Page 3 of 14 FirstFirst 123456713 ... LastLast
Results 31 to 45 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #31
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Fotosintesis sih pelajaran IPA SD, di SMP juga sempet, gue masih ngerti.
    apa tuh namanya, penyamaan koefisien reaksi? materi kimia kelas 1 SMA, salah satu kenangan buruk lagi dan inilah yang diajarin si badak ke gue dulu itu berkat itu gue masih agak ngerti

    ***

    Loli ijo2 nya ngga kebayang, si Mama yang anggun luar biasa itu juga ngga kebayang. Satu hal yang bikin gue ngayal kemana2 itu...Pardes
    Kota pohon, warnanya ijo, ada buletan cahaya beterbangan, udah malem, bintang bertaburan, gue tambahin bulan purnama di otak gue. voila, jadilah salah satu scene impian kesukaan gue sejak kecil. Ampoen Lun, lu berhasil bikin gue ngayal begini...

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  2. Hot Ad
  3. #32
    Z-CYBER's Avatar
    Join Date
    Nov 2007
    Location
    Palembang City
    Posts
    9,090
    Points
    1,446.63
    Thanks: 173 / 236 / 166

    Default

    w mulai bingun pas baca co2 co apa itu
    sumpah dari dolo ke dulu ga paham
    wkawkawkawk
    tidakkkssss kok harus co2 +h2o bla bla kwkwkw

  4. #33
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Fotosintesis, diajar sekilas di SD

    Di SMP di tambahin persamaan reaksi,

    Di SMA, dijelasin gimana persamaan reaksinya (ini kimia si, tapi di biologi juga pernah dibahas sekilas)

    TRUSSSS, udah ketebak si Lun kalo wilayah bernuansa nature kegini pasti biologi yang kebawa

    Terakir, pohon raksasan di tengah kota, jadi inget elven village.. Gara2 itu gua jadi ngebayangin angel2 di pardes punya telinga panjang

  5. #34
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Fotosintesis sih pelajaran IPA SD, di SMP juga sempet, gue masih ngerti.
    apa tuh namanya, penyamaan koefisien reaksi? materi kimia kelas 1 SMA, salah satu kenangan buruk lagi dan inilah yang diajarin si badak ke gue dulu itu berkat itu gue masih agak ngerti

    ***

    Loli ijo2 nya ngga kebayang, si Mama yang anggun luar biasa itu juga ngga kebayang. Satu hal yang bikin gue ngayal kemana2 itu...Pardes
    Kota pohon, warnanya ijo, ada buletan cahaya beterbangan, udah malem, bintang bertaburan, gue tambahin bulan purnama di otak gue. voila, jadilah salah satu scene impian kesukaan gue sejak kecil. Ampoen Lun, lu berhasil bikin gue ngayal begini...
    hore
    baguslah kalo ngerti, gak susah juga yang gw kasih contohnya

    Quote Originally Posted by Z-CYBER View Post
    w mulai bingun pas baca co2 co apa itu
    sumpah dari dolo ke dulu ga paham
    wkawkawkawk
    tidakkkssss kok harus co2 +h2o bla bla kwkwkw
    harus, soalnya ini genre educational
    segala ilmu pengetahuan yg nyata harus ada di sini

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Fotosintesis, diajar sekilas di SD

    Di SMP di tambahin persamaan reaksi,

    Di SMA, dijelasin gimana persamaan reaksinya (ini kimia si, tapi di biologi juga pernah dibahas sekilas)

    TRUSSSS, udah ketebak si Lun kalo wilayah bernuansa nature kegini pasti biologi yang kebawa

    Terakir, pohon raksasan di tengah kota, jadi inget elven village.. Gara2 itu gua jadi ngebayangin angel2 di pardes punya telinga panjang
    sebenernya gak ada yg gw bayangin berkuping panjang sih /"


    =================================

    Okay, sekedar ingetin lagi ilmu jaman SD-SMP


    Spoiler untuk Tehillim 7 :


    ==============================================
    Tehillim 7: Green Angelocracy Part III || Triangle, Triangle
    ==============================================




    “Huh…mengagetkanku saja.”, sambil kutaruh tangan kanan di dada. Terasa detak jantungku begitu kencang karena terkejut. Jelas saja, tanpa ada tanda-tanda apapun, dia mendadak muncul dan melayang di depanku.

    Sambil menggaruk-garuk kepala, Viridia berkata, “Ahaha…maaf yah. Bukan maksudku untuk membuatmu kaget setengah mati begitu.”



    Mengetahui kalau hal tadi adalah ketidaksengajaan, kuurungkan niatku untuk memarahinya. Apalagi melihat dirinya sekarang…aku bisa tenang. Sepasang sayap putih di punggungnya itu nampak begitu hangat, perlahan membuat detak jantung dan nafasku kembali normal.

    “Ya sudah, tidak apa-apa. Kamu dari mana?”

    Kakinya menyentuh lantai balkon, lalu dijawabnya, “Baru saja patroli. Hari ini adalah giliranku dan beberapa Angel-class di bawahku.”

    Jika kuperhatikan lebih baik, sebenarnya wajah Viridia cukup lucu dan menggemaskan. Ditambah sayap yang lebih kecil dari Angel-class kebanyakan ---mungkin agar proporsional dengan ukuran tubuhnya--- dan rambut hijau mudanya yang nampak berkilau itu, membuatnya memancarkan aura kecantikannya tersendiri. Namun sekali lagi, entah kenapa, aku tidak merasakan apapun. Hanya kagum, sama seperti pertama kali melihat nona Deshiel. Itu saja.

    Kepalanya menengok bergantian ke kanan dan kiri lalu bertanya, “Raqia dan Plasma di mana?”

    “Mereka masih bersama Yang Mulia Deshiel, sedang belajar.”

    “Ah…pasti karena alat-alat itu ya?” Diapun mengambil tempat duduk di kursi yang tepat berada di sebelah kananku.

    “Uh-huh. Aku sendiri tidak mengerti kenapa di situ terdapat banyak alat-alat aneh yang ternyata, dapat dikenali oleh Plasma.”

    “Wow, teman kalengmu itu bisa mengenalinya?”

    “Ya…begitulah. Oh ya, kalau kuperhatikan, sepertinya benda-benda itu belum lama ditemukan, karena Yang Mulia Deshiel sendiri tidak tahu-menahu nama-nama apapun yang ada di ruangan tersebut. Apa dia menemukannya di tempat lain?”

    Viridia mengangguk beberapa kali. “Tebakanmu benar. Lima hari yang lalu mendadak muncul sebuah piramida di arah timur laut, jauhnya sekitar empat hari berjalan kaki dari sini. Dari sanalah semua barang-barang aneh itu berasal. Sampai hari inipun masih ada beberapa yang belum dipindahkan, karena jumlah barangnya cukup banyak.”

    Angel-class berambut hijau itupun tiba-tiba berseru, seakan ada ide yang muncul di kepalanya. “Bagaimana kalau besok kalian ikut denganku ke tempat itu? Siapa tahu temanmu itu bisa mengetahui fungsi piramida yang kuceritakan tadi.”

    “Hmm…ya, boleh saja.”, jawabku sambil mengangguk dua kali. Yah, siapa tahu aku bisa memperoleh informasi lebih banyak tentang keanehan-keanehan yang terjadi beberapa hari terakhir.



    Mendadak perutku berbunyi. Ah…benar juga, sejak siang tadi aku belum makan apapun.

    Viridiapun tertawa kecil. “Ahaha…lapar ya?”

    “Ng…iya. Sejak berangkat siang tadi, aku belum makan lagi…”

    “Baiklah. Tunggu sebentar ya, jangan tidur dulu.”

    Diapun terbang melesat entah ke mana. Beberapa saat kutunggu, dia kembali dengan membawa sebuah keranjang rotan.

    “Ini, makanlah.”

    Wow. Sandwich. Ada 6 potong yang tertangkap mataku.

    “Err…benar tidak apa-apa?”, ujarku sedikit ragu, karena bisa jadi ini adalah jatah makan malamnya sendiri.

    “Ini memang sengaja kubuatkan untukmu kok. Jadi, tidak usah ragu-ragu.”, diapun tersenyum.

    Karena perutku terasa terlalu lapar, tanpa basa-basi kulalap habis keenamnya dalam waktu singkat. Selama itu pula, Virida terus memperhatikanku, sesekali tersenyum.

    “Err…ada apa?”, tanyaku, setelah menelan potongan terakhir.

    “Kamu benar-benar mirip dengannya.”

    “Eh? Siapa?”

    “Kakakku.”

    “Hee…begitu ya. Apa dia juga pasukan pengamanan juga sepertimu?”

    Mendengar pertanyaan itu Viridia hanya terdiam, sedikit menunduk. Wajahnya juga terlihat murung. Kemudian, dia sekali menggelengkan kepala.

    “Dia tidak ada di sini lagi.”, jawabnya pelan. “Lima ratus tahun yang lalu, dia pergi entah ke mana. Hilang. Entah masih hidup atau tidak…”

    “M-Maaf. Bukan maksudku membuatmu ingat lagi akan hal itu…”

    Suaranya masih terdengar sedih. “Sudah, tidak apa-apa. Aku hanya---“



    Berhubung aku tidak tega melihat ekspresinya yang terus murung, kutaruh tanganku di atas kepalanya. Perlahan kubelai rambutnya yang lembut itu. Kupikir itu dapat membuatnya tenang, tetapi…


    Dia menangis.


    Tetesan air mata mulai mengalir membasahi kedua pipinya. Satu hal yang pasti, dia pasti masih merasa kehilangan selama 500 tahun terakhir. Jelas sekali perasaan itu sangat melukai dirinya, bahkan tidak dapat ditutupinya terhadap orang yang baru dikenalnya seperti diriku.

    Di saat seperti ini, aku tidak berusaha memikirkan alasan kenapa kakaknya itu tega meninggalkan dirinya begitu saja. Hanya kesedihan yang dapat kurasakan dari hatinya.

    Dengan lembut kuraih sebelah kanan kepalanya, lalu mendekatkannya ke tubuhku. Selama beberapa saat kubiarkan Viridia menangis sejadi-jadinya dalam dekapanku. Aku mengerti betul apa yang dirasakannya saat ini, karena aku juga pernah merasakan kehilangan yang serupa. Ah…aku jadi ingat kakak perempuanku. Sejak hari aku dibawa keluar dari kediaman keluarga Ruachim ---karena kondisi darurat---, aku belum pernah melihat wajahnya lagi. Mungkin…kakakku juga sudah…



    Matahari belum lama terbangun, saat itulah kami berempat: aku, Raqia, Plasma, dan Viridia, berangkat menuju ke piramid yang dimaksud.

    “Kalian berdua mendadak jadi akrab sekali…ada apa dengan kalian?”, tanya Raqia, saat melihat Viridia yang terus berjalan sambil memeluk lengan kananku.

    “Mencurigakan…atau jangan-jangan kamu tertarik pada anak di bawah umur?!”, sahut Plasma.

    “Hah?! Tentu saja tidak!!”

    Berbeda dengan Plasma, Raqia nampak tidak terkejut ---apalagi berpikiran aneh-aneh---, mungkin karena dia sudah tahu apa yang telah terjadi pada Viridia. Baguslah, setidaknya aku bisa tenang. Aku hanya menganggap Viridia layaknya adikku sendiri. Seumur hidup aku belum pernah memiliki adik, jadi kupikir apa salahnya jika Viridia menjadi salah satunya.

    Tak lama, ujung piramida mulai terlihat, lengkap dengan warnanya yang putih seperti awan. Berhubung piramid itu jaraknya cukup jauh dari Pardes, kami berempat memutuskan untuk pergi lewat udara. Terbang, maksudnya. Tentu saja aku menumpang Plasma dalam mode Sonic Glider, sementara Raqia dan Viridia menggunakan sayapnya masing-masing. Beberapa jauh dari piramida, barulah kami mendarat dan melanjutkan dengan berjalan kaki.



    Woah…besar juga.

    Tingginya sedikit melebihi pepohonan sekitar, sementara panjang sisi alasnya ---yang sama di tiap sisi--- cukup panjang untuk dijadikan patokan lintasan lomba lari. Tetapi, ada yang aneh dari piramida ini.

    Ada dua alasan. Pertama, material penyusunnya. Ini jelas sekali bukan batu, kayu, logam, ataupun kaca. Plasma menyebutnya sebagai komposit titanium-polikarbonat setelah meraba dindingnya. Entah bahan macam apa itu, belum pernah kudengar sebelumnya. Kedua, arsitekturnya. Raqia berkata kalau bentuk piramida itu hanya dapat dia temui sekitar 7 hari berjalan kaki arah tenggara Ohr-Nisgav, kota tempat Archangel pertama berada. Belum pernah ditemuinya di tempat lain.

    Terlepas dari semua keanehan itu, Viridia berkata kalau tidak ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya. Selama beberapa hari terakhir, belum ada satupun Angel-class yang terluka selama berada di dalam.

    “Namun…ada sesuatu yang mencurigakan. Banyak Angel-class, termasuk diriku, beberapa kali merasakan aura ketidaksucian mendekat. Hanya sesaat, lalu menghilang. Untuk itu, ada beberapa unit khusus Angel-class yang ditugaskan menjaga tempat ini.”

    Begitulah penjelasan Viridia. Plasma sendiri sudah mendengarnya kemarin malam, langsung dari nona Deshiel. Raqia? Belum. Ternyata Raqia meninggalkan ruangan itu lebih awal, karena sudah terlalu pusing mendengarkan Plasma yang malah menjelaskan mengenai Biophotonic Decoder pada nona Deshiel.

    “Tunggu. Itu artinya…”, ekspresi Raqia berubah, sepertinya menyadari sesuatu.

    Plasma mengangguk tiga kali, lalu berkata, “Ya, Divine Barrier yang kita terobos kemarin bukan berfungsi untuk menghalangi ancaman eksternal. Sebaliknya, mencegah supaya siapapun penghasil ketidaksucian itu, agar tidak bisa keluar dari Ya’ar HaMalakh.”

    “Mmm…begitulah.”, jawab Viridia. “Merepotkan jika harus berjaga di tempat ini dan Pardes, sekaligus mencari penyebab ketidaksucian itu. Untuk itulah, Yang Mulia Deshiel memutuskan untuk mengurung sementara Ya’ar HaMalakh dengan Divine Barrier, mengetahui kalau penghalang itu hanya bisa dibuka oleh Archangel setelah berhasil memecahkan kodenya.”

    “Tapi tenang saja, sejak tadi aku tidak merasakan apapun. Mungkin kita bisa mencarinya setelah ini.”, Raqia berusaha menenangkan.

    Viridia melepaskan pelukannya dari lenganku, lalu berjalan di depan. “Ya sudah, sekarang lebih baik kita masuk.”



    Di keempat sisi piramida ada empat buah pintu besar dari sesuatu yang Plasma sebut ‘komposit titanium-polikarbonat’, dan berbentuk persegi panjang. Hebatnya, dapat membuka secara otomatis dengan bergeser ke arah kiri. Kamipun masuk melalui pintu sebelah barat. Viridia menjelaskan kalau para Angel-class yang berada di piramida ini pada awalnya memang kaget akan pintu otomatis tersebut. Namun setelah 5 hari, mereka nampak sudah terbiasa. Raqia sendiri terlihat keheranan melihat pintu yang dapat membuka sendiri dengan cara yang seperti itu. “Tidak ada di Shamayim”, begitu katanya.

    Interiornya? Sangat berdebu. Plasma berujar kalau bisa jadi tempat ini umurnya sudah sangat tua. Tempat ini sepertinya memiliki setidaknya 2 lantai, karena bisa kutemui beberapa tangga besi. Di dalam piramida terdapat banyak lorong dan ruangan-ruangan bertembok batu biasa, dan di situlah kami dapat menemui beberapa benda yang sama dengan yang ada di Etz HaChayyim. Ada juga benda-benda yang tidak kami kenal, namun ---lagi-lagi--- Plasma dapat menyebutkan nama dan kegunaannya satu persatu. Kata-kata aneh seperti quantum computer, scanning tunneling microscope, artificial photoreceptor cell, dan bio-energy laser core sempat terdengar olehku.

    “Hmm…tempat ini menyimpan benda-benda yang cukup canggih. Mungkin di masa lalu ini adalah semacam tempat penelitian.”, ujar Plasma, saat kami berjalan di salah satu lorong.

    “Secanggih apapun alat-alat di sini, tidak ada satupun manusia maupun Angel-class, bahkan Yang Mulia Deshiel sekalipun, yang dapat memanfaatkan benda-benda ini secara maksimal. Untung saja kalian datang…setidaknya kami jadi tahu untuk apa saja benda-benda ini.”, sahut Viridia.

    “Tapi kalian harus berhati-hati karena ada beberapa benda yang merupakan senjata berbahaya. Salah sedikit bisa-bisa terjadi ledakan. Dan jika benar ini adalah tempat penelitian, mungkin berfungsi untuk penelitian di bidang kemiliteran.”, Plasma kembali berujar, sambil menaruh tangan kanannya di dagu.

    “Yang aku heran, kenapa piramida ini bisa ada begitu saja?”, tanya Raqia, sambil memperhatikan kiri dan kanannya.

    “Nah, itu aku juga tidak mengerti. Yang Mulia Deshiel sendiri terkejut saat mengetahui kalau bangunan ini mendadak terlihat dalam proyeksi kristal.”, Viridia nampak cemas.

    “Apa mungkin ketidaksucian itu ada hubungannya kali ini? Yah, meski mereka belum menampakkan diri terang-terangan, namun menurutku…sangat mencurigakan.”, kali ini aku menyahut.

    “Mungkin karena mereka mengetahui penjagaan yang ketat di tempat ini, mereka tidak beraksi sama sekali. Untuk itu kami tidak boleh lengah.”, jawab Viridia.

    “Pokoknya begitu mereka muncul, kita cincang habis-habisan.”, ujar Raqia, sambil menyandarkan tangan kanannya ke tembok, dan tangan kiri yang bertolak pinggang.

    Tetapi…tembok yang disentuh oleh Raqia…

    “Wha…whoaaaaa…!!”

    …tertekan masuk layaknya sebuah tombol, diiringi dengan teriakan kaget darinya.



    Memang hanya sedikit bagian yang masuk lebih dalam dibanding tembok sekitarnya ---kira-kira sedikit lebih besar dari telapak tanganku---, namun jelas hal itu membuat kami berempat terkejut. Ditambah lagi ada bagian tembok yang besar, beberapa jengkal di sebelah kiri tombol-tembok, yang membuka dengan sendirinya seperti pintu otomatis di keempat sisi piramida.

    Anehnya, setelah bagian tembok itu membuka, masih ada satu lapis pintu lagi. Kali ini bahannya serupa dengan dinding luar piramida, yaitu sesuatu yang Plasma sebut dengan komposit titanium-polikarbonat. Bedanya, di bagian tembok yang tertekan, sekarang digantikan dengan sebuah panel aneh dengan tombol-tombol kecil yang bertuliskan angka 1 sampai 9, dan sebuah persegi panjang kecil yang bening, sepertinya layar kecil.

    Di layar, muncul tulisan “Please insert password”.

    Plasma mendekatkan kepalanya ke arah panel sambil menaruh tangan kanan di dagu. “Hmm…ada kode pengamannya. Sayang sekali fungsi hacking ku belum bisa diakses.”

    Hacking?”, tanya Raqia, dengan ciri khas gerakan kepalanya yang selalu sedikit dimiringkan ke kanan.

    “Trik untuk menjebol kode keamanannya, Raqia. Aku sendiri tidak berani menebak sembarangan. Jika benar tempat ini adalah pusat penelitian militer, ada kemungkinan jika kita salah memasukkan kode pengaman dalam jumlah tertentu, mungkin…”

    “Mungkin?”, pose yang sama dari Raqia.

    “Pintunya takkan bisa dibuka lagi, atau…tempat ini meledak.”

    “Wah, bahaya kalau sampai meledak begitu. Apa tidak ada sesuatu di sekitar sini yang bisa menjadi petunjuk?”, tanya Viridia.

    “Seharusnya ada. Tidak mungkin orang-orang yang membangun tempat ini membiarkannya meledak hanya karena kesalahan konyol, seperti salah memasukkan password. Mungkin ada di dokumen-dokumen di ruang-ruang yang ada, atau bisa jadi terbawa ke Pardes.”

    “Baiklah, aku akan coba mencari di ruangan sekitar sini.”, kali ini aku yang bicara. Raqia dan Viridia juga setuju, lalu mencari di ruangan-ruangan yang agak jauh. Plasma sendiri tidak beranjak, siapa tahu dia dapat menemukan sesuatu di sekitar pintu otomatis itu.



    Beberapa belas langkah di sebelah kiri pintu otomatis itu, aku mendapati sebuah pintu kayu biasa. Kuraih gagangnya yang sudah nampak rusak, lalu membuka pintu. Woah…berdebu sekali. Jika melihat lantainya, ruangan ini sepertinya belum dimasuki siapapun, terbukti dari tidak adanya jejak kaki. Menempel dengan tembok, ada meja-meja panjang dari logam disertai beberapa laci. Di atas meja ada beberapa peralatan yang tidak pernah kulihat ---atau mungkin aku lupa karena terlalu banyak benda aneh di piramida ini---, jadi kuputuskan untuk tidak menyentuhnya sama sekali.

    Mulai kubuka laci-laci yang ada. Banyak yang berisi kertas-kertas yang sudah berwarna coklat, sepertinya siap berubah menjadi serpihan debu jika kusentuh. Oke, lewat. Begitu seterusnya hingga pada satu buah laci…

    “Hei, apa ini?”, komentarku begitu melihat benda yang aneh, namun kurasa tidak berbahaya. Bentuknya persegi panjang, bening, ukurannya hampir seluas kertas biasa. Di bagian atas dan bawahnya ada dua buah silinder, sehingga benda ini nampak seperti gulungan kertas yang terbuka. Akan kucoba membawanya pada Plasma.

    “Bagaimana? Kamu menemukan sesuatu?”, tanya Plasma.

    “Aku menemukan sesuatu yang menarik. Periksalah.”, kuberikan benda yang kubawa itu.

    “Ah…sebuah tablet. Sebentar biar kunyalakan.”, Plasma menyentuh bagian bawah silinder, tepat di tepi kanan. “Yap, sudah.”
    Layar beningnya pun bersinar, sehingga nampak olehku beberapa tulisan dan gambar.

    “Hei, tablet ini tidak diberi password!! Mungkin di dalam sini ada petunjuk mengenai password pintu di depan kita ini.”, sahut Plasma. Aku tidak berkomentar apapun karena memang tidak mengerti apapun.

    Plasma beberapa kali menggeser-geser jari di atas layar, hingga dia berseru, “Ah…ini dia!!”

    “Sudah kamu temukan apa yang kita cari?”, tanyaku.

    “Belum, tapi ada petunjuk bagus. Ternyata password nya adalah tinggi piramida ini.”

    “Bukankah bisa dihitung dengan mudah dengan mengkuadratkan panjang sisi miring yang tegak lurus dengan panjang alas dan setengah panjang alas piramida, mengurangkan keduanya, lalu mengakarkuadratkan hasil pengurangannya?”

    “Teorema Pythagoras, maksudmu? Ya, itu bisa dilakukan. Tapi…sayang, sistem pengukuran jarak jauhku masih belum berfungsi dengan baik. Jadi, aku harus menempelkan telapak tanganku sepanjang benda tertentu untuk mengetahui ukurannya. Dan kamu tahu sendiri, jika dalam mode Sonic Glider…”, suara Plasma terdengar berat.

    Benar juga. Dalam mode itu, Plasma tidak memiliki tangan. Memanjatpun sepertinya akan buang-buang waktu.

    “Artinya, kamu punya cara lain?”

    “Tentu saja. Akan kujelaskan begitu yang lain sudah kembali.”

    Tak lama, Raqia dan Viridia kembali, tanpa menemukan apapun. Plasma pun memberitahu kalau cara mengetahui password nya sudah ditemukan, hanya perlu melakukan sedikit pengukuran. Merekapun terlihat lega. Oke…saatnya keluar dari sini.



    Sesampainya di luar, Plasma melangkah ke salah satu sudut piramida. Diapun sedikit memanjangkan tangannya hingga menyentuh bagian dasar piramida, lalu berjalan hingga ujung lainnya yang berada di depan.

    “Tinggi bangunannya lima puluh meter.”, ujarnya.

    Raqia terlihat setengah tidak percaya, sementara Viridia benar-benar tercengang. Akupun heran, bagaimana dia bisa tahu tinggi bangunan ini sementara yang dilakukan hanya mengukur bagian dasar piramida saja?

    “Tunggu, tunggu, tunggu.”, sahut Raqia dengan cepat. “Ini tidak masuk akal. Apa yang kamu lakukan barusan?”

    “Trigonometri.”, jawab Plasma dengan santai.

    “Trigo…hah?”

    “Trigonometri. Berasal dari dua kata, trigonon yang artinya segitiga, dan metron yang artinya mengukur. Aku hanya memanfaatkan perbandingan antara panjang alas piramida dengan tingginya saja.”

    “Sebentar. Aku masih pusing. Coba kamu jelaskan pelan-pelan.”


    Plasma pun menggambar sebuah segitiga siku-siku di tanah. Sisi tegak ditulisnya dengan huruf ‘a’, sisi alas dengan ‘b’, dan sisi miring dengan ‘c’. Sudut di hadapan sisi a ditulis dengan ‘A’, sudut di hadapan sisi b dengan ‘B’, dan sudut siku-sikunya dengan ‘C’.


    “Ada beberapa properti penting dari segitiga siku-siku seperti ini, jika kita lihat dari sudut dan sisinya. Yang mudah, mungkin bisa kita lihat dari sisinya dahulu. Da’ath, sepertinya kamu sudah mengerti apa hubungan antara ketiga sisi ini.”

    “Oh…ya, hubungan ketiganya adalah…”

    Akupun mengambil ranting tebal, lalu menulis di tanah, di sebelah kanan gambar segitiga siku-siku.

    a2 + b2 = c2
    c2 - a2 = b2
    c2 - b2 = a2

    “Uh-huh, benar. Jadi seandainya kubuat segitiga baru…”

    Plasma menggambar segitiga siku-siku yang baru di sebelahnya, dengan sisi tegak yang jelas sekali panjangnya setengah dari sisi miring. Diapun menuliskan simbol-simbol huruf yang sama.

    “Ah…kalau begini sudah pasti sisi alasnya adalah akar tiga.”

    “Yep, jika sisi tegaknya adalah satu dan sisi miringnya adalah dua, maka sisi alasnya sudah pasti akar tiga.”, jawab Plasma, sambil menulis nilai masing-masing sisi.

    “Masalahnya, tadi kamu bilang kalau rumus ini tidak perlu kamu gunakan untuk mengukur tingginya…”, ujarku.

    “Da’ath, coba kamu perhatikan sudut-sudutnya.”

    “Jelas, sudut A nilainya tiga puluh derajat, sementara sudut B nilainya enam puluh derajat. Hei…sepertinya aku paham maksudmu, Plasma.”

    “Hahaha…sudah mengerti ya? Seperti yang kamu pikirkan, nilai sudut-sudut ini akan tetap sama jika perbandingan sisinya tetap sesuai. Jika ketiga sisinya kukalikan dua, tiga, empat, bahkan seratus sekalipun, sudutnya akan tetap tiga puluh dan enam puluh derajat. Itu artinya…”



    Plasma mulai menulis ‘Sinus A’ di bawah segitiga siku-siku, lalu tanda sama dengan, kemudian suatu pembagian: a/c. Alias:

    Sinus A = a/c

    Selanjutnya, dia menulis ‘Cosinus A’ di bawahnya lagi, tanda sama dengan, lalu b/c.

    Cosinus A = b/c

    Terakhir, dia menulis ‘Tangent A’ di baris ketiga, tanda sama dengan, lalu a/b.

    Tangent A = a/b

    “Maksud dari sinus, cosinus, dan tangent ini apa?”, tanya Raqia, sambil menunjuk ke tanah, ke arah gambar segitiga siku-siku.

    "Perbandingan sisi masing-masing, Raqia. Dapat dicari hubungan antara sudut A dengan ketiga sisi dari segitiga. Sama juga halnya dengan sudut B.”

    “Oh!! Aku tahu!! Jadi seandainya sudut A adalah tiga puluh derajat, maka…”

    Raqia langsung mengambil ranting yang di tanganku, lalu menulis:

    Sinus 30° = ½
    Cosinus 30° = √3/2
    Tangent 30° = 1/√3

    “Jadi…kalau nilai sudutnya enam puluh derajat, yaitu sudut B…aku hanya perlu mengubah patokan sudutnya saja…”

    Raqia kembali menulis:

    Sinus 60° = √3/2
    Cosinus 60° = ½
    Tangent 60° = √3



    “Lalu apa hubungannya dengan password itu?”, kali ini Viridia yang bertanya.

    “Bagaimana jika kumisalkan kalau sisi alas segitiga ini adalah setengah panjang sisi alas piramida, sisi miringnya adalah sisi miring piramida yang tegak lurus dengan sisi alas, dan sisi tegaknya adalah tinggi piramida?”

    Seakan ada ilham yang turun dari surga, Raqia langsung berseru, “Ah!! Betul juga!! Ternyata penampang piramida yang terdiri dari tinggi dan dua titik pada setengah sisi alas yang bersebrangan, sama persis dengan dua segitiga siku-siku yang didempetkan…!!”

    “Yap, betul. Asumsi awalnya kita pakai sudut antara sisi miring piramida dengan alas. Nah, jika kita menggunakan salah satu perbandingan sisi, khususnya sinus dan tangent, maka tinggi piramida bisa diketahui. Dan menurut data yang kudapat dari sentuhan tanganku tadi, sisi alasnya adalah seratus meter, dan sudutnya empat puluh lima derajat. Yah, memang kurang sekitar nol koma nol tiga sentimeter, namun bisa diabaikan. Mungkin karena ada sedikit bagian piramida yang masih tertutup tanah.”

    “Berarti sudutnya hanya perlu kuganti empat puluh lima derajat saja?”, tanya Raqia.

    “Benar sekali, Raqia. Da’ath, berdasarkan pengalamanmu, bagaimana jika sebuah segitiga siku-siku punya sebuah sudut empat puluh lima derajat?”

    Kujawab, “Sudut satunya sudah pasti juga bernilai empat puluh lima derajat. Sisi alas dan sisi tegaknya juga sudah pasti---“

    Belum selesai kujawab, aku tidak tahan ingin tersenyum sendiri. Selama ini aku memang tidak pernah menyadari jika ada perbandingan sisi dengan menggunakan sudut pada sebuah segitiga seperti itu. Hanya tahu, tidak pernah berusaha untuk membuktikan perhitungannya.

    “Jadi dari situ kamu bisa mendapatkan nilai lima puluh meter untuk tingginya? Ternyata tidak sulit ya…hmm…hmm…”, kata Raqia, sambil menaruh tangan kanan di dagu dan mengangguk-angguk beberapa kali.



    Dan…ini dia, yang sudah kuduga akan muncul begitu Raqia sudah mengerti apa yang dijelaskan. Siapa lagi kalau bukan Biblos Gnostikos. Kali ini hanya mengisi sekitar 5 halaman. Lagi-lagi aku masih belum paham kenapa buku ini terkadang mengisi banyak, terkadang sedikit. Raqiapun mengambilnya, lalu tanpa basa-basi kami kembali masuk dan menuju ke pintu yang tertutup tadi.

    Begitu Plasma menekan angka ‘50’, pintu membuka. Ruangan ini ternyata nampak jauh lebih aneh dibanding ruang-ruang yang telah kulihat sebelumnya. Keseluruhan tembok dalam ruangan terdiri dari titanium-polikarbonat, ditambah lagi ada benda berbentuk kubus kira-kira selebar badanku. Akupun mengambilnya dengan kedua tangan.

    “Tunggu. Kubus ini…”

    “Ada apa, Plasma? Kamu tahu fungsi kubus ini?”, tanya Viridia.

    “Ini harus diamankan, segera. Jika benar ada ketidaksucian yang terus mendekat ke tempat ini dan menghilang begitu saja, kemungkinan mereka---“



    Entah apa yang terjadi, mata Raqia berubah terbelalak.

    “Dia datang.”

    Raqia langsung mengaktifkan mode Angel Knightnya, sementara Viridia memunculkan sebuah senjata di tangannya, sebuah halberd.

    Dalam sekejap, muncul miasma hitam masuk ke ruangan, lalu menghempaskan kami berempat ke arah yang berbeda. Kubus itu dirampasnya dariku, lalu miasma aneh itu langsung melesat dengan cepat keluar.

    “A-Argh…sial…Plasma!! Kubus apa itu sebenarnya?!”, seru Raqia, sambil berusaha bangun.

    Mulai berdiri, Plasma menjawab, “WT03FS-Quetzalcoatl, sebuah bio-mechanical entity yang digunakan sebagai senjata di jamanku. Jangan sampai dia berhasil dikeluarkan dari kubus tersebut!!”

    “Maksudmu…sekecil kubus itu?”, tanya Viridia.

    “Jangan tertipu penampilan kubus tersebut!! Benda itu bahkan bisa menyimpan piramida ini di dalamnya!!”

    “Gawat…Viridia, cepatlah kembali ke Pardes dan beritahu seluruh pasukan untuk bersiaga penuh!!”, seru Raqia.

    “B-Baiklah.”, kemudian Viridia langsung melesat.

    “Da’ath, Plasma.”, tatapan Raqia begitu serius kali ini.

    “Oke, kami mengerti.”, ujarku. “Plasma, aktifkan mode rifle.”

    Begitu Plasma terpasang di tangan kananku dalam mode Plasma Rifle, Raqia melesat lebih dulu. Akupun berhasil keluar dari piramida selang beberapa saat.



    Entah kenapa, Raqia hanya berdiri sambil menatap ke langit. Ekspresinya nampak begitu tersentak, seakan tidak percaya dengan apa yang sekarang melayang di langit, beberapa kaki di atas permukaan tanah.

    Nampak olehku seorang perempuan yang tingginya, mungkin, sebahuku, lengkap dengan sayap besar berwarna hitam sebanyak 4 buah di punggungnya. Rambutnya kira-kira seleher, berwarna ungu tua. Tatapan tajam dari mata merahnya…benar-benar menakutkan. Lengkap dengan armor nya yang berwarna kehitaman, perempuan itu memancarkan aura kengerian yang dahsyat.

    “I-Ini…t-t-tidak mungkin…”, suara Raqia terdengar begitu kaku, sama halnya seperti orang yang ketakutan setengah mati setelah melihat sesuatu yang amat mengerikan.

    Diapun tersenyum menyeringai saat melihat ke arah kami berdua, dengan kubus itu melayang beberapa jengkal di atas tangan kanannya yang diangkat setinggi bahu.

    “Halo, Archangel. Kenapa? Kaget? Apa mungkin…kamu masih menganggapku sekedar mitos?”

    Aku tidak mengerti apa maksud dari perempuan itu. Mitos? Tunggu. Jangan-jangan, dia…

    “Hahaha!! Aku suka sekali wajah terkejutmu itu, Archangel!!”

    “Siapa kamu sebenarnya?! JAWAB!!!!”, teriak Raqia.

    “Wohoho…tenang, tenang!! Tentu saja aku akan memperkenalkan diri, hei Archangel!! Tenebria Erebus, Nephilim-class.”



    Hah, Nephilim!?



    =================================


    Spoiler untuk Trivia :

    Well...let's see this triangle.
    • Teorema Pythagoras:
      a2 + b2 = c2
      c2 - a2 = b2
      c2 - b2 = a2
    • Sifat trigonometri:
      sinus A = a/c (depan/miring)
      cosinus A = b/c (samping/miring)
      tangent A = a/b (depan/samping)
    • Jadi, gimana cara itung tinggi piramida yang di cerita?
      Oke, udah ada data sebiji: panjang sisi alasnya 100 meter.
      Inget gimana gambar limas segi empat/piramid?
      Kalo diliat, seperti kata Raqia:
      “Ah!! Betul juga!! Ternyata penampang piramida yang terdiri dari tinggi dan dua titik pada setengah sisi alas yang bersebrangan, sama persis dengan dua segitiga siku-siku yang didempetkan…!!”
      Data dari plasma, PQ = RS = PS = QR = AB = 100 meter.
      Artinya, OA = OB = 50 meter. (tinggi limas segi empat pasti motong di tengah")
      Segitiga T-A-O-B, menurut pandangan Raqia, adalah 2 buah segitiga siku-siku yang berdempet.
      Jika kita copot salah satunya, dengan sudutnya yang sebesar 45 derajat, maka seperti kata Da'ath:
      Karena sisi alas (OB atau OA) = 50 meter, maka tingginya jelas juga 50 meter.
      Tangent 45° itu...1 toh?
      Selanjutnya udah tau lah ya

      NB: maaf yah kalo asal comot pic limas sama segitiganya
      Males gambar sendiri
    Last edited by LunarCrusade; 14-11-12 at 07:42.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #35
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Phytagoras...materi smp yang masih cukup mudah...
    Trigonometri, materi matematik kelas 1 sma yang...sampe sekarang gue ga ngerti, dan males ngerti. Jadi pas bagian itu gue lewat, pokonya gue tau dia berhasil mecahin teka-tekinya...

    buat chapter ini, gue merasa ada yang janggal.
    Kata-kata aneh seperti quantum computer, scanning tunneling microscope, artificial photoreceptor cell, dan bio-energy laser core sempat terdengar olehku.
    itu kan dialog si Da'ath ke diri sendiri? yang bikin aneh itu, kok pengucapan dia akan sekian kata modern lancar ya? Oke, dia tau banyak, tapi ini sempat terdengar, kalo yang mikroskop itu kan dia denger bener2 dan tring tiba2 dapet ingetan entah darimana. lha ini...kalo buat gue, ini janggal.

    Terus ada Quetzalcoatl sama nephilim. gue jadi inget sesuatu.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  7. #36
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Phytagoras...materi smp yang masih cukup mudah...
    Trigonometri, materi matematik kelas 1 sma yang...sampe sekarang gue ga ngerti, dan males ngerti. Jadi pas bagian itu gue lewat, pokonya gue tau dia berhasil mecahin teka-tekinya...

    buat chapter ini, gue merasa ada yang janggal.

    itu kan dialog si Da'ath ke diri sendiri? yang bikin aneh itu, kok pengucapan dia akan sekian kata modern lancar ya? Oke, dia tau banyak, tapi ini sempat terdengar, kalo yang mikroskop itu kan dia denger bener2 dan tring tiba2 dapet ingetan entah darimana. lha ini...kalo buat gue, ini janggal.

    Terus ada Quetzalcoatl sama nephilim. gue jadi inget sesuatu.
    gw Pythagoras dapetnya kls 5/6 SD loh
    itu juga Trigonometrinya masih kelas cupu...mungkin ribetnya gara" gw hubungin sama geometri 3D

    kan Plasma yang ngomong pas berempat lg di dalem piramid, Da'ath modal kuping doang
    Ada juga benda-benda yang tidak kami kenal, namun ---lagi-lagi--- Plasma dapat menyebutkan nama dan kegunaannya satu persatu. Kata-kata aneh seperti quantum computer, scanning tunneling microscope, artificial photoreceptor cell, dan bio-energy laser core sempat terdengar olehku.

    =====================================


    berhubung uda ada yg comment, maka gw keluarkan Tehillim 8 sekarang (uda selese dari pagi ene )

    ndak ada ilmunya kali ini

    NB:
    kalo ada ilmunya, gw kasih tanda "||"
    kalo ga ada ilmunya, gw kasih tanda "~"


    =====================================


    Spoiler untuk Tehillim 8 :


    ================================================== ==
    Tehillim 8: Green Angelocracy Part IV ~ Nephilim and The Serpent
    ================================================== ==




    Tanpa bicara, Raqia melempar Biblos Gnostikos ke arahku. Dan baru saja buku tebal itu menyentuh tangan kiriku…

    “MATILAH DAN JANGAN PERNAH MUNCUL LAGI!!! HEAAAAAAAAHHHH!!!!”

    Teriakannya terdengar begitu menggelegar. Sambil menggenggam erat pedang besarnya dengan kedua tangan, dia melesat langsung ke arah Nephilim yang bernama Tenebria itu.

    Belum sempat Raqia menebas, Nephilim itu menghilang. Dalam sekejap, Tenebria kembali muncul di belakang Raqia.

    “Raqia, di belakangmu!!!!”, teriakku.

    “Terlalu lambat!!!”, serunya. Dalam tempo kurang dari sedetik, tangan kirinya pun mengeluakan sebuah bola hitam, lalu meninju punggung Raqia keras-keras.

    Pukulan itu berhasil membuat Raqia jatuh menghantam tanah. Suara yang begitu keras terdengar, lengkap dengan hempasan debu tanah dan patahnya beberapa pohon besar di sekitar Raqia.

    Sial. Sepertinya…

    “Plasma!! Bersiap menembak!!”

    Okay, boss!!

    Kuangkat senjataku, mengarahkan larasnya tepat ke arah Tenebria.

    Open barrel.”, Plasma bersiap.

    “Plasma, bisa kamu perkuat tembakannya?!”

    “Jelas saja bisa. Akan kubuat lebih gila kali ini!!”

    Dalam sekejap, terbentuk bola cahaya di depan senjata, kira-kira 4 kali tinggi badanku. Tenebria pun mengalihkan pandangannya ke arahku.

    Shooting plasma bullet in three…

    Ekspresinya nampak terkejut.

    Two…

    “Jangan…”

    One…

    “Sakiti…”

    Zero.

    “DIAAAAAAAAAAAA!!!!”

    *DHUAARRRRRRRRRRRRRRRRRRR~

    Hentakan cahaya tepat lurus menerjang ke arah Nephilim tersebut. Dengan diameter yang lebih besar, seharusnya dia tidak punya kesempatan lolos. Kuharap saja---



    Aku salah.

    Entah bagaimana caranya, dia langsung muncul di hadapanku begitu garis cahayanya menghilang.

    “Manusia kurang ajar!!!”

    Kepalan tangan kirinya diarahkan padaku, sama seperti yang dilakukannya terhadap Raqia tadi. Refleks, kugerakkan tangan kananku yang terpasangi Plasma Rifle untuk melindungi diri. Memang berhasil kutangkis, namun tubuhku malah terpental hingga ke dinding piramida. Argh…

    “Alatmu nampak bagus.”, ujarnya sinis.

    Kali ini, di depannya muncul tombak-tombak yang terbentuk dari miasma hitam…tepat mengarah padaku.

    “Akan kuhabisi dirimu, lalu mengambilnya.”, diapun menyeringai.

    “SENTUH DIA, DAN KAMU AKAN MATI!!!!”

    Teriakan Raqia kembali terdengar, dari arah langit. Dengan kecepatan tinggi dia menerjang ke arah Tenebria, siap dengan pedangnya. Kali ini, Tenebria tidak sempat menghindar. Tombak-tombak miasma pun lenyap. Butiran-butiran tanah ikut terhempas ketika Raqia mengayunkan pedang ke arah Tenebria.

    Tetapi…pedang itu berhasil ditahannya dengan sebelah tangan, tangan kiri. Ekspresi Raqia nampak begitu terkejut.

    Tenebria melemparkan kubus itu jauh ke atas, lalu meraih tangan kanan Raqia dengan tangan kananya sendiri. Dilemparnya Raqia tepat ke arah piramida hingga menghantam tembok, tak jauh dariku. Kemudian dia segera melesat ke atas, ke arah kubus itu.



    “D-Da’ath, kamu tidak apa-apa?”, tanya Raqia, berusaha berdiri dengan bertumpu pada pedangnya.

    “S-Seharusnya aku yang bertanya. M-Menghantam tanah sekali lalu dilempar seperti tadi, apa tidak ada yang bermasalah dengan tubuhmu?”

    “Hmmph, meremehkan sekali. Yang tadi belum seberapa. Aku pernah mengalami yang lebih buruk.”, ujarnya sambil mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

    Tepat ketika tangan kiriku meraih tangan kanannya dan berdiri, muncul sesuatu yang aneh di udara. Aura hitam…ya, aura hitam yang begitu kuat terpancar dari tubuh Tenebria. Kubus itu nampak melayang di depannya, lalu…

    “Da’ath!! Raqia!! Hentikan dia sekarang!!!! Dia ingin mengeluarkan Quetzalcoatl!!!!”, teriak Plasma.

    Namun, belum sempat satupun dari antara kami yang bergerak…

    “Diam. Di. Tempat. Aku bisa membunuh manusia itu jika kamu menyerang, Archangel.”

    Ucapan Tenebria diikuti dengan munculnya tombak-tombak miasma di sekitar kami. Sepertinya jumlahnya mendekati ribuan, karena tombak-tombak ini terus ada hingga sedikit di bawah kaki Tenebria yang sedang melayang di udara. Langkah Raqiapun terhenti. Aku tahu dia dapat menembus barikade tombak-tombak ini sendirian jika mengaktifkan Magen, tetapi…ah, aku merasa menjadi beban bagi dirinya.

    “Maaf, Raqia.”, suaraku terdengar pelan.

    “Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa membiarkanmu mati sekarang. Kita hanya bisa menunggu saat yang tepat untuk menghabisinya.”



    Tenebria melanjutkan aksinya. Entah bagaimana caranya, kubus itu sekarang terpecah menjadi 8 kubus yang lebih kecil. Kedelapan bagian itu menyebar, lalu terbentuklah sebuah lubang hitam besar berbentuk segi 8 di langit.

    “Plasma…apa yang dilakukannya…”, tanya Raqia, nampak kaget.

    “Terlambat sudah. WT03FS-Quetzalcoatl akan keluar.”

    “Tadi kamu bilang, Quetzalcoatl adalah sebuah senjata. Senjata macam apa?”, tanyaku.

    “Senjata pemusnah massal, Da’ath. Kalian ingat Biophotonic Decoder? Quetzalcoatl sengaja dibuat agar kompatibel dengan kristal tersebut.”

    “Tunggu, bagaimana mungkin?!”, seru Raqia.

    “Beberapa data sudah kembali lebih banyak saat Raqia memahami soal trigonometri tadi, jadi akan kujelaskan sedikit.”

    Menurut penjelasan Plasma, Biophotonic Decoder adalah salah satu hasil kreasi dari Divine Technology, yaitu sebuah bentuk teknologi yang menggabungkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan disempurnakan secara ilahi. Manusia-manusia saat itu sempat mencuri kristal tersebut, lalu membuat Quetzalcoatl. Kemungkinan besar piramida di belakangku ini adalah tempat perakitannya.

    “Perlu kalian ketahui, seluruh permukaan kulit Quetzalcoatl memiliki klorofil layaknya daun. Ingat cara kerja Biophotonic Decoder?”

    Raqia menjawab, “Kristal itu dapat melihat melalui apapun yang bisa berfotosintesis, alias melalui makhluk berklorofil. Dengan kata lain…”

    “Jika manusia di masa itu ingin menghancurkan sesuatu, mereka tinggal mengirim Quetzalcoatl dan dapat tetap melihat target melalui Biophotonic Decoder.”

    “Tunggu. Artinya, target Nephilim brengsek itu selanjutnya adalah Pardes!!”, serunya.

    Akupun menyahut, “Plasma, tidak adakah sesuatu yang bisa digunakan?! Ini benar-benar darurat!!”



    Dan…ini dia, WT03FS-Quetzalcoatl yang dimaksud. Suatu makhluk aneh berbentuk layaknya ular yang berukuran begitu besar, mungkin dapat melilit piramida di belakangku ini. Seluruh tubuhnya berwarna kehijauan dan lengkap dengan mata bulat kemerahan. Di bagian lehernya ada sesuatu yang serupa bulu tengkuk singa, namun berkobar seperti api. Kemunculannya disertai lecutan-lecutan petir berwarna hitam di sekitar lubang besar itu. Begitu tubuhnya keluar seluruhnya, lubang itu kembali menutup. Kedelapan kubus kecil itu menyatu, lalu jatuh entah di mana.

    “Please input new administrator data.”, suara itu terdengar dari arah Quetzalcoatl.

    “Tenebria Erebus.”

    “Username confirmed. Analyzing DNA…completed. Will use DNA data as new password. Welcome, miss Tenebria Erebus.”

    "Activate Bio-Energy Laser Core. Target...", Tenebria menunjuk ke arah kami berdua.

    Plasmapun berkomentar, “O-Ow…”

    Serupa Plasma Rifle, bola cahaya terbentuk perlahan dari ujung ekornya. Eh…bukan hanya ekor!! Di depan mulutnya juga juga terbentuk bola cahaya yang sama!!

    “Plasma, cepat lakukan sesuatu!!”, aku benar-benar panik sekarang.

    “Oke, oke.”

    Biblos Gnostikos pun muncul di hadapan kami berdua, setelah tadi terpental entah ke mana karena tubuhku yang terlempar.

    Accessing data. Warp Drive.

    Biblos Gnostikos menjawab, “Administrator recognized. Data transfer will be finished in five…four…three…

    “MUSNAHLAH KALIAAAAANNN!!!!”, Tenebria berteriak.

    …two…one…finished.

    “Raqia, pegang tangan Da’ath sekarang!!!!”, perintah Plasma.

    Seketika dia meraih tangan kiriku., tepat ketika Quetzalcoatl menembakkan dua garis cahaya yang besar.

    “Da’ath, ucapkan Warp Drive!!”

    Kuturuti perintahnya tepat ketika jejak cahaya itu berada tepat di depan mata. Tiba-tiba saja pemandangan di hadapanku berubah menjadi hijau pepohonan. Di saat yang sama, terdengar bunyi ledakan yang besar.

    “K-Kita di mana?”, tanyaku.

    “Berpindah ke titik yang cukup aman, ke tempat tadi kita mendarat.”, jawab Plasma.

    “Bagaimana dengan Biblos Gnostikos?!”.

    “Tenang, dia tidak apa-apa.”, sekejap muncul buku tebal itu di hadapanku. “Aku dan buku ini punya link khusus.”

    “Syukurlah…”, Raqia bernafas lega. “Da’ath, Plasma, lebih baik kalian kembali ke Pardes dan beritahu Mama Deshiel untuk mengamankan kristalnya. Aku akan menahan Nephilim beserta ular busuknya itu untuk sementara.”

    “Dan meninggalkanmu begitu saja? Tidak akan.”, jawabku.

    “Jangan sok jantan begitu!! Yang kita hadapi sekarang adalah makhluk sekuat Archangel namun jauh lebih jahat!! Apa kamu tidak peduli dengan keselamatan Pardes dan penduduknya?!”

    “Lalu bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu?! Ini sama saja dua lawan satu!!”

    “Tolonglah Da’ath!! Jika tidak ada dirimu, semuanya akan sia-sia!!”

    Entah kenapa mulut Raqia membisu dalam sekejap. Diapun membuang muka ke arah kanan, sedikit menunduk. Aku merasa ada yang lain dari kata-katanya barusan. Perasaanku sajakah?

    “M-Maaf sudah berteriak.”, ujarnya pelan.

    “T-Tidak apa-apa. A-Aku bisa mengerti.”, sekarang malah mulutku gelagapan. Atmosfer ini…duh.



    Suasanya menyenangkan namun membuat berdebar-debar itu hanya berlangsung sesaat.

    “Cih, ternyata aku meleset.”

    Tenebria mendarat sepelemparan batu jaraknya dari tempatku sekarang. Kepakan keempat sayapnya membuat deburan angin yang cukup kuat ketika kakinya mulai menyentuh tanah. Spontan kehadirannya itu mengalihkan tatapan kami ke arahnya. Dari kejauhan, Quetzalcoatl bergerak mendekat.

    “Biar kuurus dia. Jika kamu tidak mau pergi, lebih baik jatuhkan ular aneh itu.”

    “Plasma, kamu sanggup?”

    Senjata di tangan kananku menjawab, “Semoga saja, Da’ath.”

    “Berusahalah. Tuhan pasti menyertai kalian.”

    Raqia mengambil posisi, bersiap melesat.

    “Begitu kuhajar Nephilim itu, langsung tembak Quetzalcoatl. Mengerti?”

    Kujawab dengan satu kali mengangguk tegas.

    “Ha!! Masih belum menyerah juga rupanya. Sepertinya ini akan menjadi lebih menarik!!”

    Tombak-tombak miasmapun muncul di depan Tenebria. Beberapa kaki di udara, Quetzalcoatl kembali bersiap menembak. Seketika itu juga Raqia mengepakkan keenam sayapnya, membuatnya melesat dengan kecepatan tinggi. Sesaat sebelum berbenturan dengan tombak-tombak miasma, dia mengaktifkan Magen. Tidak ada satupun tombak yang dapat menembus perisai tidak terlihatnya itu. Aku ikut bersiap, dengan bola cahaya yang kali ini mungkin 6 kali lebih besar dariku.

    “Da’ath, SEKARANG!!!!”, perintah Raqia.

    Prosedur penembakan, selesai. Terdengar bunyi “zero” dari Plasma.

    “KEMBALILAH MENJADI MITOS, NEPHILIM BRENGSEEEEEKKK!!!”, Raqia berteriak sekeras-kerasnya.

    Bersamaan dengan Raqia yang melakukan gerakan menebas pada Tenebria, bola cahaya dari Plasma dan Quetzalcoatl melaju. Yang terjadi berikutnya adalah dua berkas--- maksudku tiga, dua dari Quetzalcoatl dan satu dariku, saling bertemu dan menghasilkan ledakan yang begitu besar di udara. Beberapa pohon besar nampak rubuh, bahkan membentuk pola lingkaran di tanah. Tetapi, baik aku ataupun ular itu, tidak ada yang terkena karena jarak ledakan yang jauh. Hanya terpaan udaranya saja yang terasa olehku. Cukup kuat, sehingga aku harus berlutut serendah mungkin agar tidak terbawa angin.



    Begitu kualihkan pandangan ke arah Raqia, ternyata Tenebria ---masih juga--- dapat menahan tebasan itu dengan tangan kosong.

    “Jangan meremehkanku, hei Archangel!!”

    “Ha!! Kita lihat siapa yang akan tertawa terakhir!! Limiter, release!!

    Keenam sayap Raqia mengembang makin lebar, bahkan bercahaya begitu terang hingga menyilaukan mataku. Berikutnya, terjadi ledakan tepat di titik dimana keduanya berbenturan. Begitu kuat hingga tubuhku terpental beberapa langkah.

    Kilatan cahaya meredup, dan kudapati Raqia berlutut sambil bertumpu pada pedangnya. Dia nampak lelah dan terengah-engah. Tenebria sendiri terhempas hingga menabrak sebuah pohon besar, menyebabkannya patah. Hebatnya, Nephilim itu masih berusaha berdiri. Kembali senyuman menyeringai terbentuk di wajahnya. Ternyata…Quetzalcoatl bersiap menembak, kali ini ke arah Raqia yang terlihat lemas.

    Knock out, Archangel.”, ujarnya.

    Entah apa yang Plasma perbuat, tetapi Biblos Gnostikos kembali muncul di hadapanku.

    Plasma berkata, “Requesting equipment. Sacred Armor. Energy Blade. Hypermassive Defenser.

    Request accepted. Materializing equipment in five…four…three…”, Biblos Gnostikos bersuara.

    “Begitu prosesnya selesai, ucapkan ‘Heavenly Saint’ dan aktifkan Warp Drive. Mengerti?”

    …two…one…finished.”

    “Sekarang!!”

    Kuturuti saja kata-katanya, lalu berseru…

    “Heavenly Saint!!!!”

    Seakan ada cahaya hangat yang meneylimuti tubuhku.

    “Warp…Drive!!”

    Dalam sekejap, aku sudah berada di samping kiri Raqia, lalu merangkulnya dengan tangan kanan. Namun…Quetzalcoatl itu sudah menembak. Berkas cahayapun melaju cepat ke arah sini. Aneh, refleks kugerakkan tangan kiri ---padahal seingatku Plasma terpasang di tangan kanan--- untuk melindungi diri.



    Tunggu. Apa yang melayang di depan tangan kiriku ini…? Perisai? Dan kenapa di tangan kiriku ada sarung tangan logam dengan batu bewarna?

    Perisai itu mampu melindungi dengan sempurna, membuat berkas cahaya itu berantakan. Tidak ada secuilpun yang dapat menembus.

    “D-Da’ath…? Kamu…”, Raqia terdengar kaku, nampak terkejut. “WAAAAHH!!! Kamu keren sekali!!!”, serunya, sambil menggenggam erat tangan kananku.

    “He?”

    Begitu kuperhatikan seluruh tubuhku…wew. Satu set armor berwarna perak menutup rapat tubuhku kecuali bagian kepala, dan nampak berkilau memantulkan cahaya tengah hari. Di kedua pelindung bahu ada dua buah pola berbentuk salib yang menonjol, berwarna keemasan. Sementara pada sarung tangan, tepatnya pada bagian punggung tangan, ada dua buah batu berbentuk lingkaran yang terus menerus berganti warna sesuai urutan tujuh warna pelangi. Diameternya dua kali lebih besar dari kelereng biasa.

    Tidak ada helm, tetapi ada dua buah bulatan seukuran telapak tangan yang menutupi telinga kiri dan kananku. Mencuat ke arah belakang dari kedua bulatan itu, ada ornamen berbentuk lempengan tipis dari logam, berbentuk mirip sebuah sayap kecil.

    Perisai tadi juga tetap melayang di dekat tangan kiriku. Ukurannya mungkin satu jengkal lebih tingi dan lebar dari bagian dada-perutku. Warnanya putih bersih, lebih putih dari awan. Di tepiannya ada garis emas setebal panjang jari telunjuk mengelilinginya. Perisai ini juga nampak berat, entah terbuat dari bahan apa.

    “Perisai itu namanya Hypermassive Defenser. Tidak perlu dibawa dengan tangan, dia bisa melayang.”, ujar Plasma, bicara melalui kedua bulatan yang ada di telingaku. Oh, jadi yang di telinga ini adalah pengganti mulutnya Plasma.

    “Kurang ajar…apakah kamu…”, Tenebria menyahut, berdiri agak sempoyongan. Mungkin masih merasa sakit akibat benturan tadi.

    “Cih, masih juga bisa berdiri.”, Raqia nampak kesal.

    “Sekarang katakan, apa tujuanmu membangkitkan senjata aneh itu?!”, tanya Plasma, setengah berteriak.

    “Tidak usah banyak bertanya. Aku tidak mau berlama-lama dengan kalian.”, dia tersenyum sinis. “Quetzalcoatl, Sun Blast. Activate auto-pilot mode.”



    Kali ini Quetzalcoatl tidak menembakkan berkas cahaya, melainkan semburan panah-panah api dari lehernya yang menyala-nyala itu. Begitu banyak, membuatku harus bertahan dengan Hypermassive Defenser selagi melindungi Raqia yang masih belum kuat untuk berdiri. Tenebria sendiri menghilang entah ke mana saat serangan itu dimulai.

    “Da’ath, katakan ‘maximize’!!”

    Begitu kuturuti perintah Plasma, Hypermassive Defenser membesar, hingga bayangannyapun dapat menaungi kami berdua dan menahan gempuran panah-panah api itu dengan sempurna.

    “Lebih baik kamu kejar Tenebria. Biar aku yang menahannya.”

    “Kamu masih nampak lelah, Raqia. Akan kuhabisi dia dengan cepat, lalu kita bersama-sama mengejar Nephilim itu.”

    Akupun berdiri. “Plasma, Energy Blade.”

    Aku ingat Plasma sempat menyebut nama itu tadi.

    Okay, boss!!

    Muncul sebuah pedang di tangan kanan, panjangnya hampir sama dengan tinggi bahuku. Bentuk dasarnya tidak berbeda dengan pedang biasa, hanya ada pola-pola aneh di bagian gagangnya yang berwarna kuning keemasan. Tetapi…

    “Heh Plasma, kenapa mata pedangnya kecil begini??!!”

    Bagaimana aku tidak heran, lebar mata pedangnya yang keperakan itu hanya sedikit lebih pendek dari jari telunjukku!!

    “Sabar sedikit. Pedang ini baru pertama kali digunakan setelah sekian lama, jadi energinya harus di-charge dulu sebentar.”, jawabnya santai.

    Tak lama, mata pedang yang sempit itu dikelilingi cahaya putih. Entah bagaimana caranya cahaya itu dapat membentuk diri layaknya benda padat, masing-masing satu jengkal ke kiri dan kanan mata pedang yang kecil itu. Maka jadilah bentuk pedang yang sempurna. Wow, ringan juga ternyata. Bobotnya tidak berbeda dengan Plasma dalam mode rifle, layaknya bulu.

    “Oh ya, bagaimana cara mengecilkan kembali perisainya?”

    “Mudah. Katakan saja ‘restore’.”

    Begitu tidak ada lagi suara panah api yang berbenturan dengan perisai, kukembalikan ukuran perisai seperti semula.

    By the way, kamu juga dapat terbang jika mengenakan Sacred Armor ini. Kakimu akan terasa ringan jika kamu berpikiran untuk melayang.”

    “Baiklah…layak dicoba.”

    Mudah juga. Dalam sekejap aku sudah bisa terbang tanpa ada embel-embel sayap di punggung. Quetzalcoatl itupun mengalihkan pandangannya ke arahku.

    “Kemarilah, ular busuk!!”

    Diapun kembali berusaha menembakkan bola cahaya dari mulut dan ujung ekor. Tidak hanya itu, panah-panah api dari lehernya juga mulai ditembakkan. Kubesarkan ukuran perisai, lalu terbang melesat ke arah ular itu. Begitu sudah cukup dekat, kuayunkan Energy Blade. Namun tiba-tiba saja ada lubang besar terbuka di langit…hei…yang ini sih tidak perlu kutakutkan.

    Pedang besar muncul dari lubang tersebut, menembus tubuh Quetzalcoatl. Yap, itu adalah Chereb HaMemad milik Raqia. Gerakannya terkunci karena pedang besar itu menancap hingga ke permukaan tanah. Saat aku menengok ke arahnya yang masih setengah berlutut di tanah, Raqia mengacungkan jempolnya padaku.

    Bagus. Akupun bebas mencincangnya dengan Energy Blade hingga tubuhnya terpecah belah. Ular besar itu meledak, tersisa puing-puingnya saja yang berjatuhan ke tanah. Chereb HaMemad juga mengecil, kembali ke genggaman Raqia.

    Yeah. Mission accomplished.



    “Ularnya sudah hancur. Apa kristal itu masih diperlukan?”

    “Tentu saja, Da'ath. Meski Quetzalcoatl tidak ada, Biophotonic Decoder adalah aset penting yang berguna untuk memata-matai daerah tertentu. Lebih baik kita segera ke Pardes.”, jawab Plasma.

    “Sudah baikan?”, tanyaku, saat mendarat di sebelah kiri Raqia.

    “Mmm…sudah. Kamu tidak perlu khawatir lagi.”, dia tersenyum sambil beranjak berdiri.

    “Aku akan menghitung jarak antara Pardes dan tempat ini. Da’ath, aktifkan Warp Drive saat kuperintahkan. Kita akan membuang banyak waktu jika terbang seperti biasa.”

    “Baiklah.”

    Distance calculated. Raqia, berpeganganlah pada--- ehem…”

    Entah apa yang memasuki Raqia. Bukannya berpegangan, dia malah…memelukku. Dengan lembut dia berkata, “Terima kasih banyak.”

    “Err…i-iya, sama-sama.”

    “Halooo…? Cepat aktifkan Warp Drive nya…”

    “Aaaaa…o-oke, oke. Warp Drive.”



    Sekejap, Pardes. Namun bukan butiran-butiran cahaya dan lebatnya pepohonan yang kutemui. Hanya Akatharton yang tak terhitung, manusia-manusia yang panik, para Angel-class yang nampak sibuk bertahan dari serangan, dan…api.

    Uh-huh. Kota ini terbakar.



    =====================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Tenebria Erebus
      ---> Tenebria => Tenebris (Latin) = Darkness
      ---> Erebus (Greek) = also, Darkness (primordial deity of darkness in Greek myth)
    • Btw, WT03FS itu ada artinya.
      ---> WT = White Tezcatlipoca
      ---> 03 = kalo dlm bhs Inggris, nyebut urutan mata angin pasti 1. North 2. East 3. West 4. South
      ---> FS = Feathered Serpent
      Semuanya merujuk pada sifat Quetzalcoatl pada Aztec myth.
    Last edited by LunarCrusade; 27-09-12 at 18:59.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #37
    Raditya~'s Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Wherever i want
    Posts
    337
    Points
    77.10
    Thanks: 14 / 14 / 8

    Default

    eksis di trit baru dulu ah /

    Loli ijo2nya gampang kebayang,

    petite energetic loli, tipe2 sering gue temuin di manga2 romance belakangan ini.

    Btw kok level pelajarannya makin lama makin turun, dari golden fckin whatever, ke SPLDV, sampe fotosintesis

  9. #38
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    @tas: woi woi, jangan bilang begitu... kalo ntar dimunculin yang aneh2 bisa gawat nih pembacanya...

    Spoiler untuk rada panjang dan belit :

    soal chapter sebelomnya...
    Yes si plasma yang ngomong. Tapi kan ceritanya lagi dialog si Da'ath. Simpelnya, dia denger si Plasma ngomong kata2 itu, kan... Kalo ngga salah inget, di golta juga ada kasus begini (si loli itu kalo ngga salah pas baru nyampe), terus elu nulisnya dengan cara pengucapan, bukan ejaan tepat..waktu itu bahasa Seihou jadi gue ngga inget kata2nya.
    gue jadi agak linglung pas bacanya.
    oke, lupakan, yang penting ceritanya masih asik

    ***

    OKE! langsung jeduer jeduer dari awal!
    Quetzalcoatl ya, kalo dibayangan gue sih sacred armor itu kayak armor2 di saint seiya
    jadi kebayangnya saint seiya lawan naga2 gitu...
    Tapi... Nephilim itu bukannya setengah jadi, ya? kok bisa sama kuat sama archangel yang literally malaikat kelas elit? cmiiw...

    Satu hal yang agak gue benci dari cerita action kebanyakan; disaat kritis, pasti masih sempet ngobrol.
    itu Quetzalcoatl udah mau keluar, si Plasma masih sempet ngejelasin...walopun dikit...
    Yah, bukannya mustahil juga sih. Cuma gue ngerasa gimana gitu ya. Udah gitu lawannya pasti selalu diem, ato kadang malah lama2in nahan jurusnya. auhh...

    eniwei... masih keren!
    ini nih jeder jedor yang gue tunggu!
    Pas awal2 itu terutama, waktu si Tenebria baru mau digasruk sama Raqia. Bener2 intens suasananya, berasa tegang. seudah itu yang keren pas mau ngeluarin Hypermassive Defenser, jagoannya muncul broooh


    Gue menunggu kabar si mamah cantik dan kota gemerlap selanjutnya, ya. :kngacir

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  10. #39
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Raditya~ View Post
    eksis di trit baru dulu ah /

    Loli ijo2nya gampang kebayang,

    petite energetic loli, tipe2 sering gue temuin di manga2 romance belakangan ini.

    Btw kok level pelajarannya makin lama makin turun, dari golden fckin whatever, ke SPLDV, sampe fotosintesis
    oh tenang...genetika, astronomi, mekanika, sama fungsi polinomial pasti ada koks

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    @tas: woi woi, jangan bilang begitu... kalo ntar dimunculin yang aneh2 bisa gawat nih pembacanya...

    Spoiler untuk rada panjang dan belit :

    soal chapter sebelomnya...
    Yes si plasma yang ngomong. Tapi kan ceritanya lagi dialog si Da'ath. Simpelnya, dia denger si Plasma ngomong kata2 itu, kan... Kalo ngga salah inget, di golta juga ada kasus begini (si loli itu kalo ngga salah pas baru nyampe), terus elu nulisnya dengan cara pengucapan, bukan ejaan tepat..waktu itu bahasa Seihou jadi gue ngga inget kata2nya.
    gue jadi agak linglung pas bacanya.
    oke, lupakan, yang penting ceritanya masih asik

    ***

    OKE! langsung jeduer jeduer dari awal!
    Quetzalcoatl ya, kalo dibayangan gue sih sacred armor itu kayak armor2 di saint seiya
    jadi kebayangnya saint seiya lawan naga2 gitu...
    Tapi... Nephilim itu bukannya setengah jadi, ya? kok bisa sama kuat sama archangel yang literally malaikat kelas elit? cmiiw...

    Satu hal yang agak gue benci dari cerita action kebanyakan; disaat kritis, pasti masih sempet ngobrol.
    itu Quetzalcoatl udah mau keluar, si Plasma masih sempet ngejelasin...walopun dikit...
    Yah, bukannya mustahil juga sih. Cuma gue ngerasa gimana gitu ya. Udah gitu lawannya pasti selalu diem, ato kadang malah lama2in nahan jurusnya. auhh...

    eniwei... masih keren!
    ini nih jeder jedor yang gue tunggu!
    Pas awal2 itu terutama, waktu si Tenebria baru mau digasruk sama Raqia. Bener2 intens suasananya, berasa tegang. seudah itu yang keren pas mau ngeluarin Hypermassive Defenser, jagoannya muncul broooh


    Gue menunggu kabar si mamah cantik dan kota gemerlap selanjutnya, ya. :kngacir
    karena komentarnya dispoiler, maka responnya juga dispoiler

    Spoiler untuk bledar :

    buset Saint Seiya...setel Pegasus Fantasy dolok berarti tiap kali Da'ath henshin

    Masalah Nephilim (dan berbagai macam keanehan di cerita ini), memang sengaja ga gw jelasin langsung di awal"
    Tapi ntar makin kebuka kok sebenernya Nephilim itu siapa, terus gimana bisa ada sisa-sisa Divine Technology, terus kenapa bisa ada beberapa device yg anti-Divine Technology tsb.


    Memang sih,
    tapi gw rasa yang baca juga bakal cape kalo action ga ada pause nya (yang baca bukan cuma elu loh)
    Lagipula logis kan, pause nya emang pas Tenebria lg summon Quetzalcoatl
    Dan karena umur uler ini udah bangkotan, jadi lama keluar dari portal...ada karatan dikit kali ye

    Emphasis gw emang di "adegan yang masuk akal", bukan "adegan asal seru"
    Makanya gak jarang gw keluarin detail sedemikian rupa panjangnya (especially for sci-fi and fantasy, yg segala macemnya di-create dari nol)
    Kalo gak detail ntar pembacanya blank, kasian.




    =======================================


    Spoiler untuk Tehillim 9 :


    ============================================
    Tehillim 9: Green Angelocracy Part V ~ Forest Guardian
    ============================================




    Saat ini aku berada di pinggiran kota Pardes. Di beberapa titik, kudapati kepulan asap membumbung, sepertinya beberapa pohon-rumah terbakar. Kekacauan ini diperparah dengan hadirnya makhluk-makhluk aneh. Akatharton, maksudku. Ternyata mereka bisa mengambil wujud lain selain serigala. Ada yang berbentuk jaguar, ******, burung, hingga kodok yang berukuran tidak wajar.

    “A-Ada apa ini?!”, seru Raqia, begitu melihat kondisi Pardes yang kacau balau.

    Seekor Akatharton berbentuk serigala menerjang, namun dapat ditebasnya dengan mudah.

    “Dari mana semua Akatharton ini berasal?! Kurang ajar…!!”, wajahnya terlihat depresi.

    “Tenangkan dirimu, Raqia. Yang jelas kita harus memastikan kalau kondisi Yang Mulia Deshiel dan kristal itu tetap aman.”, aku berusaha menenangkan.

    “Kalau begitu kita harus segera ke Etz HaChayyim!!”

    “Baiklah, akan kuaktifkan Warp Drive. Raqia, pegangan pada---“

    “Maaf, Da’ath.”, potong Plasma. “Sepertinya kalkulasi jarak yang kumiliki belum seratus persen akurat dan sempurna. Memang fungsi dasarnya telah kembali saat Raqia memahami persoalan trigonometri tadi. Tapi bisa kamu lihat sendiri, kita muncul di pinggir kota sementara seharusnya di tengah-tengah. Ada baiknya kalian terbang secara biasa saja.”

    Kuturuti kata-katanya. Kamipun melesat di udara, menuju pohon besar di tengah-tengah kota.



    Pemandangan mencengangkan tertangkap mataku begitu kami sudah dekat dengan Etz Ha Chayyim. Puluhan Angel-class nampak tergolek di tanah, dan beberapa di antaranya Raqia kenali sebagai kepala-kepala divisi pasukan pengamanan. Terdengar juga suara senjata saling beradu. Seseorang bersayap 4 nampak sudah berada tak jauh dari pohon besar itu. Ya, Tenebria. Nephilim itulah yang menghajar mereka satu persatu. Sudah kuduga ini pasti ulahnya.

    Dan yang ada di hadapannya sekarang…Viridia?!

    Masih menggenggam halberd nya, Viridia berusaha bangkit berdiri.

    “Belum menyerah juga, anak kecil?!”, diapun menginjak punggung Angel-class berambut hijau itu keras-keras dengan kaki kanan.

    “Aghhh!!”, Viridia kembali tersungkur.

    Kali ini Tenebria menggenggam sebuah pedang besar bergagang merah dengan mata pedang berwarna hitam, lengkap dengan guratan-guratan huruf aneh berwarna kuning menyala terukir di kedua sisi mata pedang. Panjangnya mungkin hampir sama dengan Energy Blade. Aneh, sebelumnya dia tidak menggunakan pedang itu…

    Tanpa banyak bicara, Raqia melesat ke arah Tenebria. Karena tidak memperhatikan kedatangan kami berdua, pertahanannya menjadi lengah. Tubuhnya langsung terhempas beberapa puluh langkah setelah menerima hantaman pedang milik Raqia.

    “K-Kurang ajar…masih saja kalian…”, Nephilim bermata merah itu berkata, sambil berusaha berdiri.

    Akupun berlari menghampiri Angel-class yang malang itu.

    “Viridia, kamu tidak apa-apa?”, aku berusaha membantunya bangkit.

    “D-Dia…sebenarnya siapa dia…”, tanya Viridia.

    “Nephilim.”, jawab Raqia dengan cepat. “Dan bisa kutebak, pasti dia yang memunculkan semua Akatharton ini.”

    “Tebakanmu benar, Archangel.”, ujarnya sinis.

    Tenebria sudah kembali berdiri tegak. Pedang itupun diangkatnya tinggi-tinggi…

    “Chereb HaNephilim, Akatharton Summoning!!”

    Hebatnya, pedang itu menjawab, “Yes, master.”

    Bah, kenapa semua senjata aneh yang kutemui pasti bisa bicara?! Hanya milik Raqia saja yang tidak…



    Beberapa lingkaran hitam dengan guratan-guratan aneh tercipta di permukaan tanah di depan kami. Puluhan Akatharton dalam berbagai wujud pun muncul dari masing-masing lubang.

    “Kamu terlalu meremehkanku, Nephilim!! HEAAAAAHHHH!!!!”

    Raqia mulai mencincang mereka satu persatu, diikuti Viridia dan juga diriku. Semua terasa mudah dengan Energy Blade dalam genggamanku. Namun, mereka tidak ada habisnya. Dan seperti saat di luar tembok Shamayim, Raqia mulai terlihat lelah. Aku, yang kurang pengalaman dalam bertarung, merasa kesulitan dengan banyaknya musuh yang datang terus menerus. Ternyata senjata bagus tidaklah menjamin sebuah kemenangan.

    “Sombong sekali dirimu, hei Archangel!! Jangan kira aku tidak tahu kalau tenagamu akan cepat terkuras jika terlalu lama berada di dekat Akatharton!!”

    Apa? Jadi itu alasannya!! Apalagi kelemahan seperti itu dapat diketahui musuh…gawat. Dan di saat seperti ini, di mana nona Deshiel?!

    Benar saja. Gerakan Raqia mulai melambat, bahkan sesekali Viridia harus membantu menghajar Akatharton yang mendekatinya. Perlahan kami bertiga mulai terpisah makin jauh karena serbuan Akatharton yang tiada habisnya ini.

    “Maaf jika tidak bisa meladeni kalian terlalu lama. Kristal itu menungguku.”, ujar Tenebria, mulai melangkah ke arah Etz HaChayyim.

    Viridia, yang terdesak Akatharton hingga ke dekat pintu gerbang pohon-istana, beralih bersiap menyerang Tenebria.

    “Sudah kukatakan, orang sepertimu dilarang masuk!!”, Viridia mengambil posisi menyerang.

    “Diam. Aku tidak sudi diatur makhluk sepertimu.”, jawabnya santai, dengan mata pedang itu disandangkannya di bahu kanan.

    Makin dekat Tenebria melangkah, raut wajah Viridia nampak makin panik. Ditambah lagi dengan pedang tersebut yang sekarang mengeluarkan miasma hitam…bahkan akupun ikut merinding.

    “Menyingkirlah dan kamu akan tetap hidup. Aku tidak suka menghabisi orang yang bukan targetku.”

    “D-Dan membiarkanmu masuk untuk mengambil kristal itu?! Tidak akan!!”, ucapan Viridia terdengar agak gemetaran.

    “Ini peringatan terakhir. Pergilah.”, ujar Tenebria, terdengar begitu dingin.

    “SUDAH KUBILANG TIDAK AKAN!!! HIAAAAAAHHHHH!!!”

    Viridia berlari menerjang dengan posisi halberd yang siap menebas kapan saja. Hebatnya, Nephilim itu nampak begitu santai. Kurasa Tenebria bisa tenang seperti itu karena merasa kekuatan mereka berdua berbeda jauh.

    Tebasan halberd itu dapat ditahan--- bukan. Halberd milik Viridia langsung patah begitu berbenturan dengan pedang hitam itu. Diayunkannya pedang itu dengan cepat, dan…yang kukhawatirkan benar-benar terjadi.


    “Akh…”


    Sebuah tusukan menembus perut Viridia hingga ke punggung.



    Tenebria pun tersenyum layaknya seorang sadist. “Dasar anak nakal.”

    “VIRIDIAAAAAAAAAAAAAA….!!!!”

    Teriakan Raqia terdengar begitu putus asa. Dia sendiri masih sibuk dengan Akatharton di sekitarnya, ditambah dengan gerakannya yang terus melambat.

    Tenebria mencabut pedangnya, meledakkan gerbang depan dengan tebasan miasma hitam, lalu lanjut melangkah ke dalam pohon-istana tanpa menunjukkan wajah bersalah. Viridia ditinggalkan begitu saja, tergolek di tanah. Para Akatharton yang di hadapanku juga berhenti menggandakan diri begitu dia masuk.

    Diliputi kemarahan, Raqia menebas sisa-sisa Akatharton itu sekuat tenaga. Dengan susah payah diapun dapat menghampiri temannya itu, yang terlihat sudah tak punya tenaga lagi untuk bergerak.

    Raqia meletakkan Viridia di pangkuannya. “Viridia!! Viridiaaa…!!”

    Suara Raqia terdengar sedih, tapi tidak ada satupun air mata yang keluar. Akhirnya akupun dapat mendekati keduanya setelah menebas Akatharton terakhir yang menggangguku sejak tadi.

    “A-Apa aku…s-sudah bertugas d-dengan baik…?”, tanya Viridia dengan segenap sisa tenaganya.

    Tidak seperti manusia, seorang Angel-class tidak memiliki aliran darah di dalam tubuhnya. Pada bekas tusukan hanya kudapati cahaya terang, dengan butir-butir cahaya kecil yang terus keluar, seakan menguap.

    “Jangan pikirkan hal itu sekarang!! Akan kucarikan pertolongan---“

    Dengan pelan, Archangel bermata hijau itu menggelengkan kepala satu kali. “S-S-Sudahlah, Raqia…jangan pikirkan d-diriku…keselamatan Yang M-Mulia Deshiel…l-lebih…AAAGHHH…!!”

    Aku benar-benar tidak tega melihat pemandangan ini. Viridia nampak begitu tersiksa, memegangi bekas tusukan tadi.

    Sekarang terdengar suara kaca pecah, sepertinya pintu lapis kedua di dalam pohon-istana itu.

    “Sepertinya kita harus masuk, Da’ath. Jika Biophotonic Decoder itu jatuh ke tangan yang salah, akan jatuh lebih banyak korban dibanding yang kamu lihat kali ini.”, sahut Plasma.

    “Da’ath, cepatlah masuk!!!!”, seru Raqia.

    “Raqia, apa kamu yakin---“

    “Kumohon, Da’ath. Kumohon…biarkan aku bersamanya…”, jawabnya pelan.

    Ya, aku bisa mengerti kali ini. Aku juga dapat mengetahui kalau kesempatan Viridia begitu kecil. Setidaknya di waktu-waktu terakhirnya, ada seseorang yang bersama dirinya…



    Akupun segera berlari memasuki Etz HaChayyim. Benar dugaanku, kaca yang pecah tadi adalah pintu kaca besar yang membatasi aula tengah.

    Terlambat. Pedang yang sama sudah menancap pada dada kanan nona Deshiel.

    “Ah…kamu lagi rupanya.”, sahut Tenebria, sambil mencabut pedangnya. Lalu, Archangel ketiga itu rubuh dan tersungkur di lantai.

    “Yang Mulia Deshiel!!!!”

    “Hahaha!! Sayang sekali, eh? Lebih cepat sedikit maka kamu dapat menyelamatkannya.”

    Aku benar-benar marah sekarang. Kueratkan genggamanku pada Energy Blade.

    Melangkah ke arahnya, aku berkata, “Kamu…benar-benar harus lenyap dari dunia ini.”

    “Ha!! Kita lihat siapa yang akan benar-benar lenyap!!”

    Dia terbang melesat ke arahku, dan kulakukan hal yang sama. Pedang kami berduapun berbenturan ketika berada di udara, menghasilkan hentakan udara yang begitu kuat, bahkan hingga tubuhku terhempas beberapa langkah. Dia sendiri tidak bergeser jauh karena menggerakkan sayap untuk menahan laju angin.

    Kakinya menyentuh lantai, lalu bicara, “Masih hijau sudah mencoba bertarung denganku. Kematianmu sudah di depan mata, hei manusia!!”

    Sial, sepertinya dia tahu kalau aku tidak berpengalaman dalam bertempur.

    “JANGAN BANYAK OMONG!! HEAAAAAHHH!!!”

    Kembali aku menerjang ke arahnya. Sudah kuduga, dengan sigap dia menahan tebasanku. Tetapi kali ini…kuayunkan tangan kiriku, melempar Hypermassive Defenser ke tubuhnya. BAM!! Diapun terhempas hingga ke tembok, membuat temboknya retak dalam pola lingkaran. Pedang hitamnya itu juga terlempar cukup jauh. Kemudian, perisai beratku kembali ke tempatnya, melayang di sebelah tangan kiri.

    “B-Brengsek…perisai macam apa itu…”

    “Pengalamanku boleh sedikit. Tapi aku yakin kalau aku lebih pintar darimu.”, kudekati dirinya sambil menyodorkan ujung pedang. “Sekarang katakan, apa tujuanmu membuat kekacauan di tempat ini.”

    “Cih, apa kewajibanku menjawab pertanyaanmu.”, dia membuang muka.

    “JAWAB!!!!”, kutancapkan Energy Blade tepat di sebelah kiri kepalanya, sangat dekat. Dia langsung nampak tersentak.

    “Ini…perintah. Aku diminta membangkitkan Quetzalcoatl dan mengambil Biophotonic Decoder.”, jawabnya pelan.

    Plasma memotong, “Tunggu. Bagaimana kamu bisa tahu nama sebenarnya dari kristal itu?!”

    “Orang yang menyuruhku yang mengatakan namanya. Dia juga yang memberitahu lokasi piramida .”

    “Jadi kamu juga yang memunculkan piramida besar itu?!”, aku setengah tidak percaya.

    “Begitulah.”

    Plasma menyahut, “Tapi kamu bodoh sekali. Memecahkan password tempat penyimpanan Quetzalcoatl saja tidak bisa...hahaha…”

    Entah kenapa, mendadak senyum menyeringai kembali terlukis di wajah Tenebria. “Kita lihat siapa yang bodoh.”



    “Da’ath!! Di belakangmu!!”, teriak Plasma.

    Brengsek, tombak miasma itu lagi!!

    Refleks, kutahan tombak-tombak itu dengan Hypermassive Defenser. Tenebria sendiri segera mengambil pedangnya, lalu mengayunkannya ke arahku. Beruntung, masih dapat kutangkis dengan Energy Blade.

    “Refleksmu bagus juga, hei manusia. Ingin bergabung dengan kami, para Nephilim?”

    Itu artinya bukan hanya dia Nephilim yang ada di muka Bumi.

    “Aku tidak akan bergaul dengan seorang pembunuh!!”

    Sekali lagi, tiba-tiba ada yang muncul di kepalaku. Kali ini bukan sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan, tetapi…

    “Warp Drive, manual mode. System on!!

    Selesai kukatakan perintah tersebut, aku bisa bergerak secepat kilat ke manapun semauku. Matanya tidak sanggup mengikuti pergerakanku, sehingga jelas sekali dia terlihat kebingungan. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk terus menyerang dirinya baik dengan sabetan Energy Blade ataupun hantaman Hypermassive Defenser.

    Sekali bergerak ke sebelah kirinya, lalu…yap, belakangnya. Kuayunkan Energy Blade untuk menebas punggungnya.

    “Ugh…sial…”

    Tenebria langsung jatuh berlutut, bertumpu pada pedangnya. Sepertinya kali ini dia benar-benar tidak dapat membalas, mengingat sebelumnya sudah beberapa kali dia menelan mentah-mentah seranganku maupun Raqia.

    “Chereb HaNephilim, activate dimensional gate.”

    “Yes, master.”, pedang itu menurut.

    Seketika itu juga tercipta deburan udara yang kuat disertai miasma hitam. Di bawah kaki Tenebria, terbentuk lingkaran hitam dengan guratan huruf-huruf aneh yang tidak kumengerti.

    “Kita akan bertemu lagi, manusia. Ingat itu.”

    Nephilim itupun menghilang, seakan disedot lingkaran hitam. Sepertinya sudah selesai. Pardes aman untuk sementara...mungkin.



    “Fiuh…akhirnya. Untung saja kristal itu tidak dicuri.”, kupandang kristal itu yang tidak tergores sedikitpun.

    “Hahaha…ya, benar. Tapi aku heran, bagaimana caranya kamu menggunakan Warp Drive dalam mode manual seperti tadi? Untuk dapat menggunakannya, kamu harus mengira-ngira jarak di depanmu dalam satuan meter. Sementara…aku sendiri belum mengajarimu tentang patokan satuan yang digunakan.”

    “Mudah saja, Plasma. Kamu bilang kalau sisi alas piramida itu nilainya seratus meter, benar? Jika panjang sisi alasnya kubagi seratus, maka jadilah nilai satu meter. Mungkin nilainya tidak tepat secara sempurna, tapi pastilah tidak berbeda jauh.”

    As expected from a blacksmith. Matamu cukup bagus juga rupanya untuk mengira-ngira ukuran.”

    Tunggu. Nona Deshiel!!

    Bergegas aku berlari ke tempatnya tergolek lemas, berlawanan sisi dari tempatku berdiri.

    “Yang Mulia Deshiel!!”, seruku. Akupun menopang tubuhnya dengan tangan kiri.

    “Ah…k-kamu rupanya. Maaf ya sudah merepotkan…”

    Plasma berujar, “Jangan berkata begitu, Yang Mulia. Anda bisa tenang karena pengganggu itu sudah pergi.”

    “P-Plasma, apa itu kamu…?”

    “Ya, saya di sini, Yang Mulia.”

    Ternyata sama seperti Viridia, seorang Archangel tidak memiliki darah. Luka tusukan tadi hanya bersinar, sambil menguapkan butir-butir cahaya.

    “Yang Mulia, saya akan memanggilkan Raqia sekarang.”

    Belum sempat aku berdiri, nona Deshiel menggenggam erat lengan kiriku.

    “T-Tidak perlu. A-Aku hanya minta tolong satu hal…dan ini bisa menyelamatkanku…”

    “Katakan, Yang Mulia. Apapun akan kulakukan.”

    “Jika benar…k-kalau kamu adalah Crusader-Saint itu…seharusnya kamu b-bisa…”

    Perlahan nona Deshiel menaruh tangan kirinya di dada. Sesuatu berbentuk bola kecil muncul dari situ…begitu terang, memancarkan sinar kehijauan.

    “I-Ini…jika kamu bisa m-memegangnya…tolong…d-dekatkan ke kristal itu---”

    Kata-katanya terhenti, matanyapun menutup. Bola kehijauan tadi lepas dari genggamannya, bergulir di lantai.

    “Yang Mulia!! Yang Mulia…!!!!”, kugoncangkan tubuhnya. “AAAAHHH!!! Sial!!!

    “Da’ath!! Tenanglah dulu!! Dia berkata kalau bola itu didekatkan ke kristal, maka dia akan selamat!!”, seru Plasma.

    “Benar juga katamu. Maaf, Yang Mulia.”, kubaringkan tubuhnya yang kaku itu di lantai.



    Tanpa basa-basi kuulurkan tangan kananku untuk mengambil bola seukuran kelereng itu, lalu berjalan ke arah kristal. Tanganku terus mendekat dan…masuk. Ya, bola kecil itu meresap masuk ke dalam kristal, ke dalam Biophotonic Decoder. Tak lama, terdengar suara dari kristal besar itu.

    “Ah…akhirnya. Terima kasih Da’ath, Plasma.”

    “Yang Mulia Deshiel?! T-Tapi…bagaimana---“

    Kata-kataku dipotongnya. “Ahaha…maaf kalau mengagetkan. Sebenarnya ini rahasia di antara kami, para Archangel. Tapi jika benar kalau kamu adalah Crusader-Saint, sepertinya sudah selayaknya untuk kuberitahu.”

    “Rahasia?”

    “Ya, sebuah rahasia. Bola itu adalah Archangel Core, sesuatu yang tidak dimiliki Angel-class biasa. Kekuatan kami, nafas kami, nyawa kami. Jika bola itu keluar dari tubuh, maka tubuh pemiliknya akan berhenti berfungsi. Uriel pernah melakukan eksperimen itu sekali terhadap tubuhnya sendiri, dan waktu itu aku yang menemaninya. Dan karena tubuhku yang lama sudah terluka parah akibat pedang yang najis itu, maka tidak mungkin aku terus berada di sana.”

    “Lalu kenapa anda tidak membutuhkan tubuh biasa lainnya?”

    “Mmm…aku juga kurang tahu hal itu, belum pernah ada satupun Archangel yang mempelajarinya. Aku hanya terus merasakan kalau kristal ini memanggilku. Jadi, kupikir aku akan selamat jika masuk ke dalam kristal. Oh ya, kamu tidak merasakan panas yang luar biasa saat memegang Archangel Core?”

    “Sepertinya tidak bermasalah, Yang Mulia.”

    Seingatku memang tidak terasa panas sama sekali.

    “Ah…ternyata kamu memang Crusader-Saint itu. Hanya Crusader-Saint yang mampu memegangnya tanpa cedera selain kami sendiri, para Archangel.”

    “Lalu, bagaimana dengan tubuh lama anda?”

    “Boleh aku minta tolong untuk menaruhnya tepat di bawah kristal? Dengan begitu aku bisa terus mengawasinya. Sayang juga sih, sudah dua ribu tahun kugunakan, sekarang malah begini…”

    Akupun menuruti perintah nona Deshiel, menaruh tubuhnya di bawah kristal.

    “Oke, terima kasih ya. Hmm…sepertinya para Akatharton itu juga sudah pergi. Ya sudah, kalian tidak perlu khawatir lagi. Sekarang…ada yang lebih penting sedang menunggu. Cepatlah keluar.”

    Benar apa katanya. Viridia…argh.

    Begitu aku kembali ke luar, kudapati Raqia terduduk lemas di tanah. Di pangkuannya, nampak butir-butir cahaya yang terus naik ke udara. Jangan-jangan…

    “Viridia…”

    Raqia hanya menggelengkan kepala dua kali untuk menjawabku, tanpa membuka mulutnya. Itu artinya dia sudah…ah. Viridia, semoga kamu diterima di sisi-Nya…

    Sekali lagi, Raqia tidak meneteskan air mata meski wajahnya jelas nampak sedih.



    Haripun beranjak senja. Untungnya, langit seakan memahami kondisi kota ini. Sekarang hujan sedang turun dengan lebat, membantu memadamkan bagian-bagian kota yang masih terbakar.

    “Oi Plasma, apa kamu melihat Raqia?”, tanyaku, saat turun dari lantai dua. Plasma berada di dekat Biophotonic Decoder, mungkin ingin mempelajarinya lebih lanjut.

    “Tadi kulihat dia keluar.”

    “Hujan-hujan begini?!”

    Ah, sudahlah. Yang jelas aku harus menemukan dirinya. Sejak memberi perintah pada para Angel-class yang tersisa untuk memberitahukan kejadian di Pardes kepada para Archangel di kota-kota besar lainnya, Raqia terus menyendiri. Aku tahu betul kalau kesedihan di dalam dadanya begitu menumpuk.

    Mengabaikan derasnya hujan, aku mulai mencarinya di sekitar Etz HaChayyim. Belum seperempat putaran mengitari pohon-istana, aku mendapatinya sedang duduk di atas sebuah akar besar dengan kedua kaki diluruskan, bersandar pada batang besar pohon-istana ini. Akupun memanjat akar itu.

    “Heh…jangan hujan-hujanan begini.”

    Tidak ada respon. Ya sudah, aku duduk saja di sebelah kirinya.

    Raqia seakan tidak memiliki energi kehidupan. Tatapannya ke arah langit yang kelam nampak begitu sayu, tangannya pun dibiarkan terjuntai lemas di samping kedua kakinya. Dia juga seakan tidak peduli dengan hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Raqia yang selama ini selalu terlihat ceria ---meski kadang agak bawel---, kali ini benar-benar depresi. Belum pernah kulihat dirinya seperti ini...

    “Ra---“

    “Da’ath…”, panggilnya pelan, membuatku tidak melanjutkan bicara.

    “Ya?”

    “Dia bilang…dia ingin ikut dengan kita…”

    “Viridia…maksudmu?”

    “Mmm.”, Raqia mengangguk lesu. “Padahal aku ingin membantunya menemukan kakaknya…”

    “Ya, aku sudah dengar cerita tentang kakaknya itu langsung dari Viridia sendiri. Sebenarnya, aku juga ingin mengajaknya jika masalah selesai…”

    “Tapi kenapa…kenapa dia harus pergi dengan cara seperti itu…”

    Kugenggam tangan kirinya. “Raqia.”

    Wajahnya beralih ke arahku. Bola matanya yang bagaikan langit cerah itu nampak tidak memancarkan cahaya yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Entah air matanya sudah mengalir atau belum, tidak dapat kupastikan karena wajahnya begitu basah karena hujan.

    “Apa aku boleh…”

    Aku tahu dia sudah tidak tahan sejak tadi. Begitu aku mengangguk untuk menjawabnya…dia langsung memelukku erat-erat.


    Akhirnya, suara tangisan Raqia terdengar.


    Mungkin karena tidak ingin terlihat lemah ---apalagi dengan statusnya sebagai Archangel---, dia berusaha menahan air mata sejak tadi. Tangisnya begitu kuat, bahkan terdengar lebih jelas dibanding tetesan air hujan yang beradu dengan tanah. Bisa jadi itu disebabkan karena aku dapat ikut merasakan kondisi hatinya saat ini. Aku juga pernah mengalami kehilangan, meski kejadian itu berlangsung hampir 14 tahun yang lalu.

    Beberapa saat kemudian, Raqia memandangku.

    “Da’ath…berjanjilah…”

    “Mmm?”

    “Jangan pernah… meninggalkanku begitu saja…”, dia mempererat genggamannya pada bajuku.

    “Aku janji, Raqia. Aku janji.”



    Tiga hari berlalu sejak kejadian itu, Raqia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah tambahan pasukan dari kota-kota lain telah datang. Dan sekarang, langit. Kami berdua sudah berada dalam Sonic Glider, menuju ke kota berikutnya.

    “Jadi kemungkinan masih ada banyak sisa-sisa Divine Technology di dunia ini?!”, Raqia terdengar kaget. Baru saja Plasma menjelaskan lebih lanjut analisisnya mengenai kejadian heboh tersebut.

    “Yah, bisa jadi. Keberadaan Biophotonic Decoder itu sudah jadi bukti kuat. Atau mungkin bisa saja kamu sering melihat, namun tidak pernah menyadarinya. Sebenarnya Biblos Gnostikos punya data lengkap mengenai semua device Divine Technology yang pernah diciptakan, tapi saat ini masih ada dua data yang hilang…”

    “Hmm…begitu ya. Apa mungkin…”

    “Kamu tahu sesuatu?”, tanyaku.

    “Ya, begitulah. Seingatku di tiap kota selalu ada benda aneh yang dimiliki tiap Archangel. Ada juga beberapa yang bisa bicara sepertimu, Plasma. Selama ini kupikir hal itu biasa saja, tapi ternyata…”

    “Setidaknya kita harus memastikan tiap device tetap aman. Apalagi dengan adanya pedang itu…terlalu berbahaya.”

    “Pedang yang digunakan Nephilim itu?”

    “Betul, Raqia. Berhubung Energy Blade sempat beberapa kali berbenturan dengannya, aku mendapat sedikit data. Pedang itu sepertinya dapat memisahkan secara paksa Archangel Core dari tubuh pemiliknya, sehingga dapat dikeluarkan dengan mudah. Dan jika digunakan pada Angel-class biasa…”

    “Mereka akan bernasib sama dengan Viridia?!”

    “Itu maksudku. Sekarang memang belum kuketahui cara kerjanya secara detail, karena jelas sekali pedang aneh itu bukan bagian dari Divine Technology, seperti halnya Quetzalcoatl. Harus beberapa kali lagi kuamati, baru dapat kutarik kesimpulan.”

    “Huff…”, Raqia menyandarkan diri, lalu menarik tuas kecil di sebelah kiri bawah jok. Sandaran joknya pun makin miring ke belakang. “Masalah lagi…”

    “Lagi?”, kutatap matanya.

    “Uh-huh. Tahun kemarin aku baru saja menghancurkan domain Elilim-class di Olympia, dan sekarang---“

    “Elilim-class?”, tanya Plasma.



    Raqia kembali menegakkan punggungnya, lalu menatap ke layar di depannya. “Para malaikat pemberontak.”

    “Bisa kamu jelaskan lebih lanjut? Aku tidak tahu banyak mengenai dunia yang sekarang ini.”

    “Secara garis besar, ada tiga kelas malaikat. Pertama, True Angel, yang biasa kita sebut Angel-class. Mereka patuh terhadap para Archangel, dan sering ditemui di sekitar kota-kota besar dan daerah sekitarnya. Kedua, Eleutherian-class. Mereka adalah kelas malaikat yang bebas, tidak tunduk pada kekuasaan Archangel manapun. Khusus yang satu ini, ada yang masih bersikap baik, namun ada juga yang berubah menjadi bandit atau semacamnya. Ada satu kelompok Eleutherian-class yang sangat terkenal…”

    Ah, aku tahu siapa yang dimaksud. Mereka sangat terkenal, bahkan memiliki reputasi yang hampir sama baiknya dengan para Archangel.

    “Indagator, maksudmu?”

    “Nah, itu dia. Indagator adalah kelompok kecil beranggotakan sembilan Eleutherian-class yang selama seratus tahun terakhir menjelajah ke berbagai tempat di dunia. Kabar baiknya, mereka bukanlah orang jahat. Kudengar mereka sering membuatkan peta daerah-daerah tertentu secara detail dan memberikannya pada para penduduk sekitar secara cuma-cuma. Bukan hanya penduduk biasa, para Archangel pun merasa berterima kasih dengan apa yang mereka lakukan. Dan dengan penjelajahan itu, bisa saja mereka menemukan lebih banyak sisa-sisa Divine Technology yang kamu maksud, Plasma.”

    “Hmm…ada baiknya kalau aku bisa bertemu dengan mereka suatu hari nanti.”, komentar Plasma. “Lalu, bagaimana dengan Elilim-class?”

    “Mereka adalah yang paling brengsek. Eleutherian-class, meski tidak mau diperintah Archangel manapun, tetap menolak disembah oleh manusia. Tetapi Elilim-class itu…gila. Mereka menyebut diri sebagai dewa, dan memerintahkan manusia untuk menyembah mereka. Ada beberapa domain kuat Elilim-class di dunia. Contohnya saja Olympia, yang berhasil dihancurkan olehku dan Tselemiel Adamah, Venerable Humanist, Archangel keenam.”

    “Lalu sekarang muncul kelas keempat…Nephilim-class…”, sahutku.

    “Uh-huh.”, Raqia kembali merebahkan diri. “Dan kalau kamu masih ingat legenda tentang Nephilim…”

    “Tunggu. Itu artinya ada satu Archangel yang menikahi manusia!! Tapi bagaimana mungkin? Bukankah katamu---“

    “Aku. Tidak. Tahu. Untuk itulah kita harus memeriksa semuanya. Walau…aku curiga terhadap satu orang…”

    “Siapa?”

    “Archangel ketujuh. Nuachiel Yevarech, Blessed Exorcist. Paling jarang terlihat di antara kami bertujuh, dan bisa saja dia sudah melakukannya dalam beberapa ratus tahun terakhir.”

    Terdengar misterius sekali. Akupun penasaran dan bertanya, “Seperti apa orangnya?”

    “Perempuan, sedikit lebih tinggi dariku. Terakhir bertemu, rambut peraknya kira-kira sebahu. Dia juga selalu menggunakan pita besar berwarna ungu di belakang kepala. Kurasa dia suka warna itu karena sama dengan warna matanya.”

    “Hmm…sepertinya cukup menggemaskan.”, kuambil posisi bertopang dagu.



    Masih dalam posisi telentang, Raqia menaruh kedua tangannya di pipiku, dan...

    “Heh…kamu ini…”

    Tangannya itu mencubit kedua pipiku. Aw…

    “R-Raqia!! Jangan keras-keraaaaasss!!!!!!”

    “Huh…tidak puas denganku ya?”, dia melepaskan cubitannya.

    “P-Puas bagaimana?!”

    “Baru begitu saja pipimu sudah merah. Payah. Berusahalah lebih kuat untuk mengendalikan nafsu. Apalagi kamu sudah janji kalau kamu tidak akan meninggalkanku…akan berbahaya jika sewaktu-waktu kamu lepas kendali.”

    “B-Baiklah…akan kucoba.”, kupalingkan pandanganku ke arah kanan.

    “Dan…”

    Raqia kembali duduk, namun kali ini menghadap ke arahku. Sebuah senyuman yang manis terlukis di bibirnya.

    “Selamat datang kembali, Crusader-Saint.”



    Yah, begitulah. Identitasku sebagai Crusader-Saint sepertinya sudah bisa dipastikan. Plasma juga berkata kalau kebenarannya di atas 90%, apalagi sudah dikonfirmasi oleh nona Deshiel sendiri. Yang perlu dilakukan hanya mengembalikan ingatanku, yang mungkin bisa muncul kembali jika melihat Archangel ataupun produk Divine Technology lainnya.

    Tujuan berikutnya, Chalal. Kota berpenduduk terbanyak di dunia yang dipimpin oleh Archangel keempat, Maoriel Moshel, Celestial King.

    Katanya sih…kolektor senjata.



    =======================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Elilim (Hebrew) = idol/berhala
    • Eleutherian => Eleutherios (Greek) = free man, liberal
    • Indagator (Latin) = investigator
    • 6th Archangel, Tselemiel Adamah (Hebrew)
      ---> Tselem = image/gambar
      ---> i + El = of God
      ---> Adamah = tanah/ground
      No real meaning, cuma terinspirasi Kejadian 1:26 dan 2:7 aja.
    • 7th Archangel, Nuachiel Yevarech (Hebrew)
      ---> Nuach = rest
      ---> i + El = of God
      ---> Yevarech = blessed/diberkati (dari kata dasar varech = bless)
      "And God blessed the seventh day and sanctified it because that in it he had rested from all his work which God created and made..." (Genesis/Kejadian 2:3)
      Gw pake kata "nuach" soale kata "rest" di ayat itu = shabbat, dan kalo buat gw jadi aneh
    • 4th Archangel, Maoriel Moshel (Hebrew)
      ---> Maor = luminary/benda yg menerangi (simply, benda langit bercahaya kek bintang, matahari, bulan)
      ---> i + El = of God
      ---> Moshel = dominion
      Literally, Dominion of God's luminary.
    • Chalal (Hebrew) = void
      That is, outer space.
      (bukan kotanya di luar angkasa, tapi gw nyari nama yang cocok aja...kan pas tuh, benda langit tinggalnya di luar angkasa )

    Last edited by LunarCrusade; 15-10-12 at 22:19.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  11. #40
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Trigonometri. Sebenernya gampang (karena masi dasarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr banget), tapi penjelasan lo.. jujur gua agak bingung kalo cuma ngebaca sekali (apa otak gua yang selow ye), baca 2 kali baru bisa ngebayangin segitiganya, mana letak a, b, c sama A, B, C.

    Endingnya cakep , sayang gua ga punya waktu buat penasaran. Quetzalcoatl, karena gua perna maen FF jadi gua bener2 tau monster keginian. Dan menurut bayangan gua, Quetzalcoatl yg disini kurang embel2 sayap.

    Terus, Nephilimnya imbaa (padahal setengah malaikat).

    Gua juga agak risih sama nyokap Deshiel,
    padahal Viridia lagi sekarat tapi masi sempet aja ngejelasin hal yang bisa dijelasin nanti

  12. #41
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Maaf kalo bahasa gw membingungkan utk jelasin segitiganya



    Dan btw, Quetzalcoatl yg gw bayangin adalah murni dari Aztec myth, yg beberapa ada reliefnya di Tenochtitlan
    (well, Feathered Serpent deity udah ada dari jaman orang Aztec blom ada di Mexico sih, namanya aja beda")

    Uler, ijo, pala agak kotak mirip uler phyton/buaya, di lehernya ada bulu (feather) warna warni merah putih ijo
    Tapi gw modif aja jadi bulu (fur) tengkuk singa yg kebakar

    Myth aslinya malah ada humanoid formnya...tapi kalo gw taro di sini, gw jadi bingung ntar nulis ceritanya



    Jelas Nephilim nya imba...
    Ntar gw kasih tau kenapa demikian pas di arc Archangel ke-5 (biar cocok sama basis nama dari ketujuh Archangel)



    Oke jadi lu sebelnya sama Deshiel okaa-san bukan sama gw yg nulis cerita ye
    Sukur deh, berarti lu sangat terbawa sampe" yg lu sebelin adalah chara nya, bukan pembuatnya




    NB:
    Gw kalo ngambil nama, makhluk, dst gitu" ampir ga pernah cari referensi game, pasti langsung aslinya (bahasa lain kah, mitos kah, cerita rakyat kah, dkk)
    Kalopun ada paling dari SPORE doang (di AAaAR ada sebiji = Gravitational Wave)

    Maklum, ane miskin game pas masih kecil


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  13. #42
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    AAAAAHHHH!!!! Si loli ijo2 modarrrr
    itu pedang si Tenebria sadis juga ye. Energy Blade aja bisa mental...

    Nah, kan, ada yang sepemikiran ama gue.
    kadang2 kalo suasananya lagi tense, tiba2 ada penjelasan panjang itu rada kurang gokil. Emang sih, gambarannya jadi jelas, tapi tense nurun. Hmm, serba salah juga. Elu kalo masak ceritanya setengah mateng juga kaga jadi elu, sih.

    Sedikit saran, kalo mau nulis action, pilah2 yang mesti difokus sama engga. Contohnya pas si Da'ath aktivasi Warp Drive manual, disitu kan si Tenebria kewalahan, tapi gue bacanya ngga ngerasa kewalahan. Soalnya cuma bet bet beres, langsung kabur. Sama aja kayak pas ngejabret Akatharton gituan. masa nephilim disamain sama pawn characters...
    Contoh baiknya bisa diliat di aaaar.
    disitu, gue baca nya jelas. Di bagian2 yang emang butuh fokus, ya gue sampe ngeger bacanya.

    Sekali lagi, ini pendapat seorang melon yang kebanyakan baca manga action dari kecil. Jadi kalo soal beginian gue rada lebih gila dari biasanya.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  14. #43
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Tehillim 10 :


    ============================================
    Tehillim 10: Family Reunion Part I || Quadratic Farming
    ============================================




    “HAAAAAAAH!!”

    Mataku langsung terbuka saat beranjak duduk, begitu cepat. Nafasku terasa berat dan terengah-engah selama beberapa saat, seakan habis berlari selama berjam-jam. Kuperhatikan sekelilingku, yang ada adalah tembok yang terbuat dari bambu…



    Di mana ini?!



    Di tengah kebingunganku, muncul seseorang pada celah sebesar pintu, di pojok kanan depan ruangan ini. Siapa lagi kalau bukan Raqia.

    “Heh, jangan teriak-teriak begitu. Bagaimana kalau kakek mendadak pingsan mendengar suaramu?”, dia mengerutkan alisnya.

    “Eh? Kakek? Kakek siapa?”, tanyaku. Kutengok beberapa kali ke kanan dan ke kiri. “Lalu…di mana ini?”

    Tak lama kemudian sesosok orang tua muncul dan berdiri di samping Raqia, lengkap dengan kumis tebal dan janggut pendeknya, ditambah rambut abu-abu yang tipis. Meski posturnya sedikit bungkuk, raut wajahnya masih nampak segar untuk ukuran orang tua. Pakaiannya sederhana, hanya sesuatu mirip kemeja lengan pendek tanpa kerah untuk atasan, dan celana kain dengan panjang sekitar satu jengkal di bawah lutut. Keduanya berwarna hitam.

    “Bagaimana nak? Mendengar suaramu, seharusnya kamu sudah tidak apa-apa sekarang.”

    Raqia menengok ke arahnya, menyadari keberadaan orang itu. “Ah…kakek rupanya. Maaf kalau teriakannya membuat anda kaget…”

    “Hahaha…sudah, tidak apa-apa. Dengan begitu, kamu tidak perlu khawatir lagi.”

    Akupun menyelak, “Ng…maaf, Tuan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya?”

    “Bagaimana jika saya ceritakan sambil duduk-duduk di depan? Udaranya bagus hari ini, mungkin dapat membantu membuatmu lebih tenang dan santai.”

    “B-Baiklah.”



    Kuikuti langkah pelan kakek tua itu hingga ke pelataran, yang lantainya terbuat dari anyaman bambu. Hmm, ternyata rumah ini tidak langsung menyentuh tanah, melainkan sedikit lebih tinggi karena disangga batang-batang bambu yang besar. Kakek itupun duduk di tepi pelataran disusul olehku di sebelah kirinya. Raqia sendiri pergi entah ke mana.

    Sekarang di hadapanku terbentang tanah kehijauan yang tidak begitu luas, dengan hutan sebagai latarnya. Agak di sebelah timur, kudapati sebuah sungai mengalir dari selatan ke utara, posisinya sedikit lebih tinggi dari tanah di depanku. Dapat kuketahui posisinya karena matahari belum beranjak tinggi dan sekarang belumlah sore hari. Yah, setidaknya cuaca hari ini tergolong cerah.

    “Hmm…dari mana ya memulainya…”, dia mulai bicara sambil menatap langit. “Saya menemukan kalian berdua di pantai utara tiga hari lalu, saat nak Raqia nampak kesulitan memapahmu yang tak sadarkan diri. Kebetulan ada teman saya yang baru saja mengajak memancing di laut utara. Karena tidak tega, sayapun memutuskan untuk mengijinkan kalian menumpang hingga kondisimu pulih.”

    “Ah…begitu rupanya. Oh ya, apa anda juga membawa teman saya yang satu lagi? Namanya Plasma. Bentuknya memang mirip manusia, hanya saja tubuhnya terbuat dari sesuatu seperti kaleng…”

    “Hmm? Siapa yang kamu maksud, nak? Yang saya temukan hanya kalian berdua saja.”

    Mendadak Raqia datang, sambil membawa baki kayu dengan sebuah teko tanah liat dan tiga gelas bambu di atasnya.

    “Hilang, Da’ath. Aku sendiri tidak tahu ke mana dia sejak badai itu.”

    Ah, badai itu. Yang kuingat sebelumnya adalah sebuah badai besar yang mengamuk di atas samudera, menghalangi rute perjalanan kami ke Chalal. Sesaat sebelum Plasma ingin terbang jauh lebih tinggi mengatasi awan badai itu, petir menyambar dan membuat apa yang dia sebut sebagai sistem navigasi berubah kacau. Mode Sonic Glider tidak dapat dipertahankan dan…aku tidak ingat apapun setelahnya.

    “Tidak perlu repot-repot begitu, nak Raqia.”

    Raqia tertawa kecil. “Tidak masalah, kek. Anda sudah membantu kami berdua, jadi anggap saja sebagai rasa terima kasih.”

    “Tapi sudah dua hari terakhir, nak Raqia terus membantu saya…”

    Raqiapun menaruh baki yang dibawa di antara diriku dan kakek tua itu, lalu duduk sedikit di belakang kami berdua. “Sudah, kek. Tidak perlu sungkan. Ini sudah sewajarnya saya lakukan.”

    Kakek itu menuang teh ke dalam satu gelas, lalu menyeruputnya sedikit. Diapun bertanya, “Jadi, apa yang akan kalian berdua lakukan setelah ini? Saya dengar kalian berdua sedang dalam perjalanan ke Chalal.”

    “Benar, Tuan. Tapi jika teman saya yang satu itu belum ditemukan, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan.”, jawabku.

    Tunggu.

    “Raqia, bagaimana dengan Biblos Gnostikos?”

    Dia menggelengkan kepala beberapa kali, terlihat murung. “Maaf Da’ath, aku tidak berhasil meraihnya. Badainya terlalu keras, jadi buku itu hanyut terbawa ombak.”

    Mendadak raut wajahnya berubah, tatapannya sedikit berpaling dariku. Aku ingat betul, sekali dia menunjukkan ekspresi yang demikian ketika meneriakiku, beberapa saat setelah berhasil lolos dari tembakan Quetzalcoatl dengan menggunakan Warp Drive.

    “A-Aku jadi harus memilih. Menyelamatkanmu atau Biblos Gnostikos…”

    “I-Iya…terima kasih banyak…”

    Duh. Lagi-lagi atmosfer ini…

    Kakek itupun tertawa. “Hahaha…ternyata kalian mirip dengan cucuku dan suaminya. Sewaktu awal-awal bertemu, mereka juga malu-malu seperti kalian ini.”

    Kami berdua langsung terdiam selama beberapa saat. Aku tidak tahu ke mana arah pandangan Raqia, tapi yang jelas otot-otot leherku bergerak memutar kepalaku agar tidak melihatnya.

    Tiba-tiba kakek itu berujar, “Yah…meski mereka terlalu terlambat kali ini.”

    “Eh? Terlambat bagaimana, kek?”, tanya Raqia.

    “Seharusnya mereka sudah pulang tiga atau empat hari lalu. Kalau begini caranya, padi-padi itu akan terlalu terlambat untuk ditanam…”

    “Maksud…nya?”, kembali Raqia bertanya dengan pose khasnya, kepala sedikit dimiringkan ke kanan.



    Kakek itupun menceritakan masalahnya. Sebenarnya, minggu ini adalah minggu terakhir masa tanam suatu tanaman yang bernama padi. Entah tanaman apa itu, belum pernah kutemui di Ferrenium. Namun jika mendengar ceritanya, sepertinya itu adalah tanaman pangan pokok daerah ini. Suatu tanaman yang memerlukan banyak air, bahkan bagian akarnya harus terendam sepenuhnya. Untuk itulah diperlukan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan tanahnya agar bisa ditanami tanaman tersebut. Dan berhubung kakek yang satu ini sudah tua, dia tidak mungkin menyiapkannya sendirian. Biasanya, cucu perempuan beserta suaminya itulah yang mengerjakan sebagian besar lahan. Tetapi kedatangan mereka kali ini begitu terlambat.

    “Jadi, mereka seharusnya sudah kembali dari Batavia untuk membantu kakek?”

    “Begitulah nak. Saya khawatir terjadi apa-apa pada mereka berdua.”

    Mendengar percakapan mereka yang menyebut nama kota yang asing di telingaku, aku langsung bertanya, “Batavia itu...di mana?”

    “Sekitar tujuh hingga delapan hari berkuda ke arah timur, Da’ath.”, jawab Raqia.

    Berarti sedikit lebih jauh dari jarak Ferrenium ke Shamayim.

    “Apa kakek mau supaya kami mencari mereka berdua? Kami juga sedng mencari salah seorang teman kami, dan mungkin bisa ditemukan sambil mencari cucu perempuan kakek itu.”

    “Sudah, tidak usah.”, jawabnya. Namun jelas, kedua matanya yang kehitaman itu menunjukkan keinginan yang berlawanan.

    Oke, jadi sekarang ada 3 masalah. Satu, keterlambatan kepulangan keluarga Tuan ini. Dua, lahan yang belum dipersiapkan. Jika kubiarkan, bisa-bisa kakek ini mati kelaparan karena keterlambatan tersebut. Tiga, Plasma dan Biblos Gnostikos yang entah berada di mana saat ini. Jika saja ada cara untuk menyelesaikan ketiga masalah terebut sekaligus…



    …oh.



    “Ada apa, Da’ath?”, tanya Raqia, menatapku keheranan.

    “Tuan, apa anda punya sesuatu untuk menulis?”

    “Ada, tentu saja ada. Sebentar, akan saya---“

    Belum sempat kakek itu berdiri, Raqia menawarkan diri untuk mengambilkannya sekaligus bertanya tempatnya. Entah kenapa Raqia nampak begitu perhatian pada kakek yang satu ini. Aku merasa yang seperti ini pernah terjadi sebelumnya…kapan ya?

    Raqia kembali dengan membawa sebotol tinta lengkap dengan bulu penulisnya, beserta beberapa lembar kertas. “Jadi, apa rencanamu, Da’ath?”

    “Membantu tuan…err…maaf, siapa nama anda?”

    “Oh, maaf…saya lupa memperkenalkan diri. Arya Mayapada.”

    “Oke, tuan Arya. Jadi, rencananya adalah membantu anda sekaligus membawa Biblos Gnostikos kembali.”

    “Hah? Bagaimana bisa?”, Raqia nampak heran.

    Kubalas dengan tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata padanya. “Ingat kelakuan khusus Biblos Gnostikos?”

    “Mmm…dia akan selalu muncul jika---“, kelopak matanya melebar. “Hei, jadi kali ini aku akan diajari sesuatu lagi?”

    “Yap, betul sekali. Aku ingat Plasma pernah berkata kalau dirinya dan Biblos Gnostikos punya suatu hubungan khusus. Jika benar demikian, maka Plasma akan selalu tahu di mana buku itu berada. Dan jika kamu berhasil mempelajari sesuatu yang baru, itu artinya sama dengan memberi petunjuk pada Plasma mengenai lokasi kita berada. Dan…kali ini ada hubungannya dengan membantu Tuan Arya.”

    Mata biru Raqia yang indah itu langsung berbinar-binar. “Kalau begitu cepat katakan apa yang akan kamu ajarkan.”

    “Sebelumnya…tuan Arya, biasanya seluas apa lahan yang anda tanami?”

    “Tidak luas, nak. Yang penting hasil panennya cukup untuk menghidupi kami bertiga. Saya, cucu saya, dan juga menantu saya.”

    Kakek itupun mulai memberitahu lebih lanjut cara menyiapkan lahannya. Biasanya, lahan yang dipersiapkan berbentuk empat sisi dengan dikelilingi saluran irigasi yang lebarnya sama di setiap sisi, lalu airnya akan dibiarkan menggenangi lahan. Padi-padi itupun akan ditanam setiap jarak tertentu pada lahan yang tergenang. Tuan Arya sendiri baru pindah ke tempat ini setelah musim tanam yang lalu berakhir, sehingga dia harus mengubah lagi ukuran yang biasa digunakannya dulu.

    “Tapi akan buang-buang waktu jika saya mencoba-coba langsung mencangkul dan membajak lahannya. Jika terlalu sempit tidak masalah, karena bisa diperlebar. Namun jika luasnya terlalu besar akan lebih merepotkan dan melelahkan untuk menguruknya lagi…”

    “Tenang, Tuan. Saya bisa membantu menyelesaikan masalah anda.”



    Akupun mulai menggambar sesuatu di kertas. Sebuah persegi panjang, dengan persegi panjang yang lebih kecil berada di dalamnya.

    “Uh? Ini…seperti bingkai lukisan saja.”, komentar Raqia.

    “Yap, memang mirip. Persegi panjang yang di dalam adalah lahan yang akan digunakan, sementara ‘bingkai’ ini adalah saluran irigasinya.”

    “Lalu, lalu?”, dia terdengar bersemangat.

    “Tuan, tadi anda bilang kalau padi adalah tanaman pangan pokok daerah ini? Seperti apa cara mengolahnya?”

    “Sederhana nak. Bulir-bulirnya yang sudah siap panen akan ditumbuk agar bersih dari kulitnya, dicuci, lalu ditanak dalam panci besar agar menjadi nasi yang siap dimakan. Bulir yang belum dimasak disebut beras, dan tahan cukup lama jika disimpan di tempat kering.”

    “Aku sudah mengerti kok caranya. Sempat diajari kakek kemarin.”, sahut Raqia.

    Hmm, cara mengolahnya berbeda sekali dengan gandum. Bulir gandum harus diolah menjadi tepung terlebih dahulu, kemudian diolah menjadi berbagai jenis roti yang dapat dimakan. Cara mengolah bulir padi ternyata lebih mudah.

    “Kalau begitu, seberapa besar porsi rata-rata nasi yang biasa anda makan, Tuan?”

    “Kami bertiga butuh sekitar tiga gelas beras sekali makan, kadang empat jika kami selesai bekerja. Gelasnya sama besar dengan yang di depan kita ini. Nasi juga hanya kami makan saat siang dan malam hari.”, tuan Arya menjelaskan sambil menunjuk gelas-gelas bambu.

    Artinya, dibutuhkan sekitar enam gelas sehari dalam kondisi normal.

    “Lalu, satu gelas beras dapat dihasilkan oleh berapa batang padi? Dan…berapa lama anda biasa menyimpan beras-beras itu, Tuan?”

    “Rata-rata satu tanamannya sudah cukup menghasilkan satu gelas kurang sedikit, teapi kadang ada yang hanya setengah gelas walau jarang ditemui. Masalah penyimpanan, bisa saya simpan hingga musim tanam berikutnya. Jika panennya berlimpah, sisanya juga akan dijual ke kota. Toh kami biasa makan berselang-seling dengan tanaman pangan lainnya.”

    Bagus, kali ini ada sesuatu tiba-tiba muncul di kepalaku. Situasinya mirip ketika aku bisa menyebutkan sesuatu yang berhubungan dengan makhluk hijau di bawah mikroskop, saat masih di Pardes. Untung saja inspirasi ini muncul di saat yang tepat. Aku mendapat secara pasti ukuran total panjang dan lebar lahan, yang mungkin cocok dengan kondisi yang diceritakan kakek itu barusan. Satu lagi, ada rentang angka dari 1500 hingga 1900 yang muncul di kepala.

    Raqiapun menyeletuk, “Woah, ini dia kek, Da’ath ingin beraksi.”



    Tuan Arya juga memperhatikanku saat menulis angka 50 pada panjang persegi luar, dan 40 pada lebar persegi luar.

    “Oke…berarti sekarang kita gunakan salah satu huruf sakti dalam matematika…”

    Kutulis ‘x’ pada setiap lebar ‘bingkai’, yang tak lain adalah saluran irigasi yang akan dibuat nanti.

    “Da’ath, lima puluh, empat puluh, dan x ini untuk apa?”

    “Ingat? Sewaktu kita masih berada di atas samudera, Plasma sempat menjelaskan padamu mengenai satuan yang sering digunakan di jamannya, dan itu pula membuat Biblos Gnostikos mengisi satu halaman. Aku hanya menggunakan satuan yang sama untuk panjang dan lebar lahan, beserta lebar saluran irigasinya.”

    “Oh, jadi itu maksudnya lima puluh meter dan empat puluh meter. Lalu x nya?”

    “Karena tidak tahu berapa pastinya, maka kumisalkan x saja.”

    Oke, sekarang aku hanya perlu tahu luas ideal lahan yang akan ditanami. Dan berhubung kali ini tujuannya adalah sekaligus mengajari Raqia akan suatu hal…

    “Raqia, ingin luas lahan tertentu? Katakan saja selama di bawah seribu sembilan ratus dan di atas seribu lima ratus.”

    “Bagaimana kalau seribu enam ratus lima puluh enam?”, jawabnya cepat.

    “Tidak ada bilangan yang lebih rumit lagi hah…?”

    “Tidak. Aku mau sebesar itu. Titik.”

    “Iya, iya…oke. Berarti…”

    Kutulis 1656 di tengah-tengah persegi bagian dalam.

    “Sekarang sudah bingung atau belum?”

    “Err…sudah…”, jawabnya sembari menggaruk-garuk kepala.

    “Ingat cara menghitung luas bidang datar dengan empat sisi? Entah persegi ataupun persegi panjang, semuanya adalaaaahhh…?”

    “Selalu panjang sisi yang satu dikalikan dengan panjang sisi lain!!”

    “Bagus, bagus. Kalau begitu, bagaimana dengan luas persegi panjang yang di dalam sini?”

    “Lho, kan sudah ada nilai luasnya.”

    “Maksudku cara menghitungnyaaaa…!!!”, sambil kucubit kedua pipinya.

    “Aaaaahhh!! Tidak usah mencubit segala!!”, maka kulepaslah capitan saktiku ini. “Tunggu. Bagaimana ya…?”

    Kulihat tuan Arya tersenyum kecil, lalu berkata, “Hmm…kalau seperti ini, panjangnya adalah lima puluh dikurangi dua x, lalu lebarnya adalah empat puluh dikurang sejumlah dua x juga.”

    “Yap, benar sekali Tuan. Raqia, bisa kamu tulis yang tuan Arya sebut tadi ke dalam bentuk angka?”

    “Oh, kalau begitu saja sih aku bisa.”



    Raqia mengambil bulu penulis dari tanganku, menulis p = 50 – 2x di bawah gambar persegi panjang, lalu l = 40 – 2x agak di sebelah kanannya.

    “Hmm…begitu ya. Eh…kalau begitu, artinya perkalian antara panjang dan lebar ini punya hasil seribu enam ratus lima puluh enam…”

    “Nah, tepat. Panjang kali lebar sama dengan nilai luas persegi panjang yang kamu sebut tadi.”

    Kutulis ‘p x l = L’. Persamaannya menjadi:


    p x l = L
    (50 – 2x)(40 – 2x) = 1656


    “Hmm…kalau sudah begini, mengalikannya bagaimana?”

    “Kalikan satu persatu tiap sukunya. Pertama, kalikan lima puluh dengan empat puluh. Kedua, kalikan lima puluh dengan minus x yang kanan. Ketiga, kalikan minus x yang kiri dengan empat puluh. Keempat, kalikan minus x yang kiri dengan yang kanan.”

    Kutulis satu baris persamaan di bawahnya, yaitu:


    2000 – 100x – 80x + 4x2 = 1656


    “Woah…ada kuadratnya begini?”

    “Tidak perlu khawatir. Itu bisa kamu abaikan dulu. Mau coba melanjutkan? Yang penting di sebelah kanan tanda sama dengan harus nol.”

    “Boleh, boleh.”

    Raqia menulis lagi baris di bawahnya:


    2000 – 1656 – 1000x – 80x + 4x2 = 0
    344 – 180x + 4x2 = 0


    “Hoo…bagus, bagus. Ternyata kamu sudah tahu kalau hanya yang punya variabel sejenis yang bisa dioperasikan.”

    “Apa boleh kusederhanakan dengan membagi semua koefisien dengan empat? Jelek sekali rasanya melihat koefisen x kuadratnya punya angka lebih dari satu.”

    “Silakan saja, toh semua koefisiennya habis dibagi empat.”

    Dilanjutkan,


    86 – 45x + x2 = 0


    “Nah, sampai di sini…aku benar-benar tidak tahu kelanjutannya.”

    Wah, ternyata angka yang dipilih Raqia benar-benar memudahkan. Aku sendiri memang mengira kalau angka 1500 hingga 1900 yang muncul di kepalaku tadi adalah luas yang dibutuhkan.

    “Bukankah dibutuhkan bilangan yang jika dikalikan hasilnya adalah delapan puluh enam, namun jika ditambah sama dengan empat puluh lima?”, sahut kakek itu.

    Raqia tertegun sejenak ketika melihat ke arah tuan Arya. “Kakek…ternyata pintar hitung-hitungan juga?”

    “Hahaha…tidak juga, nak. Ini hanya sisa-sisa kemampuan tua saya saja.”

    Merendah sekali kakek yang satu ini. Itu artinya sewaktu muda kemampuannya jauh lebih hebat, malah mungkin lebih pintar lagi dariku.

    “Dan bilangan yang dimaksud tuan Arya adalah…”

    Giliranku yang menulis.


    (43 – x)(2 – x) = 0


    Raqia kembali memandang ke arah kertas. “Whoa…benar juga. Keduanya kalau dikalikan adalah delapan puluh enam dan kalau dijumlah adalah empat puluh lima, hanya saja ada tanda negatifnya…”

    “Dan ini dia keistimewaan persamaan ini, yaitu persamaan kuadrat. Selalu memiliki dua buah hasil.”

    Kutulis:


    43 – x = 0 dan 2 – x = 0


    “Eh…? Kenapa demikian?”, tanya Raqia.

    “Ingat, agar sebuah perkalian menghasilkan angka nol, maka setidaknya salah satu bilangan haruslah nol.”

    “Oh!! Jadi salah satu pengurangannya memang harus nol, begitu kan?”

    “Yap, dan dengan demikian bisa kita dapatkan nilai x nya. Yaitu x sama dengan empat puluh tiga, ATAU, x sama dengan dua.”

    “Lalu bagaimana kita bisa tahu hasil yang bisa dipakai? Apa dua-duanya bisa digunakan?”

    “Dalam hal ini, tidak. Coba kita masukkan ke persamaan awal mengenai panjang dan lebar total lahan, dimulai dari empat puluh tiga.”

    Kutulislah:

    p = 50 – 2x
    p = 50 – 2 . 43
    p = 50 – 86
    p = -36

    “Dari sini saja sudah diketahui kalau empat puluh tiga tidak bisa digunakan. Memangnya ada panjang lahan bernilai negatif?”

    “Oh…begitu ya.”, Raqia beberapa kali mengangguk. Mendadak ekspresinya berubah, menyadari sesuatu. “Hei, berarti lebar saluran irigasi yang dibutuhkan adalah selebar dua meter?”

    “Yap, betul. Misteri terselesaikan. Bagaimana Raqia? Paham?”

    “Oke, sudah.” Diapun lanjut bertanya, “Kamu pasti sering menggunakan hitungan seperti ini untuk menyelesaikan pekerjaanmu juga kan?”

    “Wah…ketahuan juga. Uh-huh, persamaan kuadrat ini sangat membantu jika aku mendapat pesanan untuk membuat bingkai lukisan.”

    Raqia menghela nafas panjang, namun kudapati ujung-ujung bibirnya agak naik, sedikit tersenyum. “Ternyata kamu ini terlalu---“



    Belum sempat Raqia selesai bicara, ---sesuai dugaanku--- Biblos Gnostikos pun muncul dan menulisi sekitar 6 halaman. Hmm, sepertinya aku mulai mengerti polanya. Jika bidang ilmu yang dipelajari Raqia mencakup lebih dari satu, lebih kompleks, atau langsung dapat diaplikasikan untuk sesuatu yang berguna bagi orang lain, total halaman yang ditulisi akan lebih banyak. Yah, baru dugaanku saja sih.

    Tuan Arya pun berubah terkejut begitu melihat kemunculan Biblos Gnostikos secara tiba-tiba.

    “Tenang kek, buku ini tidak berbahaya. Sejak awal ini memang sudah rencana Da’ath. Membantu kakek, sekaligus memanggil buku ini kemari agar teman kami yang hilang itu bisa datang ke tempat ini.”

    “Ah…begitu rupanya.”, kakek itu mengangguk-angguk beberapa kali. “Baiklah. Karena ukuran-ukurannya sudah diketahui, bagaimana kalau kita kerjakan lahannya sekarang?”

    Kutaruh Biblos Gnostikos di dalam rumah, di atas meja pendek yang sepertinya meja ruang tamu.



    Dan…mari dimulai.

    Lahan yang digunakan adalah yang tepat berada di depan teras rumah, yang dilatari hutan. Dengan bantuan beberapa pasak kayu dan tali, aku mulai membatasi bagian lahan yang akan diolah. Raqia mengikutiku sementara tuan Arya pergi mengambilkan beberapa cangkul. Tepat ketika aku selesai memasang batas lahannya, kakek itupun datang.

    Raqia berkomentar, “Apa tidak akan makan waktu terlalu lama jika harus dicangkul? Apalagi anda bilang kalau---“

    “Lalu kalau tidak dicangkul mau diapakan haaaaahhhh???!!!”, kutaruh kedua kepalan tanganku di sisi kiri dan kanan kepalanya, lalu menekan-nekannya dengan keras.

    “HEEEHH!! Lepaskan tanganmu!!”, dia meninju kepalaku, membuatku refleks melepaskan tangan dari kepalanya. “Aku hanya punya cara yang lebih cepat saja kok…”

    Mengabaikanku yang sedang memegangi kepala karena pukulannya tadi, dia…

    “Angel Knight form, release.”

    Tuan Arya tertegun kaku, bahkan sampai menelan ludahnya sendiri saat melihat Raqia yang berubah lengkap dengan keenam sayap, armor, dan pedang besarnya. Ah, aku tahu. Pasti tidak terbersit sedikitpun dalam pikirannya kalau Raqia adalah seorang Archangel.

    “O~ooi...Raqia…”, suaraku terdengar setengah malas. “Jangan keluarkan pedang besarmu itu…”

    “Siapa juga yang mau mengeluarkan Chereb HaMemad…”

    Dia terbang ke sana ke mari, membuat goresan di tanah dengan pedangnya sesuai dengan yang sudah kubatasi dengan pasak dan tali. Tak lama, dia berdiri tepat di tengah-tengah lahan. Aku merasa ada akan getaran kuat setelah ini.
    Benar saja.


    “Spatial Breaker.”


    Seketika setelah Raqia mengatakan itu, pedang besarnya ditancapkan dan…

    *DRRRRRRRRRRR~

    …sekejap sudah terbentuk lahan persegi panjang di tengah-tengah, lengkap dengan saluran irigasi serta sedikit gundukan untuk membatasi lahan dengan saluran. Tidak hanya itu, kedalaman lahan juga dibuatnya lebih rendah dari saluran irigasi.

    “Bagaimana? Dengan begini yang perlu dilakukan tinggal membuat sedikit celah di tepi sungai, lalu mengalirkan airnya ke sini.”, ujarnya bangga, sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Apa perlu aku juga yang melakukan?”

    “Ya…terserah kamu---“



    Belum selesai kata-kataku, tuan Arya langsung berlutut lemas.

    “M-Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia!! S-Saya benar-benar tidak tahu kalau anda adalah seorang Archangel!!” Begitulah yang dikatakannya sambil bersujud.

    Raqia hanya tersenyum, berjalan mendekati tuan Arya dengan pedangnya ditinggal menancap. “Kakek.”

    Begitu wajah pria tua itu terangkat, Raqia menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Jangan begitu. Kami, para Archangel, dilarang keras untuk menerima sujud dari manusia manapun. Archangel bukanlah Tuhan, melainkan hanya beberapa orang yang diutus untuk memimpin dan menolong manusia saja.”

    Kali ini aku merasakan aura yang berbeda dari Raqia. Bukan sesuatu yang menggemaskan dan kekanak-kanakan, tetapi sama seperti yang kurasakan saat dia mengundangku ke istana megahnya di Shamayim. Terasa begitu elegan namun tetap hangat. Kilauan perak rambutnya karena diterpa cahaya matahari memperkuat aura yang dipancarkannya itu.

    Angin yang lembut berhembus sejenak, bermain dengan helaian-helaian peraknya yang indah. Melihat pemandangan itu, aku merasa darahku naik ke pipi…

    “Berdirilah, kek.”, sambil membantu tuan Arya bertumpu pada kedua kaki. “Anda tenang saja, tidak usah takut. Saya yakin Maoriel pun pasti akan melakukan hal yang tidak jauh berbeda jika melihat kesulitan yang anda alami. Apalagi anda sudah membantu kami berdua. Yang seperti ini malah saya rasa belum cukup untuk membalas kebaikan anda.”

    “S-Sudah, Yang Mulia. Begini saja saya sudah sangat berterima kasih.”, suara orang tua itu masih terdengar kaku. “Lalu…apa hubungan Yang Mulia dengannya?”, tuan Arya menengok padaku.

    “Ah…dia? Apa kakek pernah dengar legenda mengenai Crusader-Saint? Yang berdiri di hadapan anda adalah orangnya. Yah, sekarang masih belum bisa diandalkan sih…”, ledeknya.

    Makin terbelalaklah kakek itu.

    “J-J-Jadi anda…?! Ternyata itu alasannya kenapa persoalan tanah saya ini bisa diselesaikan dengan mudah?!”

    “Ahaha…begitulah, tuan.”, sembari kugaruk-garuk kepala. “Tapi ingatan saya banyak yang belum kembali. Sepertinya masih perlu waktu lama.”

    “Ah…benar-benar sebuah kehormatan bisa bertemu dengan kalian sebelum saya meninggalkan dunia ini…”

    “Jadi…”, Raqia menengok ke arah lahan. “Sisanya biar kuselesaikan.”, ditutupnya dengan senyuman kecil, lalu berbalik badan.

    Tuan Arya masih nampak ragu, jadi kukatakan saja, “Kalau sudah begini, sayapun tidak bisa menghentikannya. Dia memang suka banyak bergerak.”

    Dengan cara yang sama ---Spatial Breaker---, Raqia mengalihkan aliran sungai ke lahan yang sudah terbentuk. Saluran yang dibuatnya dari sungai ke lahan lebarnya sekitar 1 meter. Mungkin dia berpikir tidak perlu besar-besar karena beresiko mempengaruhi keseluruhan aliran sungai dan makhluk hidup yang hidup di situ.

    Berkat hal itu pula, sebelum tengah hari semuanya telah selesai termasuk membajak dan menanam satu persatu padi-padi muda yang masih hijau. Ruang penyimpanan bibit ternyata tidak jauh dari rumah utama, ada di sebelah baratnya.



    “Haah…akhirnya selesai juga.”, Raqia merebahkan diri di pelataran bambu, dengan mode Angel Knight yang sudah tidak aktif.
    Berhubung tuan Arya sedang di dalam…

    “Raqia.”

    “Mmm?”, hanya matanya saja yang melirik ke arahku yang sedang bersandar pada pilar bambu.

    “Jika keluarga tuan Arya tidak pulang juga hari ini, bagaimana kalau---“

    Seketika dijawabnya, “Sudah pasti, Da’ath. Apapun yang dikatakan kakek, kita harus tetap mencarinya. Dengan begitu kita bisa pergi tanpa ada perasaan mengganjal.”

    Beberapa saat menikmati angin yang bertiup, tiba-tiba kudengar suara dari arah yang berlawanan dengan pelataran. Dari pintu depan, mungkin?

    “Kakeeeekkk…!! Kami pulaaaang!!”

    Suara wanita. Tapi kenapa sepertinya sangat kukenal…?

    Penasaran, kamipun beranjak dan melangkah ke depan. Tuan Arya sendiri berpapasan dengan kami, setelah sebelumnya ternyata sedang berada di dapur untuk menyiapkan air minum.

    “Itu mereka.”, ujar tuan Arya. Kudapati senyuman kecil di wajahnya.

    Sebuah pintu kayu yang cukup besar membatasi ruang tamu dan luar rumah, dari balik pintu inilah suara itu berasal. Suara kayu yang diketuk-ketuk terdengar tak lama setelahnya.

    Daun pintu mulai membuka, membiarkan cahaya masuk…

    “Chloros??!!”

    Mata Raqia berfokus pada seorang pria muda bertubuh tinggi besar ---sekitar 2 jengkal lebih tinggi dariku--- dengan sepasang sayap putih besar di punggungnya. Sebilah golok yang cukup besar beserta sarungnya disandangkannya di pinggang. Rambutnya tergolong gondrong, namun tetap nampak rapi. Yang menarik adalah warna rambut dan matanya yang sama persis dengan…ah, aku jadi sedih mengingatnya. Ya, sama persis dengan Viridia.

    Dengan reaksi yang sama kagetnya, pria bernama Chloros itu berseru, “Raqia?! Bagaimana kamu bisa ada di sini?!”



    Terlepas dari keributan yang mereka buat, ada satu yang lebih menyita perhatianku, yaitu seorang perempuan yang berdiri di sebelah kiri pria itu. Tinggi badannya kira-kira setinggi daguku. Rambut coklat tua yang dikuncir biasa, ditambah mata biru yang sedikit lebih tua dari warna mata Raqia…

    Perasaan apa ini? Melihat tatapannya yang terkunci ke mataku…

    “Kak Reshita…?”, refleks pertanyaan itu terlontar.

    Tidak mungkin. Keluarga kandungku sudah habis dibantai ketika usiaku 7 tahun. Kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja?

    Setengah ragu, dia menjawabku, “Da…’ath? Benar itu kamu…?”

    Begitu tatapannya tertuju pada kalung salib emas yang kugunakan, air mata mengalir di pipinya. Tanpa ragu dia langsung memelukku erat-erat. Bibirku serasa terkunci saat kedua tangannya mulai melingkari tubuhku.

    “Oh Tuhan…syukurlah…ternyata kamu benar-benar…”

    Tidak salah lagi. Yang memelukku saat ini adalah kakak perempuanku sendiri, Reshita Ruachim. Di tengah kehangatannya, akupun ikut meneteskan air mata. Bagaimana tidak? Kakak perempuanku ini adalah satu-satunya anggota keluarga kandungku yang pertama kali kutemui setelah 14 tahun berlalu. Kupikir dia ikut menjadi korban pembantaian saat itu…


    Spoiler untuk Tehillim 11 :


    ==========================================
    Tehillim 11: Family Reunion Part II ~ Nostalgic Truth
    ==========================================




    Pria bernama Chloros itu segera mencabut goloknya. Suara saat goloknya dikeluarkan dari sarungnya sempat mengalihkan perhatianku.

    “Kurang ajar!! Beraninya---“

    Untunglah Raqia segera mengaktifkan mode Angel Knight nya, lalu dengan cepat memposisikan sisi tajam dari pedang besarnya tepat di pergelangan tangan Chloros.

    “Lukai Da’ath sedikit saja, tanganmu akan hilang dari tempatnya.”

    Pancaran mata Raqia terlihat begitu menusuk, sama tajam dan berkilauannya seperti pedang besar itu.

    “Sudah…tenang, tenang.”, tuan Arya memotong. “Kita bicarakan baik-baik. Jangan sampai membuat keributan.”

    Inilah salah satu kekuatan seorang yang sudah lanjut usia. Meski nyaris terjadi adu pedang, kakek yang satu ini tetap bersikap tenang. Berkat hal itu, aku bisa menceritakan semuanya secara terbuka, sambil duduk-duduk di pelataran bambu dengan pemandangan lahan yang telah ditanami padi. Tuan Arya sendiri beranjak ke dapur.



    Chloros yang duduk bersila bersebrangan denganku mengangguk-angguk beberapa kali. “Oh, begitu rupanya. Aku memang tidak pernah mendengar kalau istriku punya seorang adik laki-laki karena seingatku, dia pernah menceritakan hal yang sama denganmu. Semua anggota keluarganya telah tewas. Jadi…aku mohon maaf, Da’ath.”, komentarnya setelah mendengar penjelasanku.

    Eh?

    “Istri…?”

    Seakan ada tanda tanya di kepalaku. Sebelumnya aku belum pernah mendengar hal yang demikian.

    “Ingat, Da’ath. Yang dilarang untuk menikah hanyalah Archangel. Tidak ada larangan bagi yang lainnya.”, sahut Raqia yang duduk di sebelah kananku.

    Ternyata berat juga ya menjadi seorang Archangel…ups.

    “Yah, awalnya kami memang bertemu secara tidak sengaja di luar perbatasan Batavia. Tapi kemudian terjadi ini, itu, dan seterusnya, maka…”

    Kakakku, yang duduk di sebelah kiri Chloros, menepuk pelan bahu kiri suaminya itu. “Sudah ah, jangan diteruskan. Malu.”

    “Tunggu…apa yang sudah kalian lakukan?”, pertanyaan Raqia terdengar sedikit kesal.

    Tanpa menjawab apapun, kakakku dan Chloros langsung membuang muka satu sama lain lengkap dengan wajah yang sedikit berubah merah.

    Raqiapun menepuk dahinya. “Sudah kuduga…memang tidak baik membiarkan seorang pria dan wanita berdua saja.”

    “K-Kalian sendiri bagaimana, hah?!”, tanya Chloros, membalas argumen Raqia tadi. Bedanya, terdengar masih malu-malu.

    Sambil melipat kedua tangan di depan dada, Raqia menjawab dengan bangga. “Ha!! Dia? Sedikit saja melakukan yang aneh-aneh, dia akan kulempar sekuat-kuatnya. Aku punya kontrol penuh atas dirinya.”

    “Tapi ingat. Secara tingkatan aku tetap berada di atasmu, wahai Archangel Yang Mulia.”, ledekku.

    Pipi Raqia memang berubah sedikit merah dan menggembung, sementara raut wajahnya menunjukkan kekesalan. Tapi…lain dengan Chloros dan kakakku.

    “Maksud…mu?”, Chloros keheranan.

    “Sebagai mantan pasukan pengamanan Pardes, seharusnya kamu sudah tahu mengenai legenda Crusader-Saint. Dan…”, Raqia menepuk bahu kananku. “Dia orangnya.”

    “Sudah kakak duga sejak dulu. Kamu memang seseorang yang unik, Da’ath.”, ujar kakakku.

    Chloros memandang sejenak pada kakak lalu berseru ke arahku, “J-Jadi, kamu?!”

    “Sudah, tidak perlu dilebih-lebihkan. Aku masih payah kok…”, sambil kugaruk-garuk kepalaku.

    “Ya, kamu memang masih payah.”, giliran Raqia meledekku.

    “Maksudmu apa haaaahh…?!”, kucubit kedua pipinya. Entah, aku merasa senang saat mencubit pipinya yang mulus, bulat, dan menggemaskan itu.

    “Aaaahh!! Kenapa pipiku terus yang jadi korbaaaaann…?!”, tangannya berusaha melepaskan capitan saktiku.

    Kak Reshita tertawa kecil melihat kami berdua.

    “Kalian ini…seperti anak kecil saja. Kamu juga, Da’ath. Sebagai laki-laki seharusnya tidak boleh bersikap begitu.”

    “Tapi kamu boleh juga, Da’ath. Tidak tanggung-tanggung, kamu langsung memasang target seorang Archangel…hahaha!!”, Chloros tertawa keras-keras.

    Kata-kata itu seakan tepat menembus dadaku. Kepalaku hanya tertunduk, kemudian melirik ke arah Raqia sesaat. Yang mengejutkanku, ternyata responnya sama dengan yang kulakukan, bahkan ikut melirik ke arahku.

    “Aku tahu kamu suka padanya. Sayang sekali dia seorang Archangel, eh?”, bisik Chloros sambil menjepit leherku dengan bagian dalam lengannya, lalu tersenyum menunjukkan gigi. Ugh nafasku…

    “C-Cukup, nafasku sudah…”

    “Ya, selamat berjuang kalau begitu.”, Chloros menepuk-nepuk punggungku.

    “Tadi kudengar kalau kamu adalah mantan pasukan pengamanan Pardes?”

    “Benar, Da’ath. Tapi sejak lima ratus tahun yang lalu, sudah tidak lagi.”, dia menunjukkan punggung tangan kanannya. “Aku Eleutherian-class sekarang.”

    “Eh…? Ada yang salah dengan tanganmu?”

    “Angel-class selalu punya kristal pengenal di punggung tangan kanannya. Untuk Pardes, semua Angel-class dipasangi zamrud sebesar ujung jempol di sini. Setiap kota punya batu mulianya sendiri-sendiri.”, dia menunjuk punggung tangan kanannya itu.

    Sejauh ini aku belum pernah melihat satupun Angel-class dengan sarung tangan yang dilepas, jadi aku tidak pernah tahu hal itu. Oke, setidaknya sekarang aku tahu perbedaan antara Angel-class dan Eleutherian-class. Keduanya memang tidak bisa dibedakan jika hanya dilihat dari luarnya saja.



    “Dan…kenapa kamu meninggalkan Pardes begitu saja?”, Raqia bertanya, dengan suara yang terdengar berat.

    “Misi khusus, Raqia. Lima ratus tahun yang lalu, tepat ketika beberapa Angel-class dari Chalal memberontak di bawah pimpinan Omoikane, aku diutus ke sana oleh Yang Mulia Deshiel sendiri. Aku sempat ditahan beberapa lama oleh pasukan yang mengikuti Omoikane tersebut, yang sekarang sudah berubah menjadi Elilim-class. Sengaja kuminta Yang Mulia Deshiel melepaskan kristal di tanganku ini agar para Elilim-class itu tidak menaruh curiga terhadapku, sekaligus melepas statusku sebagai Angel-class. Yah…meski akhirnya aku ditangkap juga. Cukup lama mereka menahanku, sampai akhirnya aku bisa meloloskan diri dua puluh satu tahun yang lalu dan terdampar di pulau ini.”

    “Begitu…kah…”, nada bicara Raqia terdengar makin sedih.

    Bisa kutebak dari wajahnya, Chloros menyadari ada sesuatu yang salah dari ekspresi Raqia. “Tunggu. Apa sebenarnya yang terjadi selama aku ditahan? Begitu sulit melepaskan diri dari penjagaan mereka, bahkan sekitar empat ratus delapan puluh tahun aku tidak bisa keluar. Secuil beritapun tentang Pardes tak pernah kudengar lagi sejak saat itu.”

    Raqia menatapku dengan tatapan yang sayu meski masih berusaha tersenyum. Ah, aku mengerti.

    “Sebentar, Chloros. Apa kamu masih punya keluarga di Pardes?”

    “Tentu saja, Da’ath. Aku masih punya adik perempuan, namanya Viri---“

    Benar dugaanku, dia adalah kakak laki-laki Viridia yang pernah diceritakannya waktu itu.

    “Dia sudah tidak ada.”, kupotong kata-katanya, bersuara datar. Raqia berubah makin muram, ditambah lagi wajahnya tidak berani menghadap ke arahku dan Chloros.

    “Apa…maksudmu…?”, tanya Chloros perlahan.

    “Viridia…dia sudah tewas.”, sekarang aku sendiri tidak berani menengok ke arah Chloros.

    “Da’ath!! Apa maksudmu kalau dia sudah tewas, hah?! Kamu bercanda?!”, dia meraih kerah bajuku.

    “Dia tewas, Chloros!! Dia sudah tidak ada di dunia ini lagi!! Apa kata-kataku kurang jelas?!”

    Ekspresinya makin terlihat kesal. “Kamu ini Crusader-Saint, benar begitu?! Kenapa tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya??!!”, wajahnya beralih ke arah Raqia. “Kamu juga. Bukankah kamu ini adalah yang terkuat secara fisik di antara kalian bertujuh??!!”

    “Chloros.”

    Kakakku memanggil namanya dengan lembut, kemudian menggelengkan kepala beberapa kali.

    “Yang Mulia Archangel di depan kita ini nampak merasa begitu bersalah. Sebagai sesama perempuan, aku tahu kalau sudah terjadi sesuatu yang memberatkan dirinya. Jadi…sayang, kumohon dengarkan mereka dulu.”

    Luar biasa. Ucapan kakakku sudah seperti sebuah kekang pada kuda. Chloros pun melepaskan genggamannya dari bajuku.



    Kuceritakan semua yang terjadi di Pardes, sejujur-jujurnya.

    “Viridia…kenapa…”, Chloros menjambak rambut depannya, ekspresinya nampak begitu sedih. “Jadi semua gara-gara Nephilim…”

    “Kami berdua tidak bisa berbuat apa-apa, Chloros. Bahkan Mama Deshiel pun tidak. Aku benar-benar mohon maaf…kamu boleh melakukan apa saja terhadapku untuk melampiaskan kekesalanmu. Biar aku yang menanggung semuanya.”, ujar Raqia, berlutut di depan kakak iparku itu.

    “Tidak, Raqia. Ini salahku juga. Aku sudah bersenjata lengkap, namun tetap tidak bisa menghentikan Nephilim itu. Jadi…Chloros, perbuatlah apa yang kamu inginkan terhadapku juga.”, aku ikut berlutut di depan Chloros.

    “Kalian…”

    Kakakku menyelak, “Sayang, kulihat mereka benar-benar menyesal atas kematian adikmu itu. Bahkan akupun bisa tahu dari kata-kata Da’ath kalau hal tersebut berada di luar kuasa mereka. Jadi…”

    “Aku tahu, sayang. Nephilim memang terlalu kuat untuk dihadapi, bahkan Omoikane dan para pengikutnya pun tidak berkutik. Baiklah. Kalian berdua, jangan merasa menyesal lagi. Karena…aku sedikit lega.”

    Aku dan Raqia saling bertatapan, heran mendengar kata ‘lega’ tersebut.

    “Setidaknya dia pergi dengan cara yang diinginkannya, yaitu gugur dalam bertugas. Dia berhasil mencapai cita-citanya dan mengakhirinya secara terhormat. Aku bangga padanya.”, mata Chloros berubah berkaca-kaca.

    “Bagaimana kalau dalam waktu dekat kita ke Pardes? Kalau kamu benar-benar ingin melihat adikmu untuk terakhir kalinya…”, kakakku menyandarkan kepalanya pada bahu Chloros yang berotot itu.

    “Sebaiknya jangan. Sebelum Nephilim itu dihabisi, ada baiknya kalian jangan pergi ke tempat yang jauh terlebih dahulu. Terlalu berbahaya.”, kata Raqia.

    “Sebegitu kuatkah Nephilim itu?”, tanya kakakku.

    “Bahkan akupun berimbang dalam menghadapi satu Nephilim saja. Bagaimana kalau lebih dari satu…”

    “Dan kabar buruknya, Nephilim yang menaklukkan domain Omoikane dan para Elilim-class di bawahnya ada dua. Di tengah kekacauan itulah aku berhasil meloloskan diri.”, sahut Chloros.

    Mata biru langitnya itu mendadak terbuka lebar. “Apa…katamu? Dua?”



    “Ya, ada dua. Keduanya perempuan. Mereka tidak menghabisi para Elilim-class itu, hanya membuat semuanya tunduk pada perintah mereka berdua. Seingatku yang satu selalu membawa pedang besar dengan ukiran kuning menyala, mengenakan baju zirah hitam, berambut ungu tua, dan bermata merah darah. Posturnya cukup ideal untuk seorang wanita…”

    Tenebria? Yang aku heran, kenapa saat awal serangan ke piramida di Ya’ar HaMalakh pedang itu tidak ada di tangannya?

    “…dan Nephilim yang satu lagi membawa sabit besar, selalu berpakaian gaun hitam panjang dengan beberapa ornamen renda…”

    Gothic dress.

    “…berambut panjang hampir sepinggang, berwarna pirang. Selalu dikuncir dua…”

    Twintail. Aku curiga kalau posturnya sekecil Raqia, atau malah lebih pendek. Eh? Kenapa bisa ada bayangan seperti itu ya?

    “…dengan warna mata yang sama dengan Nephilim yang satunya. Tingginya mungkin berbeda sedikit denganmu, Raqia.”

    Imajinasiku tepat sasaran. Namun, yang terkejut mendengar deskripsi terakhir dari Chloros bukanlah diriku atau Raqia. Melainkan…

    “Rambut pirang dikuncir dua dan membawa sabit…? Bermata merah…? Mengenakan gaun hitam…?”, suara kakakku terdengar kaku.

    “Kak, ada apa? Apa kakak pernah melihat orang itu?”

    “Dia…ya!! Tidak salah lagi!! Dia yang membunuh Papa dan Mama!!”

    Jika kisah hidupku ini dijadikan sebuah cerita, mungkin para pembacanya akan protes karena terlalu banyak kebetulan yang terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Beginilah kenyataannya. Aku sendiri kaget begitu mendengar ucapan kakakku. Ternyata…Nephilim…akan kupaksa mereka membuka mulutnya nanti!!

    “Jadi salah satunya yang membantai keluargamu?!”, tanya Raqia. Nampak jelas dia mengkhawatirkan diriku.

    Di tengah kekesalan kukepalkan erat-erat kedua tanganku, bahkan aku dapat merasakan tekanan kuku-kukuku sendiri pada telapak tangan. Kakakku juga berubah murung, lalu Chloros merangkulnya dengan tangan kiri.

    Raqia berbisik, “Ceritakan padaku nanti detailnya kalau kamu sudah tenang. Oke?” Lekukan bagai bulan sabit pun terbentuk di bibirnya yang kecil itu.

    Giliran Chloros bicara. “Ditambah lagi mereka sudah mengontrol kepulauan Yamato di sebelah barat laut Chalal, yang menjadi kubu para Elilim-class bawahan Omoikane. Dengan dua Nephilim sebagai pimpinan baru mereka, maka…”

    “Chalal berada dalam bahaya…”, Raqia nampak terkejut. “Aku khawatir hanya masalah waktu saja hingga kota itu diserbu habis-habisan.”

    Akupun menyahut, “Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selama Plasma belum ada di sini. Sama saja bunuh diri jika nekat menghadapi mereka.”

    “Plas…ma?”, sepasang suami-istri itu bertanya bersamaan.

    “Maksudmu makhluk aneh berbentuk manusia dari kaleng itu?”, Chloros lanjut bertanya.

    “Kami memang bertemu dengan sesosok manusia kaleng yang mengaku bernama Plasma di perjalanan---“

    Belum selesai kakakku bicara, aku dan Raqia berseru bersamaan, “DI MANA?!”

    Mereka hanya tersenyum.



    “PLASMAAAAA!!!!”

    Raqia berlari secepatnya setelah mendengar dari Chloros kalau Plasma ternyata ada di depan rumah, lalu memeluknya.

    “Ahaha…kalian sudah kangen denganku ya?”

    “Kenapa kamu tidak masuk saja sih? Sudah di depan pintu begini…”, kataku.

    “Oh? Aku baru saja bangun. Sebelumnya masih tertidur di situ.”, Plasma menunjuk sebuah gerobak kayu di belakangnya. “Well, aku memang punya mode khusus yang akan aktif secara otomatis jika terpisah terlalu jauh dari Biblos Gnostikos. Jika jaraknya lebih dari delapan puluh kilometer, energiku langsung dibatasi agar tubuhku hanya dapat berfungsi selama tujuh puluh dua jam ke depan, sehingga aku harus menghemat energi dengan sering-sering mematikan sistem.”

    “Ah…jadi itu teman kaleng yang kalian maksud?”, mendadak tuan Arya muncul di belakang kakakku dan Chloros.

    Kujawab dengan mengangguk beberapa kali, diikuti Raqia.

    “Dan dia yang membuat perjalanan kalian terhambat?”, tanya kakek itu pada kakakku dan Chloros.

    “Begitulah kek. Aku mohon maaf...aku hanya ingat benda kesayangan Da’ath ketika melihatnya, karena warnanya sama.”, jawab kakak.

    “Hmm, hmm.”, tuan Arya mengangguk dua kali. “Tidak apa-apa. Yang penting kalian berdua sudah kembali dengan selamat. Ya sudah, sebaiknya kita makan. Semuanya sudah matang ketika kalian bicara tadi.”

    “Plasma.”, kupanggil namanya.

    “Ya, aku mengerti.”, Plasma melangkah menghadap tuan Arya. “Maaf telah menyusahkan anda dan keluarga anda.”, dia membungkukkan badannya.

    “Sudah…sudah. Lebih baik ceritakan semuanya di dalam. Nanti makanannya keburu dingin.”, kakek itu hanya tersenyum.



    Akhirnya, makan siang. Karena jumlah orangnya bertambah, maka ruang makan ‘dipindah’ ke pelataran belakang. Tanpa meja dan kursi tentunya, hanya duduk bersila di lantai.

    Plasmapun bercerita mengenai semua yang dialaminya selama 3 hari terakhir.

    Awalnya, dia benar-benar panik karena mendeteksi kalau Biblos Gnostikos terpisah cukup jauh darinya, lebih jauh dari lokasi rumah ini. Kebetulan sekali dia bertemu Chloros dan kakakku, yang dengan ramah menawarinya untuk singgah sementara di rumah ini barulah mencari buku misterius tersebut ---yang sekarang ada di pangkuan Raqia---. Karena mode energi yang dibatasi itu pulalah, Plasma harus sering-sering mematikan sistemnya, menumpang tidur pada gerobak yang mereka bawa. Hal itu yang menyebabkan perjalanan pasangan suami-istri itu menjadi terlambat, karena harus membawa beban berlebih dalam rute yang masih terdiri dari hutan lebat.

    Namun, tadi pagi Plasma merasakan Biblos Gnostikos berpindah posisi. Kujelaskan karena aku berhasil mengajari Raqia mengenai satu hal, yaitu persamaan kuadrat. Mengetahui posisi Biblos Gnostikos yang mendekat, Plasma tidak lagi khawatir.

    “Berarti saat ini tubuhmu sudah tidak bermasalah?”, tanyaku.

    “Yup, batasan energinya sudah non aktif. Terima kasih untuk respon cepatnya, Da’ath.”

    “Tidak cepat juga sih…aku sempat tak sadarkan diri selama dua hari lho.”

    Sambil memperhatikan Plasma dengan teliti, kakakku bertanya, “Jadi ini adalah senjatamu yang seringkali kamu mainkan dulu?”

    “Ya, ini senjata yang sama. Hanya saja sekarang sudah bisa bergerak dan berpikir sendiri.”

    “Hee…hebat juga ya.”

    “Yang jelas aku juga harus berterima kasih pada anda berdua, tuan Chloros, nyonya Reshita. Jika bukan karena anda, mungkin saya sudah mati untuk selamanya di tengah jalan.”

    Plasma lanjut bertanya padaku, “Jadi…nyonya Reshita itu kakakmu?”

    “Yap, dia kakak perempuanku. Dua tahun di atasku.”



    Se. Ben. Tar.



    “Kak, sewaktu keluarga kita dihabisi…umur kakak masih sembilan tahun ya?”

    “Uh-huh. Kenapa memangnya?”

    “Benar begitu, tuan?”, kukonfirmasi pada tuan Arya.

    “Ya, benar. Saya menemukannya terapung di laut saat berlayar ke Pardes. Reshita mengaku kalau dia berumur sembilan tahun waktu itu. Dulu saya memang seorang pedagang, namun memutuskan pensiun setelah mengangkat kakakmu sebagai cucu. Sayang sekali saya belum sempat ke Shamayim, kota yang katanya dekat dengan tempat asal Reshita.”

    Kutengok ke arah Raqia sejenak. Ah, bagus. Sepertinya Raqia sudah memahami maksudku.

    Dengan nada yang terdengar mengerikan dan tangan terlipat di depan dada, Raqia bertanya, “Hei Chloros…kamu berkata kalau kamu berhasil meloloskan diri dua puluh satu tahun yang lalu, benar…?”

    “Yep, betul sekali.”, dengan mantap Chloros menjawab.

    “Katakan sejujur-jujurnya. Kapan kalian berdua bertemu untuk pertama kali, hah…?”, masih terdengar menyeramkan, kali ini jari telunjuk kanannya berayun cepat naik turun menepuk-nepuk lengan kirinya.

    “Dua belas tahun yang---“

    Kurang ajar memang Eleutherian-class yang satu ini.

    “Angel Knight form, release.”

    “Plasma, bersiaplah.”, ujarku datar.

    “O-Oi…Da’ath, Raqia, ada apa sebenarnya?”, tanya Plasma.

    Kuacuhkan kata-kata Plasma. “Heavenly Saint.”

    Sacred Armor, Energy Blade, dan Hypermassive Defenser langsung terbentuk. Chloros mendadak panik melihat kami berdua, disertai keringat dingin mengucur di wajahnya.

    “Hei…Plasma…kamu pandai hitung-hitungan kan?”, tanyaku, dengan suara yang sama menyeramkannya dengan Raqia.

    “Tentu saja. Mau tanya sesuatu kah?”

    “Aku terpisah dari kakakku saat usianya sembilan tahun, itu sudah empat belas tahun yang lalu. Jika pengakuan Chloros tadi benar…”

    “Tunggu. Tuan Chloros, apa anda menikahi nyonya Reshita saat dia masih berusia sebelas tahun?!”

    Dan itu dia maksudku. Jika ada seseorang yang dapat melukis aura, mungkin sekarang aku dan Raqia sudah memancarkan aura hitam kelam yang amat dahsyat. Ditambah miasma juga, mungkin.

    “Kurang tepat, Plasma.”, sahut Raqia. “Mereka sendiri mengaku kalau sudah melakukan ini itu dan seterusnya saat itu…”

    Keduanya tertegun, lalu wajah mereka berubah merah, sangat merah.

    “Hei…Da’ath…apa kamu tahu? Maoriel punya kata yang bagus untuk menggambarkan hal ini.”

    “Katakan saja, Raqia.”

    “DASAR LOLICOOOOOONNNNN!!!!!”, sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.


    *


    “Da’ath, boleh kukatakan sesuatu?”

    Kembali, kami sudah berada di langit pagi hari. Berhubung 3 orang bawahan Archangel keempat, Maoriel Moshel, sedang berada di Batavia, Raqia ingin mengunjungi mereka sebentar. Dia juga ingin bertanya lebih jauh mengenai kondisi di kepulauan Yamato yang sempat dikatakan Chloros kemarin.

    “Ya, katakan saja.”

    Raqia memutar joknya ke belakang. “Reshita mengatakan sesuatu padaku kemarin malam. Sebenarnya kamu…”

    “Aku sudah bisa tebak, Raqia. Masalah wajahku yang tidak ada mirip-miripnya dengan kakakku, benar?”

    “Nah itu dia. Rambut pirang dan mata birumu itu…”

    “Sudah kuduga sejak lama kalau aku memang bukan berasal dari keluarga Ruachim. Yah, tapi karena tidak ada lagi jejak mengenai keluargaku yang sebelumnya lagi, aku selalu menganggap merekalah keluarga kandungku.”

    “Begitu…ya. Seingatku, keluarga Ruachim memang pindah dari Shamayim tanpa memiliki anak laki-laki sama sekali. Maaf, sepertinya aku sudah membuatmu sedih.”, kepalanya sedikit menunduk.

    “Hei, kenapa malah kamu yang murung begitu? Aku sendiri merasa sudah tidak ada masalah dengan hal itu.”

    “Eh? Benarkah?”

    “Yap, begitulah adanya. Itu sudah sangat lama berlalu dan tidak penting lagi sekarang.”

    “Tapi ada yang aneh, Da’ath. Reshita bilang kalau kamu ditemukan saat masih bayi, mungkin baru berusia beberapa bulan. Dan…sudah ada kalung salib dan senjata itu bersamamu saat dirimu ditemukan.”

    Yang ini baru kudengar. Aku tahu Plasma Rifle sudah bersamaku sejak lama, namun…sejak bayi?

    “Hmm…”, kuhela nafas sambil melipat kedua tangan.



    Kutatap jauh ke dalam matanya, sedikit mendekat ke wajah kecilnya itu.

    “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”

    Refleks, tangan kananku bergerak ke atas kepalanya, lalu mengusap-usapnya perlahan.

    “Ng…D-Da’ath…”, pipinya berubah kemerahan.

    “Hmm? Kamu suka dielus seperti ini?”

    “Mmm.”, dia mengangguk perlahan. “Y-Yah…kamu tahu sendiri, menjadi seorang pemimpin kota berpenduduk dua puluh delapan juta orang itu cukup berat, jadi…”

    “Aku heran.”, masih membelai rambut peraknya yang lembut itu.

    “Kenapa?”

    “Saat masih di atas samudera besar itu, kamu bercerita kalau ketujuh Archangel dipilih oleh Crusader-Saint, olehku sendiri. Apa alasannya aku memilih dirimu waktu itu? Apa kamu masih ingat?”

    “Eh? Aku sudah lupa sih…ada apa memangnya?”

    “Kamu lebih cocok jadi adikku dibanding seorang Archangel.”

    “H-H-Hah?!”

    “Yah, kamu tahu sendiri, aku hanya punya seorang kakak perempuan. Waktu itu Viridia juga ingin menjadi adikku…”

    “Err…jadi aku harus memanggilmu onii-chan, begitu…?”

    “Huh? Bahasa macam apa itu?”

    “I-Itu salah satu panggilan untuk kakak laki-laki, digunakan oleh salah satu suku yang penduduknya cukup banyak di Chalal…”

    “Hmm…terdengar menggemaskan sih. Boleh coba lagi?”, aku berhenti membelainya.

    O-Onii…-chan?”, lengkap dengan pipi kemerahan, tangan kiri menutup lemas di depan dagu, tangan kanan meremas rok, dan tatapan memelas.

    SIAL!! Ini malah membuatku…ARGH!!

    “Tidak, tidak, tidak.”, kataku dengan cepat sambil menggelengkan kepala tiga kali. “Posemu malah membuatku bernafsu. Tolong hentikan.”

    “Kurang ajaaaaarrr!! Ternyata kamu hanya menggodaku HAAAAHHH??!!”

    Dan…beberapa pukulan dilancarkan olehnya. Aduh…



    ====================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Arya Mayapada (Old Javanese):
      --> Arya = bangsawan
      --> Mayapada = bumi, dunia
    • Chloros (Greek) = hijau
      Jelas banget dari namanya kalo dia kakaknya Viridia.
    • Reshita --> Reshit (Hebrew) = pertama
      Artinya, dia anak pertama keluarga Ruachim.
    • Gw lagi males jelasin detail persamaan kuadrat...intinya gitu lah ya.
      Karena lahan itu dikelilingi saluran irigasi, maka panjang lahan yg dikelilingi itu 50-2x, lebarnya 40-2x. Kalo kurang jelas tolong hubungi tuan Arya Mayapada...
    • Bentar, kalian tau kan ini setting ceritanya di mana?

    Last edited by LunarCrusade; 02-11-12 at 15:39.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  15. #44
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    oke... kayak biasanya aja, ya...

    Spoiler untuk sopiler :
    chap 10: Itu, aljabar lagi... persamaan kuadrat, eh... gue ngga terlalu dapet, intinya gue inget itu masih pelajaran kelas 1 smp. Terus gue inget hasilnya ada 2. Biasanya buat nentuin titik2 kalo ga salah...
    ehm, ceritanya gadak sawah? Terus sekitar arah Barat dari Batavia...ah
    jujur, gue rada pusing baca yang ini...

    chap 11: olee, kakaknya si loli ijo2... tapi cowok, terus lolicon pul. gue agak kecewa jadinya. Nikahin anak umur 11 pula, lebih parah dari syekh ehm2 itu ***** men
    ngg, cerita nya si Da'ath makin terungkap, ya... Nephilim lagi. Tsundere lagi gak?
    aowkakowokakowaokw


    okeh, ditunggu lanjutannya...

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  16. #45
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    oke... kayak biasanya aja, ya...

    Spoiler untuk sopiler :
    chap 10: Itu, aljabar lagi... persamaan kuadrat, eh... gue ngga terlalu dapet, intinya gue inget itu masih pelajaran kelas 1 smp. Terus gue inget hasilnya ada 2. Biasanya buat nentuin titik2 kalo ga salah...
    ehm, ceritanya gadak sawah? Terus sekitar arah Barat dari Batavia...ah
    jujur, gue rada pusing baca yang ini...

    chap 11: olee, kakaknya si loli ijo2... tapi cowok, terus lolicon pul. gue agak kecewa jadinya. Nikahin anak umur 11 pula, lebih parah dari syekh ehm2 itu ***** men
    ngg, cerita nya si Da'ath makin terungkap, ya... Nephilim lagi. Tsundere lagi gak?
    aowkakowokakowaokw


    okeh, ditunggu lanjutannya...
    Spoiler untuk AKOWKAOWKAOWK :

    Persamaan kuadrat itu kelas 2 SMP...silabus kurikulum SMP sekarang pun sama. (kelas 1 baru sebatas persamaan/pertidaksamaan linear 1 variabel biasa sama himpunan)
    Intinya ini mau bikin saluran irigasi dgn lebar yg sama di setiap sisinya, ga bole ada yg kecil sendiri, dgn luas lahan yg udah diketahui.


    ini gw bikin di saat napsu loli gw lagi setinggi"nya,
    jadi muncullah si Chloros yang ngawinin kakaknya Da'ath pas 11 tahun...

    #digasruk
    tapi seenggaknya gak nyogok pake duit biar mau kawin kan

    spoiler dikit, Nephilim tar rencananya ada 3 orang
    Belom ketauan sebiji brarti satu lagi mungkin nongol pas arc nya Archangel kelima.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 3 of 14 FirstFirst 123456713 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •