===========================
Chapter 6 – Life: Digital Chocolate
===========================
“Itu…”
“Seharusnya kuberikan tanggal empat belas kemarin.” Kemudian ditaruhnya coklat itu di pangkuannya.
“Jadi itu yang menahanmu?”
“Mmm. Begitulah kata orang-orang itu.”
Aku taruhan, yang dimaksud Rika adalah orang-orang dari organisasi yang menjalankan A.L.I.C.E. Project.
“Aku juga sudah baca laporan-laporan terdahulu tentang A.L.I.C.E. Project hari Sabtu dan Minggu kemarin. Mungkin karena mengetahui kalau aku adalah anak dari dua rekan mereka, merekapun memberitahuku banyak hal. Mau dengar?”
“Aku bohong jika bilang tidak.”
“Huh, kamu ini. Suasananya sudah romantis malah minta dijelaskan yang begitu.”
“Kamu sendiri yang menawarkan. Bagaimana sih?”, kupukul pelan kepalanya.
“Ehehe… iya, iya.” Lidahnya dijulurkan sedikit. “Jangan marah begitu ah.”
Sebagian besar sama persis dengan yang Yetz jelaskan. Entah
cybertron gila itu berpikir sendiri, masih punya datanya, atau menjebol server yang menyimpan data A.L.I.C.E. Project. Yang bertambah dari penjelasan Rika adalah…
“Waktu itu mereka sempat terpecah. Ada yang meyakini bahwa A.L.I.C.E. Project takkan sempurna tanpa mempelajari dimensi spiritual, namun kubu lainnya menolak mentah-mentah argumen itu karena tidak masuk akal. Dan dengan insiden yang kualami… mereka mulai percaya tentang adanya hal transenden itu.”
“Tapi mereka bergerak cepat sekali setelah insiden itu…”
“Mereka tidak pernah benar-benar berhenti. Memang tidak ada kegiatan yang signifikan, namun setiap saat mereka terus mengawasi kota ini untuk segala kemungkinan yang terjadi. Yah, kamu tahu sendiri, Autoburg memang dirancang untuk mempermudah segala penelitian ilmiah.”
Rika menarik nafas panjang.
“Jadi, apa kamu sudah---“
Segera kupotong, “Rika, kumohon. Bertanya lagi malah membuatku bimbang…”
Wajahnya menengadah, menatap langit yang menangis dalam bentuk butiran salju.
“Kamu benar-benar sudah dewasa. Padahal sebentar lagi aku akan pergi…”
“Sebenarnya aku tidak akan pernah siap dengan kepergianmu, Rika. Setidaknya dalam waktu dekat.”
“Eh…?”, kali ini dia menengok padaku dengan tatapan keheranan.
“Aku memang tidak pernah siap membiarkanmu pergi, tapi aku selalu siap untuk dilukai olehmu, berapa kalipun. Yang penting bukan selingkuh saja.”
Air mata mengucur sesaat. Tatapannya tetap terkunci padaku.
Cepat-cepat menghapus aliran bening di pipinya, kemudian dia berujar, “Kata-katamu makin manis saja. Kurasa tidak ada jenius lain semelankolis dirimu.”
“Yah… ini kan salahmu juga. Siapa suruh membuatku sampai tergila-gila begini.”
Kuraih tangan kirinya, direspon olehnya dengan bersandar padaku. Detik demi detik berlalu, aku hanya berfokus merasakan genggamannya. Tidak lagi kupedulikan jatuhnya butir-butir putih nan dingin yang makin menumpuk di kepala.
Satu demi satu memori tentangnya bangkit di alam pikiranku. Seseorang yang selama 11 tahun bersamaku. Rika Genjougami, yang mampu mengubah seorang Dennis Rutherford hanya dengan senyuman ceria ketika pertama kali bertemu.
Helaian rambutnya yang indah.
Mata birunya yang berkilau.
Teriakan nyaringnya jika sudah marah.
Suara riangnya ketika memanggil namaku.
Cara makannya yang begitu lahap.
Senyum manisnya.
Perhatiannya.
Kemampuannya menarik diriku dari kurungan tanpa emosi.
Kekecewaan.
Amarah.
Tawa.
Tangis.
Semuanya. Ya, semua tentang dirinya, semua yang pernah kualami bersamanya. Itulah seorang yang kucintai. Itulah…
…Rika.
Getar cinta mendorongku untuk menghampiri wajahnya, mencium bibirnya. Semua berlangsung lebih dalam dibanding sebelumnya.
Mengikat jiwa.
Melebur sukma.
Menyatukan hati.
Berdua.
Hujan salju ini bagai meleleh karena gejolak yang makin membara di dada.
“Ternyata kamu suka menciumku ya.”, komentarnya, ketika bibir kami berpisah.
“Kalau kamu jadi pacarku, setiap hari akan kulakukan.”
“Heh, nanti bibirku iritasi.”
Kamipun tertawa. Bersama. Kali ini, aku merasakan sedikit kelegaan. Bukan karena berhasil menciumnya lebih lama, namun karena menit-menit yang berlalu bersamanya terasa jauh lebih indah dibanding 11 tahun belakangan. Momen yang takkan kulupakan seumur hidup.
“Oh ya, apa Yetz ikut?”, tanyanya. “Sepertinya aku harus pamit dengannya juga.”
“Mau pergi sekarang?”
“Mmm… sebenarnya aku tidak mau. Tentu saja tidak mau.”, dia menggeleng. “Aku ingin lebih lama bersamamu. Tapi tubuh yang tidak stabil ini… ini hanyalah sebagian dari diriku, bukan seluruhnya. Tubuhku yang sebenarnya ada di laboratorium. Aku tidak mau hanya eksistensi sementara ini yang merasakannya. Jadi…”
“Tadi Yetz memang bersamaku. Mudah-mudahan dia belum pergi.”
Kupanggil
cybertron itu. Sosoknya pun muncul dari belokan ke arah kiri, dari balik tembok.
“Lama sekali mesra-mesraannya.”
Dan… ini dia, Rika langsung melemparnya dengan salju. Akurat, seperti biasa.
“Berisik!!!!”
“Hahaha… ini baru Rika yang kukenal. Kalau yang kelewat lembut seperti tadi, sepertinya beda orang---“
Dilempar lagi.
“Itu lemparan terakhir dariku.”
Rika tersenyum pada Yetz, lalu membuka kedua tangannya lebar-lebar.
“Kemarilah.”
Dipeluknya kaleng tua itu.
“Maaf ya kalau selama ini aku kasar.”, dielusnya Yetz beberapa kali. “Sebenarnya aku tidak pernah benci padamu kok.”
“Ahaha… ya, aku juga tahu. Lagipula tubuhku tidak akan rusak hanya dengan dilempar salju atau batu kecil. Hanya tendanganmu saja yang kadang membuatku pusing sedikit.”
“Jangan kangen padaku ya.”
“Tidak bisa kujamin. Sesekali pasti aku ingin dilempar dan ditendang lagi.”
“Hih, kaleng
masochist. Menjijikkan.” Ekspresi Rika berubah, seakan sedang melihat kotoran kuda.
“Jadi, coklatnya untukku?”
“Seenaknya saja.”, Rika menggenggam erat coklat itu, lalu menariknya ke arah tubuhnya. “Kamu kan bukan pacarku. Ini untuk…”
Matanya melirik ke arahku. Yetz, yang sepertinya lumayan tahu diri, menyingkir sekitar 3 meter ke arah kiri Rika.
“Sudah, cepat berikan.”, ujarku.
“Tidak sabaran sekali sih? Sebelumnya, kamu harus bilang dulu
passwordnya.”
“Hah?
Password? Memangnya ini urusan menjebol pintu?”
“Ya sudah, tidak akan kuberikan.” Wajahnya cemberut.
Password? Apa mungkin…
“Begitu kamu menerima coklat ini dan mendengar apa yang kukatakan, aku akan…”
“Ya, Rika. Aku sudah tahu.”
Maka kuhela nafas panjang. Tidak ada lagi keraguan. Dia hanya ingin mendengar pernyataan secara jelas dari mulutku, dari jiwaku, dari hatiku.
Mata kami bertemu. Kutatap jauh ke dalamnya. Kugenggam lembut kedua tangannya yang sedang menggenggam coklat.
“Rika, aku cinta padamu. Aku… benar-benar mencintaimu. Hanya kamu, tidak ada yang lain.”
Dengan tulus kukatakan pernyataan cintaku, yang belum pernah kuberikan pada perempuan manapun selain Rika.
“Mmm. Aku juga, Dennis. Cintaku hanya untukmu. Sudah terlalu lama kupendam… dan aku ingin hanya kamu yang memilikinya.”
Sesuai perkataan Rika, tubuhnya kembali berubah transparan. Coklat itupun jatuh ke genggamanku.
“Itu buatanku sendiri lho. Beberapa kali gagal, dan hanya itu yang berhasil. Maaf kalau terlambat diberikan.”
Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Entah sudah berapa banyak yang dikeluarkannya hari ini.
Perlahan butir-butir cahaya kebiruan muncul di sekitarnya. Membumbung, terus, tinggi hingga ke awan-awan. Sosok tembus pandangnya bermandikan cahaya, berwarna sama dengan kilauan matanya. Bagai pertunjukan cahaya yang indah, menghiasi malam bersalju yang sepertinya takkan berakhir.
“Harus dimakan ya.”
Itulah kata-kata terakhirnya, sebelum pergi dibawa oleh tarian kristal-kristal safir yang nampak begitu hangat.
Ah… aku menangis lagi. Mengalir dengan sendirinya, bersamaan dengan hilangnya Rika dari pandangan.
Cahaya terakhir melayang perlahan ke angkasa ketika Yetz menaruh tangannya di bahu kananku.
“Jangan lama-lama di sini. Nanti sakit.”
Perlahan dia menyingkirkan salju yang sudah menumpuk di kepalaku.
“Dia… pergi. Dia pergi, Yetz.”
“Mmm. Dia pergi. Tapi…”
Lagi-lagi Yetz membuat pernyataan mengejutkan.
“…tidak untuk selamanya.”
Huh?
“Sepertinya karena terlalu emosi, kamu tidak ingat apa yang kukatakan saat berlari ke sini. Quantum Hacking-mu menyempurnakan A.L.I.C.E. Project, Dennis. Menyempurnakannya. Jika kamu mau, ada kemungkinan kamu bisa menghidupkannya kembali.”
“Yetz, jangan bercanda lagi. Ini… serius…”
“Aku seribu kali lebih serius darimu. Apalagi Rika bilang kalau tubuhnya masih disimpan di laboratorium tempat organisasi itu. Seharusnya masih---”
Saklar otakku langsung berubah. Tangisku terhenti.
“Yetz, bisa bantu aku?”
“Langsung semangat, eh?. Oke, akan kubantu sebisaku. Tapi tetap ikuti aturan main mereka. Setuju?”
Jika Yetz punya wajah, pastilah dia tersenyum lebar saat ini.
“Jadi, boleh kuminta coklatnya?”
“Enak saja. Kamu kan tidak punya mulut.”
*
“Yetz, semuanya stabil?”
“Yap,
all green. Pasokan energinya cukup, alirannya pun tak bermasalah. Suhu perangkat, semua stabil.”
Aku berada di sebuah ruangan besar, dengan suatu
platform keperakan setinggi perut berdiri di depanku. Jauh di depannya lagi, ada sebuah balok bening berisi cairan kebiruan, ukurannya cukup untuk menampung tubuh orang dewasa. Ditopang oleh balok logam besar yang tersambung dengan beberapa kabel ke
platform dan beberapa sudut ruangan.
Maka kutekan tombol hijau pada
platform.
Cairan itupun perlahan surut, keluar pada empat lubang pembuangan pada keempat sudut di sisi dasarnya. Sosok seseorang makin jelas terlihat, terbaring di dalamnya.
Rika.
Tujuh tahun berlalu sejak saat itu. Proyek Quantum Hacking yang kubuat ternyata tak hanya membantuku lulus dengan nilai tertinggi, namun juga menarik perhatian banyak ilmuwan di Autoburg. Dan sesuai dugaanku, orang-orang yang pernah terlibat dalam A.L.I.C.E. Project adalah yang paling gencar memintaku untuk bergabung. Akupun bergabung dengan syarat fungsi Yetz dikembalikan seperti semula, karena aku sangat yakin hanya dialah yang mampu membantu dalam banyak hal agar proyek berjalan sempurna.
Itulah yang dimaksud ‘ikuti aturan main mereka’ yang dikatakan Yetz 7 tahun lalu. Yep, aku harus bergabung secara formal dengan orang-orang itu, menunjukkan kejeniusanku segila mungkin, membuat mereka tercengang, dan akhirnya menyerahkan proyek padaku. Dengan demikian, aku bisa membawa kembali seseorang yang kucintai tanpa ada halangan. Tujuh tahun terakhir inipun aku menahan diri untuk tidak mencari wanita lain, karena hatiku terus berkata kalau Rika dapat kembali.
Dan perasaanku benar.
Begitu balok bening itu membelah dua secara memanjang dan turun perlahan di sisi masing-masing hingga menyentuh tanah, jemarinya bergerak.
Pelan.
Kembali bergerak.
Sedikit terangkat.
Kelopak matanya membuka, memancarkan kilau biru safir yang sudah lama tak kulihat. Segera aku berjalan ke arahnya.
“Hei, Dennis, aku tunggu di luar ya!!”
Yetz pun meluncur pergi keluar ruangan.
“Yetz…?”
Suara Rika terdengar lesu. Tapi jelas, implantasi memori berbekal data dari
nanomachine di tubuhnya dapat dikatakan sukses. Buktinya, dia bisa memanggil Yetz.
“Huh, yang kamu panggil malah dia duluan.”, ujarku ketus.
“Dennis…? Dennis?!”
Seketika dia duduk.
“A-A-Aaa…h…”
Tangannya bergerak memegangi kepala.
“Makanya jangan terlalu bernafsu. Akibatnya jadi pusing begitu kan?”
“Dennis…? Tapi benar kan, itu kamu?!”
“Hanya ada satu Dennis Rutherford di dunia, yang mencintai seorang perempuan bernama Rika Genjougami.”
“A-A-Aaaa…”
Mulutnya kaku, pipinya merona merah.
“S-Sekarang kamu bisa mengucapkan semuanya dengan gamblang begitu…”
“Jika bukan dengan kekuatan cinta, aku tidak akan mau melakukan ini semua.”, kusingkirkan poni rambutku.
“Sudah pintar berlagak ganteng pula… aku jadi ragu kalau kamu itu Dennis yang dulu. Apalagi sekarang pakai jas laboratorium begitu.”
Akhirnya, tawa ini terulang. Tawa kami berdua, setelah membeku selama 7 tahun.
“Jadi kamu benar-benar melakukannya ya…”
“Mmm. Apapun akan kulakukan demi dirimu. Tujuh tahun ini aku berjuang sangat keras, hanya untuk mengembalikanmu.”
“Iya, iya. Terima kasih banyak.”, jawabnya ketus. “Tapi… ngomong-ngomong, kenapa udaranya dingin begini---“ Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri.
“Eh?”
Diapun menengok ke arah tubuhnya.
“HYAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Jelas saja dia tidak mengenakan pakaian apapun. Aku tidak mau benda asing masuk ke mesinnya ---benang, misalnya---, ataupun mengganggu cairan stabilizer yang menyokong tubuhnya selama 7 tahun.
“D-D-Dennis!! S-Selama ini… k-kamu lihat?!”
“Aku bohong jika bilang tidak. Tapi lumayan juga ya, ternyata nampak
lebih besar jika tidak pakai baju.”
“K-K-K-Kurang ajar!!!! J-Jangan-jangan kamu juga suka pegang-pegang---“
“Heh, aku tidak serendah itu. Urusan kontak langsung dengan tubuhmu, sudah pasti hanya Yetz yang kuijinkan.”
“B-Begitu ya…”, wajahnya nampak lega. Hanya sesaat. “T-Tapi sekarang cepat berikan aku pakaian!! APAPUN!!!! Atau jangan-jangan kamu ingin melihat tubuhku lebih lama---”
Kulepas jas laboratoriumku, lalu menyelimuti Rika dengan itu.
“Kancingkan jasnya. Setidaknya cukup untuk menutupi bagian-bagian penting.”
“M-Mmm.”, dia mengangguk pelan, lalu mengancingkan seluruhnya.
“Sempit?”
“Sedikit.”
“Makanya jangan besar-besar---“
“D-Dennis…!!!! Sudah, cukuuuuppp!!”
Terdengar bunyi dari kantong jas ketika Rika bangkit berdiri dan ingin memukulku.
“Uh?”, tangan kanannya merogoh kantong.
“Argh, gagal sudah kejutanku.”, kutepuk dahi.
Dikeluarkannya apa yang ada di situ. Sekantung coklat, kecil-kecil berbentuk hati. Karena tidak cocok bagi pria sepertiku untuk membeli pita berwarna pink, maka yang kuikatkan di plastik transparannya adalah pita biru muda.
“Ini…”
“Buatanku. Sepertinya tidak adil jika kamu memberiku buatan tanganmu sendiri, sementara aku hanya membeli dari toko.”
“Boleh kumakan?”
Matanya langsung berbinar-binar.
“Kalau sudah urusan makanan, langsung semangat begitu… Iya, iya, boleh.”
Dibukanya dengan cepat pita pengikatnya, lalu segera melemparkan satu buah ke mulutnya.
“Mmm. Enak. Kalau boleh jujur, ini lebih enak dari eksperimenku yang puluhan kali itu.”
“Baguslah kalau kamu suka.”
Tujuh tahun berlalu, akhirnya aku dapat melihat senyum lebarnya lagi.
“Sekali lagi, terima kasih ya. Terima kasih untuk coklat dan kerja kerasnya.”
Tanpa ragu dia mendekatkan kepalaku dengan lembut ke arahnya. Jarak antara bibirku dengan bibirnya hanya kurang dari 5 sentimeter sekarang. Dan… ini dia, ciuman ketigaku. Nafasnya terasa hangat, gerakan otot lidahnya terasa begitu nyata.
“Bagaimana, Dennis?”
“Hmm… rasa coklat. Coklat digital.”
Share This Thread