai Amakusa, Mati...”. Menuju kehampaan, sepertinya kurasakan kehadiran mereka, kakak-kakakku, seakan duduk disampingku, mereka memelukku, terasa hangat, seperti waktu dulu, ya saat mereka mengajariku tersenyum dan tertawa.
Dan untuk terkahir kalinya aku kembali tersenyum seperti dulu, kemudian semuanya terlihat terang, dan aku tidak merasakan tubuhku lagi.
!The End
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
*terima kasih sudah meluangkan waktu anda untuk membaca karya jelek ini ^^
credit : Tsugumi Ohba (pengarang Death Note)
copas dari facebook gw, asli karangan gw sendiri..
klo ada yang suka, bagi thank's atau GRPnya ya kk (^^)
Share This Thread