Page 14 of 14 FirstFirst ... 41011121314
Results 196 to 200 of 200
http://idgs.in/569960
  1. #196
    Bedeviere's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Osean Federation
    Posts
    2,317
    Points
    11,328.81
    Thanks: 118 / 45 / 34

    Default

    akhirnya gw mulai lanjut baca lagi nih cerita dari tehilim 26, yang terhenti sejak pengembaraan gw #padahalkagakemanakemana

    dan ternyata otak gw mulai baret setelah baca beribu-ribu kata sampai tehilim 31 (wah anjir ternyata baru 5 chapter )
    sambil istirahat otak sejenak gw komen dulu

    Spoiler untuk komen :

    pertama ttg Merkava Barzel. pertama liat deskripsinya ada cerobong asap, gw langsung beranggapan bentuknya kyk titanic. dan ternyata Barzel sebenernya itu berbentuk pesawat terbang ya?

    terus liat nih trivia
    OS09-MDGR merupakan sebuah singkatan.
    OS = Odin's Spear. Dalam Norse mythology, Gungnir merupakan tombak milik Odin.
    09 = angka 9 dianggap sakral dalam Norse myth, contohnya pada konsep Sembilan Dunia di mitologi tersebut.
    MDGR = Midgard. Wait, why not Asgard? Ehem...ini clue sebenernya.
    ternyata anggapan gw bener, midgard bisa dianggep sebagai human world, jadi seharusnya berbentuk modern, jadi itu misil


    segitu dulu deh komennya, ntar lanjut baca lagi

    btw semenjak taun 2014 udah ga ada lagi yg komen, pada sibuk kuliah ya?

  2. Hot Ad
  3. #197
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by - [bedeviere] - View Post
    akhirnya gw mulai lanjut baca lagi nih cerita dari tehilim 26, yang terhenti sejak pengembaraan gw #padahalkagakemanakemana

    dan ternyata otak gw mulai baret setelah baca beribu-ribu kata sampai tehilim 31 (wah anjir ternyata baru 5 chapter )
    sambil istirahat otak sejenak gw komen dulu

    Spoiler untuk komen :

    pertama ttg Merkava Barzel. pertama liat deskripsinya ada cerobong asap, gw langsung beranggapan bentuknya kyk titanic. dan ternyata Barzel sebenernya itu berbentuk pesawat terbang ya?

    terus liat nih trivia


    ternyata anggapan gw bener, midgard bisa dianggep sebagai human world, jadi seharusnya berbentuk modern, jadi itu misil


    segitu dulu deh komennya, ntar lanjut baca lagi

    btw semenjak taun 2014 udah ga ada lagi yg komen, pada sibuk kuliah ya?
    semangat pak bacanya

    Spoiler untuk bledar :


    bentuknya Merkava Barzel itu kayak kapal biasa, plus sayap, plus cerobong di belakang (Tehillim 28)

    Sebuah kapal, bentuk dasarnya mirip kapal laut biasa. Bahannya? Dari logam. Punya 4 cerobong di buritan, mengarah ke belakang. Ada sepasang kincir besar di bagian atas buritan. Pada kedua sisinya terdapat sepasang…sayap?

    nah analisis trivianya bener tuh

    setting tempat di cerita ini memang based on real world, cuma secara timeline udah 2000++ tahun ke depan


    yg laen uda almarhum kali

    #plak


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  4. #198
    Bedeviere's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Osean Federation
    Posts
    2,317
    Points
    11,328.81
    Thanks: 118 / 45 / 34

    Default

    fiuh akhirnya kemaren sampe juga tehilim 52

    Spoiler untuk ehem :

    ternyata si Da'ath dengan segala keilahiannya, masih bisa juga (hampir) terjerat wanita lain pas insiden ngambil palu

    para protagonis mulai dapet bagian jadi narator, 51 Raqia, 52 Plasma
    gw tebak, pasti ntar 53 Biblos yg dapet bagian

    terus liat tehilim 50-51 pas Da'ath dapet username Saint, sementara Raqia dapet Crusader, dan juga teori dari Plasma tentang orang ketiga yang jelas2 mengarah ke Raqia, jadi ada 2 kemungkinan

    pertama, Da'ath dan Raqia saling tertarik karena ternyata mereka dulunya one-being

    kedua, Da'ath dan Raqia emang sudah berpasangan (menikah mungkin?) sebelum kejadian distorsi memori

    atau malah ada kemungkinan ketiga? hanya Tuhan dan cc lunar yang tau

    oiya btw boleh juga penggambaran Tuhan yang penuh wibawa dan kental sifat-Nya yang Maha Mengetahui, jadinya agak beda ama AAR yang penggambaran-Nya Funky God ala Morgan Freeman kalo gw bayangin
    Last edited by Bedeviere; 21-04-14 at 22:18. Reason: tambahin -Nya, fatal juga ya -,-

  5. #199
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Maap lama, kejebak kapal"an moe Kantai Collection

    Quote Originally Posted by Bedeviere View Post
    fiuh akhirnya kemaren sampe juga tehilim 52

    Spoiler untuk ehem :

    ternyata si Da'ath dengan segala keilahiannya, masih bisa juga (hampir) terjerat wanita lain pas insiden ngambil palu

    para protagonis mulai dapet bagian jadi narator, 51 Raqia, 52 Plasma
    gw tebak, pasti ntar 53 Biblos yg dapet bagian

    terus liat tehilim 50-51 pas Da'ath dapet username Saint, sementara Raqia dapet Crusader, dan juga teori dari Plasma tentang orang ketiga yang jelas2 mengarah ke Raqia, jadi ada 2 kemungkinan

    pertama, Da'ath dan Raqia saling tertarik karena ternyata mereka dulunya one-being

    kedua, Da'ath dan Raqia emang sudah berpasangan (menikah mungkin?) sebelum kejadian distorsi memori

    atau malah ada kemungkinan ketiga? hanya Tuhan dan cc lunar yang tau

    oiya btw boleh juga penggambaran Tuhan yang penuh wibawa dan kental sifat-Nya yang Maha Mengetahui, jadinya agak beda ama AAR yang penggambaran-Nya Funky God ala Morgan Freeman kalo gw bayangin
    Tebakannya agak benar


    =========================================


    Spoiler untuk Tehillim 53 :


    =======================================
    Tehillim 53: Theoria Part II ~ Eye of Immanence
    =======================================




    Kaki-kaki besi itu maju beberapa langkah. Letupan cahaya muncul di punggungnya, mengawali terciptanya sepasang sayap foton semi-padat berbentuk mirip plat-plat perak. Diapun terbang, menghilang menuju langit berbintang.

    Entah berapa lama mataku masih memandang ke atas, berharap masih bisa menangkap sosok kakak. Selama beberapa jam ke depan, aku tidak bisa bersamanya…

    U~uhhh… membayangkannya membuatku sedikit lesu…

    Tidak, Sandalphon. Tidak boleh. Aku harus kembali bekerja. Tidak mungkin kuserahkan terlalu banyak hal nantinya pada Erato. Bisa-bisa dirinya ambruk karena bekerja terlalu keras.

    Baru saja aku memasuki area taman tengah istana, aku meihat sosok seseorang. Mataku dipuaskan oleh helaian-helaian keemasan yang mengalir dari ujung kepalanya, melengkapi potongan gaun panjang kehijauan. Sosok itu duduk pada salah satu bangku taman, cukup jauh dari liang masuk ke Mobile Fortress.

    Deshiel. Maksudku, Yang Mulia Deshiel--- ah sudahlah, Debora saja. Toh itu nama aslinya.

    Sedang apa ya dia…? Termenung memandang langit begitu?

    Baiklah, daripada dia bengong-bengong saja, lebih baik kuajak ke pesawat sekali lagi. Sewaktu berada di dalam untuk pertama kali, dia terus terlihat gusar. Sorot matanya waktu itu lebih mirip orang panik dibanding kagum layaknya Raqia atau Nana.

    Selagi aku terbang menghampiri, dia menyadari kehadiranku. Kepalanya menoleh ke sini.

    “Oh, Sandalphon rupanya,” ujarnya lembut.

    “Halo~” Kukembangkan senyum. “Sedang apa di sini? Seingatku, kalau sudah malam begini biasanya Archangel akan berdoa, membaca Kitab Suci, atau mengurus dokumen-dokumen kota. Sesekali juga berkeliling kota dan mengunjungi penduduk.”

    Menghela nafas sambil memandang langit, kemudian dia menjawab, “Aku… tidak mengerti. Rasanya ada yang aneh sejak aku berada di Shamayim.”

    Kuambil tempat duduk di sisi kanannya. “Aneh bagaimana?”

    “Ya… rasanya aneh di dalam sini.” Dia menyentuh dada. “Gelisah.”

    “Mungkin karena Mobile Fortress?”

    “Sepertinya…” Bibirnya membeku sesaat. “…begitu.”

    Tidak salah lagi, pasti ada sesuatu dari masa lalu yang menghantuinya.

    “Mau coba masuk lagi?”

    “Eh?” Dia menoleh cepat. Mata hijau daunnya bertemu dengan mataku.

    “Iya, masuk lagi. Kalau aku mencoba berpikir seperti kakak, aku bisa mengambil kesimpulan kalau ada sesuatu yang masih tersembunyi dalam dirimu. Harus dibongkar. Dan bisa jadi jawabannya ada di dalam burung besi itu. Mungkin itu alasan Raphael memintamu untuk tetap di sini hingga ada tanda jelas kapan kamu bisa pulang.”

    “Mmm…” Pandangannya berpaling sesaat. “Begitukah?”

    Kujawab sambil tersenyum, “Karena itu kita harus masuk. Tapi kalau kamu tidak siap, tidak apa-apa deh. Terlalu memaksa juga tidak baik. Besok atau lusa juga masih ada waktu.”

    Aku melompat turun dari bangku. Tetapi baru saja ingin kukepakkan sayap, lengan bajuku digenggamnya. Erat.

    ***


    Berkeliling sesaat, kamipun memasuki ruang-ruang yang dulunya menjadi tempat tinggal para awak. Letaknya berlawanan dengan posisi 5 ruang mesin, berjarak 2 lantai di atasnya. Sepanjang koridornya berdiri pintu-pintu otomatis keperakan, identik bentuknya satu sama lain.

    Sepanjang jalan itu pula Deshiel--- maksudku, Debora, tidak terlihat santai. Matanya terus menyapu sudut demi sudut koridor, mengamati setiap pintu yang ada. Bibirnya pucat. Juga tak ada senyum di situ. Tegang, begitu grogi.

    Sampai akhirnya dia merasa kakinya lemas. Sayapnya memang tidak digunakan karena sempitnya lebar koridor.

    “Kamu… tidak apa-apa?”

    Sebuah gelengan kepala yang ditopang tangan kanan menjadi jawabannya.

    “Mmm… maaf ya kalau memaksa. Mau kembali ke atas saja?”

    “J-Jangan, Sandalphon. Jangan,” mengambil nafas beberapa kali, dia melanjutkan, “Kita teruskan. Belum ada bagian Mobile Fortress yang membuatku tegang sampai seperti ini. Mungkin di sini…”

    Kaki kami terus menyusuri lantai logam hingga sampai di hadapan sebuah papan bertuliskan “Crew Room - Block C”.

    “I-Ini… di sini…” gumamnya.

    “Di sini?”

    Anggukan pelan menjadi jawaban.

    Kukembangkan senyum. “Pegang erat tanganku yah.”

    Kembali berjalan. Tepat setelah melewati 4 pasang pintu di kiri dan kanan, genggamannya menguat--- tidak. Lebih tepatnya dia mencengkram tanganku sekeras-kerasnya. Mungkin manusia biasa akan menjerit histeris jika merasakannya.

    Pasti di sini.

    “Yang kiri atau kanan?” tanyaku.

    “K-Kiri…”

    Kulemparkan deret huruf-angka-simbol ke panel di sebelah kanan pintu. Pintupun terbuka.

    Dan tentu saja, dalamnya kosong. Selain rangka ranjang di seberang pintu, tidak ada lagi benda di ruangan ini. Papan yang mencuat dari tembok ---berfungsi sebagai meja--- pun tak dihiasi apapun di atasnya.

    Hmm… tapi mungkin…

    Di tembok sebelah kanan, aku mendapati beberapa pintu kecil, berderet vertikal. Lebarnya tak sampai tiga jengkalku yang kecil-kecil ini. Kusentuh permukaannya. Dingin.

    Seingatku, semua itu berfungsi layaknya sebuah laci. Kugeser semua pintu kecil itu mulai dari paling atas---

    Dan kutemukan sesuatu ketika menggeser pintu yang keempat.

    Sebuah buku.

    Cukup tebal, namun tidak sampai seperti buku Fisika tebal yang kutemui di Avodah. Sampulnya berwarna biru tua. Polos. Keras. Lebarnya kira-kira sejengkalku, panjangnya tidak sampai dua jengkalku.

    “Itu…” Deshiel berkata pelan.

    “Kamu tahu ini?”

    Disentuhnya dahi. Berkerut.

    Dia menggeleng. “Tidak ingat.”

    “Tapi pernah lihat, kan?”

    “Sepertinya… ya,” jawabnya ragu.

    “Baiklah, kita buka saja---“

    Jemariku berhenti. Baru saja aku ingin menyingkap sampul kerasnya, sesuatu menghampiri kepalaku. Perasaan apa ini…

    Tidak. Harus terus.

    Halaman pertama terbuka. Kuperhatikan sisi sampul bagian dalam---

    “Hmm…?”

    Tidak ada nama pemilik. Kuraba bagian dalam sampul---


    *DEG*


    Ada yang hilang di sini. Kemampuanku tidak hanya membuatku sanggup untuk mengakses seluruh materi-energi di alam semesta, namun juga mendeteksi kejanggalan ruang-waktu. Dan di sini, tepat di pojok kiri atas, aku merasa ada yang hilang. Seperti secuil bagian kosong dari sebuah puzzle yang nyaris terisi semuanya.

    Aku harus memberitahu kakak nanti.

    Tapi untuk saat ini, aku harus melanjutkan. Pantang mundur! Lagipula ini hanya buku tulis, tidak akan meledak dan membara. Jadi, lanjut pun tidak apa-apa.

    Kuajak Debora duduk di rangka ranjang. Setelah kutaruh buku di pangkuan, mataku mulai menyusuri deret demi deret kalimat yang tertulis di dalamnya.

    ***


    -10 September 2082-

    Dear Diary,

    Ini pertama kalinya aku mengisi dirimu lho! (^_^) Namaku _____, dan kuharap kita bisa jadi teman baik untuk hari-hari ke depan.

    Sebenarnya aku bukan tipe gadis yang suka menulis diary (apalagi sekarang sudah bukan jamannya lagi menulis begini, ditambah lagi kertas sudah cukup langka), tapi entah kenapa kali ini aku merasa terdorong untuk menulisimu. Kenapa? Karena ada kejadian hebat hari ini! Bayangkan saja, aku kedatangan 4 orang hebat! Kudengar yang 2 orang sudah hidup lebih dari 70 tahun, tapi tetap nampak seperti berumur 20-an. Tapi yang lebih hebat adalah, yang 2 lagi sebenarnya… MALAIKAT!!!! (o__o)


    ***


    Goresan tinta hitam membentuk deret tanggal, bulan, dan tahun tersebut. Tiap lengkungnya terasa mulus. Khusus untuk kata “malaikat” ukuran hurufnya lebih besar, plus garis yang lebih tebal.

    Tunggu tunggu tunggu. Aku dan kakakkah yang dimaksud…? Tapi siapa lagi malaikat yang pernah turun ke Bumi di era modern…? Dan yang amat sangat aneh buatku adalah, kenapa kata setelah ‘Namaku’ kosong begitu saja?

    Penasaran, kusentuh kolom kosong itu. Benar saja. Aku merasakan hal yang sama seperti yang di sampul depan tadi.

    Aku menoleh ke arah Debora. “Kamu ingat kejadian yang ini?”

    “Hmm…” Dia mendengung sesaat. “Tidak. Sama sekali tidak. Dan kali ini aku tidak merasakan sesuatu yang aneh di kepalaku.”

    Kata-katanya mengalir tanpa hambatan, tanpa keraguan. Berarti si penulis belum bertemu dengan Debora hingga tanggal 10 September 2082. Jariku pun bergerak menyapu ke halaman berikutnya.

    ***


    -21 November 2082-

    Dear Diary,

    Sepertinya aku mulai tertarik bidang pemrograman. Melihat Sandalpon mengobrak-abrik data rahasia negara-negara di seluruh dunia, kelihatannya seru sekali. Akupun mengungkapkan niatku untuk belajar. Dan… coba tebak? Dia akan mengajariku mulai dari hal yang paling dasar. Dan tentunya… gratis! \(^o^)/


    ***


    Mengajari… pemrograman? Aku?

    ……!!!!

    Siluet seseorang muncul dalam kepalaku. Dia… Dia…!!

    Kubuka halaman-halaman berikutnya dengan cepat. Tiap halaman kupindai secepat cahaya. Semua kejadian yang tidak penting kulewatkan begitu saja. Namun ada satu halaman menarik perhatianku.

    ***


    -30 April 2084-

    Dear Diary,

    Maaf ya meninggalkanmu terlalu lama. Bukan apa-apa, masalahnya aku akan…

    Pergi ke Bulan!!! YAAAAAAY!!! (^_^)

    Aku harus beres-beres segala sesuatunya. Tidak boleh ada yang tertinggal! Semoga akan seru nantinya di sana! =D


    ***


    Jangan-jangan ini…

    ***


    -18 Juli 2084-

    Dear Diary,

    Setelah perjuangan yang berdarah-darah (duh, berlebihan sekali! Tapi tidak salah juga sih), hari ini pemimpin Bulan yang baru sudah diangkat. Tentu saja yang diangkat adalah temanku, Kana. Dan aku menyaksikannya dari dekat! Menjadi saksi sejarah! Dia tampak begitu cantik dengan setelan blazer dan rok putih, benar-benar ratu sejati. Semoga saja dia tidak terus-terusan depresi karena pembunuhan itu dan bisa jadi pemimpin yang baik.

    Uhhh… kalau kuingat lagi kejadian dua bulan lalu itu… rasanya ngeri. Aku benar-benar tidak mau Papa dibunuh seperti itu… (T__T)


    ***


    Ternyata benar kesaksian Kanaphiel--- maksudku, Kana, waktu itu. Crusader-Saint benar-benar ke Bulan bersama beberapa orang, termasuk penulis buku harian ini. Mungkin Uriel--- maksudku, Uriah, juga ikut. Jariku terus menyapu cepat beberapa halaman, hingga…

    ***


    -3 Februari 2085-

    Dear Diary,

    Hanya ada satu kata untukmu hari ini, Diary.

    MENGERIKAN.


    ***


    Lagi, suatu gambar terbentuk di dalam benakku, tepat ketika membaca kata “MENGERIKAN” berwarna merah tebal itu. Kekacauan. Chaos. Tidak salah lagi, tanggal ini adalah tanggal penembakan Golden Arrow ke permukaan Bumi.

    “Sandalphon,” panggil Debora, menyentuh bahuku, “Ada sesuatu yang mengganggumu?” Ujung-ujung matanya tampak sayu.

    Ah, ternyata kedua tanganku menggantung lemas di sisiku.

    “Aku…”

    Kukembangkan senyumku, senyuman pahit.

    “Tidak apa-apa kok~ Hanya teringat sesuatu saja.”

    Secepat mungkin kualihkan pandanganku dari dua hijau daun di hadapanku agar emosiku tidak terbaca lebih jauh. Kembali ke buku harian.

    ***


    -27 Februari 2085-

    Dear Diary,

    Berhasil, Diary. Berhasil!

    Aku dan Sandalphon sukses membobol sistem keamanan arsip rahasia negara yang ingin menjatuhkan Kana! Kami berhasil membersihkan namanya!

    Dugaan paman Theodoric waktu itu terbukti benar. Ada yang aneh dengan penembakan Golden Arrow sekitar 3 minggu yang lalu itu. Korbannya terlalu sedikit (1 juta orang sebenarnya banyak sih…) untuk target kota berpenduduk 12 juta jiwa menurut sensus 2 tahun lalu, padahal 3 kali tembakan dilakukan hanya dalam waktu kurang dari 10 menit. Seperti… ada mata-mata dalam Golden Arrow, sehingga mereka sempat bergerak jauh-jauh hari untuk mengurangi korban.

    Beginilah hipotesis paman Theodoric.

    Selama beberapa waktu (dia menduga minimal 2 bulan, maksimal 6 bulan), mata-mata itu terus berkomunikasi dengan negara musuh, sangat mungkin juga memberitahu keberadaan Golden Arrow. Para petinggi negara musuh itupun bersepakat untuk mengurangi kepadatan populasi penduduk sebagai ancang-ancang jika serangan mendadak terjadi, agar jumlah korban yang jatuh dapat ditekan. Hal itu haruslah dilakukan dengan hati-hati. Cukup cepat untuk membuat kepadatan penduduk menjadi jauh lebih merata di seluruh negri, namun cukup lambat untuk disadari pihak Bulan.

    Tapi aku tidak menyangka, ternyata paman Theodoric pintar juga. Kukira hanya Metatron dan ______ saja yang pintar setengah jenius. Hehehe… Mudah-mudahan juga mata-mata itu berhasil ditangkap.


    ***


    Aku tidak penasaran dengan Theodoric yang, seingatku, punya nama belakang Freigraf ini, karena aku tahu namanya yang sekarang: Tselemiel Adamah. Yang sukses mengekang perhatianku adalah kolom kosong ini. Jariku mendeteksi kejanggalan yang serupa dengan yang sejak tadi kutemui, tetapi rasanya berbeda.

    ***


    -11 Maret 2085-

    Dear Diary,

    Perang benar-benar pecah. Aliansi negara-negara Bumi menuduh Bulan telah menghancurkan perdamaian di Bumi, dan mereka memutuskan untuk meluncurkan beberapa peluru kendali nuklir ke Bulan.

    Semua panik. Segalanya kacau. Diary, kuharap aku masih bisa menulismu untuk waktu-waktu ke depan…


    ***


    Tunggu. Setelah ini, kalau tidak salah… aku…

    ***


    -12 Maret 2085-

    Dear Diary,

    Hebat. Hebat sekali! Sandalphon berhasil menahan seluruh peluru kendali itu sehingga meledak dalam jarak lebih dari 18.000 kilometer dari Bulan!
    Shield of Immanence yang dimilikinya memang luar biasa!

    Sepertinya sudah dulu untuk hari ini, Diary. Aku harus membantu evakuasi seluruh penduduk Bulan. Sampai nanti ya!


    ***


    “Perang… ya…” gumam Debora, menatap langit-langit. “Sepertinya aku ingat yang ini.”

    “Kamu sudah bergabung?” tanyaku cepat.

    Dia menggeleng. “Belum. Aku masih di Bumi---“

    Bibirnya membeku. Dua detik kemudian, dia memintaku untuk terus membaca buku harian. Sepertinya memori penting mulai mengalir ke otaknya.

    ***


    -10 November 2085-

    Dear Diary,

    Maaf ya tidak mengisimu kemarin. Masalahnya aku disuruh membantu di ruang komando. Sampai tidak tidur pula… uh…

    Kemarin, Papa, ______, Metatron, dan paman Uriah sedang turun untuk melakukan operasi khusus. Mengamankan seseorang, katanya.

    Nah, siang tadi aku, Nana, dan Sandalphon mencoba mengunjungi orang itu di salah satu ruang awak. Namanya Debora, lengkapnya Debora Esverdear. Kudengar dia adalah seorang ilmuwan yang bergerak di bidang genetika, neurologi, juga botani. Salah satu jurnal ilmiahnya memancing banyak negara dan menawarinya dana besar untuk mewujudkan buah pikirannya itu. Dia menolak semua tawaran tersebut.

    Entah bagaimana detail cerita selanjutnya, yang jelas Papa bilang kalau dia harus diamankan di pesawat ini, di Shamayim. Tapi kurasa itu ada hubungannya dengan tatapan matanya yang selalu kosong itu…


    ***


    Tepat ketika kata terakhir masuk dalam penglihatanku, telingaku menangkap isak tangis. Lirih. Aku menoleh. Ternyata, butir-butir air mata jatuh dari pelupuk mata wanita anggun di sebelahku.

    Kugenggam lembut tangannya. Tak sampai 3 detik, dia memelukku erat. Transmisi kesedihannya begitu nyata, getar tubuhnya merambat sempurna ke setiap jengkal tubuhku. Gelombang otaknya juga mulai tidak stabil. Aku merasakan retakan dalam hatinya. Membesar. Terus, dan terus.

    Aku bersyukur di saat seperti ini kekuatanku menjadi sangat berguna. Ya, aku bisa merasakan isi hati orang lain hanya dengan menyentuhnya. Itu adalah akibat tidak langsung dari kemampuanku, simbol kemahahadiran Tuhan.

    Baiklah, sepertinya aku harus berhenti membaca buku harian ini. Dan atas permintaannya, kumasukkan code khusus pada Archangel Core miliknya. Code yang sama seperti yang pernah kumasukkan pada Archangel Core Raqia ketika perjalanan pulang dari Asgard.

    Ya, code untuk membawanya ke alam lelap.

    ***


    “EH?!”

    Suara Erato menggema ke seluruh ruang mesin nomor 4. Terkejut.

    “Jadi dulu… Yang Mulia Deshiel itu sudah punya seorang putri? Dan putrinya itu disembelih di depan matanya sendiri?!”

    “Mmm… begitulah,” jawabku lesu, “Agar dia mau memberikan hasil penelitiannya, orang-orang dari negara musuh menyerbu rumahnya dan… terjadi hal itu.”

    “Lalu bagaimana denganmu? Dan Crusader-Saint?” tanyanya cepat.

    “Aku tidak ikut waktu itu, sementara Da’ath…”

    Dua detik keheningan diwarnai kertak gigiku.

    “…terlambat. Seandainya lebih cepat satu menit saja… mungkin putrinya akan tertolong.”

    Erato terpaku, fokus padaku. Hanya sesaat, lalu tak lagi melihat. Menunduk.

    “Maaf,” ujarnya pelan.

    “Tidak apa-apa kok~ Tidak ada salahnya kamu tahu. Lagipula kejadian itu sudah lamaaaa… sekali. Kurasa dengan sedikit tidur dia bisa lebih tenang. Sekarang, lebih baik kita lanjut bekerja. Tinggal ruang mesin ini dan nomor lima saja~” jawabku riang.

    Sedikit senyuman dariku berhasil membuatnya kembali bekerja. Kami lanjut memeriksa beberapa bagian, dan…



    Huh? Ada suara ribut-ribut di luar…

    Pintu ruang mesin terbuka. Siapa--- Oh, Da’ath dan Raqia rupanya. Keduanya berjalan cepat ke arahku.

    “Eh? Ada apa? Kenapa kalian---“

    Belum sempat aku selesai bicara, Da’ath segera menyambar, “Bagaimana caranya Raqia bisa mematikan ruang data?! Bukankah tadi katamu hanya aku yang punya akses?!”

    “Maksudnya…?”

    “Dia menaruh tangan, mengintip ke bulatan merah, memilih Yes, lalu semuanya mati. Mati!”

    “Jadi kamu mencurigaiku?!” sahut Raqia.

    “Bukan begitu! Aku hanya bingung bagaimana caranya kamu, yang bahkan tidak bisa kuingat apakah pernah ada di masa lalu, punya akses ke benda yang hanya bisa kuakses?!”

    “Ya mana aku tahu?! Bukankah kita sama-sama tidak ingat tentang isi kapal ini?!”

    “Tapi setidaknya pemiliknya jelas diriku!”

    “Oh, jadi begitu? Kamu lebih mengkhawatirkan benda besi ini dibanding diriku?! Kamu berubah hanya karena rongsokan yang belum tentu bisa terbang ini!”

    “KALIAN BERDUA STOOOOPPP!!!!”

    *BLAMMM*

    Suara itu seketika mengalihkan perhatian kami. Ternyata Electromagnetic Exciter yang dihantam ke lantai. Tapi tidak kusangka-sangka, gelegar murka Erato keras juga.

    Berjalan cepat kemari, Erato lanjut mengomel, “Kali ini aku tidak peduli status kalian sebagai Archangel dan Crusader-Saint. Yang jelas kalian sudah menggangguku bekerja!!!!”

    Ajaib, Da’ath dan Raqia senyap seketika. Aku juga sih…

    Menunjuk keduanya bergantian, dia terus memaki, “Jika kalian punya masalah, selesaikan dengan cara baik-baik! Belum menikah saja sudah berteriak-teriak di koridor seperti tadi, apalagi kalau sudah? Seisi rumah kalian bisa terkena sakit kepala kuadrat!! Mungkin lebih!!”

    Da’ath berusaha menjawab, “Tapi tadi Biblos mengatakan---“

    “Sekarang pikirkan ini, wahai Crusader-Saint yang agung!” ledeknya, “Aku tidak begitu paham soal Divine Technology dan semacamnya, namun aku mengerti satu hal. Benda ini tidak lagi memiliki Divine Energy dan sangat mungkin mengalami kerusakan, entah besar atau kecil, setelah ditinggal selama dua ribu tahun. Dan mungkin itu juga yang terjadi di ruang data!!!!”

    Raqia tersenyum sinis, kemudian tertawa meledek. Itu tidak berlangsung lama karena Erato segera membentaknya.

    “Anda juga! Apa Anda tahu kalau yang Anda katakan tadi adalah sebuah tuduhan tak beralasan?! Pria yang katanya Anda cintai ini hanya berlaku sesuai sifat alamiahnya sebagai pria, yaitu menggunakan logika! Belum tentu dia meragukan Anda jauh di dalam hatinya!!!!”

    Huh… baiklah, aku harus meluruskan semuanya.

    “Tenang, Erato. Tenang sedikit.”

    Sebuah “Hmmph” dan kedua tangan terlipat di depan dada menjadi responnya.

    “Sepertinya… aku yang salah bicara di sini. Aku memang hanya menemui 1 jalur administrasi untuk ruang data, dan aku mengambil asumsi terlalu cepat kalau cuma Da’ath yang punya akses. Erato benar. Kekosongan Divine Energy bisa mengakibatkan kerusakan pada benda ini, bisa jadi menyebabkan putusnya jalur untuk administrator lainnya jika memang ada. Mungkin jalur administratif lain tersebut bisa aktif kalau sang administrator yang langsung membukanya... Jadi… maaf ya…” ujarku memelas.

    “Kupikir aku tidak perlu memberitahu lagi apa yang harus kalian berdua lakukan,” ujar Erato kesal. “Sekarang keluarlah!”

    Saling melirik malu-malu sejenak, Da’ath dan Raqia pun keluar.

    Menghela nafas panjang, Eleutherian-class berambut biru pucat itu berkata, “Lelah juga teriak-teriak seperti tadi…”

    Menggaruk-garuk pipi, aku bertanya, “Kamu… apa kamu tidak takut dengan mereka? Maksudku, secara status keduanya adalah bosmu.”

    “Aku tidak bisa menahan diri melihat yang seperti tadi. Yah… kamu tahu sendiri, aku berurusan dengan segala sesuatu menyangkut pernikahan. Lagipula menurutku keduanya bukan orang bebal. Nasihat dari siapapun pasti akan diterima jika memang benar, meski disampaikan dengan cara keras sekalipun. Itulah kenapa mereka pantas untuk memimpin.”

    Aku tidak mungkin menyangkal perkataan itu. Akupun hanya tersenyum dan mengangguk setuju, kemudian mengajak Erato ke atas.

    Karena sekarang jamnya makan siang.

    ***


    “Euterpeee~” panggilku pada Eleutherian-class heterochromia biru-kuning itu, sambil terbang ke arahnya.

    Dia berdiri tegap dekat sudut bangunan istana sambil menenteng kapak besarnya ---Landsknecht--- di bahu. Matanya memandang ke bawah, ke sebuah lubang besar yang dibuatnya kemarin.

    Di dalam lubang itu ada beberapa Angel-class dan manusia, sedang melakukan pekerjaan penyambungan fondasi istana dengan Mobile Fortress. Dilakukan atas permintaanku, karena siapa tahu sewaktu-waktu Mobile Fortress akan diterbangkan kembali.

    “Istirahatlah dulu. Sudah tengah hari lho~” Kutepuk lengannya.

    “Oh, kamu rupanya. Sudah waktu istirahat?”

    “Mmm. Jam dua belas lewat sedikit. Kalian yang di bawah juga istirahat saja dulu!” seruku pada para pekerja.

    “Eu, mau makan di tempat yang kemarin?” tanya Erato yang sejak tadi mengikutiku. ‘Eu’ adalah panggilan darinya untuk Euterpe, dilafalkan ‘yu’ dengan ‘u’ agak panjang.

    “Boleh saja. Sandalphon, kamu mau ikut?”

    Sebagai makhluk 100% malaikat surga, jelas sekali aku tidak butuh makanan. Tapi… sekali-sekali boleh juga.



    Tempat yang dimaksud keduanya terletak kira-kira 150 meter sebelah selatan istana, sebuah warung makan. Bangku-bangku kayu di bagian luar bangunan sudah terisi penuh, baik oleh makhluk bersayap maupun tidak. Untunglah di dalam masih ada satu bangku panjang kosong, cukup untuk kami bertiga.

    Dan… sepanjang perjalanan masuk, semua mata berpaling menatap kami penuh kekaguman. “Itu kan nona Erato dan Euterpe! Mereka datang lagi?”, “Yang kecil itu siapa? Jangan-jangan malaikat yang dibicarakan banyak orang itu?”, “Wah, lebih menggemaskan dari Yang Mulia Nuachiel!”, begitulah kira-kira beberapa kalimat yang sempat terlontar dari para pengunjung. Bahkan beberapa berdiri dari bangku dan melangkah ke sini, ingin mengobrol.

    Untunglah Euterpe berhasil mengendalikan keadaan. Hanya perlu menjelaskan kalau kami ingin makan setelah lelah bekerja, semuanya pun bisa memahami dan tidak lagi melakukan usaha-usaha untuk mendekati kami bertiga.

    Setelah memesan, aku memutuskan untuk kembali membaca buku harian itu, yang selalu kubawa sejak kutemukan tadi malam.

    ***


    -21 November 2088-

    Dear Diary,

    Aku melakukannya semalam. Aku hanya tidak tega melihat Papa terus kesepian. Mama sudah tidak ada sejak lama, jadi kuputuskan untuk…


    ***


    -28 Januari 2089-

    Dear Diary,

    Segalanya ketahuan. Aku dan Papa akan ditahan di ruangan terpisah. Kuharap mereka mengijinkanku untuk terus menyimpanmu, Diary.


    ***


    Aku segera menutupnya. Terlalu banyak umpatan kasar di halaman-halaman berikutnya, menjadikannya lebih hina dibanding kandang ****.

    “Kamu serius sekali sejak tadi. Sedang membaca apa memangnya?” tanya Euterpe.

    “Cuma peninggalan masa lalu kok.”

    “Ah! Jadi itu buku yang tadi kamu sebut-sebut?” tanya Erato sambil menunjuk buku harian.

    “Iya, ini. Kejadian yang tadi kuceritakan juga tertulis di sini.” Kutepuk sampulnya dua kali.

    “Kejadian apa…?” tanya Euterpe heran.

    Sebenarnya aku tidak berkeberatan menceritakannya pada Euterpe, tetapi… mendadak sekelilingku hening. Para pengunjung warung makan kompak membisu. Hanya alat makan berdenting dan piring berdentang, itupun dalam volume yang tak seberapa.

    Jelas sekali mereka siap menguping. Huh…

    “Nanti saja. Kita makan dulu.”

    Kebetulan makanannya sudah datang. Aku memesan kalkun yang disiram keju cair, sepotong roti besar, dan segelas susu panas. Melihat hidangan di depanku, ekspresi Erato berubah, seperti sedang melihat sesuatu yang memuakkan.

    “Uh? Ada apa, Erato?”

    “Kamu… makananmu berlemak sekali,” jawabnya, disusul tangan yang segera menutup mulut dan wajah berpaling.

    Euterpe berbisik padaku, “Dia itu mudah sekali gemuk. Dia bisa mual melihat makanan penuh lemak seperti yang ada padamu. Lihat saja isi piringnya, sayuran semua.”

    Benar juga. Isi piringnya didominasi warna hijau.

    “Hei Eu, aku bisa dengar…!”

    “Ups, kedengaran…” Euterpe segera berpaling tanpa dosa, kemudian menggigit daging paha besar yang ada di depannya.

    “Dasar barbar…” komentar Erato. “Aku heran bagaimana bisa Wenceslaus me---“

    Lidahnya membatu.

    “Maaf,” ujarnya.

    “Tak apa. Seperti kalimat favorit Metatron, Sandalphon, dan Crusader-Saint… ‘itu sudah lama berlalu’.”

    Rasa penasaran mendesak bibirku. “Wenceslaus?”

    “Suamiku. Tapi sudah mati,” jawab Euterpe, kemudian kembali memuka mulut lebar-lebar untuk melahap daging besarnya. “Aku bisa menceritakannya kalau kamu mau.”

    “Kamu yakin?”

    “Tenang saja. Orang-orang Shamayimpun sudah tahu. Aneh rasanya jika hanya dirimu yang tidak.”

    Tidak seperti tadi, suasana di belakangku tetap ramai. Berbagai suara manusia bercampur bersama orkestra alat makan. Artinya, mereka memang sudah tahu seperti kata Euterpe. Maka kupersilakan dia bercerita.



    Di antara anggota Indagator, hanya Euterpe yang pernah menikah. Dan tebak siapa yang melakukan upacara pemberkatan? Erato. Statusnya saat itu masih Angel-class, baru saja selesai mengikuti pendidikan teologi.

    Usia Eleutherian-class yang warna rambutnya seperti tembaga itu tergolong muda untuk ukuran Angel-class ketika menikah sekitar 200 tahun lalu, 924 tahun. Itu sekitar 15-17 tahun jika dirinya seorang manusia biasa. Sejauh pengamatanku terhadap penduduk kota-kota yang telah kukunjungi, aku bisa menyimpulkan kalau perbandingan usia antara manusia dan Angel-class kira-kira sekitar 1 berbanding 50-60 tahun.

    Dan… Wenceslaus, itulah pria beruntung yang berhasil meminang Euterpe. Seorang bawahan Tselemiel yang dihormati, bahkan dihadiahi tanah beserta kastil di luar tembok Avodah sebelah barat. Inilah alasan kenapa Euterpe dijuluki Duke of Warrior, yaitu karena memiliki tanah kekuasaan sendiri bersama suaminya.

    Wen ---panggilan Euterpe padanya--- menilai Euterpe sebagai gadis kuat dan mandiri, yang tampak lebih dewasa dibanding gadis-gadis seusianya. Meski usia Wen sekitar 500 tahun lebih tua, tapi… kalau sudah cinta, mau bagaimana lagi? Pria itu juga cocok dengan selera Euterpe yang menghendaki seorang pria gagah, tegap, tinggi besar, dan tampak sangat maskulin.

    “Berbeda sekali dengan Crusader-Saint. Dia itu terlalu… mulus. Tidak punya kumis, tidak punya janggut, tidak ada bekas luka. Wajahnya terlalu bersih cemerlang. Untung saja dia punya sedikit otot. Pekerjaannya dulu sebagai blacksmith ternyata sedikit berguna,” candanya.

    Tawaku meledak, bahkan tanganku sampai memukul-mukul meja. Aku hanya mencoba membandingkan dengan wujud asli kakakku yang JAUH berbeda dengan Da’ath. Jika kakak ---dalam wujud aslinya--- disandingkan dengan Da’ath, maka Da’ath hanya akan terlihat seperti anak bayi.

    Namun guncangan otot perutku mereda ketika Euterpe mulai menceritakan tentang Valkyrie Corps. Aku jadi teringat Glaukos…

    Sekitar 130 tahun lalu, Tselemiel menginvasi Asgard. Itu adalah usaha invasi keempatnya demi ‘pendekatan persuasif’ pada Brynhilde dan kawan-kawannya. Dan… bisa kutebak, Wenceslaus gugur dalam invasi tersebut oleh tangan Brynhilde sendiri. Padahal Tselemiel mengaku hanya sedikit lengah saat itu.

    “Aku benar-benar kalut. Hampir gila. Ditinggal suami, tanpa anak pula. Dan… di saat itulah aku mulai mendengar suara di dalam kepalaku. Itu menghantuiku selama bertahun-tahun.”

    Seingatku Da’ath dan Raqia pernah menceritakan hal yang sama, terjadi pada Uriah dan Clio.

    “Sekitar seratus tahun lalu, Clio sempat mampir ke tempatku. Sebagai seseorang yang katanya mampu menandingi Brynhilde, aku mencecarnya dengan permintaan untuk menginvasi Asgard. Kami sempat saling bercerita panjang hingga akhirnya dia mengaku kalau pernah mendengar suara yang sama. ‘Para Archangel adalah penipu. Menyembunyikan pengetahuan. Memenjarakan kejayaan umat manusia.’ Begitulah kira-kira bunyinya.”

    “Soal suara itu nanti saja dibahas. Lalu bagaimana dengan Clio? Apa dia jadi melakukan invasi?”

    “Tentu saja tidak. Dia mengatakan sedang dalam perjalanan keliling dunia semata-mata untuk menyelidiki kebenaran suara itu, bukan demi perang dan semacamnya. Dan intuisiku mengatakan, sepertinya misteri akan terungkap dalam waktu dekat.”

    “Lalu?”

    “Selesai. Kamu tidak mau membahas suara itu lebih lanjut, kan?”

    “Iya sih… Ya sudah, kita lanjut makan saja.”



    Beberapa menit berlalu, aku penasaran tentang sesuatu.

    “Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana mengenai daerah yang diberikan Theo--- Yang Mulia Tselemiel pada Wen?”

    “Dapat kukatakan kondisinya bagus saat aku pindah. Padang rumputnya tampak hijau dan sangat subur. Juga sangat luas untuk orang-orang yang bosan bekerja pertukangan di Avodah dan mau beralih profesi menjadi petani atau peternak. Sejak tanah itu diberikan dua ratus dua puluh tahun yang lalu hingga hari kematiannya, seingatku sekitar dua juta penduduk pindah dari Avodah ke tanah kami.”

    “Wow, banyak juga ya,” komentarku, kemudian mengigit sepotong kecil daging kalkun.

    “Banyak? Itu sedikit dibanding Avodah yang penduduknya puluhan juta.”

    “Di jamanku, dua juta penduduk sudah cukup untuk membentuk kota, bahkan negara sendiri. Justru di jaman inilah yang kurasa tidak wajar.”

    “Begitukah? Memangnya seperti apa dunia ini di jamanmu dulu?”

    “Kalau bicara soal jumlah orangnya, tentu jauh lebih banyak, tapi juga lebih tersebar. Kota terbesar berpenduduk tidak sampai dua puluh juta orang. Sensus terakhir yang kuingat… kalau tidak salah total penduduk dunia hampir delapan milyar. Lalu menurun drastis hingga kurang dari satu milyar setahun sebelum perang usai.”

    Euterpe terbelalak, nyaris tersedak. “Sebanyak itu yang tewas?!”

    “Fakta terkadang menyakitkan, eh?” Aku tersenyum pahit.

    “Mengerikan. Terlalu mengerikan,” respon Euterpe sambil memijat dahi beberapa saat. “Tapi… kalau kupikir-pikir, aku jadi yakin kalau suara yang kudengar itu hanya omong kosong.”

    Sejak tadi diam ---entah karena masih muak melihat makananku atau karena merasa tidak enak pada Euterpe---, kali ini Erato menyahut, “Kamu serius?!”

    “Tentu. Dengan kematian sebanyak itu, pastilah banyak orang pintar yang terbunuh. Orang-orang jaman ini menjadi lebih primitif karena banyak ilmu yang lenyap bersama orang-orang itu. Kehancuran total juga mungkin membinasakan banyak hal seperti sumber daya alam dan tulisan-tulisan tentang pengetahuan. Jadi, tidak mungkin para Archangel sengaja menyembunyikannya.”

    Aku merasa pandangan Euterpe hanya setengah benar. Maksudku, butuh setengah alasan lagi yang bisa melengkapi hal itu. Aku yakin kakak sudah punya pemikiran tentang setengah alasan lagi, tapi… mungkin dia belum mau menjabarkannya karena belum memiliki bukti meyakinkan.

    Aku menimpali, “Kata-katamu ada benarnya. Hanya saja tidak semua tulisan tentang pengetahuan itu lenyap. Theo--- Yang Mulia Tselemiel masih memiliki beberapa, hasil penemuan di Olympia. Bahkan dia membagikan ilmu yang dia pelajari pada rakyatnya yang tertarik secara gratis.”

    Kedua anggota Indagator di sampingku menatap serius sambil terus melahap santapan masing-masing.

    “Perlu kuberitahu kalau waktu itu aku dan yang lain menemukan beberapa buku di sana. Buku dari kertas, masih baik dan mudah dibaca. Dan perlu kalian ketahui… kertas biasa akan rusak parah jika ditinggal selama dua ribu tahun.”

    “Mungkin kertas buatan orang-orang di jamanmu lebih awet?” tanya Erato ragu.

    Aku menggeleng. “Memang benar kalau dulu ada usaha-usaha untuk membuat kertas yang sedikit lebih awet, namun tetap tidak mungkin bertahan hingga dua ribu tahun. Hebatnya lagi, salah satunya pernah dilempar ke wajah Da’ath dan tetap utuh. Hanya lepas dua lembar.”

    “Sandalphon, jangan berbelit-belit. Segera katakan apa maksudmu,” pinta Euterpe sambil menggenggam bahuku.

    Satu alasan yang pasti. Bukan hanya berlaku untuk buku-buku di Avodah, tetapi juga buku harian yang kutemukan di dalam Mobile Fortress. Senyumku segera merekah. Cerah.


    “Tuhan masih bekerja secara aktif di dunia ini untuk melindungi data dan pengetahuan.”


    Hal itu mengantarku ke kesimpulan berikutnya.

    “Dan Dia masih mengatur dunia ini secara aktif pula. Kalian tidak ditinggal begitu saja dalam pengawasan Crusader-Saint ataupun para Archangel.”

    Kusantap roti milikku hingga lenyap ke dalam mulut.

    “Ada lagi hal tidak masuk akal di dunia ini. Kudengar kota ini berpenduduk dua puluh delapan juta jiwa. Kakak juga pernah bilang… kota terbesar di dunia saat ini malah berpenduduk tujuh puluh juta jiwa. Jika kota-kota sebesar itu berdiri tanpa ditemani teknologi tinggi, penduduknya tidak akan terurus. Distribusi barang-barang akan kacau. Kriminalitas akan merajalela. Sampah akan ada di mana-mana. Tidak akan ada keindahan karena terlalu padat. Tapi…”

    Kuteguk susu yang suhunya sudah menurun. Hangat.

    “…hebatnya menurut apa yang kudengar, tidak ada satupun kota yang bermasalah dalam kesejahteraan penduduk. Meski gaya pemerintahan tiap-tiap Archangel berbeda, tidak ada penduduk yang pernah protes besar-besaran karena ketidakpuasan akan pemerintah. Yang memberontak hanya militer, itupun karena provokasi pihak luar.”

    Kusikat habis sisa-sisa daging kalkun, menyisakan tulang yang bersih.


    “Apalagi alasan yang masuk akal selain Tuhan sendiri yang mengatur tiap-tiap kota secara aktif agar tetap kondusif?”


    Aku setengah melempar tulang kalkun kembali ke piring.

    Keduanya terbengong-bengong sesaat, kemudian Erato menyahut, “Jadi pengacau itu bisa kita kalahkan?!”

    “Tentu bisa. Kalau Tuhan di pihak kita, siapa sih yang bisa jadi lawan kita? Tapi…”

    Perbincangan kakak, Da’ath, dan Raphael waktu itu membuatku khawatir akan satu hal. Dalam kasus ini, semuanya diserahkan pada kami dan surga tidak akan mengintervensi. Artinya…

    “…jika ada serangan mendadak…”

    “Tentu akan kita hajar balik!” seru Euterpe.

    “Itu pasti. Hanya saja… coba pikirkan para penduduk kota. Dalam jumlah sebesar itu, pengungsian akan sulit dilakukan. Mungkin kecuali Tzayad, karena mereka ahli dalam bergerak cepat dan kondisi kota yang tidak sepadat kota lainnya.”

    Keduanya terbelalak.

    “Aku khawatir…”

    Ya Tuhan, kumohon… jika Engkau mengijinkan, jangan bebankan hal yang akan kukatakan ini pada kami.

    “…kita tidak akan sanggup melindungi semuanya…”

    Ternyata Tuhan berkehendak lain.

    Kekhawatiranku benar-benar terjadi.

    ***


    Berselang 24 jam, H.O.P.E. Communicator digunakan oleh seseorang. Mode distress call. Mode darurat tersebut akan mengirimkan sinyal tanda bahaya ke semua device yang memiliki sistem H.O.P.E. Communicator: diriku, kakak, dan semua pemegang Archangel Core.

    Pengirim sinyal?

    Uriah Melchizedek, sang Archangel pertama.

    Aku, yang masih melanjutkan perbaikan ruang mesin, tentu terganggu dengan hal itu. Layar holografik merah yang terus berkedip dan bunyi alarm yang terus menggema membuatku tidak konsentrasi bekerja.

    Tapi… kalau benar-benar darurat…

    Kuterima transmisi tersebut dengan menekan layar holografik. Sebuah file video disertakan sebagai attachment.

    “Untuk semua yang menerima pesan ini.”

    Wajah Uriah terekam di situ. Dahinya berkerut, alisnya menyudut tajam. Aneh, bibirnya sedikit pucat.

    Tubuhku nyaris ambruk begitu mendengar kalimat berikutnya.

    “Ohr-Nisgav diserang. Rakyat butuh bantuan. SEGERA!!!!”


    ====================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Setengah dari nama judul Tehillim 52-53, Theoria (Greek), memiliki arti perenungan/contemplation. Juga merupakan akar kata dari 'teori'.
      Dan seperti yang anda semua baca, 2 chapter tersebut memang isinya membongkar 'teori cerita' semua
    • Esverdear (Portuguese) = hijau
    • Freigraf (German) = free Count (Count = gelar kebangsawanan setara Earl)
    • Landsknecht (German) = land's knight, merupakan nama kelompok tentara bayaran bentukan Holy Roman Empire.
    • Wenceslaus di sini diambil dari nama Duke of Bohemia (Ceko)
    • Kalau Tuhan di pihak kita, siapa sih yang bisa jadi lawan kita?
      Versi rada gaul dari Romans 8:31

    Last edited by LunarCrusade; 26-05-14 at 19:17.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  6. #200
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Tehillim 54 :


    ==========================================
    Tehillim 54: Tide of Discord Part I ~ Hellish Offensive
    ==========================================



    “Tidak ada jalan lain. Kita ke sana dengan Mobile Fortress karena akan makan waktu lama jika terbang biasa,” saran Plasma.

    “Mobile Fortress… dihidupkan lagi?” tanya Raqia, ragu.

    Plasma mengangguk. “Mmm. Jadi, kumohon pindahkan dulu penduduk sekitar.”

    “Baiklah jika hanya itu jalan terbaik,” responnya tegas. Dia berbalik, kemudian memerintahkan Clio dan Euterpe ikut dengannya keluar istana.

    Sebuah layar holografik terbentuk di depan Plasma, menayangkan sosok Biblos. Malaikat kecil itu dan Erato sedang berada di dalam Mobile Fortress.

    “Bagaimana di bawah sana?” tanya Plasma.

    “Beres, kak! Mesin nomor lima sudah selesai diperbaiki, tinggal mendistribusikan energinya saja ke seluruh kapal.”

    “Bagus. Kuharap setelah Raqia kembali, kita bisa langsung berangkat.”

    “Mmm! Akan kulakukan yang terbaik yang kubisa!”

    Transmisipun mati.

    “Maaf, Da’ath. Aku terlalu bersemangat mengenai apa yang ada di bawah Shamayim, sehingga meminta meninggalkan Ohr-Nisgav begitu saja,” ujar Plasma padaku, sedikit menunduk.

    Kucoba sedikit tersenyum. “Jangan terlalu merasa bersalah begitu. Ini juga… tanggung jawabku. Seandainya saja dia tidak dibiarkan lolos waktu itu…”

    Sudut-sudut bibirku memang naik, tetapi jantungku berdegup jauh lebih cepat dibanding biasanya. Tak sengaja kutelan ludah sendiri. Aku… takut. Ya, takut. Keselamatan 21 juta penduduk ada di tanganku saat ini.

    Sepertinya Nuachiel dapat merasakan getar ketakutanku. Dia memelukku. Erat.

    Tiba-tiba Deshiel berkata, “Tidak bisa, Metatron. Selalu gagal terhubung.” Sebelumnya Plasma memintanya untuk menghubungi Uriel.

    “Coba hubungi yang lain, Yang Mulia. Mungkin sudah ada yang dekat dengan Ohr-Nisgav, atau malah sudah tiba.”

    Dua usaha sambungan berikutnya juga gagal. Maoriel dan Tselemiel tidak bisa dihubungi. Artinya tinggal satu Archangel lagi… Tuhan, kumohon yang ini berhasil.

    Berikutnya, Kanaphiel.

    “Ya?! Halo?!” jawabnya, setengah berteriak. Rambut emas sebahunya berkibar kuat, pastilah sedang terbang secepat yang dia bisa.

    Ikatan yang mencengkram dadaku sedikit melonggar. Nafas lega lolos dari bibirku disertai ucapan syukur pada-Nya.

    Kutanya cepat, “Kanaphiel, sudah dekat Ohr-Nisgav?”

    “Aku masih jauh!”

    “Lalu Maoriel? Kudengar dia pergi bersamamu.”

    “Hah?! Tolong ulangi!”

    Kunaikkan volume suaraku. “Maoriel! Di mana Maoriel?!”

    “Oh, dia! Beberapa jam yang lalu dia bilang kalau rombongannya sudah sampai! Tapi tadi tidak bisa kuhubungi…!!”

    Menyentuh dagu, Plasma bergumam, “Sebenarnya apa yang terjadi di Ohr-Nisgav…? Mungkin… Kalau begitu…” Lalu dia segera bicara pada Kanaphiel, “Halo, Yang Mulia Kanaphiel?! Bisa dengar saya?!”

    “Uh-huh!”

    “Jika Anda tiba lebih dulu dari kami, saya mohon carilah yang lain terlebih dahulu, lalu keluar sejauh mungkin dari kota!”

    “Hah?! Kenapa menjauh?!”

    “Saya menduga ada jamming signal cukup kuat di kota yang mengganggu komunikasi sehingga Archangel lain tidak bisa dihubungi langsung! Siapapun Archangel yang anda temui, segera ajak dia menjauh, kemudian tolong hubungi kami!”

    Diam sejenak, Archangel bermata jingga itu menjawab tegas, “Baiklah! Akan kulakukan seperti katamu! Kalian juga cepatlah kemari!”

    “Tentu, Yang Mulia! Sebentar lagi kami akan menyusul!”

    “Jangan lama-lama! Dan semoga Tuhan menyertai kalian!” Layar holografik itupun lenyap.

    “Semoga Tuhan menyertai Anda juga… Yang Mulia,” jawab Plasma pelan, pada kekosongan.

    ***


    Semua sudah ada di ruang komando. Setelah melewati pintu otomatis keabuan bertuliskan “MAIN”, aku disambut tembok dan lantai yang terbuat dari titanium-polikarbonat putih cerah, plus berbagai panel transparan di seberang depan sana. Ukuran ruangannya cukup luas, meski kurasa masih lebih kecil dibanding ruang mesin.

    Aku duduk pada kursi khusus di tengah-belakang ruangan, posisinya ditopang platform yang lebih tinggi dibanding benda lainnya di lantai ruangan. Plasma sendiri melangkah ke titik khusus beberapa langkah di depanku, berdiri di atas lingkaran bercahaya keemasan.

    “Raqia, di atas sudah aman?” tanya Plasma.

    “Bersih. Semua sudah kuminta keluar dari rumah masing-masing. Di atas juga sudah tidak ada orang.”

    “Sandalphon, statusmu?”

    “All green!” jawab malaikat yang duduk jauh di depan, menghadap banyak panel dan layar holografik. Erato duduk di sebelah kirinya.

    “Yang Mulia Deshiel, bagaimana komunikasinya?”

    Archangel yang duduk tak jauh di kanan Biblos itu menjawab, “Sepertinya Kanaphiel sudah tidak jauh lagi. Akan kupantau terus posisinya.”

    “Bagus. Terima kasih, Yang Mulia. Lalu… nona Euterpe, fondasi istana sudah selesai disambung?”

    “Hanya akan lepas jika Tuhan menghendaki,” jawab Eleutherian-class yang sedang bersandar pada tembok kiri belakangku.

    “Good. Let’s start the operation.”

    Tepat ketika suara Plasma lenyap, cahaya pada lingkaran di kakinya menguat. Dari situ keluarlah jalur-jalur cahaya emas ke segala arah di permukaan lantai. Ada beberapa jalur cahaya tebal menuju ke arahku, berhenti dekat kaki. Seperti halnya tanaman, cahaya ‘tumbuh’ dari titik tersebut hingga kira-kira setinggi perutku. Lalu terbentuklah panel persegi transparan, sedikit lebih luas dibanding telapak tanganku.

    “Da’ath, taruh tanganmu di panel.”

    Namun, belum juga telapakku menyentuh…

    “Tapi sebelumnya aku ingin memberitahukan sesuatu.”

    Tanganku membeku.

    “Perjalanan ini hanya untuk satu kali. One-way trip. Tidak ada Divine Energy di kapal ini, yang artinya, hanya energi cadangan yang dipakai. Itulah yang sejak beberapa hari lalu diisi oleh nona Erato.”

    Gadis bermata jingga kecoklatan itu setengah menengok ke arahku.

    “Dan akan habis dalam sekali berpindah… setidaknya sampai diisi lagi. Well, mungkin cukup untuk melayang selama beberapa hari. Maaf tidak memberitahumu sejak tadi. Aku sengaja agar pikiranmu tetap fokus untuk menyelamatkan kota itu.”

    Dadaku serasa terjun bebas. Secara gamblang, Plasma ingin mengatakan bahwa kita mustahil pulang sebelum menyelamatkan Ohr-Nisgav.

    Kehangatan menghampiri tanganku, menyelimutinya lembut. Sepasang biru langit mengenyahkan gugupku. Bulan sabit tipis di antara pipinya memeluk jiwaku.

    “Aku di sini, Da’ath. Aku di sini. Dan Tuhan bersama kita.”

    Kata-katanya segera membakar rohku.

    Dengan senyum merekah, dia lanjut berkata, “Kita lakukan pukulan terakhir bersama, oke?”

    Nuachiel, yang sejak tadi diam berdiri di kanan belakangku, tiba-tiba menimpali, “Aku juga di sini, Pa. Jangan khawatir!”

    Kobar semangatku mengganda karena genggaman keduanya. Mengantar tanganku pada panel, dan…

    Kapal ini bergetar hebat, menyebabkan Raqia dan Nuachiel memelukku erat-erat. Cahaya di bawah kaki Plasma terus menguat, menguat, menguat…

    “Target coordinates confirmed. Teleportation module activated. Prepare to perform Spatiotemporal Translocation in three… two… one…”

    …hingga mataku tak mampu lagi membuka.

    ***


    Selama beberapa saat, aku merasa seperti ada jangkar mengait kelopak mata. Sampai akhirnya suara A.I. kapal ini menyadarkanku perlahan.

    “Energy-matter transfer process accomplished. No anomaly detected. Teleportation success.”

    “Sandalphon, coba nyalakan sensor optik kapal,” pinta Plasma.

    Pandanganku masih buram ketika seperempat lengkung dinding ruangan di depanku berubah. Berubah menjadi…

    …layar?

    “Ya Tuhan… apa yang terjadi di sini?!” seru Biblos, terkejut.

    Aku juga sama kagetnya.

    Layar itu menampilkan pemandangan kota. Jelas Ohr-Nisgav. Belum lama kutinggalkan kota ini, sehingga deretan rumah kotak-kotak berwarna tanah kering masih jelas kuingat. Rumah, rumah, rumah, hingga… jauh di depan, kulihat asap. Tidak, tidak. Lebih tepatnya langit jauh di depan tak lagi biru karena tertutup asap. Di udara juga banyak makhluk beterbangan. Ada sebagian yang bersayap putih sepasang, sementara yang agak jauh di sana tidak begitu jelas.

    “Biblos, bisa tolong diperbesar? Aku ingin tahu apa yang ada di depan sana.”

    Perintahku dijalankan. Bukannya berubah tenang, kali ini aku malah melonjak dari kursi. Memang ada beberapa makhluk bersayap putih, namun jumlah mereka tidak sebanding dengan makhluk-makhluk aneh lainnya. Akatharton. Bukan hanya langit, daratanpun dipenuhi oleh mereka. Aku juga menemui satu spesies Akatharton baru, berbentuk kura-kura raksasa bertempurung duri dengan dua tabung besar serupa laras meriam mencuat di punggung. Kakinya begitu besar, cocok untuk menggilas rumah. Kulitnya seperti bebatuan gunung berapi, terbakar lahar. Entah ada berapa banyak jumlahnya.

    Mengetahui keberadaan Mobile Fortress, spontan semua berhenti saling menghantam dan menatap ke arah kapal.

    “Plasma---“

    “Aku tahu, Da’ath. Aku tahu.”

    Bagus, dia mengerti. Maka kuaktifkan mode Heavenly Saint, diikuti Raqia dengan Angel Knight-nya.

    “Tapi tunggu sebentar. Nona Clio, nona Euterpe, saya mohon Anda berdua keluarlah lebih dulu. Keluar dari ruangan ini, lalu masuklah ke pintu pertama yang Anda berdua temui pada dinding kanan. Di sana ada salah satu device teleportasi untuk para awak. Berdirilah pada platform biru, nanti Sandalphon akan memindahkan Anda berdua ke luar. Setelah itu menyebarlah ke arah yang berbeda. Saya yakin Anda berdua bisa membantu meningkatkan moral tentara Ohr-Nisgav di titik manapun.”

    “Plasma! Keadaan genting begini kita harus cepat---“

    “Dan membiarkan Raqia melemah karena Akatharton lalu dimangsa hidup-hidup oleh Mephistopheles? Setidaknya harus ada yang keluar lebih dahulu untuk memancingnya keluar.”

    Aku tidak bisa menjawab yang satu itu. Keduanya mengangguk mantap, kemudian keluar menuju ruang yang dimaksud.

    Berselang tiga menit setelah keduanya tampak di layar, Plasma berkata, “Sepertinya… iblis itu tidak berada dekat sini. Baiklah. Raqia, Yang Mulia Nuachiel, berpeganglah pada Da’ath. Akan kukeluarkan kalian dengan Warp Drive.”

    Entah apa yang terjadi, Warp Drive tidak mau menyala. Dinyalakan lagi, nihil. Tiga kali, sama saja. Aku tidak berpindah.

    Nuachiel mengerutkan dahi. Tiga detik kemudian, dia berseru, “Ya sudah, aku lewat ruang teleportasi saja!”

    “Baiklah, hati-hati, Yang Mulia,” Nuachiel pun berlari keluar, “Da’ath, akan kucoba lagi.”

    Aneh, Warp Drive langsung berhasil. Namun yang lebih mengherankan adalah…

    …Plasma tidak panik sama sekali mengetahui fiturnya macet.

    ***


    Seketika kami berada di luar, tidak begitu dekat dengan bentangan Akatharton di depan sana. Mungkin masih ada selang 2 kilometer.

    “Sepertinya mereka kesulitan…” gumamku, “Baiklah, kita bersihkan sektor ini dengan cepat, lalu kita cari para Archangel lain. Plasma, tolong lacak keberadaan mereka.”

    “Roger.”

    “Dan… Raqia, aku mohon jangan maju sendirian. Kita serang saja dari sini.”

    Tidak ada penolakan dari Raqia.

    Para Angel-class yang sebelumnya kepayahan itupun berubah cerah melihat keberadaanku dan Raqia. Maka kuperintahkan formasi Angel-class yang di depanku untuk mundur karena aku akan menembak habis semua yang ada di depan.

    Baru saja mereka bergerak, sebuah bola membara seukuran Sonic Glider melesat ke arahku. Otomatis kugerakkan Hypermassive Defenser untuk menahannya. Meledak hebat, lalu lenyap.

    “Sial, dari mana---“

    Satu lagi. Ternyata asalnya dari Akatharton kura-kura tersebut.

    “Ternyata tipe long range artillery…” gumam Plasma. “Da’ath, habisi yang besar-besar itu lebih dulu.”

    “Raqia, siap?”

    “Tidak perlu bertanya lagi, kan?” jawabnya, disusul seringai tajam. Tampaknya sepasang biru langit siap bergemuruh untuk meremukkan musuh.

    Melihat semangatnya, energiku makin meluap.

    “Baiklah… F.A.I.T.H. System, activate!

    Segera kutekan tombol Yes setelah menu konfirmasi muncul. Hypermassive Defenser berubah menjadi Hypermassive Orbital Defenser, kemudian mengganda menjadi beberapa puluh. Energy Blade juga berubah seperti ketika di gurun itu. Bola cahaya putih terkonsentrasi di ujung masing-masing turret dan Energy-Blade-modifikasi. Sebelumnya, aku dan Plasma sepakat untuk menamainya Energy Buster.

    “Aku yang kiri, kamu yang kanan. Oke?!”

    Raqia mengangguk mantap. Tiga. Dua. Satu…

    “SEKARANG!!!!”

    Raqia melancarkan Spatial Breaker versi jarak jauhnya: Long-Range Shockwave. Aku menembakkan semua persenjataan. Kombinasi amukan udara dan gelora cahaya menerjang buas.

    *BLAAARRRRRR*

    Dua lenyap. Memang masih banyak di kejauhan, namun aku jadi tahu kalau mereka tidaklah sekeras kelihatannya. Dengan begini, Raqia tak perlu mendekati daerah yang tidak aman.

    Para Angel-class yang tadi kuperintahkan mundur pun bersorak.

    Maka kuangkat tangan kananku tinggi-tinggi.

    Aku memekik, “SERAAAAAAAAAAAAAANG…!!!!”

    Aku dan Raqia mendukung dengan serangan jarak jauh kami masing-masing. Dan di saat seperti inilah armada perisai terbangku menjadi begitu berguna. Tiap-tiapnya mampu menangani dengan cepat seekor Akatharton baik di darat maupun udara. Hanya dalam waktu singkat, area dalam radius 2 kilometer pun bersih dari makhluk-makhluk najis itu. Segera kuperintahkan para Angel-class yang masih ada untuk menyelamatkan penduduk yang masih ada di lokasi, kemudian membawanya jauh dari area pertempuran.

    Plasma berkata, “Tidak bisa, Da’ath. This jamming signal… is the worst. Bahkan sanggup mengintervensi radar Divine Energy milikku. Satu-satunya sinyal yang bisa kukirim hanyalah sinyal komunikasi radio biasa untuk menghubungi Mobile Fortress.”

    “Lalu bagaimana kita bisa mencari yang lain?!”

    “Tidak ada alternatif lain. Gunakan mata. Kita naik beberapa belas meter lagi agar pemandangan lebih jelas.”

    “Kota seluas ini? Hanya dengan mata?! Bagaimana mungkin---“

    Tiba-tiba Raqia menarik tanganku. “Da’ath, coba lihat ke sana.”

    Jarinya menunjuk ke arah pantai, kira-kira arah timur laut. Dari sini terlihat kecil, tapi…

    Uh? Ada yang bergerak? Air laut tinggi menyapu pantai, masuk agak jauh ke daratan. Ombak biasakah? Atau…

    …!!!!

    Saling menatap, aku dan Raqia berseru bersamaan, “Vecondrius!!!!”

    “Plasma, Warp Drive ke sana!!”

    “Okay, buddy!"

    Kugenggam tangan Raqia. Sekejap, tubuhku sudah melayang tak jauh dari lokasi. Tepat ketika diriku tiba, satu gulungan ombak setinggi 2 kali tinggi rumah biasa berdiri beberapa puluh meter di depanku. Keganasannya menghanyutkan puluhan Akatharton sekaligus.

    “Da’ath!! Yang Mulia Raqia!!”

    Seseorang menghampiri. Bermata dan berambut biru lembut, bersayap putih sepasang. Kalliope.

    “Oh… terpujilah Tuhan… a-akhirnya…”

    Bicaranya patah-patah. Terengah. Setengah berlutut di tanah. Lelah.

    Raqia bertanya, “Kalliope, sebenarnya apa yang terjadi di sini?”

    “Saya juga… ti-tidak mengerti, Yang Mulia.” Mengambil nafas beberapa kali, kemudian dilanjutkannya, “Tiba-tiba saja mereka menyerbu dari utara kota, dan h-hanya dalam beberapa jam… sampai tengah k-kota.”

    “Yang lain?”

    “S-Saya tidak tahu. Yang jelas Thalia dan Mel sedang me-membawa orang-orang menjauh ke… selatan---“

    “Kalliope...!!”

    Seseorang memanggil. Suara ini…

    Benar saja, itu Thalia. Di belakangnya, Mel terbang mengikuti.

    “Kalian? Bukankah sudah kukatakan untuk mundur?!”

    “Bagaimana bisa kami tega meninggalkanmu di sini?!” jawab Thalia. “Enam jam sudah kamu menghadang makhluk-makhluk hitam itu sendirian! Aku tahu ini sudah batasmu!”

    “Hah?! Enam jam?! Sendirian?!” seru Raqia, kaget.

    Tapi segala persiapan tidak sampai empat jam. Apalagi Mobile Fortress berpindah secara instan, waktu perjalanan dapat diabaikan. Artinya… Astaga. Jamming signal yang dimaksud Plasma ternyata sudah menunda pesan Uriel selama kira-kira 2 jam!

    “Kalian berdua, tolong bawa Kalliope ke kapal itu,” perintah Raqia, menunjuk Mobile Fortress di kejauhan.

    “T-Tapi, Yang Mulia---“

    “Jangan protes, Kalliope. Aku yakin mantan atasanmu di dalam sana juga akan memerintahkan hal yang sama.”

    Dahi Kalliope mengrenyit. “Di sana… ada Yang Mulia Deshiel…?”

    “Sudah, cepatlah! Masih banyak yang harus ditangani!”

    Tak ada lagi yang mampu manahan Thalia dan Mel untuk membawa Kalliope pergi. Ketiganya pun menjauh.

    Untuk sementara, area sekitarku kosong. Tidak ada siapapun baik kawan maupun lawan.

    “Plasma, ada ide bagus untuk menemukan yang lain?”

    Mendengung sesaat, Plasma menjawab, “Ah… aku tahu. Istana!”

    “Benar juga. Jika ada acara resmi… sudah pasti semuanya akan berkumpul di istana. Mudah-mudahan tidak ada yang nekat pergi jauh ke garis depan. Baiklah, Warp Drive ke sana.”

    “Oke, akan kuhitung dulu jaraknya. Aku punya peta Ohr-Nisgav, diberikan Photonica.”

    Tak sampai 5 detik, persiapan selesai. Kembali kuraih tangan Raqia, dan…



    Seketika, kami sudah ada beberapa meter di atas istana---

    *BLAAAARRRRR*

    Bagian atap lenyap seketika karena tembakan. Satu lagi menyusul, namun meleset ke halaman samping. Keduanya berasal dari kura-kura raksasa agak jauh di utara istana.

    Segera kuarahkan Energy Buster ke arahnya. Tiga detik loading, energi cahaya putih berkekuatan tinggi menghantam Akatharton kura-kura itu. Telak. Ledakan menyertai lenyapnya makhluk tersebut. Semua mata pun mengarah kemari. Kemudian kuarahkan armada perisaiku menembaki segala sisa Aktharton yang terlalu dekat ke istana.

    Gemuruh sorak-sorai dilepaskan ke udara. Semua Angel-class langsung maju menerjang gelombang musuh berikutnya yang mengarah ke istana.

    Seseorang menyambut kedatanganku. Si botak Argos. Tidak sendirian, Polyhymnia menyertai.

    “Heh bocah! Kenapa kau lama sekali?!” bentak Argos.

    Polyhymnia menyelak, “Tidak sopan. Dia itu Crusader-Saint!”

    “Terserah apa katamu, Nona Rambut Kompor! Yang jelas aku berharap kedatangannya sejak tadi!”

    “Kalian berdua tenanglah! Sekarang kita turun, lalu jelaskan kondisi kota ini!”

    ***


    Salah satu ruang tamu istana dipilih menjadi tempat diskusi. Alasannya sederhana, karena langit-langitnya masih utuh. Kumatikan mode Heavenly Saint.

    “Da’ath…?” tanya Terpsichore lesu. Lelah bertarung, atau keceriaannya terhapus pertempuran. “Ah, syukurlah. Ternyata benar, cahaya tidak wajar tadi berasal dari senjatamu.” Dilepaskannya nafas panjang.

    Tanganku yang menjawab, menepuk pundaknya dua kali.

    Raqia angkat bicara, “Baiklah… Urania, bagaimana kondisi sejauh ini?”

    Urania menjawab, “Buruk. Banyak yang mati…” Didekapnya boneka kelincinya erat-erat.

    Terpsichore menambahkan, “Begitulah, Yang Mulia. Serangannya begitu mendadak dan tersebar luas. Musuh yang datang juga terlalu banyak… saya sendiri tidak bisa mengira-ngira berapa banyak korban yang jatuh.”

    “Huh… di saat ingin berdamai, malah terjadi hal seperti ini… Menyebalkan,” keluh Argos.

    “Aku juga sama kesalnya denganmu. Dia… berani-beraninya… argh…”

    Kutinju meja keras-keras.

    “Da’ath, tenangkan dirimu sejenak. Kita semua sama marahnya,” ujar Plasma sambil menaruh tangan di bahuku, “Oke, sekarang saya ingin bertanya mengenai Archangel yang lainnya. Ada yang tahu keberadaan mereka? Masalahnya tidak ada satupun yang berada di istana ini.”

    “Semuanya maju ke garis depan beberapa jam yang lalu. Yang Mulia Tselemiel dan Yang Mulia Maoriel ke arah barat laut, sementara Yang Mulia Uriel ke timur laut bersama…” Lidah Polyhymnia membeku sesaat, wajahnya berpaling. “…gadis bermata merah itu.”

    Terpsichore mengelus pelan bahu Polyhymnia.

    “Terpisah jauh seperti itu…” gumam Plasma, memandang langit-langit, “Ternyata segalanya menjadi jauh lebih rumit dengan radar Divine Energy yang tidak bisa digunakan. Tapi baiklah, saya punya---”

    Tiba-tiba seseorang masuk. “Da’ath!!!!”

    Otot-ototku lemas seketika melihat rambut coklat dikuncir dan mata biru sosok itu.

    “Kak Reshita?! Kenapa masih ada di sini?!” tanyaku, setengah berteriak.

    Raqia sudah memberitahu kalau kakek Arya ---yang ternyata adalah pimpinan Varuna--- ternyata pergi ke Ohr-Nisgav bersama kakak, Chloros, dan rombongan Maoriel. Tetapi… aku tidak habis pikir kenapa kakak masih ada di sini, di tengah kondisi seperti ini.

    Kak Reshita menghampiriku, memelukku erat-erat, menangis. Tak lama, sosok Chloros muncul di ambang pintu.

    “Heh Chloros!” bentakku, “Kenapa kamu tidak membawa kakakku pergi jauh dari sini?!”

    “Aku sudah berusaha, Da’ath. Tapi dia tidak mau pergi sebelum kakek kembali.”

    “Kakek…? Memangnya di mana Tuan Arya sekarang?!”

    Tidak ada yang bisa menjawab.

    “Argos, apa kamu tidak lihat ke mana perginya?” tanya Raqia.

    “Maaf sekali, Yang Mulia. Di tengah pertempuran sengit begini, saya tidak mungkin memperhatikan satu orang saja. Yang jelas, kami sempat pergi sesaat untuk menghabisi yang di sebelah utara. Tapi itu beberapa jam lalu di awal serangan. Setelah itu, saya tidak tahu lagi.”

    Isi kepalaku mendadak kalut. Keselamatan kakakku tentu harus diprioritaskan, tetapi aku juga harus mencari Tuan Arya. Belum lagi Tenebria dan para Archangel lainnya yang, mungkin, saat ini beradu tinju dengan Akatharton dan rentan terhadap serangan Raziel. Lalu penduduk kota ini…

    “Semuanya, tolong dengarkan saya. Saya harap strategi saya ini bisa diikuti oleh semua,” ujar Plasma.

    Kubiarkan Plasma melanjutkan. Otakku tidak bisa berpikir jernih dalam situasi seperti ini.

    “Tuan Chloros, saya minta Anda bawa Nyonya Reshita menjauh. Jika Anda terus terbang ke arah selatan, Anda akan menemui logam besar mengambang di udara. Itu adalah kapal yang kami pakai untuk pergi ke kota ini. Anda berdua berlindunglah di sana.”

    “Tapi, kakek---“

    Chloros memotong, “Sayangku, maaf. Kali ini aku harus menurut apa kata Plasma.”

    “Tenanglah, Nyonya. Saya akan menemukan Tuan Arya dan pastilah dia ingin menemukan Anda dalam kondisi baik-baik saja. Jadi, saya mohon pergilah bersama Tuan Chloros.”

    “Kak, kumohon. Kali ini pergilah. Aku tidak ingin kakak celaka,” tambahku.

    Meraih tangan Reshita, Raqia berkata, “Jika Tuhan menginginkannya hidup, yakinlah, pasti kakek Arya akan kembali dengan selamat.”

    Kakak menatap kami berdua bergantian. “Da’ath… Raqia…” Diusapnya air mata. “B-Baiklah. Tapi sekali lagi kumohon… bawa kakek pulang…”

    Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata janji. Hanya kuanggukkan kepalaku satu kali. Chlorospun membawanya keluar ruangan.

    “Baiklah, rencana selanjutnya,” lanjut Plasma, “Tuan Argos, saya minta Anda kendalikan pasukan di sekitar istana. Jika kondisi sudah dirasa tidak memungkinkan, mundurlah hingga ke kapal yang tadi saya sebutkan. Dengan pengalaman Anda sebagai bajak laut, saya yakin Anda tahu kapan waktu yang tepat untuk lari.”

    “Siap, manusia kaleng!” jawab Argos mantap.

    “Tidak bisa!” sahut Polyhymnia, berteriak, “Istana ini harus dilindungi mati-matian! Ini sudah merupakan perintah dari Yang Mulia Uriel!”

    “Nona, manakah yang lebih penting? Bangunan atau nyawa? Tempat ini bisa dibangun lagi, tetapi tidak dengan nyawa seseorang jika Elohim Yang Mahatinggi tidak berkehendak membangkitkannya. Lagipula kehilangan lebih banyak orang hanya akan melemahkan pihak kita.”

    Tak ada kata-kata. Hanya kertak gigi dan kepalan erat tangannya pada Field Energizer.

    “Sementara Anda, Nona Terpsichore, dan Nona Urania ikutlah dengan saya untuk mencari Archangel lainnya.”

    ***


    Selagi menyisir angkasa, entah sudah berapa Akatharton ---mungkin ribuan--- yang kami habisi. Strategi Plasma mengajak tiga anggota Indagator ini terbukti sangat membantu, khususnya bagi Raqia. Kemampuan ketiganya yang mampu melancarkan serangan dalam area yang luas memungkinkan Raqia untuk menyerang lebih bebas, entah dengan Spatial Breaker ataupun Chereb HaMemad berukuran raksasa, tanpa resiko didekati Akatharton. Tidak hanya itu, beberapa regu pasukan Ohr-Nisgav yang sebelumnya terjebak dalam kepungan pun berhasil diselamatkan, setidaknya yang berada dalam jalur yang kami lalui. Maka kuperintahkan mereka semua mundur.

    Namun pertempuran melelahkan ini… ternyata baru berlangsung sejauh 33 kilometer. Makin jauh ke utara, konsentrasi musuh semakin padat. Plasma pun menyarankan agar kami berhenti berkonsentrasi membersihkan area peperangan untuk kembali fokus dalam pencarian. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu selain Akathaton.

    Sepasukan Elilim-class. Semuanya bersayap merah.

    Tapi kalau kuperhatikan…

    Akupun berkomentar, “Plasma, ada yang aneh dengan mereka…”

    Keseluruhan bola mata mereka menyala bagai permata darah. Tidak ada yang hitam, tidak ada yang putih.

    “Da’ath, coba perhatikan agak ke bawah.”

    Cincin tebal berwarna hitam melingkari leher para Elilim-class itu. Ternyata mereka dikendalikan seperti---

    Dan sosok yang terlintas dalam bayanganku benar-benar muncul dari tengah-tengah mereka.

    Atra.

    Dirinya masih sama seperti saat bertemu di Asgard. Mata kosong. Lidah bisu. Boneka hidup.

    Atra tidak sendiri. Masih ada satu sosok lagi. Otomatis kugertakan gigi.



    “Raziel…” kataku geram, ketika orang itu muncul dari tengah-tengah Elilim-class.

    “Hohoho! Crusader-Saint rupanya,” jawab Raziel riang, “Bagaimana menurutmu kota ini sekarang? Apakah menjadi makin menarik?”

    Brengsek. Membuatku mual saja.

    “Apa mungkin perlu kutambah---“

    “Berani menyerang lagi, akan kucincang tubuhmu.”

    “Ha… Haha… HAHAHAHAHA!!!! Besar mulut! Tidak bisa berbuat apa-apa, masih saja meracau. Sudah enam juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus dua belas jasad yang hangus karena keterlambatanmu, wahai pemimpin besar! Apakah hanya ini kemampuan seorang Crusader-Saint?”

    “Hampir tujuh juta orang?!” seru Plasma terkejut.

    Bilangan sebesar itu mencekik sel-sel saraf di kepalaku. Pelipisku berdenyut. Keringatku mengucur, meneteskan peluh yang berbeda. Bukan karena kelelahan, namun rasa bersalah. Tatapanku seketika kosong. Tubuhku mati rasa.

    Ah… bagaimana ini… Sudah hampir sepertiga penduduk kota---

    *BLAAAAARRRR*

    Ledakan. Suaranya mengembalikan sedikit konsentrasi panca indraku. Aku mencari sumber suara, ternyata sedikit miring ke atas.

    “Raqia…?”

    Suaraku begitu parau. Lemah. Termakan kekacauan perang.

    “Oi, Da’ath! Da’ath!”

    “Plas… ma?”

    Hey buddy! Sadarlah!!!!”

    Tiba-tiba saja tangan kiriku meninju pipi sendiri.

    “Sampai kapan ingin diam saja?! Majulah dan bantu Raqia!”

    “Eh? Raqia? Memangnya ada a---“

    Rentetan bunyi ledakan sukses total mengantarku ke alam sadar. Polyhymnia, Terpsichore, dan Urania berada berjauh-jauhan, menghadapi pasukan Elilim-class. Sementara Raqia sendiri menghadapi…

    …Raziel dan Atra sekaligus?!

    “Kenapa tidak bilang dari tadi?! Bukannya kamu bisa menggerakkan tubuhku?!”

    “Tidak jika gelombang otakmu kacau! Sekarang cepatlah!”

    Warp Drive sekejap membawaku ke depan Raziel. Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk mengayunkan Energy Buster. Menebas.

    Tetapi kesigapannya tak bisa dianggap remeh. Dia menahan bilah Energy Buster dengan kepalan tangan kiri. Kudorong tubuhku mundur sambil mengarahkan ujung senjata ke arahnya. Tembakan cepat cahaya putih pun melesat.

    Argh, dia menghindar!

    Menyeringai, dia terbang menjauh. Segera kukejar dirinya sembari menembak brutal. Tidak ada yang berhasil membuat satupun goresan pada pakaiannya. Semua berhasil ditahan oleh lingkaran-lingkaran hitam yang terbentuk di sekitar tubuhnya.

    Tidak bisa. Harus ada serangan telak yang tidak bisa dia duga.

    …ah!

    Kuminta Plasma menggerakkan beberapa perisai untuk menembaki Raziel tanpa henti. Aku sendiri terus mengejar sambil terus menembak dengan Energy Buster. Namun aku tidak hanya fokus menembak. Mataku juga sesekali memperhatikan kondisi sekitar, menunggu saat yang tepat untuk menjalankan rencana.

    Begitu posisi Raziel berada di antara diriku dan matahari, segera kuaktifkan Warp Drive. Berpindah hanya kurang dari 1 meter dari Raziel, mengambil posisi antara dirinya dan benda langit itu.

    Tapi… gagal.

    Kupikir dia tidak akan siap karena matahari akan mengganggu penglihatannya, meski hanya sesaat. Namun aku salah. Dia kembali menahan Energy Buster, mencengkramnya dengan tangan kiri.

    Dia benar-benar kuat. Aku merasa tubuhku bergeser. Mungkin aku akan dilempar---

    Atau tidak.

    Sesuatu bersinar beberapa meter di arah kiri, dari salah satu Hypermassive Orbital Defenser. Cahayanya biru. Jelas Plasma yang menggerakkannya ke situ.

    Huh? Biru?

    Tersenyum sinis, dia mengangkat dan mengepalkan tangan kanan. Terciptalah miasma hitam di sekitarnya. Ingin menangkis laser itu rupanya.

    Berkas cahaya biru itupun melesat ke arah pria brengsek di depan. Tetapi…

    “…gghhhh!!” dia menelan jerit.

    Sarung tangan logam yang dikenakan Raziel berlubang karena tembakan, melukai tangan.

    Eh? Dia… terluka?

    Seketika sayapnya mengepak, memberinya momentum untuk mundur beberapa meter. Aku, yang masih sedikit bingung, tak langsung menyerang.

    Jelas saja aku bingung. Kukira Raziel akan membagi berkas laser itu sehingga tidak berefek apapun padanya.

    “A-Apa yang kau lakukan, malaikat tengik?!” serunya sambil menahan sakit.

    “Tanganmu hanya terkena luka bakar sedikit. Sudah ingin menangis?”

    Pertama kalinya aku mendengar Plasma balas meledek. Menusuk pula.

    “Hanya orang bodoh yang tidak tahu cara mengatasi musuh yang sudah ditemuinya dua kali.”

    Dengan kata lain, Plasma memodifikasi laser dari perisai. Laser itu bukan cahaya biasa.

    Tidak boleh kulewatkan kesempatan ini. Satu-satunya momen Raziel tidak fokus. Baiklah, Warp---

    Huh?

    Tidak bisa?

    Tunggu. Ini artinya…

    “Kiri bawah!” seru Plasma.

    Si putri sulung. Lengkap dengan tangan kanan dalam bentuk Ereshkigal Blade, ujungnya bersinar hitam. Terpaksa aku harus terbang manual---

    Kali ini rantai. Senjata sang putri bungsu mengunci kaki dan tanganku. Dia berdiri di permukaan tanah, kiri bawah. Lantas di mana Raqia?!

    “Charon’s Drive: Hades’ Judgement!!!!”

    Inferna melesat. Satu perisai siap menghalangi, terus menembaki. Namun Inferna tidak menghiraukan meski dua kali terkena tembakan. Ujung Ereshkigal Blade pun berbenturan keras dengan perisai.

    O-Ow… Raziel sudah mengambil ancang-ancang ingin menyerang. Tangan kanannya memancarkan aura hitam.

    Aku terkunci. Tak mungkin pula detik ini aku menyusun rencana bersama Plasma, karena Raziel sudah melesat---

    Hei... Rantai yang melilitku terlepas?

    Segera kuayunkan Energy Blade untuk menahan kepalan Raziel. Seberkas laser biru melesat mengenai bahu kanannya. Diapun mundur sedikit. Kurang dari sedetik, sekitarku tak lagi teriluminasi sinar hitam. Warp Drive, kuambil posisi agak jauh di sebelah kanan Inferna. Energy Buster menembak cepat, telak mengenai lengan kanan.

    Kuperhatikan sejenak ke permukaan ---yang dulunya--- jalan. Atra setengah berlutut, bertumpu pada gagang sabit. Aku tahu hanya satu hal yang mungkin terjadi. Warp Drive, sekarang aku berada di sebelah kirinya.

    Pandangan kosong. Nafas berat. Keringat deras. Batuk hebat. Darah terus mengucur dari kedua sisi mulut. Tidak salah lagi…

    “Sudah batasnya. Sedikit lagi dipaksa, tubuhnya bisa hancur,” ujar Plasma.

    Geram, aku berteriak ke langit, “Matikan kalungnya, Raziel!! Atra bisa tamat!!!!”

    “Apa hakmu mencampuri urusan keluarga orang lain, wahai Crusader-Saint yang Agung?! Sampai kiamatpun tidak akan kumatikan alat itu!!” jawabnya berteriak.

    “Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan iblis, Da’ath,” komentar Plasma.

    “T-Tapi---“

    Suaraku tertelan. Sebuah dentuman keras. Raqia. Melesat entah dari mana ---tidak kuperhatikan---, dia melancarkan Spatial Breaker dan berhasil memaksa Inferna mencium permukaan tanah.

    Sebentar. Raziel tidak membalas?

    Hei… dia terus memegangi luka di bahu kanannya!

    “Da’ath!” seru Plasma.

    “Bereeeeesss….!!!!”

    Aku langsung menerjang Raziel yang tak siap. Kuharap tebasan ini akan menjadi yang terakhir, sekali untuk selamanya.

    “HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!!”

    Lingkaran hitam bertuliskan huruf-huruf aneh berdiameter 2 meter terbentuk di depannya, menahan seranganku. Namun itu tak berlangsung lama. Lingkaran itu retak bagai kaca. Pola retakan terus menyebar. Terus kukerahkan tenaga.

    “Game…!!!!!!”

    *KRRRRRRRRRKKKKK*

    “OVEEEEEEEEEEERRRRRRRR…!!!!!!!!!”


    Pecah. Pelindung itu hancur. Tak ada lagi yang menghalangi Energy Buster dan tubuh Raziel.

    “AAAAGGGGGHHHH!!!”

    Telak.

    Bilah Energy Buster menembus, dari perut hingga punggung. Tak ada darah segar. Cairan hitam. Jujur saja, lebih jijik melihat warna darah yang demikian.

    Meski awalnya tangan Raziel menggenggam erat Energy Buster ---berusaha mencabutnya---, namun usaha itu sia-sia. Hingga akhirnya hanya terjuntai lemas. Kutarik senjataku. Raziel pun terjun bebas. Tubuhnya menumbuk tanah, menciptakan kawah kecil. Aku segera mendarat tak jauh darinya.

    “Cukup, Mephistopheles. Keluarlah. Jangan lagi menggunakan tubuh orang yang sudah seharusnya tenang di surga,” ujar Plasma.

    Perkataannya sontak menampar dadaku.

    “Tunggu. Maksudmu…”

    “Raziel yang asli sudah mati lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Da’ath. Data dan potongan ingatanku sangat relevan untuk membuktikannya. Maaf aku belum menceritakannya padamu---“

    “Ada apa?”

    “Sebelah kiri!”

    Inferna. Entah sejak kapan dia ada di situ. Yang jelas dia sedang berlari ke arahku.

    “Tutup mulut busukmu itu!!!!” serunya.

    Sambil berlari, dia terus menembakiku dengan Phlegethon Bombard. Jelas tak ada efeknya pada Sacred Armor. Kepalaku juga tertutup sempurna. Apalagi dengan cara berlarinya yang sudah lemas itu…

    Hingga pada jarak kurang dari 2 meter, tangan kirinya berubah menjadi Ereshkigal Blade.

    Ayunan senjatanya lemah. Bahkan tak perlu tenaga berlebih bagiku untuk menangkapnya dengan tangan kiri..

    Dia berteriak, “Jangan pernah… JANGAN PERNAH KATAKAN KALAU PAPA SUDAH MATI!!!!”

    Kerutan-kerutan terpahat di wajahnya. Kertak gigi ikut melengkapi. Dan jika bukan karena sesuatu yang menemani mutiara darah itu, mungkin aku sudah menembaknya sekarang.

    Kristal-kristal bening mendesak keluar, menggenangi pelupuk mata. Membasahi pipi, membasahi tanah.



    Spoiler untuk Tehillim 55 :


    =======================================
    Tehillim 55: Tide of Discord Part II ~ Megatherion
    =======================================



    “Terimalah kenyataan, Nona Inferna. Orang yang bernama Raziel sudah mati lebih dari dua ribu tahun yang lalu,” ujar Plasma tenang.

    “Beraninya dirimu…!”

    Inferna menghentakkan tangannya untuk melepaskan cengkramanku atas Ereshkigal Blade, namun percuma. Tenaganya lenyap.

    “Anda sudah diperdaya Iblis. Sadarilah hal itu!”

    “BOHONG! Itu bohong---“

    Diapun ambruk. Yang masih sanggup menopang tubuhnya adalah kedua lutut. Kulepaskan genggamanku pada senjatanya.

    Terdengar bunyi keras, asalnya beberapa meter di depan. Raqia, lengkap dengan Chereb HaMemad menusuk seorang Elilim-class, menghantam tanah.

    “Da’ath! Jangan tertipu! Itu cuma tangisan palsu!” seru Raqia.

    Ucapannya mengangkat tanganku. Kini ujung Energy Buster sudah mengarah tepat ke kepala Inferna.

    Plasma menyambar, “Da’ath, stop. Kita belum bisa menyimpulkan apakah dia benar-benar melakukan kejahatan ini atas dasar kebencian pribadi ataukah hanya ditipu Iblis. Jika dia hanya ditipu, sudah seharusnya dia diberi kesempatan hidup dan bertobat.”

    Raqia mencabut pedangnya dan berjalan kemari. “Plasma! Bagaimana bisa kamu---“

    “Belum tentu hukuman mati setimpal untuknya.”

    Telunjuk kiri Raqia mengarah ke sekitar. “Da’ath! Lihat sekelilingmu! Lihat segala kehancuran itu!”

    “Bunuh dia, dan kamu sedang berjudi akan kewenangan Tuhan.”

    Raqia menatapku lurus. “Bukti sudah jelas! Jutaan orang mati sia-sia! Belum lagi yang kehilangan haknya untuk hidup layak karena serangan yang dilakukan dirinya!” Jarinya menunjuk Inferna. “Bukankah dia juga ingin membunuhmu karena dendam?!”

    Inferna masih berlutut di depanku. Menangis, meraung. Entah sungguhan, entah tipuan.

    Sekarang aku benar-benar bingung. Plasma dan Raqia mengajukan argumen yang sama-sama masuk akal. Jika benar Inferna hanya menjadi boneka Iblis tanpa keinginan pribadi untuk menghancurkan, maka mengeksekusinya sama saja dengan melangkahi hak Tuhan atas nyawa seseorang. Namun jika tidak, sama saja aku membiarkan hampir 7 juta orang tidak mendapatkan keadilan dariku sebagai Crusader-Saint, yang sudah dipercayakan kedaulatan untuk memulihkan Bumi.

    Argh… Tuhan, tidak bisakah Engkau bicara saat ini?!

    Seketika segalanya terdiam. Bukan… bukan membisu. Semua suara di sekitarku habis lenyap, termasuk suara kekacauan kota. Mataku hanya fokus pada Inferna. Tangannya tak lagi senjata. Meninju-ninju permukaan. Merenggut tanah dari Bumi. Terus menggema kata “Tidak mungkin”.

    Manakah yang harus kuikuti?


    “Kamu sudah tahu jawabannya.”


    Sontak aku menengok ke kiri, ke kanan. Jelas bukan suara Plasma. Kutanyakan padanya dan Raqia, tidak satupun yang mendengar.

    “Tapi… aku memang merasakan sesuatu,” ujar Plasma tenang.

    Ternyata benar. Itu suara-Nya.

    Kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan perlahan.

    “Plasma, apa kamu punya sesuatu untuk memborgolnya?”

    “Da’ath!” seru Raqia setengah memaki, “Apa kamu tidak tahu---“

    “Plasma benar. Mengeksekusi tanpa keterangan lengkap adalah kesalahan besar.”

    Plasma menjawab, “Sayangnya aku tidak punya tali… Oh, bagaimana kalau Atmosphere Freezer---“

    Inferna… bicara sesuatu? Mulutnya memang membuka-buka bersuara, tetapi aku tidak mengerti apa yang diucapkannya.

    “Tunggu. Yang dikatakan itu…” gumam Plasma. Kemudian dia berseru panik, “Da’ath! Hentikan ucapannya!”

    Sebelum aku melakukan tindakan apapun, udara di sekitar mendadak bergelora. Begitu kuat, bebatuan pun terangkat. Juga berhasil menyapu bersih area sekitar dari armada perisai terbangku. Angin ini bahkan menyeretku mundur beberapa langkah.

    “Plasma!!!! Ada apa ini??!!” tanya Raqia berteriak, untuk menembus amukan angin.

    “Da’ath!!” seru Plasma.

    Tidak ada pilihan lain.

    “Warp---“

    Belum sempat kusebut “Drive”, pancaran hitam menyeruak dari kiri belakangku. Bukankah itu…

    Dugaanku tepat.

    Raziel. Tubuhnya seakan ditarik tali-tali dari langit, diselimuti aura hitam.

    Tak perlu dikomando, aku langsung mengarahkan Energy Buster. Namun sebelum satupun cahaya kutembakkan, perhatianku teralih sebuah ledakan tepat di sebelah kananku. Begitu aku menoleh kembali ke arah Raziel, Inferna sudah ada di sisinya. Tangan kanan Inferna ---mode Ereshkigal Blade--- menggores pipi kiri, kemudian menyentuhkannya pada bibir Raziel.

    “…terlambat…” Plasma terdengar lesu.



    Pada permukaan tanah di bawah kaki Raziel terbentuk emblem lingkaran besar berwarna hitam. Bagian tengahnya bergambar bintang bersudut lima yang terbalik jika berpatokan pada arah depan Raziel. Sisi lingkaran luarnya bertuliskan huruf-huruf yang sama sekali tidak kumengerti, namun pernah kulihat. Ya, sama dengan huruf-huruf di tubuh Charles sebelum diperbaiki Biblos.

    Sinar hitam makin kuat memancar dari emblem. Udara juga makin berantakan, segala puing terpental jauh entah ke mana. Merasa tak mungkin menghadapi keganasan ini, akupun berusaha sekuat tenaga meraih tangan Raqia. Warp Drive. Kami kembali ke langit, berada pada jarak aman.

    Kami memang aman, namun tidak dengan yang di bawah. Sejauh mata memandang, segala sisa bangunan yang masih tegak luluh lantak. Tanah bergoncang gila-gilaan. Dan…

    *WHOOOOOSSSHHHH*

    Dari titik Raziel berdiri, menyeruaklah api ke segala penjuru. Cepat, sangat cepat. Sekejap, pilar-pilar api setinggi beberapa puluh meter terbentuk di banyak titik di tanah. Kobarannya menghanguskan segala yang dapat terlihat dari atas sini hanya dalam hitungan detik.

    Ini harus dihentikan!

    Kuarahkan Energy Buster lurus ke titik Raziel berada, sekarang diselimuti kubah api. Beberapa perisai mengitariku, ikut bersiap menembak.

    Hanya sedetik berselang ---loading belum selesai---, ombak api menjulang tinggi di depanku. Tipis di depan ujung Energy Buster. Otomatis konsentrasiku buyar karena sasaran tak lagi terlihat. Beberapa saat kemudian, ombaknya menghilang.

    Dan di hadapanku telah muncul satu sosok. Siapa lagi kalau bukan Raziel? Di tangan kanannya terdapat bola api. Dilemparnya ke arahku.

    Memang berhasil ditahan oleh satu perisai, namun setelahnya tercipta ledakan beruntun, entah berapa kali mengguncang sekitarku. Tiap ledakan diikuti dengungan bernada tinggi. Meski seluruh tubuh dan kepalaku terlindung, namun penglihatanku tak lagi fokus. Suara yang dapat masuk ke telinga hanya dengungan tadi. Otakku juga tak lagi mampu mengolah informasi apapun. Kepalaku mulai diserang penat.

    Namun kali ini bukan Plasma yang mengembalikan kesadaranku.

    “IBLIS LAKNAAAAAAAAATTT…!!!!!!”

    Raqia. Seruannya menggelegar, mengalahkan kehancuran sekitar. Pedangnya sudah beradu dengan tangan Raziel.

    Sekarang mantan Archangel itu sedikit berubah. Kedua tangannya diselimuti kobaran api hitam. Keempat sayapnya tidak lagi seperti sayap malaikat, melainkan lebih menyerupai sayap kelelawar hitam yang bersisik. Matanya juga sekarang menyerupai mata kucing.

    “Spatial Breaker…!!!!!”

    Sesaat, gelombang udara mengamuk. Sayang, Raziel begitu sigap dan langsung melancarkan serangan balasan. Dia meninju Raqia hingga Archangel kecil itu melesat menghantam tanah membara. Saking kerasnya, api di sekitar lokasi jatuhpun padam.

    Cukup sudah. Tiada ampun lagi baginya.

    Energy Buster beserta beberapa perisai terus menembaki Raziel, laser biru. Tetapi… dia terlalu gesit. Semuanya berhasil dihindari dengan manuver-manuver sinting. Dia membalas serangan dengan menghempaskan puing berapi ---tanpa menyentuhnya--- tepat ke arahku. Tentu saja hancur tertembak lebih dulu sebelum memukul diriku. Bukan hanya itu. Inferna ---entah ke mana saja dia tadi--- ikut menembaki, memecah perhatianku. Untunglah kali ini aku bisa lebih konsentrasi, karena Plasma lebih aktif menerbangkan perisai-perisai. Sebelumnya pikirannya terbagi karena dia juga harus mengatasi Elilim-class yang berada di sekitar.

    Tunggu. Ke mana Polyhymnia, Terpsichore, dan Urania…?



    Terpujilah Tuhan. Baru saja aku terpikir tentang mereka, sederetan meteor bercahaya kuning menghujani Inferna. Raziel mengerutkan dahi melihat pemandangan itu, mungkin tidak mengira masih ada yang hidup selain Akatharton setelah amukan api tadi.

    Kesempatan ini tentu tidak kulewatkan. Warp Drive, aku berpindah sedekat mungkin dengan Raziel. Kulakukan gerakan menusuk tepat ke tubuhnya. Ditinjunya keras-keras, dan dia terbang cepat ke sebelah kiriku. Terbentuk bola api di tangannya.

    Huh? Ada benda kecil melesat dari bawah, tepat ke tangan Raziel---

    *BLAAAAAARRRRR*

    Bola api itu meledak di tangannya sendiri. Sayup-sayup suara gitar di kejauhan jelas memberitahu siapa pelakunya. Terpsichore.

    Sesaat, Raziel menoleh ke arah suara gitar. Ingin kulakukan serangan, tetapi pilar api raksasa dari tanah tiba-tiba membungkus diriku. Dengan cepat tangan Raziel melakukan gerakan menebas ke arah Terpsichore, beberapa puluh meter di sebelah kiri bawahku. Serangan kosong…?

    Tidak. Udara terganggu hebat, seperti terbelah---

    Sial! Itu serangan utamanya, pembagi segala sesuatu!

    “Warp Drive!”

    Tidak berpindah. Api ini mengunci Warp Drive! Argh…!!!!

    Tuhan, kumohon---!!

    .........

    …aku tidak mempercayai mataku. Garis hitam besar terbentuk di udara, dihentikan oleh seseorang tak jauh di depan Terpsichore.


    Raqia menahan serangan Raziel dengan pedangnya?! Dan… BERHASIL?!


    “Pedang itu…” gumam Plasma.

    “Apa yang sudah kalian lakukan dengan senjata itu, hah?!” tanya Raziel, menggelegar, bersuara banyak.

    “Tidak ada,” jawab Plasma singkat.

    Malaikat surga tidak mungkin berbohong. Aku yakin para iblis tahu hal itu. Raziel hanya bisa tertegun, kemudian menggertakkan gigi.

    “Kenapa diam saja, iblis jelek?” ledek Raqia, sudah berada di sisiku. “Ingin kembali ke neraka? Oh, dan lihat ke bawah. Kebakaran sudah berhasil diatasi.”

    Aku ikut menoleh ke bawah. Area di bawahku sudah tak lagi berkobar. Amukan api seakan tersedot--- Bukan. Benar-benar disedot ke satu titik, tak jauh di depan kanan. Polyhymnia dengan Field Energizernya.

    “Ha… Haha… HAHAHAHAHAHA!!!!!!”

    Raziel terbahak. Matanya melebar, menunjukkan keempat taring pendek pada rahangnya.

    “HANYA INI SAJA YANG BISA KALIAN LAKUKAN?!”

    Diangkatnya tangan kanan tinggi-tinggi. Sekejap, pilar api hitam menyelimuti tubuhnya. Begitu tinggi pilar itu, sampai ke awan-awan. Tapi… aneh, tidak ada satupun serangan yang dilakukannya terhadapku dan yang lainnya.

    Raqia menarik tanganku. “Da’ath, lihat kura-kura itu…” Telunjuknya mengarah pada salah satu kura-kura Akatharton.

    Di bawahnya tercipta emblem hitam besar, seperti yang muncul di bawah kaki Raziel tadi. Kedua meriam di punggungnya sedikit naik. Bola api terbentuk di ujungnya, siap menembak. Tapi menembak apa…?

    “Tidak mungkin. Jaraknya terlalu---“

    Komentar Plasma terhenti ketika kura-kura itu menembak…

    …dan menghantam target yang begitu jauh. Kobaran api terbentuk di tapal horizon.

    Ketika aku kembali menoleh ke arah Raziel, batas cakrawala di arah berlawanan sudah menyala terang. Yang tadinya diselimuti asap, sekarang tertutup garis cahaya setebal dua jempol yang didempetkan.

    *WHOOOOOOSSSHHHHHH*

    Bola-bola api mengamuk di langit--- Tidak. Lebih tepatnya langit membara dalam sekejap, tak lagi bisa kulihat warna biru. Gelombang demi gelombang tembakan terus meraung mencakar angkasa. Dan… semuanya itu jatuh sangat jauh, menciptakan kepulan api dan asap di batas cakrawala yang berlawanan.

    Raqia ingin terbang maju. “Makhluk sialan---“

    “Lalu apa? Mau membunuhku?” ledek Raziel, “Kalian pikir dengan membunuhku masalahnya selesai? Lagipula tujuh juta nyawa tidak akan kembali, dasar bodoh! Oh, mungkin jadi lebih banyak karena serangan artileri ini.”

    Tubuhku mendadak gemetar. Benar apa katanya. Aku terpojok. Harus kuakui strateginya sangat brilian. Dia tahu kalau aku tidak mungkin melindungi semuanya, dan dia memanfaatkannya dengan sempurna. Apapun yang kulakukan setelah ini tidak ada gunanya. Korban akan terus bertambah tiap menitnya. Bahkan Plasma tidak menembakkan satupun laser modifikasinya ke arah Raziel. Artinya, makhluk sekelas Plasma pun berhasil dibuat mati kutu.

    Semua kegilaan ini memaksaku mendarat. Jiwaku benar-benar lelah. Ketika kakiku menyentuh tanah, Polyhymnia, Terpsichore, dan Urania terbang mendekat. Sementara Inferna sudah berdiri di sebelah kanan Raziel.

    “Yang Mulia Crusader-Saint! Apa yang harus kita lakukan sekarang?!” tanya Polyhymnia panik.

    “Diamlah sebentar,” jawabku.

    “Tapi Yang Mulia!---“

    Raqia menarik Polyhymnia mendekatinya. Archangel kecil itupun menggelengkan kepala. Isyarat bagi Eleutherian-class itu untuk diam.

    Sekali lagi Raziel mengolok-olok, “Hahahaha!! Sudah mau menyerah? Bersujudlah jika itu yang kau inginkan!”

    Cih, aku menolak bersujud pada siapapun selain kepada Tuhan semata. Tetapi… apa yang bisa kulakukan saat ini? Aku juga harus bertanggung jawab atas---

    “Berusahalah sekuat tenagamu. Jangan menyerah.”

    Suara-Nya lagi, bicara dalam benakku. Aneh, sungguh aneh. Dadaku berubah sejuk, tak lagi kurasakan kobaran kota yang luluh lantak.

    …baiklah…



    “Raqia, ikut atau tidak?” tanyaku pelan.

    “Eh?” Dahi Raqia mengerut. “Sebentar. Apa kamu…”

    “Kalau tidak mau, kembalilah.”

    Dia menatap jauh ke dalam mataku. Menggenggam tanganku, kemudian tersenyum.

    Artinya, Raqia siap mati bersamaku.

    “Kalian bertiga, dengar baik-baik. Segera berpencar ke tiga arah berbeda. Jika kalian menemukan Clio, Euterpe, ataupun Archangel lain, segeralah ke benteng besi raksasa yang melayang di langit, di selatan sana.”

    Terpsichore merespon, “Da’ath, jangan bilang kalau…”

    “Ini perintah,” tegasku.

    “Tunggu apa lagi, wahai Crusader-Saint Yang Mulia! Bersujudlah dan akan kuhentikan pembantaian ini!!” seru Raziel.

    Kata-kata busuk itu tidak akan menipuku. Mempercayai iblis adalah ketololan luar biasa.

    “Plasma, begitu kuaktifkan Atmosphere Freezer, pindahkan aku dan Raqia sejauh mungkin ke utara.”

    Tidak ada penolakan dari Plasma. Sepertinya dia sudah tahu apa yang ingin kulakukan.

    “SEKARANG!”

    Ketiga anggota Indagator itu segera melesat ke arah berbeda. Langsung saja kuaktifkan Atmosphere Freezer. Suhu udara di sekitar Raziel dan Inferna jatuh bebas, memenjarakan mereka berdua dalam es yang sangat tebal. Kuraih tangan Raqia, lalu Warp Drive.



    Tepat ke tengah-tengah gerombolan kura-kura berpunggung meriam. Sejauh mata memandang, hanya ada mereka dan Akatharton lain dalam aneka bentuk.

    Satu bola api yang melaju ke arah kami segera dipukul oleh Raqia. Dia memanggil Chereb HaMemad raksasa, menancapkannya ke tanah, lalu melancarkan Spatial Breaker. Kali ini keganasannya di luar batas kewajaran, menelan apapun dalam radius sekitar 1 kilometer. Kususul dengan menembaki semua musuh yang masih nampak.

    Belum selesai. Aku dan Raqia terus terbang menyusuri langit dan menghajar apapun yang terlihat. Dan sejauh ini, tidak kutemui satupun Angel-class ataupun manusia biasa. Sepertinya wilayah utara kota sudah sepenuhnya dikuasai Akatharton.

    Hingga terdengar suatu seruan di kejauhan. Meraung. Mendekat.

    Aku sudah menduga kalau Raziel akan dapat lolos tanpa kesulitan berarti. Jadi, pekiknya tidaklah mengejutkan. Melesat cepat, dia melancarkan tinjunya padaku. Kepalannya terbungkus api hitam. Tertahan satu perisai, tetapi kobaran apinya meluas menutupi sekitarku. Beberapa perisai segera menembakinya dengan sinar biru, tetapi terus meleset--- Tidak. Ada satu yang mengenainya, asalnya dari arah kanan. Memang berhasil ditahan olehnya, tetapi…

    …emas?

    Jelas bukan dari armada perisai terbang.

    “Maoriel!!!!” seruku girang.

    “Da’ath-sama!! Anda baik-baik saja?!”

    Betul. Itu berasal dari Astral Satellite yang melayang di atas kedua bahunya – Stella mode senjata, lengkap dengan Sola dan Luna terpasang pada tangan. Meski pakaiannya penuh noda abu dan robekan, tetapi dia masih berdiri gagah di langit.

    Belum sempat kubalas, beberapa tembakan mengenai Maoriel. Ternyata dari Inferna, sambil melesat terbang. Dia masih belum juga menyerah.

    “Kita belum selesai, Crusader-Saint!!” seru Raziel sambil melempar bola api.

    Tidak ingin terjebak ledakan-disusul-dengungan seperti tadi, segera kuaktifkan Warp Drive. Bukan menangkisnya. Raqia menyusul dengan Spatial Breaker jarak jauh, yang berhasil dimatikan Raziel dengan tebasan khayalnya. Walhasil, ledakan tercipta beberapa meter di depan Raziel. Segera api hitam menyeruak ke segala arah dari tangan kirinya. Ingin kuaktifkan Warp Drive lagi---

    Sial. Inferna! Sejak kapan dia mengaktifkan Charon’s Drive?!

    Raziel sudah bersiap ingin melempar lagi bola api padaku. Tapi tidak. Perhatiannya teralih ke arah Inferna yang menjerit.

    Perempuan setengah mesin itu berseru, “Kurang ajar!!!! Beraninya---“

    “Gadis nakal harus dihukum.”

    Suara itu…

    “Tselemiel!!!!”

    “Yo, Crusader-Saint,” jawabnya sambil tersenyum lebar.

    Plasma berseru memanggil, “Yang Mulia! Ada titipan dari Erato untuk Anda!”

    Seketika terbentuk palu besar itu, Electromagnetic Exciter, di hadapan Tselemiel.

    “Sejak kapan kamu membawanya?” tanyaku.

    “Sebelum kita pergi.”

    “Hoho! Terima kasih, Plasma!!” seru Tselemiel.

    Seingatku, Inferna lemah terhadap palu itu karena bagian-bagian tubuh mesinnya sensitif terhadap sambaran petir.

    Cuma mereka?

    Tidak.

    Garis-garis cahaya perak beruntun menembaki duet antagonis. Jarak antar tembakan begitu cepat, sangat cepat. Satu-satunya yang bisa menembak seperti itu hanya…

    “Maaf lama menunggu. Ada sedikit masalah tadi,” sapa sosok itu sambil tersenyum kecil.

    Pemburu dari padang rumput, Kanaphiel. Lengkap dengan sepasang Entropic Thermo-Revolver.

    Jumlah mulai berkata lain. Kondisi berbalik. Dahi Raziel berkerut tajam, seringainya tersingkap, matanya mengarah ke Tselemiel. Dia panik.

    “Menyerahlah, Raziel!” seruku.

    Tidak ada jawaban.

    Maoriel sekali menembakkan Luminary Blastnya ke arah horizon, ke gerombolan Akatharton yang masih padat. Semua lenyap dalam sekali telan. Puluhan rentetan tembakan dilancarkan Kanaphiel tanpa ada satupun yang meleset. Akatharton dalam jumlah yang sama sukses dilenyapkan. Juga sambaran petir sempat berkilau terang dari sebelah kiri. Dan sepertinya Raqia juga tidak mau ketinggalan. Pada arah yang berlawanan dengan Maoriel, kudengar dentuman Spatial Breaker. Raziel pun lurus menatapku sambil menggeram.

    “Dengan jumlah seperti ini, kami bisa menghabisi Akatharton dalam jarak seratus kilometer kurang dari tiga puluh menit. Menyerahlah seperti kata Crusader-Saint, Mephistopheles,” tambah Plasma.

    Jawabannya? Hanya tawa. Keras. Terbahak.

    “Menyerah, katamu? MENYERAH?!”

    Kembali, pilar api hitam terbentuk, menjulang hingga langit. Memang cukup jauh dariku dan Archangel lainnya, tetapi… aku merasa ini pertanda buruk.

    “TIDAK AKAAAAAANNNN…!!!!!!!”

    “Tunggu. Aku mendeteksi sesuatu…” ujar Plasma.

    “Plasma, ada apa?!”

    “Distorsi dimensional, Da’ath! Dia sedang membuka batas empat dimensi alam semesta dengan sisa vektor dimensi lainnya!!!!” jawab Plasma panik.

    “Apa?!”

    “Tunggu. Bukan cuma itu---“

    Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja sekitarku menjadi aneh. Pemandangannya berubah-ubah tiap detik, sesekali bergetar layaknya riak pada kolam ataupun sungai ketika kulemparkan batu. Langit juga, terus berganti warna menurut urutan warna pelagi. Setelah semuanya itu, segala yang ada di sekitar “terpotong” menjadi kubus-kubus yang terus berganti-ganti sisi dan warna.

    Amukan pilar api hitam di sekitar Raziel membesar sejenak, kemudian lenyap. Diacungkannya telunjuk kanan tinggi-tinggi. Seberkas cahaya hitam melesat lurus ke atas, terhenti di udara, kemudian berubah menjadi lingkaran hitam seperti yang muncul di kaki Raziel saat sayap dan matanya berubah. Begitu besar lingkaran hitam itu, mungkin sebesar Mobile Fortress. Loncatan-loncatan petir mulai muncul di sekitar lingkaran.

    Dan… sesuatu muncul dari situ.

    “Pesawat raksasa itu berhasil dibuat?!” seru Plasma, terkejut.

    Ya, pesawat raksasa. Keluar perlahan, mulai dari ujung depan. Sekitarku dibuat bergetar hebat ketika benda itu muncul.

    Bentuk dasarnya mirip Energy Buster, seperti pedang yang dibelah memanjang. Sempat pula kudengar Plasma yang menyebutnya “kapal induk”. Kurasa panjangnya nyaris 2 kilometer, tinggi sekitar 200 meter, dan lebar kira-kira 450 meter. Badan pesawat didominasi warna hitam, beberapa lampu hijau berkedip di beberapa titik. Pada tepian lambungnya kulihat bingkai-bingkai kotak berjajar. Sepertinya pintu atau sejenisnya.

    Tepat ketika seluruh bagian pesawat keluar, lingkaran hitam itu lenyap. Pemandangan sekelilingku juga kembali menunjukkan Ohr-Nisgav yang setengah hancur.

    Tinggi di langit, burung raksasa itu menghadang Matahari.

    Raziel tersenyum sinis, menaruh tangan kanannya di depan dada seperti pelayan, kemudian berkata, “Biar kuperkenalkan, Crusader-Saint. Multi Dimensional Battleship, Megatherion. Anti-Divine Technology terbesar yang pernah dibuat umat manusia.”

    Plasma bertanya keras, “Apa yang akan kamu perbuat dengan benda itu, Mephistopheles?!”

    Layar holografik tercipta di hadapan Raziel. Telunjuknya menyentuh layar. Terdengar dengungan keras, asalnya dari bagian depan pesawat. Bola cahaya merah terbentuk di situ.

    Raziel tersenyum licik, menyingkapkan taring.

    “Tunggu. Posisi pesawat itu… Dia… benda itu akan menembak Mobile Fortress!!!!” seru Plasma.

    “Apa?! MENEMBAK?!”

    *BLAAAARRRRRRR*

    Ledakan. Bukan, bukan energi pesawat yang ditembakkan. Chereb HaMemad raksasa menghantam badan pesawat, diikuti gempuran Spatial Breaker.

    “Kamu pikir akan kubiarkan hal itu, hah?!” seru Raqia.

    Sekali lagi. Dentuman dahsyat tercipta.

    “HAHAHAHAHAHA!! Coba saja terus!!!!” ledek Raziel.

    “Plasma, kita coba juga.”

    “Roger!”

    Tidak ada satupun persenjataanku yang tidak menembak. Namun… nihil. Tergores pun tidak. Entah apa yang digunakan sebagai bahan badan pesawat.

    Sesaat setelah laser terakhir lenyap, Raziel kembali melancarkan serangan. Ratusan puing kota menghujani, ditemani bola-bola api hitam. Selagi sibuk dengan badai batuan berapi, telunjuk kiri Raziel menembakkan sesuatu ke arahku. Percaya atau tidak… pola hentakan energinya sama persis dengan Energy Buster. Bedanya, berwarna hitam.

    Ini gila. Dia bisa menduplikasi kemampuan Plasma?!

    “Tidak bisa, Da’ath. Kita harus mundur. Lima menit lagi berhadapan dengannya, bisa-bisa seluruh fiturku ditiru seluruhnya,” ujar Plasma, agak panik.

    “Konsentrasi, Crusader-Saint!!!!”

    Seruan Raziel diikuti tinju berapi. Kali ini dua perisai sukses dikonversi menjadi pasir. Kekuatannya seperti mengganda.

    “Yiiiii…. haaaaaaa!!!”

    Huh? Siapa---



    *BHUUUUUMMMMMMMMMM*

    Longinus!

    Tombak putih itu berhasil menghempaskan tubuh Raziel, menabrak satu kura-kura raksasa. Akatharton itupun lenyap ditelan api dan asap.

    “Ulala… sepertinya tadi dia bengong, sampai-sampai tidak melihatku. Wuhahahaha!” Tubuhnya melayang begitu saja setelah menabrak Raziel.

    “Nuachiel!” seruku dan Raqia bersamaan. Sosok bermata ungu itu nampak di langit timur. Diapun segera melesat menghampiri.

    “Papa tidak apa-apa? Raqia, kamu juga bagaimana?” tanyanya.

    Raqia mengedipkan sebelah mata dan mengangkat jempol. Dia masih melancarkan Spatial Breaker untuk menjatuhkan pesawat itu.

    Kujawab, “Tidak ada masalah dengan kami. Kalau kamu? Dari mana saja sejak tadi?”

    Dijawabnya, “Beberapa belas kilometer dari---“

    “HEAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!!!”

    Dari bawah, Raziel. Nuachiel begitu sigap menangkal serangannya. Ujung tombak dan tinju berapi beradu, membakar udara sekitar.

    “Mind Blessing: Neural Overclock!”

    “Tunggu! Nana!!!!” panggil Plasma, berteriak. Namun sia-sia. Nuachiel segera menyeret iblis itu jauh dari tempatku dan Raqia berada.

    Tapi… dia memanggil Nuachiel sama seperti Raqia. Nama panggilan itu menular?

    “Tidak bisa. Kapal itu keras sekali,” komentar Raqia.

    “Bahkan pistol ini tidak bisa membuat satupun lubang… Aku heran, pesawat macam apa itu…?” tambah Kanaphiel.



    Tiba-tiba kudengar suara mendesis di kedua sisi telinga. Ada transmisi masuk. Biblos.

    “Da’ath! Kak Metatron! Aku mendeteksi benda raksasa dan energi yang mulai mengumpul di kejauhan! Tadi di titik yang sama juga ada distorsi! Akan kuberitahu koordinatnya, biar kalian ke sana!”

    “Tidak perlu… Kami sudah di sini,” jawabku lemas.

    “Eh?! Kalau begitu coba laporkan! Aku tidak bisa mengetahui benda itu secara pasti! Hanya radar biasa yang bisa digunakan, plus sedikit kemampuanku untuk mendeteksi gangguan ruang-waktu!”

    Plasma menjawab, “Sandalphon, dengar instruksiku baik-baik. Segera aktifkan itu. Secepatnya.”

    Itu?! Maksud kakak--- Tunggu. Sebenarnya ada apa di sana?!”

    “Jalankan saja!”

    Terdiam sesaat, Biblos menjawab, “Baiklah. Lima belas menit.”

    “Tidak bisa dipercepat?!”

    “Itu sudah paling cepat untuk area paling minimum dengan diameter empat puluh kilometer! Kakak sudah tahu sendiri, kan?!”


    “Baiklah. Lebih baik dibanding tidak sama sekali. Semoga Tuhan melindungi.”

    “Mmm!”

    Transmisi mati.

    “Jadi… kita mundur?” tanyaku ragu.

    “Ya,” jawab Plasma tegas. “Dalam lima belas menit, kita harus sudah berada dalam Shield of Immanence buatan adikku. Barrier itu hanya dapat dihancurkan olehnya dan Tuhan sendiri. Akupun tidak bisa.”

    “Kamu jemput Nuachiel, biar aku dan Kana ke Maoriel dan Tselemiel. Oke?” respon Raqia.

    Kulihat sosok Nuachiel di langit timur. Warp Drive, aku langsung berada di sisi gadis berpita rambut ungu itu. Kuraih tangannya, lalu melesat ke arah selatan.

    “Pengecut! Jangan lari kalian!!!!” seru Raziel yang mengejar di belakang.

    Tidak, aku tidak boleh melawannya. Sedikit saja terlambat, aku akan tertinggal di luar. Jika aku tetap ingin masuk, Biblos harus mematikan barrier saktinya itu dan Raziel bisa dengan mudah menyerang Mobile Fortress. Terlalu beresiko. Maka kuminta Plasma terus menembak ke belakang dengan armada perisai terbang. Selama terbang, aku hanya fokus ke depan untuk memastikan letak benteng besi raksasa.

    “Papa, kenapa kita kembali sekarang?” tanya Nuachiel.

    “Tidak ada jalan lagi.”

    “Lalu bagaimana dengan yang lain?!” Dia nampak panik.

    “Papa… tidak tahu.”

    “Bagaimana dengan Clio?! Lalu Euterpe?! Dan Paman Uriel?!”

    Jawabanku hanya sebuah bisu.

    “Papa! Ke mana mereka?!”

    “Sejak tadi… tidak kelihatan…” jawabku lemas.

    “Kenapa Papa tidak cari---“

    Pertanyaannya terpotong oleh Plasma. “Da’ath, Mobile Fortress sudah terlihat.”

    Betul apa katanya. Kecil, mengambang di atas kaki langit. Baguslah. Kalaupun Raziel masih mengejar, setidaknya bisa ditahan dulu sebentar---

    Atau tidak.

    Kemunculan barisan Akatharton di depan menunda pesta kelegaan.



    Cukup tebal, entah berapa belas barisan membentang. Raqia, Maoriel, dan Tselemiel juga ikut berhenti. Ketiganya pun mendekat.

    Raqia menggeram. “Sial, mereka banyak sekali…”

    “Kita terobos saja!” sahut Tselemiel.

    “Tidak bisa! Raqia lemah terhadap mereka. Bisa-bisa dia tertinggal,” jawabku.

    Gerombolan makhluk jelek di depan, iblis busuk di belakang. Ingin kugandeng Raqia lalu Warp Drive langsung ke Mobile Fortress, tetapi… tidak. Aku tidak boleh egois. Bisa-bisa yang lain habis ditelan. Kalau kutinggal, aku tidak yakin Nuachiel bisa berlama-lama menghadapi Raziel.

    O-Ow… Raziel siap melancarkan serangan berikutnya!!

    Tunggu. Suara gangguan udara? Ada yang terbang mendekat…?


    …wow.


    Dari bawah, sepasukan manusia besi bersayap melesat. Semuanya hitam. Tingginya kira-kira sama seperti orang dewasa normal. Posturnya lebih mirip wanita langsing dibanding pria tegap. Berpundak lancip, berkaki tajam. Tidak ada daun telinga, hanya dua plat logam sekitar dua jengkal panjangnya. Tidak punya mata, hanya garis ungu membentang dari pelipis ke pelipis. Kedua tangannya dilengkapi bilah logam sepanjang tangan orang dewasa. Entah berapa banyak, namun sepertinya bisa mengimbangi jumlah Akatharton yang ada di depan. Satu per satu Akatharton itu habis ditebas.

    Tunggu. Ada satu yang berbeda. Yang ini lebih mirip baju zirah berjalan meski warnanya sama-sama hitam. Dia menghampiri.

    “Yang Mulia sekalian tidak apa-apa?” tanyanya. Suaranya seperti suara mesin, tetapi… kenapa sepertinya kukenal…?

    “Kau… KAAAAAUUU!!!!!”

    Raziel benar-benar mengamuk. Dua kali melakukan jurus-pembagian-segala-sesuatu ---yang berhasil dihindari semuanya---, kemudian disusul gempuran sulur-sulur api yang menari sinting seperti Multibeam Lightdrone Uriel.

    Tanpa rasa takut, baju-zirah-bicara itu menerjang ke arah Raziel. Berkali-kali terjadi adu kekuatan di antara keduanya. Aku masih heran, siapa sebenarnya orang itu…?

    Makhluk bersayap kelelawar itu memekik, “Kau pikir dengan senjata itu bisa mengalahkanku, HAH?!”

    “KALIAN SEMUA CEPAT PERGI!!!!!!”

    Jerit parau ksatria besi itu sampai ke telinga. Kupasang telingaku baik-baik. Tidak salah lagi. Warna suaranya jelas pernah kudengar.

    ………

    Tunggu. Aku tahu. AKU TAHU SIAPA YANG ADA DI DALAM BAJU BESI ITU!!!!

    ...oh tidak... apa yang harus kukatakan pada kakakku nanti?!



    Tiba-tiba saja transmisi dari Biblos masuk.

    “Da’ath! Kakak! Sudah masuk jangkauan atau belum?!”

    “Sedikit lagi. Ada masalah di sini. Berapa menit waktu tersisa?” tanya Plasma.

    “Empat menit, Kak! Ayo, cepat!!”

    Barisan Akatharton memang sudah tidak setebal tadi. Tapi… orang itu… Jelas aku harus menolongnya. Aku ragu ingin lanjut maju.

    “Da’ath, stop. Aku tahu kamu akan berbalik. Hentikan niatmu,” ujar Plasma.

    “Kumohon! Pastilah masih sempat---“

    “Kuminta dengan hormat untuk menuruti saranku kali ini.”

    “Tapi, Plasma!”

    “Tidak, atau aku akan mengambil alih kendali pergerakan tubuhmu.”

    Argh, aku ingin menangis rasanya…

    “CEPATLAAAAAAAHHH---“

    Teriakan orang berbaju zirah itu tiba-tiba terpotong. Aku tidak berani menengok ke belakang…

    Tuhan, jika Engkau menghendakinya selamat, maka selamatlah. Jika tidak… terimalah dia di sisi-Mu…

    Kutarik nafas dalam-dalam.

    “Semuanya! Kita terobos!” perintahku.

    Kamipun mulai melesat sambil menembaki segala sisa Akatharton yang masuk jarang pandang. Terus kugandeng Raqia erat-erat.



    Tetapi, kurang dari lima belas detik kemudian…

    Plasma berteriak panik, “Da’ath, dia menembak! DIA MENEMBAK!!!!”

    Kutengok sejenak ke belakang---

    *WHOOOOOOOOOOOOOSSSSSSHHHHHHHHHHH*

    Energi merah raksasa melesat lurus, mengalahkan kecepatan terbang. Parahnya lagi, lajunya mengganggu udara sekitar, menghempaskan apapun yang berada di jalurnya. Itu termasuk diriku dan para Archangel.

    “BIBLOS! Nyalakan saja!! NYALAKAN!!!! Biarkan kami di luar!!!!”

    “Tidak bisa, Da’ath! Dua menit lagi---“

    Kumohon, Tuhan! KUMOHON!!!!!!

    Setelahnya aku tak sanggup lagi membuka mata. Tembakan itu menghantam sesuatu, menyilaukan ruang-waktu…

    …………

    ……


    …dan berhenti di udara.


    Huh, udara?

    Itu… ITU…!!!!

    Oh Tuhan… terima kasih.

    Spontan, aku dan Raqia menyerukan namanya.

    “Tenebria!!!!!!”

    Keperkasaan Charles kembali terbukti. Tenebria menggenggamnya erat dengan kedua tangan, menahan cahaya kemusnahan. Energi merah dan kobar miasma hitam berbenturan. Darah kehancuran dan tembok kegelapan beradu kekuatan. Paduan kemilau warna yang mengerikan, sekaligus sedikit melegakan.

    Sekali lagi, keduanya berhasil menyelamatkan di saat-saat genting. Kamipun berhasil masuk ke dalam jangkauan Shield of Immanence buatan Biblos enam detik sebelum barrier transparan itu terbentuk. Saking kesalnya, Raziel sempat melemparkan sebuah bola api. Tapi nihil. Meledak begitu bersentuhan dengan penghalang tanpa bisa menembus. Sebagai ungkapan kegembiraan, Raqia langsung memeluk sahabatnya itu.

    Syukurlah, setidaknya yang terselamatkan bertambah satu.

    Tapi tunggu.

    Di mana Uriel…?




    =============================


    Spoiler untuk Trivia :

    • Megatherion (Greek) = large beast

    Last edited by LunarCrusade; 23-10-14 at 14:41.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

Page 14 of 14 FirstFirst ... 41011121314

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •