Page 2 of 3 FirstFirst 123 LastLast
Results 16 to 30 of 33

Thread: Rainie VS Rainy

http://idgs.in/594854
  1. #16
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    Author : Tsundere
    Genre : Annual Life Activities, Romance


    Spoiler untuk Chapter 3 :
    Jumat, 17 April 2009
    Hari ini adalah hari UAN terakhir, Sosiologi. Aku? Menyentuh buku sosiologi pun tidak. Apa yang harus aku pelajari, selama aku tidak pernah peduli dengan pendidikanku sejak orangtuaku melarang apa yang aku hendaki. Aku selalu berpikir, apabila aku tidak naik kelas, apakah ada kemungkinan orangtuaku akan benar-benar melihat apa yang ku mimpikan selama ini?

    “Kalau si Rainie lagi sedih sambil tidur-tiduran di meja gitu, pasti langit langsung gelap tuh! Hahahaha”

    “Hahahaha. Ngacooo. Emang kapan tuh anak kaga sedih? Sedih terus kali dia, kalo emang bener tiap sedih, langit bakal gelap, tiap hari dong gelapnya? Hahahaha”

    Bisikan-bisikan seperti itu sudah sering aku dengar di saat jam istirahat sekolah, ataupun sebelum bel berbunyi tanda masuk kelas. Ada kemungkinan aku hanyalah satu-satunya murid SMA yang tidak peduli dengan siapa teman sekelasku dan siapa nama mereka. Untuk apa menghafal nama mereka, di saat yang mereka lakukan padaku hanyalah mencela aku setiap harinya?

    Setidaknya, hari ini adalah hari terakhir aku akan berada di sekolah ini. Setelah UAN ini berakhir, anak-anak kelas 3 akan diijinkan berada sepuasnya di rumah. Diriku bahkan tidak mengingat tanggal berapa aku diwajibkan untuk kembali ke sekolah untuk class meeting2 , pembagian raport dan pengambilan ijazah.

    Sesungguhnya, aku ingin lulus dan keluar dari sekolah ini secepat yang aku bisa. Sekolah yang hanya membuang waktuku setiap hari dan yang pada akhirnya hanya menambah beban pikiranku. Namun, di lain sisi, adalah baiknya jika aku tidak lulus. Dengan cara apapun, aku selalu berusaha untuk membuat rencana orangtuaku tertunda. Ya, tertunda. Aku tahu rencana orangtuaku memang tidak akan pernah dapat digagalkan. Mereka tidak akan pernah mengerti.

    Sabtu, 23 Juni 2001
    “IBUUUU!! Rei udah selesaiii! Rei tunggu di depan yaaaa!” teriakku bersemangat, sambil berlari kecil keluar dari rumah.

    Hari ini adalah hari pengambilan raportku. Walaupun aku masih duduk di kelas 4 SD, semangat belajarku tinggi. Aku selalu belajar dan mengerjakan setiap pekerjaan rumah setiap malam. Siang harinya sepulang sekolah, aku selalu bermain dengan Sunny, dia seringkali memaksa aku untuk belajar menggambar. Ah, tapi gambar memang bukan bakat dan hobiku. Gambar yang menjadi rutinitasku adalah gambar gunung dengan matahari di antaranya, serta sawah dan sungai kecil di bawah gunung. Ah, sungguh memalukan jika dibandingkan dengan kakakku. Sunny sangat pandai menggambar dan mewarnai. Nilai seni lukisnya selalu di atas rata-rata, sedangkan aku? Nilai 70 sudah menjadi kategori “memuaskan” untukku.

    “AAAAAAHHH HUJANNNN!!” teriakku sambil berlari masuk ke dalam rumah kembali.

    “Ibuuuuu! Ibuuu! Hujannnn derass!”

    Tidak lama kemudian, Ibu pun akhirnya keluar dari kamarnya dan menanyakan mengapa aku berteriak.

    “Hujan deras, Bu. Kalau hujan deras, berarti hari ini, harinya Rei kan ya?” ucapku dengan manja.

    Orangtuaku pernah bercerita bahwa asal mula namaku adalah karena aku lahir di saat hujan sedang turun sangat deras. Ah, aku sangat menyukai hujan. Hujan selalu menjadi pertanda bahwa aku akan melewati satu hari yang baik.

    “Ayo Rei, naik ke mobil langsung ya. Jangan sampai kehujanan. Rei kecil memang lahir saat hujan, tapi bukan berarti kamu ga bisa sakit kalau kena hujan.” kata Ibu sambil tersenyum kecil.

    “Ga mau naik ke mobil. Mau main hujan! Bweeek!” sahutku sambil menjulurkan lidahku.

    Ibu memasang muka seakan-akan ia sedang marah denganku. Aku hanya tertawa dan aku segera naik ke mobil, menuju sekolah, dan mengambil raportku.

    “Selamat pagi, Leona.” sapa guruku sambil tersenyum saat melihatku masuk ke dalam kelas.

    Di sekolah, aku memang dipanggil Leona. Bagiku, tidak ada masalah yang berarti, karena menurutku Leona juga namaku dan enak didengar.

    “Pagi, Bu! Gimana raportnya Leona? Bagus ga? Nanti kalau ga bagus, Ibu marah sama aku!” sahutku ceria sambil melirik ke arah Ibuku di sebelah.

    “Selamat pagi, Bu. Ini raport Leona. Nilai Leona mengalami peningkatan lagi dan ia masih berada di peringkat pertama di antara 54 murid. Ibu pasti sangat bangga memiliki anak perempuan manis dan pintar seperti Leona.” puji Ibu Guru.

    “Asiiikkk! Ibu aku juara 1 lagi!” loncatku kegirangan.

    “Rei, sini dulu. Ga boleh gitu dong. Harus bilang apa sama Ibu Guru?” muka Ibuku mendadak berubah sangat serius.

    “Oh iya, makasih ya Bu guru! Kalau ga berkat Ibu guru, Leona juga pasti ga bisa kayak gini!”

    Ibu memang selalu serius dalam mengajarkan sopan santun dan tata krama dalam bersosialisasi dengan orang lain, terlebih dengan orang yang lebih tua. Menurut Ibuku, selain nilai akademik yang baik, aku juga harus dituntut untuk selalu sopan dengan sesama.
    Sepulangnya dari sekolah, aku mengingat bahwa Ibu pernah menjanjikan akan membelikan hadiah jika aku masih bertahan di peringkat pertama. Sesungguhnya aku sangatlah kebingungan bagaimana meminta hadiah itu, namun akhirnya dengan ketakutan aku bertanya,

    “Ibu, waktu itu Ibu pernah bilang ada hadiah kalau aku juara 1 kan ya?”

    Aku sangat ketakutan bila Ibu menjadi marah karena aku hanya mengharapkan hadiah. Ibu tidak pernah suka apabila anak-anaknya mendapatkan prestasi karena hanya ada barang yang dijanjikan. Namun Ibu dengan tertawa kecil menjawabku,

    “Iya, hadiahnya udah ada di kamar Rei kok. Coba di cek aja. Ibu kan memang sudah tahu bahwa Rei bakal juara 1 lagi. Makanya tadi Ibu rada lama keluar rumahnya, kan Ibu mau memastikan dulu kalau hadiahnya baik-baik saja.”

    “Makasih Ibu!” pelukku, lalu berlari menaiki tangga, menuju kamarku.

    “Waaahh, buku apa nih? Tebel banget! Haaaa tulisan semua isinya. Kok ga ada gambar begini. Gimana nih bacanya?” gumamku kebingungan, sambil membolak-balik halaman buku dari depan ke belakang, dan sebaliknya.

    Malam itu dan hari-hari berikutnya aku habiskan untuk membaca buku yang belakangan ku ketahui namanya adalah sebuah novel. Sejak hari itu, aku sangat suka membaca dan setelah novel itu selesai ku baca, aku mulai memikirkan suatu hal yang akhirnya telah mengubah hidupku sepenuhnya, namun aku tahu, aku membutuhkan waktu untuk mengatakannya pada orangtuaku.

    Kamis, 18 Juli 2002
    “APA?! DKV? Design Grafis?! Kamu ga salah? Otakmu ada di mana Sunny?”

    “Aku cuma mau DKV, ayah! Dengerin Sunny kenapa sih?”

    “Kamu itu anak yang pintar. Kamu masih SMP sekarang. Perjalananmu masih panjang. Kamu harus pikirkan dengan matang, Sunny. Tidak ada kesenian di rumah ini!”

    “AKU GA... – GA M-MAU A-AMBIL EKO-EKONOMI, YAH!”

    Topik itu lagi, topik itu lagi. Mengapa ku harus mendengar suara tangis kakakku sendiri setiap hari, karena keegoisan ayahku? Mengapa ia harus memaksakan kakakku untuk mengikuti keinginannya, di saat apa yang kakakku mau adalah jalannya sendiri. Aku tahu, suatu saat nanti aku akan seperti dirinya dan apa itu ekonomi? Aku memang belum tahu apa itu, namun sepertinya sangat tidak menarik dan memuakkan.

    Minggu, 6 Juli 2008

    Cinta. Apa itu cinta? Apa yang terjadi jika seorang Rainie mengenal cinta? Ingat, ini rahasia. Jangan membuat rahasia ini tersebar, apalagi terdengar oleh orangtuaku.

    “Hari ini, biar dunia tahu,
    aku, terpesona dalam rindu.
    Terperangkap dalam nostalgia dirimu.
    Aku rela hentikan waktu,
    demi mencintaimu.”


    Mico, kau membuat hidupku benar-benar berubah. Aku benar-benar hidup saat ini. Mengapa kau dapat menerima aku apa adanya seperti ini? Mengapa kau memilih aku yang hanya akan menyusahkan hidupmu? Ah, apalah artinya aku memikirkan hal-hal itu. Aku sudah ditembak! Hey, aku sudah tidak single saat ini. Aku sangat bahagia.

    “DDRRTT.. DRRTTT..”

    Ah, kini hape-ku sudah tidak akan sepi lagi. Aku harus membiasakan diri dengan hal ini. Perasaan sedih itu benar-benar sudah tidak akan pernah ada lagi.

    “Jangan lupa makan, badan kecilmu itu butuh asupan gizi yang cukup. Love, Mico.”

    Tanpa sadar, pipiku memerah. Ah, ternyata rasa dicintai adalah seperti ini. Bahagia setiap waktu, tersenyum menjadi kewajiban setiap menitnya. Aku selalu berharap, hidupku akan selalu seperti ini. Bersama seseorang yang dapat mendengarkan aku, meskipun dunia ini sudah menolakku.

    Oh iya, dari mana aku mengenal Mico? Aku mengenalnya dari sebuah situs online. Kebetulan, Mico bertempat tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku, dan beberapa bulan yang lalu, aku pernah membuat janji untuk bertemu dengannya di sebuah mall elite di Jakarta. Ia sangat peduli dengan keadaanku. Ia mengatakan bahwa aku sangatlah kurus dan tampak sangat lesu. Setelahnya, Mico sering mengirimkan pesan ke Yahoo Messengerku. Ia sering mengirimkan kata-kata manis untuk membuat hidupku menjadi lebih baik. Tapi, aku memang jarang menghabiskan waktu untuk online. Oleh karena itu, aku selalu membalas pesannya beberapa hari setelahnya.

    Aku tidak pernah memberitahu nomor hape-ku kepadanya, karena bagiku chatting via Y!M pun sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin ada orang lain yang masuk dan tahu tentang siapa sebenarnya aku. Namun, semakin lama, ada perasaan yang tumbuh dan berbeda dari biasanya. Aku tidak pernah memiliki teman selama aku duduk di bangku SMP-SMA, namun aku tahu Mico telah menduduki tempat di hatiku, lebih dari hanya seorang teman.

    Aku mencintainya.


    Spoiler untuk Footnote :
    2 Class meeting: Acara khusus yang diadakan oleh sekolahku setelah ulangan umum anak-anak kelas 1 dan 2. Biasanya diisi dengan lomba-lomba antar kelas bertemakan olahraga, seperti basket dan futsal.


    Jangan dibuka sebelom baca ceritanya:
    Spoiler untuk Komentar Penulis :
    gue ga tau juga kenapa chapter 3 nya jadi super flat gini. Ini menurut gua loh ya. Kalau emang beneran flat tolong dicaci maki, kalau menurut anda malah seru atau gimana, tolong dibilangin juga. Bener-bener ngerasa aneh juga soalnya. Ngerasa ga layak post malahan, cuma gpp kan kalo nyoba

    Butuh masukan lebih lanjut buat edit besar-besaran khusus di chapter ini. Parahnya, saking flatnya, gua udah ga tau mau nulis genre apaan ini chapter 3

    Semoga di chapter selanjutnya ga se-flat ini lagi. Thanks

    Copyright ©2012 - SF Menulis (Forum IDGS)
    "Can you BE any more clueless?"

  2. Hot Ad
  3. #17
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Chapternya pendek2 ya, jadi cepet gua bacanya

    Spoiler untuk Oke, mari kita kritik mbak yang satu ini :

    Abis keterangan tanggal, jangan lupa kasi 'space line'

    Sejak hari itu, aku sangat suka membaca dan setelah novel itu selesai ku baca, aku mulai memikirkan suatu hal yang akhirnya telah mengubah hidupku sepenuhnya, namun aku tahu, aku membutuhkan waktu untuk mengatakannya pada orangtuaku.

    Kamis, 18 Juli 2002

    “APA?! DKV? Design Grafis?! Kamu ga salah? Otakmu ada di mana Sunny?”
    Terus, abis baca Novel, Rainie kok jadi pengen masuk DKV ??

    ---

    Udah di bahas sama LunCret ya, variasi 'Aku', 'ku', dsb masi agak berantakan. Tapi berhubung gak ada kerjaan :

    Hari ini adalah hari UAN terakhir, Sosiologi. Aku? Menyentuh buku sosiologi pun tidak. Apa yang harus aku pelajari, selama aku tidak pernah peduli dengan pendidikanku sejak orangtuaku melarang apa yang aku hendaki. Aku selalu berpikir, apabila aku tidak naik kelas, apakah ada kemungkinan orangtuaku akan benar-benar melihat apa yang ku mimpikan selama ini?
    Changelog :
    - Kalimat kedua agak absurd (ato emang gua yang gak ngerti?), jadi gua edit dikit.
    - Rangkailah kalimat sedemikan sehingga, 'Aku' gak terlalu sering dipake.

