Pagi itu, mendung menggantung di langit. Dengan tanpa semangat, seorang pemuda melangkah menelusuri jalan setapak, menuju sekolahnya. Sementara di sekitarnya, siswa lainnya dengan penuh semangat, saling menyapa satu dengan lainnya. Tiba-tiba langkah pemuda itu terhenti, lalu ia menatap seseorang yang berada tak jauh darinya; Seorang gadis dengan pakaian suster, yang sedang menyapu dedaunan yang memenuhi jalan setapak tersebut.
“Selamat pagi, Suster Augustine.”, sapa pemuda itu dengan ramah.
Mendengar sapaan itu, Sang suster menghentikan sementara kegiatannya, lalu tersenyum ramah kepada pemuda tersebut.
Baru saja pemuda itu hendak melangkah mendekati Sang suster, ketika tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
“Wah, parah banget lo, Rey ! Masa pagi-pagi gini udah ngegodain suster sih ?”
Wajah pemuda bernama Reynard itu langsung memerah, lalu ia berbalik protes kepada orang di belakangnya.
“A.. aku hanya menyapa saja kok ! Lagian, itu kan bukan urusanmu, Karel !”
Tanpa memperdulikan protes Reynard, Karel tersenyum ramah kepada Suster Augustine.
“Pagi, suster. Anda rajin ya, padahal ini kan bukan kerjaan Anda.”
Sang suster terdiam sejenak, lalu mengambil sebuah buku gambar yang berada tak jauh darinya. Kemudian ia menulis sesuatu, dan memperlihatkannya kepada kedua pemuda tersebut.
‘Ini adalah bagian dari pelayanan’, itulah kata-kata yang terdapat pada buku gambar.
Senyum Reynard-pun semakin lebar.
“Ya, Anda memang serius di dalam tugas pelayanan. Baiklah suster, kami ke kelas dulu ya !”
Lalu mereka bersama-sama memasuki gedung sekolah.
“Eh Rey, kalo lo bilang, Suster Augustine itu gimana ?”
Ditanya seperti itu, Reynard menghentikan langkahnya, lalu menatap Karel dengan bingung.
“Gimana apa maksudnya ?”
“Alaaa, jangan pura-pura lah ! Lo naksir dia kan ? Yah sama sih, gua juga kok.”
“Na.. naksir ?”, wajah Reynard langsung memerah, “I.. itu kan.. nggak mungkin ! Karel, dia suster lho !”
Karel-pun mendengus dengan kesal.
“Itu dia masalahnya ! Napa sih cewek kayak dia jadi suster ? Kan sayang, cakep-cakep nggak bisa nikah...”
Reynard hanya menggelengkan kepala saja.
Tiba-tiba sebuah suara dari belakang mereka, membuat keduanya terkejut.
“Kak, lagi ngomongin Suster Augustine, ya ?”
Mereka menengok, dan melihat seorang gadis berambut pendek, berdiri di belakang mereka sambil memegang sebuah buku catatan.
“Kamu.. siapa ?”
Sambil tersenyum penuh arti, gadis itu menjawab, “Aku adalah ketua klub koran sekolah, dan namaku Vagna. Dan karena sepertinya kakak tahu banyak tentang Suster Agustine, jadi boleh aku tanya tentang Suster Agustine ?”
“Koran sekolah ?”, Reynard dan Karel saling berpandangan dengan bingung, “Kenapa koran sekolah tertarik dengan Suster Agustine ?”
Vagna mencondongkan tubuhnya sambil mengedipkan matanya dengan penuh arti.
“Berdasarkan hasil riset, saat ini topik paling hot di sekolah ini, adalah tentang Suster Agustine. Tapi sayangnya, aku nggak bisa mewawancarainya secara langsung. Jadi, pertanyaan pertamaku adalah : Kenapa Suster Agustine nggak pernah bicara ? Kenapa ia selalu memakai buku gambar untuk bicara ?”
Untuk kedua kalinya, Reynard dan Karel kembali berpandangan.
“Yah, kami juga kurang tahu tentang hal itu. Dari yang pernah kudengar, ia sedang menjalani sesuatu yang istilahnya Pact of Silence, semacam sumpah untuk tidak bicara. Tapi tentang alasannya, kami tidak tahu.”
Sambil menulis di buku catatannya, Vagna mengangguk.
“Hmm... Pact of Silence ya ? Menarik.”
Tiba-tiba, gadis itu tertegun, teringat akan sesuatu.
“Tu.. tunggu ! Apa hal itu.. hanya kebetulan belaka ?”
“Kebetulan ? Apa maksudmu ?”
“Makasih ya, Kak. Nanti aku minta bantuannya lagi !”
“He.. Hey !”
Belum sempat Karel menahannya, Vagna telah berlari meninggalkan mereka.
Share This Thread