1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrak
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Awalnya, angklung adalah alat musik yang tidak memiliki nada suara. Angklung kuno tidak memiliki irama dan hanya berbunyi "gubrak". Lantaran itulah, dahulu kala, angklung yang tak memiliki nada disebut dengan angklung gubrak.
Angklung Gubrak merupakan perpaduan alat musik angklung yang terbuat dari bambu berukuran panjang mencapai sekitar 50 hingga 100 centimeter. Menurut sejarahnya, angklung gubrak yang konon telah ada di daerah Bogor sejak 400 tahun lalu ini selalu menjadi musik pengiring ketika menggelar acara panen padi. Mereka percaya, alunan nada yang berasal dari angklung tersebut, nantinya dapat membuat padi yang akan mereka tanam kembali dapat tumbuh dengan subur.
4. Angklung Badeng
Kesenian Badeng berada di desa Tanjung mekar kecamatan Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut ceritera seni Badeng ini berasal dari desa Sukamerah kecamatan Pagerageung. Seni Badeng ini di pergelarkan pada waktu pesta khitanan, namun pada saat ini kadang-kadang di pergelarkan pada acara*-acara kenegaraan.
Bentuk pertunjukan seni badeng ini didukung oleh 14 orang pemain antara lain: 7 orang juru Angklung, 4 orang juru Dog-dog, 2 orang juru Dog-dog Badeng, seorang juru Angklung Badeng. Sedangkan Angklung yang di pergunakan sejenis dengan Angklung Buncis atau Badud sebanyak 7 buah di mainkan sebagai Angklung melodi namun lagunya tidak sama dengan lagu pada Angklung Buncis.
Salah seorang tokoh penggarap Angklung Badeng ini adalah bapak Ahri Sobari. Kesenian Badeng juga terdapat di kampung Sukabatu desa Sanding Kec. Malangbong Kab. Garut. Menurut keterangan dari salah seorang tokoh di daerah tersebut di perkirakan sudah ada sejak abad ke 17.Istilah Badeng sendiri berasal dari kata Pahadreng yang berarti musyawarah, akan tetapi ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Arab yaitu badiun yang berarti aneh. Pencipta dan pembuat waditra Badeng ini adalah Embah Santing, Embah Acok, Embah Arpaen dan Embah Nursaen.
Setiap kali akan mengadakan perge*laran seni badeng, maka penduduk setem*pat terlebih dahulu berjiarah ke makam Embah Acok (kepala desa Sanding) sebagai tanda penghtormatan atas jasanya dalam menciptakan seni Badeng tersebut.
Pada abad 18 seni Badeng di lanjut*kan oleh Madnuki, Djaja, Suminta dan Madja. Pada abad 19 di lanjutkan oleh Sarkowi dan Naedji. Sedangkan dari tahun 1950 -1970 di lanjutkan oleh Kohri, Saman dan Suherman.
Bentuk pertunjukan dari seni badeng ini di dukung oleh 7 orang pemain yang mempunyai fungsi sebagai berikut : 2 orang penabuh Dog-dog lojor, 1 orang pemegang Angklung Roel, 1 orang pemegang Angklung Kecer, 1 orang pemegang Angklung Indung, 1 orang pemegang Angklung Kencrung, 1 orang juru Kawih. Pemain Dog-dog sambil menabuh kadang-kadang di barengi dengan menari.
4. Angklung Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal* - hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat*tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ... ", dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung.
Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik mambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan Angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut) dan Angklung Daeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908-1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
5. Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Sesuai dengan Teori musik, angklung padaeng secara khusus dibuat menjadi dua jenis besar yakni:
- Angklung Melodi, adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya ada:
- Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
- Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
- Angklung akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada Harmoni. Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu unit angklung standar biasanya memiliki:
- Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
- Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan aransemen asli Daeng Soetigna misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa", "Ibu Kita Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun 1980-an, KPA SMA 3 Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko, Budi Supardiman, dan Asep Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung padaeng untuk musik-musik modern Indonesia seperti "September Ceria" (Vina Panduwinata), "Astaga" (Ruth Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup musik)), bahkan merambah ke musik manca negara mulai dari "Yesterday" (Beatles), "Another Day in Paradise" (Phil Collins), hingga "Bohemian Rhapsody" (Queen).
6. Angklung Sarinade
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do sampai Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah hingga mi tinggi).
7. Aruba
Aruba adalah nama grup musik (band) yang pertama kali memperkenalkan angklung solo, dimana satu unit angklung digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Grup Aruba ini berdiri dirintis oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan kemudian berubah nama menjadi Arumba sekitar tahun 1969.