    Hari ini adalah hari UAN terakhir, Sosiologi. Aku? Menyentuh buku sosiologi pun tidak. Sejujurnya, aku tidak pernah peduli dengan pendidikanku, sejak orangtuaku melarang apa yang benar-benar aku kehendaki. Mungkin, jika aku tidak naik kelas, apakah ada kemungkinan mereka akan benar-benar melihat apa yang ku mimpikan selama ini?
    ---

    Flow ceritanya sendiri, gak flat2 amat kok. Tapi kalo mo ada Flashback besar2an kayak di chapter 3 (yang dari 2009, langsung ke 2001), mungkin lebi enak kalo ada narasi yang ngasi tau kalo nantinya mo flashback.

    misalnya :

    'ku tutup kedua mataku perlahan, masih teringat dengan jelas saat itu.. ketika untuk pertama kalinya, aku mengetahui kenyataan menyedihkan bahwa diriku tak ubahnya dengan seekor burung dalam sangkar emas.'

    69 Desember 1969

    “MAMAAAAAAA!! Rei udah selesaiii! Rei tunggu di depan yaaaa!”
    Last edited by -Pierrot-; 19-12-12 at 08:57.

  4. #18
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Tsundere View Post
    Author : Tsundere
    Genre : Annual Life Activities, Romance


    Spoiler untuk Chapter 3 :
    Jumat, 17 April 2009
    Hari ini adalah hari UAN terakhir, Sosiologi. Aku? Menyentuh buku sosiologi pun tidak. Apa yang harus aku pelajari, selama aku tidak pernah peduli dengan pendidikanku sejak orangtuaku melarang apa yang aku hendaki. Aku selalu berpikir, apabila aku tidak naik kelas, apakah ada kemungkinan orangtuaku akan benar-benar melihat apa yang ku mimpikan selama ini?

    “Kalau si Rainie lagi sedih sambil tidur-tiduran di meja gitu, pasti langit langsung gelap tuh! Hahahaha”

    “Hahahaha. Ngacooo. Emang kapan tuh anak kaga sedih? Sedih terus kali dia, kalo emang bener tiap sedih, langit bakal gelap, tiap hari dong gelapnya? Hahahaha”

    Bisikan-bisikan seperti itu sudah sering aku dengar di saat jam istirahat sekolah, ataupun sebelum bel berbunyi tanda masuk kelas. Ada kemungkinan aku hanyalah satu-satunya murid SMA yang tidak peduli dengan siapa teman sekelasku dan siapa nama mereka. Untuk apa menghafal nama mereka, di saat yang mereka lakukan padaku hanyalah mencela aku setiap harinya?

    Setidaknya, hari ini adalah hari terakhir aku akan berada di sekolah ini. Setelah UAN ini berakhir, anak-anak kelas 3 akan diijinkan berada sepuasnya di rumah. Diriku bahkan tidak mengingat tanggal berapa aku diwajibkan untuk kembali ke sekolah untuk class meeting2 , pembagian raport dan pengambilan ijazah.

    Sesungguhnya, aku ingin lulus dan keluar dari sekolah ini secepat yang aku bisa. Sekolah yang hanya membuang waktuku setiap hari dan yang pada akhirnya hanya menambah beban pikiranku. Namun, di lain sisi, adalah baiknya jika aku tidak lulus. Dengan cara apapun, aku selalu berusaha untuk membuat rencana orangtuaku tertunda. Ya, tertunda. Aku tahu rencana orangtuaku memang tidak akan pernah dapat digagalkan. Mereka tidak akan pernah mengerti.

    Sabtu, 23 Juni 2001
    “IBUUUU!! Rei udah selesaiii! Rei tunggu di depan yaaaa!” teriakku bersemangat, sambil berlari kecil keluar dari rumah.

    Hari ini adalah hari pengambilan raportku. Walaupun aku masih duduk di kelas 4 SD, semangat belajarku tinggi. Aku selalu belajar dan mengerjakan setiap pekerjaan rumah setiap malam. Siang harinya sepulang sekolah, aku selalu bermain dengan Sunny, dia seringkali memaksa aku untuk belajar menggambar. Ah, tapi gambar memang bukan bakat dan hobiku. Gambar yang menjadi rutinitasku adalah gambar gunung dengan matahari di antaranya, serta sawah dan sungai kecil di bawah gunung. Ah, sungguh memalukan jika dibandingkan dengan kakakku. Sunny sangat pandai menggambar dan mewarnai. Nilai seni lukisnya selalu di atas rata-rata, sedangkan aku? Nilai 70 sudah menjadi kategori “memuaskan” untukku.

    “AAAAAAHHH HUJANNNN!!” teriakku sambil berlari masuk ke dalam rumah kembali.

    “Ibuuuuu! Ibuuu! Hujannnn derass!”

    Tidak lama kemudian, Ibu pun akhirnya keluar dari kamarnya dan menanyakan mengapa aku berteriak.

    “Hujan deras, Bu. Kalau hujan deras, berarti hari ini, harinya Rei kan ya?” ucapku dengan manja.

    Orangtuaku pernah bercerita bahwa asal mula namaku adalah karena aku lahir di saat hujan sedang turun sangat deras. Ah, aku sangat menyukai hujan. Hujan selalu menjadi pertanda bahwa aku akan melewati satu hari yang baik.

    “Ayo Rei, naik ke mobil langsung ya. Jangan sampai kehujanan. Rei kecil memang lahir saat hujan, tapi bukan berarti kamu ga bisa sakit kalau kena hujan.” kata Ibu sambil tersenyum kecil.

    “Ga mau naik ke mobil. Mau main hujan! Bweeek!” sahutku sambil menjulurkan lidahku.

    Ibu memasang muka seakan-akan ia sedang marah denganku. Aku hanya tertawa dan aku segera naik ke mobil, menuju sekolah, dan mengambil raportku.

    “Selamat pagi, Leona.” sapa guruku sambil tersenyum saat melihatku masuk ke dalam kelas.

    Di sekolah, aku memang dipanggil Leona. Bagiku, tidak ada masalah yang berarti, karena menurutku Leona juga namaku dan enak didengar.

    “Pagi, Bu! Gimana raportnya Leona? Bagus ga? Nanti kalau ga bagus, Ibu marah sama aku!” sahutku ceria sambil melirik ke arah Ibuku di sebelah.

    “Selamat pagi, Bu. Ini raport Leona. Nilai Leona mengalami peningkatan lagi dan ia masih berada di peringkat pertama di antara 54 murid. Ibu pasti sangat bangga memiliki anak perempuan manis dan pintar seperti Leona.” puji Ibu Guru.

    “Asiiikkk! Ibu aku juara 1 lagi!” loncatku kegirangan.

    “Rei, sini dulu. Ga boleh gitu dong. Harus bilang apa sama Ibu Guru?” muka Ibuku mendadak berubah sangat serius.

    “Oh iya, makasih ya Bu guru! Kalau ga berkat Ibu guru, Leona juga pasti ga bisa kayak gini!”

    Ibu memang selalu serius dalam mengajarkan sopan santun dan tata krama dalam bersosialisasi dengan orang lain, terlebih dengan orang yang lebih tua. Menurut Ibuku, selain nilai akademik yang baik, aku juga harus dituntut untuk selalu sopan dengan sesama.
    Sepulangnya dari sekolah, aku mengingat bahwa Ibu pernah menjanjikan akan membelikan hadiah jika aku masih bertahan di peringkat pertama. Sesungguhnya aku sangatlah kebingungan bagaimana meminta hadiah itu, namun akhirnya dengan ketakutan aku bertanya,

    “Ibu, waktu itu Ibu pernah bilang ada hadiah kalau aku juara 1 kan ya?”

    Aku sangat ketakutan bila Ibu menjadi marah karena aku hanya mengharapkan hadiah. Ibu tidak pernah suka apabila anak-anaknya mendapatkan prestasi karena hanya ada barang yang dijanjikan. Namun Ibu dengan tertawa kecil menjawabku,

    “Iya, hadiahnya udah ada di kamar Rei kok. Coba di cek aja. Ibu kan memang sudah tahu bahwa Rei bakal juara 1 lagi. Makanya tadi Ibu rada lama keluar rumahnya, kan Ibu mau memastikan dulu kalau hadiahnya baik-baik saja.”

    “Makasih Ibu!” pelukku, lalu berlari menaiki tangga, menuju kamarku.

    “Waaahh, buku apa nih? Tebel banget! Haaaa tulisan semua isinya. Kok ga ada gambar begini. Gimana nih bacanya?” gumamku kebingungan, sambil membolak-balik halaman buku dari depan ke belakang, dan sebaliknya.

    Malam itu dan hari-hari berikutnya aku habiskan untuk membaca buku yang belakangan ku ketahui namanya adalah sebuah novel. Sejak hari itu, aku sangat suka membaca dan setelah novel itu selesai ku baca, aku mulai memikirkan suatu hal yang akhirnya telah mengubah hidupku sepenuhnya, namun aku tahu, aku membutuhkan waktu untuk mengatakannya pada orangtuaku.

    Kamis, 18 Juli 2002
    “APA?! DKV? Design Grafis?! Kamu ga salah? Otakmu ada di mana Sunny?”

    “Aku cuma mau DKV, ayah! Dengerin Sunny kenapa sih?”

    “Kamu itu anak yang pintar. Kamu masih SMP sekarang. Perjalananmu masih panjang. Kamu harus pikirkan dengan matang, Sunny. Tidak ada kesenian di rumah ini!”

    “AKU GA... – GA M-MAU A-AMBIL EKO-EKONOMI, YAH!”

    Topik itu lagi, topik itu lagi. Mengapa ku harus mendengar suara tangis kakakku sendiri setiap hari, karena keegoisan ayahku? Mengapa ia harus memaksakan kakakku untuk mengikuti keinginannya, di saat apa yang kakakku mau adalah jalannya sendiri. Aku tahu, suatu saat nanti aku akan seperti dirinya dan apa itu ekonomi? Aku memang belum tahu apa itu, namun sepertinya sangat tidak menarik dan memuakkan.

    Minggu, 6 Juli 2008

    Cinta. Apa itu cinta? Apa yang terjadi jika seorang Rainie mengenal cinta? Ingat, ini rahasia. Jangan membuat rahasia ini tersebar, apalagi terdengar oleh orangtuaku.

    “Hari ini, biar dunia tahu,
    aku, terpesona dalam rindu.
    Terperangkap dalam nostalgia dirimu.
    Aku rela hentikan waktu,
    demi mencintaimu.”


    Mico, kau membuat hidupku benar-benar berubah. Aku benar-benar hidup saat ini. Mengapa kau dapat menerima aku apa adanya seperti ini? Mengapa kau memilih aku yang hanya akan menyusahkan hidupmu? Ah, apalah artinya aku memikirkan hal-hal itu. Aku sudah ditembak! Hey, aku sudah tidak single saat ini. Aku sangat bahagia.

    “DDRRTT.. DRRTTT..”

    Ah, kini hape-ku sudah tidak akan sepi lagi. Aku harus membiasakan diri dengan hal ini. Perasaan sedih itu benar-benar sudah tidak akan pernah ada lagi.

    “Jangan lupa makan, badan kecilmu itu butuh asupan gizi yang cukup. Love, Mico.”

    Tanpa sadar, pipiku memerah. Ah, ternyata rasa dicintai adalah seperti ini. Bahagia setiap waktu, tersenyum menjadi kewajiban setiap menitnya. Aku selalu berharap, hidupku akan selalu seperti ini. Bersama seseorang yang dapat mendengarkan aku, meskipun dunia ini sudah menolakku.

    Oh iya, dari mana aku mengenal Mico? Aku mengenalnya dari sebuah situs online. Kebetulan, Mico bertempat tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku, dan beberapa bulan yang lalu, aku pernah membuat janji untuk bertemu dengannya di sebuah mall elite di Jakarta. Ia sangat peduli dengan keadaanku. Ia mengatakan bahwa aku sangatlah kurus dan tampak sangat lesu. Setelahnya, Mico sering mengirimkan pesan ke Yahoo Messengerku. Ia sering mengirimkan kata-kata manis untuk membuat hidupku menjadi lebih baik. Tapi, aku memang jarang menghabiskan waktu untuk online. Oleh karena itu, aku selalu membalas pesannya beberapa hari setelahnya.

    Aku tidak pernah memberitahu nomor hape-ku kepadanya, karena bagiku chatting via Y!M pun sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin ada orang lain yang masuk dan tahu tentang siapa sebenarnya aku. Namun, semakin lama, ada perasaan yang tumbuh dan berbeda dari biasanya. Aku tidak pernah memiliki teman selama aku duduk di bangku SMP-SMA, namun aku tahu Mico telah menduduki tempat di hatiku, lebih dari hanya seorang teman.

    Aku mencintainya.


    Spoiler untuk Footnote :
    2 Class meeting: Acara khusus yang diadakan oleh sekolahku setelah ulangan umum anak-anak kelas 1 dan 2. Biasanya diisi dengan lomba-lomba antar kelas bertemakan olahraga, seperti basket dan futsal.


    Jangan dibuka sebelom baca ceritanya:
    Spoiler untuk Komentar Penulis :
    gue ga tau juga kenapa chapter 3 nya jadi super flat gini. Ini menurut gua loh ya. Kalau emang beneran flat tolong dicaci maki, kalau menurut anda malah seru atau gimana, tolong dibilangin juga. Bener-bener ngerasa aneh juga soalnya. Ngerasa ga layak post malahan, cuma gpp kan kalo nyoba

    Butuh masukan lebih lanjut buat edit besar-besaran khusus di chapter ini. Parahnya, saking flatnya, gua udah ga tau mau nulis genre apaan ini chapter 3

    Semoga di chapter selanjutnya ga se-flat ini lagi. Thanks

    Copyright ©2012 - SF Menulis (Forum IDGS)
    Spoiler untuk duer :

    bagi gw ga ada cerita yang flat selama konklusinya nanti berkaitan ke semua scene yang ada

    well, non-linear storyline yang lu tulis gini sebenernya udah jadi daya tarik tersendiri kok, jadi ga usah khawatir flat atau gimana selama nulisnya tetep begini

    sisa komen udah diambil peyot-chan


    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Chapternya pendek2 ya, jadi cepet gua bacanya

    Spoiler untuk Oke, mari kita kritik mbak yang satu ini :

    Abis keterangan tanggal, jangan lupa kasi 'space line'



    Terus, abis baca Novel, Rainie kok jadi pengen masuk DKV ??

    ---

    Udah di bahas sama LunCret ya, variasi 'Aku', 'ku', dsb masi agak berantakan. Tapi berhubung gak ada kerjaan :



    Changelog :
    - Kalimat kedua agak absurd (ato emang gua yang gak ngerti?), jadi gua edit dikit.
    - Rangkailah kalimat sedemikan sehingga, 'Aku' gak terlalu sering dipake.



    ---

    Flow ceritanya sendiri, gak flat2 amat kok. Tapi kalo mo ada Flashback besar2an kayak di chapter 3 (yang dari 2009, langsung ke 2001), mungkin lebi enak kalo ada narasi yang ngasi tau kalo nantinya mo flashback.

    misalnya :



    itu yg DKV Sunny woi, bukan Rainie


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  5. #19
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    beuh ini ceritanya bulak-balik, tapi untung gak sampe bikin pusing.

    Spoiler untuk asd :
    Udah dijelasin sama si Penyot-nyan, ya. Kayaknya yang masih kurang oke di nyusun kata ganti subjek aja, ato apapunlah itu gue gatau namanya. kalo narasi aku-kamu-ku-diriku-saya-anda agak ribet pake gue-lu-aing-sia aja...
    Paling kalo emang bingung mau pake apa lagi, bikin aja kalimat tanpa subjek.

    ex:
    Diriku bahkan tidak mengingat tanggal berapa aku diwajibkan untuk kembali ke sekolah untuk class meeting2 , pembagian raport dan pengambilan ijazah.
    Ijazah? Kapan itu harus diambil..rasanya tak penting sampai terasa tak perlu untuk diingat, apalagi pembagian rapot atau class meeting dan ***** bengeknya...
    ***

    Plot nya mah nggak jelek, ceritanya agak beda dibanding yang biasa terlihat dimari. Soal narasi flashback itu sih IMO kayak gini asik juga. Kayak berasa time travel gituan, mendadak ganti sini-situ. Tapi kalo kebanyakan pusing juga, sih. Yah, atur aja kapan mau pake narasi, entah diawal ato diakhir, kapan mendadak langsung kecil lagi.


    ayo lanjut~

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  6. #20
    Dlucario's Avatar
    Join Date
    Nov 2012
    Posts
    431
    Points
    19,914.57
    Thanks: 7 / 25 / 23

    Default

    Self-injury sama masochist itu beda nggak ya?

    Plotnya maju mundur sana sini, banyak yang komen pusing gua si biasa aja. soalnya cerita gua juga settingnya kabur kemana2

  7. #21
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by Dlucario View Post
    Self-injury sama masochist itu beda nggak ya?

    Plotnya maju mundur sana sini, banyak yang komen pusing gua si biasa aja. soalnya cerita gua juga settingnya kabur kemana2
    Beda

    Masochist disiksa = dapet kepuasan (biasanya kepuasan seksual)
    Self-injury noreh" badan = pelampiasan stress, biar pikirannya lega


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  8. #22
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    @Pierrot : yang dekape itu udah dijawab sama lun" itu Sunny, bukan Rainie
    untuk penggunaan subjek itu, bener" masih bingung, sabar ya, akan coba terus-menerus diatur supaya ga aku"an terus
    tapi thanks banget kritiknya
    untuk narasi, boleh juga. nanti coba gua rombak sedikit di next chap, biar lebih ga musingin dan paling ga ada intro tiap mau loncat jauh. Arigatou~ :3

    @Lun" : hooo, okelah kalau begitu. gua kira uda bakal diblg flat abis
    terimakasih banyak semangatnya. nanti gua kirim loli via pos

    @BuahMelon : gomen kalo bisa bikin pusing
    soal subjek yang dikurangin, oke deh. gua selama ini kalo nulis kebiasaan subjek terus sih

    ---

    Masochist sama cutter/self-ijur(er) itu beda, seperti yang udah dijelasin lun"

    ---

    @semua : mohon dimaklumi kalau banyak cacatnya, gua belom pernah nulis tulisan bersambung begini. Yang gua tulis selama ini cuma puisi sama cerpen soalnya

    btw, thankyou buat komentar" aktif di sini

    ohya, chapter 4 nya besok malem ya.
    gua mau istirahat dulu, biar next chap nya bisa maksimal
    "Can you BE any more clueless?"

  9. #23

    Join Date
    Apr 2008
    Posts
    2,801
    Points
    1,662.85
    Thanks: 104 / 156 / 116

    Default

    info dari cc Tsundere: "gua modar, hari ini sibuk banget, ini masih ngerjain kerjaan event februari nanti + kerjaan lainnya, chapter 4 nya baru 1/4 jadi tunda besok ya. moga" besok bisa gua selesain soalnya besok mau ke tempat sponsor lagi "

    "The only way to do great work is to love what you do" ♥

    Hobby and Entertainment Forums
    My Personal Corner



  10. #24
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    Spoiler untuk Hai :
    Hore chapter 4-nya akhirnya nongol
    Gua berusaha keras ini sebenernya buat ga ke pending berhari-hari, cuma karena gua juga harus ngurus event dan hal lainnya, chapter 4 nya ke pending lama banget banget
    Silahkan di caci maki, seperti biasa, ini masih kurang panjang
    Moga-moga yang biasa pada baca, belom bosen

    SELAMAT NATAL !


    Author : Tsundere
    Genre : Comedy, Romance


    Spoiler untuk Chapter 4 :
    Minggu, 3 Agustus 2008

    Hari ini, Mico mengajakku untuk berjalan-jalan ke salah satu mall di Jakarta. Refreshing, katanya. Dia tidak ingin aku selalu berdiam diri terus-menerus di kamar.

    “Mico, mau makan tahu gejrot hari ini!” sahutku tiba-tiba.

    “Ga boleh makan cabe banyak-banyak. Kamu kalau makan itu pasti cabenya ga kira-kira. Udah badan kecil banget gitu, makannya cabe doang bukan makan yang lebih bisa bikin gede!” canda Mico.

    “AAAA Micooo! Mau! Mau! Mau! Pokoknya mau!”

    “Ngidam, Rei?”

    “Iya kali! Pokoknya mau! Mau siomay, mau ketoprak, mau gorengan!”

    “Hah? Beneran ngidam kayaknya kamu Rei. Yaudah kira-kira biasanya ada di mana? Aku jarang makan yang kayak begitu.”

    “Biasanya di dekat perempatan di depan sana ada.” sahutku sambil menunjuk ke depan.

    “Yaudah. Yang di depan supermarket itu kan? Nanti aku sekalian mau beli barang dulu, dititipin sama mama aku kemaren, oke?”
    Setibanya di depan supermarket, hanya ada satu gerobak yang berjualan. Maklum, baru pukul 4. Para penjaja makanan baru akan berjualan mulai jam 5 sore.

    “Tahu gejrotnya belom ada. Tapi itu ada siomay. Oke, aku makan siomay aja. Uda kangen makan pare!”

    Sejak SMA 1, aku sangat menyukai pare, entah itu direbus, atau dimasak dengan bumbu apapun. Terkadang Ibu pun suka memasakkan pare hanya untuk diriku, karena tidak ada yang menyukai pare di keluargaku.

    “Kamu mah pare mulu. Ga ada enak-enaknya itu makanan. Pahit, kayak minum obat. Pantes tuh muka kamu pahit banget keliatannya!”

    “Yeeee, biarin aja. Suka-suka aku dong! Emang masalah buat kamu?”

    “Masalah ga ya? Maunya masalah atau engga? Hahaha”

    “Bawel ah, aku turun duluan yaaa.”

    “Hati-hati, Rei sayang. Aku ke supermarket dulu juga.”

    Akhirnya aku menghampiri gerobak siomay itu, berharap akan mendapatkan pare yang sudah idam-idamkan.

    “Mas, dibungkus ya.” kataku kepada mas-mas yang berjualan.

    “Mau berapa?”

    “Ini kok ditanya mau berapa ya. Bukannya biasa kalau beli siomay itu, kita milih dulu mau apa aja terus baru dia itungin harganya berapa? Apa ini beli siomay sekarang uda paketan ya?” sahutku dalam hati.

    “Hah? Mau berapa gimana ya?” tanyaku balik.

    “Iya mau 1 atau berapa, dek?”

    “Jadi beli siomay itu sekarang bisa beli 1 biji doang gitu? Apaan dah ini. Kok makin aneh beli siomay aja pake berapa.” pikirku dalam hati, kebingungan.

    “Kalau gitu saya liat dulu aja bang ada apa aja.”

    “Mau lihat apanya, dek?”

    “Iya saya lihat-lihat dulu ada apa. Ada pare ga, mas?” tanyaku, karena tidak semua penjual siomay menjual pare.

    “HAH? Pare? Pare apa?”

    “Pare ya pare, mas.” ujarku gusar.

    “Hah? OOOHH! Adek maunya siomay ya?”

    “Lah? Ya iya, mas

    “OOOHHH! Kamu carinya siomay? Ga ada yang jual siomay di sini.” kata mas-mas yang berjualan itu sambil tersenyum menahan tawa.

    Salah tingkah. Dalam keadaan panik, aku masih mengumpulkan sisa kesadaranku untuk melihat kata-kata yang tertulis di kaca gerobak itu. “S T O A Y A M”. Oh, jadi ini soto. Hanya saja stiker huruf O di gerobak itu sudah terlepas. Lalu di bagian mananya sampai aku bisa membaca itu “SIOMAY”? Ternyata salah tingkah rasanya seperti ini. Apa yang harus dilakukan saat ini? Mico sepertinya masih sangat lama di dalam supermarket itu dan kunci mobil pun ada di dirinya. Ah, sudahlah.

    “Errr, yaudah deh, mas. Sotonya satu aja.”

    “Sotonya 1 aja, dek?” masih sambil tersenyum menahan tawa.

    “Hmm, i-iya.”

    Sore ini, semua makanan yang tadinya terbayang olehku begitu nikmat, menjadi sangat tidak nikmat. Mico keluar dari supermarket dan memanggilku untuk naik ke mobil. Saat di mobil, Mico pun membuka sesi tanya-jawab,

    “Kok ga dimakan siomay-nya? tanyanya kebingungan sambil melihat ke arah kantong plastik hitam yang aku pegang.

    “Ga ada siomay-nya.”

    “LOH? Terus itu apa? Tadi katanya ada yang jual siomay.”

    “Ga jadi, beli soto jadinya.”

    “Loh? Soto darimana? Katanya tadi cuma ada siomay?”

    “Jangan tanya-tanya ah. Nanti aja kalau mau cerita soal itu. Ah, Mico, mampir ke rumah aku dulu lagi aja ya bentar. Nurunin sotonya dulu. Mumpung masih deket dari rumah aku juga kan.”

    “Hmm, okelah sayang.”

    Raut muka Mico memang berubah, ah tapi mau diapakan lagi. Ini juga bukan salahku sepenuhnya. Lalu, salah siapa? Ah, aku juga tidak tahu. Namun. Memang moodku sudah berubah sore itu. Entah, sebenarnya kejadian yang tadi ku alami itu memang termasuk kejadian yang lucu, tapi aku memang enggan untuk menertawakan kebodohanku saat ini.

    Akhirnya sisa hari ini aku habiskan dengan bersenang-senang dengan Mico. Ia mengajarkan aku bagaimana bermain ice-skating berjam-jam, namun mungkin memang bukan bakatku di bidang itu. Aku sempat terjatuh beberapa kali dan aku harap tidak akan ada memar kebiruan keesokan harinya.

    Aku dan Mico sudah hampir 1 bulan menjalani hubungan ini, dan aku perasaan sayang itu semakin lama semakin bertumbuh. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku harus membelikan sesuatu untuk Mico dan memberikannya saat perayaan 1 bulanan kita. Namun, apa yang harus dibeli?

    Sambil memikirkan apa yang harus dibeli, aku masih mengingat-ingat apa saja yang dilakukan hari ini. Suatu kemajuan hari ini aku dapat menghabiskan setengah hari di luar bersama orang lain. Hari ini perlu diberi sebuah judul, “SM : Siomay atau Soto bersama Mico”. Aku merasa sangat baik hari ini dan aku akhirnya menutup mataku malam ini dengan sebuah senyuman.

    Selasa, 5 Agustus 2008

    Setelah bel pulang berbunyi, aku segera berlari ke arah tempat parkir mencari mobilku, ups, mencari supirku yang berada di dalam mobil lebih tepatnya. Aku tidak ingin orang mengira aku dapat menyetir mobil. Ayah tidak akan membiarkan aku menyetir sendiri. Lagipula, untuk apa sebuah mobil, jika aku hanya tahu jalan menuju sekolah dan sekitar rumahku. Tapi, untuk hari ini, aku bertanya,

    “Pak, bapak tahu toko buku yang lengkap di mana?” tanyaku pada supir.

    “Yang lengkap ya? Ada sih, Cuma agak jauh, gapapa?”

    “Gapapa, pak. Soalnya ini penting.”

    “Pulang dulu atau langsung pergi?”

    “Langsung aja, pak. Aku yang telponin Ibu aja.”

    Aku memang selalu harus memberitahu ada di manakah diriku jika ingin berpergian. Ibu akan sangat marah jika tahu bahwa aku ada di suatu tempat dan tidak memberitahukannya.

    Setibanya di toko buku itu, aku segera menghampiri tempat yang menjual bahan-bahan untuk scrapbook3. Aku sudah membulatkan niatku untuk membuat satu scrapbook untuk Mico. Sebenarnya, aku tidak yakin ia akan menyukai pemberianku; dan terlebih aku memang tidak terlalu berbakat dalam hal semacam men-desain. Tentunya, aku tidak ingin meminta bantuan Sunny, karena ini adalah hadiah khusus yang aku ingin buat dengan tanganku sendiri untuk Mico. Rencanaku adalah membuat kira-kira beberapa kenangan menjadi satu, dan aku akan memasukkan satu atau dua puisi ciptaanku untuknya. Bahan-bahan itu akhirnya ku bawa pulang ke rumah. Aku rela menghabiskan cukup banyak uang untuk membeli bahan-bahan ini, asalkan untuk Mico seorang.

    Rabu, 6 Agustus 2008

    Hari yang ku tunggu-tunggu telah tiba! Aku sudah membuat janji dengan Mico setelah pulang sekolah dan pada akhirnya bel itu berdering. Aku segera mengambil ponselku dan menelepon Mico. Hari ini aku telah berbohong pada Ibu. Aku mengatakan bahwa hari ini aku tidak perlu dijemput, karena aku harus mengerjakan tugas kelompok. Ibu memang tidak pernah curiga bahwa aku tiba-tiba peduli dengan tugas, karena ia memang selalu berharap aku dapat kembali seperti dahulu, saat meraih juara kelas.
    Ponsel Mico tidak diangkat. Aku sudah berusaha mencoba meneleponnya hingga enam kali, dan hasilnya nihil. Aku tinggalkan pesan singkat berisikan,

    “Aku masih nungguin kamu loh, Mico. Aku hari ini udah minta ga dijemput supaya bisa langsung ketemu kamu. Kamu di mana?”

    “Apa Mico benar-benar lupa hari ini adalah hari 1 bulan kita bersama? Apa Mico melupakan janji temu kita hari ini? Apa aku harus menyusul Mico ke sekolahnya? Mico, mengapa di hari paling penting kita, kamu melupakan aku seperti ini?”

    Berbagai pikiran-pikiran negatif silih-berganti muncul di dalam pikiranku. Mico tidak pernah mengabaikan telepon ataupun pesan singkat dariku. Namun, mengapa harus hari ini? Dua jam telah berlalu, waktu telah menunjukkan pukul 3 sore. Tak ada tanda-tanda kemunculan Mico di depan gerbang sekolahku. Keadaan sekolahku pun sudah mulai sepi, aku hanya melihat ada beberapa anak-anak yang ikut ekstrakulikuler futsal di lapangan. Ini kali pertama aku masih berada di sekolah hingga sesore ini.

    “Drrrtt.. Drrrttt...”

    Ah, ponselku akhirnya bergetar. Dengan harap-harap cemas, aku membuka ponselku dan menemukan,

    “Kamu pulang jam berapa?”


    Ah, Ibu. Bagaimana aku harus menjawab Ibu, sedangkan aku masih belum menemui Mico. Dengan cemas, aku membalasnya,

    “Secepatnya, Bu. Nanti aku dianter sama temenku kok pulangnya.”

    Diantar? Apa Mico benar-benar akan mengantar aku pulang? Apa Mico akan datang hari ini? Sudahlah, apapun yang terjadi nant, aku memang tidak ingin cepat sampai di rumah. Jika memang Mico tidak menemuiku hari ini, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku di depan gerbang sekolah ini, sendiri.

    “Dddrrrtt... Drrttt...”

    Getaran ponselku lagi. Apakah ini Ibu ataukah Mico? Dengan cemas, aku kembali membuka ponselku sambil berharap itu adalah Mico.

    “Sayang, maaf. Aku baru inget hari ini aku ada ekskul basket. Tadi hapenya aku taro di locker. Ini aku baru selesai latian, kamu masih nunggu di sekolah? Aku ke sana sekarang. Tapi mungkin akan macet, jadi kira-kira setengah jam lagi baru sampe. Masih mau ketemu aku atau besok aja? Aku kosong kok besok.”

    Aku tidak tahu harus membalas apa, mengapa Mico dapat setega ini padaku? Bukankah selama ini dia yang paling mengerti aku? Mengapa kemarin saat aku membuat janji dengannya, ia tidak mengungkit sama sekali tentang ekstrakulikulernya itu? Mengapa harus saat ini setelah aku menunggu dua setengah jam lamanya. Namun, aku tetap tegar menahan air mataku, dan membalas pesan singkat itu,

    “Iya, aku masih nunggu di depan gerbang sekolah. Hari ini aja kalau kamu ga cape. Kalau cape, yaudah ga usah ketemuan lagi aja. Besok aku mau di rumah soalnya.”

    Kacau. Itulah perasaanku saat ini. Aku meremas plastik berwarna hitam di tangan kiriku, tempat dimana scrapbook untuk Mico berada. Tidak, aku tidak boleh menyerah sampai di sini. Aku ingin bahagia, dan kali ini, aku akan belajar untuk menerima kesalahannya.

    Jam di ponselku menunjukkan pukul 4 sore dan Mico kini berada tepat di depanku, namun aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku ucapkan saat ini. Antusiasmeku untuk hari ini telah pudar.

    “Rei? Rei? Kok bengong aja?”

    “Hah? Oh. Maaf.”

    “Kamu marah sama aku?”

    “Hmmm, engga.”

    “Terus? Kamu keliatan pucat Rei, kamu sakit?” tanya Mico sambil tersenyum.

    Ah, senyuman itu. Ia memang selalu dapat menenangkan aku di saat aku teramat sedih sekalipun, tapi tidak untuk hari ini. Kepalaku sangat sakit dan pandanganku seakan memudar perlahan. Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi lagi untuk menjawab pertanyaan terakhir Mico.

    “Rei? Rei? Kamu kenapa?”

    Sesaat badanku melimbung, dan dengan cepat badan ini sudah di pelukannya. Mico segera menggendongku ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku memang tak sadarkan diri sekitar satu jam, dan Mico tetap di sampingku hingga akhirnya aku terbangun.

    “Mico, aku kenapa?”

    “Ga ada hal serius kok. Nanti kalau kamu udah baikan, kamu aku anterin ke rumah.”

    “Dokter bilang aku kenapa?”

    “Ga apa-apa. Cuma dibilang tekanan darahmu menurun drastis, gara-gara kamu ga makan dan terlalu lelah hari ini.”

    Mico berubah sangat dingin padaku. Apa ini karena dia terlalu khawatir dengan keadaanku? Tapi, ke mana panggilan sayang itu pergi? Ah, sudahlah. Sesaat pandanganku terpaku pada infus yang disuntikkan pada tangan kiriku. Aku baru saja menyadari bahwa lengan jaket ini telah digulung hingga mencapai lenganku, guna menyuntik infus ini. Sesaat aku membeku, melihat semua goresan itu tertera jelas di sana tanpa tertutupi.

    Kepalaku seakan melimbung untuk kedua kalinya hari ini. Tapi, untunglah kini aku sedang berbaring di tempat tidur rumah sakit. Namun, pingsan di tempat ini bukanlah pilihan yang tepat. Aku harus segera pulang, sebelum Ibu dan Ayah mencariku. Sudah terlalu banyak masalah yang harus aku selesaikan hari ini, dan membuat orangtuaku panik bukanlah suatu pilihan.

    “Mico, aku mau pulang. Aku udah ga kenapa-kenapa kok.”

    “Bener?”

    Aku mengangguk lemah. Mico tidak pernah sedingin ini padaku. Tak ada lagi kecupan di pipi untuk menenangkan diriku. Perubahan pesat Mico ini membuat aku seakan merasa semakin lemah dan tak berdaya. Aku membutuhkannya.

    “Oke, aku panggilin dokter supaya kamu bisa diurus dan aku bisa cepet anterin kamu pulang.”

    Sebelum ia beranjak dari kursi di sebelah tempat tidurku, aku berusaha sekuat tenaga untuk bertanya,

    “Mico, kamu ga seneng kita hari ini satu bulanan? Aku ngajak kamu ketemu, buat ngerayain satu bulanan ini bareng.”

    “Dan akhirnya apa, Rei? Aku akhirnya nemenin kamu di rumah sakit doang kan? Ditambah lagi, kenapa kamu ga pernah cerita?”

    “Soal apa?”

    Aku tahu, suatu hari nanti ia pasti akan mengetahui dan menanyakan tentang siapa aku sebenarnya, apa yang aku lakukan selama ini saat sendirian di kamar, dan terlebih yang paling aku takutkan adalah saat ia bertanya darimana asal semua goresan itu ada. Akan tetapi, aku mohon, tidak saat ini, tidak hari ini.

    Ia hanya berdiam diri di sana untuk beberapa menit, melihat ke arah tangan kiriku, dan berjalan ke arah pintu. Ia sempat membalikkan badannya, menatapku, dan dengan tegas mengatakan,

    “Maaf kalau aku memang lupa hari ini adalah hari penting kita, tapi ada hal yang lebih penting yang seharusnya kamu ceritakan padaku sebelumnya, daripada akhirnya aku tahu sendiri apa yang selama ini kamu lakukan pada dirimu. Aku kecewa.”

    “Mi-Mico...”

    Sebelum kalimatku selesai terucap, ia sudah keluar untuk memanggil dokter. Hujan lebat diiringi guntur yang menyambar tiba-tiba mengguyur bumi, seakan-akan ikut bersedih atas aku. Air mata ini jatuh tak terbendung lagi. Aku terisak sejadi-jadinya, aku membutuhkannya di saat-saat seperti ini. Tapi apa jadinya jika akulah penyebab ia pergi meninggalkan diriku? Akankah ia mendengarkanku, meski untuk yang terakhir kalinya?


    Spoiler untuk Footnote :
    3 Scrapbook: sebuah wadah tempat menyimpan segala sesuatu yang kita anggap penting dalam hidup kita. Bentuknya seperti memorabilia album, di mana kita bisa menyimpan foto, lengkap dengan berbagai macam dekorasi, catatan, atau benda-benda lainnya yang bisa disimpan di dalamnya. Referensi: http://dianeaninditya.wordpress.com/


    Spoiler untuk Tambahan :
    Perlu diketahui, part awal yang siomay itu, terinspirasi dari kejadian nyata di hidup gue
    dan sampe saat ini, gua masih trauma kalau mau beli jajanan di deket sana.


    Copyright ©2012 - SF Menulis (Forum IDGS)
    "Can you BE any more clueless?"

  11. #25
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    beugh romance
    mamam soto...gue jadi inget kenangan lama

    ehm, jujur saja, gue sedih bacanya. kok awalnya mulus eh ada goret2 dikit si Moci udah geleng2 aja, baru sebulan tuh mulusnya
    sedih gara2 gue pernah ngalamin kejadian sejenis

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  12. #26

    Join Date
    Apr 2008
    Posts
    2,801
    Points
    1,662.85
    Thanks: 104 / 156 / 116

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    beugh romance
    mamam soto...gue jadi inget kenangan lama

    ehm, jujur saja, gue sedih bacanya. kok awalnya mulus eh ada goret2 dikit si Moci udah geleng2 aja, baru sebulan tuh mulusnya
    sedih gara2 gue pernah ngalamin kejadian sejenis
    mamam melon aja makanya

    oke kita tunggu episode berikutnya
    bakal ke pending lagi ini ceritanya. mau buat cerita buat event si abe dulu + ngejer tugas final
    "The only way to do great work is to love what you do" ♥

    Hobby and Entertainment Forums
    My Personal Corner



  13. #27
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk loli gagal :

    anyings siomay sama soto ayam jauh bener
    mata nya Rainie agak" rabun gitu yah #plak

    oke ini bagus, gw sampe nahan napas sendiri pas di rumah sakit, begitu ketauan kalo Rainie itu penganut aliran shamanism yang suka toreh" badan buat manggil dewa punya luka akibat self-injury

    dan dengan begini kondisi mentalnya Rainie makin jatoh

    okelah teruskan


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #28
    Lindsay Lohan's Avatar
    Join Date
    Apr 2011
    Location
    Kalau ada perlu : steamcommunity.com/id/ilegalman
    Posts
    2,166
    Points
    12.85
    Thanks: 54 / 77 / 47

    Default

    “Jangan tanya-tanya ah. Nanti aja kalau mau cerita soal itu. Ah, Mico, mampir ke rumah aku dulu lagi aja ya bentar. Nurunin sotonya dulu. Mumpung masih deket dari rumah aku juga kan.”
    suer gw bingung bacanya @_@

    titik koma dong bro.

    sama banyak kata2 yg ga perlu

    kata Kakakku -> kakak, Kamarku -> kamar.

    "Dirumah ini hanya ada aku ,ayah, ibu , dan kakakku -> kakak" terkesannya kan lebih familiar. Dan lebih enjoy

    ada sekuel nya lagi gak nih ?

    penasaran sama siletnya bakal di gimana in lagi
    Last edited by Lindsay Lohan; 27-12-12 at 14:00.
    http://image.azuza.web.id/images/1_wpm_score_cx-1354965372.jpg

  15. #29
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Rainie yang pemurung, pas beduaan sama cowonya berubah jadi manja gitu.. well gak salah si, tapi dialog dalem hati ini menurut gua bener2 berlawanan sama personality Rainie di Chapter2 sebelumnya.

    “Ini kok ditanya mau berapa ya. Bukannya biasa kalau beli siomay itu, kita milih dulu mau apa aja terus baru dia itungin harganya berapa? Apa ini beli siomay sekarang uda paketan ya?” sahutku dalam hati.
    Endingnya dapet ni .. mico gak bilang langsung, tapi akhirnya fetish Rainie mulai terungkap..

    oke, lanjutkan lah mbak

  16. #30

    Join Date
    Apr 2008
    Posts
    2,801
    Points
    1,662.85
    Thanks: 104 / 156 / 116

    Default

    Quote Originally Posted by Lindsay Lohan View Post
    suer gw bingung bacanya @_@

    titik koma dong bro.

    sama banyak kata2 yg ga perlu

    kata Kakakku -> kakak, Kamarku -> kamar.

    "Dirumah ini hanya ada aku ,ayah, ibu , dan kakakku -> kakak" terkesannya kan lebih familiar. Dan lebih enjoy

    ada sekuel nya lagi gak nih ?

    penasaran sama siletnya bakal di gimana in lagi
    emang titik komanya masih kurang jelas ya
    masih. ini masih bersekuel" ga tau kapan abisnya


    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Rainie yang pemurung, pas beduaan sama cowonya berubah jadi manja gitu.. well gak salah si, tapi dialog dalem hati ini menurut gua bener2 berlawanan sama personality Rainie di Chapter2 sebelumnya.



    Endingnya dapet ni .. mico gak bilang langsung, tapi akhirnya fetish Rainie mulai terungkap..

    oke, lanjutkan lah mbak
    hooo. iya ya. kurang memperhatikan sedetail itu sih
    tapi emang si Rainie ini .... mood swing banget, alasannya, nanti kita cari tahu

    weeee jangan ketauan dolok endingnya. nanti jadi ga seru

    ---

    akan dilanjutkan mungkin agak lama. soalnya mau ngurus hal-hal lain dolok
    "The only way to do great work is to love what you do" ♥

    Hobby and Entertainment Forums
    My Personal Corner



Page 2 of 3 FirstFirst 123 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •