Author: The_Omicron
Genre : Tragedy, Moral
_____________
Senja Tertawa
_____________
Tak dapat kurasakan satupun jari pada tangan dan kakiku. Tiada rasa mengalir dari jaringan syaraf yang terletak di bawah kulitku. Buta pandanganku akan kegelapan, sepi dunia ini terdengar. Tanpa suara, tanpa cahaya, sejauh kumemandang hanya kegelapan yang menyambutku. Melayang kurasakan pikiranku dalam belaian ketiadaan.
Entah sudah berapa lama aku berada dalam dekapan keadaan ini, namun perlahan cercah demi cercah cahaya bermacam warna mulai bermunculan di sekitarku. Biru, merah, putih, ungu, semua muncul secara bergantian, kadang dua bersama, kadang semua secara bersamaan hingga mengingatkanku kepada kembang api yang kulihat di pantai Ancol saat perayaan tahun baru tiga tahun yang lalu.
Wajah demi wajah muncul dan menghilang. Aku kenal mereka, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, nenekku, kakekku, anak-anakku, istriku, ayahku, dan ibu. Kadang muncul dengan senyuman nan tulus, kadang muncul dengan tatapan kesedihan, memandangku, melihatku, menatap mataku. Wajah sahabat-sahabatku tersenyum, tertawa, membawa ingatanku kepada saat kami lulus SMA, dapat kuingat saat itu aku begitu gembira karena kekasihku saat itu mendapat nilai terbaik se-Jakarta, dan dapat juga kuingat kesedihan yang kurasakan begitu kumenyadari ia akan pindah ke Bandung.
Dapat kudengar tawa anakku, dapat kudengar musik favoritku, namun semua datang dan silih berganti dengan suara tangis anakku yang selalu kudengar hampir tiap malam sewaktu ia masihlah seorang bayi. Terdengar suara kakak kelas yang paling kubenci dari SMP membentakku, masa-masa orientasi dimana kami menyanyikan lagu "Poco-poco" sebagai sebuah hukuman karena tidak dapat berbaris dengan rapi. Terdengar suaraku sendiri saat mengucapkan ijab kabul saat aku dan istriku tengah menikah, dapat kurasakan kembali gemetar yang menyelimuti tubuhku saat mengucap janji nan-suci tersebut.
Bau sedap masakan ibuku tercium, nasi goreng mentega yang begitu sederhana namun menjadi favoritku, berganti dengan bau gosong dari istriku yang lupa mematikan kompor saat sedang menjemur pakaian. Bau udara Jakarta yang penuh polusi menggantikan bau segar deterjen yang selalu istriku gunakan, bau amis telur dan terigu yang kudapatkan dari ulang tahunku di masa kuliah menusuk hidungku. Tak lupa bau tanah dari makam salah seorang sahabat setelah kami menyadari bahwa waktu untuk kami suatu saat akan datang tertidur untuk selamanya dalam pelukan sang bumi.
Perlahan tapi pasti dapat kurasakan kedua bahuku terbebani oleh sesuatu, entah bagaimana aku tahu benda ini adalah tas kesayanganku sewaktu SD yang bergambarkan Ksatria Baja Hitam. Beban itu menghilang dan pindah kepada punggungku, ah, ini pasti dari anakku yang mengajakku bermain kuda-kudaan saat aku tengah tertidur kelelahan setelah semalaman lembur di kantor. Ah, beban itupun juga menghilang, dapat kurasakan rambut yang lembut dari jemari tangan kananku, yang ini pasti saat aku dan istriku masih menjadi sepasang kekasih dan aku sangat menyukai mengelus rambutnya yang panjang dan lembut. Rasa di jemariku menghilang dan berganti dengan tekstur kain katun. Aku ingat yang ini, ini adalah saat dimana aku tengah merengek minta dibelikan mainan pada ibuku sambil menarik-narik kebaya yang dikenakannya saat itu.
Kegelapan sirnalah sudah, berganti dengan nuansa nostalgia rumahku sewaktu kami masih tinggal di Tebet. Kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan, dapat kurasakan kakiku berpijak keatas keramik-keramik putih yang dingin. Langkahku terdengar ringan dari balik suara lagu pembuka "Dunia Dalam Berita" yang tengah ayahku tonton di ruang keluarga. Semakin mendekat kepada sosoknya yang tengah duduk diatas sofa biru tempat kami menonton bersama, aku masih tak mengerti kenapa kakiku melangkah mendekatinya. Kuulurkan tanganku dan mencium tangannya, ah... ya, aku ingat aku selalu melakukannya sebelum aku pergi tidur tepat pukul sembilan malam saat aku masih kecil. Sebuah usapan kecil selalu kudapatkan darinya sebelum aku pergi ke kamar dan membaca doa sebelum memejamkan mataku.
Mata terpejam kembali, namun kegelapan tak kunjung datang, malah kini aku berada di atas puncak sebuah gunung bersama dengan sahabat-sahabatku. Aku kenal gunung di seberang sana, gunung cantik diatas awan itu adalah gunung Bromo, ini pasti saat kami tengah memanjat puncak Mahameru. Sekali lagi kami berfoto dengan latar belakang terbitnya matahari pagi. Kamipun tak lupa memanjatkan doa bersama untuk Soe Hok Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis sebagai sesama mahasiswa pendaki Semeru.
Kali ini aku berada di depan pintu kelasku sewaktu TK. Tentu saja tak dapat kulupakan pintu bercat krem dengan tembok berwarna putih dan hijau ini, gambar-gambar hasil dari goresan krayon kami menghiasi seisi kelas bersandingan dengan karya-karya origami terbaik kami.
Aku merasa seseorang memanggil namaku, kupalingkan wajahku dari arah pintu kelas melewati bahuku. Ayah dan Ibuku menatap diriku, senyuman tulus dapat kulihat dari bibir mereka, begitu damai, begitu menyejukkan. Ibuku melambaikan tangannya padaku, ia tertawa, begitu gembira melihat anaknya pertama kali masuk sekolah. Ayahku menggoyangkan tangannya, menyuruhku memasuki kelas dan bergabung dengan teman-temanku. Saat itu keraguan muncul dalam diriku, aku merasa jika aku melewati pintu di hadapanku ini, maka aku takkan dapat lagi bertemu dengan mereka untuk selamanya, namun jika aku tidak melewatinya dan kembali kepada mereka, maka aku tahu aku takkan pernah dewasa.
Entah mengapa saat itu air mata menitik dari kelopak mataku, keduanya menggelengkan kepala mereka, berusaha menghentikanku dari tangisku. Perlahan aku mengerti mengapa aku menangis, rasa di dadaku ini adalah rasa rindu. Bertahun-tahun telah berlalu semenjak aku tak dapat lagi bertemu dengan mereka berdua. Meski kaki tak ingin melangkah, aku terus mencoba, mencoba untuk mengikuti nasihat mereka yang paling bijak untuk terakhir kalinya: "Melangkahlah nak, teruslah melangkah dan songsonglah masa depanmu." Kutinggalkan mereka dengan bangga bahwa aku telah menjadi anak yang sholeh, tak ada lagi air mata, hanya tersisa senyuman di bibir. Kulihat pintu krem di belakangku yang tertutup perlahan setelah aku melewatinya, dari sela pintu yang semakin menyempit dapat kulihat sosok hangat mereka berdua yang sangat gembira telah berhasil membesarkan seorang anak. Selamat tinggal ayah dan ibu.
Kembali kukepada dekapan sang gelap, sang sunyi, dan sang ketiadaan. Kembali kuterombang-ambing dan melayang, hingga tak lama kemudian suasana berganti, sekujur tubuhku mulai merasakan dinginnya udara, halusnya pakaianku, dan empuknya kasur ini.
Bau khas rumah sakit mulai tercium, bersama dengan cahaya putih yang mulai menembus kelopak mataku, dan rasa lembut dari tangan seseorang di tangan kananku.
Terdengar suara "bip" demi "bip" dari telinga kiriku, sementara sayup-sayup terdengar suara yang sangat familiar tengah berbicara kepadaku. Aku tahu pemilik suara itu adalah istriku, mata ingin membuka dan melihat dirinya kembali namun tak mampu. Kucoba menggerakkan seluruh otot dari tubuhku, berusaha segenap jiwa dan raga untukku agar dapat memberitahunya bahwa aku telah kembali.
Sekeras apapun kumencoba tubuh ini tak kunjung menuruti perintahku, namun kerasnya tubuh ini tidak setara dengan kerasnya tekadku, sekilas kumerasa ini adalah akhir dariku, akan tetapi aku tidak mau. Aku mengerti bahwa Tuhan telah menentukan takdirku, kapan waktu aku akan kembali padaNya, tapi aku tahu dan percaya bahwa saat ini bukanlah waktunya, bukan saat ini, bukan begini caranya.
Hingga pada akhirnya kelingking kananku menyerah. Ia bergerak sesuai dengan perintahku meski gerakannya sangat lemah, istriku tetap menyadarinya. Walau mata belumlah terbuka, aku tahu saat ini ia tengah tersenyum, setelah menanti dengan penuh kecemasan selama ini. Akupun ikut tersenyum, bersama dengan seluruh tubuhku yang perlahan mulai menuruti segala perintahku, seolah bangga kepada tuannya yang telah berhasil kembali.
Beberapa bulan telah berlalu, kondisiku berangsur-angsur membaik, dokter telah memperbolehkanku pulang, mereka mengaku cukup terkejut dengan semangat hidupku hingga berhasil melalui tahap yang mereka prediksi memiliki kemungkinan lolos yang sangat kecil. Aku dapat kembali bermain bersama kedua anakku, dan hidup kembali normal berempat bersama istriku sebagai sebuah keluarga yang sempurna.
Namun kurasa Tuhan menyukai komedi, dua tahun setelah aku meninggalkan rumah sakit, Ia mencabut nyawaku. Aku meninggal setelah terjatuh di kamar mandi dan kepalaku membentur toilet, sialan.
Share This Thread