8. Arumba
Arumba merupakan salah satu jenis musik rakyat yang terdapat hampir di setiap daerah di Jawa Barat. Perangkat ini terbuat dari bambu pilihan seperti awi temen, tali dan wulung (bambu hitam). Di antara waditranya terdapat seperangkat angklung yang bertangga nada diatonis, karena memang musik arumba ini merupakan perkembangan dari musik angklung yang sudah sejak lama terdapat di Jawa Barat ini.
Terdapat pula gambang dengan berbagai macam fungsinya. Selain menyajikan instrumentalia, musik ini pun dapat mengiringi nyanyian. Lagu-lagu yang di sajikannya bukan saja lagu-lagu yang ada di Jawa Barat saja, yaitu lagu-lagu daerah Jawa Barat, bahkan lagu-lagu pop dan dangdutan pun dapat di sajikan. Juga lagu yang di ambil dari luar daerah Jawa Barat bahklan lagu*lagu asing (barat).
Di pertunjukkan di atas pentas atau di arena terbuka dalam sebuah ruangan. Para eemainnya berdiri, kadang-kadang mereka memperagakan gerakan-gerakan kecil seolah-olah menari atau joged.
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas:
- Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang bambu melodi
- Gambang bambu akompanimen
- Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup "Arumba Cirebon"
9. Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Ujo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa saat karena adanya karet.
10. Angklung Sri Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung akompanimen.
11. Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
12. Angklung Bungko
Angklung Bungko adalah kesenian daerah Cirebon khas dari desa Bungko di Kecamatan Kapetakan. Waditra yang digunakan adalah gendang, tutukan, klenong dan gong.
Sebenarnya musik ini merupakan musik dan tarian perang antarwarga desa pada masa awal Islam. Bungko merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencarian sebagai nelayan. Dari desa itulah "angklung bungko" lahir. Alat musik yang digunakan dalam kesenian ini adalah angklung.Bentuknya hampir sama dengan angklung Sunda masa kini.
Pada awalnya merupakan musik ritmis dengan menggunakan media kentongan (kohkol) yang terbuat dari potongan ruas bambu. Angklung Bungko terdiri dari tiga buah yang dipercaya sudah berumur 600 tahun, sudah tidak bernada lagi jadi tidak dipakai, hanya dalam setiap pergelaran harus ada, sedang waditra lainnya terdiri dari tiga buah ketuk, sebuah gong besar, dan sebuah kendang besar.
Angklung bungko diperkirakan lahir menjelang abad ke-17 setelah wafatnya Sunan Gunung Jati. Diduga, kesenian ini lahir secara kolektif. Tercipta atas dasar luapan emosi kegembiraan setelah mereka memenangkan perang (tawuran) melawan pasukan Pangeran Pekik (Ki Ageng Petakan). "Tawuran" sebagai akibat perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip ajaran Islam yang diajarkan Sunan Gunung Jati. Karena itu gerakan-gerakan tari angklung bungko lebih merupakan dari penggambaran peperangan saat mereka mematahkan serangan Pangeran Pekik. Semua penarinya lelaki menggunakan ikat kepala batik, baju putih, keris, kain batik, serta sodér. Tariannya sangat halus dan statis memberikan kesan tenang tapi raut muka menunjukan ketegangan, sedang tabuhannya kadang bergemuruh. Semuanya memberi kesan orang yang bersiap berangkat ke medan perang.
Ada empat tarian dalam angklung bungko, antara lain 1. Panji,menggambarkan sikap berzikir. 2. Benteleye, menggambarkan sikap bertindak dalam menghadapi rintangan di perjalanan. 3. Bebek ngoyor,menggambarkan jerih payah dalam upaya untuk mencapai tujuan. 4. Ayam alas, menggambarkan kelincahan dalam mencari sasaran pemilih.
Atas gagasan Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, angklung bungko tetap dipertahankan dan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam. Ki Ageng Bungko (Ki Puyunan) sebagai anutan yang berjiwa egaliter dan banyak jasa semasa hidupnya, kini seolah-olah menjadi simbol kehebatan masyarakat bungko. Karena itu untuk mengenang jasa-jasa leluhurnya, mereka mengimplementasikannya dalam upacara ritual adat yang dikenal dengan ngunjung.
13. Angklung Badud
Seni Angklung Badud termasuk ke dalam rumpun Seni Pertunjukkan jenis helaran/arak-arakan, pawai, atau karnaval. Fungsi utama dari Seni Angklung Badud ini, di masyarakat asalnya, dipergunakan untuk mengarak dan menghibur pengantin Sunat. Jaman dahulu ketika obat bius lokal penghilang rasa sakit (pangbaal) belum biasa digunakan, anak yang akan disunat pagi-pagi sekali diarak menuju ke kolam (balong) kemudian anak disuruh untuk berendam di kolam selama beberapa menit, nah pada saat diarak menuju kolam dan pulang dari kolam inilah Angklung Badud dimainkan, masyarakat pun ikut berbondong-bondong membentuk barisan berjejer, layaknya pawai atau karnaval sekarang, sehingga terjadilah kegembiraan dan diantara kegembiraan itu pula, biasanya muncul kreativitas dari pemain dan masyarakat membuat kelucuan dan kemeriahan lainnya. Acara ini pun digelar sekaligus mengundang dan memberitahu masyarakat agar pada saatnya anak disunat bisa hadir memberikan do\'a dan uang "panyecep" kepada pengantin sunat.
Seni Angklung Badud lahir dan dibesarkan di Kampung Parakanhonje Kelurahan Sukamaju Kaler Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya. Di bawah asuhan Keluarga Besar Kanca Indihiang, Angklung Badud pada jamannya sekitar tahun 70-an bisa dikenal di mana-mana.
BADUD bisa diartikan Energik, atau Dinamis. Ini terlihat dari sifat dan karakter Seni ini, di mana nada-nada yang dihasilkan oleh hentakan Angklung, pukulan Dogdog, rancaknya penari, dan bergeloranya semangat penari Kuda Lumping yang bergoyang mengikuti irama musik, sungguh sangat nikmat, seolah mengajak kepada penonton dan pendengarnya untuk ikut bergerak dan ngengklak mengikuti irama yang ritmis. Perlu diketahui, para penari Kuda Lumping di Angklung Badud, tidak kesurupan atau intrance. Sehingga di alam sadarnya justru penari Kuda Lumping, bergerak indah, mata penari kuda lumping pun dipejam sedikit (peureum hayam), merem melek menikmati alunan musik, sementara kaki dan tubuhnya tak hentinya meliuk indah, melompat lincah dan berguling cekatan, sebentar berlari, sebentar melompat, lari kecil, dan rincik, sungguh nikmat kelihatannya.
14. Angklung Rengkong
Angguk Rengkong yaitu alat pemikul padi yang di pergunakan pada pertunjukan Rengkong. Angguk Rengkong terbuat dari Awi Guluntungan (Bambu Gelondongan), terdapat hampir di setiap daerah di Tatar Sunda.
Ketika Angguk Rengkong di pergunakan untuk memikul padi sambil berjalan atau bergerak akan mengeluarkan bunyi yang di sebabkan oleh gesekan antara pemikul (Angguk Rengkong) dengan tali pengikat padinya (Salang). Tali pengikat padi ini pun terbuat dari bambu yaitu Awi Tali.
Dua gantungan pada satu pikulan akan menyebabkan perpaduan bunyi. Apa bila pikulannya Iebih dari satu maka gesekan Angguk Rengkong dengan Salang (tali pengikat padi) pun akan menimbulkan berbagai bunyi serta iramanya akan menyebabkan paduan bunyi berirama yang cukup enak untuk di dengar walau pun tidak ada nada atau pun lagu yang tersajikan. Apa lagi bila ada lebih dari satu pikulan, mereka berjalan secara bersama*sama.
Perkembangan seni Helaran Rengkong tidak akan terlepas dari Angguk Rengkongnya sendiri. Karena itu di daerah yang warganya bertani, sebagian warganya ada yang menyisihkan lahan tanahnya untuk menanam bambu sebagai bahan pembuat Angguk Rengkong, seperti di daerah pesawahan, terutama di Kampung Adat Ciptarasa (dahulu Sirnaresmi) di kabupaten Sukabumi Selatan. Juga di daerah Priangan seperti di Banjaran dan Ciwidey kabupaten Bandung. Rengkong selalu di sertakan pada Upacara Seren Taun atau Pesta Rakyat Iainnya yang ada kaitannya dengan Talari.
Angguk Rengkong pada Seni Helaran, papa pemikulnya akan berada paling depan. Di ikuti oleh rombongan Angklung dan Dogdog serta pemikul peralatan mengolah sawah., seperti Cangkul, Garu, Waluku dan barisan petani yang kadang*kadang berjingrak mengikuti alunan Angklung yang di sertai irama dan bunyi Angguk Rengkong.
Angguk Rengkong itu di beri hiasan dengan potongan bambu sebesar jari tangan yang panjangnya sekitar 50 cm, di pasang di kedua ujungnya menunjuk ke atas serta pada setiap ujung atasnya di beri hiasan Bunga asli atau Bunga dari kertas berwarna atau dari kain berwarna. Bila para pemain Rengkong berjalan atau menggerakkan pikulannya maka batang-batang bambu itu akan bergoyang serta bunga-bunganya pun ikut bergoyang menambah menariknya pemandangan. Namun kini Ranggeuyan (tangkai) pada Angguk Rengkong sudah jarang di dapat sehingga Rengkongnya di jadikan sebagai barang Iangka.
Share This Thread