==================================================
Tehillim 15: Astronomical Feeling Part IV || Momentum Breaker
==================================================
Akhirnya, pagi hari.
Hanya aku dan Raqia yang akan berangkat, sementara Maoriel akan tetap di sini untuk mengawasi Chalal jikalau ada serangan balik.
Selagi melangkah keluar istana, Plasma menjelaskan lebih jauh mengenai Recovery Orbiter, khususnya mengenai sifat uniknya yang sangat sulit dihentikan sebelum mencapai target. Tetap bergerak hingga tujuan. Dulu, benda itu sering digunakan dalam kondisi darurat, sehingga sering dikirim ke tempat-tempat yang sedang diserbu dan terdesak. Dengan sifat uniknya itu, pasukan Crusader-Saint ---iya, itu aku, tapi aku masih tidak ingat--- seringkali dapat mengubah kedudukan hanya berbekal Recovery Orbiter.
Tambahan, Plasma mengaku masih ada data yang hilang mengenai Recovery Orbiter. Untuk mengetahuinya, dibutuhkan energi Archangel Core milik Maoriel yang masih 100%, dan itu sudah mustahil dilakukan untuk saat ini. Padahal, apa yang hilang itu adalah salah satu esensi penting dari mekanisme Recovery Orbiter. Artinya, aku juga harus sekaligus mencari tahu apakah properti yang hilang dari bola-bola tersebut jika ingin mengambilnya kembali.
“Hmm…jadi itu kepulauan Yamato? Cukup tenang juga.”
Bayangan pulau utama kepulauan Yamato sudah nampak di tapal horizon. Cukup jelas terlihat, karena hari ini tidak ada awan tebal yang menutupi langit. Sejauh ini juga aman-aman saja, tidak ada serangan dari Elilim-class ataupun Nephilim, bahkan sesekali aku hanya terbang sambil merasakan hembusan angin.
“Tidak. Mereka sudah mengamati kita sejak tadi. Tetaplah siaga, Da’ath.”
“Jika ada ratusan Elilim-class yang mencegat, apa kamu sanggup?”
“Ha!! Dua ratus ribu Elilim-class di Olympia saja dapat kulumat dengan sekali hantam, apalagi kalau hanya ratusan?”, ujarnya bangga.
“Tapi…yang ada di sini mungkin ada jutaan, hanya saja tidak muncul semuanya. Ingatkah kamu kalau yang memberontak kira-kira seperempat dari total Angel-class? Asumsikan lima ratus tahun yang lalu ada empat puluh lima juta penduduk, dengan setengahnya merupakan Angel-class. Artinya ada dua puluh dua juta lima ratus Angel-class waktu itu. Seperempatnya, berarti ada lima juta enam ratus dua puluh lima ribu Elilim-class di sini.”
“Kamu ini…sempat-sempatnya saja menghitung…”
“Jangan cemberut begitu.”, kuelus-elus kepalanya. “Lagipula sekarang bukan hanya kamu sendiri, tapi ada aku juga.”
“I-Iya…iya…”, ekspresinya berubah malu. Benar-benar efektif. Dia bisa berubah jadi makhluk manja yang imut-imut begitu kubelai titik kelemahannya itu.
Suasana tenang itu tidak berlangsung lama. Makhluk-makhluk bersayap menyambut kami dengan penuh ‘kehangatan’, lengkap dengan senjata di tangan. Anehnya, sayap mereka berwarna kuning, tidak putih seperti Angel-class ataupun Eleutherian-class. Cukup banyak yang ada di hadapanku. Puluhan ribu, mungkin?
“Heran melihat sayap mereka?”, tanya Raqia sambil mengangkat pedangnya.
“Uh-huh. Sayap mereka dicat?”
“Itulah ciri khas Elilim-class. Sayap mereka selalu berwarna, sesuai dengan warna bekas kristal yang ditempatkan di punggung tangan kanan mereka. Dan perlu kamu tahu, tidak ada Elilim-class bersayap biru dan hijau.”, nada bicaranya menekankan pada warna ‘biru’.
Hijau, Pardes. Biru? Jangan-jangan…wow. Tidak ada Elilim-class yang berasal dari Shamayim?
“Selamat datang, Raqia-sama.”
Sebuah suara, suara perempuan, terdengar dari arah depan-atas.
“Omoi…kane…”
Jadi itu orangnya? Seorang wanita, berambut perak yang dibentuk menjadi sebuah kepangan besar. Dengan mata berwarna abu-abu tua, tatapannya nampak suram. Yang dikenakannya berupa baju terusan berkerah, berlengan panjang, berwarna putih berhiaskan strip biru tua di tepi kerah, kaki, dan pergelangan tangan. Kancing-kancing emas bersusun secara vertikal pada bagian tengah pakaiannya itu. Di pinggangnya, kulihat sebuah ikat pinggang besar berwarna merah tua, dengan sebilah pedang agak melengkung beserta sarungnya. Identitasnya sebagai Elilim-class terlihat jelas dari sepasang sayapnya yang berwarna kuning.
Dan juga…empat buah Recovery Orbiter di sekitarnya. Keempatnya melayang pada jarak tertentu ---mungkin 3 jengkal---, mengelilingi tubuhnya yang mungkin setinggi Sola.
“Waktunya pulang, anak nakal.”, Raqia mengarahkan ujung pedangnya ke arah Omoikane.
“Tidak. Akan. Kalian!! Serang mereka!!”
Barisan-barisan terdepan Elilim-class mulai melesat, menggenggam berbagai macam senjata.
“Kalau bukan melawan Akatharton, apa kamu bisa mengeluarkan kemampuan maksimalmu?
“Tentu saja!!”, diikuti dengan dirinya ---sendirian--- terbang cepat ke arah para Elilim-class itu. “HIAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!”
Banyak di antara mereka yang langsung jatuh ketika Raqia melakukan gerakan menebas kemudian mengatakan Spatial Breaker. Astaga…
Karena tidak ingin melewatkan pesta ini, aku ikut menerjang ke arah makhluk-makhluk bersayap kuning tersebut. Yang kulakukan pertama kali adalah mengayunkan Hypermasive Defenser, yang kuperbesar sekitar 3 kali lipat, dalam lintasan setengah lingkaran, memukul ratusan Elilim-class sekaligus. BAM!! Ada yang terhempas ke tanah, ada juga yang terpukul mundur beberapa jauh di udara.
“Kalian ingin bermain-main sebentar dengan Crusader-Saint rupanya.”
Mendengar ucapanku, banyak di antara mereka yang berubah pucat. Benar apa kata Raqia kemarin, semangat mereka langsung runtuh hanya dengan mendengar gelarku.
“Warp Drive, manual mode. System on.”
Satu detik, satu Elilim-class. Karena pergerakanku yang amat cepat, tidak ada satupun musuh yang mampu membalas. Tebas sini, tebas sana. Jatuh. Asyik juga rupanya. Dan kalau kupikir-pikir, ternyata Warp Drive berguna sekali untuk menghabisi banyak musuh dalam waktu cepat tanpa harus khawatir melukai kawan sendiri.
“Hebat juga kamu.”, puji Raqia sambil memunggungiku.
“Melawan Tenebria waktu itu menjadi latihan yang bagus untukku. Mereka jauh lebih lemah.”
“Sudah kubilang, yang begini sih…payah. Kita lanjutkan sampai habis, oke?”
Ups, ada serangan hujan panah dari bawah. Seketika kuperbesar Hypermassive Defenser sebesar mungkin untuk melindungiku dan Raqia. Dalam ukuran yang masih sangat besar ---50 kali ukuran normal---, kujatuhkan perisaiku ke tanah, menghasilkan suara yang luar biasa keras. Jelas, siapapun itu yang menembaki dari bawah, sudah pasti tertimpa Hypermassive Defenser. Knock out.
Raqia sendiri tak kalah sibuknya. Tak henti-hentinya dia bermanuver di udara, bergerak seakan menari dengan indah. Menukik, berbelok, menerjang, membuat banyak musuh jatuh terhempas ke permukaan, seringkali disertai dengan debu-debu pasir dan tanah yang ikut terhempas. Terlalu kuat, terlalu tidak seimbang. Mungkin karena sebelumnya aku melihatnya menghadapi lawan yang sepadan, pemandangan yang sekarang ini nampak begitu menakjubkan. Luar biasa. Kereeeeennn!!
Beberapa jauh di depan, muncul lagi sepasukan Elilim-class, bisa jadi ribuan.
“Mereka belum menyerah juga rupanya.”, komentarku saat melihat mereka.
Raqia menimpali, “Kita habisi sekaligus. Kali ini, sekali serang, harus lenyap semuanya. Bagaimana?”
“Aku setengah, kamu setengah.”
“Oke…!! Chereb HaMemad!!”, Raqia melempar pedangnya ke atas, membuka portal, lalu mengeluarkan pedang raksasanya itu.
“Defenser, maximize!!”, diikuti olehku yang kembali memperbesar perisai sekitar 50 kali lipat lebih besar.
Kuangkat tinggi-tinggi tangan kiriku, bersamaan dengan Raqia yang mengangkat tangan kanannya. Hypermassive Defenser dan Chereb HaMemad kini terangkat cukup tinggi, bahkan menghalangi cahaya matahari.
Semua Elilim-class itupun menatap kedua senjata kami dengan takjub, dan…
“HAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!”, kami berdua berseru bersamaan.
Kami menurunkan tangan, sedikit melakukan gerakan mengayun. Nyaris seluruhnya terhempas. Terdengar bunyi yang begitu keras begitu kedua senjata raksasa kami menghantam tanah. Sisanya? Kocar-kacir. Kukecilkan ukuran perisai, diikuti pedang raksasa itu yang menghilang dan kembali ke genggaman Raqia.
“Yah…habis.”, wajah Raqia nampak kecewa saat melihat kaburnya mereka. “Omoikane, ada lagi tidak?!”
“Bagaimana jika diriku sendiri, Raqia-sama? Dan juga kamu…”
“Da’ath Ruachim. Dia ini Crusader-Saint lho…”, jawab Raqia sambil menepuk-nepuk pundakku dan tersenyum menunjukkan barisan gigi-giginya.
“Masih bisa tersenyum rupanya…”
“Taktik psikologis, Da’ath. Tselemiel pernah memberitahuku kalau tersenyum pada musuh bisa membuatnya kesal dan akhirnya berubah gegabah.”, bisiknya.
Omoikane tersenyum, sebuah senyum penuh kebanggaan. “Suatu kehormatan bisa menghadapi sang Crusader-Saint sendiri. Raqia-sama, Da’ath-sama, bersiaplah.”
Pedang lengkungnya dikeluarkan dari sarung.
“Tentai no Katana. Celestial Light.”
Pedang itupun menyala terang dengan cahaya putih. Sekali mengepakkan sayap kuningnya, dia melesat ke arah kami berdua. Ingin segera kuaktifkan Warp Drive saat dia sudah dekat ---agar bisa kuserang dari belakang---, tapi…
Sial, dia mengubah arah!!
Dia menukik ke atas, dengan matahari sebagai latarnya. Akupun tidak bisa menghadap ke arahnya kalau begini.
*TRANG*
Pedangnya beradu dengan milik Raqia. Baru saja ingin kuserang Elilim-class itu, satu Recovery Orbiter melesat ke arahku dan menghantam bagian perut. Begitu cepat sehingga aku terdorong cukup jauh, kemudian bola itu berhenti. Untunglah Sacred Armor dapat diandalkan, sehingga rasa sakitnya tidak seberapa. Recovery Orbiter pun kembali dengan cepat ke dekat Omoikane setelah menghajarku.
“Da’ath!!”, seru Raqia, menengok ke arahku.
“Raqia-sama!! Konsentrasilah dengan apa yang ada di hadapanmu!! HEAAAAAAHHH!!!”
Omoikane mengayunkan pedangnya, nyaris saja mengenai wajah Raqia. Untunglah Archangel mini itu berhasil mundur sedikit.
“Hei, apa perutmu tidak apa-apa?”, tanya Plasma.
“Tidak, tidak apa-apa. Ini tidak seberapa. Hantaman Tenebria masih lebih menyakitkan.”
“Well, baguslah kalau begitu. Maaf jika tidak bisa banyak membantu kali ini. Kamu harus memikirkan sendiri bagaimana cara menghentikan bola gila itu.”
Ini kesempatanku. Mereka berdua cukup sibuk saling menghajar satu sama lain.
Kuaktifkan Warp Drive, berpindah posisi secara tiba-tiba ke samping kiri Omoikane. Sayang sekali, ayunan Energy Blade dapat ditangkis dengan pedang miliknya. Seketika itu juga Raqia menerjang ke arah Omoikane, dan…
…bernasib sama denganku, terkena hantaman satu buah Recovery Orbiter. Lebih buruk lagi, kali ini dia terdorong hingga menghantam permukaan, lengkap dengan debu-debu tanah melayang ke udara.
“Aku ke sini hanya untuk meminta bola-bolamu ini.”
“Maaf, Da’ath-sama. Saya tidak bisa.”, jawabnya dingin.
Berhubung tangan kananku sedang menahan gerakannya, kuayunkan tangan kiriku ---beserta Hypermassive Defenser--- ke arahnya. Tapi gerakan cepat darinya berhasil mengantisipasinya, menahan Hypermassive Defenser dengan pedang. Dan tidak tanggung-tanggung, dua Recovery Orbiter sekaligus melesat menghantam pundak kanan dan kaki kiriku, menyeretku di udara selama beberapa saat, makin menjauhi dirinya.
Ini…gila. Meski dia menerima hanya sepertiga energi Archangel Core, tetapi pengamatan dan kecepatan pengambilan keputusannya harus kuakui, luar biasa. Semua serangan dapat diantisipasinya dengan sempurna. Kemampuan berpedang yang hebat, ditambah jangkauan serangan yang lebih besar dengan adanya Recovery Orbiter, membuatnya menjadi hampir sama menakutkannya dengan salah satu dari dua Nephilim itu.
“Da’ath-sama, hentikan semua ini. Mintalah apapun kecuali keempat bola ini dan kepulanganku.”
“JANGAN BANYAK OMOOOONNNGGG!!!!”, teriak Raqia, melesat dari bawah.
Kembali sebuah Recovery Orbiter menyerang Raqia, tetapi kali ini Raqia melesat tepat di depannya. Pedangnya diayunkan, lalu berbenturan dengan Recovery Orbiter hingga menghasilkan hentakan udara dan percikan api. Hingga pada saat tertentu, bolanya…
…berhenti. Keseimbangan bola itu juga nampak sedikit terganggu setelahnya, meski akhirnya kembali ke dekat Omoikane juga.
Tunggu. Cara berhenti bola itu kali ini tidak sama dengan ketika pertama kali menghajarku, ada yang aneh. Sebelumnya, Recovery Orbiter berhenti dengan mantap setelah menghajarku. Sepertinya aku harus bereksperimen dengan bola-bola itu sekali lagi…
“Kalian berdua…saya mohon…”, Omoikane mulai terlihat sedih.
“Omoikane!! Jangan keras kepala!! Kenapa? Apa kamu takut terhadap para Nephilim itu?!”
“Bukan begitu, Da’ath-sama!! Saya merasa…Maoriel tidak akan…”
“Aku tahu sebenarnya kamu ingin pulang. Tenanglah, Maoriel pasti menerimamu kembali.”
“Tolonglah…tinggalkan saya sendiri!!”
Dua Recovery Orbiter kembali melesat ke arahku dan Raqia, namun yang melesat ke arahku disusul oleh Omoikane sendiri, siap mengayunkan pedangnya. Posisi Omoikane dan Recovery Orbiter berada sedemikian rupa, sehingga ukuran Hypermassive Defenser secara normal kurang luas untuk menahan keduanya sekaligus. Refleks, kubesarkan ukuran perisaiku hingga 2 kalinya.
Aku tahu kalau Omoikane akan menghindar, sehingga sebelah tanganku yang menggenggam Energy Blade tetaplah siaga. Anehnya…
Tidak ada yang membentur perisaiku sama sekali?! Kukira Recovery Orbiter akan menabraknya!! Sial…
Sosok Elilim-class itu tiba-tiba saja sudah berada di sebelah kiri, dengan sebuah bola kuning melesat dari arah kanan. Seketika kunormalkan ukuran perisai, menahan pedang Omoikane. Sayangnya…Recovery Orbiter di sebelah kanan tak mampu kutahan dengan Energy Blade. Dorongannya terlalu kuat, bahkan membuat pergelangan tangan kananku terasa nyeri. Tak dapat kuhindari, bola kuning itupun menghantam bahu kananku. Untung saja ---masih untung---, dorongannya menghempaskanku jauh dari jangkauan Omoikane.
Hei…sepertinya aku mulai mengerti.
Massa. Ya, massa!! Dia tidak mau menabrakkan diri pada benda yang massanya jauh di atasnya!! Tapi apa iya hanya itu?
Tunggu. Apa ini? Muncul sesuatu di kepalaku…
p = m.v
Massa dikalikan kecepatan? Apa artinya…?
“Hei, Plasma. Apa kamu tahu sesuatu tentang massa dikalikan kecepatan?”
“Hasil perkaliannya dinamakan momentum. Tunggu…itu dia!! Itu dia, Da’ath!! Itu cara menghentikan Recovery Orbiter!!”
“Dengan mengetahui momentumnya?”
“Lebih tepatnya, memukulnya tepat sesuai nilai momentumnya pada waktu tertentu, dan berlawanan arah!! Satu lagi, yang melakukannya haruslah benda yang massanya maksimal tiga puluh kali lipat massa bola itu yang sekitar sepuluh kilogram. Jika ada sesuatu di depan bola yang massanya melebihi batas tersebut, Recovery Orbiter akan langsung melakukan manuver menghindar!!”
Bagus. Ini menjelaskan alasan kenapa dia menghindari Hypermassive Defenser yang kuperbesar dua kali lipat, namun tidak menghindari Raqia yang massanya hanya 30 kilogram.
Nampak masih menahan sakit, kali ini Raqia bicara, “Bagaimana bisa kamu terus keras kepala, hah?! Bukankah dulu kamu adalah orang kepercayaannya?”
“Raqia-sama!! Jangan terus memaksa saya…!! Sekali lagi saya mohon pada kalian berdua, kembalilah ke Chalal…biarkan saya tetap berada di sini…”
“Dan membiarkanmu terus dimanfaatkan Nephilim? Tidak akan!! Akan kupaksa supaya kamu menurut, bahkan sampai esok hari sekalipun!!”
Raqia kembali menyerang Omoikane, namun gerakannya sudah terlalu dikuasai emosi. Omoikane, yang jauh lebih tenang, lebih menguasai keadaan. Bahkan Spatial Breaker yang memiliki efek serangan berupa areal tertentu juga berhasil terbaca. Sekarang aku mengerti kenapa dia begitu sukses membantu Maoriel di masa lalu, membesarkan Chalal bersama-sama hingga 500 tahun yang lalu. Sang Celestial King mengedepankan pendekatan perasaan, sementara Omoikane menyeimbangkannya dengan kemampuan berpikir. Kombinasi sifat keduanya benar-benar cocok.
Plasma berujar, “Da’ath, aku akan mengontrol penuh seluruh gerakanmu kali ini. Kamu hanya perlu memposisikan Hypermassive Defenser di depanmu. Sisanya, serahkan padaku.”
“Baiklah, aku percaya padamu. Bukankah kita ini teman baik di masa lalu? Perlahan-lahan aku mulai ingat kalau kamu memang selalu ada sebagai asistenku.”
“Hahaha…akhirnya, ingat juga. Ini dia, bola gila itu datang lagi!!”
Omoikane memerintahkan sebuah Recovery Orbiter melesat ke arahku. Kuposisikan perisaiku di depan, dan…
Tubuhku bergerak sendiri ke arah bola, tepat lurus berhadap-hadapan.
“Bersiap untuk tabrakaaaaannnn!!!!”, seru Plasma.
Berbarengan dengan teriakan Plasma, Recovery Orbiter menghantam perisai dan…
...berhenti, berhenti dalam sekejap tanpa diikuti gerakan sekecil apapun setelahnya.
Karena sempat terdengar bunyi benturan antara Recovery Orbiter dan Hypermassive Defenser, perhatian Raqia dan Omoikane sempat teralih ke arahku.
“Bolanya…berhenti…”, Raqia seakan tidak percaya.
Omoikane berkata agak kaku, “I-Ini…tidak mungkin. Bagaimana bisa…”
Keduanya, yang saling menahan serangan dengan pedang masing-masing, bergerak saling menjauh begitu melihatku yang bisa menghentikan bola itu.
“Da’ath, bagaimana bisa?!”, ekspresinya berubah ceria ketika sudah berada di dekatku.
“Plasma yang melakukannya, bukan diriku.”
“Hahaha…hanya perkalian biasa kok. Massa kali kecepatan, ingat? Kecepatan maksimum sebuah Recovery Orbiter adalah enam ratus kilometer per jam, sekitar seratus enam puluh tujuh meter per detik. Massanya sepuluh kilogram. Tinggal kamu kalikan.”
Yap, hanya perlu mengalikan.
p = mbola . vbola
p = 10 . 167
p = 1670 kg m/detik
Kujawab, “Seribu enam ratus tujuh puluh, benar?”
“Itulah nilai momentumnya. Jika nilai momentumnya tetap, namun massanya kuganti dua ratus kilogram, maka kecepatannya?”
Jadi massa perisaiku sekitar 200 kilogram dalam keadaan normal?! Tidak heran siapapun akan terhempas jika dihantam perisai itu, meski dalam ukuran biasa. Berarti:
p = mperisai . vperisai
1670 = 200 . vperisai
vperisai = 8,35 m/detik
“Sekitar delapan koma tiga lima meter per sekon. Kurang lebih tiga puluh kilometer per jam…”
“Betul. Cara menghentikan seketika bola itu adalah menabraknya dengan sesuatu yang memiliki massa tidak lebih dari tiga puluh kali dirinya, dan nilai momentum tepat sama namun berlawanan arah. Meski nilai sebenarnya tidak sama persis seperti itu, berbeda beberapa angka di belakang desimal karena pembulatan. Dan itulah yang tadi dilakukan. Kurang atau lebih sedikit saja, dia akan jauh lebih sulit untuk dihentikan, kecuali sudah seharusnya berhenti menurut keinginan penggunanya. ”
“Kalian ini…terlalu luar biasa.”, dia tersenyum. “Tolong ajari aku nanti. Oke?”
Omoikane hanya terpaku, tidak lagi menyerang dengan Recovery Orbiter yang sudah kuketahui kelemahannya.
“Tapi…kenapa tadi kamu memukulnya dengan pedang? Bukankah kamu bisa mengaktifkan Magen?”, tanyaku.
“He?”, Raqia tertegun sebentar. “Benar juga ya? Kalau begitu tanganku tidak perlu pegal seperti sekarang ini…”
Terlalu ceroboh. Karena gemas, kujitak kepalanya. “Kemampuan sendiri saja kamu tidak ingat…”
Memegangi kepala dengan wajah memelas, Raqia menjawab, “M-Maaf…mungkin aku terlalu bersemangat. Tapi jangan keras-keras dong memukulnya…”
Aku tidak tahu apa yang merasuki pikirannya, namun sekarang Omoikane tersenyum, seakan lega. Bibirnya sempat membuka dan menutup beberapa saat tanpa terdengar suara. Kalau kubaca gerak bibirnya, sepertinya dia mengatakan, “Seandainya saja hubunganku dengan Maoriel seperti kalian berdua…”
“Bagaimana? Siap menyerahkan bola-bola itu? Atau mau pulang juga?”, ledek Raqia.
Bola yang berhasil kuhentikan itu sekarang kembali ke sekitar Omoikane.
“Giliran kalian.”, kali ini ucapannya begitu dingin. Aku sudah tahu siapa yang akan muncul selanjutnya.
“Raqia, bersiaplah.”, kuperingatkan dirinya.
Benar saja. Dua lingkaran hitam dengan guratan huruf-huruf aneh terbentuk di kiri dan kanan Omoikane, dan dari situ muncullah dua...
…Nephilim.
Share This Thread