==========================================
Tehillim 11: Family Reunion Part II ~ Nostalgic Truth
==========================================
Pria bernama Chloros itu segera mencabut goloknya. Suara saat goloknya dikeluarkan dari sarungnya sempat mengalihkan perhatianku.
“Kurang ajar!! Beraninya---“
Untunglah Raqia segera mengaktifkan mode Angel Knight nya, lalu dengan cepat memposisikan sisi tajam dari pedang besarnya tepat di pergelangan tangan Chloros.
“Lukai Da’ath sedikit saja, tanganmu akan hilang dari tempatnya.”
Pancaran mata Raqia terlihat begitu menusuk, sama tajam dan berkilauannya seperti pedang besar itu.
“Sudah…tenang, tenang.”, tuan Arya memotong. “Kita bicarakan baik-baik. Jangan sampai membuat keributan.”
Inilah salah satu kekuatan seorang yang sudah lanjut usia. Meski nyaris terjadi adu pedang, kakek yang satu ini tetap bersikap tenang. Berkat hal itu, aku bisa menceritakan semuanya secara terbuka, sambil duduk-duduk di pelataran bambu dengan pemandangan lahan yang telah ditanami padi. Tuan Arya sendiri beranjak ke dapur.
Chloros yang duduk bersila bersebrangan denganku mengangguk-angguk beberapa kali. “Oh, begitu rupanya. Aku memang tidak pernah mendengar kalau istriku punya seorang adik laki-laki karena seingatku, dia pernah menceritakan hal yang sama denganmu. Semua anggota keluarganya telah tewas. Jadi…aku mohon maaf, Da’ath.”, komentarnya setelah mendengar penjelasanku.
Eh?
“Istri…?”
Seakan ada tanda tanya di kepalaku. Sebelumnya aku belum pernah mendengar hal yang demikian.
“Ingat, Da’ath. Yang dilarang untuk menikah hanyalah Archangel. Tidak ada larangan bagi yang lainnya.”, sahut Raqia yang duduk di sebelah kananku.
Ternyata berat juga ya menjadi seorang Archangel…ups.
“Yah, awalnya kami memang bertemu secara tidak sengaja di luar perbatasan Batavia. Tapi kemudian terjadi ini, itu, dan seterusnya, maka…”
Kakakku, yang duduk di sebelah kiri Chloros, menepuk pelan bahu kiri suaminya itu. “Sudah ah, jangan diteruskan. Malu.”
“Tunggu…apa yang sudah kalian lakukan?”, pertanyaan Raqia terdengar sedikit kesal.
Tanpa menjawab apapun, kakakku dan Chloros langsung membuang muka satu sama lain lengkap dengan wajah yang sedikit berubah merah.
Raqiapun menepuk dahinya. “Sudah kuduga…memang tidak baik membiarkan seorang pria dan wanita berdua saja.”
“K-Kalian sendiri bagaimana, hah?!”, tanya Chloros, membalas argumen Raqia tadi. Bedanya, terdengar masih malu-malu.
Sambil melipat kedua tangan di depan dada, Raqia menjawab dengan bangga. “Ha!! Dia? Sedikit saja melakukan yang aneh-aneh, dia akan kulempar sekuat-kuatnya. Aku punya kontrol penuh atas dirinya.”
“Tapi ingat. Secara tingkatan aku tetap berada di atasmu, wahai Archangel Yang Mulia.”, ledekku.
Pipi Raqia memang berubah sedikit merah dan menggembung, sementara raut wajahnya menunjukkan kekesalan. Tapi…lain dengan Chloros dan kakakku.
“Maksud…mu?”, Chloros keheranan.
“Sebagai mantan pasukan pengamanan Pardes, seharusnya kamu sudah tahu mengenai legenda Crusader-Saint. Dan…”, Raqia menepuk bahu kananku. “Dia orangnya.”
“Sudah kakak duga sejak dulu. Kamu memang seseorang yang unik, Da’ath.”, ujar kakakku.
Chloros memandang sejenak pada kakak lalu berseru ke arahku, “J-Jadi, kamu?!”
“Sudah, tidak perlu dilebih-lebihkan. Aku masih payah kok…”, sambil kugaruk-garuk kepalaku.
“Ya, kamu memang masih payah.”, giliran Raqia meledekku.
“Maksudmu apa haaaahh…?!”, kucubit kedua pipinya. Entah, aku merasa senang saat mencubit pipinya yang mulus, bulat, dan menggemaskan itu.
“Aaaahh!! Kenapa pipiku terus yang jadi korbaaaaann…?!”, tangannya berusaha melepaskan capitan saktiku.
Kak Reshita tertawa kecil melihat kami berdua.
“Kalian ini…seperti anak kecil saja. Kamu juga, Da’ath. Sebagai laki-laki seharusnya tidak boleh bersikap begitu.”
“Tapi kamu boleh juga, Da’ath. Tidak tanggung-tanggung, kamu langsung memasang target seorang Archangel…hahaha!!”, Chloros tertawa keras-keras.
Kata-kata itu seakan tepat menembus dadaku. Kepalaku hanya tertunduk, kemudian melirik ke arah Raqia sesaat. Yang mengejutkanku, ternyata responnya sama dengan yang kulakukan, bahkan ikut melirik ke arahku.
“Aku tahu kamu suka padanya. Sayang sekali dia seorang Archangel, eh?”, bisik Chloros sambil menjepit leherku dengan bagian dalam lengannya, lalu tersenyum menunjukkan gigi. Ugh nafasku…
“C-Cukup, nafasku sudah…”
“Ya, selamat berjuang kalau begitu.”, Chloros menepuk-nepuk punggungku.
“Tadi kudengar kalau kamu adalah mantan pasukan pengamanan Pardes?”
“Benar, Da’ath. Tapi sejak lima ratus tahun yang lalu, sudah tidak lagi.”, dia menunjukkan punggung tangan kanannya. “Aku Eleutherian-class sekarang.”
“Eh…? Ada yang salah dengan tanganmu?”
“Angel-class selalu punya kristal pengenal di punggung tangan kanannya. Untuk Pardes, semua Angel-class dipasangi zamrud sebesar ujung jempol di sini. Setiap kota punya batu mulianya sendiri-sendiri.”, dia menunjuk punggung tangan kanannya itu.
Sejauh ini aku belum pernah melihat satupun Angel-class dengan sarung tangan yang dilepas, jadi aku tidak pernah tahu hal itu. Oke, setidaknya sekarang aku tahu perbedaan antara Angel-class dan Eleutherian-class. Keduanya memang tidak bisa dibedakan jika hanya dilihat dari luarnya saja.
“Dan…kenapa kamu meninggalkan Pardes begitu saja?”, Raqia bertanya, dengan suara yang terdengar berat.
“Misi khusus, Raqia. Lima ratus tahun yang lalu, tepat ketika beberapa Angel-class dari Chalal memberontak di bawah pimpinan Omoikane, aku diutus ke sana oleh Yang Mulia Deshiel sendiri. Aku sempat ditahan beberapa lama oleh pasukan yang mengikuti Omoikane tersebut, yang sekarang sudah berubah menjadi Elilim-class. Sengaja kuminta Yang Mulia Deshiel melepaskan kristal di tanganku ini agar para Elilim-class itu tidak menaruh curiga terhadapku, sekaligus melepas statusku sebagai Angel-class. Yah…meski akhirnya aku ditangkap juga. Cukup lama mereka menahanku, sampai akhirnya aku bisa meloloskan diri dua puluh satu tahun yang lalu dan terdampar di pulau ini.”
“Begitu…kah…”, nada bicara Raqia terdengar makin sedih.
Bisa kutebak dari wajahnya, Chloros menyadari ada sesuatu yang salah dari ekspresi Raqia. “Tunggu. Apa sebenarnya yang terjadi selama aku ditahan? Begitu sulit melepaskan diri dari penjagaan mereka, bahkan sekitar empat ratus delapan puluh tahun aku tidak bisa keluar. Secuil beritapun tentang Pardes tak pernah kudengar lagi sejak saat itu.”
Raqia menatapku dengan tatapan yang sayu meski masih berusaha tersenyum. Ah, aku mengerti.
“Sebentar, Chloros. Apa kamu masih punya keluarga di Pardes?”
“Tentu saja, Da’ath. Aku masih punya adik perempuan, namanya Viri---“
Benar dugaanku, dia adalah kakak laki-laki Viridia yang pernah diceritakannya waktu itu.
“Dia sudah tidak ada.”, kupotong kata-katanya, bersuara datar. Raqia berubah makin muram, ditambah lagi wajahnya tidak berani menghadap ke arahku dan Chloros.
“Apa…maksudmu…?”, tanya Chloros perlahan.
“Viridia…dia sudah tewas.”, sekarang aku sendiri tidak berani menengok ke arah Chloros.
“Da’ath!! Apa maksudmu kalau dia sudah tewas, hah?! Kamu bercanda?!”, dia meraih kerah bajuku.
“Dia tewas, Chloros!! Dia sudah tidak ada di dunia ini lagi!! Apa kata-kataku kurang jelas?!”
Ekspresinya makin terlihat kesal. “Kamu ini Crusader-Saint, benar begitu?! Kenapa tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya??!!”, wajahnya beralih ke arah Raqia. “Kamu juga. Bukankah kamu ini adalah yang terkuat secara fisik di antara kalian bertujuh??!!”
“Chloros.”
Kakakku memanggil namanya dengan lembut, kemudian menggelengkan kepala beberapa kali.
“Yang Mulia Archangel di depan kita ini nampak merasa begitu bersalah. Sebagai sesama perempuan, aku tahu kalau sudah terjadi sesuatu yang memberatkan dirinya. Jadi…sayang, kumohon dengarkan mereka dulu.”
Luar biasa. Ucapan kakakku sudah seperti sebuah kekang pada kuda. Chloros pun melepaskan genggamannya dari bajuku.
Kuceritakan semua yang terjadi di Pardes, sejujur-jujurnya.
“Viridia…kenapa…”, Chloros menjambak rambut depannya, ekspresinya nampak begitu sedih. “Jadi semua gara-gara Nephilim…”
“Kami berdua tidak bisa berbuat apa-apa, Chloros. Bahkan Mama Deshiel pun tidak. Aku benar-benar mohon maaf…kamu boleh melakukan apa saja terhadapku untuk melampiaskan kekesalanmu. Biar aku yang menanggung semuanya.”, ujar Raqia, berlutut di depan kakak iparku itu.
“Tidak, Raqia. Ini salahku juga. Aku sudah bersenjata lengkap, namun tetap tidak bisa menghentikan Nephilim itu. Jadi…Chloros, perbuatlah apa yang kamu inginkan terhadapku juga.”, aku ikut berlutut di depan Chloros.
“Kalian…”
Kakakku menyelak, “Sayang, kulihat mereka benar-benar menyesal atas kematian adikmu itu. Bahkan akupun bisa tahu dari kata-kata Da’ath kalau hal tersebut berada di luar kuasa mereka. Jadi…”
“Aku tahu, sayang. Nephilim memang terlalu kuat untuk dihadapi, bahkan Omoikane dan para pengikutnya pun tidak berkutik. Baiklah. Kalian berdua, jangan merasa menyesal lagi. Karena…aku sedikit lega.”
Aku dan Raqia saling bertatapan, heran mendengar kata ‘lega’ tersebut.
“Setidaknya dia pergi dengan cara yang diinginkannya, yaitu gugur dalam bertugas. Dia berhasil mencapai cita-citanya dan mengakhirinya secara terhormat. Aku bangga padanya.”, mata Chloros berubah berkaca-kaca.
“Bagaimana kalau dalam waktu dekat kita ke Pardes? Kalau kamu benar-benar ingin melihat adikmu untuk terakhir kalinya…”, kakakku menyandarkan kepalanya pada bahu Chloros yang berotot itu.
“Sebaiknya jangan. Sebelum Nephilim itu dihabisi, ada baiknya kalian jangan pergi ke tempat yang jauh terlebih dahulu. Terlalu berbahaya.”, kata Raqia.
“Sebegitu kuatkah Nephilim itu?”, tanya kakakku.
“Bahkan akupun berimbang dalam menghadapi satu Nephilim saja. Bagaimana kalau lebih dari satu…”
“Dan kabar buruknya, Nephilim yang menaklukkan domain Omoikane dan para Elilim-class di bawahnya ada dua. Di tengah kekacauan itulah aku berhasil meloloskan diri.”, sahut Chloros.
Mata biru langitnya itu mendadak terbuka lebar. “Apa…katamu? Dua?”
“Ya, ada dua. Keduanya perempuan. Mereka tidak menghabisi para Elilim-class itu, hanya membuat semuanya tunduk pada perintah mereka berdua. Seingatku yang satu selalu membawa pedang besar dengan ukiran kuning menyala, mengenakan baju zirah hitam, berambut ungu tua, dan bermata merah darah. Posturnya cukup ideal untuk seorang wanita…”
Tenebria? Yang aku heran, kenapa saat awal serangan ke piramida di Ya’ar HaMalakh pedang itu tidak ada di tangannya?
“…dan Nephilim yang satu lagi membawa sabit besar, selalu berpakaian gaun hitam panjang dengan beberapa ornamen renda…”
Gothic dress.
“…berambut panjang hampir sepinggang, berwarna pirang. Selalu dikuncir dua…”
Twintail. Aku curiga kalau posturnya sekecil Raqia, atau malah lebih pendek. Eh? Kenapa bisa ada bayangan seperti itu ya?
“…dengan warna mata yang sama dengan Nephilim yang satunya. Tingginya mungkin berbeda sedikit denganmu, Raqia.”
Imajinasiku tepat sasaran. Namun, yang terkejut mendengar deskripsi terakhir dari Chloros bukanlah diriku atau Raqia. Melainkan…
“Rambut pirang dikuncir dua dan membawa sabit…? Bermata merah…? Mengenakan gaun hitam…?”, suara kakakku terdengar kaku.
“Kak, ada apa? Apa kakak pernah melihat orang itu?”
“Dia…ya!! Tidak salah lagi!! Dia yang membunuh Papa dan Mama!!”
Jika kisah hidupku ini dijadikan sebuah cerita, mungkin para pembacanya akan protes karena terlalu banyak kebetulan yang terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Beginilah kenyataannya. Aku sendiri kaget begitu mendengar ucapan kakakku. Ternyata…Nephilim…akan kupaksa mereka membuka mulutnya nanti!!
“Jadi salah satunya yang membantai keluargamu?!”, tanya Raqia. Nampak jelas dia mengkhawatirkan diriku.
Di tengah kekesalan kukepalkan erat-erat kedua tanganku, bahkan aku dapat merasakan tekanan kuku-kukuku sendiri pada telapak tangan. Kakakku juga berubah murung, lalu Chloros merangkulnya dengan tangan kiri.
Raqia berbisik, “Ceritakan padaku nanti detailnya kalau kamu sudah tenang. Oke?” Lekukan bagai bulan sabit pun terbentuk di bibirnya yang kecil itu.
Giliran Chloros bicara. “Ditambah lagi mereka sudah mengontrol kepulauan Yamato di sebelah barat laut Chalal, yang menjadi kubu para Elilim-class bawahan Omoikane. Dengan dua Nephilim sebagai pimpinan baru mereka, maka…”
“Chalal berada dalam bahaya…”, Raqia nampak terkejut. “Aku khawatir hanya masalah waktu saja hingga kota itu diserbu habis-habisan.”
Akupun menyahut, “Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selama Plasma belum ada di sini. Sama saja bunuh diri jika nekat menghadapi mereka.”
“Plas…ma?”, sepasang suami-istri itu bertanya bersamaan.
“Maksudmu makhluk aneh berbentuk manusia dari kaleng itu?”, Chloros lanjut bertanya.
“Kami memang bertemu dengan sesosok manusia kaleng yang mengaku bernama Plasma di perjalanan---“
Belum selesai kakakku bicara, aku dan Raqia berseru bersamaan, “DI MANA?!”
Mereka hanya tersenyum.
“PLASMAAAAA!!!!”
Raqia berlari secepatnya setelah mendengar dari Chloros kalau Plasma ternyata ada di depan rumah, lalu memeluknya.
“Ahaha…kalian sudah kangen denganku ya?”
“Kenapa kamu tidak masuk saja sih? Sudah di depan pintu begini…”, kataku.
“Oh? Aku baru saja bangun. Sebelumnya masih tertidur di situ.”, Plasma menunjuk sebuah gerobak kayu di belakangnya. “
Well, aku memang punya mode khusus yang akan aktif secara otomatis jika terpisah terlalu jauh dari Biblos Gnostikos. Jika jaraknya lebih dari delapan puluh kilometer, energiku langsung dibatasi agar tubuhku hanya dapat berfungsi selama tujuh puluh dua jam ke depan, sehingga aku harus menghemat energi dengan sering-sering mematikan sistem.”
“Ah…jadi itu teman kaleng yang kalian maksud?”, mendadak tuan Arya muncul di belakang kakakku dan Chloros.
Kujawab dengan mengangguk beberapa kali, diikuti Raqia.
“Dan dia yang membuat perjalanan kalian terhambat?”, tanya kakek itu pada kakakku dan Chloros.
“Begitulah kek. Aku mohon maaf...aku hanya ingat benda kesayangan Da’ath ketika melihatnya, karena warnanya sama.”, jawab kakak.
“Hmm, hmm.”, tuan Arya mengangguk dua kali. “Tidak apa-apa. Yang penting kalian berdua sudah kembali dengan selamat. Ya sudah, sebaiknya kita makan. Semuanya sudah matang ketika kalian bicara tadi.”
“Plasma.”, kupanggil namanya.
“Ya, aku mengerti.”, Plasma melangkah menghadap tuan Arya. “Maaf telah menyusahkan anda dan keluarga anda.”, dia membungkukkan badannya.
“Sudah…sudah. Lebih baik ceritakan semuanya di dalam. Nanti makanannya keburu dingin.”, kakek itu hanya tersenyum.
Akhirnya, makan siang. Karena jumlah orangnya bertambah, maka ruang makan ‘dipindah’ ke pelataran belakang. Tanpa meja dan kursi tentunya, hanya duduk bersila di lantai.
Plasmapun bercerita mengenai semua yang dialaminya selama 3 hari terakhir.
Awalnya, dia benar-benar panik karena mendeteksi kalau Biblos Gnostikos terpisah cukup jauh darinya, lebih jauh dari lokasi rumah ini. Kebetulan sekali dia bertemu Chloros dan kakakku, yang dengan ramah menawarinya untuk singgah sementara di rumah ini barulah mencari buku misterius tersebut ---yang sekarang ada di pangkuan Raqia---. Karena mode energi yang dibatasi itu pulalah, Plasma harus sering-sering mematikan sistemnya, menumpang tidur pada gerobak yang mereka bawa. Hal itu yang menyebabkan perjalanan pasangan suami-istri itu menjadi terlambat, karena harus membawa beban berlebih dalam rute yang masih terdiri dari hutan lebat.
Namun, tadi pagi Plasma merasakan Biblos Gnostikos berpindah posisi. Kujelaskan karena aku berhasil mengajari Raqia mengenai satu hal, yaitu persamaan kuadrat. Mengetahui posisi Biblos Gnostikos yang mendekat, Plasma tidak lagi khawatir.
“Berarti saat ini tubuhmu sudah tidak bermasalah?”, tanyaku.
“Yup, batasan energinya sudah non aktif. Terima kasih untuk respon cepatnya, Da’ath.”
“Tidak cepat juga sih…aku sempat tak sadarkan diri selama dua hari lho.”
Sambil memperhatikan Plasma dengan teliti, kakakku bertanya, “Jadi ini adalah senjatamu yang seringkali kamu mainkan dulu?”
“Ya, ini senjata yang sama. Hanya saja sekarang sudah bisa bergerak dan berpikir sendiri.”
“Hee…hebat juga ya.”
“Yang jelas aku juga harus berterima kasih pada anda berdua, tuan Chloros, nyonya Reshita. Jika bukan karena anda, mungkin saya sudah mati untuk selamanya di tengah jalan.”
Plasma lanjut bertanya padaku, “Jadi…nyonya Reshita itu kakakmu?”
“Yap, dia kakak perempuanku. Dua tahun di atasku.”
Se. Ben. Tar.
“Kak, sewaktu keluarga kita dihabisi…umur kakak masih sembilan tahun ya?”
“Uh-huh. Kenapa memangnya?”
“Benar begitu, tuan?”, kukonfirmasi pada tuan Arya.
“Ya, benar. Saya menemukannya terapung di laut saat berlayar ke Pardes. Reshita mengaku kalau dia berumur sembilan tahun waktu itu. Dulu saya memang seorang pedagang, namun memutuskan pensiun setelah mengangkat kakakmu sebagai cucu. Sayang sekali saya belum sempat ke Shamayim, kota yang katanya dekat dengan tempat asal Reshita.”
Kutengok ke arah Raqia sejenak. Ah, bagus. Sepertinya Raqia sudah memahami maksudku.
Dengan nada yang terdengar mengerikan dan tangan terlipat di depan dada, Raqia bertanya, “Hei Chloros…kamu berkata kalau kamu berhasil meloloskan diri dua puluh satu tahun yang lalu, benar…?”
“Yep, betul sekali.”, dengan mantap Chloros menjawab.
“Katakan sejujur-jujurnya. Kapan kalian berdua bertemu untuk pertama kali, hah…?”, masih terdengar menyeramkan, kali ini jari telunjuk kanannya berayun cepat naik turun menepuk-nepuk lengan kirinya.
“Dua belas tahun yang---“
Kurang ajar memang Eleutherian-class yang satu ini.
“Angel Knight form, release.”
“Plasma, bersiaplah.”, ujarku datar.
“O-Oi…Da’ath, Raqia, ada apa sebenarnya?”, tanya Plasma.
Kuacuhkan kata-kata Plasma. “Heavenly Saint.”
Sacred Armor, Energy Blade, dan Hypermassive Defenser langsung terbentuk. Chloros mendadak panik melihat kami berdua, disertai keringat dingin mengucur di wajahnya.
“Hei…Plasma…kamu pandai hitung-hitungan kan?”, tanyaku, dengan suara yang sama menyeramkannya dengan Raqia.
“Tentu saja. Mau tanya sesuatu kah?”
“Aku terpisah dari kakakku saat usianya sembilan tahun, itu sudah empat belas tahun yang lalu. Jika pengakuan Chloros tadi benar…”
“Tunggu. Tuan Chloros, apa anda menikahi nyonya Reshita saat dia masih berusia sebelas tahun?!”
Dan itu dia maksudku. Jika ada seseorang yang dapat melukis aura, mungkin sekarang aku dan Raqia sudah memancarkan aura hitam kelam yang amat dahsyat. Ditambah miasma juga, mungkin.
“Kurang tepat, Plasma.”, sahut Raqia. “Mereka sendiri mengaku kalau sudah melakukan ini itu dan seterusnya saat itu…”
Keduanya tertegun, lalu wajah mereka berubah merah, sangat merah.
“Hei…Da’ath…apa kamu tahu? Maoriel punya kata yang bagus untuk menggambarkan hal ini.”
“Katakan saja, Raqia.”
“DASAR LOLICOOOOOONNNNN!!!!!”, sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
*
“Da’ath, boleh kukatakan sesuatu?”
Kembali, kami sudah berada di langit pagi hari. Berhubung 3 orang bawahan Archangel keempat, Maoriel Moshel, sedang berada di Batavia, Raqia ingin mengunjungi mereka sebentar. Dia juga ingin bertanya lebih jauh mengenai kondisi di kepulauan Yamato yang sempat dikatakan Chloros kemarin.
“Ya, katakan saja.”
Raqia memutar joknya ke belakang. “Reshita mengatakan sesuatu padaku kemarin malam. Sebenarnya kamu…”
“Aku sudah bisa tebak, Raqia. Masalah wajahku yang tidak ada mirip-miripnya dengan kakakku, benar?”
“Nah itu dia. Rambut pirang dan mata birumu itu…”
“Sudah kuduga sejak lama kalau aku memang bukan berasal dari keluarga Ruachim. Yah, tapi karena tidak ada lagi jejak mengenai keluargaku yang sebelumnya lagi, aku selalu menganggap merekalah keluarga kandungku.”
“Begitu…ya. Seingatku, keluarga Ruachim memang pindah dari Shamayim tanpa memiliki anak laki-laki sama sekali. Maaf, sepertinya aku sudah membuatmu sedih.”, kepalanya sedikit menunduk.
“Hei, kenapa malah kamu yang murung begitu? Aku sendiri merasa sudah tidak ada masalah dengan hal itu.”
“Eh? Benarkah?”
“Yap, begitulah adanya. Itu sudah sangat lama berlalu dan tidak penting lagi sekarang.”
“Tapi ada yang aneh, Da’ath. Reshita bilang kalau kamu ditemukan saat masih bayi, mungkin baru berusia beberapa bulan. Dan…sudah ada kalung salib dan senjata itu bersamamu saat dirimu ditemukan.”
Yang ini baru kudengar. Aku tahu Plasma Rifle sudah bersamaku sejak lama, namun…sejak bayi?
“Hmm…”, kuhela nafas sambil melipat kedua tangan.
Kutatap jauh ke dalam matanya, sedikit mendekat ke wajah kecilnya itu.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
Refleks, tangan kananku bergerak ke atas kepalanya, lalu mengusap-usapnya perlahan.
“Ng…D-Da’ath…”, pipinya berubah kemerahan.
“Hmm? Kamu suka dielus seperti ini?”
“Mmm.”, dia mengangguk perlahan. “Y-Yah…kamu tahu sendiri, menjadi seorang pemimpin kota berpenduduk dua puluh delapan juta orang itu cukup berat, jadi…”
“Aku heran.”, masih membelai rambut peraknya yang lembut itu.
“Kenapa?”
“Saat masih di atas samudera besar itu, kamu bercerita kalau ketujuh Archangel dipilih oleh Crusader-Saint, olehku sendiri. Apa alasannya aku memilih dirimu waktu itu? Apa kamu masih ingat?”
“Eh? Aku sudah lupa sih…ada apa memangnya?”
“Kamu lebih cocok jadi adikku dibanding seorang Archangel.”
“H-H-Hah?!”
“Yah, kamu tahu sendiri, aku hanya punya seorang kakak perempuan. Waktu itu Viridia juga ingin menjadi adikku…”
“Err…jadi aku harus memanggilmu
onii-chan, begitu…?”
“Huh? Bahasa macam apa itu?”
“I-Itu salah satu panggilan untuk kakak laki-laki, digunakan oleh salah satu suku yang penduduknya cukup banyak di Chalal…”
“Hmm…terdengar menggemaskan sih. Boleh coba lagi?”, aku berhenti membelainya.
“
O-Onii…-chan?”, lengkap dengan pipi kemerahan, tangan kiri menutup lemas di depan dagu, tangan kanan meremas rok, dan tatapan memelas.
SIAL!! Ini malah membuatku…ARGH!!
“Tidak, tidak, tidak.”, kataku dengan cepat sambil menggelengkan kepala tiga kali. “Posemu malah membuatku bernafsu. Tolong hentikan.”
“Kurang ajaaaaarrr!! Ternyata kamu hanya menggodaku HAAAAHHH??!!”
Dan…beberapa pukulan dilancarkan olehnya. Aduh…
Share This Thread