Page 4 of 14 FirstFirst 12345678 ... LastLast
Results 46 to 60 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #46
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk hadiah :


    Sakit ni TS, nikahin anak umur 11 tahun, umur segitu di anuin segala lagi

  2. Hot Ad
  3. #47
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    @tas: widii dibikinin ilustrasi nya
    tapi tetep aja gue gak ngerti.
    sungguh, aljabar adalah salah satu hal yang paling gue benci di muka bumi...

    @lunyan: lu. emang. brengsek. LOLICON!
    sebenernya gue pengen ngomong gitu, tapi berhubung gue juga sejenis....yasudahlah

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  4. #48
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    lama" banyak loli dah

    Spoiler untuk Tehillim 12 :


    ==============================================
    Tehillim 12: Astronomical Feeling Part I || Straight Ahead!
    ==============================================




    “Jadi…seandainya aku berjalan sejauh enam meter dalam dua detik, itu artinya kecepatan berjalanku adalah tiga meter per detik?”

    “Yap, benar. Formula paling sederhana untuk menghitung kecepatan adalah seperti itu.”

    Plasma menunjuk pada sebuah persegi panjang hitam, melayang sekitar satu meter di depan wajahnya. Di situ tercantum v = x/t, yang merupakan rumus paling sederhana untuk menghitung kecepatan konstan. Huruf v untuk kecepatan, x untuk jarak, dan t untuk waktu.

    “Nah masalahnya, hampir tidak ada benda di muka Bumi yang mampu terus bergerak dengan kecepatan konstan dalam waktu lama. Kadang melambat karena gesekan, kadang malah dipercepat secara sengaja seperti saat aku menambah kecepatan Sonic Glider. Untuk itulah ada satu parameter lagi yang disebut percepatan. Artinya, perubahan kecepatan setiap satuan waktu.”

    Kamipun mulai berjalan memasuki Batavia. Sebelumnya, Sonic Glider mendarat di luar batas kota. Ternyata hanya butuh waktu satu jam lebih sedikit untuk sampai ke tempat ini lewat udara.

    “Anggaplah kamu mulai lepas landas, lalu menambah kecepatan hingga dua puluh meter per detik dalam waktu empat detik. Maka…”

    Bah, ini sih mudah. Dari definisinya saja sudah sangat jelas.

    “Percepatan Raqia sebesar lima meter per detik kuadrat. Benar?”

    “Aaaahhh…Da’ath!! Jangan memotong begitu!!”, Raqia terdengar agak kesal.

    “Oi…yang bertugas mengisi Biblos Gnostikos itu Raqia, bukan kamu.”, Plasma malah ikut-ikutan menyalahkanku.

    “O-Oke, oke. Aku menyerah.”, kuangkat kedua tanganku setinggi bahu.

    Sedikit di bawah v = x/t tadi, muncul tulisan a = v/t dengan a adalah percepatan.

    “Jadi hanya perlu membagi saja, begitu?”

    “Hmm…sebenarnya masih ada beberapa formula lagi sebagai pengembangan kedua rumus ini. Akan kujelaskan nanti jika kita sudah bertemu orang-orang yang kamu maksud.”

    Raqia nampak paham, namun anehnya…Biblos Gnostikos tidak bereaksi. Lebih anehnya lagi, Plasma dan Raqia seakan tidak menyadari hal ini. Apa hal ini disebabkan karena Plasma menunda pelajarannya?



    Aroma laut terasa begitu semerbak di kota ini, berasal dari perairan di sebelah utaranya. Maklum saja, Batavia adalah sebuah kota pelabuhan tempat transit para pedagang dari seluruh penjuru dunia, khususnya yang akan meneruskan perjalanan ke Chalal ---ibukota seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaan sang Celestial King---. Menurut Raqia, kota ini luasnya hanya sepersepuluh ibukota dengan penduduk sekitar satu juta jiwa. Itu sudah termasuk manusia, Angel-class, dan Eleutherian-class.

    “Nah, itu dia.”

    Raqia menunjuk pada sebuah gedung besar bertembok coklat muda dan beratap merah yang disebutnya sebagai balai kota. Tergolong besar, mungkin sekitar 9 hingga 10 kali lipat luas halaman rumahku di Ferrenium. Arsitekturnya? Tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan di Shamayim. Mataku juga menangkap banyak jendela persegi panjang di sekeliling bangunan, tersusun rapi dalam tiga barisan. Oh, bangunan ini berarti memiliki 3 lantai.

    Sebelum mendekati gerbang besar pada pagar besi hitam yang menjadi batas halaman bangunan, Raqia mengaktifkan mode Angel Knight. “Agar tidak repot untuk mendapat ijin masuk.”, begitu katanya. Benar saja. Penjaga gerbang ---dua orang Angel-class pria bertubuh tinggi besar dengan pedang disandangkan di pinggang--- langsung mengijinkan kami masuk tanpa bicara apapun. Yah…meski ini memancing perhatian banyak orang di sekitar kami juga sih…

    Pintu kayu besar dengan gagang keemasan yang menjadi pintu utama gedung pun dibuka olehnya. Entah karena sok tahu atau memang sudah hafal dengan bangunan ini, Archangel mini di depanku berjalan dengan langkah yang pasti, menimbulkan suara yang dengan volume yang tidak wajar ketika sepatu boot logamnya itu berbenturan dengan lantai marmer.

    “Kalian tunggu di situ. Aku akan mencari mereka.”, Raqia menunjuk pada kumpulan tiga sofa panjang berwarna merah tua di depan sebuah jendela besar, disusun menyerupai huruf ‘u’. Di depannya berdiri sebuah meja kayu pendek, hanya sedikit lebih tinggi dari tempat duduk sofa.

    Menyadari keanehan pada tata kramanya, akupun bicara, “Heh…memangnya ini rumahmu? Aneh rasanya kalau kamu yang menawarkan duduk.”

    “Duduk. Yang. Manis. Oke?”

    Huh…Archangel yang satu ini…ah sudahlah.

    Meski ragu pada awalnya, kuturuti kata-kata Raqia setelah menaruh tasku tak jauh dari kaki. Plasma, tanpa banyak bicara, juga ikut duduk di sofa ini. Empuk juga. Archangel-mini-yang-kadang-menyebalkan itu sendiri menghilang ditelan koridor di sebelah kanan jika berpatokan dari tempatku duduk.

    Akupun memutar badanku ke arah jendela. Sebuah kaca yang begitu tinggi, hanya berjarak sekitar satu setengah meter dari langit-langit. Berkat kehadirannya, ruangan besar tempatku duduk ini ---yang sepertinya ruang tamu--- tidaklah terlihat gelap. Kupegang kusennya…hmm, kusen kayu, sepertinya kualitas tinggi. Lengkap dengan jeruji teralis yang sepertinya dari perunggu, aku merasa seperti seekor burung yang hanya mampu memandangi laut lepas lengkap dengan kapal-kapal besar bersandar pada pantainya.

    Kuperhatikan lagi lebih teliti ruangan ini. Tak jauh di sebelah kiri sofa, kudapati sebuah pot keramik berwarna putih dengan gambar matahari, bulan, dan bintang-bintang terlukis pada permukaannya. Semuanya berwarna kuning keemasan. Tertanam pada pot, ada sebuah tanaman…

    “Sansevieria.”, mendadak Plasma bicara. Mungkin dia mendapati wajahku kebingungan saat melihat tanaman itu.

    Ah, jadi itu namanya. Tanaman yang unik, dengan bentuk menyerupai mata pedang. Warnanya hijau dikelilingi garis tipis kekuningan di tepi daun, dan…hanya ada daun. Mungkin batangnya berada di bawah tanah.

    “Oi, Da’ath. Ada yang datang.”, sahut Plasma.



    Benar kata Plasma. Dari arah pintu kayu besar tadi, kulihat sesosok wanita dengan lekukan tubuh yang indah melangkah kemari. Rambutnya merah bagaikan nyala api, panjangnya sedikit lebih tinggi dari pinggang, dikuncir biasa dengan pita putih. Kedua matanya berwarna kuning cerah. Kemeja putih, scarf dan rok-sejengkal-lebih-tinggi-dari-lutut berwarna merah tua, ditambah mantel merah cerah selutut berornamen jahitan dan kancing-kancing emas…melihatnya saja sudah membuatku merasa kepanasan. Namun jelas, yang dikenakannya itu adalah seragam militer.

    Mendengar derap langkah sepatu kulitnya itu mendekat, aku dan Plasma refleks bangkit berdiri. Setelah dia berada tidak begitu jauh dariku, aku jadi tahu kalau tingginya kira-kira setelingaku. Tatapannya nampak tegas, namun tidak memancarkan aura yang mengerikan.

    “Ah…jadi kalian rupanya yang dikatakan penjaga tadi. Tidak apa-apa, duduklah.”

    Tunggu. Tidak ada sayap…apa dia manusia? Kudengar juga Plasma menggumam layaknya lebah saat memandang wanita itu meski hanya sebentar. Kamipun kembali duduk.

    Dia mengambil duduk pada sofa di sebelah kiriku. “Perkenalkan, nama saya Solaris Shemesh Helionica, salah satu bawahan langsung Yang Mulia Maoriel. Kalau dirasa terlalu panjang…anda bisa memanggil saya Sola.”

    Bagus. Memang itu yang kurencanakan.

    “Tadi saya dengar, anda berdua datang bersama Raqia. Benar begitu?”

    Tidak ada embel-embel ‘Yang Mulia’. Bisa jadi Raqia sudah kenal baik dengan orang ini.

    “Mmm…benar. Tadi dia pergi menuju koridor itu, dan sekarang belum kembali.”, kutunjuk koridor yang dilalui Raqia.

    “Ah…begitu. Dia memang sudah hafal tempat ini. Mungkin sedang membangunkan salah satu rekan saya.”, dia tertawa kecil. “Dan…anda?”, matanya menuju ke arah Plasma. “Apa anda juga ikut menemani Raqia?”

    “Ya, benar. Kami bertiga adalah rekan seperjalanan. Sebenarnya kami ingin langsung ke Chalal. Namun karena satu dan lain hal, kamipun terdampar di tempat ini. Hal itu menyebabkan Raqia memutuskan untuk kemari sebentar, mengetahui kalau anda sedang berada di kota ini.”

    Mendadak terdengar suara teriakan yang berbunyi “Cepat ganti pakaianmu!!”, menggema dari arah koridor yang jelas sekali adalah suara Raqia. Disusul dengan teriakan manja setengah malas, seorang perempuan.

    “Huh…anak itu…”, sambil kutaruh telapak tangan kananku di dahi.

    “Hahaha…tidak usah khawatir. Rekan saya yang satu itu memang tidak suka udara hangat dan cerah, dan lebih bersemangat jika sudah menjelang sore hari.”

    Seperti kalong saja.

    “Oh ya, maaf belum memperkenalkan diri. Nama saya Da’ath Ruachim, dan yang bersama saya ini biasa saya panggil dengan nama Plasma.”, kutepuk bahu kiri Plasma.

    “Jadi…tuan Da’ath dan tuan Plasma?”

    Aku merasa geli sendiri mendengar Plasma dipanggil dengan sebutan ‘tuan’.

    “Jika boleh saya tahu, apa tujuan anda bertiga ingin ke Chalal?”


    Maka kujelaskanlah semua yang diceritakan Chloros.


    “N-Nephilim?!”, nada suaranya agak naik, disertai dua kilauan kuning cerah di wajahnya yang membuka lebar.

    “Anda…tidak tahu mengenai hal ini?”, tanyaku.

    “Sejak dua puluh satu tahun yang lalu, Omoikane dan para pengikutnya memang menjadi lebih berani. Beberapa kali juga dia menyerang pulau besar di utara kepulauan Yamato, pulau Ezo, yang menjadi basis pertahanan terakhir kami di kepulauan itu. Ternyata itu alasannya…”

    Plasma memotong, “Maaf, nona Sola. Jika boleh saya tahu, apa alasan seseorang yang bernama Omoikane ini mendadak memberontak lima ratus tahun yang lalu?”

    Sola terdiam sejenak. Ada yang aneh dari ekspresinya…

    “Saya tidak tahu detailnya, tetapi sepertinya ada masalah pribadi antara Yang Mulia Maoriel dan Omoikane.”

    Jika sudah ditemani atribut ‘masalah pribadi’, aku jadi merasa tidak enak untuk mengoreknya lebih lanjut, meski dengan posisiku sebagai Crusader-Saint.



    Mendadak datang satu orang lagi dari arah pintu depan, perempuan. Kembali, Plasma menggumam seperti saat pertama kali melihat Sola.

    Seragamnya mirip dengan Sola hanya saja mantel, scarf, dan roknya berwarna hitam. Lagi-lagi tanpa sayap. Rambutnya panjang kira-kira sepinggang dan nampak begitu lurus dan halus, berwarna kuning keemasan yang sedikit lebih mencolok dibanding warna rambut nona Deshiel.

    Hime cut.”, bisik Plasma di telinga kananku.

    “Hei, kamu bisa membaca pikiranku ya?”

    “Tidak. Namun jelas sekali kalau kamu berusaha berpikir saat melihat potongan rambutnya. Lagipula data-data seperti itu sangat mungkin dimasukkan olehmu sendiri.”

    Aku jadi heran, sebenarnya bagaimana sih diriku yang dulu?

    Ada satu hal yang membuatku terkejut dari penampilan fisik perempuan itu. Bukan, bukan tinggi badannya yang sedikit lebih pendek dari bahuku dan posturnya yang menggemaskan, tapi…matanya. Ya, kedua matanya memiliki warna yang berbeda. Yang kanan berwarna merah, sementara yang kiri berwarna ungu. Sakit matakah?

    “Ng…anu…ada apa…?”, suaranya terdengar begitu lembut. Namun, sorot matanya nampak takut dan kedua tangannya dilipat di depan perut.

    “Heh, kamu menatapnya terlalu tajam.”, Plasma menjitak pelan belakang kepalaku.

    “He? Eh? Benarkah? M-Maaf kalau begitu.”, refleks aku berdiri dan membungkuk di depan gadis itu.

    Ujung-ujung bibirnya naik, tersenyum. “Iya, tidak apa-apa. Mmm…karena kedua mataku yah?”

    “B-Begitulah. Saya belum pernah melihat yang demikian.”

    Sola menyahut, “Stella, perkenalkanlah dirimu pada mereka. Jauh-jauh mereka menemani Raqia ke sini.”

    “Hoo…!!”, ekspresinya berubah ceria. “Kalian bersama Raqia juga ya? Perkenalkan, namaku Stella Kokhavi Astraea. Panggil Stella saja.”

    “Saya Da’ath Ruachim, dan yang bersama saya ini…”, Plasmapun berdiri. “Namanya Plasma.”

    Melihatnya duduk di sofa kosong di sebelah kanan Plasma, kami berduapun kembali duduk.

    “Lalu…Raqia di mana?”, tanya Stella. Duh, suaranya ituuuuu!! Seakan ada belaian angin malam yang lembut merasuki liang telingaku…

    “Sepertinya sedang membangunkan Luna. Yah…kamu tahu sendiri kan…”, jawab Sola.

    Sebentar…aku merasa ada satu gadis dengan nama yang panjang lagi setelah ini.



    Terdengar langkah dari koridor tadi, kali ini sepertinya langkah dua orang. Benar saja. Raqia muncul ---mode Angel Knightnya sudah non-aktif--- dengan menarik tangan seorang perempuan tanpa sayap, seperti membawa hewan ke pejagalan…

    “Jangan malas-malasan begitu ah!! Aku punya urusan penting dengan kalian!!”

    “Iya, iyaaaa!! Raqia, lepaskan tangankuuu~!! Sakiiiittt~!!”, teriaknya manja.

    Sambil merapikan rambutnya ---dan dua kali menguap ditambah satu kali mengusap-usap mata---, gadis itu melangkah ke arah sofa yang kami duduki. Tingginya kurang lebih sedaguku, tubuhnya begitu ramping. Dan ini adalah ketiga kalinya Plasma menggumam.

    Lagi-lagi model seragam yang sama, hanya saja semua yang berwarna merah pada Sola dan hitam pada Stella digantikan warna biru yang lembut. Yang berdiri di hadapanku ini memiliki rambut sebahu berwarna putih bagaikan terang bulan purnama. Helaian-helaiannyapun berkilauan diterpa sinar matahari dari jendela besar di belakangku. Matanya biru cerah, lebih lembut dibanding warna bola mataku. Dan di antara mereka bertiga, kulitnya adalah yang paling putih bercahaya. Aku berani taruhan, cahaya Bulan pun akan kalah bersinar dengannya jika dirinya dapat terbang di langit malam…

    “Sekarang, perkenalkan dirimu pada mereka berdua.”, ujar Raqia.

    “Baiklah…namaku Luna Levana Selenia. Kalau kalian?”

    Benar dugaanku, namanya cukup panjang. Dengan cara yang sama seperti dengan Sola dan Stella, kuperkenalkan diriku dan Plasma.

    “Oh…jadi kamu Da’ath, dan kamu Plasma. Oke. Raqia, boleh aku ke kamar---“

    “Laut tidak jauh dari sini. Mau kulempar ke sana?”, ujar Raqia, terdengar mengancam. Entah, mungkin melempar orang adalah hobinya. Beberapa kali dia mengatakan hal yang sama padaku.

    “Aaahh~ Aku masih ngantuk…!! Ya sudahlah…”

    Luna melangkah ke arah sofa yang kududuki, lalu…

    “Mmm…aku menumpang tidur sebentar ya, onii-chan~”

    Disambut respon heboh dari Raqia. “H-Hei!! Luna!!”

    Tebak apa yang Luna lakukan? Dia melempar tubuhnya ke atasku, memelukku erat ---menekan dadanya padaku, maksudnya--- layaknya sebuah guling, dan mengusap-usap pipinya pada pipiku. Sebagai lelaki normal, aku SANGAT bahagia dengan kondisi seperti ini, meski menurutku Luna perlu sedikit tambahan nutrisi pada bagian yang menekanku itu…eh…

    Sedikit keributan terjadi, leherku dicekik dan digoncang berulang-ulang oleh Raqia, ditambah sebuah tinju keras mendarat di dahiku. Hebatnya, Luna TIDAK bergeser sedikitpun dari posisinya dengan semua itu, terbangunpun tidak. Entah disengaja atau bukan. Untunglah Stella berhasil menenangkan Raqia, sehingga tidak terjadi pertumpahan darah antara Archangel mini penguasa Shamayim melawan Crusader-Saint yang masih payah ini.



    Sambil duduk di atas meja, lengkap dengan tangan terlipat dan ekspresi kesal, Raqia berceloteh, “Hmmph…di saat seperti ini masih saja curi-curi kesempatan…”

    “H-Hei…ini juga bukan mauku.”

    “Sudah, hal begini saja tidak perlu diributkan.”, Plasma berusaha menenangkan. “Masih ada urusan yang lebih penting, mengenai identitas Nephilim yang mengambil alih domain Omoikane dan Elilim-class pengikutnya itu.”

    “Hmm…ya, benar.”, Sola menyetujui. “Tadi kalian bilang kalau ada dua Nephilim yang mengambil alih daerah itu? Apa sumbernya bisa dipercaya?”

    Kujawab, “Jika mendengar deskripsi salah satunya, saya yakin itu adalah Nephilim yang sama yang sempat mengacau di Pardes beberapa hari yang lalu karena sempat juga kami hadapi. Sumbernya juga dapat dipercaya, karena Eleutherian-class yang saya maksud adalah seorang yang dikirim dari Pardes sendiri lima ratus tahun yang lalu.”

    Apalagi dia kakak iparku sendiri, meski lolicon…bah.

    “Oh? Kontingen pasukan yang dari Pardes itu?”, sahut Stella. “Jujur saja, kami bertiga sempat berusaha membebaskan mereka waktu itu. Tapi…berhubung yang memberontak jumlahnya lebih dari seperempat total Angel-class yang ada di Chalal, Yang Mulia Maoriel pun tidak mau meresikokan diri untuk menyerbu mereka sekaligus. Dan karena jumlah pasukan dari Pardes yang hilang hanya beberapa belas orang, Yang Mulia Maoriel dan Yang Mulia Deshiel pun setuju untuk menghentikan misi. Lalu, bagaimana dengan yang lainnya?” Meski dia berkata cukup panjang, namun suara lembutnya…ah…

    “Dia tidak menceritakan hal itu. Namun, karena dia berhasil melarikan diri sewaktu terjadi bentrokan antara Elilim-class dan Nephilim, ada kemungkinan yang lainnya juga berhasil bebas atau…sudah mati.”

    “Yang lebih mengherankan, mau apa para Nephilim itu di sana…”, Sola menaruh tangan kanannya di dagu.

    Plasma menyahut, “Ah.” Mulutnya sedikit membuka lengkap dengan tatapan lurus ke depan. “Apa mungkin…”

    “Ada apa? Kamu menyadari sesuatu?”, tanya Raqia.

    “Ini baru hipotesis saja. Tapi jika kita bercermin dari peristiwa di Pardes, para Nephilim itu punya satu misi: mencari senjata-senjata tersembunyi. Apa mungkin ada sesuatu yang mereka cari di kepulauan Yamato?”

    Aku dan Raqia mendadak saling menatap.


    “Divine Technology!!”, kami berseru bersamaan.


    Sekali lagi, gelagat Plasma sedikit mencurigakan. Seketika setelah itu, matanya langsung menatap Sola, Luna, dan Stella bergantian. Tunggu. Apa mungkin…

    “Plasma, kemari se--- duh…”

    Bah, aku tidak bisa bergerak karena pelukan Luna ---yang terasa hangat dan jujur saja, membuatku merasa nyaman---. Untunglah Plasma bisa mengerti dan memiringkan sisi kiri kepalanya mendekati wajahku.

    “Ada apa?”

    Berhubung aku tidak ingin membuat kehebohan, kutanya berbisik, “Apa mereka bertiga…termasuk Divine Technology? Sejak tadi gelagatmu begitu aneh saat memandang mereka.”

    Suara Plasma juga dipelankan. “Ah…kamu sudah menyadarinya? Benar tebakanmu itu. Awalnya aku sedikit ragu. Namun setelah memindai ketiganya dengan lebih teliti, aku jadi yakin kalau mereka termasuk produk Divine Technology. Dan setelah kuperiksa dengan data internalku, sebagian besar cocok. Hanya saja…”

    “?”

    “Entah kenapa bentuk mereka berubah. Percaya atau tidak, fisik asli mereka seharusnya tidak jauh berbeda dengan Archangel Core.”



    Mendadak Raqia memanggil, setengah memakiku.

    “Heh, kamu dengar tidak?!”

    “E-Eh…ada apa?”

    “Huh…pikiranmu pasti melayang kemana-mana karena kontak kulit-ke-kulit dengan Luna. Besok kita ke Chalal dengan mereka bertiga. Sebenarnya mereka baru ingin kembali tiga hari lagi, namun kuminta mereka mempercepatnya dan mereka setuju.”

    “Apa tidak terlalu beresiko meninggalkan kota ini begitu saja? Saya rasa malah lebih baik jika setidaknya kita berada di sini sesuai jadwal.”, tanya Plasma.

    “Tidak masalah, tuan Plasma.”, jawab Sola. “Selama dua puluh satu tahun terakhir tidak ada satupun Elilim-class yang berani menyerang terlalu jauh dari domainnya. Seperempat hari perjalananpun tidak, paling jauh hanya sampai Ezo. Lagipula jika tidak ada Nephilim yang muncul, seharusnya pasukan kota ini dapat menahan mereka dengan bantuan para Eleutherian-class yang tinggal di sini dan sekitarnya. Mereka cukup mudah diajak bekerjasama.”

    Defensif sekali rupanya. Kurasa itu taktik yang bagus, mengingat banyaknya penduduk di Chalal ---dengan setengahnya adalah Angel-class--- yang sekitar tujuh puluh juta orang, menurut informasi dari Raqia.

    “Baiklah. Kalian bisa beristirahat di sini untuk malam ini.” Solapun berdiri, lalu sedikit membungkuk. “Ijinkan saya berterima kasih atas kedatangan kalian, sekedar untuk memberitahu informasi tersebut.”

    Raqia melompat dari posisi duduknya di meja, lalu berkata, “Jangan sungkan begitu, Sola. Masalah gawat seperti ini memang harus diberitahukan secepatnya ke semua kota besar yang ada.”

    Tiba-tiba Luna terbangun dan berdiri. Yah…kenapa harus bangun sih? Eh…

    Sambil mengusap-usap mata, Luna berkata dengan suara malas, “Ada yang akan datang.”



    Wow. Benar apa katanya. Dari pintu besar, ada seorang Angel-class wanita yang masuk lengkap dengan mengenakan armor yang bentuknya unik, yang menurut Luna adalah seragam pasukan Chalal. Apa dia punya detektor keberadaan makhluk tertentu di tubuhnya?

    Luna melangkah maju. “Mmm…ya? Ada apa?”, tanyanya lembut.

    “G-Gawat, Jenderal. Ezo diserang!!”

    Tidak ada satupun di antara kami yang tidak terkejut mendengar laporan itu.

    “Apa katamu? Ezo?!”, seru Sola.

    “B-Benar, Jenderal. Semua begitu mendadak, membuat kami kocar-kacir.”

    Tunggu…

    “Plasma, bisa kamu hitung jarak antara Ezo ke tempat ini? Tadi pagi saat kita terbang menuju ke kota ini, kamu berkata kalau peta duniamu sudah bisa diakses kan?”, bisikku.

    “Ya benar. Tapi…Ezo itu di mana memangnya?”

    “Mereka bilang tadi kalau pulau itu ada di bagian utara kepulauan Yamato, dan pulaunya tergolong besar.”

    “Hmm…baiklah. Dari namanya seharusnya bisa kukira-kira di mana kepulauan itu berada. Sebentar ya…nah, ini dia.”, Plasma menunjukkan sebuah peta dari cahaya padaku. “Mudah-mudahan ini pulau yang benar. Kalau kurata-rata, jaraknya dari kota ini sekitar enam ribu lima ratus kilometer.”

    Akhirnya muncul sesuatu lagi di kepalaku, beberapa angka dan huruf. Kubisikkan sesuatu pada Raqia setelah deretan angka-angka itu menghilang dari kepalaku.

    “Sebentar.”, sedikit kukeraskan suaraku. Semuanya menengok ke arahku. “Maaf memotong. Bisa kamu beritahu kapan penyerangan itu terjadi?”, tanyaku pada Angel-class itu.

    “Tak lama setelah matahari terbit, tuan.”



    Saatnya…mathematical trance. Tak lupa juga kuingat-ingat kembali konversi satuan yang sempat diajarkan Plasma sewaktu di atas samudera itu.

    “Plasma, tolong keluarkan papan tulismu yang tadi.”

    “Oh…papan tulis holografik yang tadi? Oke, oke.”

    Muncul papan hitam persegi panjang yang cukup besar, sama seperti saat dia mengajari Raqia pagi ini. Secepat mungkin kutulis dengan jariku apa saja yang terpikir.

    Pertama, a = v/t.

    Jika kuurai lagi rumus tersebut dengan mengetahui kecepatan awal dan akhir…

    a = (v – v0) / t

    Dengan v adalah kecepatan akhir, dan v0 adalah kecepatan awal. Kuputar-putar sedikit, jadilah:

    at = v – v0
    v = v0 + at

    Seandainya percepatannya tetap, maka kecepatan rata-rata dapat kuhitung dengan menjumlahkan kecepatan awal dan akhir saja, lalu dibagi 2. Artinya:

    v rata-rata = (v + v0) / 2

    Plasma sempat menyebut rumus untuk jarak, yaitu x, untuk kecepatan konstan. Apabila kuganti dengan v rata-rata…

    x = vt
    x = ([v + v0] / 2) . t

    Belum selesai. Sepertinya angka yang muncul di kepalaku tadi adalah percepatan. Nilai v pada rumus itu bisa kuganti dengan yang sudah kuhitung di atasnya. Maka:

    x = ([(v0 + at) + v0] / 2) . t
    x = ([2v0 + at] / 2) . t
    x = (v0 + ½ at) . t
    x = v0t + ½ at2

    Ini dia senjata-senjata yang kubutuhkan untuk membongkar kebohongannya.

    “Plasma, kapan kita mulai berangkat pagi tadi?”

    “Jam internalku menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, dapat disesuaikan otomatis dengan lokasi kita berada. Perjalanan ke Batavia memakan waktu satu jam lebih, sekitar tiga ribu tujuh ratus detik.”

    Matilah Angel-class itu.

    “Dan sekarang, sudah berapa ribu detik berlalu sejak matahari terbit?”

    “Matahari tadi terbit kira-kira pukul enam kurang sedikit. Sekarang pukul setengah sembilan, artinya sudah sekitar dua setengah jam. Bisa kubulatkan sembilan ribu detik berlalu--- HEI!!”, tatapannya langsung beralih pada Angel-class itu.

    Bagus. Plasma sudah sadar.



    “Pertama!! Seorang Angel-class memiliki kecepatan sekitar tujuh ratus kilometer per jam, dan dapat didorong hingga tujuh ratus dua puluh jika terdesak alias dua ratus meter per detiknya. Artinya…”

    Itu adalah salah satu dari beberapa angka yang muncul di kepalaku, yaitu kecepatan maksimum 200 meter per detik dan juga percepatan 20 meter per detik kuadrat. Lanjut kutulis:

    v = v0 + at
    200 = 0 + 20 . t
    200 = 20t
    t = 10 detik

    “Kamu butuh sepuluh detik untuk mencapai kecepatan maksimum. Dalam jangka waktu tersebut, kamu sudah mencapai jarak…”

    Senjata kedua.

    x = v0t + ½ at2
    x = 0 . 10 + ½ . 20 . 102
    x = 0 + ½ . 20 . 100
    x = 1000 meter

    “Alias satu kilometer saja. Itu adalah jarak yang sangat pendek dibanding jarak dari Ezo ke kota ini, yang sekitar enam ribu lima ratus kilometer. Dengan kata lain, jarak tersebut bisa kuabaikan.”

    Kulanjutkan, “Kedua!! Ada yang aneh dengan jangka waktu perjalananmu. Logikanya, jika kamu ingin melaporkan kejadian yang terjadi di Ezo, kamu akan terbang dengan kecepatan maksimum tanpa melambat dan mengambil rute terdekat, yaitu dengan terbang lurus.”

    Senjata ketiga.

    v = x/t
    200 = 6500000 / t
    t = 32500 detik

    “Alias sekitar sembilan jam. Dan kamu berkata kalau kejadian itu baru berlangsung tadi pagi, sekitar sembilan ribu detik yang lalu? Kalau kamu diserangpun, seharusnya kamu tiba di tempat ini lebih lama lagi, bukan lebih cepat.”

    Semua terbelalak, memandang tajam ke arah Angel-class itu.



    “Katakan pada kami. Siapa. Kamu. Sebenarnya!!”

    Perlahan Angel-class itu mundur, nampak ketakutan.

    “Plasma, Heavenly Saint!!”

    Begitu semua persenjataanku sudah lengkap, kuacungkan ujung Energy Blade tepat di depan wajahnya.

    “Hanya ada dua kemungkinan. Kamu terlalu ***** dan pelupa, atau…kamu tidak menggunakan sayapmu untuk kemari.”

    Muncul senyuman menyeringai di wajahnya.


    Anti-Photonic Curtain. Deactivate.”


    Miasma hitam dalam jumlah besar menyeruak dengan cepat dan menimbulkan hentakan udara yang kuat. Refleks, kugerakkan tangan ke depan wajah lalu menunduk serendahnya agar tidak terpental. Seperti dugaanku, dia bukanlah Angel-class. Sosok aslinya mulai terlihat…

    “Aku tidak menduga bisa bertemu dengan Crusader-Saint di tempat ini.”

    Empat sayap besar berwarna hitam. Mata merah darah. Rambut twintail sepinggang. Gothic dress. Dia…!!

    “Begitu juga denganku, hei Nephilim pembunuh!!”

    “Yah, aku sedikit menyesal tidak dapat membunuhmu empat belas tahun yang lalu. Tapi sekarang…”

    Sorot matanya makin menusuk, memancarkan aura pembunuh yang begitu kuat.

    Choshech Arcblade.”

    Sebuah sabit muncul di genggamannya. Gagang sabit itu berwarna hitam, lebih tinggi dari tubuh pemakainya. Mata sabitnya berwarna perak berkilau. Ornamen plat-plat hitam mencuat di belakangnya, dihiasi sebuah bulatan merah darah di pangkal belakang mata sabit. Semua itu membuatnya terlihat seperti kepala seekor burung. Lengkap sudah deskripsi yang dikatakan Chloros kemarin.

    Kuberalih memandang ke arah ketiga gadis berseragam militer itu sesaat, ternyata mereka sudah berubah mengenakan armornya masing-masing, dengan bentuk yang tidak seperti yang pernah kulihat di Shamayim. Stella sendiri berpakaian sesuatu mirip rompi yang ditutup menyilang, rok pendek, dan sarung tangan yang semuanya berwarna hitam. Hebatnya lagi, sekarang ketiganya memiliki sepasang sayap putih di punggung masing-masing.

    Baru saja Nephilim itu ingin mengayunkan sabitnya…

    “Jangan bergerak.”

    Stella sudah berada di belakangnya, mengunci tangannya sehingga sabit itu terjatuh, lalu menaruh ujung pisau berwarna keemasan di lehernya.

    “Huh…dasar anak nakal. Sudahlah, menurut saja atau kubelah kepalamu dengan naginata milikku.”, Luna mengacungkan ujung tombaknya ---muncul tiba-tiba di genggamannya--- yang berbentuk agak melengkung.

    “Kamu ditahan atas dasar laporan palsu dan usaha mencederai petinggi militer Chalal.”, kali ini Sola yang mengulurkan ujung pedang lurusnya yang panjangnya mungkin setinggi perutku, tepat di depan hidung Nephilim itu.

    “Oi, oi. Sepertinya ini tidak adil. Lima lawan satu.”

    Suara Nephilim mini itu masih terdengar santai.

    “Kalau begitu, kalian harus kueliminasi satu persatu secepat mungkin.”



    Dengan cepat, begitu cepat, Nephilim di depanku ini memunculkan bola-bola hitam di antara dirinya dan kedua jenderal militer itu…disusul ledakan dari seluruh bola tersebut. Di tengah kekacauan, dia berhasil melepaskan kuncian Stella, lalu berbalik membanting tubuh Stella ke arah tembok di sebelah kanannya.

    “KURANG AJAAARRR!!”, Sola menerjang sambil mengayunkan pedangnya.

    Kembali, senyuman sinis terlukis di ujung-ujung bibir Nephilim itu. Secepat kilat kakinya menendang sabit besarnya yang tergeletak di lantai, menendangnya ke atas hingga dapat kembali ke genggamannya.

    “Dasar. Makhluk. Lemah.”

    Ayunan pedang itu dapat ditahan oleh gagang sabitnya, yang dipegangnya secara horizontal. Sementara itu, Luna berlari sambil mengambil sikap bersiap menebas dengan tombaknya itu, yang tadi disebutnya dengan naginata. Tetapi…

    …sebuah bola hitam kembali muncul tepat di depan Luna, beberapa langkah dari Nephilim itu.

    *BHUUUUUMMMM!!!~

    Sekali melompat mundur, kemudian diapun mengayunkan tebasan mata sabitnya secara vertikal dari bawah ke atas, membuat Sola terpental cukup jauh ke belakang. Semuanya terjadi dengan sangat cepat, sampai dia menoleh padaku…

    “Sekarang giliranmu!! HEAAAAHHH!!!!”

    Keempat sayapnya dikepakkan, lalu melesat ke arahku diikuti dengan hentakan aliran udara. Sabitnya itu diayunkan selebar-lebarnya saat jaraknya tidak begitu jauh dariku. Untunglah Hypermassive Defenser menjalankan tugasnya dengan baik saat kugerakkan tangan kiriku ke depan, menahan ujung mata sabitnya. Timbul getaran udara yang kuat saat sabitnya dan perisaiku berbenturan.

    “Sayang sekali, anak nakal. Aku pernah menghadapi temanmu sebelumnya.”

    “Hee…Tenebria onee-sama maksudmu? Tidak kusangka kamu masih bisa tetap hidup setelah bertemu dengannya. Ternyata kamu orang yang menarik.”

    “Terima kasih untuk pujiannya. Sekarang, pergilah ke Sheol…”, Energy Blade ku bersinar lebih terang. “…UNTUK SELAMANYA!!!”

    Dengan Warp Drive mode otomatis, Plasma memindahkanku tepat ke belakang Nephilim tersebut. Kuayunkan Energy Blade…


    “Boleh juga.”


    …dan berhasil ditangkisnya dengan mata sabit peraknya itu. Ini gila!! Gerakan tangannya kelewat cepat, lebih cepat dari kemampuan mata dan juga refleks tubuhku!!

    Tanpa aba-aba, dia langsung melesat ke atas sambil memunculkan bola hitam tepat di depan tubuhku. Dia sendiri sudah duduk di atas lampu gantung emas pada langit-langit ketika bola hitam itu tercipta. Tak terelakkan lagi, ledakan menghempaskan tubuhku hingga ke tembok. Untunglah Sacred Armor ini mencegah cedera lebih lanjut.

    Nephilim itu menghela nafasnya. “Tiga jenderal Chalal, Crusader-Saint, lalu seorang Archangel…aku bisa mati lama-lama.”, ujarnya sambil bertopang dagu, dengan sabit masih ada di genggaman tangan kirinya. “Aku pulang saja ah~ Choshech Arcblade, activate dimensional transfer.”

    “Ingin pulang?”, sahut Raqia, yang sejak tadi kuminta menjauh. Sekarang dia melangkah hingga mendekati lampu gantung itu.

    Raut wajah Nephilim itu berubah kaget.



    Choshech Arcblade, activate dimensional transfer!!”

    “Kenapa? Portalnya macet ya?”, ledek Raqia.

    “A-Apa yang kamu perbuat, HAH?!”, suaranya berubah panik, tidak seperti tadi yang terdengar begitu santai.

    “Hei Da’ath…tidak usah pura-pura terus kesakitan begitu. Rencanamu sukses tuh.”

    “Divine Barriernya sudah terpasang sempurna?”, aku bangun lalu berjalan menghampirinya.

    “Tentu saja sudah. Memasang Divine Barrier tidak butuh waktu lama kok.”

    Yap, itu dia. Divine Barrier.

    Belajar dari kejadian di Ya’ar HaMalakh, aku jadi tahu kalau Divine Barrier dapat menghalangi fungsi teleportasi. Kalau kuingat-ingat lagi, Tenebria tidak dapat keluar dari hutan saat Divine Barrier diaktifkan. Jika dia punya fungsi teleportasi, aku heran…kenapa dia tidak langsung menggunakannya untuk lari seandainya sudah tahu kalau dia terkurung dalam Divine Barrier? Jawabannya hanya satu, dia tidak bisa.

    Ketololan Nephilim yang satu ini, yang tidak tahu menahu waktu tempuh perjalanan dari Ezo ke Batavia, membuatku yakin kalau anak kecil ini punya fungsi teleportasi yang sama. Uh-huh, dia berpindah ke Batavia dengan portal. Jika dia benar-benar terbang ---atau setidaknya pernah terbang--- dari Ezo ke kota ini, pastilah dia dapat menyebutkan waktunya dengan benar.

    Tiba-tiba saja lampu gantung itu jatuh beserta Nephilim yang duduk di atasnya. Mungkin dia tidak sempat menghindar karena kaget. Penyebabnya satu, Stella yang melemparkan pisaunya pada tali lampu gantung. Akupun menoleh ke arahnya, mendapatinya mengedipkan sebelah mata padaku dan berpose agak genit.

    “Tidak ada gunanya lagi melawan.”, Raqia menempelkan tepi pedang besarnya pada leher Nephilim itu, sedikit ditekan. “Jika kamu membuat ledakan, itu hanya akan melukai lehermu sendiri.”

    “Kamu pikir…aku tidak tahu cara menghilangkan Divine Barrier?”

    Barisan gigi-giginya tersingkap dari balik bibirnya yang menyeringai. Dengan kecepatan tinggi dia meraih pedang milik Raqia, membuatnya lepas dari genggaman, kemudian melemparnya sejauh mungkin. Tanpa peringatan, berikutnya dia menerjang lurus ke arah Raqia, mendorong tubuhnya hingga…


    *PRANG*


    Baik diriku, Sola, Luna, maupun Stella hanya mampu terpaku karena pergerakannya yang mungkin hanya sedikit lebih lambat dari Warp Drive milikku. Begitu aku ingin menggerakkan kakiku, keduanya sudah berada di luar gedung, lengkap dengan kaca besar yang hancur berserakan dan teralis yang terlempar dari tempat yang seharusnya.

    *NGUUUNG~

    Bunyi itulah yang tertangkap telingaku saat aku terbang melesat keluar gedung melalui celah bekas kaca besar. Jangan-jangan Divine Barrier nya menghilang?!



    “Oi Raqia!! Ke mana Nephilim itu?!”

    Aku bertanya ---setengah berteriak--- karena tidak ada sama sekali sosok Nephilim yang nampak. Hanya ada Raqia yang melayang di udara.

    “Kenapa…dia begitu cepat…”

    Dia memandangi tangannya yang gemetaran dengan mata yang terbuka lebar, seakan tubuhnya habis disambar petir.

    Kuhampiri dirinya. Terbang, tentu saja. “Hei, kamu tidak apa-apa?”, kugenggam kedua bahunya.

    Tidak ada jawaban. Dia menyingkirkan tanganku, lalu melayang pelan ke arah gedung.

    “Kita ke Chalal. SEKARANG!!”

    Hanya itu yang keluar dari mulutnya, disertai kilatan cahaya biru langit yang memantul, tajam menatap kedua mataku…




    ===============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Sansevieria itu yang gini lho...
      Spoiler untuk gambar :

    • Ezo yang dimaksud adalah...ini: http://en.wikipedia.org/wiki/Ezo
    • Solaris Shemesh Helionica
      --> Solaris => Solar (Latin)
      --> Shemesh (Hebrew)
      --> Helionica => Helios (Greek)
      3-3nya punya arti "matahari"
    • Stella Kokhavi Astraea
      --> Stella (Latin)
      --> Kokhavi => Kokhav (Hebrew)
      --> Astraea => Astron (Greek)
      3-3nya punya arti "bintang"
    • Luna Levana Selenia
      --> Luna (Latin)
      --> Levana (Hebrew)
      --> Selenia => Selene (Greek)
      3-3nya punya arti "bulan" (dlm konteks luminary, bukan penanggalan)
    • Choshech Arcblade
      --> Choshech (Hebrew) = darkness
    • Masih inget kan artinya Sheol itu apa? (coba buka lagi trivia di post #1 An Angel and A Reaper...)
    • Hime cut itu yang begini lho...
      Spoiler untuk gambar :

    • Selamat membuka buku Fisika kelas 10 SMA pas bab Gerak Lurus lagi ya...

    Last edited by LunarCrusade; 28-02-13 at 21:04. Reason: Lupa trivia sebijiiiii :lalala:


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  5. #49
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk LaLaLa :
    Makin gak manusiawi aja tu otaknya Da'ath woe
    Bisa2nya nurunin rumus GLB jadi GLBB lagi keadaan genting ke gitu.

    adegan si Luna langsung lompat meluk da'ath sambil ngelus2 pipi gitu, ew.. cowok mana si yang gak bahagia

    masalanya kejadian kegitu hampir mustahil terjadi beneran, gua jadi kebayang manga2 school-life harem tsundere deh

    3 Cewek militer itu artificial life dari divine tech ? ditambah si Gothic Nephilim & rakia, jadi ada empat ekor Loli + big onee-san

    Spoiler untuk as usual :


  6. #50
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Spoiler untuk LaLaLa :
    Makin gak manusiawi aja tu otaknya Da'ath woe
    Bisa2nya nurunin rumus GLB jadi GLBB lagi keadaan genting ke gitu.

    adegan si Luna langsung lompat meluk da'ath sambil ngelus2 pipi gitu, ew.. cowok mana si yang gak bahagia

    masalanya kejadian kegitu hampir mustahil terjadi beneran, gua jadi kebayang manga2 school-life harem tsundere deh

    3 Cewek militer itu artificial life dari divine tech ? ditambah si Gothic Nephilim & rakia, jadi ada empat ekor Loli + big onee-san

    Spoiler untuk as usual :

    Spoiler untuk muhauhauhauhauha :

    Belom genting, kan blom tabok"an (kalo lagi meledak" terus ngitung, nah baru aneh rasanya )
    Masih memojokkan doang biar ngaku siapa dia sebenarnya


    Kan Luna kalo pagi-siang ngantuk
    Trus ga bole balik ke kamar pula atau diceburin ke laut sama Raqia, ya udah...pake yang empuk ajah dan mudah dijangkau, si Da'ath sendiri


    Yep, 3 cewek itu produk Divine Technology
    Di arc ini ntar gw kasih tau alesannya kenapa mereka "berubah wujud", dari seharusnya cuma segede kelereng (Archangel Core itu kira" segede kelereng toh? Inget?)

    Eh...Luna itu gak loli, cuma rata doang dadanya
    Tingginya standar kok buat cewek normal (itu 160-an kira"...sedagunya Da'ath kan? Asumsi Da'ath badannya mayan antara 170-180an)
    Kalo Stella nah baru...
    Loli, assassin, bawaannya piso...MAU DONG DIGARUK WKAOEKOASKOEK


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  7. #51
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Fisika. satu hal yang bikin gue gagal masuk jurusan IPA. Kebetulan bab kecepatan sama Percepatan ini gue lumayan bisa, jadi gue masih ngeh sama apa yang dijelasin si Da'ath.
    Tapi tetep, bagian itu nya ngga menarik.

    Satu kejanggalan yang gue temuin adalah. Pas si Da'ath ngejabarin persamaan itu -yang logikanya butuh waktu seengganya semenit- si Nephilim itu santai aja, semuanya juga..? yah mereka bukan gue, sih...

    Terus brengsek. Oppai, Loli, dan Pettan. Si pettan nya kok brengsek amat? GUE JUGA MAU, SOMPRET!!!

    oh ya...
    Arsitekturnya? Tidak jauh berbeda dengan bangunan-bangunan di Shamayim.
    Berarti Shamayim itu...

    Gue tunggu duet si Tenebria sama adeknya, ya...

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  8. #52
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    gw malah rush ngetik di situ, berasa ada tambahan energi pas ngetiknya jadi sebenernya mathematical trance yang dimaksud ya berlaku buat gw juga
    entah, gw emang kecenderungan hype-nya naek kalo si char utama lagi ngejelasin sesuatu biar semua terungkap dan clear dibanding lagi ngangkat senjata pengaruh tontonan mungkin yeeee


    sebenernya kalo dikompres jadi adegan serupa anime/film gitu, penjabarannya gak bakal sampe 30 detik, mengingat Da'ath di sini matematiknya lumayan imba...



    oke sepertinya sudah ketauan,
    Shamayim itu suasananya emang based on middle age-renaissance-colonial era


    OH DUET TENEBRIA SAMA LOLI NEPHILIM PASTE DOOOONNGGGSSSS
    kalo sampe gak ada silakan bacok gw


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. #53
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Maap lama

    Spoiler untuk Tehillim 13 :


    =================================================
    Tehillim 13: Astronomical Feeling Part II || Motion Experiment
    =================================================



    Chalal. Kota terbesar di dunia, berdiri menghadap samudera di sebelah baratnya.



    Dengan penduduk sekitar 70 juta jiwa, luas kota ini begitu luar biasa. Raqia memberitahuku kalau kota ini luasnya nyaris 2 kali lipat luas Shamayim. Batas kotapun tidak nampak dari tempatku sekarang, dari dalam Sonic Glider. Sejauh mata memandang hanya ada bangunan-bangunan beratap merah atau coklat dengan tinggi yang bervariasi. Meski demikian, peletakan bangunan yang ada di kota tergolong rapi. Yang lebih tinggi biasanya lebih berfokus di sebelah timur kota, sementara yang lebih pendek di sebelah barat, lebih dekat ke pantai.

    Meski supermasif dan ---menurutku--- luasnya tidak masuk akal untuk sebuah kota, namun kenyataannya tempat ini tetaplah menjadi tujuan banyak orang untuk menetap. Raqia juga mengatakan kalau pertumbuhan penduduk kota ini adalah yang tercepat di antara keenam kota besar yang ada.

    Penyebabnya hanya satu, sang Celestial King.

    Yap, Maoriel adalah salah satu Archangel yang paling disukai orang-orang di seluruh dunia. Jika diadakan pemungutan suara untuk menentukan popularitas seorang Archangel, mungkin dialah yang akan menjadi pemenangnya. Bahkan Raqiapun mengakui kalau Archangel yang satu itu lebih baik darinya dalam menangani orang banyak.



    Kediaman Maoriel sendiri terletak kira-kira di tengah kota, berada pada sebuah areal tanah yang sedikit lebih tinggi dibanding sekitarnya. Sebuah istana besar ---jauh lebih besar dibanding rumah Raqia di Shamayim--- dikelilingi tembok merah yang tidak begitu tinggi, lengkap dengan arsitektur yang khas. “Terasa begitu oriental”, begitulah komentar Plasma saat melihat istana dan juga bangunan-bangunan penduduk yang ada. Atap istana didominasi warna merah dan beberapa ornamen emas, dibalut warna-warna seperti putih, coklat, hijau, dan kuning tua untuk tembok. Satu lagi, semua kusen tidak ada yang berwarna coklat kayu. Hanya ada emas, emas, dan emas.

    Meski begitu, nuansa kota ini terasa masih “manusiawi”. Berbeda jauh dengan Shamayim yang membuatku merinding dan berdecak kagum, ataupun Pardes yang pemandangannya terasa menghangatkan pikiran. Tidak ada lampu bola yang melayang di tepi jalan, tidak ada butiran-butiran cahaya di udara.



    Pendaratan di halaman istana berlangsung lancar karena Raqia turun terlebih dahulu untuk memberitahukan kedatangan Sonic Glider. Uh-huh, tidak lagi dicegat seperti ketika memasuki Pardes. Sekarang kira-kira jam setengah 4 sore menurut jam internal Plasma. Dan berhubung Sonic Glider bisa terbang lebih cepat dibanding seorang Angel-class, kami bisa tiba lebih awal dibanding apa yang sudah kujabarkan tadi pagi. Yah…meski aku harus menahan mual sesekali. Sola, Luna, dan Stella sendiri memilih untuk tetap di Batavia hingga esok untuk memastikan kota tetap aman.

    “Yo, aniki!!”

    Begitulah sapaan Raqia pada Maoriel, yang kudapati sedang menyiram tanaman dengan sebuah ceret besar kekuningan. Jenis tanaman yang sama dengan yang kutemui di balai kota Batavia.

    Aniki?”, kutanya Plasma yang berdiri di sebelah kiriku.

    “Panggilan untuk kakak laki-laki, namun kesannya lebih jantan.”, jawabnya.

    Maoriel, yang mendengar suara Raqia, menengok ke arah kami.

    Seorang pria yang bertubuh cukup ideal ---meski tidak nampak terlalu berotot seperti Chloros---, tingginya tidak jauh berbeda dariku. Warna rambutnya sama persis dengan Raqia, yaitu perak berkilau, dan kira-kira sepanjang telinga. Bedanya, mata Archangel yang satu itu berwarna kuning cerah seperti halnya Sola. Plasma memberitahuku ---mungkin wajahku nampak keheranan melihat penampilannya--- kalau yang dikenakannya disebut yukata, disalut warna biru tua. Satu lagi, tidak ada sayap. Mungkin semua Archangel dapat menyembunyikan sayapnya jka diinginkan.

    “Oh!! Raqia rupanya.”

    Kedua Archangel itupun melakukan sebuah…brofist. Astaga.

    “Bagaimana? Perjalanannya lancar?”, dia bertanya seakan sudah tahu kalau kami akan ke tempat ini.

    “Tidak juga sih…”, Raqia menggaruk-garuk kepala. “Ada beberapa gangguan yang terjadi sehingga aku terlambat sampai. Maaf ya, padahal aku sudah menyuruh beberapa Angel-class yang dikirim ke Pardes untuk memberitahukannya padamu. Eh…malah aku yang terlambat.”

    “Hahaha…sudah, tidak masalah. Yang penting kamu sudah tiba.”, pandangannya beralih padaku dan Plasma. “Lalu, siapa saja yang kamu ajak itu?”

    Pertama, kuperkenalkan Plasma. Kedua, kusebutkan namaku. Lalu…

    “Dia Crusader-Saint.”, sahut Raqia.

    Alat penyiram air itu jatuh dari genggamannya. Mulutnya bergerak-gerak kaku, namun tidak bersuara sama sekali.

    “B-Benarkah?!”, dia langsung memegang kedua pundakku, diwarnai keterkejutan yang hebat.

    “Sudah dikonfirmasi sih…dan ternyata benar.”, jawabku perlahan.

    Dia mundur selangkah, lalu menunduk dengan sangat hormat.

    “E-Eh…tidak usah sampai seperti itu…”, ujarku.

    “Ini harus saya lakukan, Da’ath-sama!! Saya…merasa berhutang pada anda. Entah apa itu, yang jelas ada sesuatu di hati kecil saya yang mengatakan hal tersebut.”

    Apa aku pernah menolong orang ini di masa lalu? Ah, sekarang masih belum dapat kuingat. Ya sudahlah, mungkin memang belum saatnya kuketahui lebih jauh mengenai Maoriel. Yang jelas sekarang…aku masih punya hutang pada Raqia. Mengajarinya.



    Malam hari.

    “Hah…”, Raqia menghela nafas. “Selesai juga.”

    Dirinya langsung tiduran di meja berbarengan dengan Biblos Gnostikos yang mengisi 9 halaman, setelah kuajari dia mengenai apa yang terjadi di Batavia tadi pagi. Yep, mengenai gerak lurus. Kami duduk bersebelah-sebelahan, tepat di belakang jendela yang menghadap ke laut.

    “Terima kasih untuk pelajarannya.”, ujarnya lembut sambil menatapku, dengan tetap tiduran di meja. Dia duduk di sebelah kananku.

    “Sama-sama. Toh ini sudah jadi kewajibanku juga jika Plasma berhalangan.”

    Plasma sendiri entah ke mana, namun kuduga dia sedang bersama Maoriel.

    “Sebagai rasa terima kasih, bagaimana kalau kuceritakan sesuatu?”, kepalanya kembali ditegakkan.

    “Sepertinya kamu suka sekali bercerita.”, aku bertopang dagu dengan tangan kiri. “Baiklah, mau cerita apa?”

    “Dia, Maoriel. Kamu pasti penasaran mengenai detail dirinya.”

    “Hmm…ya. Tidak bisa kukatakan tidak. Oke, silakan dimulai.”

    Raqiapun memulai ceritanya.



    Cerita dimulai dengan digambarkannya kondisi 2000 tahun yang lalu, ketika masa-masa awal para Archangel mengumpulkan manusia-manusia yang terserak.

    Fokus mulai dialihkan pada Maoriel. Raqia berkata kalau ada satu hal yang menjadi kelebihan Maoriel untuk menarik manusia-manusia pada jaman itu, yang disebutnya dengan ‘cinta yang sama rata untuk semua orang’. Percaya atau tidak, prinsip Maoriel itulah yang menjadi pionir untuk dicontoh kelima Archangel lainnya dalam hal menarik manusia. Siapapun orangnya, pastilah didengarkan dan berusaha dimengerti oleh sang Celestial King. Dengan kata lain, Archangel yang satu itu menggunakan pendekatan personal. Memang pada awalnya Chalal adalah yang paling sepi di antara kota-kota besar lainnya ---kurasa karena strateginya yang tidak bisa dijalankan dengan cepat---. Namun dalam waktu 400 tahun, penduduknya sudah berkembang menjadi yang terbanyak di dunia.

    “Sepanjang empat ratus tahun itu dia bekerja sangat keras demi orang-orang di sekitarnya. Sekecil apapun kebutuhan mereka, pastilah berusaha dipenuhi. Aku harus mengaku kalah dalam hal itu. Namun ada satu hal lagi.”, Raqia melanjutkan sebelum aku sempat berkomentar.

    Kali ini dia mulai bercerita tentang Omoikane. Sebenarnya Raqia sendiri merasa heran kenapa Angel-class yang satu itu malah berbalik melawan Maoriel.. Karena ternyata…dia adalah Angel-class pertama yang menemani Maoriel di masa-masa sulit itu, meski dia tidak pernah melakukan serangan langsung ke Chalal selama 500 tahun terakhir. Entah bagaimana detailnya Omoikane bisa bersama dengan Maoriel sejak hari itu, Raqia sendiri mengaku tidak ingat.

    Ditambah lagi, jika bukan karena bantuan Omoikane, mungkin Chalal tidak akan menjadi seperti sekarang. Angel-class ---mantan Angel-class, maksudnya--- yang satu itu ternyata sering sekali menyebarkan suatu cerita mengenai Maoriel.

    Cerita itu menggambarkan bagaimana Maoriel yang berada di dalam sebuah gubuk kecil bersama seorang gadis yang terluka. Baik ketika panas maupun hujan, Archangel itu terus melindunginya agar tidak kepanasan, tidak kehujanan. Karena gadis itu tidak dapat bergerak jauh dari tempatnya, Maoriel lah yang harus memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya dari apapun yang ada di sekitar. Akhir ceritanya? Gadis itu tetap meninggal. Tetapi, dia meninggalkan dunia ini dengan sebuah senyuman. Kisah tersebut sangat efektif untuk menyentuh hati orang-orang, bahkan membuat mereka bersedia mengikuti Maoriel hingga dapat menemukan tempat yang tepat untuk membangun Chalal yang sekarang.



    “Hmm…begitu rupanya. Sekarang aku jadi ikut heran, kenapa Angel-class yang satu itu malah memberontak dan menjadi Elilim-class…”, kutengadahkan kepalaku.

    “Nah, itu dia. Anehnya lagi, selama lima ratus tahun terakhir ini Maoriel sama sekali tidak melakukan usaha untuk melakukan serangan. Padahal aku mau saja membantunya jika diminta.”

    “Yah, jika dia tidak mau…kita tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Sola memberitahu kalau masalahnya dengan Omoikane bekisar mengenai masalah pribadi. Tidak enak mengorek lebih jauh tentang hal ini jika dia tidak menghendaki.”

    “Bagaimana kalau kamu yang memaksanya? Dengan posisimu sebagai Crusader---“

    Kujitak kepalanya.

    “H-Hei!! Kenapa main pukul segala?!”

    “Tidak mau. Kita boleh membantu, tapi jangan memaksa. Pelan-pelan saja, nanti juga kita akan tahu.”, sambil kuusap-usap lembut kepalanya, tepat di bagian yang kujitak tadi.

    “Mmm…baiklah.”, pipinya sedikit memerah.

    It’s super effective!! Sekarang aku mengerti bagaimana caranya menjinakkan Archangel mini yang satu ini.

    “Ya sudah, tidur sana. Aku tahu kamu sudah lelah.”, ditutup dengan senyuman kecil.

    Belum sampai dia melangkah ke pintu, kutanya, “Ngomong-ngomong, Omoikane itu perempuan ya?”

    “Uh-huh. Kenapa memangnya?”

    “Tidak apa-apa, hanya bertanya saja…”



    Suatu mimpi muncul. Seorang lelaki. Seorang gadis. Keduanya duduk tergolek bersandar pada tembok, keduanya memiliki beberapa bekas luka. Sebuah bangunan yang setengah hancur. Sesekali kudengar suara keras di kejauhan… mimpi apa ini sebenarnya?



    Kurasakan ada yang mencolek-colek pipiku. Siapa…

    “Heh, bangun. Sudah pagi.”

    Raqia rupanya. Berhubung kamar ini menghadap ke arah berlawanan dengan matahari terbit, suhunya pun tidak begitu hangat meski sudah beranjak pagi. Rasanya aku ingin tidur lagi. Tetapi…dibangunkan oleh makhluk lucu dan menggemaskan seperti dirinya, pikiranku segar seketika.

    “Maoriel ingin menunjukkan sesuatu padamu. Ganti pakaianmu, nanti akan kuantar ke sana. Aku tunggu di depan.”

    Hmm? Ada apa sebenarnya? Ya sudahlah, karena rasa kantukku sudah hilang, aku menurut saja.

    Yap, selesai. Begitu keluar kamar, kuikuti langkahnya menyusuri koridor-koridor istana yang…membingungkan. Di langit-langitnya terpasang beberapa lampu gantung yang mirip dengan balai kota Batavia, sebuah kombinasi yang menurutku tidak cocok dengan arsitektur bangunannya.

    Karena luasnya yang jauh lebih besar dibanding kediaman Raqia maupun Etz HaChayyim, sulit bagiku untuk mengingat-ingat jalurnya. Hingga akhirnya sampailah kami berdua di sebuah pintu yang letaknya terasing, berdiri sendiri dan jauh dari pintu-pintu lain yang kulihat sebelumnya.

    Pintu merah dengan paku-paku emas itupun dibuka oleh Raqia…

    Uh? Masih ada koridor panjang rupanya. Cukup gelap, namun aku masih bisa melihat jalurnya yang lurus tanpa belokan. Baguslah, aku tidak perlu takut tersesat. Setelah beberapa lama, aku bisa melihat adanya berkas cahaya di kejauhan. Makin besar, makin besar…

    Ruangan. Kosong. Hanya ada putih di seluruh tembok dan langit-langitnya. Anehnya lagi, tidak ada tanda-tanda sambungan plafon. Semuanya putih polos dan mulus. Tempat apa ini…?

    Tidak. Ternyata tidak seluruhnya kosong. Jauh di depan, ada sebuah pintu lagi yang berwarna keabu-abuan, dengan bentuk persegi panjang yang meninggi. Di depannya sudah ada Maoriel dengan yukata hitam, dan juga Plasma.



    “Sampai juga akhirnya.”, ujar Maoriel saat menengok ke arah kami.

    “Sebenarnya…tempat apa ini?”, tanyaku.

    “Anda akan tahu segera, Da’ath-sama.”

    Archangel bermata kuning itu menaruh telapak tangan kanannya di depan pintu. Seketika pintu itu membuka layaknya pintu otomatis, mirip seperti piramida yang waktu itu. Tapi…ada pintu lagi di depannya.

    Berhubung yang lainnya segera melangkahkan kaki, akupun mengikuti dan memasuki pintu itu. Ada ruangan cukup kecil di antara pintu pertama dan pintu kedua.

    Plasma berkata, “Da’ath, aktifkan mode Heavenly Saint mu.”

    “Hmm? Ada apa memangnya?”

    “Karena udaranya akan dikosongkan. Ruangan yang berada di balik pintu itu adalah ruang hampa udara. Kamu tidak akan bisa bernafas jika tidak mengaktifkan mode Heavenly Saint.”, Plasma menunjuk pintu yang di depan. Artinya, kemarin dia sempat ke tempat ini.

    Maoriel menambahkan, “Ya, ruangan yang setelah ini tidak memiliki udara. Sengaja saya membuatnya seperti itu agar koleksi saya tidak berkarat.”

    Kuturuti saja kata-katanya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Raqia mengaktifkan mode Angel Knight nya, sementara keenam sayap Maoriel muncul begitu saja tanpa dia harus bicara.

    “Aku juga akan menghubungkan Archangel Core kalian berdua denganku agar kalian tetap dapat saling berkomunikasi. Searching for Divine Technology device. Archangel Core detected in range. Establishing connection…success.

    Dengan kata lain, Archangel Core adalah produk Divine Technology juga.

    Tak lama kemudian, pintu yang di depanpun terbuka. Mendadak kepalaku dilindungi oleh sesuatu seperti helm dari bahan yang sama dengan armorku, ditambah permukaan biru bening di depan mata. Benar, aku masih bisa bernafas setelah ditutup helm ini. Hebatnya, Raqia dan Maoriel tidak memerlukan alat bantu apapun untuk bernafas. Ah iya, mereka kan Archangel…



    Begitu kami memasuki ruangan, aku menyadari ada yang aneh. Bukan, bukan karena banyaknya senjata yang ada di ruangan ini, tapi…suara. Ya, suara. Aku tidak dapat mendengar apapun.

    “Plasma, aku tidak bisa mendengar langkah kaki mereka. Apa helm ini membuatku tidak bisa mendengar?”

    “Suara butuh medium untuk merambat hingga ke telinga. Jadi, wajar saja kalau kali ini kamu tidak dapat mendengar langkah kaki mereka karena tidak ada udara yang menjadi mediumnya. Kalaupun kamu bisa mendengarku, itu disebabkan oleh bagian dalam helm ini yang masih berisi oksigen dan telingamu yang begitu dekat dengan headset ini.”

    “Hmm…jadi itu sebabnya kamu menghubungkan Archangel Core mereka denganmu…”, beberapa kali aku mengangguk-angguk.

    Sementara Maoriel terus melangkah, kuperhatikan sekelilingku. Benar-benar koleksi senjata yang luar biasa. Berbagai jenis senjata ada di sini baik pedang, tombak, busur, pisau, gada, dan lain sebagainya. Semuanya ditaruh dalam rak-rak, penyangga kayu ---diikat dengan kawat atau rantai ke lantai---, ataupun dipaku ke tembok. Yah, meski ada beberapa yang bentuknya aneh. Entah berapa banyak senjata yang ada di sini, tapi menurut perkiraanku ada ribuan. Satu lagi. Ruangan ini sangat, sangat besar, bahkan tidak bisa kulihat ujung-ujungnya jika kupandang ke kiri dan kanan. Masih ada langit-langitnya sih…

    “Hei, apa mungkin ada produk Divine Technology juga di ruangan ini?”

    “Tidak ada, Da’ath. Kemarin malam aku dan Maoriel sempat bercakap-cakap beberapa lama, dan kujelaskan semua mengenai Divine Technology padanya. Begitu dia mengajakku ke ruangan ini, tidak kudapati satupun. Di dalam ruangan ini memang tidak ada, tapi…ruangan ini sendiri adalah hasil dari Divine Technology.”

    “Whoa?! Ruangan ini?!”

    “Ingat kubus untuk menyimpan Quetzalcoatl? Prinsip ruangan ini sama seperti itu. Apa kamu sadar kalau ruangan ini jauh lebih besar dari kelihatannya?”

    “Hmm…ya. Entah seberapa besarnya, tapi jelas ini lebih besar dibanding yang kelihatan dari luar tadi.”

    “Sebenarnya luas ruangan ini, yang memiliki nama Artificial Dimensonal Storage, berukuran lebih besar dari istana.”

    “Tapi pasti akan sulit bagi mereka untuk mencuri ruangan ini, eh?”, aku merujuk pada para Nephilim itu.

    “Hahaha…jelas saja sulit. Kecuali mereka menggunakan teleport untuk memindahkannya…”



    Plasma seakan menyadari sesuatu, terucap sebuah “oh” dari kedua sisi telingaku.

    “Raqia, aku punya ide bagus. Berhubung tempat ini hampa udara, aku ingin mengajarkan sesuatu padamu.”

    Kedua Archangel itu berhenti melangkah, diikuti olehku.

    Terdengar suara Raqia pada kedua bulatan yang menutupi telingaku ini. “Hmm? Mau mengajari apa?” Mulutnya tidak nampak membuka. Artinya…ini semacam telepati.

    “Sedikit hukum tentang gerak. Yang Mulia Maoriel, bolehkah kugunakan ruangan ini dan senjata-senjata yang ada di dalamnya untuk contoh?”

    Tanpa membuka mulut, Maoriel mengangguk beberapa kali. Terdengar juga suaranya dari headset, “Boleh saja, asal tidak ada yang rusak.”

    “Bagaimana, Raqia?”, tanya Plasma.

    “Oke, aku siap. Bagaimanapun juga, belajar hal-hal baru adalah salah satu tanggung jawabku.”

    “Kalau kamu, Da’ath? Siapa tahu yang akan kuajari ini dapat berguna ke depannya.” Diapun menambahkan, “Oh, kalau kamu ingin bicara pada mereka berdua, kamu cukup bicara seperti biasa saja.”

    “Sepertinya menarik. Aku merasa akan ada sesuatu yang tidak biasa yang akan kamu ajarkan.”, jawabku.

    “Baiklah. Yang Mulia Maoriel, maaf jika meminta ijin anda lagi. Tapi bolehkah jika sedikit kuatur gaya gravitasi di ruangan ini?” Dijawab oleh Archangel bermata kuning itu dengan sekali mengangguk.

    Requesting access to Artificial Dimensional Storage. Access granted. Turning gravity level to zero.

    “Lalu? Untuk apa kamu mematikan sesuatu yang kamu sebut dengan ‘gravitasi’ itu?”, tanya Raqia.



    “Cobalah sekarang kamu melompat. Pelan saja, tidak perlu mengepakkan sayap, jangan berbelok ke manapun. Lurus ke atas.”

    Sedikit merendahkan badan, kemudian Raqia melompat. Yang terjadi berikutnya adalah dia terus melayang, terus melayang, terus…hingga…terbentur langit-langit.

    “Tunggu. Plasma, ini aneh!! Apa yang terjadi pada Raqia?!”

    “Sedikit mengenai gravitasi, itu adalah sesuatu yang menahan kalian agar dapat tetap berjalan di permukaan Bumi. Berhubung aku bisa mengakses data ruangan ini, akupun bisa membuat sistem dimensionalnya lepas dari Bumi untuk sementara waktu. Nah, Da’ath, apa yang bisa kamu simpulkan dari gerakan Raqia tadi?”

    Sekarang Raqia menginjakkan kakinya di langit-langit, menghentakkannya, lalu meluncur kembali ke dekatku.

    “Sebenarnya aku disuruh apa sih tadi…kepalaku agak sakit nih.”, wajahnya berubah cemberut lengkap dengan tangan kiri menggosok-gosok bagian kepala yang terbentur. Lucu juga rupanya jika pipnya menggembung tanpa bicara seperti itu…hehehe.

    “Aku masih tidak paham, Plasma. Dia melompat, lalu?”

    “Menurutmu adakah sesuatu yang janggal dari gerakannya?”

    “Dia hanya terus naik…tunggu.”, aku terdiam sejenak. “Kecepatannya konstan…”

    “Yap, itu dia. Itulah hukum pertama tentang gerak. Benda yang mengalami total gaya sama dengan nol hanya memiliki dua kemungkinan. Pertama, dia sedang diam. Kedua, dia sedang bergerak dengan kecepatan konstan. Raqia melompat untuk memberi percepatan sesaat hingga kecepatannya mencapai nilai yang tetap. Setelah itu, dia akan terus bergerak dengan kecepatan konstan. Kalau kutulis…”

    Papan tulis yang waktu itu muncul, namun kali ini dari pergelangan tangan kananku. Muncul tulisan:

    ΣF = 0

    Artinya, huruf F ini adalah gaya yang dimaksud Plasma.

    “Sepertinya yang ini mudah dipahami. Jadi itu tujuanmu mematikan apa yang kamu sebut dengan ‘gravitasi’ tadi?”, tanya Raqia sambil menaruh tangan kanan di dagu.

    “Betul. Jika ada gaya gravitasi Bumi seperti normalnya, percobaan semacam ini sulit dilakukan kecuali kita berada di luar angkasa sana. Bagusnya, tempat ini sudah hampa udara dari awalnya, sehingga tidak ada gesekan udara ketika kamu melompat tadi. Kemarin malam aku sempat bicara panjang dengan Yang Mulia Maoriel, dan dia mengijinkanku untuk melihat-lihat tempat ini. Kupikir tempat ini bisa jadi sarana yang bagus untukmu belajar.”



    “Dan kamu bilang itu hukum pertama? Berarti masih ada hukum kedua?”, Raqia bertanya lagi.

    “Yap, kali ini akan kunormalkan lagi gaya gravitasinya. Artificial Dimensional Storage, setting gravity level to normal.” Suasana hening sejenak dan pijakanku terasa mantap kembali, kemudian Plasma berujar, “Gravitasinya sudah kembali normal. Sekarang, hukum kedua. Ini juga masih mudah dipahami. Da’ath, sekarang cobalah mendorong satu rak ataupun platform tempat senjata-senjata itu diletakkan, yang mana saja.”

    Di sebelah kiriku terdapat sebuah rak besi beroda setinggi perut dengan etalase kaca, terikat pada lantai dengan empat buah rantai. Di dalamnya terdapat beberapa buah pedang dalam berbagai bentuk dan ukuran.

    Menyadariku yang menegok ke arah rak besi itu, Plasma berkata, “Ingin mencoba yang itu? Baiklah, akan kulepas rantainya.”
    Tanpa menyentuh apapun, Plasma melepas rantai-rantai itu dengan rapi. Entah bagaimana caranya, tapi kurasa dia sudah punya akses penuh terhadap tempat ini.

    Kudorong rak besi itu hingga bergeser sedikit. Berat juga.

    “Sekarang coba dorong satu lagi, yang kelihatannya lebih berat atau lebih ringan.”

    Rantai-rantainya kembali mengikat dengan sendirinya ketika pandanganku tertuju pada sebuah etalase kaca yang tinggi. Etalase itu berisi sebuah tombak besar berhiaskan batu-batu merah, diikat dengan kawat ke dasarnya. Etalase tersebut juga memiliki dasar kayu yang ujung-ujungnya dipakukan ke lantai. Lagi-lagi Plasma dapat melepas paku-paku itu tanpa menyentuhnya.

    Kulakukan hal yang sama, mendorongnya hingga bergeser sedikit.

    “Lebih sulit mendorong yang mana menurutmu?”, tanya Plasma. Nampak paku-paku itu kembali menancap pada tempatnya.

    “Hmm…yang rak besi tadi terasa lebih berat meski beroda. Apa ada hubungannya dengan hukum kedua yang kamu sebutkan tadi?”

    “Lagi-lagi soal gaya, Da’ath. Benda dengan massa lebih besar akan membutuhkan gaya lebih besar jika ingin digerakkan, yang artinya, diakselerasi. Begitu pula sebaliknya. Dan tanpa sadar, sebenarnya semua orang sudah mengaplikasikan hukum kedua ini tanpa harus menghitung. Satu hal lagi, aku lebih suka menyebutnya dengan massa dibanding berat, karena sebenarnya keduanya punya pengertian yang berbeda. Jika kuformulasikan…”

    Papan tulis holografik itu muncul kembali, kali ini dengan tulisan:

    F = m.a

    Jika F adalah gaya dan a adalah percepatan, berarti m adalah massanya.

    Plasma menambahkan, “Rak besi tadi massanya dua puluh delapan kilogram, sementara etalase dengan tombak memiliki massa tujuh belas kilogram. Raqia, jika Da’ath ingin menggeser keduanya pada percepatan dua meter per detik kuadrat, berapa gaya yang harus diberikan? Gesekan bisa kamu abaikan karena lantai ini cukup licin.”

    “Hmm…pakai rumus yang ini ya? Sebentar…”

    Raqia melangkah ke papan tulis yang muncul lagi dari pergelangan tangan kananku, lalu jari telunjuknya menulis:

    Frak = 28 . 2
    Frak= 56
    Fetalase = 17 . 2
    Fetalase = 34

    “Satuan keduanya adalah newton. Itu satuan standar untuk gaya, disimbolkan dengan huruf N.”, tambah Plasma.

    “Kalau begitu, Da’ath harus memberikan gaya yang lebih besar untuk rak besi agar dapat bergerak?”, tanya Raqia. Kali ini dengan pose khasnya, namun dengan mulut yang tetap tertutup.

    “Benar. Itulah inti hukum kedua tentang gerak. Nah, unik untuk gravitasi Bumi, semua benda yang jatuh pasti akan memiliki percepatan sekitar sembilan koma delapan meter per detik kuadrat jika kita mengabaikan gesekan dengan udara.”

    “Tunggu, Plasma.”, potongku. “Itu artinya, secara alamiah…semua benda yang berada di Bumi memiliki sebuah bentuk gaya yang seragam….”

    “Tepat. Semua benda yang berada di Bumi punya sesuatu yang disebut gaya berat. Massa tubuhmu sekitar tujuh puluh dua kilogram, dan percepatan gravitasi konstan sembilan koma delapan meter per detik kuadrat. Gaya beratmu?”

    “Tujuh ratus lima koma enam newton. Benar?”

    “Tinggal dikalikan juga ya?”, tanya Raqia.

    “Uh-huh. Sekali lagi tempat ini memungkinkan perhitungan mengenai gaya dengan ideal, tanpa harus ada gangguan dari bentuk-bentuk gaya yang lain.”

    “Oh ya, bagaimana seandainya ada gesekan udara yang kamu maksud tadi?”, Raqia kembali mengajukan pertanyaan.

    “Gaya gesek dengan udara biasanya sulit untuk diukur secara pasti, karena volume udara yang berubah-ubah di setiap titik. Tapi…akan kuberi contoh satu soal. Jika kamu menjatuhkan Da’ath dari udara yang memiliki gaya gesek dua newton, berapa total gaya yang Bumi lakukan untuk menarik tubuh Da’ath?”

    “Oi, oi, kenapa contohnya brengsek begitu…”, suaraku terdengar suram.

    “Bahahaha…sudah, diam saja. Aku tahu Raqia akan senang dengan hal itu. Oh ya, kuberi petunjuk. Gaya gesek selalu berlawanan dengan arah gerak.”, ucap Plasma.

    Tanpa berkomentar, Raqia kembali menulis.

    F = m.a – fgesek
    F = 72 . 9,8 – 2
    F = 705,6 – 2
    F = 703,6 N

    “Benar seperti ini?”

    “Giliran ada acara lempar-melempar saja….kamu langsung pintar begini.”, sahutku.

    “Ehehe…aku jadi malu.”, lidahnya sedikit terjulur.



    “Oke, sepertinya sudah lancar ya? Aku akan melanjutkan ke hukum yang ketiga.”

    Plasma melanjutkan, “Hukum ketiga tentang gerak bicara tentang aksi reaksi. Raqia, cobalah mendorong tubuh Da’ath.”

    Tangan kanannya diletakkan di bahu kananku, lalu melakukan sedikit gerakan mendorong.

    “Tadi kamu memberikan gaya sekitar lima belas newton. Tahukah kamu? Sebenarnya tubuh Da’ath juga mendorongmu dengan gaya yang sama, hanya saja berlawanan arah.”

    Muncul tulisan di papan tulis:

    F1 = -F2

    “Kamu pasti merasakan sedikit tekanan pada telapak tanganmu. Itulah bukti hukum aksi reaksi tersebut.”

    “Jadi itu gaya yang tubuh Da’ath berikan?”

    “Yap, benar sekali. Jika hukum ketiga ini tidak ada, maka semua orang akan terus masuk ke permukaan tanah ketika berpijak, karena tanah tidak memberikan reaksi saat diinjak.”

    “Hee…menarik juga ya. Namun masih ada yang membuatku bingung. Misalkan aku terus mendorong sebuah balok kayu kecil tanpa berhenti pada jarak yang jauh. Itu artinya aku memberikan gaya pada balok itu. Jika hukum ketiga itu benar, kenapa aku tetap bisa mendorongnya? Bukankah seharusnya dia tidak akan bergerak karena bereaksi melawanku?”

    “Untuk menjawabnya, akan kuberikan satu contoh. Anggap saja gaya yang kamu berikan sebesar sepuluh newton. Massa tubuhmu sendiri kalau kukira-kira mungkin sekitar tiga puluh kilogram. Dengan hukum kedua dan ketiga, coba hitung-hitunglah sedikit. Kuberi bantuan, misalkan F1 adalah gaya yang kamu berikan, dan F2 adalah reaksi dari balok. Karena F2 bekerja pada tubuhmu, maka massa yang kamu masukkan untuk F2 adalah massa dirimu sendiri.”

    Raqia menulis:

    F1 = -F2
    F1 = 10 N
    F2 = -10 N

    F2 = maku . a
    -10 = 30 . a
    a = -0,33 m/detik2

    “Dan itulah penyebab kenapa kamu tidak merasakan apapun dari balok. Percepatan sekecil itu tidak akan mampu memperlambat tubuhmu yang massanya tiga puluh kilogram itu, jauh lebih besar dibanding balok. Katakanlah balok itu memiliki massa nol koma satu kilogram, itu artinya balok itu akan mengalami percepatan seratus meter per detik kuadrat. Sebuah nilai percepatan yang amat besar untuk massa yang kecil. Karena itulah Kamu bisa membuat balok itu bergerak, sementara tidak untuk sebaliknya.”

    Oke, aku mengerti semua yang diajarkan Plasma tadi. Ternyata, banyak hal-hal yang kualami sehari-hari dapat diungkapkan dalam bahasa indah nan eksotik yang disebut matematika. Perlahan mengerti banyak hal seperti ini, lama-lama aku merasa seperti seorang anak kecil yang begitu gembira ketika diberi sebuah mainan baru…

    Kedua mata Raqia sedikit melebar, lalu terdengar suaranya di telingaku. “Yap, aku sudah paham teori dasar dan sedikit contoh perhitungannya. Terima kasih banyak, Plasma.”

    Ini dia tamu yang sudah tidak asing lagi, Biblos Gnostikos. Seketika diambil oleh Raqia begitu jatuh ke lantai. Dua belas halaman…banyak juga ya. Maoriel sempat kaget melihat kemunculan buku itu. Namun setelah kujelaskan, dia bisa paham.



    “Yang Mulia Maoriel, sekarang giliran anda.”, tutur Plasma.

    Maoriel kembali berjalan beberapa jauh, lalu berhenti di depan sebuah pintu ---lagi---. Dengan cara yang sama diapun membukanya. Bah…ada ruangan kecil lagi, lengkap dengan pintu LAGI yang identik di depannya. Kenapa banyak sekali pintu berderet di tempat ini…

    Begitu aku masuk, pintu yang di belakang langsung menutup.

    “Kamu bisa mematikan mode Heavenly Saint, Da’ath. Setelah ini udaranya akan normal.”, ucap Plasma. Kuturuti saja perintahnya. Seketika, dia sudah berdiri di kiri belakangku.

    Dan…pintu yang di depan membuka otomatis. Benar kata Plasma, aku bisa bernafas kali ini. Kulihat Raqia dan Maoriel tidak lagi berada dalam mode Archangelnya. Kali ini ada ruangan yang lebih kecil di depan, lengkap dengan--- wow. Apa itu?

    Sebuah bola kuning sebesar kepala ditaruh di atas sebuah penyangga tiang berwarna perak, setinggi perutku. Nampak berkilau, entah dari apa bahannya.

    “Boleh kusentuh?”, tanyaku pada Maoriel.

    “Boleh, tentu saja boleh, Da’ath-sama.”

    Kusentil-sentil bola itu. Bunyinya seperti sebuah kaca. “Ini…apa?”

    “Produk Divine Technology. Namanya adalah---“

    Sebelum Plasma mengatakan namanya, dua buah kata muncul di dalam kepalaku.

    “Recovery Orbiter.”, aku dan Plasma berkata bersamaan.

    “Oh? Kamu ingat benda ini?”

    “Belum, Plasma. Hanya saja mendadak namanya terbersit di pikiranku. Fungsinyapun aku tidak tahu.”

    “Recovery Orbiter berfungsi untuk memulihkan apapun, selama benda itu berada dalam jangkauan.”

    “Apapun?”

    “Yap, apapun. Entah itu benda mati ataupun makhluk hidup, bisa diperbaiki olehnya. Misalkan, tangan yang hilang bisa ditumbuhkan kembali. Tapi tetap saja tidak bisa membangkitkan orang yang sudah mati.”

    “W-Wow…hebat sekali fungsinya. Apa benda ini diciptakan olehku sendiri?”

    “Hmm…sepertinya tidak, karena setiap benda yang kamu ciptakan memiliki signature khusus di dalam code nya. Meski begitu, aku yakin kamu membantu sebagian besar perancangannya. Bagaimanapun juga kamu adalah orang yang mempelopori pembuatan Divine Technology untuk pertama kalinya.”

    “Sepertinya ingatanmu sudah banyak yang kembali ya?”

    “Haha…begitulah. Makin banyak Biblos Gnostikos terisi, akan makin banyak pula data-dataku yang kembali.”, suaranya terdengar bangga.



    Kalau kuperhatikan ada empat tiang lain yang serupa, masing-masing dua di kiri dan kanan tiang yang ini, letaknya agak berjauhan. Namun tidak memiliki bola di atasnya…

    “Sebentar. Maoriel, kalau boleh kutahu, keempat tiang itu buat apa?”

    “Seharusnya keempatnya diletakkan bola yang sama. Tetapi keempatnya diambil oleh Omoikane lima ratus tahun yang lalu, Da’ath-sama.”, jawab Archangel bermata kuning itu.

    Sekali lagi ada yang janggal. Kenapa dia tidak mengambil kelimanya sekaligus?

    Tunggu. Dengan kata lain, keempat Recovery Orbiter lainnya sudah berada dalam kendali kedua Nephilim itu!!

    “Ngomong-ngomong, apa yang terjadi kalau kelimanya berhasil didapatkan?”, tanya Raqia.

    “Kemampuan memulihkannya akan naik tujuh ratus persen. Bayangkan saja begini. Kamu berhasil menebas sayap seorang Nephilim, lalu sayap itu pulih dalam waktu kurang dari satu detik…”, jawab Plasma.

    Kelopak mata Raqia membuka makin lebar. “Itu sama saja mereka…nyaris tidak bisa mati…”, ujarnya perlahan.

    “Kalau begitu yang satu ini tidak boleh mereka dapatkan... Raqia, kita harus mengambil keempatnya kembali.”

    “Tentu saja. Itu juga yang kurencanakan. Ingin sekarang?”, tanyanya sambil mengedipkan sebelah mata.

    “Besok saja, aku masih lelah hari ini. Tidak apa-apa kan?”

    Sorot matanya berubah kecewa.

    “Huh…padahal kamu sendiri yang memberi saran. Ya sudahlah. Untuk hari ini, kamu boleh bersantai sepanjang sisa hari.”

    “Da’ath-sama, apa anda ingin saya memandu anda berkeliling keluar istana sebentar?”

    “Oh, tidak perlu repot-repot, Maoriel. Aku lebih suka melihat-lihat tempat baru sendirian saja. Lebih bebas rasanya.”



    Bukannya aku tidak mau, karena jelas kejadian ini harus ditangani secepat mungkin. Hanya saja…masih terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku mengenai kejadian aneh di kota ini. Ada baiknya seharian ini kumanfaatkan untuk memikirkan mengenai hubungan semuanya itu.

    Sambil berjalan-jalan di luar tentunya. Istana ini membuatku bingung saja sih…




    =======================================


    Spoiler untuk Trivia :

    Cukup 1



    Ada yang bisa tebak chapter depan bakal bahas apa?
    Last edited by LunarCrusade; 28-12-12 at 07:42. Reason: eh ada 1 trivia ding


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. #54
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Wah, trio matahari, bulan, bintang gak ikut yah.
    Padahal gua sempet ngebayangin mereka b3 ditumpukin di Glider rame2 ke Chalal

    3 hukum Newton! jadi stucknya gara2 mo kompres ini ke satu chapter, eh
    akhirnya pake ide ruangan Zero Gravity, and penjelasannya pake bahasa yang sama sekali beda dari buku pelajaran ato wikipedia.. hmm, boleh juga

  11. #55
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Wah, trio matahari, bulan, bintang gak ikut yah.
    Padahal gua sempet ngebayangin mereka b3 ditumpukin di Glider rame2 ke Chalal

    3 hukum Newton! jadi stucknya gara2 mo kompres ini ke satu chapter, eh
    akhirnya pake ide ruangan Zero Gravity, and penjelasannya pake bahasa yang sama sekali beda dari buku pelajaran ato wikipedia.. hmm, boleh juga
    Ngapain ditumplekin juga *kalo seandainya gw bikin bertiga ngikut*
    Kan 3-3nya bisa terbang

    Yoi, ini susah kampret compile chapternya
    dan sepanjang gw nulis cerita, ini adalah yg TERSUSAH untuk disusun (tp feeling gw bakalan ada yg lebih susah lagi ke depan )
    tapi dgn begini 2 Tehillim ke depan udah gak gitu rumit lagi ngebayanginnya

    Ya elah kalo di buku mah...misal hukum Newton pertama, jelasin pasti pake bola sama lintasan yang lentur tanpa gesekan dan infinite panjangnya
    basi
    sekali" pengen gw bully Raqia nya, tak jedukin ke langit" di ruangan dgn gravitasi nol


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  12. #56
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Gaya... Fisika SMP, lupa kelas berapa. 3 hukum Newton itu juga materi SMP semua.
    satu materi fisika yang paling gue bisa sekaligus paling gue ga bisa.

    Jujur, gue males abis baca bagian si Plasma ngejelasin itu. Untung penyampeannya bukan plek buku cetak sekolahan, ato pasti bakal gue skip.

    Eniwei, gue agak bingung sama Chalal. Kota yang besar, arsitektur nya dominan merah sama emas..? Terus si Maoriel pake nya yukata.
    setau gue, dari jaman baheula juga derah oriental itu kagak pake yukata... seudah pisah baru mendadak muncul.

    oke, biarkan aja.

    hngg, si Oppao-Loli-Pettan masih pada ngelawan penjajah, ye... Gue mau dipeluk lagi...
    *tampol

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  13. #57
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Gaya... Fisika SMP, lupa kelas berapa. 3 hukum Newton itu juga materi SMP semua.
    satu materi fisika yang paling gue bisa sekaligus paling gue ga bisa.

    Jujur, gue males abis baca bagian si Plasma ngejelasin itu. Untung penyampeannya bukan plek buku cetak sekolahan, ato pasti bakal gue skip.

    Eniwei, gue agak bingung sama Chalal. Kota yang besar, arsitektur nya dominan merah sama emas..? Terus si Maoriel pake nya yukata.
    setau gue, dari jaman baheula juga derah oriental itu kagak pake yukata... seudah pisah baru mendadak muncul.

    oke, biarkan aja.

    hngg, si Oppao-Loli-Pettan masih pada ngelawan penjajah, ye... Gue mau dipeluk lagi...
    *tampol
    namanya juga educational, sifatnya ya harus memberi pengetahuan yang mendidik lah
    gw malah lebih seneng kalo para pembacanya yang pas di sekolah gak ngerti, begitu baca cerita gw jadi ngerti
    itu target gw

    you're forgetting something, ini 2000 tahun setelah produk" Divine Tech pertama kali beraksi utk mendamaikan dunia.... (diblok deh kalo mau tau)
    kultur yg ada di masa kini ya jelas kebawa lah


    coba teliti lagi...yg merah-emas itu istananya doang, bangunan rakyat jelata mah genteng merah ato coklat...
    Last edited by LunarCrusade; 28-10-12 at 22:42.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #58
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    oh iya, ini tuh ceritanya di masa depan, ye...
    gue baru inget soal itu nya. kalo di masa depan sih, mau orang bule pake sari juga jadi2 aja.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  15. #59
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    gua ngebayangin chalal malah bernuansa jepang.

    yukata, trus omoikane(yang diambil dari nama dewi jepang) and berpotensi punya hubungan spesial sama maoriel

  16. #60
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Jangan lempari sayaaaa~

    Spoiler untuk Tehillim 14 :


    ===============================================
    Tehillim 14: Astronomical Feeling Part III || Gravity of Love
    ===============================================




    Matahari belum beranjak tinggi, udarapun masih terbilang hangat. Hanya ada awan tipis di langit. Benar-benar pas untuk jalan-jalan sejenak di luar istana.

    Mungkin karena hari yang masih pagi, sudut-sudut jalan nampak begitu ramai dengan orang-orang yang berjalan kesana kemari di atas jalan yang disusun dari batu-batu berbentuk kotak. Ada yang sedang menarik gerobak, membawa pikulan, hingga menawarkan barang-barang dagangannya. Singkat kata, kota ini terasa begitu hidup.

    Melewati sebuah persimpangan, mataku menangkap sosok yang tidak asing di sebuah bangunan kayu, sedang duduk pada sebuah bangku yang menghadap ke dalam. Sepertinya sebuah kedai makan. Kuharap aku tidak salah, karena di antara para penduduk yang rambutnya serba hitam, hanya dia satu-satunya yang berambut merah.

    “Hei, Sola!!”

    Perempuan itu menengok. “Oh, Tuan Da’ath rupanya!! Kemarilah!!”, dia tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangan. Lagi-lagi penampilannya aneh…pakaian macam apa lagi yang dikenakannya kali ini?



    Suatu wangi yang menggoda perut makin semerbak ketika kakiku makin mendekat. Aroma yang asing ditemui di Shamayim dan sekitarnya, tetapi terasa begitu lezat. Entah makanan macam apa yang disajikan di sini.

    Sola memanggil seorang pria setengah baya yang berdiri di seberang tempat kami duduk, lalu berkomat-kamit dalam bahasa yang tidak kumengerti. Sesaat kemudian, tersaji sepiring daging bebek yang kecoklatan, lengkap dengan semangkuk nasi dan kuah bening kekuningan, bertabur daun bawang. Kuah kaldu bebek kah?

    “Tumis bebek di tempat ini benar-benar enak. Anda tidak boleh melewatkannya jika datang ke Chalal. Tenang saja, kali ini biar saya yang bayar.”

    Mungkin karena terlalu serius memandangi pakaiannya, aku mengabaikan kata-katanya itu.

    “Halo…tuan Da’ath?”, tangan kanannya digerak-gerakkan di depan mataku.

    “A-Ah, maaf. Maaf.”

    “Ada sesuatu ya pada wajah saya?”

    “Tidak, hanya saja…”

    “Oh…saya mengerti. Di Shamayim pasti tidak ada yang berpenampilan seperti ini, benar begitu?”

    “Begitulah.”

    “Yang saya kenakan ini namanya cheongsam. Cukup umum dipakai oleh para perempuan di kota ini.”

    Nama yang aneh untuk style yang aneh. Sebuah pakaian tipe one-piece, tanpa lengan, menutupi bagian leher hingga lutut. Mungkin karena Sola menyukai warna merah, cheongsam yang dikenakannya juga berwarna merah, lengkap dengan jahitan berwarna kuning keemasan pada tepian-tepiannya. Anehnya lagi ---entah aneh atau malah bagus---, pakaiannya sangat body press, bahkan lekukan tubuhnya jadi lebih jelas terlihat dibanding saat pertama kali bertemu dengannya di Batavia. Belahan pada bagian roknya juga lebih tinggi dari setengah paha…wow.

    Wajahnya mendekat sambil menunjuk mataku dengan sebuah kipas yang tertutup. “Hei…mata anda kenapa kemana-mana begitu.”

    Bagaimana tidak?! Kalau begini mau makanpun akan sulit!! Maka kukatakan sejujur-jujurnya mengenai penampilannya sekarang. Sengaja kuberbisik dekat telinganya, karena ada beberapa hal yang tidak boleh diketahui anak di bawah umur. Wajahnya memerah sesaat begitu kuberitahukan apa yang tadi membuat mataku terus terpaku ke arahnya.



    “B-Begitu ya…”, dia menaruh ujung kipasnya di dekat dagu. “Tidak heran kalau banyak Angel-class pria langsung bersemangat ketika kupimpin saat latihan, jika mengenakan pakaian semacam ini…”

    “Hah? Kamu tidak sadar kalau penampilanmu ini benar-benar memprovokasi para pria?”

    “Hmm…”, matanya menoleh ke langit-langit. “Tidak. Saya hanya merasa nyaman, karena mudah untuk bergerak. Itu saja.”

    “Di antara sekian banyak Angel-class, apa tidak ada yang tertarik padamu dan mencoba mendekatimu?”, mulai kuambil sepotong bebek, lalu mendorong sesuap nasi ke dalam mulut dengan dua buah batang bambu kecil. Hebatnya, aku langsung lancar menggunakan alat makan aneh ini. Pastilah dulu aku pernah menggunakannya juga.

    Lagaknya seorang yang sedang berpikir keras, dahinya nampak mengkerut, ujung kipasnya diletakkan di depan dahi, bahkan mulai kulihat setetes keringat. “Sepertinya tidak ada.”

    “Mus. Ta. Hil. Atau mungkin…kamu tidak menyadarinya saja.”

    “Hmm…mungkin juga ya. Warisan Yang Mulia Maoriel, barangkali.”, dia tersenyum.

    “Hah…warisan?”, kulanjutkan dengan melahap beberapa potongan bebek.

    “Seperti yang anda katakan, dia cukup lambat menyadari jika ada orang yang menyukainya. Kemungkinan besar disebabkan karena prinsipnya yang tidak mau memberi perhatian khusus pada orang tertentu, melainkan harus sama rata pada semua orang. Ratusan tahun bersikap demikian, saya rasa perasaannya sudah jelas akan berubah tumpul.”



    Seakan disambar api dari surga, muncul sesuatu di pikiranku. Bukan, bukan hal yang aneh, hanya…

    “Biar kutebak. Omoikane pasti---”

    Sola menyambar, “Tebakan anda benar. Sebelum peristiwa lima ratus tahun yang lalu itu, jelas sekali bahwa nona Omoikane menaruh perasaan pada Yang Mulia, bahkan sayapun mengetahuinya.”

    Tanpa pikir panjang, mulutku menjawab, “Mungkin dia memberontak karena cemburu pada kalian bertiga.”

    “H-HAH?!”, warna pipinya berubah hampir sama dengan rambutnya.

    Teriakan Sola yang nyaring mengalihkan perhatian beberapa pengunjung kedai.

    “Heh…tidak usah teriak-teriak begitu.”

    “Tapi bagaimana mungkin?! Kami hanyalah---“

    “Yah, Maoriel sendiri pastilah menganggap kalian hanyalah bawahan-bawahannya, tidak lebih. Tapi bagi Omoikane, yang mungkin sejak awal Chalal berdiri menaruh perasaan padanya, kemunculan kalian bertiga pastilah membuatnya kesal.”

    “Apa anda punya bukti?”

    “Belum, setidaknya untuk saat ini. Aku dan Raqia berencana akan menemuinya besok, sekaligus membawa pulang Recovery Orbiter dari tangannya.”

    “Ah…keempat bola kuning yang dicurinya itu. Ternyata anda hebat juga dalam menganalisis masalah ini…hahaha…”, kipasnya dipukul-pukulkan ke pundakku.

    “Apalagi aku punya tambahan petunjuk tentang mereka berdua. Kemungkinan besar keduanya sudah saling mengenal sejak lama, lebih dari dua ribu tahun yang lalu.”

    Kuhabiskan sisa makananku dengan cepat selagi Sola kembali bertanya, “Maksud…anda?”

    “Ingat siapa aku? Dan kapan legenda menyebutkan tentang lenyapnya diriku?”

    “Anda jelas Crusader-Saint, dan menurut cerita, anda lenyap lebih dari dua ribu--- Tunggu. Jadi anda juga sudah mengenal keduanya sebelum masa para Archangel?!”

    “Pasti. Ingatanku memang belum kembali sepenuhnya, namun semalam aku sempat bermimpi tentang mereka berdua.”



    Kuceritakan mimpiku semalam padanya.

    “Hmm…jadi anda mengira kalau kedua orang di mimpi anda adalah Yang Mulia Maoriel dan nona Omoikane sendiri?”

    “Wajah lelaki yang kulihat memang sangat mirip dengan Maoriel, hanya berbeda warna rambut dan mata. Sisanya, tidak berbeda. Yang aku heran, keduanya sedang berada di dalam bangunan yang atapnya sudah rusak…entah bangunan apa itu, aku belum bisa mengingatnya.”

    “Ah…sekarang saya mengerti. Apa anda pernah mendengar tentang cerita nona Omoikane?”

    “Oh, cerita itu? Ya, Raqia sudah mengatakannya kemarin malam.”

    “Bisa jadi peristiwa pada mimpi anda adalah basis dari cerita tersebut. Meski ada keanehan…”

    “Di cerita itu, Omoikane tidak terselamatkan. Benar?”

    “Uh-huh.”

    “Apa kamu tahu fungsi bola-bola itu?”, dijawabnya dengan menggelengkan kepala. “Plasma memberitahu kalau fungsinya adalah untuk memperbaiki apapun, termasuk tubuh manusia. Aku sangat yakin kalau bola-bola itu digunakan untuk memulihkan kondisinya waktu itu. Artinya, Omoikane sendiri yang mengubah jalan ceritanya karena...tidak ingin melihat Maoriel terlalu tertekan dengan urusan mengenai penduduk Chalal, yang pada masa itu bisa jadi lebih berantakan dibanding saat ini.”

    “Luar biasa. Anda memang luar biasa, tuan Da’ath. Ternyata ini kemampuan berpikir seorang Crusader-Saint…”

    Kuseruput sedikit kuah kaldu itu. Hmm, enak juga ternyata. Tidak begitu berminyak dan rasanya sangat gurih. Tak lama, semuanya lenyap ke dalam perutku, kecuali tulang bebek. Bersih.

    “Kalau begitu…sebagai ungkapan terima kasih, saya akan menemani anda berkeliling sebentar. Bagaimana?”, diapun berdiri.

    “Boleh…boleh. Tujuanku keluar istana memang untuk melihat-lihat kota ini kok.”, aku ikut berdiri.



    Selesai dia membayar, dia langsung memeluk tangan kananku dan….

    “H-Hei…jangan terlalu ditekan begitu…”, lenganku merasakan sesuatu yang cukup empuk.

    “Ahaha…wajah anda merah tuh. Ayolah, kapan lagi saya bisa berkencan dengan Crusader-Saint sendiri?”

    “Huh…ya sudah. Sampai siang ini saja, oke?”


    *


    Menjelang siang, aku sudah kembali berada di istana. Sola sendiri mohon diri setelah membawaku ke beberapa tempat, karena ingin memeriksa pelabuhan.

    Dan...kembali, istana ini membuatku bingung. Ingatanku mengenai letak, posisi, dan lokasi tergolong baik, namun bangunan yang satu ini memiliki banyak sekali simpangan dan koridor-koridor yang identik, sehingga kali ini aku…

    …tersesat. Ew…



    Entah berada di sisi istana sebelah mana aku sekarang. Tiba-tiba saja…

    “WHAAAA!!!”

    Mendadak pintu di sebelah kiriku terbuka, sebuah pintu hitam dengan kusen berwarna emas. Ternyata Stella yang membukanya dari dalam. Kali ini dengan pakaian yang juga berbau tradisional, namun jauh lebih tertutup dibanding Sola.

    “Oh? Da’ath rupanya. Maaf kalau membuatmu kaget…”, dia tersenyum kecil. Suara lembutnya itu juga membuatku tenang seketika.

    “Fiuh…kukira siapa…”

    “Sedang apa di sini?”

    “Err…itu…anu…aku tersesat.”

    “Hmm…begitu ya. Aku sendiri baru mau keluar, tapi…”, kata-katanya terhenti sejenak. “Kamu masuk saja. Tunggu aku dalam beberapa menit. Oke?”

    “Ini kamarmu?”

    “Iya. Sudah, masuklah. Tidak perlu malu-malu.”, dia menarik tanganku. Kalau begini aku mana bisa menolak…?



    Sementara Stella beranjak keluar, aku mencoba mengamati kamar ini, yang sekitar 2 kali lebih luas dibanding yang kutempati sekarang. Aku memang tidak begitu suka kamar yang terlalu besar…tidak terbiasa.

    Ranjang, beberapa kursi, dan juga meja…sudah biasa. Dan seperti banyak hal di istana, ornamen-ornamen keemasan nampak menghiasi ruangan ini. Tetapi ada satu hal yang menarik penglihatanku. Pisau. Ya, pisau. Banyak sekali koleksi pisau yang ada di sini. Entah ditaruh di atas meja, atau digantungkan di tembok. Boleh kukatakan kamar ini seperti miniatur Artificial Dimensional Storage yang kulihat tadi pagi.

    Akupun melangkah menuju balkonnya, dan menatap ke arah pantai. Begitu kulihat ke bawah, aku menyadari kalau istana ini terdiri dari 3 lantai, dan kamar ini berada di lantai 3. Di balkon juga ada sebuah meja pendek berwarna hitam, kira-kira panjangnya 2 meter.

    Suara pintu kamar terdengar sedang dibuka. “Maaf lama menunggu.”, ujar Stella.

    Tebak siapa yang mengikuti di belakangnya? Beberapa Angel-class, perempuan. Mereka membawa baki dengan beberapa jenis makanan di atasnya, dan juga sebuah kompor kecil dengan bara api yang masih menyala. Semuanya itu ditaruh rapi di atas meja pendek di balkon, dengan kompor bara berada di tengah-tengah. Stella mempersilakanku duduk, sementara para Angel-class itu kembali ke luar.

    Berbagai macam lauk tersedia di hadapanku, seperti daging yang masih merah dan beberapa jenis sayuran. Satu lagi, nasi. Sepertinya orang-orang mulai dari Batavia hingga Chalal menjadikan nasi sebagai makanan pokok.



    Lagi-lagi mataku memperhatikan penampilannya dibanding makanan yang ada di depanku. Atasan putih berlengan panjang, dipadukan dengan rok panjang berwarna biru yang panjangnya dimulai dari sedikit di bawah dada hingga menutupi kaki.

    “K-Kamu…kenapa menatapku seperti itu lagi…”, tangannya dilipat di depan perut.

    “M-Maaf, maaf. Aku hanya merasa tidak biasa saja melihat penampilan sepertimu.”

    Duh, sepertinya aku harus mengurangi kebiasaan menatap orang lain dengan tajam ketika keheranan.

    “Ya sudah, tidak apa-apa. Yang kukenakan ini namanya hanbok, dan merupakan salah satu jenis pakaian favoritku. Ini juga sering dipakai oleh para perempuan dari salah satu suku di Chalal.”, ditutupnya dengan tersenyum.

    “Oh ya, kapan kalian tiba?”

    Sola tidak sempat kutanyai karena terus menggiringku ke beberapa tempat.

    “Sebelum matahari terbit. Batavia sudah dipastikan bersih, jadi kami bertiga memutuskan untuk kembali kemarin malam.”

    “Luna juga sudah ada di sini?”

    “Uh-huh. Seperti biasa, dia langsung tidur begitu tiba.”, dia tertawa kecil.

    “Oke, sekarang apa saja yang ada di hadapanku ini?”, kutengok ke arah hidangan yang berjajar di meja.

    “Mau mencoba yang mana dulu?”

    Mataku tertuju pada sebuah sayuran berkuah berwarna kemerahan. Kudapati potongan mirip kol, lobak, bawang bombay, dan daun bawang di dalamnya.

    “Yang itu? Baiklah…”, dia mengambil sebuah mangkuk kecil kosong, lalu menuangkan kuah beserta sayuran ke dalamnya.

    Diapun mengambil potongan kol dengan sumpit, lalu…



    “Buka mulutmu, aaaa~”, sambil menyodorkannya ke dekat mulutku.

    “E-Eh, tidak usah…aku bisa makan sendiri.”

    “Tidak mau. Pokoknya buka mulut. Aaaaa~”

    Dengan amat sangat terpaksa dan berat hati ---namun senang setengah mati---, kubuka mulutku dan mengunyah potongan kol tersebut. Agak pedas, namun terasa segar di mulut.

    “Itu sup dengan bahan utama dari kimchi, sayuran yang difermentasi. Enak?”

    “Hmm, ya. Enak, enak.”, kujawab cepat. “Rasanya yang segar dan pedas membangkitkan nafsu makanku.”

    “Mau kusuapi lagi?”

    “Err…kumohon, jangan lagi…”



    “Kalau Raqia yang menyuapi, kamu mau?”

    *JLEB* Kata-kata itu seakan menusuk jantungku.



    “Pipimu hampir sama merahnya dengan sup kimchi…”, disusul dengan tertawa kecil.

    Aku tidak mampu menjawabnya. Terlalu tepat sasaran.

    “Pernah mencoba bicara padanya tentang hal itu?”

    Sambil menatap ke arah langit, kujawab, “Aku tidak tahu apakah ini hanyalah rasa suka sesaat atau benar-benar tulus, jadi belum pernah kukatakan dengan jelas padanya.”

    “Kusarankan, cepatlah bicara. Apalagi dengan posisimu sekarang sebagai Crusader-Saint, dia pasti akan mempertimbangkannya. Yah…Raqia memang agak keras kepala sih, tapi sebenarnya dia baik kok. Jangan sampai seperti Yang Mulia Maoriel dan nona Omoikane…”

    Wajahnya agak tertunduk begitu menyebut kedua nama itu.

    “Ya, aku sudah punya bayangan mengenai apa yang terjadi di antara keduanya. Ditambah lagi tadi pagi Sola sudah cerita.”

    “Oh…kamu sudah tahu rupanya. Mungkin karena Yang Mulia adalah seorang Archangel, nona Omoikane tidak pernah berani untuk mengatakan apapun. Hanya terus berusaha bersamanya dan mendampinginya. Yang Mulia juga sifatnya seperti itu sih…kurang sensitif. Waktu terus berjalan, hubungan keduanyapun merenggang karena Yang Mulia makin memprioritaskan kota ini dibanding orang-orang terdekatnya. Perasaan nona Omoikane pasti sangat terluka sehingga tidak mau pulang…”

    “Huh…kalau begini, yang bisa membawanya kembali hanya Maoriel sendiri. Padahal besok aku dan Raqia berencana ke sana.”



    “Ingin ke kepulauan Yamato?”

    “Uh-huh, sekaligus mencegah Recovery Orbiter--- maksudku, bola-bola kuning di tempat penyimpanan senjata milik Maoriel itu jatuh ke tangan para Nephilim.”

    “Untuk hal itu kamu tidak usah khawatir. Yang dapat menggunakannya hanya Yang Mulia, nona Omoikane, Sola, Luna, dan aku sendiri. Coba kamu pikir. Dua puluh satu tahun berlalu, dan tidak ada satupun Nephilim bisa mengambilnya? Tidak masuk akal bukan?”

    Tunggu. Kata-katanya benar. Saat serangan di Batavia pun, Nephilim kecil itu tidak membawa satupun bola. Itu artinya Recovery Orbiter masih aman, masih berada di genggaman Omoikane sendiri. Tapi…Sola, Luna, dan juga Stella bisa menggunakannya? Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan perubahan bentuk fisik ketiganya?

    “Kamu tahu alasannya?”, dia bertanya lagi. “Itu karena…mmm…kuberitahu tidak ya…”, dia terdengar ragu.

    “Boleh kutebak? Maoriel pastilah membagi kekuatannya pada kalian berempat.”

    Wajahnya berubah terkejut. “Kamu…tahu ya? Ah, jelas kamu tahu. Kamu kan Crusader-Saint.”

    Tepat. Ternyata Maoriel membagi sendiri kekuatannya ---maksudku, kekuatan Archangel Core nya--- pada Omoikane, Sola, Luna, dan juga Stella. Itulah sebabnya kenapa Maoriel dan Omoikane tidak mau saling menyerang, dan ketiga jenderal bawahannya itu berubah bentuk menjadi serupa manusia.

    “Plasma sempat memberitahukan dugaannya mengenai kalian kepadaku sewaktu di Batavia. Ditambah kata-katamu tadi, aku jadi makin yakin kalau kekuatan Maoriel diberikannya pada kalian berempat. Kemungkinan bola-bola itu hanya bereaksi pada aliran kekuatannya saja.”

    “Mmm…ya, benar. Boleh kuberitahu satu rahasia lagi?”

    Stella menunjukkan punggung telapak tangan kirinya, dengan sebuah bola kecil berwarna kuning sebesar kelereng terpatri di situ. “Ini Celestial Core. Seharusnya aku hanya sebesar ini, begitu juga Sola dan Luna. Kami baru dilahirkan tujuh ratus tahun yang lalu setelah Maoriel memindahkan sebagian kekuatannya pada benda ini. Tujuannya hanya satu, membantu Yang Mulia mengurus Chalal yang makin besar.”

    “Sebentar. Bagaimana mekanisme pemindahan kekuatannya?”

    “Dia membaginya seperti membagikan potongan kue. Nona Omoikane menerima sepertiga, sementara masing-masing kami bertiga menerima sepersembilan bagian.”

    Itu artinya Maoriel hanya memiliki sepertiga sisa kekuatan Archangel Core. Dan tidak mengherankan kalau ketiga gadis itu tidak mengalami cedera parah saat menghadapi Nephilim. Tapi kalau begini caranya…Omoikane akan jadi lawan sulit untuk dihadapi. Apalagi Raqia hanya berbakat dalam masalah kekuatan, jarang berpikir panjang. Maunya asal sikat dan tebas saja.



    Sebelum aku sempat bicara, Stella menyambar, “Tapi kumohon, jangan menganggap kami sebagai benda atau alat. Yang Mulia sendiri memperlakukan kami bertiga layaknya seorang manusia…”

    Kugunakan trik yang sama seperti saat ‘menaklukkan’ Archangel mini yang liar itu. Yap, kutaruh tanganku di kepalanya, lalu mengusapnya perlahan.

    “Tenanglah. Aku tahu kalian tetap memiliki perasaan seperti layaknya manusia normal. Buktinya, kalian tetap berusaha membaur dengan budaya masyarakat yang ada di kota ini.”

    “Mmm…iya.”, reaksinya mirip dengan Raqia. “Terima kasih banyak ya. Aku jadi makin yakin kalau kamu adalah Crusader-Saint yang sebenarnya.”

    “Kalau begitu, lebih baik sekarang kita habiskan apa yang ada di meja.”

    “Mau kusuapi lagi?”, kelopak matanya berkedip sebelah.

    “Tolong jangan menggodaku lebih lanjut…”


    *


    Malam hari.

    Aku berbincang-bincang dengan Plasma mengenai apa yang diceritakan Stella tadi siang. Dan ternyata, cerita itu benar. Tadi sore Plasma sempat melakukan deep scan pada Archangel Core milik Maoriel, dan kekuatannya sudah menyusut jauh, mendekati 30% saja.

    Pada Raqia, kuberitahu mengenai Recovery Orbiter yang ternyata hanya dapat dikendalikan oleh siapapun yang memiliki kekuatan Archangel Core milik Maoriel. Meski demikian, dia tetap memaksa untuk pergi esok hari, sekaligus menunjukkan siapa diriku di depan para Elilim-class di sana. “Mungkin mereka akan takluk dan menyerah ketika mengetahui identitasmu.”, begitulah katanya. Yah…mau bagaimana lagi.

    Berarti besok akan ada misi yang cukup berbahaya. Kalau begitu, aku tidak boleh terlalu tertekan hari ini, harus lebih tenang. Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar di halaman.



    Daun-daun Sansevieria nampak berjajar di dekat pelataran istana, dan tanaman itu kurasa adalah yang jumlahnya terbanyak di istana ini. Entah di sebelah utara, selatan, timur, maupun barat, pastilah kutemui kehadiran daun-daunnya yang menyerupai mata pedang. Entah apa alasannya tanaman itu begitu banyak tumbuh di sini.

    Langit malam ini juga begitu bersih, tanpa kudapati satupun awan melintas di langit. Taburan bintang nampak semarak mewarnai kanvas hitam kelam di atas sana, ditemani senyuman sang Bulan. Hingga…pemandanganku teralihkan oleh sesuatu--- maksudku, seseorang.


    Dia, Luna.


    Kali ini dia mengenakan yukata biru cerah dengan beberapa motif bunga terlukis di situ, berikat pinggang merah. Kilauan rambut putihnya juga seakan membawa nafasku pergi sejenak. Jauh lebih indah dibanding temaram cahaya bulan sabit di atas sana.

    Duduk di tangga pelataran, tubuhnya disandarkan pada pilar di sebelah kanannya. Dari belakang, posturnya nampak lesu. Kelelahan kah?

    “Hei.”

    Dengan tatapan yang sayu, dia menengok dan menjawab, “Onii-chan rupanya…”

    Yes, aku resmi jadi seorang kakak laki-laki sekarang. Mwahahaha!!

    Akupun duduk di sebelah kirinya. “Kamu lesu sekali. Ada apa?”

    “Tidak…ini biasa saja. Masalahnya, aku baru bangun. Mendekati tengah malam biasanya aku sudah segar kok.”, jawabnya, dengan senyuman yang nampak berat. Jarinya juga memainkan sehelai daun Sensevieria yang dekat dengannya.

    “Oh ya, aku ingin tanya sesuatu. Tanaman itu…sepertinya kulihat di Batavia juga, dan banyak sekali ditanam di halaman istana. Maoriel suka tanaman itu?”

    Ekspresi Luna berubah makin muram. Meski begitu, dia tetap menjawab, “Mmm…bukan hanya Maoriel-sama, tapi juga Omoikane-chan…”

    Lengkap sudah. Aku makin yakin kalau pemberontakan ini dilatari masalah perasaan keduanya. Lucu juga kedengarannya kalau nama Elilim-class itu ditambahi akhiran –chan segala.

    “Aku sudah dengar mengenai keduanya. Ternyata mereka keras kepala juga.”

    “Maksud onii-chan…?”, mata birunya menatap lurus ke dalam mataku, menandakan kalau dia benar-benar ingin tahu.

    “Kamu pasti sudah tahu mengenai apa yang terjadi pada mereka kan?”

    “Iya, sudah tahu. Yang tahu alasan sebenarnya memang hanya Maoriel-sama, Omoikane-chan, dan kami bertiga. Apa mungkin…ini semua salah kami ya…”

    “Kurasa itu memang cukup berperan. Tapi…bukan hanya itu, benar?”

    “Mmm…iya. Onii-chan benar, mereka berdua itu susaaaah sekali didesak untuk bicara tentang perasaan masing-masing. Aku tidak tahu dengan Maoriel-sama, tapi Omoikane-chan jelas sekali menyimpan perasaan padanya. Tapi ya begitu…lama-lama Maoriel-sama jadi terasa makin jauh, bahkan dari kami bertiga. Memang bagus sih karena penduduk kota jadi lebih makmur, tapi…efek buruknya, seperempat Angel-class ikut hilang…”, diapun membenamkan wajahnya pada kedua lutut.



    Hmm, tadi sore Plasma juga sempat membahas sebentar tentang gravitasi. Coba kutanyakan pada Luna…

    “Kamu suka fisika dan matematika?”

    “Lumayan. Begini-begini sebenarnya aku yang paling cerdas diantara bertiga lho…hehehe…”

    Bagus. Senyuman lebarnya itu menandakan kalau suasana hatinya sudah berubah cerah. Meski kelihatan paling lemah, aku punya firasat sejak awal kalau kata-katanya itu benar. Dialah yang paling cerdas. Atau mungkin aku pernah mendengar sebuah cerita tentang orang-orang Bulan yang kelewat cerdas ya…?

    “Pernah dengar tentang gravitasi?”

    “Oh, oh, pernah. Suatu kali aku pernah menemukan sebuah buku yang isinya penjelasan-penjelasan dan banyak angka, membahas beberapa benda langit. Dari situ, aku tahu kalau gravitasi adalah sesuatu yang menahan mereka semua agar tetap pada tempatnya.”

    “Yap, itu benar. Plasma tadi memberitahu perumusan untuk menghitung gaya gravitasi antara dua benda.”

    Kuambil sebuah batu di halaman, segenggaman tangan. Kucoba-coba mencorat-coret sebentar di jalan batu yang menghubungkan pelataran dengan gerbang istana yang jauh di depan sana. Bagus, ini bisa kugunakan untuk menulis.

    Kutulis:

    F = G . (m1 . m2)/r2

    Kujelaskan satu per satu arti dari variabel-variabel itu kepadanya. F adalah gaya gravitasi yang bekerja di antara keduanya, m1 adalah massa benda pertama, m2 adalah massa benda kedua, dan r adalah jarak keduanya. G sendiri adalah konstanta gravitasi, nilainya sekitar 6,674 x 10-11 m3/(kg s2), atau 6,674 x10-11 N (m/kg)2.

    “Ah iya!! Aku ingat ini!!”, raut wajahnya langsung segar melihat formula itu.

    “Misalkan ada dua buah benda terpisah sejauh satu juta meter, yang satu punya massa sepuluh ribu kilogram, yang kedua lima ribu kilogram. Bisa kamu hitung berapa gaya gravitasi yang bekerja di antara keduanya?”

    Tanpa basa-basi dia mengambil batu itu dari genggamanku, lalu mencorat-coret di jalanan.

    F = G . (m1 . m2)/r2
    F = 6,674 x 〖10〗-11 . (10000 . 5000)/〖1000000〗2
    F = 6,674 x 〖10〗-11 . (5 x〖10〗7)/〖10〗12
    F = 6,674 x 〖10〗-11 . 5 x 〖10〗7.〖10〗-12
    F = 33,37 x 〖10〗-16
    F = 3,337 x 〖10〗-15 N

    “Wow…kamu sudah bisa menghitung dengan bilangan baku seperti ini?”, aku setengah tidak percaya. “Raqia saja hampir stress ketika Plasma menjelaskan mengenai hal ini, sewaktu kami ada di atas samudera yang memisahkan benua tempat Chalal dan Pardes berada. Yah…waktu itu sekaligus diajari tentang satuan juga sih.”

    “Kan sudah kubilang, aku ini yang paling pintar di antara bertiga.”, dia tersenyum bangga.

    “Nah, kalau begitu, apa yang bisa kamu simpulkan dari hal ini?”

    “Mmm…seandainya massa salah satu atau keduanya kutambah, gayanya pasti juga akan menjadi lebih besar.”

    “Itu satu. Ada lagi?”

    “Jarak…gravitasi sangat bergantung pada pertambahan jarak. Kalau dibagi begini, artinya gaya dan jarak berbanding terbalik. Jarak bertambah, gaya gravitasinya pun akan mengecil. Apalagi ada kuadratnya begini…penambahan sedikit jarak saja sudah dikuadratkan, yang artinya akan membagi lebih besar lagi.”

    “Kalau boleh kupersingkat kata-katamu, gaya gravitasi berbanding lurus dengan massa benda, namun berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.”

    “Ah iya, benar. Onii-chan pintar juga ya ternyata?”

    “Namanya juga Crusader-Saint, mana ada Crusader-Saint yang bodoh.”, ujarku bangga.



    “Ahaha…onii-chan ini bisa saja. Tapi ngomong-ngomong, tujuanmu menjelaskan hal ini…untuk apa? Bukannya tadi kita sedang membahas Maoriel-sama dan Omoikane-chan?”

    “Bagaimana seandainya m1 dan m2 kuganti dengan ego mereka berdua, dan F adalah perasaan yang terbentuk di antara keduanya?”

    “He? Kenapa…begitu?”

    “Kamu tahu apa itu massa?”

    “Mmm…pokoknya itu adalah sesuatu yang berada pada suatu benda.”

    “Sekarang, pernah dengar hukum Newton tentang gerak?”

    “Oh, iya aku ingat. Itu sih ada di bab-bab awal buku yang kukatakan tadi.”

    “Ingat hukum kedua?”

    “Benda yang massanya lebih besar akan lebih sulit untuk dipindahkan--- hei, sepertinya aku mulai mengerti maksudmu, onii-chan~”

    “Percaya atau tidak, sebuah perasaan selalu berasal dari egomu. Sedih, senang, kecewa, gembira, semuanya bergantung pada kemampuanmu sendiri untuk mengendalikannya. Artinya, bergantung pada kekuatan egomu untuk mengendalikannya, apakah membuat emosi itu menjadi lebih besar atau kecil. Itulah ‘massa’mu. Kamu dapat menarik perhatian seseorang ataupun membuat orang lain benci kepadamu, semua bergantung pada egomu, bergantung pada ‘massa’mu.”

    “Tapi, jika perasaan mereka berdua dimisalkan seperti dua benda yang berinteraksi dengan gaya gravitasi…bukankah ‘massa’ yang bertambah akan menambah ‘gaya gravitasinya’?”

    “Ingat, masih ada hukum Newton kedua. Makin besar massa, makin sulit digerakkan. Makin besar egomu, makin sulit pula dirimu untuk tergerak, tergerak untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan.”

    “Lalu…bagaimana caranya agar keduanya mau…”

    “Salah satunya harus mengalah, harus menekan egonya, harus mengecilkan ‘massa’nya. Hanya itu satu-satunya cara agar benda yang bermassa lebih kecil dapat jatuh dengan mudah kepada yang massanya lebih besar.”

    “Begitu…ya. Tapi aku sering dengar, yang namanya egois itu tidak baik.”

    “Cinta harus sedikit egois, Luna. Kalau tidak, bagaimana dia bisa mendapatkan orang yang dicintainya? Nah, ketika salah satunya sudah cukup kuat tertarik oleh ‘gaya gravitasi’, barulah keduanya harus menekan ego masing-masing, menekan ‘massa’nya agar mudah digerakkan. Bukankah sebuah benda selalu bergerak dengan kecepatan konstan jika gaya eksternal yang bekerja padanya sama dengan nol? Perbesar ‘massa’mu sewaktu awal mengejar seseorang, agar ‘gaya gravitasi’nya cukup untuk menarik orang yang kamu sukai. Jika dirasa besar ‘gaya’nya sudah pas, perkecil lagi ‘massa’mu, biarkan dia bergerak dengan kecepatan konstan ke dalam pelukanmu. Akan buruk akibatnya jika ‘massa’mu terus diperbesar, karena yang ada nanti hanyalah tidak bergemingnya dirimu dan juga dirinya. Apalagi yang satu tergolong tidak sensitif dan lebih senang mengurusi penduduk kota ini…dengan egonya yang adalah kepuasan penduduk kota, sehingga susah sekali diperkecil sedikiiiit saja.”

    Dia langsung bertepuk tangan. “Onii-chan, sugoi!!~ Ini benar-benar menakjubkan!! Baru kali ini aku melihat ada seseorang yang bisa menghubungkan pengetahuan dengan sesuatu yang romantis!!”

    “Jelaaass…aku kan Crusader-Saint…”, aku tertawa bangga.

    “Iya, iya.”, dia menepuk-nepuk bahuku. “Jadi, tidak apa-apa kan kalau kupanggil dirimu dengan sebutan onii-chan? Aku benar-benar bangga kalau punya kakak laki-laki sepertimu. ”

    “Tentu saja boleh!! Tidak rugi juga punya adik perempuan yang pintar.”

    Dia memelukku, namun berbeda dengan pelukan mengantuk-setengah-mabuk saat di Batavia. Akupun balas membelai rambut putihnya yang berkilau itu dengan lembut selama beberapa saat. Untung saja aku bertemu dengannya malam ini. Baiklah, dengan begini aku bisa lebih rileks menghadapi esok hari.



    Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti kenapa mulutku bisa bicara seperti tadi. Namun aku yakin itu berasal dari ingatanku yang dahulu.

    Itu dia…aku ingat alasannya kenapa dengan lancar bisa kuhubungkan kedua hal itu, cinta dan gravitasi.

    Alasannya, karena dulu aku suka sekali kalimat ini.

    “Love without knowledge is chaos, knowledge without love is destruction.”




    ================================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Cheongsam itu bentuknya... (tapi yg di cerita tanpa ada lengannya, dan...hihihihi )
      Spoiler untuk gambar :

    • Hanbok itu bentuknya...
      Spoiler untuk gambar :

    • Sup kimchi yang dimaksud di sini adalah Kimchi jjigae, berkuah, merah, dan...ada kimchinya tentu sajah ~
      Spoiler untuk gambar :

    • Reference to Touhou Project:
      Bagus. Senyuman lebarnya itu menandakan kalau suasana hatinya sudah berubah cerah. Meski kelihatan paling lemah, aku punya firasat sejak awal kalau kata-katanya itu benar. Dialah yang paling cerdas. Atau mungkin aku pernah mendengar sebuah cerita tentang orang-orang Bulan yang kelewat cerdas ya…?
      Di game tersebut, para penduduk Bulan punya teknologi yang jauh melebihi manusia Bumi.

    Last edited by LunarCrusade; 31-10-12 at 16:59.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 4 of 14 FirstFirst 12345678 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •