==========================================
Tehillim 54: Tide of Discord Part I ~ Hellish Offensive
==========================================
“Tidak ada jalan lain. Kita ke sana dengan Mobile Fortress karena akan makan waktu lama jika terbang biasa,” saran Plasma.
“Mobile Fortress… dihidupkan lagi?” tanya Raqia, ragu.
Plasma mengangguk. “Mmm. Jadi, kumohon pindahkan dulu penduduk sekitar.”
“Baiklah jika hanya itu jalan terbaik,” responnya tegas. Dia berbalik, kemudian memerintahkan Clio dan Euterpe ikut dengannya keluar istana.
Sebuah layar holografik terbentuk di depan Plasma, menayangkan sosok Biblos. Malaikat kecil itu dan Erato sedang berada di dalam Mobile Fortress.
“Bagaimana di bawah sana?” tanya Plasma.
“Beres, kak! Mesin nomor lima sudah selesai diperbaiki, tinggal mendistribusikan energinya saja ke seluruh kapal.”
“Bagus. Kuharap setelah Raqia kembali, kita bisa langsung berangkat.”
“Mmm! Akan kulakukan yang terbaik yang kubisa!”
Transmisipun mati.
“Maaf, Da’ath. Aku terlalu bersemangat mengenai apa yang ada di bawah Shamayim, sehingga meminta meninggalkan Ohr-Nisgav begitu saja,” ujar Plasma padaku, sedikit menunduk.
Kucoba sedikit tersenyum. “Jangan terlalu merasa bersalah begitu. Ini juga… tanggung jawabku. Seandainya saja dia tidak dibiarkan lolos waktu itu…”
Sudut-sudut bibirku memang naik, tetapi jantungku berdegup jauh lebih cepat dibanding biasanya. Tak sengaja kutelan ludah sendiri. Aku… takut. Ya, takut. Keselamatan 21 juta penduduk ada di tanganku saat ini.
Sepertinya Nuachiel dapat merasakan getar ketakutanku. Dia memelukku. Erat.
Tiba-tiba Deshiel berkata, “Tidak bisa, Metatron. Selalu gagal terhubung.” Sebelumnya Plasma memintanya untuk menghubungi Uriel.
“Coba hubungi yang lain, Yang Mulia. Mungkin sudah ada yang dekat dengan Ohr-Nisgav, atau malah sudah tiba.”
Dua usaha sambungan berikutnya juga gagal. Maoriel dan Tselemiel tidak bisa dihubungi. Artinya tinggal satu Archangel lagi… Tuhan, kumohon yang ini berhasil.
Berikutnya, Kanaphiel.
“Ya?! Halo?!” jawabnya, setengah berteriak. Rambut emas sebahunya berkibar kuat, pastilah sedang terbang secepat yang dia bisa.
Ikatan yang mencengkram dadaku sedikit melonggar. Nafas lega lolos dari bibirku disertai ucapan syukur pada-Nya.
Kutanya cepat, “Kanaphiel, sudah dekat Ohr-Nisgav?”
“Aku masih jauh!”
“Lalu Maoriel? Kudengar dia pergi bersamamu.”
“Hah?! Tolong ulangi!”
Kunaikkan volume suaraku. “Maoriel! Di mana Maoriel?!”
“Oh, dia! Beberapa jam yang lalu dia bilang kalau rombongannya sudah sampai! Tapi tadi tidak bisa kuhubungi…!!”
Menyentuh dagu, Plasma bergumam, “Sebenarnya apa yang terjadi di Ohr-Nisgav…? Mungkin… Kalau begitu…” Lalu dia segera bicara pada Kanaphiel, “Halo, Yang Mulia Kanaphiel?! Bisa dengar saya?!”
“Uh-huh!”
“Jika Anda tiba lebih dulu dari kami, saya mohon carilah yang lain terlebih dahulu, lalu keluar sejauh mungkin dari kota!”
“Hah?! Kenapa menjauh?!”
“Saya menduga ada
jamming signal cukup kuat di kota yang mengganggu komunikasi sehingga Archangel lain tidak bisa dihubungi langsung! Siapapun Archangel yang anda temui, segera ajak dia menjauh, kemudian tolong hubungi kami!”
Diam sejenak, Archangel bermata jingga itu menjawab tegas,
“Baiklah! Akan kulakukan seperti katamu! Kalian juga cepatlah kemari!”
“Tentu, Yang Mulia! Sebentar lagi kami akan menyusul!”
“Jangan lama-lama! Dan semoga Tuhan menyertai kalian!” Layar holografik itupun lenyap.
“Semoga Tuhan menyertai Anda juga… Yang Mulia,” jawab Plasma pelan, pada kekosongan.
***
Semua sudah ada di ruang komando. Setelah melewati pintu otomatis keabuan bertuliskan “MAIN”, aku disambut tembok dan lantai yang terbuat dari titanium-polikarbonat putih cerah, plus berbagai panel transparan di seberang depan sana. Ukuran ruangannya cukup luas, meski kurasa masih lebih kecil dibanding ruang mesin.
Aku duduk pada kursi khusus di tengah-belakang ruangan, posisinya ditopang platform yang lebih tinggi dibanding benda lainnya di lantai ruangan. Plasma sendiri melangkah ke titik khusus beberapa langkah di depanku, berdiri di atas lingkaran bercahaya keemasan.
“Raqia, di atas sudah aman?” tanya Plasma.
“Bersih. Semua sudah kuminta keluar dari rumah masing-masing. Di atas juga sudah tidak ada orang.”
“Sandalphon, statusmu?”
“All green!” jawab malaikat yang duduk jauh di depan, menghadap banyak panel dan layar holografik. Erato duduk di sebelah kirinya.
“Yang Mulia Deshiel, bagaimana komunikasinya?”
Archangel yang duduk tak jauh di kanan Biblos itu menjawab, “Sepertinya Kanaphiel sudah tidak jauh lagi. Akan kupantau terus posisinya.”
“Bagus. Terima kasih, Yang Mulia. Lalu… nona Euterpe, fondasi istana sudah selesai disambung?”
“Hanya akan lepas jika Tuhan menghendaki,” jawab Eleutherian-class yang sedang bersandar pada tembok kiri belakangku.
“Good. Let’s start the operation.”
Tepat ketika suara Plasma lenyap, cahaya pada lingkaran di kakinya menguat. Dari situ keluarlah jalur-jalur cahaya emas ke segala arah di permukaan lantai. Ada beberapa jalur cahaya tebal menuju ke arahku, berhenti dekat kaki. Seperti halnya tanaman, cahaya ‘tumbuh’ dari titik tersebut hingga kira-kira setinggi perutku. Lalu terbentuklah panel persegi transparan, sedikit lebih luas dibanding telapak tanganku.
“Da’ath, taruh tanganmu di panel.”
Namun, belum juga telapakku menyentuh…
“Tapi sebelumnya aku ingin memberitahukan sesuatu.”
Tanganku membeku.
“Perjalanan ini hanya untuk satu kali.
One-way trip. Tidak ada Divine Energy di kapal ini, yang artinya, hanya energi cadangan yang dipakai. Itulah yang sejak beberapa hari lalu diisi oleh nona Erato.”
Gadis bermata jingga kecoklatan itu setengah menengok ke arahku.
“Dan akan habis dalam sekali berpindah… setidaknya sampai diisi lagi.
Well, mungkin cukup untuk melayang selama beberapa hari. Maaf tidak memberitahumu sejak tadi. Aku sengaja agar pikiranmu tetap fokus untuk menyelamatkan kota itu.”
Dadaku serasa terjun bebas. Secara gamblang, Plasma ingin mengatakan bahwa
kita mustahil pulang sebelum menyelamatkan Ohr-Nisgav.
Kehangatan menghampiri tanganku, menyelimutinya lembut. Sepasang biru langit mengenyahkan gugupku. Bulan sabit tipis di antara pipinya memeluk jiwaku.
“Aku di sini, Da’ath. Aku di sini. Dan Tuhan bersama kita.”
Kata-katanya segera membakar rohku.
Dengan senyum merekah, dia lanjut berkata, “Kita lakukan pukulan terakhir bersama, oke?”
Nuachiel, yang sejak tadi diam berdiri di kanan belakangku, tiba-tiba menimpali, “Aku juga di sini, Pa. Jangan khawatir!”
Kobar semangatku mengganda karena genggaman keduanya. Mengantar tanganku pada panel, dan…
Kapal ini bergetar hebat, menyebabkan Raqia dan Nuachiel memelukku erat-erat. Cahaya di bawah kaki Plasma terus menguat, menguat, menguat…
“Target coordinates confirmed. Teleportation module activated. Prepare to perform Spatiotemporal Translocation in three… two… one…”
…hingga mataku tak mampu lagi membuka.
***
Selama beberapa saat, aku merasa seperti ada jangkar mengait kelopak mata. Sampai akhirnya suara A.I. kapal ini menyadarkanku perlahan.
“Energy-matter transfer process accomplished. No anomaly detected. Teleportation success.”
“Sandalphon, coba nyalakan sensor optik kapal,” pinta Plasma.
Pandanganku masih buram ketika seperempat lengkung dinding ruangan di depanku berubah. Berubah menjadi…
…layar?
“Ya Tuhan… apa yang terjadi di sini?!” seru Biblos, terkejut.
Aku juga sama kagetnya.
Layar itu menampilkan pemandangan kota. Jelas Ohr-Nisgav. Belum lama kutinggalkan kota ini, sehingga deretan rumah kotak-kotak berwarna tanah kering masih jelas kuingat. Rumah, rumah, rumah, hingga… jauh di depan, kulihat asap. Tidak, tidak. Lebih tepatnya langit jauh di depan tak lagi biru karena tertutup asap. Di udara juga banyak makhluk beterbangan. Ada sebagian yang bersayap putih sepasang, sementara yang agak jauh di sana tidak begitu jelas.
“Biblos, bisa tolong diperbesar? Aku ingin tahu apa yang ada di depan sana.”
Perintahku dijalankan. Bukannya berubah tenang, kali ini aku malah melonjak dari kursi. Memang ada beberapa makhluk bersayap putih, namun jumlah mereka tidak sebanding dengan makhluk-makhluk aneh lainnya. Akatharton. Bukan hanya langit, daratanpun dipenuhi oleh mereka. Aku juga menemui satu spesies Akatharton baru, berbentuk kura-kura raksasa bertempurung duri dengan dua tabung besar serupa laras meriam mencuat di punggung. Kakinya begitu besar, cocok untuk menggilas rumah. Kulitnya seperti bebatuan gunung berapi, terbakar lahar. Entah ada berapa banyak jumlahnya.
Mengetahui keberadaan Mobile Fortress, spontan semua berhenti saling menghantam dan menatap ke arah kapal.
“Plasma---“
“Aku tahu, Da’ath. Aku tahu.”
Bagus, dia mengerti. Maka kuaktifkan mode Heavenly Saint, diikuti Raqia dengan Angel Knight-nya.
“Tapi tunggu sebentar. Nona Clio, nona Euterpe, saya mohon Anda berdua keluarlah lebih dulu. Keluar dari ruangan ini, lalu masuklah ke pintu pertama yang Anda berdua temui pada dinding kanan. Di sana ada salah satu
device teleportasi untuk para awak. Berdirilah pada
platform biru, nanti Sandalphon akan memindahkan Anda berdua ke luar. Setelah itu menyebarlah ke arah yang berbeda. Saya yakin Anda berdua bisa membantu meningkatkan moral tentara Ohr-Nisgav di titik manapun.”
“Plasma! Keadaan genting begini kita harus cepat---“
“Dan membiarkan Raqia melemah karena Akatharton lalu dimangsa hidup-hidup oleh Mephistopheles? Setidaknya harus ada yang keluar lebih dahulu untuk memancingnya keluar.”
Aku tidak bisa menjawab yang satu itu. Keduanya mengangguk mantap, kemudian keluar menuju ruang yang dimaksud.
Berselang tiga menit setelah keduanya tampak di layar, Plasma berkata, “Sepertinya… iblis itu tidak berada dekat sini. Baiklah. Raqia, Yang Mulia Nuachiel, berpeganglah pada Da’ath. Akan kukeluarkan kalian dengan Warp Drive.”
Entah apa yang terjadi, Warp Drive
tidak mau menyala. Dinyalakan lagi, nihil. Tiga kali, sama saja. Aku tidak berpindah.
Nuachiel mengerutkan dahi. Tiga detik kemudian, dia berseru, “Ya sudah, aku lewat ruang teleportasi saja!”
“Baiklah, hati-hati, Yang Mulia,” Nuachiel pun berlari keluar, “Da’ath, akan kucoba lagi.”
Aneh, Warp Drive langsung berhasil. Namun yang lebih mengherankan adalah…
…Plasma tidak panik sama sekali mengetahui fiturnya macet.
***
Seketika kami berada di luar, tidak begitu dekat dengan bentangan Akatharton di depan sana. Mungkin masih ada selang 2 kilometer.
“Sepertinya mereka kesulitan…” gumamku, “Baiklah, kita bersihkan sektor ini dengan cepat, lalu kita cari para Archangel lain. Plasma, tolong lacak keberadaan mereka.”
“Roger.”
“Dan… Raqia, aku mohon jangan maju sendirian. Kita serang saja dari sini.”
Tidak ada penolakan dari Raqia.
Para Angel-class yang sebelumnya kepayahan itupun berubah cerah melihat keberadaanku dan Raqia. Maka kuperintahkan formasi Angel-class yang di depanku untuk mundur karena aku akan menembak habis semua yang ada di depan.
Baru saja mereka bergerak, sebuah bola membara seukuran Sonic Glider melesat ke arahku. Otomatis kugerakkan Hypermassive Defenser untuk menahannya. Meledak hebat, lalu lenyap.
“Sial, dari mana---“
Satu lagi. Ternyata asalnya dari Akatharton kura-kura tersebut.
“Ternyata tipe
long range artillery…” gumam Plasma. “Da’ath, habisi yang besar-besar itu lebih dulu.”
“Raqia, siap?”
“Tidak perlu bertanya lagi, kan?” jawabnya, disusul seringai tajam. Tampaknya sepasang biru langit siap bergemuruh untuk meremukkan musuh.
Melihat semangatnya, energiku makin meluap.
“Baiklah… F.A.I.T.H. System,
activate!”
Segera kutekan tombol Yes setelah menu konfirmasi muncul. Hypermassive Defenser berubah menjadi Hypermassive Orbital Defenser, kemudian mengganda menjadi beberapa puluh. Energy Blade juga berubah seperti ketika di gurun itu. Bola cahaya putih terkonsentrasi di ujung masing-masing
turret dan Energy-Blade-modifikasi. Sebelumnya, aku dan Plasma sepakat untuk menamainya Energy Buster.
“Aku yang kiri, kamu yang kanan. Oke?!”
Raqia mengangguk mantap. Tiga. Dua. Satu…
“SEKARANG!!!!”
Raqia melancarkan Spatial Breaker versi jarak jauhnya: Long-Range Shockwave. Aku menembakkan semua persenjataan. Kombinasi amukan udara dan gelora cahaya menerjang buas.
*BLAAARRRRRR*
Dua lenyap. Memang masih banyak di kejauhan, namun aku jadi tahu kalau mereka tidaklah sekeras kelihatannya. Dengan begini, Raqia tak perlu mendekati daerah yang tidak aman.
Para Angel-class yang tadi kuperintahkan mundur pun bersorak.
Maka kuangkat tangan kananku tinggi-tinggi.
Aku memekik, “SERAAAAAAAAAAAAAANG…!!!!”
Aku dan Raqia mendukung dengan serangan jarak jauh kami masing-masing. Dan di saat seperti inilah armada perisai terbangku menjadi begitu berguna. Tiap-tiapnya mampu menangani dengan cepat seekor Akatharton baik di darat maupun udara. Hanya dalam waktu singkat, area dalam radius 2 kilometer pun bersih dari makhluk-makhluk najis itu. Segera kuperintahkan para Angel-class yang masih ada untuk menyelamatkan penduduk yang masih ada di lokasi, kemudian membawanya jauh dari area pertempuran.
Plasma berkata, “Tidak bisa, Da’ath.
This jamming signal… is the worst. Bahkan sanggup mengintervensi radar Divine Energy milikku. Satu-satunya sinyal yang bisa kukirim hanyalah sinyal komunikasi radio biasa untuk menghubungi Mobile Fortress.”
“Lalu bagaimana kita bisa mencari yang lain?!”
“Tidak ada alternatif lain. Gunakan mata. Kita naik beberapa belas meter lagi agar pemandangan lebih jelas.”
“Kota seluas ini? Hanya dengan mata?! Bagaimana mungkin---“
Tiba-tiba Raqia menarik tanganku. “Da’ath, coba lihat ke sana.”
Jarinya menunjuk ke arah pantai, kira-kira arah timur laut. Dari sini terlihat kecil, tapi…
Uh? Ada yang bergerak? Air laut tinggi menyapu pantai, masuk agak jauh ke daratan. Ombak biasakah? Atau…
…!!!!
Saling menatap, aku dan Raqia berseru bersamaan, “Vecondrius!!!!”
“Plasma, Warp Drive ke sana!!”
“Okay, buddy!"
Kugenggam tangan Raqia. Sekejap, tubuhku sudah melayang tak jauh dari lokasi. Tepat ketika diriku tiba, satu gulungan ombak setinggi 2 kali tinggi rumah biasa berdiri beberapa puluh meter di depanku. Keganasannya menghanyutkan puluhan Akatharton sekaligus.
“Da’ath!! Yang Mulia Raqia!!”
Seseorang menghampiri. Bermata dan berambut biru lembut, bersayap putih sepasang. Kalliope.
“Oh… terpujilah Tuhan… a-akhirnya…”
Bicaranya patah-patah. Terengah. Setengah berlutut di tanah. Lelah.
Raqia bertanya, “Kalliope, sebenarnya apa yang terjadi di sini?”
“Saya juga… ti-tidak mengerti, Yang Mulia.” Mengambil nafas beberapa kali, kemudian dilanjutkannya, “Tiba-tiba saja mereka menyerbu dari utara kota, dan h-hanya dalam beberapa jam… sampai tengah k-kota.”
“Yang lain?”
“S-Saya tidak tahu. Yang jelas Thalia dan Mel sedang me-membawa orang-orang menjauh ke… selatan---“
“Kalliope...!!”
Seseorang memanggil. Suara ini…
Benar saja, itu Thalia. Di belakangnya, Mel terbang mengikuti.
“Kalian? Bukankah sudah kukatakan untuk mundur?!”
“Bagaimana bisa kami tega meninggalkanmu di sini?!” jawab Thalia. “Enam jam sudah kamu menghadang makhluk-makhluk hitam itu sendirian! Aku tahu ini sudah batasmu!”
“Hah?! Enam jam?! Sendirian?!” seru Raqia, kaget.
Tapi segala persiapan tidak sampai empat jam. Apalagi Mobile Fortress berpindah secara instan, waktu perjalanan dapat diabaikan. Artinya… Astaga.
Jamming signal yang dimaksud Plasma ternyata sudah menunda pesan Uriel selama kira-kira 2 jam!
“Kalian berdua, tolong bawa Kalliope ke kapal itu,” perintah Raqia, menunjuk Mobile Fortress di kejauhan.
“T-Tapi, Yang Mulia---“
“Jangan protes, Kalliope. Aku yakin mantan atasanmu di dalam sana juga akan memerintahkan hal yang sama.”
Dahi Kalliope mengrenyit. “Di sana… ada Yang Mulia Deshiel…?”
“Sudah, cepatlah! Masih banyak yang harus ditangani!”
Tak ada lagi yang mampu manahan Thalia dan Mel untuk membawa Kalliope pergi. Ketiganya pun menjauh.
Untuk sementara, area sekitarku kosong. Tidak ada siapapun baik kawan maupun lawan.
“Plasma, ada ide bagus untuk menemukan yang lain?”
Mendengung sesaat, Plasma menjawab, “Ah… aku tahu. Istana!”
“Benar juga. Jika ada acara resmi… sudah pasti semuanya akan berkumpul di istana. Mudah-mudahan tidak ada yang nekat pergi jauh ke garis depan. Baiklah, Warp Drive ke sana.”
“Oke, akan kuhitung dulu jaraknya. Aku punya peta Ohr-Nisgav, diberikan Photonica.”
Tak sampai 5 detik, persiapan selesai. Kembali kuraih tangan Raqia, dan…
Seketika, kami sudah ada beberapa meter di atas istana---
*BLAAAARRRRR*
Bagian atap lenyap seketika karena tembakan. Satu lagi menyusul, namun meleset ke halaman samping. Keduanya berasal dari kura-kura raksasa agak jauh di utara istana.
Segera kuarahkan Energy Buster ke arahnya. Tiga detik
loading, energi cahaya putih berkekuatan tinggi menghantam Akatharton kura-kura itu. Telak. Ledakan menyertai lenyapnya makhluk tersebut. Semua mata pun mengarah kemari. Kemudian kuarahkan armada perisaiku menembaki segala sisa Aktharton yang terlalu dekat ke istana.
Gemuruh sorak-sorai dilepaskan ke udara. Semua Angel-class langsung maju menerjang gelombang musuh berikutnya yang mengarah ke istana.
Seseorang menyambut kedatanganku. Si botak Argos. Tidak sendirian, Polyhymnia menyertai.
“Heh bocah! Kenapa kau lama sekali?!” bentak Argos.
Polyhymnia menyelak, “Tidak sopan. Dia itu Crusader-Saint!”
“Terserah apa katamu, Nona Rambut Kompor! Yang jelas aku berharap kedatangannya sejak tadi!”
“Kalian berdua tenanglah! Sekarang kita turun, lalu jelaskan kondisi kota ini!”
***
Salah satu ruang tamu istana dipilih menjadi tempat diskusi. Alasannya sederhana, karena langit-langitnya masih utuh. Kumatikan mode Heavenly Saint.
“Da’ath…?” tanya Terpsichore lesu. Lelah bertarung, atau keceriaannya terhapus pertempuran. “Ah, syukurlah. Ternyata benar, cahaya tidak wajar tadi berasal dari senjatamu.” Dilepaskannya nafas panjang.
Tanganku yang menjawab, menepuk pundaknya dua kali.
Raqia angkat bicara, “Baiklah… Urania, bagaimana kondisi sejauh ini?”
Urania menjawab, “Buruk. Banyak yang mati…” Didekapnya boneka kelincinya erat-erat.
Terpsichore menambahkan, “Begitulah, Yang Mulia. Serangannya begitu mendadak dan tersebar luas. Musuh yang datang juga terlalu banyak… saya sendiri tidak bisa mengira-ngira berapa banyak korban yang jatuh.”
“Huh… di saat ingin berdamai, malah terjadi hal seperti ini… Menyebalkan,” keluh Argos.
“Aku juga sama kesalnya denganmu. Dia… berani-beraninya… argh…”
Kutinju meja keras-keras.
“Da’ath, tenangkan dirimu sejenak. Kita semua sama marahnya,” ujar Plasma sambil menaruh tangan di bahuku, “Oke, sekarang saya ingin bertanya mengenai Archangel yang lainnya. Ada yang tahu keberadaan mereka? Masalahnya tidak ada satupun yang berada di istana ini.”
“Semuanya maju ke garis depan beberapa jam yang lalu. Yang Mulia Tselemiel dan Yang Mulia Maoriel ke arah barat laut, sementara Yang Mulia Uriel ke timur laut bersama…” Lidah Polyhymnia membeku sesaat, wajahnya berpaling. “…gadis bermata merah itu.”
Terpsichore mengelus pelan bahu Polyhymnia.
“Terpisah jauh seperti itu…” gumam Plasma, memandang langit-langit, “Ternyata segalanya menjadi jauh lebih rumit dengan radar Divine Energy yang tidak bisa digunakan. Tapi baiklah, saya punya---”
Tiba-tiba seseorang masuk. “Da’ath!!!!”
Otot-ototku lemas seketika melihat rambut coklat dikuncir dan mata biru sosok itu.
“Kak Reshita?! Kenapa masih ada di sini?!” tanyaku, setengah berteriak.
Raqia sudah memberitahu kalau kakek Arya ---yang ternyata adalah pimpinan Varuna--- ternyata pergi ke Ohr-Nisgav bersama kakak, Chloros, dan rombongan Maoriel. Tetapi… aku tidak habis pikir kenapa kakak masih ada di sini, di tengah kondisi seperti ini.
Kak Reshita menghampiriku, memelukku erat-erat, menangis. Tak lama, sosok Chloros muncul di ambang pintu.
“Heh Chloros!” bentakku, “Kenapa kamu tidak membawa kakakku pergi jauh dari sini?!”
“Aku sudah berusaha, Da’ath. Tapi dia tidak mau pergi sebelum kakek kembali.”
“Kakek…? Memangnya di mana Tuan Arya sekarang?!”
Tidak ada yang bisa menjawab.
“Argos, apa kamu tidak lihat ke mana perginya?” tanya Raqia.
“Maaf sekali, Yang Mulia. Di tengah pertempuran sengit begini, saya tidak mungkin memperhatikan satu orang saja. Yang jelas, kami sempat pergi sesaat untuk menghabisi yang di sebelah utara. Tapi itu beberapa jam lalu di awal serangan. Setelah itu, saya tidak tahu lagi.”
Isi kepalaku mendadak kalut. Keselamatan kakakku tentu harus diprioritaskan, tetapi aku juga harus mencari Tuan Arya. Belum lagi Tenebria dan para Archangel lainnya yang, mungkin, saat ini beradu tinju dengan Akatharton dan rentan terhadap serangan Raziel. Lalu penduduk kota ini…
“Semuanya, tolong dengarkan saya. Saya harap strategi saya ini bisa diikuti oleh semua,” ujar Plasma.
Kubiarkan Plasma melanjutkan. Otakku tidak bisa berpikir jernih dalam situasi seperti ini.
“Tuan Chloros, saya minta Anda bawa Nyonya Reshita menjauh. Jika Anda terus terbang ke arah selatan, Anda akan menemui logam besar mengambang di udara. Itu adalah kapal yang kami pakai untuk pergi ke kota ini. Anda berdua berlindunglah di sana.”
“Tapi, kakek---“
Chloros memotong, “Sayangku, maaf. Kali ini aku harus menurut apa kata Plasma.”
“Tenanglah, Nyonya. Saya akan menemukan Tuan Arya dan pastilah dia ingin menemukan Anda dalam kondisi baik-baik saja. Jadi, saya mohon pergilah bersama Tuan Chloros.”
“Kak, kumohon. Kali ini pergilah. Aku tidak ingin kakak celaka,” tambahku.
Meraih tangan Reshita, Raqia berkata, “Jika Tuhan menginginkannya hidup, yakinlah, pasti kakek Arya akan kembali dengan selamat.”
Kakak menatap kami berdua bergantian. “Da’ath… Raqia…” Diusapnya air mata. “B-Baiklah. Tapi sekali lagi kumohon… bawa kakek pulang…”
Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata janji. Hanya kuanggukkan kepalaku satu kali. Chlorospun membawanya keluar ruangan.
“Baiklah, rencana selanjutnya,” lanjut Plasma, “Tuan Argos, saya minta Anda kendalikan pasukan di sekitar istana. Jika kondisi sudah dirasa tidak memungkinkan, mundurlah hingga ke kapal yang tadi saya sebutkan. Dengan pengalaman Anda sebagai bajak laut, saya yakin Anda tahu kapan waktu yang tepat untuk lari.”
“Siap, manusia kaleng!” jawab Argos mantap.
“Tidak bisa!” sahut Polyhymnia, berteriak, “Istana ini harus dilindungi mati-matian! Ini sudah merupakan perintah dari Yang Mulia Uriel!”
“Nona, manakah yang lebih penting? Bangunan atau nyawa? Tempat ini bisa dibangun lagi, tetapi tidak dengan nyawa seseorang jika Elohim Yang Mahatinggi tidak berkehendak membangkitkannya. Lagipula kehilangan lebih banyak orang hanya akan melemahkan pihak kita.”
Tak ada kata-kata. Hanya kertak gigi dan kepalan erat tangannya pada Field Energizer.
“Sementara Anda, Nona Terpsichore, dan Nona Urania ikutlah dengan saya untuk mencari Archangel lainnya.”
***
Selagi menyisir angkasa, entah sudah berapa Akatharton ---mungkin ribuan--- yang kami habisi. Strategi Plasma mengajak tiga anggota Indagator ini terbukti sangat membantu, khususnya bagi Raqia. Kemampuan ketiganya yang mampu melancarkan serangan dalam area yang luas memungkinkan Raqia untuk menyerang lebih bebas, entah dengan Spatial Breaker ataupun Chereb HaMemad berukuran raksasa, tanpa resiko didekati Akatharton. Tidak hanya itu, beberapa regu pasukan Ohr-Nisgav yang sebelumnya terjebak dalam kepungan pun berhasil diselamatkan, setidaknya yang berada dalam jalur yang kami lalui. Maka kuperintahkan mereka semua mundur.
Namun pertempuran melelahkan ini… ternyata baru berlangsung sejauh 33 kilometer. Makin jauh ke utara, konsentrasi musuh semakin padat. Plasma pun menyarankan agar kami berhenti berkonsentrasi membersihkan area peperangan untuk kembali fokus dalam pencarian. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu selain Akathaton.
Sepasukan Elilim-class. Semuanya bersayap merah.
Tapi kalau kuperhatikan…
Akupun berkomentar, “Plasma, ada yang aneh dengan mereka…”
Keseluruhan bola mata mereka menyala bagai permata darah. Tidak ada yang hitam, tidak ada yang putih.
“Da’ath, coba perhatikan agak ke bawah.”
Cincin tebal berwarna hitam melingkari leher para Elilim-class itu. Ternyata mereka dikendalikan seperti---
Dan sosok yang terlintas dalam bayanganku benar-benar muncul dari tengah-tengah mereka.
Atra.
Dirinya masih sama seperti saat bertemu di Asgard. Mata kosong. Lidah bisu. Boneka hidup.
Atra tidak sendiri. Masih ada satu sosok lagi. Otomatis kugertakan gigi.
“Raziel…” kataku geram, ketika orang itu muncul dari tengah-tengah Elilim-class.
“Hohoho! Crusader-Saint rupanya,” jawab Raziel riang, “Bagaimana menurutmu kota ini sekarang? Apakah menjadi makin menarik?”
Brengsek. Membuatku mual saja.
“Apa mungkin perlu kutambah---“
“Berani menyerang lagi, akan kucincang tubuhmu.”
“Ha… Haha… HAHAHAHAHA!!!! Besar mulut! Tidak bisa berbuat apa-apa, masih saja meracau. Sudah enam juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus dua belas jasad yang hangus karena keterlambatanmu, wahai pemimpin besar! Apakah hanya ini kemampuan seorang Crusader-Saint?”
“Hampir tujuh juta orang?!” seru Plasma terkejut.
Bilangan sebesar itu mencekik sel-sel saraf di kepalaku. Pelipisku berdenyut. Keringatku mengucur, meneteskan peluh yang berbeda. Bukan karena kelelahan, namun rasa bersalah. Tatapanku seketika kosong. Tubuhku mati rasa.
Ah… bagaimana ini… Sudah hampir sepertiga penduduk kota---
*BLAAAAARRRR*
Ledakan. Suaranya mengembalikan sedikit konsentrasi panca indraku. Aku mencari sumber suara, ternyata sedikit miring ke atas.
“Raqia…?”
Suaraku begitu parau. Lemah. Termakan kekacauan perang.
“Oi, Da’ath! Da’ath!”
“Plas… ma?”
“
Hey buddy! Sadarlah!!!!”
Tiba-tiba saja tangan kiriku meninju pipi sendiri.
“Sampai kapan ingin diam saja?! Majulah dan bantu Raqia!”
“Eh? Raqia? Memangnya ada a---“
Rentetan bunyi ledakan sukses total mengantarku ke alam sadar. Polyhymnia, Terpsichore, dan Urania berada berjauh-jauhan, menghadapi pasukan Elilim-class. Sementara Raqia sendiri menghadapi…
…Raziel dan Atra sekaligus?!
“Kenapa tidak bilang dari tadi?! Bukannya kamu bisa menggerakkan tubuhku?!”
“Tidak jika gelombang otakmu kacau! Sekarang cepatlah!”
Warp Drive sekejap membawaku ke depan Raziel. Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk mengayunkan Energy Buster. Menebas.
Tetapi kesigapannya tak bisa dianggap remeh. Dia menahan bilah Energy Buster dengan kepalan tangan kiri. Kudorong tubuhku mundur sambil mengarahkan ujung senjata ke arahnya. Tembakan cepat cahaya putih pun melesat.
Argh, dia menghindar!
Menyeringai, dia terbang menjauh. Segera kukejar dirinya sembari menembak brutal. Tidak ada yang berhasil membuat satupun goresan pada pakaiannya. Semua berhasil ditahan oleh lingkaran-lingkaran hitam yang terbentuk di sekitar tubuhnya.
Tidak bisa. Harus ada serangan telak yang tidak bisa dia duga.
…ah!
Kuminta Plasma menggerakkan beberapa perisai untuk menembaki Raziel tanpa henti. Aku sendiri terus mengejar sambil terus menembak dengan Energy Buster. Namun aku tidak hanya fokus menembak. Mataku juga sesekali memperhatikan kondisi sekitar, menunggu saat yang tepat untuk menjalankan rencana.
Begitu posisi Raziel berada di antara diriku dan matahari, segera kuaktifkan Warp Drive. Berpindah hanya kurang dari 1 meter dari Raziel, mengambil posisi antara dirinya dan benda langit itu.
Tapi… gagal.
Kupikir dia tidak akan siap karena matahari akan mengganggu penglihatannya, meski hanya sesaat. Namun aku salah. Dia kembali menahan Energy Buster, mencengkramnya dengan tangan kiri.
Dia benar-benar kuat. Aku merasa tubuhku bergeser. Mungkin aku akan dilempar---
Atau tidak.
Sesuatu bersinar beberapa meter di arah kiri, dari salah satu Hypermassive Orbital Defenser. Cahayanya biru. Jelas Plasma yang menggerakkannya ke situ.
Huh? Biru?
Tersenyum sinis, dia mengangkat dan mengepalkan tangan kanan. Terciptalah miasma hitam di sekitarnya. Ingin menangkis laser itu rupanya.
Berkas cahaya biru itupun melesat ke arah pria brengsek di depan. Tetapi…
“…gghhhh!!” dia menelan jerit.
Sarung tangan logam yang dikenakan Raziel berlubang karena tembakan, melukai tangan.
Eh? Dia… terluka?
Seketika sayapnya mengepak, memberinya momentum untuk mundur beberapa meter. Aku, yang masih sedikit bingung, tak langsung menyerang.
Jelas saja aku bingung. Kukira Raziel akan
membagi berkas laser itu sehingga tidak berefek apapun padanya.
“A-Apa yang kau lakukan, malaikat tengik?!” serunya sambil menahan sakit.
“Tanganmu hanya terkena luka bakar sedikit. Sudah ingin menangis?”
Pertama kalinya aku mendengar Plasma balas meledek. Menusuk pula.
“Hanya orang bodoh yang tidak tahu cara mengatasi musuh yang sudah ditemuinya dua kali.”
Dengan kata lain, Plasma memodifikasi laser dari perisai. Laser itu
bukan cahaya biasa.
Tidak boleh kulewatkan kesempatan ini. Satu-satunya momen Raziel tidak fokus. Baiklah, Warp---
Huh?
Tidak bisa?
Tunggu. Ini artinya…
“Kiri bawah!” seru Plasma.
Si putri sulung. Lengkap dengan tangan kanan dalam bentuk Ereshkigal Blade, ujungnya bersinar hitam. Terpaksa aku harus terbang manual---
Kali ini rantai. Senjata sang putri bungsu mengunci kaki dan tanganku. Dia berdiri di permukaan tanah, kiri bawah. Lantas di mana Raqia?!
“Charon’s Drive: Hades’ Judgement!!!!”
Inferna melesat. Satu perisai siap menghalangi, terus menembaki. Namun Inferna tidak menghiraukan meski dua kali terkena tembakan. Ujung Ereshkigal Blade pun berbenturan keras dengan perisai.
O-Ow… Raziel sudah mengambil ancang-ancang ingin menyerang. Tangan kanannya memancarkan aura hitam.
Aku terkunci. Tak mungkin pula detik ini aku menyusun rencana bersama Plasma, karena Raziel sudah melesat---
Hei... Rantai yang melilitku terlepas?
Segera kuayunkan Energy Blade untuk menahan kepalan Raziel. Seberkas laser biru melesat mengenai bahu kanannya. Diapun mundur sedikit. Kurang dari sedetik, sekitarku tak lagi teriluminasi sinar hitam. Warp Drive, kuambil posisi agak jauh di sebelah kanan Inferna. Energy Buster menembak cepat, telak mengenai lengan kanan.
Kuperhatikan sejenak ke permukaan ---yang dulunya--- jalan. Atra setengah berlutut, bertumpu pada gagang sabit. Aku tahu hanya satu hal yang mungkin terjadi. Warp Drive, sekarang aku berada di sebelah kirinya.
Pandangan kosong. Nafas berat. Keringat deras. Batuk hebat. Darah terus mengucur dari kedua sisi mulut. Tidak salah lagi…
“Sudah batasnya. Sedikit lagi dipaksa, tubuhnya bisa hancur,” ujar Plasma.
Geram, aku berteriak ke langit, “Matikan kalungnya, Raziel!! Atra bisa tamat!!!!”
“Apa hakmu mencampuri urusan keluarga orang lain, wahai Crusader-Saint yang Agung?! Sampai kiamatpun tidak akan kumatikan alat itu!!” jawabnya berteriak.
“Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan iblis, Da’ath,” komentar Plasma.
“T-Tapi---“
Suaraku tertelan. Sebuah dentuman keras. Raqia. Melesat entah dari mana ---tidak kuperhatikan---, dia melancarkan Spatial Breaker dan berhasil memaksa Inferna mencium permukaan tanah.
Sebentar. Raziel tidak membalas?
Hei… dia terus memegangi luka di bahu kanannya!
“Da’ath!” seru Plasma.
“Bereeeeesss….!!!!”
Aku langsung menerjang Raziel yang tak siap. Kuharap tebasan ini akan menjadi yang terakhir, sekali untuk selamanya.
“HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!!”
Lingkaran hitam bertuliskan huruf-huruf aneh berdiameter 2 meter terbentuk di depannya, menahan seranganku. Namun itu tak berlangsung lama. Lingkaran itu retak bagai kaca. Pola retakan terus menyebar. Terus kukerahkan tenaga.
“Game…!!!!!!”
*KRRRRRRRRRKKKKK*
“OVEEEEEEEEEEERRRRRRRR…!!!!!!!!!”
Pecah. Pelindung itu hancur. Tak ada lagi yang menghalangi Energy Buster dan tubuh Raziel.
“AAAAGGGGGHHHH!!!”
Telak.
Bilah Energy Buster menembus, dari perut hingga punggung. Tak ada darah segar. Cairan hitam. Jujur saja, lebih jijik melihat warna darah yang demikian.
Meski awalnya tangan Raziel menggenggam erat Energy Buster ---berusaha mencabutnya---, namun usaha itu sia-sia. Hingga akhirnya hanya terjuntai lemas. Kutarik senjataku. Raziel pun terjun bebas. Tubuhnya menumbuk tanah, menciptakan kawah kecil. Aku segera mendarat tak jauh darinya.
“Cukup, Mephistopheles. Keluarlah. Jangan lagi menggunakan tubuh orang yang sudah seharusnya tenang di surga,” ujar Plasma.
Perkataannya sontak menampar dadaku.
“Tunggu. Maksudmu…”
“Raziel yang asli sudah mati lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Da’ath. Data dan potongan ingatanku sangat relevan untuk membuktikannya. Maaf aku belum menceritakannya padamu---“
“Ada apa?”
“Sebelah kiri!”
Inferna. Entah sejak kapan dia ada di situ. Yang jelas dia sedang berlari ke arahku.
“Tutup mulut busukmu itu!!!!” serunya.
Sambil berlari, dia terus menembakiku dengan Phlegethon Bombard. Jelas tak ada efeknya pada Sacred Armor. Kepalaku juga tertutup sempurna. Apalagi dengan cara berlarinya yang sudah lemas itu…
Hingga pada jarak kurang dari 2 meter, tangan kirinya berubah menjadi Ereshkigal Blade.
Ayunan senjatanya lemah. Bahkan tak perlu tenaga berlebih bagiku untuk menangkapnya dengan tangan kiri..
Dia berteriak, “Jangan pernah… JANGAN PERNAH KATAKAN KALAU PAPA SUDAH MATI!!!!”
Kerutan-kerutan terpahat di wajahnya. Kertak gigi ikut melengkapi. Dan jika bukan karena sesuatu yang menemani mutiara darah itu, mungkin aku sudah menembaknya sekarang.
Kristal-kristal bening mendesak keluar, menggenangi pelupuk mata. Membasahi pipi, membasahi tanah.
Share This Thread