Page 1 of 3 123 LastLast
Results 1 to 15 of 33

Thread: Rainie VS Rainy

http://idgs.in/594854
  1. #1
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default Rainie VS Rainy

    Author : Tsundere
    Genre : Mystery, Thriller, Tragedy, Psychology, Annual Life Activities, Comedy, Romance


    Rainie VS Rainy





    Spoiler untuk All Chapters :
    Spoiler untuk Chapter 1 :
    Sejak aku berumur 13 tahun, aku selalu bermimpi untuk keluar dari rumah mewah ini. Semua orang mungkin akan iri dengan tempat tinggalku, tapi bagi aku, apalah artinya sebuah rumah yang indah dan kokoh, tapi aku tidak pernah merasakan aku hidup di tempat ini. Ruangan yang paling ku benci di rumah ini adalah ruang makan, kamar kakakku, dan terlebih, kamarku sendiri.

    Sabtu, 28 Februari 2009
    Hari ini adalah ulangtahunku yang ke 17. Tak banyak yang berubah, aku masih menjadi anak kedua dari dua saudara, keluargaku masih dianggap sebagai keluarga yang memiliki ekonomi di atas rata-rata. Apapun yang dibutuhkan di keluarga ini, pasti akan terwujud sesegera mungkin. Keluarga ini memang selalu menang mengenai materi, tapi kosong mengenai harapan dan impian. Bagaimana bisa aku bertahan lebih lama lagi di tempat ini?

    “Tok.. Tok.. Tok!!” pintu kamarku yang selalu aku kunci digedor oleh susterku.

    Jangan tanyakan mengapa aku masih memiliki suster pribadi di usiaku sekarang. Sunny, kakak perempuanku yang bertaut 3 tahun dari usiaku pun masih harus memiliki suster pribadi. Orangtuaku memang selalu berusaha memastikan bahwa semua anak-anaknya tidak kerepotan saat ingin mengambil barang, menyusun barang-barang serta pakaian saat ingin berpergian, dan bahkan hal-hal kecil lainnya yang sebenarnya dapat kita lakukan sendiri. Entah itu hal yang yang baik atau tidak, yang pasti, aku tidak pernah menginginkan semua itu. Bagaimana tidak? Selama masih ada suster-suster pribadi itu, berharap orangtuaku akan memastikan kita baik-baik saja hanya akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Mereka terlalu mempercayakan suster-suster itu, yang sebenarnya, mereka hanyalah mengganggu kehidupanku yang “sebenarnya”.

    “Aku turun sekarang!” jeritku, sudah mengetahui apa yang harus aku lakukan.

    Aku masih menyempatkan diri untuk bercermin, memastikan bahwa make-up ku tidak luntur dan memastikan bahwa beberapa hal yang harus aku “tutupi” tak terlihat. Jam masih menunjukkan pukul 4 sore, tapi aku sudah harus menuju hotel berbintang lima yang sangat terkenal di pusat kota Jakarta. Aku memang tidak pernah mengharapkan adanya hari ini. Aku tidak seperti anak-anak perempuan lainnya yang sangat antusias sekali saat ulangtahun ke-17nya dirayakan besar-besaran seperti aku. Terlebih karena, aku harus menutupi banyak hal di pesta ini dari orang-orang yang rata-rata tidak pernah aku temui sama sekali, di antaranya adalah rekan kerja orangtuaku, hingga semua karyawan orangtuaku.

    Aku muak dengan semua ini. Aku muak dengan semua kemewahan yang sebenarnya semakin membuat hidupku tidak beraturan. Aku harus menjaga nama baik orangtuaku, aku harus mengikuti apa yang mereka paksakan dalam hidupku, dan aku juga dituntut untuk menjadi seperti kakakku. Aku benci hidupku. Lupakan semua hal mengenai sekolahku, aku bahkan tidak memiliki waktu untuk belajar, karena aku tahu, aku memang sebaiknya tidak ada di dunia ini.

    Pukul 19.00
    “Dengan demikian, acara “Sweet Seventeenth Leona Rainie akan dimulai sesaat lagi!” teriak MC acara yang kata kedua orangtuaku adalah aktor papan atas, namun aku bahkan tidak peduli.

    “Diharapkan untuk para hadirin yang terhormat untuk berdiri sambil menyambut kehadiran Leona Rainie di tempat ini!”

    Disusul dengan tepukan tangan dari semua tamu, aku berjalan perlahan di atas karpet merah, berusaha tersenyum semaksimal mungkin, walaupun yang aku rasakan hanyalah kehampaan. Di atas panggung, aku disambut oleh MC, dan belasan blitz dari kameramen berusaha menangkap siluet tubuhku.

    Acara berjalan lancar, semua orang yang tak ku kenal itu memberikan ucapan selamat satu per satu dan semuanya kembali berbincang-bincang dengan orangtuaku.

    “Kalian adalah orangtua yang hebat, bisa membesarkan kedua putri tercinta dan memastikan mereka tumbuh dengan baik dan tidak kekurangan.”

    “Anak mana yang tidak akan iri jika melihat acara ulangtahun semewah ini!”

    Pembicaraan seperti itu sudah sangat familiar di kehidupanku. Mereka hanya tidak tahu ada apa di balik kain yang menutupi pundak dan lenganku ini. Mereka hanyalah tidak mengerti apa yang selama ini aku rasakan. Mereka tidak pernah menanyakan mengapa mereka tidak melihat anak-anak sebayaku yang datang ke acara pentingku yang sebesar ini. Mereka tidak akan pernah tahu bahwa aku tak memiliki seorangpun di lingkunganku dan bahkan sekolahku. Aku hanyalah seorang Rainie yang memiliki banyak orang yang kagum pada kedua orangtuaku dan hidupku yang berkecukupan, namun hidupku yang sebenarnya adalah di saat aku memasuki kamar pribadiku dan menguncinya dari dalam. Aku bersyukur, setidaknya aku dapat tampil sebagai anak yang antusias dan bahagia di pesta ini hingga selesai. Sekali lagi, aku berhasil membuat orangtuaku bahagia.

    Setibanya di rumah, suster pribadiku membantuku melepaskan heels dan membantu memasukkan semua properti milikku ke dalam kamarku kembali. Ia sempat menawarkan untuk membantu melepaskan tali-tali di gaunku, tapi aku secepat mungkin menolak. Aku tahu tidak ada satu pun orang yang boleh mengetahui ada apa di balik kain dan gaun ini.


    Spoiler untuk Chapter 2 :
    Minggu, 1 Maret 2009
    Aku terbangun pukul 4 di pagi hari dan aku selalu tidak dapat kembali untuk tidur lagi setelah terbangun. Aku berusaha bangun dan berjalan menuju meja belajarku dengan terhuyung-huyung. Aku merasakan kepalaku sangat berat dan badan yang teramat letih. Ah, aku ingat jelas, apa yang aku lakukan kemarin malam. Lagi dan lagi, aku menangis hingga terlelap. Setidaknya, aku tidak melakukan hal “itu”.

    “Apa yang harus dilakukan sepagi ini?” gumamku sambil menarik napas lemah.

    Tanggal di kalender di meja belajarku tidak hanya berwarna merah hari ini, namun ada catatan kecil, “SIAD”1. Tahun baru 2009 yang lalu, aku sengaja menandai tanggal ini, dengan harapan aku tidak akan “bermain” lagi dengan gunting dan silet yang aku sembunyikan di bawah tempat tidurku. Namun, aku sampai sekarang masih melakukan itu, guna menahan semua gejolak hati yang terkadang sudah tidak dapat aku tahan lagi. Aku melakukan semua hal ini bukan untuk mati. Seringkali aku berpikir bahwa aku memang tidak pantas hidup di dunia ini, namun tidak berarti aku akan kalah dari semua ini.

    Aku mengambil gunting kecil dari bawah tempat tidurku, mengambil sisa kertas origami berwarna oranye, mengguntingnya, dan melipatnya menjadi sebuah pita. Aku mengambil sebuah spidol berwarna merah berusaha menuliskan sebuah kata, “LOVE”, di pergelangan tanganku.

    “RRHHHH!!! AHHHHHH!” jeritku kesakitan dan tanpa sadar, spidol itu sudah terlempar dari tanganku.

    Meskipun harus menahan sakit, aku berusaha keras untuk tetap menuliskan kata itu di pergelangan tanganku yang masih penuh dengan goresan luka yang belum mengering. Aku menangis lagi, menyadari betapa aku sangat ingin dicintai. Aku ingin dicintai kedua orangtuaku, aku ingin mereka mengerti bahwa aku tidak ingin meneruskan usaha mereka. Mereka seharusnya menjadi orang yang paling mengerti dan mendengarkan aku. Tapi mengapa mereka bahkan lebih memilih untuk melihat aku yang berlari dan membanting pintu kamar, daripada berusaha melihat bakatku?

    Aku memang tidak pernah berharap ada lawan jenis yang menyayangiku dengan tulus. Bagiku, lawan jenis hanyalah akan menambah masalah hidupku dan aku pun tidak rela jika aku harus membagi rahasiaku ini dengan orang lain. Cukup hanya diriku dan kamar ini yang menjadi saksi bisu setiap malam menjelang pagi hari.

    Ah, aku tak boleh menangis terus-menerus seperti ini. Aku harus kembali mengingat tujuanku di tanggal 1 Maret ini, meskipun di Indonesia, hari ini hanyalah dianggap hari Minggu biasa. Pita oranye dan sebuah kata “LOVE” di pergelangan tanganku setidaknya telah membuat aku menyadari bahwa aku tidak sendirian hari ini. Masih banyak orang di luar sana yang melakukan apa yang aku lakukan setiap harinya dan berjuang untuk dicintai.

    Jumat, 6 April 2007
    “Kamu ini apa-apaan?! Baru umur 15 tahun, sudah bisa membangkang orangtua yang selama ini membesarkan kamu! Anak macam apa kamu!” bentak ayah di depan ibu dan kakakku.

    “Coba Rei kamu pikirkan ulang apa yang ayah katakan. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kamu. Kamu lihat, Sunny baru berumur 18 tahun, tapi dia sekarang sudah bisa ikut membantu ayah di perusahaan.” ujar Ibu dengan lemah lembut, sambil memelukku.

    Sebisa mungkin, aku menahan air mata itu jatuh dari mataku. Setelah semua yang aku lewati, aku tidak ingin terlihat lemah di depan kedua orangtuaku. Pelukan itu hampir membuat aku lemah, karena Ibu sangatlah jarang memelukku.

    “A-Aku....” aku ingin membela diri, namun suara itu memang tidak pernah keluar sebagaimana mestinya.

    “Pokoknya, kalau kamu masih ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan yang ada di rumah ini! Jangan pernah sekalipun kamu membangkang atau kamu akan tahu apa akibatnya!” suara ayah semakin meninggi dan ancaman itu sudah sangat familiar sejak aku berumur 13 tahun.

    “Ya” jawabku seadanya.

    “Dengar ayah, Rei. Kamu ingat waktu dulu kakakmu memaksa ayah untuk mengijinkannya masuk jurusan design grafis? Apa kamu tidak lihat betapa dia menyesal telah melawan ayah? Ayah tahu apa yang baik bagi masa depan kalian. Kamu pikirkan baik-baik. Ayah tidak ingin kamu akhirnya menyesal seperti kakakmu dan walaupun akhirnya dia berpindah ke jurusan ekonomi, itu hanya akan membuang-buang waktu!” ceramah ayah yang sebenarnya sudah tidak ingin aku dengar.

    “Ya. Tolong jangan marahi aku lagi. Aku sudah mengerti.” sahutku lemah.

    Aku berusaha berdiri dari tempatku sebelum air mata itu jatuh tidak pada tempatnya, berlari secepat mungkin ke kamarku, membanting pintu kamar, dan menguncinya dari dalam. Aku menangis, entah hingga kapan. Aku hanya tahu, bahwa aku harus mengambil benda-benda tajam di tempat persembunyianku. Lagi dan lagi, aku tidak dapat dihentikan. Tangisanku pun tak akan pernah didengar oleh siapapun. Aku akan seperti ini hingga aku didengar. Ya, aku hanya ingin didengar. Aku tidak mau lagi dibanding-bandingkan dengan Sunny. Aku adalah aku, akulah satu-satunya orang yang akan menentukan ke mana masa depanku berada.

    Hari ini akhirnya aku lagi-lagi terlelap dengan air mata yang mengering di sekitar pipi, mata yang membengkak, serta beberapa goresan baru lagi di lengan tangan kiriku.

    “Rei, ayah dan ibu mengerti keinginanmu, kamu boleh memilih jalanmu sendiri. Kamu boleh mengambil jurusan sastra Indonesia untuk masa depan kamu. Kamu berhak untuk mendapatkan itu. Rei, jangan bersedih lagi.” suara ayah dan ibu terdengar sedikit bergema namun sangat jelas.

    “Ayah… Ibu...A-Aku mencinta...” balasku, terhenti.

    Aku berusaha menahan air mata kebahagiaan yang hampir jatuh begitu saja. Aku benar-benar bahagia karena akhirnya mereka dapat mengerti apa yang aku inginkan. Namun, tubuh ayah dan ibu semakin lama, memudar.

    “AAAAAAAHHHHHH!!!!” teriakku, sadar dengan apa yang barusan terjadi.

    Aku melirik sesaat ke jendela di kamarku, langit sudah tidak segelap di saat malam hari. Sejenak aku menerka, mungkin jam setengah lima pagi.

    “Mimpi itu lagi. Mimpi itu lagi. Mengapa suara itu hanya selalu datang di saat aku terlelap. Apakah harapanku ini memang hanya sebatas mimpi yang tidak akan pernah terwujud? Aku benci semua ini!” suaraku parau, diiringi tangis kelelahan dan keringat yang sudah membasahi bajuku.

    Subuh itu, aku lagi-lagi melakukannya. Entah apa yang aku pikirkan saat aku mengambil silet itu lagi. Goresan baru di punggung kiri ku kini semakin dalam dan mengeluarkan sedikit bercak merah darah. Aku tak takut pada apapun lagi. Meski aku tahu, self-injury ku ini akan memburuk dan terus memburuk.


    Spoiler untuk Chapter 3 :
    Jumat, 17 April 2009
    Hari ini adalah hari UAN terakhir, Sosiologi. Aku? Menyentuh buku sosiologi pun tidak. Apa yang harus aku pelajari, selama aku tidak pernah peduli dengan pendidikanku sejak orangtuaku melarang apa yang aku hendaki. Aku selalu berpikir, apabila aku tidak naik kelas, apakah ada kemungkinan orangtuaku akan benar-benar melihat apa yang ku mimpikan selama ini?

    “Kalau si Rainie lagi sedih sambil tidur-tiduran di meja gitu, pasti langit langsung gelap tuh! Hahahaha”

    “Hahahaha. Ngacooo. Emang kapan tuh anak kaga sedih? Sedih terus kali dia, kalo emang bener tiap sedih, langit bakal gelap, tiap hari dong gelapnya? Hahahaha”

    Bisikan-bisikan seperti itu sudah sering aku dengar di saat jam istirahat sekolah, ataupun sebelum bel berbunyi tanda masuk kelas. Ada kemungkinan aku hanyalah satu-satunya murid SMA yang tidak peduli dengan siapa teman sekelasku dan siapa nama mereka. Untuk apa menghafal nama mereka, di saat yang mereka lakukan padaku hanyalah mencela aku setiap harinya?

    Setidaknya, hari ini adalah hari terakhir aku akan berada di sekolah ini. Setelah UAN ini berakhir, anak-anak kelas 3 akan diijinkan berada sepuasnya di rumah. Diriku bahkan tidak mengingat tanggal berapa aku diwajibkan untuk kembali ke sekolah untuk class meeting2 , pembagian raport dan pengambilan ijazah.

    Sesungguhnya, aku ingin lulus dan keluar dari sekolah ini secepat yang aku bisa. Sekolah yang hanya membuang waktuku setiap hari dan yang pada akhirnya hanya menambah beban pikiranku. Namun, di lain sisi, adalah baiknya jika aku tidak lulus. Dengan cara apapun, aku selalu berusaha untuk membuat rencana orangtuaku tertunda. Ya, tertunda. Aku tahu rencana orangtuaku memang tidak akan pernah dapat digagalkan. Mereka tidak akan pernah mengerti.

    Sabtu, 23 Juni 2001
    “IBUUUU!! Rei udah selesaiii! Rei tunggu di depan yaaaa!” teriakku bersemangat, sambil berlari kecil keluar dari rumah.

    Hari ini adalah hari pengambilan raportku. Walaupun aku masih duduk di kelas 4 SD, semangat belajarku tinggi. Aku selalu belajar dan mengerjakan setiap pekerjaan rumah setiap malam. Siang harinya sepulang sekolah, aku selalu bermain dengan Sunny, dia seringkali memaksa aku untuk belajar menggambar. Ah, tapi gambar memang bukan bakat dan hobiku. Gambar yang menjadi rutinitasku adalah gambar gunung dengan matahari di antaranya, serta sawah dan sungai kecil di bawah gunung. Ah, sungguh memalukan jika dibandingkan dengan kakakku. Sunny sangat pandai menggambar dan mewarnai. Nilai seni lukisnya selalu di atas rata-rata, sedangkan aku? Nilai 70 sudah menjadi kategori “memuaskan” untukku.

    “AAAAAAHHH HUJANNNN!!” teriakku sambil berlari masuk ke dalam rumah kembali.

    “Ibuuuuu! Ibuuu! Hujannnn derass!”

    Tidak lama kemudian, Ibu pun akhirnya keluar dari kamarnya dan menanyakan mengapa aku berteriak.

    “Hujan deras, Bu. Kalau hujan deras, berarti hari ini, harinya Rei kan ya?” ucapku dengan manja.

    Orangtuaku pernah bercerita bahwa asal mula namaku adalah karena aku lahir di saat hujan sedang turun sangat deras. Ah, aku sangat menyukai hujan. Hujan selalu menjadi pertanda bahwa aku akan melewati satu hari yang baik.

    “Ayo Rei, naik ke mobil langsung ya. Jangan sampai kehujanan. Rei kecil memang lahir saat hujan, tapi bukan berarti kamu ga bisa sakit kalau kena hujan.” kata Ibu sambil tersenyum kecil.

    “Ga mau naik ke mobil. Mau main hujan! Bweeek!” sahutku sambil menjulurkan lidahku.

    Ibu memasang muka seakan-akan ia sedang marah denganku. Aku hanya tertawa dan aku segera naik ke mobil, menuju sekolah, dan mengambil raportku.

    “Selamat pagi, Leona.” sapa guruku sambil tersenyum saat melihatku masuk ke dalam kelas.

    Di sekolah, aku memang dipanggil Leona. Bagiku, tidak ada masalah yang berarti, karena menurutku Leona juga namaku dan enak didengar.

    “Pagi, Bu! Gimana raportnya Leona? Bagus ga? Nanti kalau ga bagus, Ibu marah sama aku!” sahutku ceria sambil melirik ke arah Ibuku di sebelah.

    “Selamat pagi, Bu. Ini raport Leona. Nilai Leona mengalami peningkatan lagi dan ia masih berada di peringkat pertama di antara 54 murid. Ibu pasti sangat bangga memiliki anak perempuan manis dan pintar seperti Leona.” puji Ibu Guru.

    “Asiiikkk! Ibu aku juara 1 lagi!” loncatku kegirangan.

    “Rei, sini dulu. Ga boleh gitu dong. Harus bilang apa sama Ibu Guru?” muka Ibuku mendadak berubah sangat serius.

    “Oh iya, makasih ya Bu guru! Kalau ga berkat Ibu guru, Leona juga pasti ga bisa kayak gini!”

    Ibu memang selalu serius dalam mengajarkan sopan santun dan tata krama dalam bersosialisasi dengan orang lain, terlebih dengan orang yang lebih tua. Menurut Ibuku, selain nilai akademik yang baik, aku juga harus dituntut untuk selalu sopan dengan sesama.
    Sepulangnya dari sekolah, aku mengingat bahwa Ibu pernah menjanjikan akan membelikan hadiah jika aku masih bertahan di peringkat pertama. Sesungguhnya aku sangatlah kebingungan bagaimana meminta hadiah itu, namun akhirnya dengan ketakutan aku bertanya,

    “Ibu, waktu itu Ibu pernah bilang ada hadiah kalau aku juara 1 kan ya?”

    Aku sangat ketakutan bila Ibu menjadi marah karena aku hanya mengharapkan hadiah. Ibu tidak pernah suka apabila anak-anaknya mendapatkan prestasi karena hanya ada barang yang dijanjikan. Namun Ibu dengan tertawa kecil menjawabku,

    “Iya, hadiahnya udah ada di kamar Rei kok. Coba di cek aja. Ibu kan memang sudah tahu bahwa Rei bakal juara 1 lagi. Makanya tadi Ibu rada lama keluar rumahnya, kan Ibu mau memastikan dulu kalau hadiahnya baik-baik saja.”

    “Makasih Ibu!” pelukku, lalu berlari menaiki tangga, menuju kamarku.

    “Waaahh, buku apa nih? Tebel banget! Haaaa tulisan semua isinya. Kok ga ada gambar begini. Gimana nih bacanya?” gumamku kebingungan, sambil membolak-balik halaman buku dari depan ke belakang, dan sebaliknya.

    Malam itu dan hari-hari berikutnya aku habiskan untuk membaca buku yang belakangan ku ketahui namanya adalah sebuah novel. Sejak hari itu, aku sangat suka membaca dan setelah novel itu selesai ku baca, aku mulai memikirkan suatu hal yang akhirnya telah mengubah hidupku sepenuhnya, namun aku tahu, aku membutuhkan waktu untuk mengatakannya pada orangtuaku.

    Kamis, 18 Juli 2002
    “APA?! DKV? Design Grafis?! Kamu ga salah? Otakmu ada di mana Sunny?”

    “Aku cuma mau DKV, ayah! Dengerin Sunny kenapa sih?”

    “Kamu itu anak yang pintar. Kamu masih SMP sekarang. Perjalananmu masih panjang. Kamu harus pikirkan dengan matang, Sunny. Tidak ada kesenian di rumah ini!”

    “AKU GA... – GA M-MAU A-AMBIL EKO-EKONOMI, YAH!”

    Topik itu lagi, topik itu lagi. Mengapa ku harus mendengar suara tangis kakakku sendiri setiap hari, karena keegoisan ayahku? Mengapa ia harus memaksakan kakakku untuk mengikuti keinginannya, di saat apa yang kakakku mau adalah jalannya sendiri. Aku tahu, suatu saat nanti aku akan seperti dirinya dan apa itu ekonomi? Aku memang belum tahu apa itu, namun sepertinya sangat tidak menarik dan memuakkan.

    Minggu, 6 Juli 2008

    Cinta. Apa itu cinta? Apa yang terjadi jika seorang Rainie mengenal cinta? Ingat, ini rahasia. Jangan membuat rahasia ini tersebar, apalagi terdengar oleh orangtuaku.

    “Hari ini, biar dunia tahu,
    aku, terpesona dalam rindu.
    Terperangkap dalam nostalgia dirimu.
    Aku rela hentikan waktu,
    demi mencintaimu.”


    Mico, kau membuat hidupku benar-benar berubah. Aku benar-benar hidup saat ini. Mengapa kau dapat menerima aku apa adanya seperti ini? Mengapa kau memilih aku yang hanya akan menyusahkan hidupmu? Ah, apalah artinya aku memikirkan hal-hal itu. Aku sudah ditembak! Hey, aku sudah tidak single saat ini. Aku sangat bahagia.

    “DDRRTT.. DRRTTT..”

    Ah, kini hape-ku sudah tidak akan sepi lagi. Aku harus membiasakan diri dengan hal ini. Perasaan sedih itu benar-benar sudah tidak akan pernah ada lagi.

    “Jangan lupa makan, badan kecilmu itu butuh asupan gizi yang cukup. Love, Mico.”

    Tanpa sadar, pipiku memerah. Ah, ternyata rasa dicintai adalah seperti ini. Bahagia setiap waktu, tersenyum menjadi kewajiban setiap menitnya. Aku selalu berharap, hidupku akan selalu seperti ini. Bersama seseorang yang dapat mendengarkan aku, meskipun dunia ini sudah menolakku.

    Oh iya, dari mana aku mengenal Mico? Aku mengenalnya dari sebuah situs online. Kebetulan, Mico bertempat tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku, dan beberapa bulan yang lalu, aku pernah membuat janji untuk bertemu dengannya di sebuah mall elite di Jakarta. Ia sangat peduli dengan keadaanku. Ia mengatakan bahwa aku sangatlah kurus dan tampak sangat lesu. Setelahnya, Mico sering mengirimkan pesan ke Yahoo Messengerku. Ia sering mengirimkan kata-kata manis untuk membuat hidupku menjadi lebih baik. Tapi, aku memang jarang menghabiskan waktu untuk online. Oleh karena itu, aku selalu membalas pesannya beberapa hari setelahnya.

    Aku tidak pernah memberitahu nomor hape-ku kepadanya, karena bagiku chatting via Y!M pun sudah lebih dari cukup. Aku tidak ingin ada orang lain yang masuk dan tahu tentang siapa sebenarnya aku. Namun, semakin lama, ada perasaan yang tumbuh dan berbeda dari biasanya. Aku tidak pernah memiliki teman selama aku duduk di bangku SMP-SMA, namun aku tahu Mico telah menduduki tempat di hatiku, lebih dari hanya seorang teman.

    Aku mencintainya.


    Spoiler untuk Chapter 4 :
    Minggu, 3 Agustus 2008

    Hari ini, Mico mengajakku untuk berjalan-jalan ke salah satu mall di Jakarta. Refreshing, katanya. Dia tidak ingin aku selalu berdiam diri terus-menerus di kamar.

    “Mico, mau makan tahu gejrot hari ini!” sahutku tiba-tiba.

    “Ga boleh makan cabe banyak-banyak. Kamu kalau makan itu pasti cabenya ga kira-kira. Udah badan kecil banget gitu, makannya cabe doang bukan makan yang lebih bisa bikin gede!” canda Mico.

    “AAAA Micooo! Mau! Mau! Mau! Pokoknya mau!”

    “Ngidam, Rei?”

    “Iya kali! Pokoknya mau! Mau siomay, mau ketoprak, mau gorengan!”

    “Hah? Beneran ngidam kayaknya kamu Rei. Yaudah kira-kira biasanya ada di mana? Aku jarang makan yang kayak begitu.”

    “Biasanya di dekat perempatan di depan sana ada.” sahutku sambil menunjuk ke depan.

    “Yaudah. Yang di depan supermarket itu kan? Nanti aku sekalian mau beli barang dulu, dititipin sama mama aku kemaren, oke?”
    Setibanya di depan supermarket, hanya ada satu gerobak yang berjualan. Maklum, baru pukul 4. Para penjaja makanan baru akan berjualan mulai jam 5 sore.

    “Tahu gejrotnya belom ada. Tapi itu ada siomay. Oke, aku makan siomay aja. Uda kangen makan pare!”

    Sejak SMA 1, aku sangat menyukai pare, entah itu direbus, atau dimasak dengan bumbu apapun. Terkadang Ibu pun suka memasakkan pare hanya untuk diriku, karena tidak ada yang menyukai pare di keluargaku.

    “Kamu mah pare mulu. Ga ada enak-enaknya itu makanan. Pahit, kayak minum obat. Pantes tuh muka kamu pahit banget keliatannya!”

    “Yeeee, biarin aja. Suka-suka aku dong! Emang masalah buat kamu?”

    “Masalah ga ya? Maunya masalah atau engga? Hahaha”

    “Bawel ah, aku turun duluan yaaa.”

    “Hati-hati, Rei sayang. Aku ke supermarket dulu juga.”

    Akhirnya aku menghampiri gerobak siomay itu, berharap akan mendapatkan pare yang sudah idam-idamkan.

    “Mas, dibungkus ya.” kataku kepada mas-mas yang berjualan.

    “Mau berapa?”

    “Ini kok ditanya mau berapa ya. Bukannya biasa kalau beli siomay itu, kita milih dulu mau apa aja terus baru dia itungin harganya berapa? Apa ini beli siomay sekarang uda paketan ya?” sahutku dalam hati.

    “Hah? Mau berapa gimana ya?” tanyaku balik.

    “Iya mau 1 atau berapa, dek?”

    “Jadi beli siomay itu sekarang bisa beli 1 biji doang gitu? Apaan dah ini. Kok makin aneh beli siomay aja pake berapa.” pikirku dalam hati, kebingungan.

    “Kalau gitu saya liat dulu aja bang ada apa aja.”

    “Mau lihat apanya, dek?”

    “Iya saya lihat-lihat dulu ada apa. Ada pare ga, mas?” tanyaku, karena tidak semua penjual siomay menjual pare.

    “HAH? Pare? Pare apa?”

    “Pare ya pare, mas.” ujarku gusar.

    “Hah? OOOHH! Adek maunya siomay ya?”

    “Lah? Ya iya, mas

    “OOOHHH! Kamu carinya siomay? Ga ada yang jual siomay di sini.” kata mas-mas yang berjualan itu sambil tersenyum menahan tawa.

    Salah tingkah. Dalam keadaan panik, aku masih mengumpulkan sisa kesadaranku untuk melihat kata-kata yang tertulis di kaca gerobak itu. “S T O A Y A M”. Oh, jadi ini soto. Hanya saja stiker huruf O di gerobak itu sudah terlepas. Lalu di bagian mananya sampai aku bisa membaca itu “SIOMAY”? Ternyata salah tingkah rasanya seperti ini. Apa yang harus dilakukan saat ini? Mico sepertinya masih sangat lama di dalam supermarket itu dan kunci mobil pun ada di dirinya. Ah, sudahlah.

    “Errr, yaudah deh, mas. Sotonya satu aja.”

    “Sotonya 1 aja, dek?” masih sambil tersenyum menahan tawa.

    “Hmm, i-iya.”

    Sore ini, semua makanan yang tadinya terbayang olehku begitu nikmat, menjadi sangat tidak nikmat. Mico keluar dari supermarket dan memanggilku untuk naik ke mobil. Saat di mobil, Mico pun membuka sesi tanya-jawab,

    “Kok ga dimakan siomay-nya? tanyanya kebingungan sambil melihat ke arah kantong plastik hitam yang aku pegang.

    “Ga ada siomay-nya.”

    “LOH? Terus itu apa? Tadi katanya ada yang jual siomay.”

    “Ga jadi, beli soto jadinya.”

    “Loh? Soto darimana? Katanya tadi cuma ada siomay?”

    “Jangan tanya-tanya ah. Nanti aja kalau mau cerita soal itu. Ah, Mico, mampir ke rumah aku dulu lagi aja ya bentar. Nurunin sotonya dulu. Mumpung masih deket dari rumah aku juga kan.”

    “Hmm, okelah sayang.”

    Raut muka Mico memang berubah, ah tapi mau diapakan lagi. Ini juga bukan salahku sepenuhnya. Lalu, salah siapa? Ah, aku juga tidak tahu. Namun. Memang moodku sudah berubah sore itu. Entah, sebenarnya kejadian yang tadi ku alami itu memang termasuk kejadian yang lucu, tapi aku memang enggan untuk menertawakan kebodohanku saat ini.

    Akhirnya sisa hari ini aku habiskan dengan bersenang-senang dengan Mico. Ia mengajarkan aku bagaimana bermain ice-skating berjam-jam, namun mungkin memang bukan bakatku di bidang itu. Aku sempat terjatuh beberapa kali dan aku harap tidak akan ada memar kebiruan keesokan harinya.

    Aku dan Mico sudah hampir 1 bulan menjalani hubungan ini, dan aku perasaan sayang itu semakin lama semakin bertumbuh. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku harus membelikan sesuatu untuk Mico dan memberikannya saat perayaan 1 bulanan kita. Namun, apa yang harus dibeli?

    Sambil memikirkan apa yang harus dibeli, aku masih mengingat-ingat apa saja yang dilakukan hari ini. Suatu kemajuan hari ini aku dapat menghabiskan setengah hari di luar bersama orang lain. Hari ini perlu diberi sebuah judul, “SM : Siomay atau Soto bersama Mico”. Aku merasa sangat baik hari ini dan aku akhirnya menutup mataku malam ini dengan sebuah senyuman.

    Selasa, 5 Agustus 2008

    Setelah bel pulang berbunyi, aku segera berlari ke arah tempat parkir mencari mobilku, ups, mencari supirku yang berada di dalam mobil lebih tepatnya. Aku tidak ingin orang mengira aku dapat menyetir mobil. Ayah tidak akan membiarkan aku menyetir sendiri. Lagipula, untuk apa sebuah mobil, jika aku hanya tahu jalan menuju sekolah dan sekitar rumahku. Tapi, untuk hari ini, aku bertanya,

    “Pak, bapak tahu toko buku yang lengkap di mana?” tanyaku pada supir.

    “Yang lengkap ya? Ada sih, Cuma agak jauh, gapapa?”

    “Gapapa, pak. Soalnya ini penting.”

    “Pulang dulu atau langsung pergi?”

    “Langsung aja, pak. Aku yang telponin Ibu aja.”

    Aku memang selalu harus memberitahu ada di manakah diriku jika ingin berpergian. Ibu akan sangat marah jika tahu bahwa aku ada di suatu tempat dan tidak memberitahukannya.

    Setibanya di toko buku itu, aku segera menghampiri tempat yang menjual bahan-bahan untuk scrapbook3. Aku sudah membulatkan niatku untuk membuat satu scrapbook untuk Mico. Sebenarnya, aku tidak yakin ia akan menyukai pemberianku; dan terlebih aku memang tidak terlalu berbakat dalam hal semacam men-desain. Tentunya, aku tidak ingin meminta bantuan Sunny, karena ini adalah hadiah khusus yang aku ingin buat dengan tanganku sendiri untuk Mico. Rencanaku adalah membuat kira-kira beberapa kenangan menjadi satu, dan aku akan memasukkan satu atau dua puisi ciptaanku untuknya. Bahan-bahan itu akhirnya ku bawa pulang ke rumah. Aku rela menghabiskan cukup banyak uang untuk membeli bahan-bahan ini, asalkan untuk Mico seorang.

    Rabu, 6 Agustus 2008

    Hari yang ku tunggu-tunggu telah tiba! Aku sudah membuat janji dengan Mico setelah pulang sekolah dan pada akhirnya bel itu berdering. Aku segera mengambil ponselku dan menelepon Mico. Hari ini aku telah berbohong pada Ibu. Aku mengatakan bahwa hari ini aku tidak perlu dijemput, karena aku harus mengerjakan tugas kelompok. Ibu memang tidak pernah curiga bahwa aku tiba-tiba peduli dengan tugas, karena ia memang selalu berharap aku dapat kembali seperti dahulu, saat meraih juara kelas.
    Ponsel Mico tidak diangkat. Aku sudah berusaha mencoba meneleponnya hingga enam kali, dan hasilnya nihil. Aku tinggalkan pesan singkat berisikan,

    “Aku masih nungguin kamu loh, Mico. Aku hari ini udah minta ga dijemput supaya bisa langsung ketemu kamu. Kamu di mana?”

    “Apa Mico benar-benar lupa hari ini adalah hari 1 bulan kita bersama? Apa Mico melupakan janji temu kita hari ini? Apa aku harus menyusul Mico ke sekolahnya? Mico, mengapa di hari paling penting kita, kamu melupakan aku seperti ini?”

    Berbagai pikiran-pikiran negatif silih-berganti muncul di dalam pikiranku. Mico tidak pernah mengabaikan telepon ataupun pesan singkat dariku. Namun, mengapa harus hari ini? Dua jam telah berlalu, waktu telah menunjukkan pukul 3 sore. Tak ada tanda-tanda kemunculan Mico di depan gerbang sekolahku. Keadaan sekolahku pun sudah mulai sepi, aku hanya melihat ada beberapa anak-anak yang ikut ekstrakulikuler futsal di lapangan. Ini kali pertama aku masih berada di sekolah hingga sesore ini.

    “Drrrtt.. Drrrttt...”

    Ah, ponselku akhirnya bergetar. Dengan harap-harap cemas, aku membuka ponselku dan menemukan,

    “Kamu pulang jam berapa?”


    Ah, Ibu. Bagaimana aku harus menjawab Ibu, sedangkan aku masih belum menemui Mico. Dengan cemas, aku membalasnya,

    “Secepatnya, Bu. Nanti aku dianter sama temenku kok pulangnya.”

    Diantar? Apa Mico benar-benar akan mengantar aku pulang? Apa Mico akan datang hari ini? Sudahlah, apapun yang terjadi nant, aku memang tidak ingin cepat sampai di rumah. Jika memang Mico tidak menemuiku hari ini, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku di depan gerbang sekolah ini, sendiri.

    “Dddrrrtt... Drrttt...”

    Getaran ponselku lagi. Apakah ini Ibu ataukah Mico? Dengan cemas, aku kembali membuka ponselku sambil berharap itu adalah Mico.

    “Sayang, maaf. Aku baru inget hari ini aku ada ekskul basket. Tadi hapenya aku taro di locker. Ini aku baru selesai latian, kamu masih nunggu di sekolah? Aku ke sana sekarang. Tapi mungkin akan macet, jadi kira-kira setengah jam lagi baru sampe. Masih mau ketemu aku atau besok aja? Aku kosong kok besok.”

    Aku tidak tahu harus membalas apa, mengapa Mico dapat setega ini padaku? Bukankah selama ini dia yang paling mengerti aku? Mengapa kemarin saat aku membuat janji dengannya, ia tidak mengungkit sama sekali tentang ekstrakulikulernya itu? Mengapa harus saat ini setelah aku menunggu dua setengah jam lamanya. Namun, aku tetap tegar menahan air mataku, dan membalas pesan singkat itu,

    “Iya, aku masih nunggu di depan gerbang sekolah. Hari ini aja kalau kamu ga cape. Kalau cape, yaudah ga usah ketemuan lagi aja. Besok aku mau di rumah soalnya.”

    Kacau. Itulah perasaanku saat ini. Aku meremas plastik berwarna hitam di tangan kiriku, tempat dimana scrapbook untuk Mico berada. Tidak, aku tidak boleh menyerah sampai di sini. Aku ingin bahagia, dan kali ini, aku akan belajar untuk menerima kesalahannya.

    Jam di ponselku menunjukkan pukul 4 sore dan Mico kini berada tepat di depanku, namun aku benar-benar tidak tahu apa yang harus ku ucapkan saat ini. Antusiasmeku untuk hari ini telah pudar.

    “Rei? Rei? Kok bengong aja?”

    “Hah? Oh. Maaf.”

    “Kamu marah sama aku?”

    “Hmmm, engga.”

    “Terus? Kamu keliatan pucat Rei, kamu sakit?” tanya Mico sambil tersenyum.

    Ah, senyuman itu. Ia memang selalu dapat menenangkan aku di saat aku teramat sedih sekalipun, tapi tidak untuk hari ini. Kepalaku sangat sakit dan pandanganku seakan memudar perlahan. Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi lagi untuk menjawab pertanyaan terakhir Mico.

    “Rei? Rei? Kamu kenapa?”

    Sesaat badanku melimbung, dan dengan cepat badan ini sudah di pelukannya. Mico segera menggendongku ke dalam mobil dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku memang tak sadarkan diri sekitar satu jam, dan Mico tetap di sampingku hingga akhirnya aku terbangun.

    “Mico, aku kenapa?”

    “Ga ada hal serius kok. Nanti kalau kamu udah baikan, kamu aku anterin ke rumah.”

    “Dokter bilang aku kenapa?”

    “Ga apa-apa. Cuma dibilang tekanan darahmu menurun drastis, gara-gara kamu ga makan dan terlalu lelah hari ini.”

    Mico berubah sangat dingin padaku. Apa ini karena dia terlalu khawatir dengan keadaanku? Tapi, ke mana panggilan sayang itu pergi? Ah, sudahlah. Sesaat pandanganku terpaku pada infus yang disuntikkan pada tangan kiriku. Aku baru saja menyadari bahwa lengan jaket ini telah digulung hingga mencapai lenganku, guna menyuntik infus ini. Sesaat aku membeku, melihat semua goresan itu tertera jelas di sana tanpa tertutupi.

    Kepalaku seakan melimbung untuk kedua kalinya hari ini. Tapi, untunglah kini aku sedang berbaring di tempat tidur rumah sakit. Namun, pingsan di tempat ini bukanlah pilihan yang tepat. Aku harus segera pulang, sebelum Ibu dan Ayah mencariku. Sudah terlalu banyak masalah yang harus aku selesaikan hari ini, dan membuat orangtuaku panik bukanlah suatu pilihan.

    “Mico, aku mau pulang. Aku udah ga kenapa-kenapa kok.”

    “Bener?”

    Aku mengangguk lemah. Mico tidak pernah sedingin ini padaku. Tak ada lagi kecupan di pipi untuk menenangkan diriku. Perubahan pesat Mico ini membuat aku seakan merasa semakin lemah dan tak berdaya. Aku membutuhkannya.

    “Oke, aku panggilin dokter supaya kamu bisa diurus dan aku bisa cepet anterin kamu pulang.”

    Sebelum ia beranjak dari kursi di sebelah tempat tidurku, aku berusaha sekuat tenaga untuk bertanya,

    “Mico, kamu ga seneng kita hari ini satu bulanan? Aku ngajak kamu ketemu, buat ngerayain satu bulanan ini bareng.”

    “Dan akhirnya apa, Rei? Aku akhirnya nemenin kamu di rumah sakit doang kan? Ditambah lagi, kenapa kamu ga pernah cerita?”

    “Soal apa?”

    Aku tahu, suatu hari nanti ia pasti akan mengetahui dan menanyakan tentang siapa aku sebenarnya, apa yang aku lakukan selama ini saat sendirian di kamar, dan terlebih yang paling aku takutkan adalah saat ia bertanya darimana asal semua goresan itu ada. Akan tetapi, aku mohon, tidak saat ini, tidak hari ini.

    Ia hanya berdiam diri di sana untuk beberapa menit, melihat ke arah tangan kiriku, dan berjalan ke arah pintu. Ia sempat membalikkan badannya, menatapku, dan dengan tegas mengatakan,

    “Maaf kalau aku memang lupa hari ini adalah hari penting kita, tapi ada hal yang lebih penting yang seharusnya kamu ceritakan padaku sebelumnya, daripada akhirnya aku tahu sendiri apa yang selama ini kamu lakukan pada dirimu. Aku kecewa.”

    “Mi-Mico...”

    Sebelum kalimatku selesai terucap, ia sudah keluar untuk memanggil dokter. Hujan lebat diiringi guntur yang menyambar tiba-tiba mengguyur bumi, seakan-akan ikut bersedih atas aku. Air mata ini jatuh tak terbendung lagi. Aku terisak sejadi-jadinya, aku membutuhkannya di saat-saat seperti ini. Tapi apa jadinya jika akulah penyebab ia pergi meninggalkan diriku? Akankah ia mendengarkanku, meski untuk yang terakhir kalinya?


    Spoiler untuk Footnote :
    1SIAD : Self-injury Awareness Day. Salah satu hari peringatan berskala internasional untuk mengadakan kampanye atau sekedar lebih terbuka kepada diri sendiri atau orang lain mengenai “self-injury”. (Di Indonesia, perayaan ini masih dianggap tidak ada.

    2 Class meeting: Acara khusus yang diadakan oleh sekolahku setelah ulangan umum anak-anak kelas 1 dan 2. Biasanya diisi dengan lomba-lomba antar kelas bertemakan olahraga, seperti basket dan futsal.

    3 Scrapbook: sebuah wadah tempat menyimpan segala sesuatu yang kita anggap penting dalam hidup kita. Bentuknya seperti memorabilia album, di mana kita bisa menyimpan foto, lengkap dengan berbagai macam dekorasi, catatan, atau benda-benda lainnya yang bisa disimpan di dalamnya. Referensi: http://dianeaninditya.wordpress.com/


    Copyright ©2012 - SF Menulis (Forum IDGS)
    Last edited by Tsundere; 25-12-12 at 16:53. Reason: Add Chapter 4 + Genres
    "Can you BE any more clueless?"

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to Tsundere For This Useful Post:
  4. #2
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    ada ceritak baru

    oke karena gw udah tau spoileran ceritanya jadi ga bisa komentar banyak


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  5. #3
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Di post beneran..

    dikit saran aja deh,

    Kalo mo gak bisa ditebak gimana kedepannya, mending 'genre' yang blom muncul jangan ditulis dulu.

  6. #4
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    ada ceritak baru

    oke karena gw udah tau spoileran ceritanya jadi ga bisa komentar banyak
    SEMUA SALAH LO!
    gara" LO, cerita gua jadi di spoiler! PADAHAL harusnya lo bakal nanya ada apaan dianya!


    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Di post beneran..

    dikit saran aja deh,

    Kalo mo gak bisa ditebak gimana kedepannya, mending 'genre' yang blom muncul jangan ditulis dulu.
    oohhh. oke! genre nya dihilangin dulu deh beberapa
    "Can you BE any more clueless?"

  7. #5
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    ada cerita baru, nampang ah.

    thriller bok, gue inget manga thriller jadi malah ngebayangin yang aneh2.
    masalah si Rainie sih kayanya cukup umum juga, keluarga. tapi penasaran sama apa yang dibalik bajunya itu. tato naga kah..?

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  8. #6
    Bedeviere's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Osean Federation
    Posts
    2,317
    Points
    11,328.81
    Thanks: 118 / 45 / 34

    Default

    wah asik juga nih thriller

    feel thillernya sih belom dapet gw, tapi feel mysterynya udah kerasa kok

    kira2 yg ada dibalik gaunnya apaan yak

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    tapi penasaran sama apa yang dibalik bajunya itu. tato naga kah..?
    emangnya ini The Girl with The Dragon Tattoo

  9. #7

    Join Date
    Apr 2008
    Posts
    2,801
    Points
    1,662.85
    Thanks: 104 / 156 / 116

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    ada cerita baru, nampang ah.

    thriller bok, gue inget manga thriller jadi malah ngebayangin yang aneh2.
    masalah si Rainie sih kayanya cukup umum juga, keluarga. tapi penasaran sama apa yang dibalik bajunya itu. tato naga kah..?
    Quote Originally Posted by - [bedeviere] - View Post
    wah asik juga nih thriller

    feel thillernya sih belom dapet gw, tapi feel mysterynya udah kerasa kok

    kira2 yg ada dibalik gaunnya apaan yak



    emangnya ini The Girl with The Dragon Tattoo
    wah ada yang komen
    tato naga

    oke, ngampus dolok. nanti siangan mungkin udah ada update terbaru

    *eh mati. salah login ID

    Last edited by vLin777; 17-12-12 at 06:24.
    "The only way to do great work is to love what you do" ♥

    Hobby and Entertainment Forums
    My Personal Corner



  10. #8
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    Here it is! Chapter 2nya, silahkan dibaca, dicaci maki, sekalian saran dan semoga masih menarik

    Author : Tsundere
    Genre : Thriller, Tragedy, Psychology


    Spoiler untuk Chapter 2 :
    Minggu, 1 Maret 2009
    Aku terbangun pukul 4 di pagi hari dan aku selalu tidak dapat kembali untuk tidur lagi setelah terbangun. Aku berusaha bangun dan berjalan menuju meja belajarku dengan terhuyung-huyung. Aku merasakan kepalaku sangat berat dan badan yang teramat letih. Ah, aku ingat jelas, apa yang aku lakukan kemarin malam. Lagi dan lagi, aku menangis hingga terlelap. Setidaknya, aku tidak melakukan hal “itu”.

    “Apa yang harus dilakukan sepagi ini?” gumamku sambil menarik napas lemah.

    Tanggal di kalender di meja belajarku tidak hanya berwarna merah hari ini, namun ada catatan kecil, “SIAD”1. Tahun baru 2009 yang lalu, aku sengaja menandai tanggal ini, dengan harapan aku tidak akan “bermain” lagi dengan gunting dan silet yang aku sembunyikan di bawah tempat tidurku. Namun, aku sampai sekarang masih melakukan itu, guna menahan semua gejolak hati yang terkadang sudah tidak dapat aku tahan lagi. Aku melakukan semua hal ini bukan untuk mati. Seringkali aku berpikir bahwa aku memang tidak pantas hidup di dunia ini, namun tidak berarti aku akan kalah dari semua ini.

    Aku mengambil gunting kecil dari bawah tempat tidurku, mengambil sisa kertas origami berwarna oranye, mengguntingnya, dan melipatnya menjadi sebuah pita. Aku mengambil sebuah spidol berwarna merah berusaha menuliskan sebuah kata, “LOVE”, di pergelangan tanganku.

    “RRHHHH!!! AHHHHHH!” jeritku kesakitan dan tanpa sadar, spidol itu sudah terlempar dari tanganku.

    Meskipun harus menahan sakit, aku berusaha keras untuk tetap menuliskan kata itu di pergelangan tanganku yang masih penuh dengan goresan luka yang belum mengering. Aku menangis lagi, menyadari betapa aku sangat ingin dicintai. Aku ingin dicintai kedua orangtuaku, aku ingin mereka mengerti bahwa aku tidak ingin meneruskan usaha mereka. Mereka seharusnya menjadi orang yang paling mengerti dan mendengarkan aku. Tapi mengapa mereka bahkan lebih memilih untuk melihat aku yang berlari dan membanting pintu kamar, daripada berusaha melihat bakatku?

    Aku memang tidak pernah berharap ada lawan jenis yang menyayangiku dengan tulus. Bagiku, lawan jenis hanyalah akan menambah masalah hidupku dan aku pun tidak rela jika aku harus membagi rahasiaku ini dengan orang lain. Cukup hanya diriku dan kamar ini yang menjadi saksi bisu setiap malam menjelang pagi hari.

    Ah, aku tak boleh menangis terus-menerus seperti ini. Aku harus kembali mengingat tujuanku di tanggal 1 Maret ini, meskipun di Indonesia, hari ini hanyalah dianggap hari Minggu biasa. Pita oranye dan sebuah kata “LOVE” di pergelangan tanganku setidaknya telah membuat aku menyadari bahwa aku tidak sendirian hari ini. Masih banyak orang di luar sana yang melakukan apa yang aku lakukan setiap harinya dan berjuang untuk dicintai.

    Jumat, 6 April 2007
    “Kamu ini apa-apaan?! Baru umur 15 tahun, sudah bisa membangkang orangtua yang selama ini membesarkan kamu! Anak macam apa kamu!” bentak ayah di depan ibu dan kakakku.

    “Coba Rei kamu pikirkan ulang apa yang ayah katakan. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kamu. Kamu lihat, Sunny baru berumur 18 tahun, tapi dia sekarang sudah bisa ikut membantu ayah di perusahaan.” ujar Ibu dengan lemah lembut, sambil memelukku.

    Sebisa mungkin, aku menahan air mata itu jatuh dari mataku. Setelah semua yang aku lewati, aku tidak ingin terlihat lemah di depan kedua orangtuaku. Pelukan itu hampir membuat aku lemah, karena Ibu sangatlah jarang memelukku.

    “A-Aku....” aku ingin membela diri, namun suara itu memang tidak pernah keluar sebagaimana mestinya.

    “Pokoknya, kalau kamu masih ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan yang ada di rumah ini! Jangan pernah sekalipun kamu membangkang atau kamu akan tahu apa akibatnya!” suara ayah semakin meninggi dan ancaman itu sudah sangat familiar sejak aku berumur 13 tahun.

    “Ya” jawabku seadanya.

    “Dengar ayah, Rei. Kamu ingat waktu dulu kakakmu memaksa ayah untuk mengijinkannya masuk jurusan design grafis? Apa kamu tidak lihat betapa dia menyesal telah melawan ayah? Ayah tahu apa yang baik bagi masa depan kalian. Kamu pikirkan baik-baik. Ayah tidak ingin kamu akhirnya menyesal seperti kakakmu dan walaupun akhirnya dia berpindah ke jurusan ekonomi, itu hanya akan membuang-buang waktu!” ceramah ayah yang sebenarnya sudah tidak ingin aku dengar.

    “Ya. Tolong jangan marahi aku lagi. Aku sudah mengerti.” sahutku lemah.

    Aku berusaha berdiri dari tempatku sebelum air mata itu jatuh tidak pada tempatnya, berlari secepat mungkin ke kamarku, membanting pintu kamar, dan menguncinya dari dalam. Aku menangis, entah hingga kapan. Aku hanya tahu, bahwa aku harus mengambil benda-benda tajam di tempat persembunyianku. Lagi dan lagi, aku tidak dapat dihentikan. Tangisanku pun tak akan pernah didengar oleh siapapun. Aku akan seperti ini hingga aku didengar. Ya, aku hanya ingin didengar. Aku tidak mau lagi dibanding-bandingkan dengan Sunny. Aku adalah aku, akulah satu-satunya orang yang akan menentukan ke mana masa depanku berada.

    Hari ini akhirnya aku lagi-lagi terlelap dengan air mata yang mengering di sekitar pipi, mata yang membengkak, serta beberapa goresan baru lagi di lengan tangan kiriku.

    “Rei, ayah dan ibu mengerti keinginanmu, kamu boleh memilih jalanmu sendiri. Kamu boleh mengambil jurusan sastra Indonesia untuk masa depan kamu. Kamu berhak untuk mendapatkan itu. Rei, jangan bersedih lagi.” suara ayah dan ibu terdengar sedikit bergema namun sangat jelas.

    “Ayah… Ibu...A-Aku mencinta...” balasku, terhenti.

    Aku berusaha menahan air mata kebahagiaan yang hampir jatuh begitu saja. Aku benar-benar bahagia karena akhirnya mereka dapat mengerti apa yang aku inginkan. Namun, tubuh ayah dan ibu semakin lama, memudar.

    “AAAAAAAHHHHHH!!!!” teriakku, sadar dengan apa yang barusan terjadi.

    Aku melirik sesaat ke jendela di kamarku, langit sudah tidak segelap di saat malam hari. Sejenak aku menerka, mungkin jam setengah lima pagi.

    “Mimpi itu lagi. Mimpi itu lagi. Mengapa suara itu hanya selalu datang di saat aku terlelap. Apakah harapanku ini memang hanya sebatas mimpi yang tidak akan pernah terwujud? Aku benci semua ini!” suaraku parau, diiringi tangis kelelahan dan keringat yang sudah membasahi bajuku.

    Subuh itu, aku lagi-lagi melakukannya. Entah apa yang aku pikirkan saat aku mengambil silet itu lagi. Goresan baru di punggung kiri ku kini semakin dalam dan mengeluarkan sedikit bercak merah darah. Aku tak takut pada apapun lagi. Meski aku tahu, self-injury ku ini akan memburuk dan terus memburuk.


    Spoiler untuk Footnote :
    1SIAD : Self-injury Awareness Day. Salah satu hari peringatan berskala internasional untuk mengadakan kampanye atau sekedar lebih terbuka kepada diri sendiri atau orang lain mengenai “self-injury”. (Di Indonesia, perayaan ini masih dianggap tidak ada).


    Copyright ©2012 - SF Menulis (Forum IDGS)
    Last edited by Tsundere; 17-12-12 at 18:11.
    "Can you BE any more clueless?"

  11. #9
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Jadi si Rei itu ternyata ahli piso.

    Gue bacanya berusaha nenangin diri sendiri, soalnya kebayang yang nyilet2 badan sendiri itu mukanya sambil menyeringai kayak psikopat yang sering muncul di film2. belom kalo plus ketawa aneh "nyihihihiii~"...oke, lupakan.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  12. #10
    Bedeviere's Avatar
    Join Date
    Jun 2009
    Location
    Osean Federation
    Posts
    2,317
    Points
    11,328.81
    Thanks: 118 / 45 / 34

    Default

    buset ternyata Rei itu masochist

    boleh lah, lanjutkan!

  13. #11
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    seharusnya ini judulnya jadi Knife Art Online

    #digaruk

    Spoiler untuk Editor mode ON :

    • Gw tau ini sudut pandang orang pertama, tapi jangan kebanyakan nulis "aku" di satu paragraf. Variasiin, selingin pake "ku" , "diriku", dst.
    • Tahun baru 2009 yang lalu, aku sengaja menandai tanggal ini, dengan harapan aku tidak akan “bermain” dengan gunting dan silet yang aku sembunyikan di bawah tempat tidurku lagi
      Tuker tempat.
      Tahun baru 2009 yang lalu, aku sengaja menandai tanggal ini, dengan harapan aku tidak akan “bermain” lagi dengan gunting dan silet yang aku sembunyikan di bawah tempat tidurku
    • Entah apa yang aku pikirkan saat aku mengambil silet itu lagi. Goresan baru di punggung kiri ku kini semakin dalam dan mengeluarkan sedikit bercak merah darah.
      Seems illogical.
      Di awal" digambarin kalo yang luka" itu pergelangan tangan kiri, terus ini di punggung...nyilet"nya ga susah apa ya



    1 lagi, footnote nya menarik


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. #12
    levialexander9's Avatar
    Join Date
    Jan 2012
    Posts
    5,671
    Points
    778.48
    Thanks: 100 / 289 / 266

    Default

    btw ini salah judul, harusnya Rainie VS Rainy bukan Rainie VS Rain

  15. #13
    Xiaolie's Avatar
    Join Date
    Oct 2011
    Posts
    2,172
    Points
    1,602.25
    Thanks: 93 / 127 / 55

    Default

    Wuih, Ternyata jadi orang tua juga susah

    Kira2 yg di balik Gaunnya apa ya? LOVE Tattoo ?

  16. #14
    Tsundere's Avatar
    Join Date
    Jun 2010
    Posts
    109
    Points
    79.30
    Thanks: 1 / 4 / 4

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Jadi si Rei itu ternyata ahli piso.

    Gue bacanya berusaha nenangin diri sendiri, soalnya kebayang yang nyilet2 badan sendiri itu mukanya sambil menyeringai kayak psikopat yang sering muncul di film2. belom kalo plus ketawa aneh "nyihihihiii~"...oke, lupakan.
    bisa jadi blacksmith juga nanti

    gimana kalo badan lu gua potong" jadi melon yang siap dijus?


    Quote Originally Posted by - [bedeviere] - View Post
    buset ternyata Rei itu masochist

    boleh lah, lanjutkan!
    terimakasih
    jangan bosen" buat baca yak


    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    seharusnya ini judulnya jadi Knife Art Online

    #digaruk

    Spoiler untuk Editor mode ON :

    • Gw tau ini sudut pandang orang pertama, tapi jangan kebanyakan nulis "aku" di satu paragraf. Variasiin, selingin pake "ku" , "diriku", dst.

    • Tuker tempat.

    • Seems illogical.
      Di awal" digambarin kalo yang luka" itu pergelangan tangan kiri, terus ini di punggung...nyilet"nya ga susah apa ya



    1 lagi, footnote nya menarik
    untuk kata "aku" nya next chapter akan coba divariasikan
    buat kata "lagi"nya akan segera di-edit.
    untuk poin terakhir, bisa sebenernya. coba bayangkan, tangan lu nekuk ke belakang, terus jrettttttt. berdarah deh

    gua uda pernah nyoba soalnya

    thankyou btw


    Quote Originally Posted by Xiaolie View Post
    Wuih, Ternyata jadi orang tua juga susah

    Kira2 yg di balik Gaunnya apa ya? LOVE Tattoo ?
    hmmm, masa belom tau ada apa di balik gaunnya? uda jelas loh padahal
    Last edited by Tsundere; 17-12-12 at 17:55.
    "Can you BE any more clueless?"

  17. #15
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Quote Originally Posted by Tsundere View Post
    bisa jadi blacksmith juga nanti

    gimana kalo badan lu gua potong" jadi melon yang siap dijus?


    hmmm, masa belom tau ada apa di balik gaunnya? uda jelas loh padahal
    dibalik gaunnya ada melon potong yang ditempa jadi piso berarti...
    btw lebih mending beliin melon seger aja. makan buahnya lebih sensasional dibanding minum jusnya.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

Page 1 of 3 123 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •