Results 1 to 9 of 9
http://idgs.in/603325
  1. #1
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default [Event] Misery of Valentine

    Misery of Valentine


    Tema : Valentine
    Konten : Mini Series Story

    Disingkat MoV, adalah event besar yang (akhirnya) diadakan oleh Forum Menulis untuk menyambut hari Valentine, sekaligus untuk menarik minat, menantang, serta menguji kreativitas dan bakat para users IDGS untuk menciptakan sebuah cerita ber-seri.



    Schedule :

    Lobby Time : 16 Januari - 26 Januari 2013
    Event Berlangsung : 26 Januari - 27 Maret 2013 (60 hari)

    (Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu)



    System :

    • Peserta membuat sebuah cerita fiksi/non-fiksi ber-seri, yang terbagi dalam 6 part, dengan per-partnya memuat 1000-2000 words.
    • Cerita bertemakan Valentine, dan wajib ber-genre Romance.
    • Peserta diwajibkan melakukan booking post dalam Thread Event jika ingin mengikuti event MoV, ketika Lobby Time berlangsung.
    • Peserta hanya boleh melakukan booking ketika Lobby Time berlangsung, dan mulai mem-post & mengupdate ceritanya ketika event berlangsung.
    • Ketika event berlangsung :
      1. 60 hari berlangsungnya event dibagi menjadi 6 semi-Dead Line.
      2. semi-Dead Line adalah, deadline pengumpulan setiap part cerita. Satu semi-Dead Line berlangsung selama 11 hari.
      3. Peserta hanya diperbolehkan mem-post satu part cerita dalam satu semi-Dead Line.
      4. Peserta akan mendapatkan Warning via Private Message setiap kali melewati batas semi-Dead Line.
    • Peserta dinyatakan gugur jika :
      1. Sampai semi-Dead Line kedua, tidak juga mem-post karyanya setelah melakukan booking. (+ Infraction)
      2. Mendapatkan 4 Warning dari Juri.
      3. Tidak berhasil menyelesaikan ceritanya dalam batas waktu yang ditentukan.
      4. Melakukan pelanggaran tertentu.
    • Penilaian akan diberikan beberapa hari setelah event berakhir.




    Rules :

    • User minimal berstatus (Semua Staff diperbolehkan, kecuali Mod Setempat)
    • 1 id hanya diperbolehkan mempost 1 karya mereka, & Dilarang menggunakan Clone.
    • Cerita/setiap part cerita boleh di-edit kapanpun selama Event masih berlangsung.
    • Dilarang membuat cerita yang berbau pornografi.
    • Dilarang melakukan plagiat, atau mem-post cerita hasil karya orang lain/bukan karya sendiri.
    • Kedapatan melanggar rule akan dikenakan sangsi infraction-Banned, tergantung kebijakan Juri.
    • Keputusan Juri adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.




    Prize

    • Juara 1 : 6000 Point Vgame +
    • Juara 2 : 4000 Point Vgame +
    • Juara 3 : 2000 Point Vgame +

      500 Point Vgame untuk semua peserta (selain 3 pemenang), yang berhasil menyelesaikan Event ini tanpa mendapat satupun warning.



    Spoiler untuk Important! :
    • Booking kalau mau ikut event, di thread ini juga tempatnya.
    • Cerita wajib ber-genre Romance, namun boleh disertakan dengan genre-genre lainnya.
    • Semi-Dead Line berlangsung selama 11 hari, itu artinya peserta memiliki waktu 11 hari untuk mem-post satu part ceritanya.
    • 11 hari pertama Event berlangsung adalah semi-Dead Line part pertama, 11 hari berikutnya adalah semi-Dead Line part kedua, dst..
    • Warning hanya akan diberikan setiap kali peserta melewati batas semi-Dead Line.
    • Penilaian kuat berdasarkan kemampuan dan kreativitas peserta dalam mengolah cerita.


    Spoiler untuk Jury :
    -Pierrot-
    the_Omicron
    Vlin777


    Special Thanks

    • the_Omicron
    • Vlin777



    Thread Kritik, Saran, & Tanya-tanya apapun tentang Event MoV



    Well then.. Good Luck
    Last edited by -Pierrot-; 14-02-13 at 17:26.

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to -Pierrot- For This Useful Post:
  4. #2
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Semi-Dead Line 1 :
    • 26 January - 5 February 2013



    Semi-Dead Line 2 :
    • 5 February - 15 February 2013



    Semi-Dead Line 3 :
    • 15 February - 25 February 2013



    Semi-Dead Line 4 :
    • 25 February - 7 March 2013



    Semi-Dead Line 5 :
    • 7 March - 17 March 2013



    Semi-Dead Line 6 :
    • 17 March - 27 March 2013



    ---


    Hijau : Semi-Dead Line sedang berlangsung
    Merah : Semi-Dead Line sudah berakhir
    Hitam : Semi-Dead Line belum dimulai
    Last edited by -Pierrot-; 28-03-13 at 01:48.

  5. #3
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    MelonMelon presents;
    Pohon

    *****

    Spoiler untuk Chapter 1 :
    Meet Melline - Marmut dan kacang

    Langit tersenyum cerah, matahari bersinar terang, dan sedikit awan. Persis semacam gebyar akhir bulan di pusat perbelanjaan; spanduk berwarna cerah mencolok, membuat mata berbinar, namun tetap saja harus berhemat. Kombinasi yang cukup bagus. Sayang kombinasi itu cukup kuat untuk menarik cairan keluar dari tubuh seseorang.

    Suatu hari di bulan Agustus, tiga belas tahun yang lalu. Sebuah hari biasa yang tak terlalu berbeda dari hari-hari lainnya, juga dengan rutinitas yang biasa. Satu perbedaan paling mencolok di hari itu adalah kegiatan yang dijadwalkan oleh sekolah. Taman Kanak-kanak Santa Maria, sebuah bagian dari lembaga pendidikan resmi(?) tingkat awal, yang menyiapkan siswanya hanya untuk mengenyam pendidikan tingkat dasar. Hari itu jadwalnya adalah reboisasi.

    Reboisasi mungkin terlalu sulit untuk anak setingkat TK, ya..? Hmm, intinya adalah menanam pohon di daerah yang tidak banyak pohon. Tujuan aslinya adalah untuk penghijauan sekaligus pencegahan pemanasan global yang waktu itu belum terlalu parah dampaknya. Namun demi menyehatkan kondisi perbendaharaan kata anak dibawah usia sepuluh tahun, sepertinya tujuan itu cukup disingkat menjadi “biar indah” saja.

    Hebatnya, alasan “biar indah” yang disampaikan para staf pengajar sekolah itu ternyata menjadi nyata.

    Sebuah lahan luas, tiga puluh-an anak kecil menanam pohon. Di bagian pinggir, bagian tak tertutup awan, aku dengan hebatnya tersisih dan mendapat tempat paling tidak strategis. Ternyata kebiasaan “mau enak sendiri” telah ternanam pada benak manusia sejak dini. Yah, salahku juga datang terlambat.

    Cinta…seingatku kata itu belum terkenal dikalangan anak-anak kala itu. Sebuah eksistensi kecil, lebih kecil dariku, dengan rambut hitam berkepang yang mengekspos bagian pipinya, berada didepanku. Waktu itu tahun ajaran baru dimulai, mungkin dia berasal dari kelas yang berbeda denganku tahun lalu. Terlihat semangat mengerjakan sebatang kecil berwarna hijau kecokelatan didepannya. Perasaan waktu itu, entah apa namanya, namun tak dapat terlukiskan.

    Setelahnya, tak pernah satu kata pun terucap dari mulutku. Berbicara kepada wanita, jika naik roller coaster saja kau tak berani janganlah kau mencoba. Sayang, naik sepatu roda pun aku terjungkal. Keinginan itu berdesir didalam darahku, namun tiada sampai kepada otakku. Aku tertunduk oleh rasa takut. Sampai kemudian dia pindah sekolah. Saat itu, aku pun belum tahu, tapi mengetahui ku tak dapat lagi meliriknya dari kesunyian membuat aliran darahku melambat.

    Beberapa tahun kemudian tayangan televisi pun berubah. Dan aku baru tahu, apa yang kualami dulu tak lain ialah sebuah fenomena biologis terdahsyat dalam peradaban manusia; jatuh cinta. Dan saat dia pergi, itulah pemberhentian terakhir dari perjalanan cinta yang kurang berhasil; patah hati.

    Tiga belas tahun berlalu sejak itu. Bahkan karakter namanya tak lagi tersisa didalam otakku. Namun pipinya yang putih sedikit menggembung dan sinar matanya yang menatap lurus itu tak mungkin terlupa.

    Kini aku sedang menikmati masa liburan panjangku. Tingkat sekolah akhir telah berhasil kutaklukkan, beberapa kali terancam menemui ajal, namun kebakaran dalam buku rapotku ternyata belum cukup kuat. Dan begitulah, aku membaringkan diri diatas ranjang, melamuni apa yang bisa kukerjakan selama waktu senggang sebelum aku akan memasuki perguruan tinggi.

    Mendadak bentuk wajah itu terbayang lagi dikepalaku.

    Terakir kutahu, dia pindah sekolah ke negara lain, entah apa sebabnya. Pihak sekolah tentu tak mau pusing menjelaskan alasan kepindahannya kepada anak-anak yang baru saja menanggalkan status balita nya.

    Karena kepindahannya sebelum akhir tahun ajaran, namanya tak masuk dalam buku kenangan alumni sekolah yang kupunya. Hal itupun berujung pada minimnya informasi yang dapat kucari tentang dia. Kalau begini satu-satunya cara adalah mendatangi tempat itu. Entah apa yang mendorongku untuk mencari secuil informasi tentang dirinya.

    Taman Kanak-kanak Santa Maria, tak kuduga aku akan mendatangi tempat ini lagi.

    Walaupun pindah, sekolah harusnya tetap mencatat tentang dirinya. Dan mendatangi tata usaha sekolah harusnya adalah keputusan paling tepat. Mengingat aku tak ingat nama orang yang kucari, apalagi nama-nama staf pengajar yang masih ada dari dulu.

    “Permisi, selamat siang…” Sapaku ketika memasuki ruang tata usaha

    Kemudian seorang wanita berdiri dari kursinya, cukup berumur, mungkin dia telah berada disini dari sebelum aku masuk dulu. Wajahnya terlihat ramah, namun sedikit kebingungan.

    “Ya, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”
    “Ah, perkenalkan, saya Melon. Saya alumni dari sini, lulus tahun 2001.” Aku memperkenalkan diriku

    singkat “Hari ini saya kesini mau nyari orang.”

    “Oh, ya…” dia nampak semakin bingung “Mau nyari siapa, ya?”
    “Temen saya. Dia satu angkatan dengan saya, tapi pindah waktu caturwulan ke…dua?”
    “Oh, teman kamu. Siapa namanya?”
    “Itu, saya lupa namanya..”

    Kebingungan semakin mewarnai wajahnya, memang terlihat mencurigakan mencari seseorang yang namanya pun kau tak tahu.

    “Ah, saya nggak bermaksud aneh-aneh. Seingat saya dulu ada temen saya yang pindah, kebetulan saya keingetan sama dia…” Mungkin ini alasan tertolol yang pernah kubuat sepanjang hidupku.

    Dan terjadi keheningan selama beberapa sekon.

    “Baiklah, lulus tahun 2001 ya, kamu? Coba saya carikan arsipnya sebentar.”

    Sebuah jawaban yang diluar dugaan. Wanita itu pun beranjak ke dalam ruangan, mencari sesuatu di rak-rak yang penuh dengan buku dan kertas. Entah apa yang mendorongnya untuk membantuku. Mungkinkah dia hanya baik hati? Ah, tak terlalu penting juga. Tapi sepertinya tak perlu waktu lama, dia sudah kembali dengan sebuah buku besar berwarna biru yang dari penampakannya saja terlihat umurnya sudah lama.

    “Ini arsip siswa tahun 1995 sampai 2005. Kalau kamu lulusan 2001 harusnya juga ada disini.” Katanya “Oh, mari duduk didalam.”

    Oh, buku itu seumuran denganku.

    “Siapa nama kamu tadi…Melon? Kelas mana kamu dulu?”
    “Ah, kelas yang tepat didepan ruangan ini, kelas B-3…” Aku berusaha mengingat
    “B-3, ya. Dulu memang kelas itu berada didepan ruangan ini, baiklah…” Dan sedikit kelegaan terpapar dalam ekspresinya “Oh, ini kamu, Melon, ya. Memang ada murid yang dulu pindah dari sini sekitar pertengahan caturwulan kedua. Seorang gadis.”

    Buku tebal itupun diserahkannya padaku, cukup berat juga. Pada halaman itu terlihatlah banyak foto dengan nama dan biodata singkat nya. Ada pula fotoku…ah, tampangku dulu itu… Ehm, tertera di bagian bawah, seorang murid yang keluar dari sekolah.

    Untunglah aku terlahir di era modern, sudah ada foto berwarna.

    Wajah itu tepat sama seperti yang masih tergambar dalam bayangku; rambut hitam berpotongan pendek, bola mata berwarna sama, dan pipi yang sedikit menggembung. Melline, sebuah nama yang tertera disana. Dan tertulis beberapa keterangan mengenai dirinya. Poin terakhir, alasan kepindahan…alasan keluarga..?

    Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna alasan kepindahan yang memang tercetak hanya dua kata disana. Tidak adakah informasi lain lagi? Inikah titik akhir pencarianku?

    “Maaf, ini, alasan keluarga maksudnya apa?” Aku tak bisa memendam penasaranku lebih jauh
    “...Saya ingat, dulu memang saya yang mengurusi kepindahan anak itu, ya, memang saya yang mengurusi semua arsip siswa.” Katanya perlahan “Seingat saya, orangtua anak itu pun tidak memberitahukan alasan yang jelas, hanya alasan keluarga saja.”
    “Nggak ada lagi…ya… Kalau gitu saya pamit dulu. Terimakasih banyak, bu.” Aku pun berdiri, menyalami wanita itu dan beranjak pergi

    Cuaca nya mirip seperti waktu itu. Langit biru cerah, awan bergerombol bergerak perlahan mengikuti laju angin, dan matahari bersinar terang…dan terik. Cukup panas, dan aku belum ingin pulang. Taman bermain TK ini, ternyata tiga belas tahun tak mengalami perubahan, hanya terlihat cat nya yang masih mengkilap…mungkin dicat ulang. Akupun menyandarkan diri di sebuah kursi ayunan berwarna cokelat, yang merupakan kursi hijau dulunya.

    Ternyata sedikit sekali informasi yang kudapat. Hanya nama, hari ulang tahunnya, dan alamatnya dulu. Kurasa mendatangi alamat itu takkan menghasilkan banyak. Hei, dia seumuran denganku…apa dia punya akun jaringan sosial? Hmm, semoga dia tidak tinggal di pedalaman Afrika, atau menuliskan nama akunnya dengan paduan huruf yang sempat terkenal beberapa tahun lalu itu.

    Langit biru terbentang, dan terik mentari tertutup oleh rindang. Angin berhembus pelan, membuat suasana terasa nyaman. Suara anak-anak didalam kelas tak terdengar dari taman ini, dan tak banyak kendaraan bermotor yang lewat. Tak aneh jika aku tertidur…
    Dan sebuah mobil sukses membuyarkan ketenangan itu.

    Mobil keluaran Jepang tipe lama, sebuah mobil yang sempat populer beberapa tahun silam. Kijang…SGX, sepertinya. Berwarna hitam mengkilat, nampak sangat terawat. Namun mesinnya tak dapat mengelabui usia, derunya kasar memekak. Seperti seorang kakek tua berambut jabrik yang berjalan di kota, terbatuk-batuk dalam balutan celana jins dan jaket kulit bersepatu pantofel mengkilap. Penampilan, penyebab kenyataan berdistorsi.

    Tiga orang pun keluar dari dalam mobil itu; seorang pria agak tua, seorang wanita, dan satu lagi wanita. Jarak yang cukup jauh membuat mereka tak tampak terlalu jelas dimataku…keluarga? Ah, tak terlalu penting juga. Aku pun kembali larut dalam lamunanku, menikmati siang yang telah kembali dikuasai ketenangan.

    Entah berapa menit kulewati tanpa satupun hal terlintas dibenakku. Dan tiba-tiba ibu yang tadi kutemui di ruang tata usaha keluar, berjalan kearahku diikuti tiga orang yang sepertinya turun dari mobil Kijang tadi. Oh, apakah mereka orang yang ingin menanamkan modal bagi sekolah ini..?

    Satu hal menarik perhatianku. Wanita dengan rambut lurus panjang berwarna hitam tergerai, poninya lurus turun kebawah menutupi alisnya membuat kulitnya yang putih nampak makin terang. Pipinya sedikit membundar, garis dagunya tipis lembut, namun lehernya masih terlihat. Bola matanya tertutup sebagian oleh kelopak berhiaskan bulu-bulu lentik, pupilnya berwarna hitam cemerlang menatap lurus. Mulutnya terlihat kecil, bersinkronisasi sempurna dengan seluruh bagian wajahnya. Sebuah ekspresi hangat.

    Sangat familiar…

    Sebelum aku sempat berdiri, ibu tadi berkata “Kamu lagi beruntung hari ini, ya…” Diikuti dengan sebuah senyuman. Aku terdiam, masih duduk di kursi ayunan berwarna cokelat. Dalam hatiku muncul sesuatu; suatu hal yang terasa sangat nyata. Walaupun logika berbisik “Tidak mungkin!”, hatiku terpacu oleh sebuah harapan.

    “Baiklah, pak, dia ini yang saya ceritakan tadi.” Ibu itu berkata pada seorang bapak yang juga turun dari mobil Kijang tadi, “Melon, ini Bapak Chien. Papa nya Melline.”

    Aliran elektron di otakku berderu, berusaha memproses sebuah kalimat yang baru saja kudengar. Kalau orang ini adalah bapaknya, berarti yang dibelakangnya itu…

    Sebuah tangan muncul didepan mataku

    “Melon, ya? Saya baru denger ceritamu lewat ibu tadi.” Seraya menjulurkan tangannya
    “Ah…iya. Pak Chien..?” Aku pun menjabat tangannya
    “Nggak usah kaku begitu, tenang aja. Panggil om aja gak masalah. Kamu temennya Mei, ya?”

    Mei…Melline…nama panggilannya, kah? Bapak ini…terkesan santai, walaupun perawakannya tegap dan terkesan kaku.

    “Iya…temen TK nya, om.”
    “Hahaha, ya jelas temen TK, ya. Mei kan udah pindah dari sini sejak TK.” Dia pun tertawa
    “Baiklah, kalian sudah bertemu. Saya kembali ke dalam dulu, ya.” Ibu tadi pun menyahut
    “Ah, ya. Terimakasih bu…”
    “Sari, itu nama saya.” Masih dengan senyum nya yang hangat

    Aku pun mendengar Pak Chien berbicara sesuatu dengan seorang wanita –mungkin istrinya- dalam bahasa yang aneh…bahasa Mandarin? Aku pernah mempelajarinya di sekolah, namun kemampuanku baru cukup untuk mengenali bunyi khas bahasa itu saja. Melline hanya terdiam, memperhatikan kumpulan marmut sedang menggerogoti kacang yang berada di sudut taman. Bagiku, dia tak jauh berbeda dengan binatang pengerat itu…lucunya.

    “Melon, boleh dengar cerita saya sebentar?”
    “Iya, om?”

    Yang tak pernah kuduga, sebuah cerita tentang anaknya, Melline. Yang berkat murni kebetulan aku bisa mendengarnya. Sekilas tentang dia yang tiga belas tahun silam meninggalkan negara ini. Bersekolah disana, mendapati semuanya baik, nampak indah. Kejutan selalu terjadi pada saat-saat yang aneh. Mendadak Melline kehilangan ingatannya.

    Hampir semua ingatannya hilang, bahkan dia sempat tak mengingat namanya sendiri. Untung dia masih mengingat kebutuhan sosial sehingga kehidupan sehari-harinya tak begitu terganggu. Kecuali dia harus berhenti sekolah karenanya. Miris ku mendengar kisahnya. Pernah sekali kutemui semacam kasus yang sama, namun sata itu ialah sebuah film kartun dari Jepang, anime, ya. Entah apa sebab dan bagaimana Melline bisa mengalami hal demikian.

    Namun dua hal membuatku senang. Karena ingatannya hilang, dia kembali ke Indonesia. Secara kebetulan bertemu denganku. Dan untungnya, senyum dan tatapan yang mengalihkan duniaku tiga belas tahun yang lalu itu tak pudar. Sungguh, aku tak dapat menahan senyumku.

    Kini sepotong duniaku yang berdistorsi mengarungi waktu telah kembali. Aku berhadapan dengan Melline, berkesempatan untuk memulai sebuah pembicaraan yang telah tertunda belasan tahun lamanya. Sebuah harapan masa lalu yang diberkahi.

    Satu hal masih tersesat dalam ruang dan waktu yang lain. Sebuah hal yang sederhana, namun merupakan esensi dari setiap pembicaraan dimuka bumi; topik.

    Apa yang harus kukatakan..?


    Spoiler untuk Chapter 2 :
    One-way Road - Jalan putar balik

    “Hai…” Sapaku “Umm…inget gue?”

    Begitulah, sebuah permulaan percakapan tertolol pada orang yang lupa ingatan. Dan aku melakukannya. Sangat aneh, tadi pagi aku bersemangat mencarinya; kini dia berdiri tepat didepanku, dan semangatku semua tersapu bersih. Aku gagap gempita, tak tahu apa yang harus dibicarakan.

    Ucapanku tadi dibalas dengan sebuah gelengan kepala.

    Situasi makin…menegangkan. Sejak tadi aku belum mendengar suaranya sama sekali, bahkan ia tidak merespon saat Pak Chien –ayahnya- dan istrinya(?) –mungkin ibunya- berbicara. Entah aku bisa lega karena yang diomongkan mereka bukanlah hal aneh-aneh, atau Melline hanya tak perduli, atau malah dia lupa caranya berbicara? Tidak…tidak, dia tidak melupakan kemampuan sosialnya, yang termasuk berbicara, seharusnya.

    “Mm..” Sebuah suara kecil menyelinap dari mulutnya “Kamu…kenal aku?” Diikuti dengan tatapannya yang berubah arah memperhatikanku

    “Iya…Gue dulu temen TK elu.”

    “Gue…elu..?” Dengan nada dan ekpresi yang menyatakan kebingungan

    Oh…iya, dia sudah meninggalkan negeri ini sejak berumur lima tahun, mungkin gue-elu adalah kosakata yang masih asing baginya. Aku dengan santai mengucapkannya karena dia tidak bereaksi apa-apa pada kalimat pertamaku tadi, mungkin dia tidak memperhatikan ucapanku yang itu. Untungnya Melline masih mengingat Bahasa Indonesia, satu-satunya modal percakapan yang kubisa.

    “Ah, itu artinya sama kayak aku-kamu.” Jelasku
    “Mm…”
    “Hahahaha, Mei jangan malu-malu gitu, dong!” Ayahnya mendadak menimpali

    Jelas dia malu-malu. Aku mungkin sejak awal tak pernah ada dalam ingatannya, walaupun kini hilang, bekas tentangku tak mungkin ditemukan karena tak pernah ada. Dan siapa pula yang akan langsung berbicara panjang lebar pada orang yang baru saja dilihatnya kurang dari sepuluh menit? Yang jelas gadis bermuka oriental yang ada didepanku ini sepertinya enggan.

    Ingin kukatakan bahwa sebenarnya aku tidak pernah dekat dengan Melline semasa TK dulu. Namun hal itu membuatku takut jika Pak Chien nanti malah mengira aku mencari melline untuk sesuatu yang tidak-tidak. Entah kenapa aku tak ingin membuat kesempatanku bertemu kembali dengannya ini menjadi sia-sia.

    “Ya, Melon, kayaknya Mei masih malu-malu. Tapi kita udah mau jalan lagi.” Pak Chien kembali berbicara
    “Oh…iya, om. Silakan…”
    “Ahahahaha, gak usah tegang gitu, dong. Oh ya, kamu besok dateng kerumah, ya. Ini alamatnya.” Seraya memberikan sobekan kertas bertuliskan sebuah alamat
    “Boleh, om?”
    “Ya boleh, kan saya yang ngundang, hahahaha”

    Dia pun pergi, dan istrinya sempat membungkuk sebelum meninggalkanku. Seperti sebuah salam yang sering kulihat di film-film. Melline tetap terdiam. Tatapannya tak lagi terlihat karena ia tertunduk, membuat poni panjang itu menutupi garis matanya. Berbalik badan dan mengikuti kedua orangtuanya.

    Mobil Kijang SGX hitam tak terlihat lagi, aku masih duduk termenung di kursi ayunan cokelat. Alamat rumahnya ada ditanganku, ternyata alamat rumah yang sama dengan yang tertera di arsip sekolah. Aku bisa saja mengunjungi mereka besok. Tapi haruskah aku pergi kesana? Pak Chien terlihat ramah dan menyenangkan, namun istrinya sama sekali tidak demikian. Ekspresinya tidak dapat dikatakan dingin, namun tak sekalipun aku melihatnya tersenyum tadi.

    Terlepas dari itu, apakah dia akan senang jika aku datang? Kalau ingatannya tepat berada pada tempatnya, kuyakin dia takkan ingat padaku. Sejak awal aku bukan temannya, aku hanya…orang yang memperhatikannya sendirian. Rasanya sedikit jahat juga jika aku datang dengan niat memenuhi keinginanku sendiri.

    Aku beranjak dari kursi ayunan yang makin terasa nyaman. Sempat ku melirik kedalam ruang tata usaha, namun Ibu Sari sedang tidak berada disana. Padahal aku ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi. Yah, bukannya aku takkan kesini lagi, mungkin.

    Mungkin Pak Chien mengajakku kerumahnya untuk mengetahui apakah aku bisa mengingatkan Melline akan sesuatu..? Ia mungkin hanya mengundangku sekali ini saja, tapi sedikitnya aku akan membantu sebisaku. Besok…aku akan datang kesana.



    Sebuah komplek perumahan di daerah Bogor sedikit pinggir, daerah yang agak jauh dari pusat kota namun ramai oleh perumahan. Aku punya beberapa teman yang tinggal di sekitar sana, maka tak nama jalan yang diberikan Pak Chien kemarin tak terlalu asing bagiku. Sebuah cluster kelas atas di komplek itu, diisi dengan rumah-rumah yang berbeda bentuk satu sama lain. Tentu aneh rasanya jika rumahmu sama persis seperti rumah tetanggamu, namun nyatanya hal itu dapat dilihat di banyak tempat.

    Hmm, ini blok B, jalan Apel…ya, nomor…tujuh. Ah, ini dia.

    Sebuah rumah berarsitektur akhir 1990-an, masih dengan atap segitiga dan nampak sangat tua dibanding dengan rumah-rumah bergaya modern disekitarnya. Yah, rumah itu mungkin sudah nampak modern di jaman nya dulu. Ada beberapa rumah dengan gaya bangunan sejenis di deretan jalan ini, pecinta gaya klasik?

    Seseorang muncul dari balik pintu setelah aku memencet sebuah tombol disamping pintu pagar. Seorang wanita berkulit putih, dengan tinggi badan rata-rata wanita Asia, dan rambut hitam panjang yang tergerai. Tatapannya begitu melihatku dibalik pintu gerbang tak berubah, tetap lurus dan…terkesan dingin. Ternyata tatapan lurus itu adalah warisan orang ini, ya.

    “Kamu, yang kemaren…ya.” Seraya membuka pintu “Langsung masuk aja.” Masih dengan ekspresinya yang tenang tanpa berubah
    “Ah, makasih, bu.”

    Penampakan rumahnya tak jauh berbeda dari luarnya. Perabotan yang sudah tak beredar lagi di pasaran, namun tidak terlihat usang. Terlihat seperti tak pernah ditinggalkan dalam waktu yang lama. Ada orang yang merawat rumah ini, mungkin..?

    “Ah, Melon, masuk-masuk!” Pak Chien menyambut “Makasih udah dateng, ya.”

    Melline tidak ada disini.

    “Ah, Mei lagi dikamar, tenang aja.”

    Pikiranku seakan tembus dibaca olehnya. Tapi bukan saatnya memusingkan hal itu.

    “Emm, makasih udah ngundang saya kemari, om.”
    “Oh iya-iya, selamat dateng, ya.”
    “Kalo boleh tau, ada apa, ya?”
    “Wah, buru-buru banget kamu. Hahaha, tenang, saya ceritain semua.” Dia pun tertawa “Duduk aja santai.”

    Seperti kemarin, Pak Chien dalam gaya santainya, senyum dan tawa sepertinya jauh dari dirinya.

    “Kamu udah saya ceritain dikit kan soal Mei kemaren.” Cerita pun dimulainya “Mungkin kamu masih inget yah dulu taun 2000 itu Mei mendadak keluar dari sekolah. Kita ke ****.”
    “Ya, waktu itu hari Sabtu, kalo gak salah.”
    “Wah, saya lupa deh hari nya. Ya, seudah itu Mei jalan biasa aja disana, dan tiba-tiba ceritanya kayak yang kamu denger kemaren…”

    Di ruangan ini hanya ada aku bertiga dengan Pak Chien dan istrinya. Pak Chien menceritakan cerita itu dengan mimik muka yang sedikit lain dari biasanya, tetap santai namun serius, dan terkesan sedikit…sedih. Namun istrinya itu tetap saja tenang. Yah, hilang ingatan itu memang bukan peristiwa yang sangat menyedihkan, sih. Tapi apa dia tidak punya ekspresi lain?

    “Ternyata gitu, ya.” Aku menimpali
    “Iya, jadi kita ajak dia balik lagi ke Indonesia harapannya kalo aja dia bisa inget sesuatu dari masa kecilnya.”

    Sedikit, ekspresi Pak Chien terlihat lebih bersemangat saat mengucapkan kalimat itu.

    “Terus tujuan om ngundang saya kemari..?” Aku bertanya dengan sedikit keraguan
    “Begini, nih, Mei kan gak inget lagi temen nya disini, kebetulan ketemu kamu. Jadi…gimana kalo kamu temenin Mei?”

    Sebuah kalimat yang sedikit melompat dari perkiraanku. Disaat aku tengah berpikir bagaimana agar aku tetap bisa bertemu dengannya, sebuah ajakan malah datang memecah khayalku. Inikah yang dinamakan The once-in-a-lifetime luck..? Keberuntungan sekali seumur hidup?

    “Eh, nemenin Me..lin?” Kata-kataku terbata

    Dan kemudian sebuah senyum lebar ditemani sebuah anggukan kecil menegaskan kata-kataku.

    Angan bersambut, keinginanku terwujud. Perkiraanku kemarin ternyata tak sepenuhnya salah; memang benar aku diundang kemari untuk membantu sesuatu. Namun tak hanya sekali, selama dia, Melline masih berada disini, aku bisa terus menemuinya.

    Tanpa kusadari Melline kini sudah berada samping ayahnya, dengan pandangan lurus kearahku. Pandangan yang tetap menatap walau telah ditatap balik. Hei…sejak kapan dia berada disana? Rasanya belum lama ini aku masih melihat permukaan sofa tak terjamah disana. Ah, rupanya aku terlalu tenggelam dalam euforia.

    “Ini akirnya dateng juga.” Lelaki itupun melirik kearah anaknya “Yah, kamu ngobrol bedua aja dulu, ya.”

    Aku pun ditinggalkan berdua dengan Melline sementara Pak Chien masuk ke kamarnya. Terdengar suara dengan nada agak tinggi, lagi-lagi dalam bahasa aneh itu…istrinya. Apakah mereka sedang membahas aku?

    Tunggu, daripada itu… Aku harus membicarakan sesuatu.

    “Mm…”

    Suara kami berdua menyatu dalam sepersekian sekon.

    “Ah..? Duluan aja.” Kataku cepat
    “Ngg…” Untuk pertama kalinya, aku melihat tatapan itu dialihkan “Kita…dulu temenan?”

    Sesaat otakku dilimpungkan oleh persimpangan, jujur atau tidak. Jika aku…memilih jujur, mungkin dia takkan mau berbicara sepatah kata pun kepadaku.

    “Ah, iya. Dulu kita sekelas waktu taun kedua, loh…”
    “Hmm…” Ucapnya terhenti, namun kini tatapnya kembali kearahku

    Jawaban netral, aku tidak berbohong, namun juga tak sepenuhnya menjawab pertanyaan. Ternyata aku masih terlalu takut dengan ilusi dalam pikiranku sendiri.

    “Melin…ngg, apa panggil Mei aja?” Tanyaku
    “Ya…” Sekejap, bibirnya kembali terkatup

    Kuanggap itu sebagai setuju.

    “Hmm, sejak kapan balik ke Indonesia, Mei?”
    “Dua…minggu…”

    Mendadak suasana menjadi kaku.

    “Udah ngapain aja selama disini? Jalan-jalan?”
    “Mm…iya.”

    Jika ruangan ini adalah gurun Sahara, suasanya yang ditimbulkan oleh percakapanku dan Melline pasti sudah mengubahnya menjadi antartika. Pasirnya membatu, saat ku coba melelehkannya ia membeku. Entah apa yang membuatnya hanya menjawabku sepotong-sepotong. Malu…mungkin?

    “Ah, udah kemana aja?” Sekali lagi, penghangat gurun dinyalakan
    “Mm…” Kemudian kepalanya tertunduk

    Aku senang melihatnya diam tertunduk terlihat sedikit menahan sesuatu, tentu, itu kelihatan lucu. Tapi tentu saja, aku bingung karena penghangatku mendadak mati total. Biasanya aku akan ikut terdiam saat keadaan kurang mengenakkan. Sayangnya aku kesini bukan untuk termangu melihat sesosok wanita bermuka lucu duduk dalam diam.

    “Mm? Kok diem?” Tanyaku “Tegang ye? Hahahaha”

    Ucapanku tak berbalas.

    “Mei udah ke taman?”
    “…Taman?” Nada suaranya terdengar agak sedikit berintonasi

    Yak, es gurun mulai mencair.

    Selama setengah tahun lebih sedikit aku menyadari eksistensi sebuah makhluk kecil menarik mata itu, sebetulnya hanya sekali waku punya pengalaman melakukan sesuatu bersamanya. Yah, tidak benar-benar bersama, sih. Dan itulah kali pertama tatapan lurusnya menarik tatapanku.

    Entah apakah dia mengingat sesuatu tentang hari itu atau hanya tertarik dengan sedikit kemungkinan adanya sesuatu tentang dirinya dimasa lalu, tapi kini dia memperhatikanku. Dengan tatapan lurus yang tak pernah disembuyikannya, seakan menunggu kata keluar dari mulutku. Melihat ekspresi polosnya, aku tak dapat menahan otot-otot disekitar pipi naik terdorong gerakan mulutku.

    Aku pun menceritakannya, dengan sedikit hiperbola, tentunya. Tentang apa yang terjadi pada satu hari di bulan Agustus tiga belas tahun lalu. Bibit demi bibit ditanam, mengelilingi sebuah lahan luas yang kala itu masih belum tertata. Di tepian yang tak terlindung awan, sinar mentari menyelimuti menarik keringat. Dan akan sebuah bibit kecil dipinggir tepian itu, kuceritakan sebagai sebuah bibit spesial berbeda dari sekelilingnya, yang tak lain adalah bibit yang ia tanam.

    Mendengarkanku, matanya berbinar memantulkan cahaya. Tatap lurusnya tak berpindah. Mulutnya tertutup rapat, tak satupun kata keluar, namun kutahu dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan isi hatinya.

    Ceritaku sukses menggerakkan motor-motor mesin penghangat. Es antartika mencair, mengalir menuju khatulistiwa, bercampur dengan partikel-partikel dan mengendap membentuk daratan. Surga tropis telah terbentuk, menjadi latar belakang tempat aku dan dia saling bertatap, terpaut jarak kurang dari satu setengah meter. Setelah sempat menggigil ditengah padang es, kehangatan menyelimutiku.

    Sayang, aku harus kembali pada kenyataan.

    Ruang keluarga dengan dua sofa berhadap-hadapan, satu meja kayu menengahi, dan sebuah karpet menjadi alasnya. Namun kini suasanya tak lagi kaku. Aku dengan leluasa terus bercerita, dan sedikit tertawa. Melline masih dalam diam, sedikit demi sedikit tersenyum mengikutiku.

    “Wah, waktu itu seru banget, deh!” Kataku sambil tersenyum
    “Hmm…kayaknya rame ya…” Melline pun berbicara, dan juga tersenyum

    Jika dulu pipi bulatnya yang mengalihkan duniaku, kini senyumnya membuat dimensi berputar-balik.

    “Kamu…enak ya. Masih inget itu semua.”

    Ya, aku mengingatnya. Tentu, kenangan tentangnya hanya sedikit sekali, tak mungkin aku lupa.

    “Elu juga pasti bisa inget lagi, kok!” Sahutku “Hmm, mau kesana?”
    “Kesana..?”
    “Iyaa, ke taman itu. Waktu itu sih masih lahan kosong, tapi sekarang udah jadi taman.”

    Sekali lagi tatapan itu dipalingkannya. Raut wajahnya menunjukkan ada pergunjingan besar dalam batinnya, ia ragu. Namun bagiku, ekspresinya tak lain adalah pemandangan indah. Melline, imut sekali.

    “Disana gak bikin bingung, kok.”
    “Jauh…gak?” Tanyanya masih dalam ekspresi yang sama
    “Deket.”

    Aku tersenyum, dan diikuti olehnya.

    Ada keheningan selama beberapa detik saat kami hanya tersenyum dan saling menatap satu sama lain. Keraguan telah sirna dari wajahnya, terganti oleh sebuah senyuman aneh yang telah kutunggu sejak tadi. Melline, senyumnya cantik sekali.

    “…Janji, ya..”
    “Ingetin gue aja, ya.” Tandasku

    Dan sekarang adalah bagaimana kabarnya pohon itu harus sama menariknya dengan ceritaku tadi. Ah…


    Spoiler untuk Chapter 3 :
    Starflake - Keping tipis berlapis cahaya

    Berselang satu hari setelah menyambangi rumahnya, aku sudah jalan berdua dengannya. Jika ini adalah bagian dari proses pendekatan –jika kau tahu apa maksudku-, tentu saja aku telah melakukan hal yang hebat! Baru saja berkenalan, langsung berkencan. Fantastis. Oh, tentu saja dengan persetujuan…dukungan ayahnya.

    Tujuan perjalanan ini tak lain adalah sebuah taman di sedikit pinggiran kota, dekat dengan rumah Melline, yang ironisnya adalah satu-satunya tempat yang kuketahui mengandung serpihan masa lalunya. Yah, daripada tak ada sama sekali.

    Kembali pada sebuah kencan. Biasanya jika aku mengajak seorang gadis untuk berkencan, tujuan yang paling sering dan aman adalah mal. Nonton film di bioskop, lalu bersantai di sekitarnya. Simpelnya, ditempat itu tak mungkin terganggu oleh hujan –yang adalah ikon khas kota Bogor-, dan banyak tempat yang nyaman untuk makan atau sekedar duduk-duduk.

    Pernah kubaca sebuah artikel tentang kencan yang sedikit tidak biasa. Yaitu berkencan di alam bebas, melakukan aktivitas luar ruangan. Kedengarannya menyenangkan. Sekarang kulakukan juga hal itu, tapi ada yang mengganjal pikiranku. Hei, tujuanku kesana hanya untuk melihat sebatang pohon.

    Mendaki gunung? Bermain air di aliran sungai? Tidur-tiduran di hamparan rumput? Tidak, aku hanya melihat pohon. Yah, walau yang terakhir itu bisa juga kulakukan. Tapi aku sendiri bingung, melihat pohon…takkan memakan waktu lebih dari sepuluh menit. Mengitarinya? Memanjatnya? Mengambil sampel kulit kayu lalu menelitinya? Oh, itu pasti akan lama…ah, tidak mau!

    Jadi, setelah pohon itu terlihat apa lagi?

    “Nah, ini dia taman nya…”
    “Waah, rame ya.” Melline, menjawab dengan semangat

    Taman itu pun tanpa kusadari telah banyak berubah. Jika dulu hanyalah sebuah lahan kosong tertutup oleh rumput liar yang luas, sekarang jalan beraspal telah membagi-bagi nya. Pagar-pagar berdiri membatasi, hiasan taman terlihat di beberapa tempat, dan beberapa pedagang juga ikut meramaikan.

    Menyusuri jalan setapak, aku sampai pada bagian dalam taman itu. Deretan pohon terlihat, semuanya nampak sama bagiku. Dari arah ini, pojok kanan, nomor dua dari paling ujung. Pohon dengan guratan, yang kubuat sendiri saat beberapa kali kudatangi taman ini. Miliknya hanya berjarak dua pohon kearah kiri.

    “Inget ini?” Aku menunjuk kearah sebuah pohon
    “Mm…” Ditambahnya sebuah gelengan kepala
    “Ini…pohon yang elu tanem.” Kataku sambil menyentuh pohon itu dengan tangan kananku

    Sejenak tatapan lurusnya tertuju pada bongkahan kayu dengan beberapa ranting dan dahan bertengger pada sisi-sisinya, pada dedaunan hijau yang berkoloni dengan rumpun daun disekelilingnya. Kelopak matanya terbuka lebar, seakan tak berkedip. Matanya menatap, lurus kedepan, namun dengan lembut seperti menemukan seorang teman lama.

    Jika ingatannya telah pecah berkeping-keping dan hilang, inilah satu pecahan nya yang kuketahui. Mungkin ini hanyalah satu dari sekian kunci lemari ingatan yang hilang, namun satu selalu mengawali yang lain.

    “Inget sesuatu?” Tanyaku memecah keheningan

    Dibalas dengan sebuah gelengan kepala.

    Aku pun duduk diatas permadani hijau, dibawah naungan dedaunan yang melindungi dari teriknya matahari. Tak lama Melline mendaratkan tubuhnya ditempat yang tak jauh berbeda. Sebentar kemudian terjadilah sebuah percakapan diantara kami berdua, dia bertanya tentang apa yang dulu ia lakukan di tempat ini. Aku bercerita, kalimat demi kalimat mengalir, kata demi kata teruntai, terkadang tawa muncul dari sela-sela mulutnya.

    Melline, mendengarkan ceritaku dengan antusiasme yang sama dengan saat aku menceritakan adanya sebuah taman ditengah kota. Sesekali dia menimpali, terkadang tatapnya tak mau lepas, tak jarang senyum terkembang dari kedua sudut bibirnya.

    Desiran angin seakan menjadi alunan melodi pengiring percakapan kami berdua. Saat bunyi daun bergesekan menjadi ketukan nya, dan kicauan burung menjadi irama nya. Sebelum hari gelap, aku mengantarnya pulang. Begitulah, kencan pertamaku dengan nya berakhir.

    Pak Chien nampak sibuk, tak jarang dia meninggalkan rumah. Entah apa alasannya, aku tak bernai bertanya. Istrinya…masih tetap memperlakukanku dengan sikap yang sama. Sedikit dingin dan menusuk. Namun dia tetap mengijinkanku mengajak Melline keluar. Ya, berhubung aku sedang dalam liburan panjang, dan tak satupun rencana tertulis di jadwalku, hampir setiap hari aku bersama Melline.

    Aku mengunjungi tempat-tempat yang sudah lama terkenal di Bogor. Tentu saja dengan harapan dia bisa sedikit mengingat masa kecilnya. Terkadang ingin juga rasanya menggandeng tangannya di pusat perbelanjaan seperti pasangan kekasih remaja pada umumnya. Namun sekarang menggenggam jemarinya pun aku belum…

    Jika dilihat secara sekilas, aku telah melakukan perjalanan pendek yang sukses. Melline kini lebih banyak berbicara, lebih banyak tertawa, dan tak jarang dia juga yang membuatku tertawa. Sebuah perasaan yang lama tak kurasakan, saat aku berdua dengan seorang wanita dan waktu berlalu terasa begitu cepat. Memang sama sekali belum ada pertambahan nilai kearah romansa, namun aku cukup senang dengan apa yang ada sekarang.

    Sayangnya, apa yang menjadi tujuan utamaku justru tak menunjukkan sedikitpun perkembangan. Dari sekian banyak tempat terlewati dan cerita yang terucap, tak satupun mampu merangkai serpihan ingatannya.

    Dia bisa mengingat apa yang terjadi bersamaku. Bahkan pernah dia bercerita tentang suatu hari ia bangun dari tidurnya dan merasa aneh, saat seseorang muncul dari balik pintu ia tak tahu siapa.
    Jika sejak hari itu ingatannya tak pernah hilang lagi, berarti seharusnya otaknya masih normal. Penyebab kehilangan ingatan jika bukan penyakit…kejutan luar biasa? Hei, aku bukan ahli bedah ingatan atau semacamnya, tapi sepertinya analisaku cukup logis.

    Melline, pernah mengalami sesuatu yang sangat mengejutkan sebelumnya?

    Tunggu…rasanya aku pernah tahu hal serupa, dimana seseorang kehilangan ingatannya setelah melihat sesuatu yang sangat menakutkan. Namun setelah pikirannya tenang, ingatan itu datang kembali. Rasanya, Melline terlihat cukup tenang. Hmm…tapi aku tak berani menanyakan itu pada kedua orangtuanya.

    Hari demi hari berlalu, dua kali tujuh hari telah terlewati. Aku masih dalam liburan panjangku, masih tetap pada “jadwal” ku mengunjungi Melline.

    “Siang, tante…” Sapaku pada seorang wanita yang membukakan pintu
    “Ya…masuk aja.” Dibalas dengan sapaan sederhana “Mau pergi sama Mei lagi?”

    Sesuatu yang agak tak biasa, wanita itu menanyakan sesuatu padaku.

    “Mungkin, tante. Belom ada rencana pergi sih, mungkin juga nemenin dia aja disini.” Jawabku
    “Ah, ya…”

    Biasanya sapaanku hanya dibalas dengan sapaan balik. Barulah dia akan bertanya jika aku mengatakan akan pergi bersama anaknya. Err, apakah ini berarti dia mulai…risih dengan aku yang hampir setiap hari “menculik” Melline dari rumah? Uh, seharusnya aku tidak melulu mengajaknya pergi.

    Kembali pada ruang keluarga rumah keluarga Chien yang sudah terasa familiar. Dua buah sofa, sebuah meja yang menengahi, dan sebuah karpet mengalasi. Dia, Melline, duduk bersandar pada salah satu sisi sofa berbalut kaus lengan pendek berwarna putih dan celana pendek berwarna kontras, ditambah sebuah bando merah menghiasi rambut panjangnya. Melline, cantik sekali.

    “Hai.” Sapaku singkat
    “Dateng mulu…” Balasnya juga singkat
    “Ditungguin sih…” Dengan nada sedikit meliuk

    Setelah bunyi kalimatku tak terdengar lagi, kami hanya saling menatap dan tersenyum.

    Obrolan ringan mengenai apa yang terjadi selama malam sampai pagi hari pun terjadi. Jika dulu aku yang rajin mendongeng, kini Melline suka bercerita. Tentang apa yang terjadi setelah aku pulang, ketika panasnya udara malam hari membuatnya tak bisa terlelap, saat mentari pagi menyadarkannya, dan kala sarapan ia menemukan kacang dalam buburnya.

    Menurutnya, kacang itu sebuah eksistensi yang berbahaya. Sebutir masuk dalam mulutmu, niscaya beberapa butiran kemerahan siap meledak muncul dari sela pori-pori wajahmu.

    Aku belum berani menjamah kamarnya. Yah, pernah kumasuki sebentar, melihat ada apa didalam, namun untuk berduaan saja dikamar…sepertinya belum saatnya. Jadilah ruang keluarga ini yang menjadi pendengar setia semua perbincanganku dengannya.

    Dari mentari masih terik tepat diatas kepala, sampai saatnya bintang terbesar di galaksi ini beristirahat, aku masih duduk berhadapan dengannya diruangan yang sama. Sedikit pegal juga rasanya, namun rasanya sebuah frasa iklan sangat tepat untuk menggambarkan situasi ku sekarang ini. Melline, wajahmu mengalihkan duniaku, sampai tak terasa sakit pantatku.

    “Ngg, ke taman itu lagi yuk.” Mendadak Melline mengajakku
    “Taman…yang ada pohon nya itu?”

    Dibalas dengan anggukan yang sudah kuhafal betul irama gerakan kepalanya.

    “Udah agak malem, loh.”
    “Gak pa-pa, emang sengaja pengen malem.”
    “Ayok, deh…” Aku pun mengiyakannya

    Setelah meminta ijin pada ibu nya, dan kencan dadakan kami pun dimulai. Berhubung jarak dari rumah melline ke taman itu tak terlalu jauh, maka berjalan kaki menjadi pilihan yang tepat.

    Ada dua alasan aku memilih berjalan kaki; tak perlu biaya dan sedikit lebih lama. Alasan kedua sebenarnya adalah poin penting bagiku, pasalnya…ehm, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Dan kali ini, aku punya misi yang besar.

    Berjalan sedikit didepannya, ditemani sebuah percakapan ringan, dan aku mengumpulkan keberanianku. Satu hal yang sudah lama ingin kulakukan, namun selama ini belum pernah tertunaikan. Kupikir agak kurang pantas, namun perasaan ini ingin lekas.

    Melline berjalan kurang dari dua puluh senti dibelakangku saat aku menoleh kearahnya. Sambil masih berbicara, kedua mataku bertemu dengan tatapnya. Sekejap, tanganku kananku meraih tangan kirinya, menariknya perlahan berjalan lebih dekat denganku. Tangan mungilnya terasa halus, menggenggam balik jemariku. Tatapnya memancarkan senyuman, dan kami terus berjalan.

    Misi berhasil.

    Entah kenapa, aku ingin sekali berjalan sambil menggandengnya. Sebelumnya aku tak pernah bersemangat seperti ini hanya untuk menggandeng seorang wanita. Melline, membuat aku merasa aneh sendiri. Dan kini aku menggenggam tangannya, tanpa kusadari pohon kenangan itu sudah didepan mata.

    “Malem-malem disini adem, ya…”
    “Emang belom pernah kesini malem-malem?” Sambil mencondongkan badannya kearahku
    “Ini baru pertama.” Barisan gigiku pun menampakkan diri “Elu tumben ngajak kesini, sih.”
    “Yaa…lagi pengen aja.” Lalu dia duduk diatas permadani rumput yang terlihat gelap

    Aku pun mengikutinya, duduk dan bersandar pada pohon yang telah berusia tiga belas tahun itu. Ditemani hanya cahaya lampu jalanan yang cukup terang untuk melihat sekitar, dan cukup gelap membingkai panggung langit malam.

    “Aku udah mikir, kalo disini pasti bisa liat bintang.” Suara kecilnya memecah keheningan
    “Liat bintang? Jauh-jauh amat, dirumah juga bisa.”
    “Tapi gak bakal seindah disini.” Jawabnya dengan yakin seakan dia sudah tahu

    Bagaikan sebuah pertunjukan opera; tirai awan terkembang, langit menjadi latar belakang, dan semuanya bertabur bintang. Ini adalah pembukaan.

    “Aku suka liat langit malem, apalagi kalo banyak bintangnya kayak sekarang ini.” Melline memulai ceritanya

    Seorang putri, yang pada suatu hari terbangun dari tidur lelapnya. Mendapati dirinya tertinggal sendiri, tanpa siapapun tersisa baginya. Termangu dalam hampa, hingga matahari terbenam di dalam senja. Mendapati satu temannya masih berada disana, sang bintang yang berdiri tegak diatas langit. Menghampirinya, membawakannya cahaya, mengembalikan gemerlap dalam tatapnya.

    Sejak itu sang bintang kerap menemai sang putri setiap malam tiba. Mengenalkannya pada teman lain dilangit, pada cahaya kerlap-kerlip lain diatas cakrawala. Dan akhirnya membuat sang putri tak lagi sendiri. Satu bintang siang mencerahkan harinya, dan ribuan cahaya kecil menyelimuti tidur lelapnya.

    Terkadang langit berubah kejam, ketika awan membumbung tinggi menutupi angkasa tanpa membiarkan setitikpun cahaya masuk. Sang putri digerayangi kegelapan, terpaku pada kesendirian. Gelisah mewarnai hatinya, takut menggeliat dalam pikirannya, sementara kilau menghilang dari tatapnya.

    Namun sang puti tak goyah. Ia tahu temannya masih berada diatas sana, dengan setia menunggu kesempatan untuk kembali bertemu. Langit pun luluh, disingkirkannya awan dari pandangan. Perlahan terbuka jalan cahaya, menjembatani langit dan daratan mempertemukan mereka berdua.

    “Mungkin udah dari dulu, tapi sejak hari itu…aku sering liatin bintang.” Kalimat panjangnya selesai

    Masih dengan latar belakang yang sama, tirai panggung tertutup. Samar namun masih terlihat pijaran bintang yang tak rela pergi. Dan pertunjukan opera telah berakhir diiringi semilir angin malam yang meriah.

    “Ah, bilang aja takut gelap, makanya nyari yang terang-terang.” Nada bicaraku bergelitik
    “Ih! Ceritanya beneran tuh!” Suaranya pun meninggi

    Gelitikanku berhasil.

    “Pokonya aku suka liatin bintang!” Kemudian mukanya terlihat merengut
    “Berarti suka bengong gitu dong, melongo liatin titik-titik kecil-kecil gitu kalo malem-malem.” Aku berpindah kedepannya “Kalo diliatin orang, pasti dikira aneh-aneh tuh.”
    “Ih, rese ah!”

    Aku hanya tertawa-tawa kecil. Melihatnya kini dapat berbicara santai kepadaku rasanya sungguh menyenangkan. Dan baru kutahu satu hal hari ini; Melline, muka cemberut nya lucu sekali.

    “Ngambeeek deh, yeeee~ ahahaha”
    “Huh. Emang kamu sendiri gak suka liat apa-apa?” Mendadak dia bertanya
    “Suka dong, gue suka liatin…”

    Eh!? Apa katanya tadi!?

    “Liatin apaa?” Pertanyaannya berlanjut
    “Itu…loh…”
    “Apa?” Mukanya didekatkan padaku

    Duh…aku tak bisa menjawabnya.

    “Anu…malem ini adem, yah…”
    “Iiiih! Payah ah!”

    Setelah ceritanya, giliranku bercerita. Namun sayang, ceritaku tersendat, memadat dalam mulut rapat. Biarlah nanti akan kuceritakan pada waktu yang tepat. Saat ini biarkanlah sang bintang cukup memperhatikan kami, yang sedikit demi sedikit menambah volume suara dalam tawa.


    Spoiler untuk Chapter 4 :
    The Moongazer - Bulan, bintang, dan buah jeruk

    Hari demi hari berlalu, empat kali tujuh hari lebih telah tertulis dalam uku harian, dan tiga puluh kali dua puluh empat jam telah aku lewati. Satu bulan ditengah musim kemarau yang panjang walaupun bukan karena gejala el nino, ditemani panas terik mentari dan basah keringat dari pori-pori. Satu bulan yang begitu berbeda dari bulan-bulan lainnya, karena satu hal ajaib luar biasa.

    Melline, malaikat yang terkena amnesia dan tersandung ranting pohon jatuh ke bumi.

    Hari ini, seperti biasanya aku kembali mendatangi rumahnya. Blok B, jalan Apel nomor tujuh, rentetan kata yang sempat terdengar aneh bagiku, namun sudah menjadi hal yang biasa. Yah, bagaimana tidak, hampir setiap hari aku melihat plang jalan dan nomor penunjuk dirumah ini.

    Sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya, hari ini aku kembali mendapat sebuah undangan. Sebuah ajakan dari orang yang sama dengan dia yang menawarkanku untuk menjadi pendamping anaknya. Pak Chien, yang belakangan ini jarang terlihat dirumahnya, akhirnya muncul kembali.

    “Sore, tante.” Sapaku ketika pintu dibukakan
    “Ya. Sore…” Dengan nada yang tak juga berbeda setiap harinya

    Yah, selain nama dan tempat, rasanya yang satu itupun telah sukses membuatku terbiasa. Yang membukakan pintu untukku setiap kalinya, dan orang yang kusalami pertama kali. Ibu nya Melline, yang hingga hari ini pun tak kutahu siapa namanya, aura dingin yang terpancar dari tatapannya kini terasa seperti semilir angin sejuk menyegarkan.

    Didalam rumah telah menunggu Pak Chien, dengan dandanan yang terkesan santai dan senyum bernada sama terpampang di wajahnya. Sejak pertama bertemu, kurasa belum sampai sepuluh kali aku melihatnya. Ia benar-benar sering bepergian keluar kota, namun tak terlihat seperti pekerja kantoran pada umumnya karena terkadang hari Minggu pun ia tak ada dirumah.

    “Melon! Ayo sini duduk!” Katanya menyambutku “Gimana kemaren jalan sama Mei lagi? Kayaknya ingetannya gak balik-balik, tuh. Hahahaha”

    Cara tertawanya yang sedikit berlebihan juga telah membuatku terbiasa.

    “Iya, om. Gak tau tuh, mungkin si Mei inget cuman pura-pura.” Kataku meledek
    “Hahahahaha” Tawanya semakin menjadi “Ati-ati aja tuh sama yang dibelakang.” Sambil menunjuk kearah belakangku.

    Ada apa, eh..

    “Aku keliatan pura-pura, gitu!?” Sebuah suara dari belakang menyambar telingaku

    Suara keras yang mengagetkan refleks membuatku menoleh kearah sumbernya, dan kemudian kaget bagian kedua sudah menunggu. Melline, mukanya terlihat sedang sebal, berhadap-hadapan dengan mukaku berjarak kurang dari lima senti. Pandangan close-up tepat kearah mukanya dan tatapan lurusnya membuat mataku merasakan sedikit surga yang bercampur dengan keringat dingin.

    Tapi, Melline, muka cemberut nya lucu sekali.

    “Denger aja lu.” Aku menoyor pipinya yang sudah tidak terlalu menggembung “Kepo tuh gak baik buat kesehatan loh.”
    “Pih!” Dan gadis berambut panjang itu pun memalingkan mukanya
    “Hahaha Mei ngambek, deh.” Ucap ayahnya

    Seorang ayah memang beda. Sekejap berada disamping ayahnya, dan tawa pun menular padanya. Pak Chien terlihat sangat menyayangi anaknya, dan begitu pula sebaliknya. Keluarga bahagia, hmm? Tak mungkin rasanya ibunya tak juga berperilaku serupa, mungkin dia hanya tak menunjukkannya didepanku.

    Hari ini pembicaraan berlangsung bagi tiga orang, bertambah satu dari biasanya. Kuantitas tawa yang keluar pun ikut bertambah, seperti tak mau ketinggalan keseriusan juga muncul ditengah obrolan. Satu hal serius yang belum pernah lagi dibahas selama sebulan terakhir.

    “Melon, ini menurut kamu aja, gimana Mei belakangan ini?” Pak Chien bertanya dengan nada tidak bercanda
    “Gimana apanya, om?”
    “Ya, apa dia nunjukin semacem inget sesuatu?”
    “Emm…inget sesuatu? Lu inget apa gak, Mei?” Aku malah balik bertanya

    Dibalas dengan sebuah gelengan kepala.

    “Gitu, ya? Sayang banget, ya.”

    Aku sedikit merasa bersalah, meskipun sebenarnya bukan salahku sama sekali. Memang tak pernah sekalipun terucap dari mulut Pak Chien bahwa aku bertanggungjawab atas pengembalian ingatan anaknya, namun aku merasa memiliki andil dalam hal itu. Lagipula tak sopan juga jika aku mengajak jalan-jalan dan bersenang-senang seorang yang baru tertimpa masalah demi kepentingan pribadi.

    “Ahahaha, kamu gak usah murung gitu, Mel. Bukan salah kamu juga, kok.” Pak Chien berkata
    “Ya, saya ngerasa gak enak aja, om.”
    “Gak pa-pa. Justru saya mau ngasih tau kamu kabar gembira, nih.” Katanya dengan riang

    Aku kebingungan, Melline yang daritadi terdiam tidak menunjukkan perubahan.

    “Pah!” Tiba-tiba terdegar suara membentak

    Entah sudah berapa lama dia berada disana, ibunya Melline, sekaligus istri Pak Chien. Mendadak dia berteriak sekejap sebelum kalimat Pak Chien kehilangan bunyi gema nya. Kaget sekaligus menyadarkanku inilah kali pertama aku mendengarnya berbicara dengan emosi dibalik suaranya.

    Tak lama setelah teriakan itu, keduanya pun lagi-lagi berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti, Bahasa Mandarin. Ada apa ini? Aku selalu merasa tak enak jika keduanya sudah mulai berbicara seperti itu, apakah mereka membicarakanku?

    “Gak pa-pa kok, mah. Dia perlu tau hal ini.” Pak Chien menegaskan

    Muka istrinya itu terlihat kesal. Aku tak mengerti, sepenting apakah hal yang ingin disampaikan Pak Chien.

    “Anu, om, tante, sebenernya kalo saya boleh tau itu om mau ngomongin apa? Ada hubungannya sama saya?” Potongku

    Tanpa berkata apapun, wanita itu beranjak pergi masuk ke kamar.

    “Ah…si Mimi itu…” Lelaki itupun menghela napasnya panjang-panjang “Sori ya, Melon. Mungkin dia lagi bete aja.” Lalu berbicara padaku.

    Tak lama kemudian pak Chien berbicara lagi. Dia menjelaskan bahwa apa yang hendak dibicarakannya memang menyinggung masalah pribadi, namun dia ingin menceritakannya padaku berhubung aku telah menemani anaknya selama sebulan terakhir. Dari situ aku menangkap apa yang menjadi topik hari ini pastilah tak jauh dari dia yang telah menjadi bidadari masa kecilku, Melline.

    Omongannya dilanjutkan dengan meyakinkanku bahwa aku sama sekali tak bersalah. Jika tadi Mimi, istrinya, yang namanya pun baru kuketahui hari ini berbicara dengan nada tinggi, pastilah itu hanya karena dia masih belum percaya padaku. Entah apa alasannya, tapi memang wajar, toh pada aku memang bukan kerabat dekat mereka atau sejenisnya.

    Omongan pun berlanjut. Pak Chien menceritakan tentang beberapa hari selama sebulan terakhir ia habiskan untuk mencari informasi tentang cara pengembalian ingatan. Hal yang terdengar aneh, memang. Tapi itu karena hal semacam ini memang jarang pula ditemui.

    Jadi ketika aku menemani anaknya mencari serpihan-serpihan ingatan yang pecah tersebar, Pak Chien pergi mencari cara menyatukan serpihan-serpihan tersebut. Rasanya janggal, namun disaat bersamaan hal itupun terdengar…keren? Seperti sebuah film layar lebar tentang dua agen rahasia yang bekerja sama melawan musuh di medan yang berbeda, keduanya berkesinambungan demi satu tujuan.

    Hebatnya adalah kini Pak Chien telah mendapatkan…mengetahui setidaknya satu cara yang konon katanya dapat membantu Melline mengembalikan ingatannya.

    Dari sekian banyak cerita yang pernah kubaca, ada beberapa yang megisahkan tentang keadaan yang hampir serupa. Mengembalikan ingatan nampaknya cukup populer dikalangan penulis cerita. Dan dari sana lah aku menemukan beberapa hal yang sepertinya adalah cara yang cukup logis dan cukup berkemungkinan untuk dilakukan.

    Dikembalikan dengan kejutan, dibiarkan sendiri, atau memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan masa lalunya. Tiga hal itulah yang paling sering kulihat, setidaknya didalam cerita.

    Yang pertama sebenarnya pernah kulakukan beberapa kali, namun tekejut bekali-kalipun Melline masih tak mengingat apa-apa. Yang kedua…paling aman namun taka da kepastian sampai kapan harus menunggu. Dan yang ketiga, juga sudah kulakukan, dan pastinya Pak Chien juga sudah, namun tak kunjung membuahkan hasil.

    Satu hal yang diceritakan Pak Chien melampaui ekspektasiku. Satu hal yang belum pernah kudengar sebelumnya; menyembuhkan lupa ingatan dengan terapi. Terdengar janggal, apakah lupa ingatan adalah penyakit sehingga perlu disembuhkan, dengan terapi pula? Yah, ehm…dipikiranku kata terapi selalu bermakna pengobatan medis. Tapi setidaknya, ini merupakan hal yang bagus!

    “Jadi ada terapi buat nyembuhin lupa ingetan, yah…” Aku bersemangat
    “Iya, Mel. Kemaren ini om dikasih tau temen di **** sana.”
    “Oh, di **** adanya.” Tunggu… “Umm, berarti nanti om sama Mei bakal balik lagi kesana?”
    “Iya, saya udah cari tapi kayaknya dia gak buka cabang di Indonesia.”

    Seketika mulutku membisu, pita suaraku membatu, kataku tak mau maju. Disaat yang sama pikiranku terbelah dua; aku senang, sebuah kesempatan datang baginya untuk dapat mengingat kembali ingatannya, kenangan masa lalunya; disisi lain aku…tak mau kehilangan sosok dirinya yang menemani hariku.

    Ini konyol sekali, Melline bahkan bukan pacarku, tapi…selalu ada sebuah “tapi” yang muncul dipikiranku. Sesuatu yang membuatku merasa kehilangan bahkan sebelum dia benar-benar meninggalkanku. Sebuah perasaan yang berkecamuk dalam benakku, rasa galau dan ilusi yang mendadak menyerang keji tiada berampun.

    “Saya kasih tau kamu aja dulu, tapi sebelomnya makasih ya udah nemenin Mei selama ini.” Jelasnya

    Aku terdiam, Melline pun tak jauh berbeda. Dan Pak Chien pergi menginggalkan kami berdua.

    “Ayo…kita keatas aja.” Melline bangkit berdiri dan mengajakku

    Beranda lantai dua kini menjadi panggung ceritaku. Satu tempat dirumahnya yang belum pernah menjadi saksi apa yang terjadi diantara aku dan dia, selain kamar ibunya, tentunya. Sebuah meja berbentuk lingkaran yang dikelilingi dua kursi kayu, keduanya menghadap kearah panorama indah yang hanya bisa kau lihat setelah matahari terlelap, langit malam.

    Aku memilih berdiri dibelakang pagar besi yang hanya setinggi perutku. Melline berdiri tepat disebelahku. Hanya suara desiran angin yang mengisi kesunyian, tiada suara lain. Keheningan tercipta menengahi kami berdua. Tanpa sepatah kata terucap, kami hanya memandang langit.

    Seakan mengerti apa yang ada di benakku, langit tersenyum cerah membiarkan benda-benda angkasa menampakan wujudnya. Awan menyebar, menjadi bingkai kerlap-kerlip kecil yang membentuk untaian. Lautan bintang kesukaannya membentang sampai ujung cakrawala. Dan satu cahaya putih bersinar tepat dari arah pandangan. Satelit alami bumi yang menggantikan matahari memberikan cahaya bagi mereka yang hidup dibawah langit, sang bulan berada disana.

    Jika Melline menyukai kelip bintang yang ceria, aku menyukai pendaran cahaya bulan yang terlihat lembut. Dan malam ini, kedua hal itu berpadu ditengah malam. Indah sekali.

    “Kapan perginya..?” Tanyaku singkat

    Melline masih terdiam memandang apa yang ada dihadapannya.

    “Elu udah tau soal itu?” Aku bertanya lagi

    Bibirnya terbuka, namun suara tak keluar dari dalamnya.

    Aku meregangkan tanganku, meraih kepalanya dan kemudian mendekatkan dirinya kepadaku. Aku bahkan tak melihatnya, tapi aku tahu apa yang tergambar pada mukanya tak jauh berbeda denganku. Kubelai rambutnya, dan dia semakin merapatkan kepalanya padaku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa, sampai tiba-tiba suara yang sejak tadi terpendam itu akhirnya terdengar.

    “Aku…gak tau mesti seneng apa sedih…” Kata nya sedikit terbata

    Tak perlu bertanya, aku tahu apa yang membuatnya dilema, aku tahu apa yang membingungkan hatinya. Karena hal yang sama pun bersimpangan dikepalaku. Air tak mengalir dari kelopak matanya, getar pun enggan keluar dari tubuhnya, hanya sebuah pelukan yang terasa semakin erat. Yang kutahu, aku hanya harus mendukungnya, apa yang terbaik baginya.

    Ada perkataan bahwa apa yang kau rasa benar belum tentu benar, dan apa yang kau percaya belum tentu nyata. Perkataan itu dilanjutkan dengan sebuah sugesti dimana perasaan haruslah diutamakan, karena apa yang kau rasakan sekarang adalah kenyataan. Namun ada lagi perkataan yang menyangkal penyataan diatas, yang berkata bahwa perasaan kadang terbentuk dari apa yang kau percayai. Menghasilkan sebuah dilema.

    Jujur, aku tak tahu apakah membiarkannya pergi adalah hal yang benar. Otakku bilang selama itu mendukung pengembalian ingatannya, itu benar; namun ada yang berbisik membiarkannya pergi adalah kesalahan yang akan kusesali kemudian hari.

    “Aku gak mau pergi dari sini…” Suara kecil itu seakan berteriak
    “Nanti gak inget apa-apa, loh…” Aku berusaha menjawab
    “Masih bisa inget lagi, kok…” Teriakan nya semakin redup
    “Kalo gak inget lagi gimana…”
    “Biarin…”

    Sekali lagi, keheningan menjadi saksi bisu ditengah aku dan dia.

    “Gue gak mau elu pergi, Mei.” Aku pun mengatakannya

    Dia pun melepaskan pelukanku, menciptakan jarak kurang dari dua puluh senti yang terasa renggang. Namun kini tatapan kami bertemu, tatapan lurusnya tak berubah dari hari pertama aku melihatnya. Kami saling memandang, seakan dapat mengerti jalan pikiran satu dengan lainnya lewat setiap lirikan.

    “Terus…mau culik aku biar nggak pergi?”
    “Ya enggak lah, bodoh…”
    “Kalo nanti udah inget lagi, mungkin gak balik kesini loh… Lanjut disana.” Dia pun tersenyum
    “Iya, tau… Makanya gak mau elu pergi…”
    “Bodoh…”

    Dia kembali memelukku, dengan erat. Tanpa air mata tertetes, tanpa senyum terlihat, namun juga tanpa tawa.

    Sang bulan meninggi diatas awan, bintang-bintang masih pada tempatnya, desiran angin kini membawa serta gemericik daun yang saling bersentuhan. Saling menatap, melihat diri sendiri terpantul di bola mata nya. Disebuah beranda yang lampunya sengaja dimatikan agar cahaya lembut purnama menjadi penerang, berdiri berhadap-hadapan.

    Dengan tangan yang saling melingkar, tanpa seorangpun melihat. Hanya dua orang berada disana, aku dan dia, memeluk satu sama lain. Melline, terasa hangat.


    Spoiler untuk Chapter 5 :
    Woodenbell - Teka-teki berantai

    Hari ini langit tidak tersenyum. Ronanya tak secerah biasa, namun juga tak kelabu. Matahari bersinar terang, namun awan-awan besar dan tebal menutupinya. Angin tak bernyanyi riang, dedaunan nampak enggan untuk menari, hanya debu jalan yang menghiasi pandangan.

    Sebuah komplek perumahan di Bogor sedikit pinggir, blok B Jalan Apel rumah ketujuh. Berdiri didepanku seorang wanita berambut hitam panjang yang tergerai lurus tertarik gravitasi. Kulit putihnya berbalut blus putih tak berlengan yang menjuntai hingga menutupi lututnya. Tatapannya nya terhalang oleh poni nya yang panjang, bagian atas hidungnya sedikit berkerut.

    Melline, hari ini dia akan pergi.

    Aku datang mengucapkan perpisahan. Baru satu ditambah setengah waktu sebulan lalu aku bertemu dengannya, kini jalan kami kembali terpisah. Aku masih ingat dengan jelas euforia yang meledak dalam hatiku ketika aku tahu orang yang kucari berada tepat dipandanganku, sebuah keraguan yang muncul saat aku akan menyambangi rumahnya untuk kali pertama, dan decut kebahagiaan kecil yang keram muncul setiap hari aku bersamanya.

    Bukan berarti aku tak bisa lagi bertemu dengan dia. Tapi…sebuah “tapi” yang menjadi hambatan itu selalu ada.

    “Jalan jam berapa?” Aku memulai pembicaraan
    “Bentar lagi…kayaknya.” Dan dia mengakhirinya

    Dua orang keluar dari pagar, menutupnya dan memasukkan beberapa barang ke mobil Kijang SGX hitam yang dulu mengantar Melline bertemu denganku. Pak Chien dan Mimi, dua orang yang telah membiarkanku menikmati satu setengah bulan kemarin bersama anaknya.
    Aku tersenyum menyapa mereka, dibalas dengan senyuman yang sama oleh Pak Chien, dan sebuah anggukan oleh istrinya.

    Mereka masih dalam pembicaraan yang lagi-lagi menggunakan bahasa Mandarin, yang entah apa itu artinya. Keduanya nampak datar, bahkan Pak Chien yang selama ini selalu terlihat ceria terlihat sedikit muram.

    “Mei, ayo jalan.” Lelaki itu menepuk pundak anaknya

    Tanpa berbicara, istri lelaki itu mendorong suaminya masuk ke mobil. Meninggalkan aku berdua disamping pintu gerbang yang telah terapatkan oleh jalinan tali besi.

    Kutatap kedua bola mata berwarna hitam itu. Tatapan lurusnya membuatku bisa melihat jauh kedalam matanya. Tanpa bayang ilusi, tergambar disana sebuah perasaan ketidakinginan, persis sama seperti seorang anak kecil yang belum bisa berbohong atas perasaannya sendiri. Memecah keheningan, aku mengucap perpisahan, “Met jalan, ya…”

    Mulut itu tetap terbungkam, seakan tak ada kata dalam perbendaharaannya. Hanya sepasang mata hitamnya, yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih, menatapku dalam. Tiada kata, tanpa suara, tatapnya menyampaikan selamat tinggal seraya tubuhnya beranjak memasuki mobil.

    Kaca depan turun dari tempatnya, “Melon jangan kesepian, ya.” Muncullah Pak Chien

    “Hahahaha, iya om.”
    “Jangan maen kemari lagi, ntar malah ketemu yang aneh-aneh, loh.” Disambung dengan gelak tawa khas dirinya
    “Ah, om nakutin saya aja… Hahaha” Dapat kurasakan pahit dalam tawaku
    “Hahaha, yaudah…Kita jalan dulu ya.”
    “Oh oke, om. Selamat jalan…”

    Kaca depan bergulir naik, mobil Kijang SGX berwarna hitam pun melangkah perlahan. Berkat lapisan penghalang sinar matahari yang tak terlalu pekat, masih terlihat Melline yang menatapku dari dalam mobil. Tidak cukup terang untuk tetap menampilkan tatapan matanya padaku, namun cukup membuatku dapat melihatnya melambaikan tangan sampai mobil itu membelok.

    Aku masih terdiam didepan rumah nomor tujuh, dengan pikiran yang hampir kosong. Aku sendiri pun tak tahu apa yang harus kurasakan untuk sekarang ini. Mengumpulkan daya pikir yang pudar, aku memutuskan untuk pulang kerumah. Jika aku harus merasakan sesuatu, biarlah hanya bantal dan ranjangku yang menjadi saksinya.

    Selamat tinggal, blok B jalan Apel rumah ketujuh.



    Mungkin ketika itu aku hanya belum sadar. Ketika pintu kamar kututup, aku benar-benar tertinggal dalam kesendirian. Dan kala itulah semua saraf dalam tubuhku mendadak menjadi sensitif. Mataku terpejam kala tubuhku merebah diatas matras pegas. Tanpa memikirkan apapun, aku menonton siaran ulang kenangan selama dua bulan terakhir yang diputar ekslusif dalam bayanganku.

    Saat kau melihat orang-orang dengan masalah membebani pundaknya, mungkin kau hanya dapat tertawa. “Masalah kaya begituan aja ribet bener dah!” Pikirmu. Namun kau tahu, adakalanya kau yang akan berada di posisi mereka. Niscaya, disaat itu kau akan tahu betapa beratnya sebuah permasalahan, sesepele apapun itu, ketika kau sedang mengalaminya.

    Aku sering bingung ketika teman-temanku bilang bahwa mereka merasa tak enak badan, tak semangat, bahkan mukanya terlihat pucat. Yang membuatku bingung bukanlah keadaan mereka, namun alasan dibalik semua itu, kegalauan. Aku kemudian bertanya-tanya dalam hati, apa kabar rasanya menggalau? Dan sekarang, aku merasakannya.

    Langit kembali cerah. Warna birunya memenuhi pandangan, dibingkai oleh barisan awan berlapis. Matahari bersinar terang, namun tak terlalu panas untuk menghalangi orang keluar dari rumah. Angin berdesir ringan, membawa sejuk menembus pakaian.

    “Dulu gimana gue bisa sama si Mei, ya…” Aku bergumam sendiri

    Itu semua terjadi karena kebetulan, ya. Aku kebetulan bertemu dengan keluarga mereka dan pak Chien sendiri yang memintaku untuk menemani anaknya. Jadi sebenarnya aku hanyalah semacam body guard, hmm… Selama dia pergi, aku yang bertugas untuk menjaga anaknya…tunggu…

    Mereka datang dari ****, ke Indonesia dengan harapan Mei bisa kembali mendapatkan ingatannya. Berarti sudah tentu mereka bersiap untuk menemani Mei selama berada disini… Tunggu, selama sebulan lebih aku bersamanya, setidaknya dalam seminggu lebih dari empat kali aku berkunjung kerumahnya. Dari sekian hari itu, belum sampai sepuluh kali aku melihat Pak Chien ada dirumah.

    “Ngapain dia kemari kalo ujungnya bolak-balik **** juga…” Gumamku berlanjut “Ah…gak penting juga…”

    Apa yang terjadi kemudian biarlah hanya aku dan bantalku yang tahu.



    Minggu kedua sejak kepergian Mei. Aku mengisi hariku dengan berbagai kegiatan, yang dengan sukses membuatku sibuk dan lupa akan rasa galau itu. Namun ketika malam tiba, aku tinggal sendiri tanpa apapun untuk dilakukan. Sesaat sebelum tidur, rasa itu kembali menghampiri. Membuatku terus terngiang, bahkan ketika aku tak memikirkannya sama sekali.

    Entah apa yang merasukiku, ingin rasanya bertemu kembali. Tak tahu siapa yang menuntunku, dan aku tiba didepan rumah ketujuh di jalan Apel yang terletak di blok B sebuah komplek perumahan di pinggiran Kota Bogor. Mungkin rusak sudah saluran pengendali saraf dalam otakku. Apa yang kukejar dengan datang kesini? Bayangan?
    Seketika itu juga, muncul sekelebat hitam dari samping rumah. Bayangan sungguhan.

    Refleks aku bersembunyi dibalik tembok pagar. Bayangan it uterus mendekat, seperti menuju kearah pagar. Sedikit lebih jelas, siluet tubuhnya makin terlihat. Tunggu…figur itu nampak familiar bagiku. Akhirnya bayangan itu pun menampakkan sosok pemiliknya, kulit putih yang kontras dengan rambut hitam panjang yang hampir selalu kulihat tergerai.

    Ibu Mimi, orang yang selalu pertama kali melihatku dirumah ini.

    Sedang apa dia disini? Hei, apakah Mei sudah kembali? Tapi aku tak melihat mobil Kijang SGX hitam berada didekat sini maupun di pekarangan rumah tempatnya biasa diparkir. Mungkin Pak Chien sedang pergi… Ah, lebih baik aku menanyakannya.

    “Tante! Udah pulang, nih?” Aku menampakkan diri

    Wanita itu seketika nampak terkejut ketika melihatku, matanya sedikit terbelalak.

    “Kamu…ngapain disini?”
    “Ah, iseng aja, tan. Hehehe” Aku berusaha tak terlihat aneh “Hmm, Mei udah beres berobat?”

    Dia terlihat sedikit kebingungan, seperti sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaanku.

    “…Nggak.” Katanya terpotong “Saya cuman mau ngambil barang ketinggalan…”

    Benar, ada yang aneh dengan wanita ini.

    “Wah gitu ya… Ah iya, Mei kapan selesainya?” Tanyaku
    “Masih lama...” Kali ini dijawab cepat “Saya mau masuk dulu. Kamu pulang aja.” Lalu terburu-buru masuk kedalam rumah

    Hei, aku ditinggal sendiri disini? Tidak, ada yang lebih penting daripada masuk kedalam. Biarpun hanya beberapa detik, namun aku selalu berkomunikasi dengannya hampir setiap hari. Aku hapal bagaimana caranya berbicara, terutama kepadaku. Dia seperti kehilangan komposisi tenang nya, dan lagi hari ini matanya tidak menatapku. Dia…menyembunyikan sesuatu?

    Aku berjalan menuju sudut pagar, dan sekali lagi menyembunyikan tubuhku dibalik tembok. Aku mencoba mendengar apapun dari dalam rumah, namun tak ada suara, bahkan tiada tanda-tanda terjadi suatu aktifitas dari dalamnya. Hmm, daripada terlihat aneh oleh orang lewat lebih baik aku pulang.



    Tadi itu benar-benar aneh sekali. Jelas sekali terlihat tante itu kebingungan saat melihatku, dan berusaha untuk tidak menunjukkannya. Dia pun seperti tak mau menjawab pertanyaanku, malah terlihat menghindar. Hei, aku kan hanya menanyakan tentang Mei… Apa yang dia sembunyikan?

    Aku bertanya mengenai Mei, dan dia tak mau menjawab. Itu berarti…hal yang dia sembunyikan berkaitan dengan Mei?

    Seingatku, dia beberapa kali berbicara dengan Pak Chien dengan bahasa Mandarin yang tak kumengerti itu. Apakah saat itu dia sedang membicarakanku, atau Mei? Tunggu, aku tak pernah melihat atau mendengar Mei berbicara dalam bahasa Mandarin! Jika ibunya membicarakan dirinya, seharusnya dia akan merespon. Setidaknya dengan sedikit gerakan mata.

    Jangan-jangan Mei lupa bahasa Mandarin?

    Tidak, dia bahkan tak lupa cara menulis dalam bahasa Indonesia. Tak ada alasan baginya untuk melupakan bahasa Mandarin, setidaknya untuk berbicara. Anggaplah dia tidak melupakannya, berarti apa yang dibicarakan Pak Chien dengan istrinya itu tak menyangkut dirinya. Apa yang tak berkaitan dengan Mei, tapi harus dirahasiakan dariku?
    Urusan keluarga?

    Aku tak bisa berhenti namun curiga. Jika itu hanyalah urusan keluarga biasa yang tak begitu mendesak, harusnya mereka bisa membicarakannya saat aku tak berada disana. Mereka bahkan terkadang membicarakannya tepat didepanku. Tunggu, saat dia mulai berbicara dalam bahasa Mandarin biasanya ketika Pak Chien sedang berbicara padaku. Seperti…memotong…

    Itu dia! Selama ini Pak Chien beberapa kali bercerita tentang Mei dan rencana pemulihannya. Saat itulah wanita itu datang dan memotong pembicaraan kami! Walaupun aku tak mengerti artinya, tapi terdengar seperti orang sedang beradu argumen. Tujuannya…tentu agar aku tak mengerti…dan untuk menghentikan pembicaraan… Membatasi informasi yang sampai kepadaku!

    Hei…tentang rencana pemulihan Mei? Apa jika aku mengetahui hal itu akan berdampak buruk bagi mereka? Mereka tak mungkin merencanakan hal yang buruk untuk anaknya, kan… Anak pungut…tidak, Mei mirip sekali dengan ibunya baik fisik maupun fitur. Oh, jika memang buruk, Mei tak mungkin diam saja…

    Sial! Petunjuk yang kumiliki hanya dapat mengantarku pada kesimpulan yang belum jelas.

    Apa lagi kejanggalan yang terjadi disana…Pak Chien! Selama ini aku selalu beranggapan dia baik dan ramah, namun dia pun sedikit aneh. Aku ingat beberapa hari lalu aku sempat berpikir tentang anehnya ajakan untuk menemani Mei itu. Mungkinkah, semua ini berhubungan!?

    Pak Chien adalah orang yang mengajakku dalam semua ini. Berarti saat istrinya memotong pembicaraan itu, dia tak setuju jika aku terlibat terlalu jauh dalam masalah mereka..? Benar juga, dia terlihat dingin ketika hari pertama bertemu, mungkin dia tak senang dengan Pak Chien yang mengajakku.

    Tunggu, jika dihubungkan dengan kepergian Pak Chien yang hampir setiap hari, berarti dia lah yang punya rencana! Tentu, dia bisa melakukan apapun selama dia pergi, merencakan ini-itu atau apa saja. Istrinya hanya bertugas mengawasiku selama aku ada dirumah bersama anaknya, ya, wanita itu tak pernah ikut menemani suaminya.

    Skema nya pas! Dugaanku ini logis, dan tentu saja masuk akal jika mereka pun melakukan ini karena alibi mereka akan sangat sempurna jika terjadi sesuatu. Tinggal satu lagi yang perlu kucari tahu, apa rencana mereka sebenarnya.

    Semakin aku berpikir, semakin banyak kemungkinan yang aku temukan. Mungkin sebenarnya apa yang mereka lakukan tak ada hubungannya sama sekali denganku, namun ada yang mengganggu pikiranku. Keterkejutan seseorang saat melihatku, Bu Mimi, seperti melihat sesuatu yang sangat tak diinginkan. Aku jadi ingat akan ucapan Pak Chien tepat sebelum ia pergi waktu itu, yang dibalut dengan kata halus dan tawa namun sebenarnya mengisyaratkanku agar tak lagi mendekati rumahnya.

    Jika dugaanku benar, mereka pasti masih ada disana… Aku harus pergi kerumah itu lagi.



    Langit biru membentang, matahari bersinar terang. Jalan Apel blok B nomor tujuh, aku kembali datang. Kembali di sudut rumah, memperhatikan sekeliling. Di siang hari yang panas, tiada tanda-tanda aktifitas di rumah ini. Namun dugaanku benar, mobil Kijang SGX hitam diparkir tepat pada tempatnya.
    Haruskah aku menampakkan diri sekarang…tidak, aku belum menemukan apapun. Tapi diam ditempat ini pun akan mencurigakan bagi orang lain… Berjalan memutar nampaknya baik.

    Jika memang tak ingin terlihat, mereka tak mungkin keluar rumah tanpa mobilnya, setidaknya agar muka mereka tetap tertutupi. Aku bisa berjalan dengan aman di jalan, cukup berhati-hati agar tak terlihat oleh mereka dari dalam. Baiklah, dengan santai kea rah sudut disebelah sana…oke.

    Berhati-hati membuat keadaan sekitar menjadi dramatis. Tiap langkah bagiku terasa begitu lambat. Aku berjalan di sisi trotoar seberang. Sampai di dekat bagian pintu pagar, dan bagai kebetulan tiga orang yang sudah kupikirkan dari tadi keluar dari pintu rumah.

    Namun apa yang terlihat dalam pantulan cahaya di retinaku sangat lain dari biasanya…


    Spoiler untuk Chapter 6 :
    Orange - memori sebuah melon

    Pintu kayu terbuka perlahan, dari baliknya terlihat tiga siluet manusia yang sangat kukenal. Ternyata tebakanku benar, Pak Chien dan keluarganya berada disini, Indonesia. Tinggal satu hal yang masih menjadi misteri, dan aku akan mengetahuinya hari ini…semoga.

    Aku bersembunyi dibalik tembok yang berhadapan dengan sisi jalan, bersandar dan tidak menengok agar orang yang lewat mengira aku hanya singgah. Mencoba menangkap suara apapun yang mereka keluarkan, berharap dapat mengetahui sesuatu darinya. Terdengar suara seorang lelaki, Pak Chien, yang nada suaranya tak ceria seperti biasanya. Terdengar marah, sayang lagi-lagi menggunakan bahasa aneh yang tak kumengerti itu.

    Sebuah suara kecil pun terdengar, “Kita mau kemana, pah?”

    Melline.

    “Udah masuk aja ke mobil! Gak usah banyak tanya!”
    “…Kenapa papa bohong, katanya kemaren kita mau ke ****…” Suaranya mengecil
    “Kamu nurut aja apa kata papa! Sana masuk!” Nada suara lelaki itu meninggi

    Wanita itu, Mimi, lagi-lagi datang memotong pembicaraan. Yang lagi-lagi juga dikatakannya dalam bahasa asing itu.

    “Mama…sama papa…kenapa ngomongnya pake bahasa itu terus sih…aku kan gak ngerti…” Melline terdengar sayup sambil memegangi baju ibunya
    “Papa bilang masuk mobil! Gak usah banyak tanya!” Lelaki itu kembali membentaki anaknya

    Satu hal lagi telah menjadi jelas. Ternyata Melline bukan lupa, namun ia memang tak bisa berbahasa Mandarin. Dan ternyata dugaanku benar; mereka bukan sudah kembali dari ****, tapi memang tidak pernah pergi kesana. Ini berarti memang ada yang sengaja disembunyikan dariku.

    Baiklah, saatnya aku menampakkan diri.

    “Om, kok ada disini?” Kataku dengan nada mengejek

    Benar saja, mata lelaki itu langsung terbelalak begitu melihatku berada didepan pagar rumahnya.

    “Oh, hahaha, Melon…kamu ngapain kesini, hahaha…” Terlihat sekali tawanya dipaksakan
    “Saya gak diajak masuk, nih…” Sekali lagi dengan nada yang sama
    “Ah, hahaha, iya masuk aja, hahaha…”
    “Mei udah beres dari ****, ya…” Tanyaku sembari berjalan kearah gadis yang terdiam itu
    “Oh…belom, hahaha. Ternyata kemaren kita salah jadwal berangkat. Hahaha…”

    Alasan yang dia katakan berbeda dengan istrinya. Sudah kuduga, berita tentang kedatanganku kesini kemarin belum sampai padanya…atau mungkin tidak disampaikan.
    Melihatku, hanya satu orang yang tidak terkejut. Mimi, wanita ini sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun, membuatku tak tahu apakah memang dia sudah mengira atau hanya menyembunyikan mimiknya. Sayang sekali bukan waktunya mengurusi hal itu sekarang.

    “Hmm…terus kok tadi saya denger kayak marah-marah, om…” Sambil aku berbalik kearah Melline

    Dia tertawa-tawa, yang jelas itu hanya dibuat-buat “Ah, kamu salah denger kali, Mel. Mana saya marah-marah, hahahaha…”

    Aku memperhatikan wajah gadis kecil didepanku, yang tak berkata apa-apa namun seperti ingin berbicara. Melline, aku tahu maksudmu…

    “Jadi, om, sebenernya mau ngapain?” Sekali lagi aku bertanya pada lelaki itu

    Dia sedikit lama terdiam, kurasakan keraguannya untuk menjawab dan kebingungan tentang apa yang kumaksud. Namun akhirnya ia berkata “…Maksud kamu apa, Mel?”

    “Saya tau om boong soal pergi ke **** itu.” Aku berbalik badan menghadapnya “Buat apa om boongin saya?”

    Dia hanya terdiam mendengar pertanyaanku. Baiklah, aku tak yakin soal ini namun ada pantasnya kucoba.

    “Sebenernya om gak niat buat bantu Mei balikin ingetannya, kan.” Aku menatap matanya

    Pernyataan ku tepat, matanya terbelalak. Tenang, ada satu lagi.

    “Saya tau gak ada yang namanya terapi buat lupa ingetan. Itu cuman akal-akalan om, kan.” Ini pertaruhanku “Saya tau om punya rencana laen buat Mei.”

    Dan, bingo! Pak Chien, yang biasanya terlihat dengan tawa memenuhi mukanya, kini memasang topeng kekagetan. Oh, apa justru ini muka sebenarnya?

    “Kamu…tau darimana?” Suaranya terdengar geram

    Aku bertaruh tidak adanya komunikasi yang baik antara lelaki dihadapanku ini dengan istrinya. Buktinya dia memberikanku alasan yang berbeda mengenai keberadaannya disini. Jika komunikasi mereka terjalin dengan baik, dia pasti tahu kemarin aku datang dengan kebingungan seperti mencari orang hilang. Dan aku memenangi taruhan ini dengan sukses. Ternyata akting percaya diriku cukup ampuh memperdayai seseorang.

    “Daritadi om cuman jawab pertanyaan saya pake pertanyaan, loh.” Jawabku tenang

    Lelaki itu terdiam. Aku merasakan Melline kini menggenggam ujung bawah bajuku, ya, siapa lagi. Aku ingin memberitahunya, tapi bukan sekarang…

    “Om…jangan nyelakain anak sendiri…” Aku melanjutkan monolog ku

    Diluar dugaan, kini tawanya memekik. Tapi bukan tawa ramah penuh kehangatan yang biasa ditampilkannya.

    “Ahahahaha, mana mungkin saya nyelakain anak sendiri, Melon…” Dia terdiam sebentar lalu berbicara lagi “Kamu gak tau apa-apa, ya, gak tau apa-apa…”

    Gawat! Aku salah bicara…tidak, cara tertawa nya yang lain dari biasanya itu menunjukkan ada yang berbeda. Aku harus tetap tenang.

    Sebelum aku sempat berbicara, dia sudah melanjutkan perkataannya “Kamu tau, seorang papa itu pasti ngasih yang terbaik buat anaknya, loh.” Lalu ia berjalan kearahku “Kamu tau apa yang terbaik buat anak saya?”

    Dia terdiam memandangku, dengan muka yang mengerikan.

    “Gak mungkin kamu tau!” Serunya berteriak “Kamu mana tau apa-apa soal anak saya!” Lalu ia melayangkan sebuah pukulan cepat kearahku

    Reflek aku mengangkat tangan berusaha menahan pukulannya. Namun tak cukup kuat karena aku tak siap, membuatku sedikit terdesak mundur. Memanfaatkan tanganku sebagai penghalang, sekali lagi lelaki itu memukulku tepat disamping mukaku. Mementalkan aku jatuh ketanah.

    Sial, pukulannya sakit juga.

    Pak Chien, yang selama ini kukenal ramah kini memandangiku yang masih berusaha bangun dengan kepalan erat siap menghujaniku dengan pukulan.

    “Bukannya seneng saya kasih kamu nemenin anak saya, sekarang malah kamu ikut-ikutan masalah keluarga saya! Anak brengsek!” Sambil ia memukulku, lagi

    Tidak semudah itu, bung! Aku bukan samsak hidup!

    “Brengsek!” Dari posisi setengah berlutut aku melemparkan pukulan tepat kearah tangannya.

    Kepalanku dan miliknya beradu, namun tangannya lah yang terpental

    Aku kembali berdiri, berhadap-hadapan dengan lelaki sial itu.

    “Lu udah jadi orang tua kaga bisa, mukul juga kaga bisa! Mau jadi apa lu!” Giliranku untuk menghajarnya

    Tanganku yang berada dibawah kuarahkan naik secara vertikal, tepat menuju dagunya. Sebuah pukulan pembukaan yang biasa dipakai para preman jalanan saat bekelahi, setidaknya itu yang kulihat. Dan ternyata cukup efektif untuk membuat badan musuh terbuka lebar. Sekali lagi, dengan tumpuan sebelah kaki aku meninjunya tepat di ulu hati. Membuatnya berjibaku menghadap tanah, aku mengajarinya cara memukul yang –lebih- baik.

    “Gue gak tau apa-apa soal keluarga lu, tapi gue tau mana yang baek mana yang enggak!” Kataku berteriak, melampiaskan emosiku lewat gelombang suara

    Lelaki itu berdiri kembali, masih dengan ekspresi yang sama dan dengan niatan yang tak berbeda. Aku datang kemari bukan untuk pulang bersimbah darah, namun jika itu maunya maka aku akan menghadapinya dengan niat yang sama. Sayang sekali aku bukan masokis yang senang disiksa ataupun sadistik yang hobi menyiksa. Akan kuselesaikan ini dengan cepat.

    “Anak brengsek!” Teriaknya marah

    Dia menapak, aku berderu. Aku sampai pada jarak pukulan, tak perlu waktu untukku berpikir bagian mana yang harus kuincar. Menembus dua lengannya yang ditempatkan didepan muka untuk menahan pukulanku, sebuah tinju berhasil kusarangkan di pipi sebelah kirinya. Tidak cukup kuat untuk membuatnya terbang kealam sebelah, namun cukup untuk kembali mempertemukannya dengan tanah.

    Aku berpijak, mengepalkan tanganku untuk menyelesaikannya. Saat itu dua buah telapak kecil menggenggam tinjuku.

    Melline, yang seharian ini belum berkata apa-apa denganku, menyadarkanku dari jeratan emosi. Wajahnya memancarkan ketakutan, namun tatapnya tak berpaling, masih dengan lurus menatapku hangat. Tak berbeda dari hari-hari kemarin. Melihatnya, amarahku menguap diudara.
    Chien –tak perlu lagi kuhormati namanya- berbaring menikmati tanah. Entah topeng apalagi yang kini dipakainya.

    Yang terpenting bagiku adalah orang ini, yang menjadi alasan kedatanganku kemari. Melline, sejak tadi memendam mukanya dalam dekapanku. Tubuhnya bergetar, menandakan kekacauan masih berlangsung dalam benaknya.
    Hebatnya adalah, hari ini belum selesai.

    Satu orang lagi belum terungkap kisahnya. Mimi, wanita yang sejak awal kemunculanku tak menunjukkan ekspresi apapun. Justru biasanya, orang seperti ini lebih berbahaya dibanding mereka yang meluapkan emosinya, lebih sulit ditebak. Apakah dia sudah mengira aku akan datang? Atau justru dia terlalu kaget sampai tak mampu berbuat apapun?

    “Tante…tenang banget ya…” Aku menghampirinya

    Diluar dugaan, ternyata dia membalasku dengan ekspresi santai, yang belum pernah kulihat.

    “Ya…saya sih santai aja.” Lalu ia tersenyum

    Orang ini? Tersenyum? Hei, ada apa ini!?

    “Saya menang taruhan…” Katanya singkat

    Sesingkat itu pula, aku terbingung. Aku menatap Mei, namun sepertinya anak ini pun sama bingungnya.

    “Mei itu sebenernya mau tunangan...” Dia melanjutkan kata-katanya

    TUNGGU DULU! Tunangan!? Hei…

    “Tante…gak beneran, kan?” Suaraku garing
    “Enggak, beneran. Tapi ya, itu rencana orang itu, tuh…” Ia menunjuk-nunjuk suaminya yang masih tertidur ditanah

    Aku masih bingung.

    “Tenang, saya ceritain semuanya…”

    Dia pun bercerita. Bagaimana sebenarnya kejadian Melline lupa ingatan adalah murni kebetulan, namun momen itu segera dimanfaatkan ayahnya untuk membuatnya mau melakukan hal yang sebelumnya adalah mutlak tidak baginya. Pertungangan, dengan seorang anak dari rekan usaha Chien, seorang yang kaya raya. Untuk apa? Tentu saja, lembaran-lembaran kertas yang diakui dunia sebagai alat tukar modern itu.

    Melline semakin kaget begitu mengetahui ayahnya adalah dalang dari semua ini. Namun ia tak berpaling dan terus mendengar cerita ibunya.

    Cerita berlanjut dengan drama yang dibuat-buat, yaitu ****. Tiga belas tahun yang lalu, selepas kepindahan Melline dari TK Santa Maria, mereka menuju Jakarta. Chien dan Mimi, keduanya adalah sarjana jurusan sastra Mandarin, itulah yang membuat mereka fasih berbahasa negeri seberang itu. Namun belum pernah sekalipun mereka, apalagi anaknya, menginjak daratan kuning.

    Di Jakarta, Chien bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi rekan usahanya. Orang itu memiliki seorang anak lelaki seumuran dengan Melline, yang begitu saja mencetuskan ide diantara mereka berdua untuk menjodohkan anaknya. Melline tak pernah setuju dengan rencana itu, bahkan tak pernah mau bertemu dengan si anak lelaki. Semua terjadi karena kebetulan. Chien bertemu temannya secara kebetulan, anak mereka kebetulan seumuran, dan secara kebetulan Melline kehilangan ingatan.

    Cerita tentang melline yang terbangun pada pagi hari tak mengingat apa-apa itu benar. Sampai saat ini tak pernah ada yang tahu apa penyebabnya. Tapi bukannya berusaha mencari cara mengembalikan ingatan anaknya, Chien malah melihat hal itu sebagai sebuah kesempatan.

    Maka dimulailah kepindahan mereka, kembali ke Bogor. Semua adalah alibi sang ayah untuk membentuk sebuah ingatan palsu tentang masa lalunya. Justru pindah ke Bogor bertujuan agar dia tak mengingat apapun yang sebenarnya. Jika dia teringat akan sesuatu, kemungkinan hanyalah ingatan masa kecilnya yang sudah lama dan tidak berhubungan dengan rencana pertungangan itu.

    Lagi-lagi secara kebetulan, mereka bertemu denganku. Yang memang saat itu Chien sedang mencari seseorang untuk dapat menggantukan figurnya dirumah. Yang berguna untuk menutupi kepergiannya, dan mengisi waktu Melline, mencegahnya melakukan hal-hal yang dapat mengembalikan ingatannya secara acak.

    Ternyata sebuah rencana yang cukup rapi, ya…

    Mimi, istrinya sekalipun mengaku tak dapat berbuat apa-apa untuk merubah pikiran suaminya. Maka ia bertaruh, aku pasti akan menyadari kejanggalan yang terjadi dalam rumah tangganya. Dia terlihat kaget ketika aku datang kemarin karena takut jika aku tak akan datang kembali keesokan harinya. Tapi ternyata aku datang…ya, sekali lagi semuanya berkat kebetulan.

    “Saya sih kaget tiba-tiba si bodoh itu maen pukul…tapi, kamu kuat juga.” Tutup wanita itu sambil tersenyum
    “Jadi, saya semacem korban, gitu?” Suaraku kembali garing

    Seketika, pasangan ibu dan anak itu tertawa.

    “Terserah, deh. Tapi hari ini saya dateng kesini buat ini.” Aku mengangkat tangan Melline “Jadi pergi dulu ya, tante…” Kataku masih garing
    “Yaudah, gih…” Dia masih tersenyum



    “Jadi gitu ceritanya, bu Sari…” Kataku menyelesaikan cerita
    “Oh begitu…Terus kenapa kamu ceritain ini sama saya?” Wanita tua itu agak kebingungan
    “Kenapa, ya…Saya ngerasa ibu harus tau aja. Toh ibu yang nemuin saya sama mereka.”

    Dan berbalas sebuah senyuman.

    Aku meninggalkan TK Santa Maria dan berjalan sedikit kearah bawah. Menuju sebuah taman yang dipenuhi pohon. Tempat aku berjanji pada seorang wanita untuk berkencan hari ini. Dan kini, tibalah aku dihadapan sebuah pohon, dan seorang gadis yang tiga belas tahun silam menanamnya sendiri.

    “Lamaa!” Suara kecil berteriak menyambutku

    Melline, cantik sekali.

    “Biarin.” Lalu aku tertawa

    Kemarin, sesudah insiden itu, aku mengajaknya jalan-jalan. Kami hanya terdiam, namun seiring waktu kami menyadari bahwa apa yang aku dan dia rasakan taka da hubungannya dengan apa yang telah direncanakan orang tua itu. Dan berkat itulah, janji untuk hari ini terikat.

    “Mel, kita itu…apa sih?”
    Tak perlu lama aku menjawab “Sepasang kekasih…”
    “Dih! Pede banget!”
    “Soalnya gak mungkin lu nolak.” Kataku singkat
    “Oke, terus sama papaku gimana?” Katanya menggoda

    Terjadi keheningan…

    Lalu kita berdua tertawa.

    Langit tersenyum cerah, membiarkan birunya pantulan sinar matahari menghiasi paparan angkasa luas yang gelap. Aku duduk dibawah pohon yang kini sedang berbuah, jeruk yang belum ranum. Bersama seorang wanita, seorang yang pernah kudamba, yang kini berada dalam dekapanku.

    Orang sering berkata, ingatan akan terus berada dalam hati. Tapi apa yang terjadi ketika kau tak punya ingatan tersisa? Buatlah ingatan baru, jalani hari yang berkesan dan akan kau kenang seumur hidupmu. Seperti sebuah bibit, yang tak punya ingatan apapun tentang dirinya dimasa lalu, kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon dan kembali melepaskan sebagian dirinya kembali menjadi sebuah bibit.

    Melline, seorang gadis dengan mata yang selalu memandang lurus kedepan. Aku yakin dia takkan lantak membangun ingatan barunya. Bersamaku, tentunya.


    Selesai

    Spoiler untuk note :
    HORE~~~~!
    akirnya chapter ini beres juga...
    gile men, dari hari Sabtu gue kerjain, dikit demi dikit akirnya beres juga... oh, chapter ini terakir itu 2033 kata, loh. sedikit lebih dari batasnya
    jangan kurangi nilai saya, para juri

    well eniwei, akirnya selesai juga. serius, ini cerita banyak banget berubahnya dibanding awalnya gue bayangin. tapi ya, hahaha begitulah...

    thank you buat event ini, gue jadi makin terlatih buat nulis -lebih- konsisten. *lirik cerita Melon*
    ngelatih gue buat nulis pake bahasa non-biadap-nyablak.
    dan bikin gue lebih bisa bikin rancangan cerita, jadilah -menurut gue sendiri- lebih gak ada plothole nya...dibanding cerita gue yang laen... tapi ya, masih ada juga..
    intinya, event ini udah ngebantu gue, banyak banget, buat jadi seorang penulis yang lebih baik...

    thank you, yang udah persiapin, bikin, dan bakal menilai event ini, dan juga mereka-mereka yang udah baca dan ngasih masukan langsung buat gue.

    hope you guys enjoy this, ya.


    Ampe ketemu dilain cerita, semuanya~
    Last edited by MelonMelon; 27-03-13 at 17:28.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  6. The Following User Says Thank You to MelonMelon For This Useful Post:
  7. #4
    Rivanne's Avatar
    Join Date
    Oct 2009
    Location
    Castle of Nowhere Return
    Posts
    1,826
    Points
    1,075.06
    Thanks: 21 / 34 / 31

    Default

    Count me In deh, mo coba2 jg ^^
    Killing you is serious business, nippah~

    Welcome to My Illusion

  8. The Following User Says Thank You to Rivanne For This Useful Post:
  9. #5
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default


    Digital Chocolate




    Author: LunarCrusade
    Copyright ©2013 - f399 IDGS Forum
    Genre: Romance, Sci-fi, Tragedy



    --------------------------------------------

    Contents:
    • Chapter 1 – Techno: Childhood Friend
    • Chapter 2 – Past: A.L.I.C.E. Project
    • Chapter 3 – 14th: Quantum Hacking
    • Chapter 4 – Love: Melancholic Confusion
    • Chapter 5 – Transcendence: Fragile Existence
    • Chapter 6 – Life: Digital Chocolate

    --------------------------------------------


    Spoiler untuk Chapter 1 – Techno: Childhood Friend :


    ==============================
    Chapter 1 – Techno: Childhood Friend
    ==============================



    “Jadi… seandainya terjadi suatu lecutan energi dari beberapa sumber bertenaga besar dalam sekejap…”

    Maka secara hipotesis, pembentukan materi dapat terjadi karena ketidakstabilan ruang-waktu yang terbentuk akibat lecutan energi tersebut. Anda sudah menjelaskan hal itu minggu lalu, hei pak guru yang terhormat!! Bah.

    Mendadak aku merasakan sengatan kecil di bahu kanan. Sial, ini pasti sinyal kejutan elektrik yang dikirim melalui nanomachine di tubuhku. Untung saja rambut coklat pendekku tidak berubah menjadi jabrik karena sengatan itu.

    Perlahan kubuka mulut, mulai berkata-kata pada seorang gadis yang duduk pada kursi di sebrang kananku.

    “Tidak bisa pelan sedikit, hah?!”, aku memanggilnya, setengah berbisik.

    Mata biru safirnya yang bulat itu sejenak menatapku tajam, lalu kembali menoleh ke arah depan kelas. Gerakan lehernya membuat rambut hitam sepinggangnya yang dikuncir ala ponytail melambai pelan.

    Oke, oke. Aku mengerti. Huh…



    Akhirnya, jam pulang sekolah. Akupun kembali mengenakan mantel coklatku karena hari ini masih cukup dingin.

    “Baru saja hari Selasa dan kamu sudah kehabisan energi?”, tanya gadis itu, ketika kami melangkah keluar kelas.

    “Cih. Sekarang sudah tahun dua ribu lima puluh tiga, dan kita harus tetap datang ke tempat ini untuk mendengarkan celotehan yang bisa kita pelajari sendiri? Yang benar saja.”, jawabku sinis.

    “Untukmu, mungkin iya.”, telunjuk kanannya tiba-tiba sudah menempel di hidungku, dari sebelah kiri. “Tapi belum tentu bagi yang lain. Lagipula terus-menerus berada di rumah tanpa menggerakkan tubuhmu seharian penuh tidak baik untuk kesehatan. Kamu pasti sudah tahu hal itu.”

    Aku pura-pura mengacuhkan perkataannya dengan memalingkan wajah ke sisi kanan.

    “Dennis Rutherford! Dengar atau tidak?!”, teriaknya. Wajahnya juga didekatkan hingga jarak kurang dari sejengkal batang hidungku. Tubuh langsingnya ---yang menurutku tidak kalah dengan seorang model--- hanya lebih pendek 10 sentimeter dariku, sehingga hal itu bisa dilakukannya dengan mudah.

    “A-A-Aaaa…ya, ya. Aku mengerti.”, jawabku kaku.

    Jelas saja, pria mana yang tidak gelagapan jika perempuan secantik dia mendekati wajahmu secara tiba-tiba…?

    Kelakuan kami sekejap menarik perhatian siswa-siswa lain. Kebanyakan langsung tersenyum meledek. Ada juga yang saling berbisik. Kami berdua--- tidak. Maksudku, perempuan di depanku ini memang selalu menjadi sumber kegaduhan karena terkadang memarahi ataupun meneriakiku seperti tadi.

    Rika Genjougami, itulah namanya. Nama yang aneh untuk sebagian besar penduduk negara ini. Wajar saja, karena ayahnya berasal dari sebuah negara kepulauan di daerah oriental sana. Berhubung ibunya adalah penduduk benua ini, tidak mengherankan jika warna matanya sama denganku. Dan harus kuakui, kombinasi genetik antar bangsa berpadu dengan indah dalam dirinya.

    Aku pertama kali mengenal Rika sekitar 11 tahun yang lalu. Umurku masih 6 tahun kala itu. Sejak itu pulalah, dia menjadi satu-satunya orang ---selain orang tuaku--- yang begitu dekat denganku. Seringkali juga kami mengerjakan sesuatu berdua saja mulai dari bermain, belajar, hingga bepergian. Orang tua kamipun tidak pernah merasa bermasalah dengan hal itu.

    Pacar? Tidak, dia bukan pacarku. Dia memang lebih dari sekedar teman, tapi untuk menuju ke arah sana… sepertinya belum.



    Keluar dari lingkungan sekolah, menyusuri trotoar. Langkah kami terus beradu dengan hamparan salju tipis yang harmonis dengan putih kulitnya. Maklum saja, sekarang masih tanggal 11 Februari. Tidak heran jika salju masih menutupi kota ini walau tidak setebal bulan lalu.

    Nampak olehku 4 robot pembersih salju yang berlalu-lalang di trotoar ini dan seberang. Berbentuk silinder berdiameter 60 sentimeter, tinggi 1 meter. Juga memliki 2 tangan dan 4 roda sebagai alat gerak, kamera kecil di bagian atas, serta alat penghisap di bagian bawah. Keseluruhan strukturnya berwarna dominan biru dengan garis putih.

    Autoburg, sebuah kota berteknologi tinggi dengan penduduk sekitar 1 juta orang. Uh-huh, itulah kota tempatku dan Rika tinggal. Pemandangan seperti tadi sangat umum dijumpai di jalanan kota. Itu belum termasuk robot cerdas ---kami menyebutnya cybertron--- dan berbagai entitas buatan lainnya seperti drone, kendaraan otomatis, dan program AI dengan kemampuan berpikir mandiri yang terpasang pada banyak alat.

    Karena banyak hal di bidang pelayanan publik dikerjakan oleh makhluk-makhluk otomatis, kebanyakan manusia di kota ini bekerja di bidang akademik, riset, atau industri teknologi. Di sekitar kota memang banyak terdapat pabrik ---ramah lingkungan tentunya--- yang memproduksi benda-benda berteknologi tinggi. Beberapa laboratorium skala besar juga dapat ditemui jauh di luar areal pemukiman, misalnya saja akselerator partikel super besar dengan ukuran 20 kali lipat lapangan sepakbola. Untunglah kota ini disuplai oleh pembangkit listrik anti-materi sekitar 30 kilometer sebelah timur kota, sehingga tidak ada kata mati listrik sejak kota ini didirikan 20 tahun yang lalu.

    Tapi untuk sekarang, kami hanya akan mengunjungi sebuah kafe biasa. Rika ingin menunjukkan beberapa hal padaku terkait tugas akhir yang harus dibuat oleh setiap siswa jika ingin lulus sekolah.



    Kami duduk bersebrangan, lalu datanglah sebuah cybertron humanoid keperakan berseragam layaknya pelayan menanyakan pesanan. Setelah diberitahu, cybertron itupun pergi, kemudian Rika mengeluarkan panel bening berukuran 17 x 30 sentimeter dari tas. Jari-jemarinya yang lentik bergerak-gerak sejenak di atasnya…

    “Masih ingin lanjut meneliti tentang hal itu?”

    Antusiasmeku langsung turun ketika melihat tulisan-tulisan pada benda itu.

    “Heh, mau bantu atau tidak?”, tanyanya dengan galak. “Aku tahu ini tidaklah sehebat proyek Quantum Hacking milikmu, tapi…”

    Tatapannya berubah sayu dengan cepat. Entah apa alasannya dia masih ingin meneliti tentang…

    A.L.I.C.E. Project. Artificial Life by Integrating Chronospheric Elements Project. Proyek yang menyebabkan kematian kedua orang tuanya 5 tahun yang lalu. Itulah alasannya kenapa semangatku hilang. Bukan karena tingkat kesulitannya, karena yang dilakukannya tidak lebih dari memaparkan prinsip-prinsip dasar dari proyek itu. Aku hanya… tidak mau membuatnya teringat kejadian itu lagi.

    “Haaah…”, kuhela nafas panjang. “Oke, oke. Pasang sambungan nano-networknya.”

    Sebuah Head-Up Display (HUD) holografik dengan tulisan hijau mendadak muncul di depanku. Beberapa saat Rika memainkan jarinya di udara ---pastilah sedang menekan beberapa tombol menu pada HUD miliknya---, lalu akhirnya muncul tulisan “Incoming Nano-Network. Accept Connection?” pada HUD di depanku. Kutekan pilihan Yes, dan dimulailah sambungan telepati khusus untuk kami berdua. A.L.I.C.E. Project memang sempat memicu kontroversi pada masyarakat awam sehingga kuputuskan untuk bicara melalui saluran privat. Semuanya itu mustahil dilakukan tanpa adanya nanomachine yang terinjeksi pada tubuh kami.

    Seluruh penduduk kota juga memiliki nanomachine, dan tiap-tiapnya punya signature khusus yang merupakan hasil pembacaan DNA orang yang diinjeksi. Artinya, semua orang di kota ini punya “nomor” nano-network yang unik dan mustahil ditiru kecuali oleh kloning dirinya sendiri. Yah… meski bisa juga digunakan untuk mengejutkan seseorang selama punya akses ke nanomachine target, seperti yang dilakukan Rika tadi di kelas.

    Sekitar 60 menit kami berada di kafe itu. Hampir jam 4 sore ketika Rika mengakhiri sambungan nano-network, memutuskan untuk melanjutkannya lain waktu.



    “Terima kasih banyak untuk hari ini.”, ujarnya, ketika baru saja kami kembali menginjak trotoar.

    “Yakin tidak apa-apa?”

    “Tidak apa-apa...”, kepalanya sedikit tertunduk.

    Hanya butuh waktu 3 detik untuk tahu apa yang sedang dirasakan olehnya, karena aku sudah kenal betul gelagatnya. Raut wajahnya jelas memancarkan aura depresi.

    “Kalau begitu kenapa mau diteruskan? Dasar bodoh.”, kupukul pelan kepalanya.

    Dia tidak merespon dengan balas memukul ataupun menendang seperti yang biasa dilakukannya. Kali ini kepalanya menengadah, menatap langit kelabu musim dingin.

    “Aku tidak bisa tenang sebelum tahu apa yang sebenarnya dikerjakan mereka waktu itu.”

    Sejenak mulutku terkunci. Hening. Mataku terpaku memandang ke arah wajahnya yang begitu serius.

    Entah apa yang dipikirkannya beberapa bulan lalu, ketika dia memutuskan untuk mengambil topik A.L.I.C.E. Project sebagai tugas akhir. Aku sendiri tak mau banyak berdebat dengannya akan hal itu. Menekannya lebih lanjut… bisa-bisa jiwanya hancur berantakan seperti saat 5 tahun yang lalu.

    Mendadak dia tersenyum lebar, lalu menepuk-nepuk pundakku.

    “Yang jelas kamu harus menraktirku lagi kalau sewaktu-waktu kupanggil untuk membahas hal ini.”

    “Cih. Ternyata itu tujuanmu? Membuatku yang membayar semuanya?”

    Responku memang terdengar sinis. Namun melihat senyumnya kembali, sebenarnya aku juga tersenyum lebar jauh di dalam hati. Jika dia nampak gembira, aku juga demikian.

    Emm… bagaimanapun juga, aku menyimpan rasa suka terhadapnya.



    Bagi sebagian orang, apa yang kurasakan ini tergolong tidak biasa. Karena… aku sudah menyukainya hanya beberapa hari setelah bertemu dengannya. Apalagi waktu itu aku hanyalah anak berusia 6 tahun. Namun semuanya itu bukan tanpa alasan. Jika bukan karenanya, mungkin aku akan masuk dan terkurung selamanya dalam institusi penelitian milik pemerintah. Aku hanya akan menjadi seonggok makhluk organik jenius yang takkan mengenal emosi. Benar, kecerdasanku termasuk gila untuk manusia normal. Nilai IQ sebesar 180 poin seakan tumpukan makanan lezat bagi para ilmuwan di luar sana. Jelas, aku akan dimanfaatkan untuk meneliti banyak hal.

    11 tahun yang lalu. Ketika aku nyaris dipindahkan dari sekolah biasa ke asrama pemerintah, dia datang. Rika mulai hadir di hidupku. Aku masih ingat betul senyum cerianya saat pertama kali memperkenalkan diri di depan kelas. Uh-huh, dia murid pindahan. Orang tuanya baru pindah ke Autoburg saat itu.

    Kejeniusanku seakan pedang bermata dua. Karena hal itulah aku terus sendiri, jarang yang mau bicara denganku. Tapi… dia berbeda. Masih terpatri dengan jelas di ingatanku bagaimana dia mendekatiku tanpa ragu sewaktu jam istirahat. Selama beberapa hari setelahnya, aku jadi makin dekat dengannya.

    Semuanya terjadi begitu saja secara alami. Senyumannya sangat efektif untuk mendobrak tembok yang mengurung hatiku waktu itu. Bahkan setelah dirinya diinjeksi dengan nanomachine, dialah yang berinisiatif untuk membuat koneksi khusus di antara kami berdua. Sebelum itu, hanya kedua orang tuaku saja yang terdaftar dalam memori nanomachine di tubuhku. Perlahan aku mulai banyak bicara dan mampu mengungkapkan apa yang kuinginkan. Termasuk…

    …berkata tidak pada tawaran untuk pindah ke asrama.

    Aku sangat mensyukuri keputusanku. Karena dirinya, aku mampu berubah. Tidak ada lagi Dennis Rutherford yang pemurung dan sulit diajak bicara. Hidupku sekarang juga tidaklah jauh berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Semuanya karena Ri---



    “Halo…? Kenapa bengong saja?”

    Tangan kanannya dilambai-lambaikan hanya beberapa sentimeter di depan wajahku.

    “H-H-Hah? Ada apa?”

    “Wajahmu merah... kamu sakit?”

    Tanpa basa-basi, dia melepas sarung tangan kanannya, lalu menaruhnya di dahiku. Timing-nya terlalu sempurna untuk membuat aliran darah makin naik ke pipiku.

    “Hooooo~”

    Mendadak muncul suara dari arah kiriku. Kedengarannya seperti…

    “Hanya karena 3 hari lagi Valentine, bukan berarti sekarang kalian boleh bermesraan di depan umum~”

    cybertron.

    Tipe SR-001 Yetzirah, sudah beroperasi sejak kota ini selesai dibangun 20 tahun yang lalu. Aku dan Rika biasa memanggilnya dengan nama Yetz. Hanya dia satu-satunya tipe Yetzirah yang tersisa sejak 5 tahun yang lalu, sehingga tidak masalah jika dia dipanggil dengan nama itu. Tidak akan salah cybertron.

    Kami berdua pertama kali mengenalnya sekitar 5 tahun yang lalu, dan dia sudah kami anggap seperti teman sendiri. Awalnya, semua tipe Yetzirah adalah cybertron serbaguna yang digunakan untuk banyak hal. Namun, sekarang Yetz hanya digunakan untuk membersihkan jalan dari dedaunan ataupun salju, yang bentuk luarnya ditiru sebagai desain cybertron pembersih jalan sekarang ini. Yah, kurasa sedikit lagi sudah saatnya dia pensiun.

    “Siapa pula yang bermesraan, hah?!”, teriakku dan Rika. Sangat sinkron.

    Otomatis darah mengalir ke pipiku. Wajah Rika juga merona merah untuk sesaat.

    “Hahaha… kompak sekali ya~ Yang jelas jangan melakukannya di sini. Ke kamar saja sana~”

    “YEEEEETZZZ!!”, Rika langsung menendang kaleng berjalan itu. “Jangan bawel dan bersihkan saja jalanan di depanmu!!”

    “Huh, teganya kamu terhadap makhluk tua sepertiku. Aku hanyalah cybertron tua yang sebentar lagi akan mati…huhuhu~ Uhuk~ Uhuk~”

    Entah siapa yang mendesain Yetz pertama kali, namun aku merasa kalau learning ability dari AI-nya terlalu tinggi untuk sebuah entitas yang bukan makhluk hidup.

    “Tidak usah pura-pura!! Pergi sana!!”, Rika kembali menendangnya.

    “Uh… oke, oke.”

    Baru saja cybertron itu maju beberapa meter, dia kembali menghadap ke arah kami berdua.

    “Jangan lupa pakai pengaman ya~”

    “DASAR KALENG *******!!”, kali ini Rika melemparnya dengan sebuah bola salju yang dibentuknya dengan cepat. Yetzpun segera meluncur pergi.

    Mungkin karena terlalu bernafsu menghajarnya, Rika berubah terengah-engah.

    “Makanya jangan terlalu bernafsu. Yetz cuma seonggok kaleng tua yang sebentar lagi mati. Mungkin karena itu dia jadi sering bercanda.”

    “Leluconnya tidak lucu.”, jawabnya ketus. Kudapati pipinya juga sedikit merah. “Huh…ya sudah. Aku pulang dulu. Jangan lupa teruskan juga proyekmu, oke?”, diapun tersenyum.

    “Iya, iya. Bawel.”, kucubit pipi kanannya.



    Setiap kali aku bertemu dengan Rika, kadang terpikir olehku untuk menyatakan perasaan padanya. Tapi… ujung-ujungnya selalu tidak terlaksana. Aku masih terlalu gugup untuk itu. Ditambah lagi kondisi saat ini, dengan adanya prioritas tugas akhir yang harus kami berdua selesaikan, yang mengurungkan niatku lebih lanjut.

    Tunggu. Kata-kata Yetz tadi…

    Ah sudahlah. Sekarang aku harus melanjutkan proyek Quantum Hacking-ku terlebih dulu. Jika aku merasa terdorong untuk mengutarakannya di hari itu, maka terjadilah.

    Spoiler untuk Chapter 2 – Past: A.L.I.C.E. Project :


    ============================
    Chapter 2 – Past: A.L.I.C.E. Project
    ============================



    Ah, altostratus. Mungkin hari ini akan hujan salju lagi.

    Kugosok-gosokkan kedua tanganku. Di sini udara terasa lebih dingin. Jelas saja, sekarang aku sedang berada di atap sekolah, tepatnya di dekat pintu. Untunglah seragam musim dingin memiliki blazer dan celana panjang berwarna merah tua, sehingga temperatur dinginnya tidak begitu terasa. Namun aku jadi berpikir, apa para siswi tidak akan kedinginan ya? Rok bercorak kotak-kotak warna coklat mereka kan lumayan pendek…



    Mendadak pintu itu dibuka dari dalam.

    “M-Maaf lama menunggu.”

    Rika, lengkap dengan nafas terengah-engah.

    “Teganya kamu membuatku menunggu di tempat dingin begini.”, jawabku ketus.

    “Ehehe… maaf, maaf.”, tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. “Tadi aku mencari-cari bahan tambahan untuk laporanku di data library sebentar.”

    “Ya sudah. Cepat tutup pintunya.”

    Begitu dilakukannya perintahku itu, aku mengaktifkan software khusus ---untuk hacking, maksudku--- pada sistem nanomachine di tubuhku. Sebuah HUD muncul di depanku, menanyakan apakah aku ingin mengunci pintunya lagi atau tidak. Jelas kutekan “Yes” karena sebenarnya pintu ini tidak boleh dibuka siswa biasa. Hanya staf sekolah saja yang punya akses resmi untuk membukanya. Artinya, sekali ketahuan, bisa-bisa aku dimaki-maki beberapa guru sekaligus. Namun mau bagaimana lagi? Selama hampir 3 tahun terakhir, atap sekolah sudah menjadi tempat langgananku dan Rika untuk menghabiskan waktu makan siang.

    Diapun duduk di sebelah kiriku lalu bertanya, “Jadi, mana jatahku?”

    Dia tersenyum lebar sambil menengadahkan kedua tangannya.

    “Ini.”, jawabku datar, menyerahkan sebuah kotak makan putih berbentuk agak oval serta sebuah sendok logam.

    Begitu dia membukanya, semerbak aroma campuran nasi, daging, mentega, dan bawang putih tercium, seakan mengajak hidungku menari-nari. Yep, risotto.

    Tanpa basa-basi, dia melahap risotto buatan Mamaku dengan cepat. Sepeninggal kedua orang tua Rika, Mamaku mulai menaruh perhatian padanya. Uh-huh, Rika juga dianggapnya seperti anak sendiri. Tidak heran jika Mama sering membuatkan bekal yang sama untuk kami berdua.

    Bibir merah pucatnya yang kecil itu perlahan nampak makin basah… GAAAHHH!! Kenapa pandanganku terus tertuju ke arah situ?! Untunglah ada yang dapat mengalihkan perhatianku.



    “Huh…”, jariku bergerak ke sisi kanan bibirnya. “Masih saja seperti anak kecil.”, kutunjukkan sebutir nasi yang tadi menempel lalu kusentil jauh-jauh.

    Terdiam sejenak, kemudian dia tersenyum kecil.

    “Kamu seperti ibuku saja.”

    Sedikit, aku merasa ada darah yang naik ke pipiku.

    “Berterimakasihlah karena masih ada yang menasehatimu.”, jawabku, tidak menatapnya.

    “Ya, mungkin kamu benar.”

    Aku menangkap sedikit kesedihan dari ucapannya itu.

    “E-Eh… maaf. Bukan maksudku---“

    “Ahaha… sudah, sudah. Tidak apa-apa. Ternyata jenius yang satu ini sensitif juga, eh?”, ledeknya, sambil menyikutku pelan.

    “B-Berisik!!”

    Segera kubuka kotak bekalku sendiri untuk mengalihkan diri dari perasaan malu ini.

    “Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Papamu?”

    “Kudengar dia sudah mendarat di Mars akhir tahun lalu. Mungkin sekarang sedang membangun koloni sementara. Dia akan menghubungi lagi nanti sekitar tanggal kelulusan untuk memberi ucapan selamat, sekaligus memamerkan bangunan koloninya.”

    Uh-huh, Papaku adalah seorang astronot. Dia dan beberapa orang lainnya ditugaskan sebagai pionir pembangunan koloni pertama di Mars.

    “Keren juga ya. Hadiah kelulusanmu adalah sebuah koloni di planet lain.”

    “Heh, itu bukan punyaku. Aku juga tidak mau pindah ke sana.”, jawabku ketus.

    “Itu lebih baik daripada tidak ada yang memberi apapun, apalagi mengucapkan selamat.”

    Senyuman palsu itu lagi.

    “Kalau saja mereka masih hidup…”, wajahnya sedikit menunduk.

    Jelas sekali ingatan tentang kejadian itu muncul kembali dalam dirinya.


    *


    Peristiwa 5 tahun yang lalu itu terjadi begitu mendadak. Bangunan tempat berlangsungnya A.L.I.C.E. Project habis dilalap api dalam sekejap. Entah bagaimana detailnya, namun menurut informasi-informasi yang kudengar, aku bisa menyimpulkan kalau muncul abnormalitas pada pembangkit energinya. Tak ayal, kedua orang tua Rika ikut menjadi korban, karena keduanya adalah ilmuwan yang tergabung dalam tim penelitian.

    Kondisi mental Rika terjun ke titik terendah. Selama beberapa hari, Rika yang selalu ceria seakan lenyap. Tidak ada seorangpun yang mampu membujuknya untuk kembali bersekolah, bahkan sekedar untuk membuatnya keluar dari kamarnya. Menurut orang tuaku, para guru, dan teman-teman sekelas lain yang sempat mendatangi kediaman Rika, sesekali terdengar jerit tangisnya, memanggil-manggil nama kedua orang tuanya yang telah tiada itu.

    Sampai akhirnya aku benar-benar emosi. Uh-huh, aku begitu marah dengan kelakuannya. Dengan kejeniusanku dalam hal pemrograman ---yang sudah muncul sejak kecil---, aku mampu membobol sistem kunci pintu kamarnya. Aku melakukannya sendirian saat itu. Meski tatapannya kosong dan tubuhnya nampak lemah, mulutku bergerak sendiri memaki ketololannya. Yah, bisa dibilang juga sebagai balas budi atas apa yang dilakukannya ketika aku berumur 6 tahun. Dia mengangkatku dari jurang kesendirian, sekarang giliranku melepaskannya dari jerat kesedihan.

    Satu kalimat yang kuteriakkan keras-keras di hadapannya.

    “Dasar bodoh!! Apa kamu tidak lihat kalau aku masih ada di sini untukmu???!!!”

    Meski bicaraku agak kasar, namun tak bisa dibantah kalau itu mampu membuat Rika beranjak dari tempat tidurnya. Dan kalau boleh jujur, tidak ada maksudku sama sekali untuk menyatakan perasaan padanya atau semacamnya. Maksudku… hei, aku masih 12 tahun. Aku masih belum paham apakah yang kurasakan sejak kecil itu adalah cinta atau bukan. Aku hanya benar-benar muak dengan perilakunya.

    “Tidak usah keras-keras!! Aku juga bisa dengar!!”

    Begitulah balasnya, sambil melempar bantal tepat ke wajahku.

    “Awas saja kalau kamu bohong!! Aku… aku akan…”

    Dia langsung memelukku erat-erat. Sambil menangis keras-keras, tentunya.

    Sejak itu pula Yetz dapat dikatakan menjadi teman bagi kami berdua. Pertama kali kami bertemu dengannya di sebuah taman, ketika dia sedang membersihkan daun-daun kering di situ. Itu terjadi beberapa hari setelah aku berhasil menarik Rika keluar dari kamarnya. Aku, yang paham betul mengenai fungsi tipe Yetzirah, jelas penasaran dan bertanya mengenai keberadaannya di taman itu, karena kupikir cybertron seperti dirinya tidak akan mengerjakan pekerjaan seperti itu. Hanya dengan mengobrol beberapa belas menit, kami bertiga jadi saling kenal. Tidak jarang juga Yetz menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar apa yang diajarkan di sekolah. Intinya, dia adalah teman yang sangat serbaguna.

    Aku tidak tahu kebetulan atau bukan, hampir semua cybertron tipe Yetzirah mati secara massal setelah insiden itu, entah sengaja dimatikan atau ketidaksengajaan. Sebenarnya sesekali aku bertanya pada Yetz mengenai kejadian itu ---ketika tidak bersama Rika, tentunya--- karena sangat mungkin dia adalah salah satu saksi hidup. Namun selalu dijawabnya dengan “Datanya sudah hilang. Recovery juga sulit dilakukan.”


    *


    “Menangis saja sana. Aku tidak mau lagi jadi sasaran pelukanmu seperti lima tahun lalu. Badanku mau hancur rasanya waktu itu.”

    Maksudku sih hanya bercanda.

    “Huh, kasar.”, wajahnya nampak kesal. “Aku kan tetap seorang wanita yang lembut. Mana mungkin aku bisa menghancurkan tulang-tulangmu.”, ujarnya bangga.

    “Kamu? Wanita lembut? Yang benar saja.”

    Ew. Wajahnya langsung seram begitu. Sengaja kualihkan pandanganku kembali ke arah risotto. Bukannya menjauh, dia malah makin dekat, makin dekat… makin…

    “J-J-Jangan dekat-dekat!! Pergi sana!! Hus!! HUUUSSSSS!!”

    Belum juga sesuap masuk ke dalam mulut, kotak makanku…



    …diambil.

    “Terima kasih banyak ya.”, dia tersenyum lebar.

    SIAL!! Trik ini lagi!! Entah kenapa, aku merasa otakku terjungkal 180 derajat dan berubah menjadi manusia super moron jika sudah berhadapan dengan taktik itu.

    “AAAAGGGHHH!!! Heh, itu jatah makanku seharian!!”

    “Jangan manja. Aku butuh energi lebih banyak untuk mengerjakan tugas akhir. Aku kan tidak sepintar dirimu.”, ujarnya, lalu memasukkan beberapa suap ke mulutnya dengan cepat.

    “Banyak alasan…”

    “Hehehe… lagipula siapa sih yang mampu menolak kelezatan risotto ini? Jangan lupa bilang terima kasih untuk Mamamu ya.”

    Kalau sudah begini…

    “Pertanyaan!! Apa singkatan dari A.L.I.C.E. Project?”

    Refleks, dia menjawab, “Artificial Life by Integrating Chronospheric Object!”

    “Apa tujuan proyek tersebut? Jawab singkat dan tepat!!”

    “Menghidupkan kembali manusia yang sudah meninggal melalui alterasi partikel-partikel yang memenuhi kontinuitas ruang dan waktu!!”, jawabnya dengan semangat.

    “Selanjutnya!! Sebutkan jenis-jenis partikel yang merupakan anggota dari tiga generasi partikel dalam Standard Model, dan nilai massa masing-masing dalam satuan elektron volt!!”

    “Generasi pertama! Untuk quark beranggotakan up dan down, sementara lepton beranggotakan elektron dan elektron neutrino!! Massa up quark adalah satu koma tujuh hingga tiga koma satu mega elektron volt per c kuadrat. Massa down quark---“

    Seketika kuambil kembali kotak makanku selagi konsentrasinya teralih.

    “HEEEEIII!! DENNISSSSS!!!! Curaaaaannnggg!!!!”, teriaknya, nampak kesal.

    “Siapa suruh bisa terpancing dengan mudah."



    Untung saja belum setengahnya ditelan Rika. Namun, begitu kuambil sesendok risotto dan ingin memasukkannya ke mulut…

    “Hei, D-Dennis!! B-Berhenti!!”, bicaranya terdengar gelagapan.

    “Mmm?”

    Sendoknya sudah di mulutku---


    Tunggu.


    ASTAGA!! Ini kan bekas mulutnya tadi!!!!


    Seakan dihantam hawa panas di tengah bulan Juli ---yang sangat kontras dengan suhu musim dingin---, darahkupun seperti memuai dan bergerak ke arah kepala. Temperatur pipiku terasa naik. Rika juga… duh.

    “E-Emm… itu kan baru saja kugunakan.”, ujarnya malu.

    “A-Aku juga tahu…”, jawabku, memalingkan wajah darinya.

    “L-Lalu kenapa---“



    Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki dari balik pintu. Gawat. Mungkin suara kami tadi terlalu keras sehingga terdengar ke dalam.

    Seketika kuambil dua kotak makan dan sendok yang ada, lalu meraih tangan Rika dan menariknya untuk bersembunyi di balik sisi tembok lainnya.

    “Uh, ada apa?”

    “Ssshhh.”, kutaruh telunjuk kiriku di depan mulut.

    Pintupun dibuka. Begitu kuintip sejenak, ternyata dugaanku benar. Seorang guru pria. Kejadian seperti ini amat jarang terjadi karena hacking yang kulakukan tidak akan memicu peringatan dalam jaringan keamanan sekolah. Pengecualian, jika ada guru yang berjalan melewati tangga yang menuju atap dan mendengar suara kami berdua.

    “Haaahh…”, kuhela nafas panjang. “Akhirnya pergi juga. Tadi ada guru yang naik---”

    Kata-kataku terhenti karena kehangatan itu masih terasa. Tangannya. Refleks, kulepaskan genggaman tangan kananku. Kurasakan frekuensi detak jantungku juga meningkat.

    “Tadi sendok, sekarang tangan… kamu kenapa sih? Sudah dua hari kamu begini.”, tanyanya. Kudapati sedikit rona merah di pipinya.

    AAAAHHH!! Kenapa aku kerap melakukan blunder?! Apa karena besok… argh. Kata-kata Yetz 2 hari yang lalu itu terus mengganggu pikiranku!!

    “T-Tidak, tidak apa-apa. Maaf kalau kamu merasa terganggu. Tidak ada maksud apapun---“

    Dia tertawa kecil, lalu berkata, “Dasar aneh.”



    Bibirku membeku, serasa dibawa pergi oleh udara musim dingin. Seperti ingin terus membuatnya beku, saljupun turun perlahan. Ya, sesuai perkiraanku tadi.

    Ingin kukumpulkan lagi kekuatanku untuk berbicara, namun Rika segera memotong.

    “Ya sudah, sebentar lagi jam istirahat akan selesai. Lebih baik kita masuk. Lagipula sudah turun salju begini, tidak baik di luar terus.”

    Setelah kulakukan hacking pada kunci pintunya, diapun beranjak menuju pintu, diikuti olehku. Baru saja langkah pertamanya menginjak anak tangga, dia menoleh kemari.

    “Oh ya, hari ini kamu tidak perlu membantuku mengerjakan tugas akhir. Aku ada urusan sepulang sekolah.”

    “Uh-huh…”, kujawab perlahan.

    Sebentar. Hari ini tanggal 13. Rika ada… urusan? Sepulang sekolah? Apa dia mengikuti kegiatan tertentu? Aneh rasanya, berhubung semua siswa tingkat akhir seperti kami tidak lagi aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah, agar dapat berkonsentrasi mengerjakan tugas akhir.

    Aliran listrik pada neuron-neuron di otakku memberitahu kalau hari ini Rika akan membeli…

    Tidak. Itu tidak mungkin. Komporpun bisa meledak jika disentuh olehnya. Ini pasti salah Yetz. Dia yang memberi sugesti aneh pada diriku, sehingga hanya itu yang terus-menerus kupikirkan. Dasar kaleng gila… akan kuobrak-abrik data internalnya nanti.

    Spoiler untuk Chapter 3 – 14th: Quantum Hacking :


    ============================
    Chapter 3 – 14th: Quantum Hacking
    ============================



    “Ah, betapa romantisnya pagi ini~ Apalagi melihat pasangan yang sedang jatuh cinta seperti kalian.”

    Kaleng freak ini lagi…

    “Nanti malam ada rencana apa? Sekali lagi, jangan lupa pakai pengaman.”

    “YEEEEETZZZZZ!!!!”

    Serempak aku dan Rika menendang kaleng itu. Kami tak sengaja bertemu dengannya dalam perjalanan menuju sekolah. Dia sedang membersihkan trotoar, sisa salju kemarin.

    “Hei, aku hanya bercanda. Hanya di hari Selasa dan Jumat aku bisa bertemu kalian, dan begini sikap kalian terhadapku? Tega sekali… huhuhu~”

    “Sekali lagi kamu bicara aneh-aneh, akan kuhancurkan datamu. Mengerti?”

    “Dan akan kucabik-cabik tubuhmu, lalu membuangnya ke tempat pembuangan besi tua…”

    “K-Kalian berdua… mengerikan. Ya sudahlah, aku juga tidak mau membuat kalian terlambat. Yang jelas kalau ada coklat untukku, aku tidak akan menolak kok~ Dadaaaah~”

    Diapun pergi menyebrang jalan, dan mulai menyedot salju di sisi trotoar sana.



    Kata-kata Yetz tidak bisa kusangkal sepenuhnya. Sejak pagi, perasaanku berkecamuk. Aku terus memikirkan probabilitas skenario apa saja yang akan terjadi hari ini. Mulai dari diriku yang menyatakan perasaan padanya dalam bermacam cara, apakah Rika akan memberiku coklat atau hadiah lainnya, di mana akan diberikan, dan seterusnya, dan seterusnya.

    Dorongan untuk mengatakan cinta padanya makin kuat, apalagi mungkin aku akan makin jarang bertemu dengannya jika kami melanjutkan kuliah di tempat berbeda. Memang ada nano-network yang memudahkanku untuk menembus batasan jarak, namun menatap dan menyentuhnya secara langsung tetaplah yang terbaik. Bisa jadi juga di tempat yang baru nanti dia akan punya pacar… argh. Masalahnya, memikirkan mengenai hal itu saja sudah membuatku gugup setengah mati!! Sekali lagi, kejeniusanku seakan sampah dalam menghadapi hal ini

    Semuanya diperparah dengan suasana sekolah. Begitu kami berdua masuk, pemandangan bernuansa romantis tak lagi asing untuk ditemui. Ada yang berduaan di dekat jendela, ada yang memberi hadiah, dan malahan telingaku mendengar desas-desus ada pasangan baru hari ini. Bahkan ada beberapa guru wanita yang mengenakan kemeja merah muda!! Astaga. Semua itu membuat keringat dinginku makin mengucur, apalagi dengan adanya Rika di sebelahku.



    Untunglah, aku masih dapat bertahan hidup hingga akhirnya masuk ke kelas.

    “Sudah kuduga ada yang aneh denganmu belakangan ini. Ada apa sih sebenarnya?”, tanyanya, sambil duduk di mejaku.

    “Tidak… ada masalah.”, kujawab sambil menatap jauh keluar jendela.

    “Aku akan memaksamu membuka mulut jika ada yang kamu sembunyikan dariku.”, wajahnya didekatkan, nada suaranya terdengar mengancam.

    “Terserah. Aku tidak menyembunyikan apapun.”

    “Heh, aku sudah mengenalmu selama sebelas tahun. Kupikir aku tidak hafal gelagatmu? Sudah, katakan saja. Siapa tahu aku bisa membantu masalahmu.”

    Kamulah masalahnya!! Argh.

    “Bukan hal penting. Nanti akan kuceritakan jika aku sudah ingin mengatakannya.”

    “Ya… terserah kamu saja lah. Awas saja kalau itu sampai mengganggumu terlalu lama.”, diapun turun dari mejaku.



    Kembali di atap sekolah. Jam makan siang.

    “Berapa coklat yang kamu terima hari ini?”, tanyanya, setelah kuberikan jatah bekalnya.

    “Delapan. Semuanya dari murid di tingkat bawah.”

    Tidak ada siswi setingkatku yang memberikan apapun, karena mereka sudah tahu betul kedekatanku dengan Rika. Mungkin mereka mengira kami sudah pacaran.

    “Delapan… ya.”

    Tunggu. Kenapa nada suaranya…

    “Yah, kurasa itu bagus untukmu. Apa kamu kenal mereka?”

    “Tidak juga. Mungkin mereka sekedar fans atau semacamnya.”

    Maklum, sebenarnya banyak yang suka terhadapku. Lelaki jenius dengan wajah setengah dingin sepertinya menjadi tren untuk disukai para gadis di jaman ini. Bukan hanya diriku, Rika juga sebenarnya cukup populer. Namun aura kecantikannya itu malah lebih sering membuat mulut para lelaki terkunci dan membisu, tak mampu mengatakan apapun selain memandanginya dari kejauhan, termasuk diriku. Yah, meski untuk kasusku, tidak dari kejauhan juga sih. Atau mungkin… mereka memikirkan hal yang sama seperti para murid perempuan yang menjadi fansku?

    “Hmm… apa tidak ada satupun dari mereka yang sesuai seleramu?”

    Sebenarnya aku ingin menjawab dengan ‘Tidak. Hanya kamu yang aku suka’. Namun lagi-lagi, mulut dan otakku berada dalam posisi tidak sinkron.

    “Tidak. Mereka bukan tipeku. Kamu sendiri bagaimana? Sudah tujuh belas tahun, masih juga belum punya pacar.”

    “Cih. Lihat siapa yang bicara. Bukannya kamu juga?”

    “Malah balik bertanya. Bagaimana sih?”, balasku ketus.

    “Jangan bawel. Jawab dulu pertanyaanku.”

    Kuharap dia bisa menangkap sesuatu dari apa yang akan kukatakan ini.


    “Aku… sudah punya seseorang gadis yang kusukai.”, kujawab sambil menatap ke arah langit.


    Kelopak matanya melebar sejenak. Sekitar 3 detik tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Mungkinkah dia mengerti apa yang kumaksud?

    “Begitu ya. Syukurlah.”, suaranya terdengar lega. “Aku sempat mengira kamu **** atau semacamnya.”

    “HAAAAHHH?! Aku tidak segila itu!! Aku masih suka dengan perempuan!!”

    Diapun tertawa terpingkal-pingkal, sambil menunjuk ke arah wajahku.

    “BWAHAHAHAHAHA…!! Wajahmu merah sekali!!”

    “Sial. Jadi itu maksudmu, haaaahhh??!!”, kucubit kedua pipinya keras-keras.

    “HHMMMFFF!!! M-M-Maaffff!!”

    Meski meleset dari dugaanku, setidaknya kata-katanya mampu mengangkat beban yang sejak tadi bersarang di kepalaku. Aku jadi lebih tenang setelah sedikit bercanda dengannya.



    Tapi… itu hanya sementara. Ketika waktunya pulang, kegalauan itu muncul lagi. Hari ini adalah waktu yang sangat tepat, karena akan menambah efek romantis jika seandainya pernyataanku diterima olehnya. Namun itu seperti pedang bermata dua. Karena tanggal ini pulalah, pikiranku benar-benar kacau. Ingatanku tentang coding proyek Quantum Hacking pun lenyap bagaikan data storage yang kena format. Jika ada seseorang yang menanyakan tentang proyek itu saat ini juga, mungkin aku hanya akan bengong dan menjawab “Tidak tahu”.

    Keluar dari gedung sekolah, langkahku terasa makin berat. Bukan hanya kaki, setiap tarikan nafaskupun bukannya memberi tambahan oksigen, malah menambah ketegangan bagi otot-ototku.


    ‘Rika, aku suka padamu. Maukah… jadi pacarku?’


    Hanya kalimat sederhana itu yang harus kuucapkan!! Mungkin harus ditambah genggaman yang lembut dan tatapan yang dalam. Tapi tetap saja tidak keluar!! Berbagai tips dan trik mengenai cara menyatakan perasaan pada seorang wanita telah kupelajari, namun nihil. Prakteknya sangat sulit dilakukan. Bagiku, setidaknya.

    Detik demi detik berlalu mewarnai setiap langkahku. Rika berjalan di depanku, kira-kira ada jarak sekitar 50 sentimeter. Halaman sekolah sudah lewat sejak 10 menit yang lalu dan aku belum mengeluarkan sepatah katapun.



    Tidak. Aku tidak mau melewatkan kesempatan hari ini. Maksudku, aku ini pria!! Malu sedikit itu wajar, tapi sekarang aku merasa perasaan gugupku agak kelewatan.

    Kutarik nafas panjang untuk menenagkan diri. Langkahku terhenti di atas beton trotoar. Kurang dari 1 detik setelah kakiku terdiam, tangan kananku bergerak sendiri…


    …menggapai tangan kirinya.


    Ditutup oleh balutan sarung tangan wol biru tua, aku merasa jemarinya merespon, seperti balas menggenggamku. Dan aku baru menyadari kalau warnanya sama dengan yang kupakai sekarang…

    Langkahnya terhenti, lalu menoleh padaku. Aku merasa momen ini berlangsung lebih lama dari waktu sesungguhnya. Tidak ingin kulepaskan. Aliran perasan cinta ini membuatku sedikit mempererat genggamanku. Rasa gugupku pun beranjak naik. Wajar saja. Selama 11 tahun, aku nyaris tidak pernah memegang tangannya. Kontak fisik yang sering terjadi hanyalah menepuk bahu atau mencubit pipi, meski sesekali aku ditinju atau ditendang.

    Pandanganku tak mampu teralih dari wajahnya. Terkunci. Terpaku. Seakan ada rantai tak terlihat yang menghubungkan sepasang bulatan biru milikku dengan miliknya. Aku berharap kalau dia dapat mengerti hanya dengan melihat ke dalam mataku.

    “Mmm…? Ada apa?”, tanyanya lembut.

    Ayolah, Dennis!! Keluarkan keberanianmu!! Di sini juga sedang tidak ada orang. Suasana dan waktunya sangat sempurna!!

    Sekali lagi, kutarik nafas panjang. Kukumpulkan segenap energiku, berfokus untuk mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku. Meski awalnya bibirku hanya bergerak-gerak tanpa suara, namun akhirnya aku merasa kata-kata mulai mengalir ke pita suaraku.

    “Rika, aku---“

    Sebentar. Suara… roda?



    “Lalala~ Autoburg yang penuh dengan cinta~”

    Sosok cybertron itu nampak dari arah persimpangan di depan kami, tepatnya dari belokan yang mengarah ke kanan.

    YEEEEETZZ!!!! ARGH, KENAPA DIA HARUS MUNCUL SEKARANG?!

    “Uh? Kalian rupanya.”, ujung kameranya berputar 90 derajat ke kiri, ke arahku dan Rika.

    Beberapa detik hanya ada keheningan. Tidak ada satupun dari kami bertiga yang bicara dalam bahasa apapun baik bahasa manusia maupun bahasa mesin.

    “Oh, begitu rupanya. Maaf mengganggu.”, ujarnya begitu melihat ke arah… tangan kami berdua yang masih saling mengunci.

    Refleks kulepaskan genggamanku, lalu secepat yang kubisa mengambil sebuah batu segenggaman tangan.

    “KALENG BRENGSEK!! MATI SAJA SANA!! MATILAAAHHH!!!! MATIIII!!!!”, kuhajar terus menerus kepalanya dengan batu.

    “O-Oi!! Apa salahku??!! Jangan keras-keras!! Nanti aku rusak sungguhaaaannn!!”

    Kemunculan Yetz membuyarkan semuanya. Aku sama sekali tidak mampu lagi untuk menyatakan perasaanku. Rencana sempurnaku… argh. Luluh lantak. Hancur sudah. Hancur!! Segera kutendang keras-keras cybertron bangkotan itu untuk membuatnya pergi. Aw. Sakit juga.

    Mungkin karena merasa malu, Rika terus diam setelahnya. Kalimat terakhir yang diucapkannya hanyalah “Sampai bertemu hari Senin” ketika kami harus berpisah di sebuah perempatan, karena arah rumah kami yang berbeda.

    Ah… sudahlah. Aku kembali mengerjakan tugas akhirku saja. Sedikit lagi program utamanya selesai, kemudian hanya perlu diuji coba.



    Di kamarku, segera kuaktifkan perangkat pendukung. Sebuah komputer yang selama ini membantuku meng-compile code yang kubuatpun kunyalakan. Bentuknya jauh lebih tipis dibanding buatan 40 tahun yang lalu. Layarnya juga holografik, tidak lagi berbentuk fisik seperti komputer-komputer kuno.

    Code yang kutulis untuk proyek Quantum Hacking kira-kira sekitar 5 juta baris. Menjalankan code sebanyak itu hanya bermodalkan nanomachine di tubuh, bisa-bisa otakku berhamburan ke seluruh ruangan. Untuk itulah aku membutuhkan “otak kedua”, alias prosesor pada komputer ini. Aku juga ingin mengalihkan konsentrasiku dari kejadian saat di jalan tadi. Mungkin hari ini memang belum saatnya kukatakan pada Rika. Hanya pekerjaan semacam ini yang mampu membuatku tenggelam dan tidak lagi memikirkan masalah lain.

    Setelah memeriksa beberapa ribu baris terakhir dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada, akupun siap mengujinya. Target yang cocok… apa ya? Aku butuh sesuatu yang fungsinya adalah memanipulasi partikel-partikel sub-atomik untuk dijadikan kelinci percobaan. Karena itu, aku butuh hardware perantara seperti…

    Hei, bagaimana kalau targetnya salah satu dari dua bangunan itu…

    Percaya atau tidak, sebenarnya proyek Quantum Hacking yang kubuat ini berguna untuk memanipulasi segala perilaku partikel-partikel yang dikenal dalam fisika kuantum. Segala fermion dan boson akan tunduk terhadap program ini dan dapat diperintah seenaknya. Aku sangat yakin kalau apa yang kubuat ini akan mengguncang seluruh dunia.

    Baiklah, target sudah terkunci. Beberapa HUD muncul di sisi kanan dan kiri, mengkonfirmasi koneksi dengan target. Puluhan window juga nampak di layar holografik komputerku yang berukuran 25 inci. Hanya butuh sebuah Enter untuk menjalankannya. Kutekan, dan…


    …mati listrik.


    Meski hanya 3 detik, namun mati listrik adalah sebuah kejadian super langka yang tidak pernah lagi terjadi di Autoburg sejak insiden A.L.I.C.E. Project. Gawat. Aku akan ketahuan atau tidak ya?

    Spoiler untuk Chapter 4 – Love: Melancholic Confusion :


    =================================
    Chapter 4 – Love: Melancholic Confusion
    =================================



    Untunglah, proxy yang kugunakan untuk menjebol keamanan pembangkit listrik anti-materi itu berjalan sempurna. Aman… aman. Setidaknya untuk sekarang.

    Tak bisa kupungkiri, kejadian itu menjadi buah bibir di seluruh kota. Di jalanan menuju sekolah, beberapa kali aku sempat mendengar orang-orang menyebut ‘mati listrik’. Banyak orang mengatakan rumor-rumor aneh, seperti bahan bakar anti-materi yang habis ---jelas mustahil karena bisa bertahan untuk nyaris 100 tahun---, pembangkit sempat dibajak ******* ---sudah bukan jamannya *******---, bahkan ada yang bilang listriknya disedot alien… bah. Tapi kurasa itu wajar, karena hampir mustahil bagi kota ini untuk kehilangan asupan energi listrik, kecuali jika ada kecelakaan besar pada pembangkitnya.

    Namun ada sesuatu yang membuatku merasa aneh selain semuanya itu.



    Rika.



    Entah apa yang merasukinya, sepanjang jalan Rika hanya diam dan nampak lesu. Padahal, biasanya dia suka sekali memanggil namaku keras-keras dari seberang jalan jika kami bertemu saat menuju sekolah. Aku sempat menduga jika dia akan mengajakku bicara panjang lebar tentang mati listrik 3 hari lalu itu, ternyata tidak. Ketika kutanya apakah dirinya sehat atau tidak, dia menjawab ya. Mataku nemang tidak ada tanda-tanda pucat di wajahnya sih…

    Ataukah Rika masih shock atas peristiwa Jumat itu?! Sebenarnya aku juga, sedikit. Namun 2 hari belakangan ---Sabtu dan Minggu--- memberiku waktu untuk menenangkan diri. Selama 2 hari itu juga aku tidak menghubunginya sama sekali, berpikiran kalau kondisinya sama denganku, sehingga dia butuh ketenangan juga.

    Satu hal yang membuatku lega, dia masih tersenyum lebar begitu kuberikan jatah makanannya saat jam makan siang. Mungkin benar, itu hanya sisa-sisa rasa terkejut bercampur malu saja. Malamnya, lagi-lagi aku tidak menghubungi Rika sama sekali melalui nano-network, mengira kalau dia masih tidak bisa diganggu.


    *


    Selasa.

    Aneh. Ini benar-benar aneh. Rika seperti menjadi orang lain. Lagi-lagi dia hanya diam, tak pernah memulai pembicaraan. Bagiku, itu adalah sebuah hal yang lebih langka dibanding melihat panda di alam bebas.

    “Yo!”

    Yetz menepuk punggung kami dari belakang, membuat langkah kami terhenti. Hari Selasa dan Jumat memang harinya dia bertugas. Aku sudah mendengar suara rodanya sejak tadi, namun kubiarkan saja karena berpikiran Rika yang akan menyapanya duluan. Ternyata… tidak.

    Sekarang, giliran Yetz berperilaku aneh.

    “Eh…?”

    Dia memandangi tangannya, lebih tepatnya tangan kirinya yang baru saja menepuk Rika.

    “Sembarangan saja tepuk-tepuk. Apa kamu mengincar bokongku hah? Kaleng mesum.”, ujar Rika ketus.

    Setidaknya aku tahu Rika sudah berubah sedikit normal dengan mengatakan hal itu.

    “Bukan… aku hanya… emm…”

    “Huh.”, Rika menendang pelan cybertron itu. “Bersihkan jalanan saja sana.”

    Yetz tidak beranjak begitu kami lanjut berjalan. Dia sepertinya mengatakan sesuatu, tetapi hanya bagian belakangnya saja yang sempat kudengar.


    “…tidak ada…?”


    Tidak… ada? Apa yang tidak ada dari Rika?

    Ah, sudahlah. Mungkin memang perangkatnya ada yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Bagaimanapun juga, dia sudah tergolong tua untuk sebuah cybertron.



    Di ‘markas’ kami setiap makan siang, atap sekolah.

    “Uh? Ke tempatku?”

    Raut wajahnya nampak heran.

    “Begitulah. Sepertinya aku butuh prosesor tambahan untuk menjalankan proyekku. Komputermu masih berfungsi?”

    “Uh-huh, tentu saja. Mau kamu bawa ke rumahmu?”

    “Tidak perlu. Akan kukerjakan di rumahmu saja. Toh juga hanya sebentar.”

    “Begitu… ya.”

    Tunggu. Ekspresi itu… muncul. Meski hanya sesaat, jelas sekali yang tergambar di wajahnya adalah ekspresi yang sama setiap kali dia teringat mengenai insiden 5 tahun yang lalu itu.

    Seketika, dia tersenyum.

    “Mmm. Terserah kamu saja. Jam berapa?”

    “Jam tujuh malam. Nanti akan kuhubungi lagi lewat nano-network. Yang jelas jangan tidur!! Aku tidak mau menunggu di luar terlalu lama di musim dingin begini.”

    “Huh… memangnya aku ini bayi?”, sahutnya.

    “Cih, sudah beberapa kali kamu membiarkanku di luar hingga setengah jam hanya untuk menunggumu bangun.”

    “Dasar manja. Dingin sedikit saja protes.”

    “Aku tidak mau jatuh sakit gara-gara kebodohanmu.”, kupukul pelan kepalanya.

    “Kamu… benar-benar suka memukul kepalaku ya.”

    Corak kesendirian itu muncul lagi di kanvas wajahnya.

    Dengan suara yang lebih pelan, dia berkata:


    “…seandainya ini bisa berlangsung selamanya…”


    Nyaris tidak terdengar jika aku tidak memasang telinga baik-baik.

    “Heh, kalau bicara yang keras…”, kuketuk lagi kepalanya.

    “Baguslah kalau kamu tidak dengar.”, kemudian dia menjulurkan lidah padaku.

    Ini mencurigakan. Terlalu mencurigakan. Beberapa kali saklar emosinya berubah hanya dalam hitungan sepersekian detik. Jelas sekali ada sesuatu yang dia sembunyikan. Entah apa yang terjadi pada dirinya, namun aku bersumpah akan mengoreknya habis-habisan nanti malam. Terlepas dari perasaan cinta dalam dadaku, namun sebagai seseorang yang sudah bersamanya sejak lama, kurasa adalah hal yang wajar jika aku mengkhawatirkannya.



    Menyusuri trotoar, lengkap dengan hujan salju ringan yang turun dari langit malam. Sekarang masih jam 7 kurang 20 menit. Sebenarnya aku baru ingin meninggalkan rumah sekarang, namun Mama malah memaksaku untuk pergi cepat-cepat, dengan…

    “…kenapa aku harus membawa sushi ini juga…”

    Tanpa sadar, sore tadi aku menceritakan mengenai Rika padanya. Responnya? Tanpa basa-basi dia membuatkan makanan khas negara asal ayah Rika itu. Ada 12 buah dalam berbagai jenis. “Mungkin bisa membuatnya sedikit bersemangat.”, begitulah katanya.

    Ya sudahlah. Sudah lama juga aku tidak… emm… makan berdua saja dengannya di malam hari.

    Baiklah, akan kuhubungi dia terlebih dulu.

    Kunyalakan sambungan nano-network, sehingga muncul HUD hijau transparan tak jauh di depanku, berisi daftar kontak. Rika Genjougami… ini dia.

    Hei, ada apa ini…?

    “Cannot locate nano-network. Please choose another contact.”

    Dia memutus total sambungan nano-network pada nanomachine di tubuhnya? Apa jangan-jangan dia sedang tidur? Argh, padahal sudah juga kubilang…

    Baiklah, kucoba buzz mode, alias sedikit setruman via nanomachine. Mungkin dia akan terbangun. Maka kupilih opsi Buzz setelah menahan jariku pada namanya di daftar kontak.

    Jawabannya tetap sama.

    “Cannot activate Buzz. Cannot locate nano-network. Please choose another contact.”

    Kali ini ketakutan merasuk ke dalam diriku. Secara teori, mematikan buzz mode adalah mustahil. Mendadak aku merasa merinding. Bukan karena dinginnya salju, namun karena rasa khawatir yang amat sangat. Bahkan, keringat mulai menetes di keningku. Tanpa pikir panjang, aku berlari sekencang-kencangnya.



    Sekitar 10 menit berlalu, sampailah di depan kediamannya, terletak di area khusus residensial sebelah barat. Rumahku sendiri ada di sebelah timur. Tidak begitu berbeda dengan tempatku, sederhana dan tidak terlalu besar. Dua lantai, pintu kayu, beberapa jendela, tembok batu bercat putih polos. Banyak rumah di Autoburg masih berarsitektur seperti rumah-rumah jaman dahulu, meski tersimpan banyak teknologi canggih di dalamnya.

    “Lampunya menyala…”

    Kamarnya terletak di lantai dua, pojok kanan atas jika berpatokan dari tempatku berdiri yang tepat di depan pagar utama.

    “Rika!! OI!! RIKA!!”

    Kutekan tombol bel berkali-kali. Panik. Kumohon, jangan terjadi apapun padanya!!



    Jendela kamarnya terbuka, wajahnya pun muncul.

    “Tidak usah teriak-teriaaakk!! Memencetnya juga sekali sajaaaa!!!!”

    Ternyata… aku kelewat khawatir. Masih bisa berteriak seperti itu, artinya tidak ada yang bermasalah padanya. Kuhela nafas panjang begitu kaca jendelanya ditutup kembali. Lega.

    “Ini belum jam tujuh, tahu.”, ujarnya ketus.

    Dibalut sweater putih lengan panjang dan rok jeans pendek, penampilannya membuat mataku tidak berpaling darinya selama beberapa detik. Pantyhose hitam itu juga membuatnya nampak lebih… seksi. Ew. Dennis, hilangkan dulu pikiran itu. Tujuanku ke sini adalah untuk menjalankan program Quantum Hacking!!

    “K-Kenapa matamu melihatku seperti itu, hah?” Pipinya sedikit merah.

    “T-T-Tidak apa-apa. Hanya saja---“

    Seketika matanya tertuju pada kantong plastik di tangan kananku.

    “Bawa sesuatu?”

    “Iya, sesaji untukmu.”

    “Heh, kurang ajar. Kamu kira aku ini *****?”

    “Yah… jika teriak-teriak seperti tadi, mungkin mirip---“

    “Pulang sana.”

    Diapun berbalik badan.

    “O-Oi… Rika, aku cuma bercanda. Ini hanya sushi biasa, buatan Mamaku.”

    Dia menoleh ke arahku, tersenyum lebar.

    “Kamu tidak boleh memakai komputerku sebelum sushinya habis.”

    Pada akhirnya, aku hanya kebagian 2 buah. Itupun harus curi-curi kesempatan ketika dia mengambil minuman. Setelah itu, dia mengajakku ke lantai atas begitu mendapati tak ada lagi yang tersisa. Kuikuti dirinya dari belakang.



    Ah, aku jadi teringat waktu itu. Pintu kayu ini… yang sempat kujebol passwordnya.

    Baru saja pintu dibuka dengan menekan 8 kombinasi angka pada panel di sebelah kanan pintu ---sekaligus menyalakan lampu kamarnya---, dia langsung berlari secepat mungkin ke dalam. Sepertinya dia meraih sesuatu di atas meja, kemudian cepat-cepat memasukkannya ke kantung yang ada di sisi kanan roknya. Tidak sempat kuperhatikan apa yang diambilnya itu.

    “M-Masuk saja.” Senyumannya nampak dipaksakan.

    Hmm…? Ya sudah, akan kutanya belakangan saja.

    Tidak seperti ketika memasuki kamar teman-teman perempuanku yang lain, menginjakkan kaki ke ruang pribadi Rika ini terasa sangat biasa. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali sejak 11 tahun yang lalu.

    Ternyata keduanya masih ada, duduk manis di atas ranjangnya yang tepat bersebrangan dengan pintu. Dua boneka raksasa ---satu kelinci putih, satu kucing biru muda--- yang ada di atas tempat tidurnya itu membuatku sedikit lega, karena selama ini kelakuannya lebih mirip lelaki. Setidaknya dia masih memiliki selera terhadap sesuatu yang menggemaskan. Seingatku dua boneka itu sudah ada sejak pertama kali aku ke tempat ini.

    “Sebentar, biar kunyalakan dulu.”

    Diapun duduk di depan sebuah meja yang berada tak jauh dari kiri kasur, kemudian menyalakan komputernya. Begitu booting selesai, segera ku-download software khusus ---untuk membuat jaringan antara komputerku yang kubiarkan menyala di rumah, nanomachine pada tubuhku, dan juga komputernya--- dari hard disk komputerku, kemudian meng-installnya. Butuh sekitar 15 hingga 20 menit untuk mendownload, install, hingga menyesuaikan semua data yang ada pada komputerku dan mengintegrasikan nanomachine pada komputer Rika. Kali ini targetnya kuubah, yaitu akselerator partikel super besar itu.



    Sambil menunggu, akupun duduk di lantai, bersandar pada sisi ranjangnya. Dan… Ini adalah saat yang tepat untuk bertanya.

    “Rika.”

    “Tidak usah diteruskan. Aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan.”, Dia mengambil duduk di sebelah kiriku.

    “Aku hanya… khawatir saja. Selama dua hari terakhir, kamu lebih banyak diam. Tidak biasanya kamu bersikap begitu. Apa mungkin yang hari Jumat itu---“

    Telunjuk kanannya ditaruh di bibirku. Ini pertama kalinya aku merasakan kelembutan jemarinya, di tempat yang tidak biasanya.

    Dia menggeleng.

    “Maaf.”

    Dadaku langsung terasa sesak.

    “Aku… tidak bisa.”

    “Boleh kutahu alasanmu? Setidaknya… agar aku tidak penasaran.”

    Sekali lagi dia menggelengkan kepala. “Nanti kamu akan tahu dengan sendirinya. Bukannya aku tidak menerima perasaanmu, tapi… maaf, Dennis. Aku benar-benar tidak bisa. Aku hanya… tidak mau membuatmu hancur lebih dari ini.”

    Senyum terbentuk di bibirnya, tetapi aku menangkap seberkas kesedihan dari situ.

    “Untuk saat ini… bolehkah kurahasiakan lebih dulu?”

    Menyedihkan memang. Segalanya sirna hanya dalam sekejap. Tapi aku jadi tahu, sebenarnya Rika juga punya perasaan yang sama. Mungkin memang belum saatnya.

    “Oh, tapi tenang saja.”

    Diapun mendekatkan wajahnya. Kurang 10 sentimeter dari bibirku…


    “My first kiss is yours.”


    Kedua bibir kami bersentuhan.

    Miliknya terasa begitu lembut. Seketika aku dapat merasakan nafasnya yang hangat, menimbulkan gejolak dalam diriku. Didorong oleh cinta yang begitu menggelora, ciuman pertamaku berlangsung makin dalam. Lidah kami terus menari bersama. Sensasinya begitu luar biasa, merasuk ke dalam jiwa dan setiap sudut tubuhku. Entah sudah berapa detik berlalu, tak kuhitung. Neuron-neuron otakku seakan korslet dibuatnya.

    Sebelum terjadi hal yang aneh-aneh ---dan selagi alam sadarku masih berkuasa penuh---, akupun menarik diri.

    Thanks, Rika.”

    “Khusus yang satu itu, aku tidak rela jika bukan denganmu.”

    “Kamu ini…” Akupun tersenyum lega.



    Tiba-tiba muncul HUD di sebelah kananku, lengkap dengan bunyi *blip* yang terdengar dari komputer.

    “Ah, sudah selesai rupanya.”

    “Tinggal uji coba saja ya?”

    “Sebenarnya sempat kulakukan uji coba Jumat lalu. Tapi yah… kamu tahu sendiri, ada mati listrik. Rumahku tidak punya generator cadangan pula…”

    “Oh… mati listrik itu.”

    Entah kenapa, wajahnya kembali murung sejenak. Jadi masih ada lagi yang belum kuketahui?

    “Begitulah. Belum sempat ada data yang masuk pula.”

    “Ahaha… mungkin kamu kurang beruntung. Ya sudah, cepat jalankan programmu.”

    Akupun beranjak ke komputer. Tinggal menekan Enter saja. Dan…

    ………



    Uh? Masih juga mati listrik? Padahal targetku sudah berbeda!!

    “Rika? Masih di situ?”

    “Mmm. Masih.”

    Tiga detik berlalu, listrikpun kembali normal. Namun, terjadi sesuatu di luar akal sehatku.

    “Ri… ka?”

    Bibirku terasa kaku begitu kutengok ke arahnya. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Kenapa tubuhnya berubah…



    …transparan??!!


    Spoiler untuk Chapter 5 – Transcendence: Fragile Existence :


    =====================================
    Chapter 5 – Transcendence: Fragile Existence
    =====================================



    Empat detik aku hanya memandangi dirinya. Takut? Heran? Ah sudahlah, semua sudah bercampur aduk.

    Seketika tubuhnya kembali normal.

    “Dennis… kamu lihat yang tadi?”

    “…mmm.”

    Kujawab pelan sambil mengangguk.

    Sesuatu muncul dalam otakku. Sebuah pernyataan yang tidak mungkin bisa kusangkal. Memang masih hipotesis semata, namun semua bukti sudah mengarah pada satu hal. Keanehan yang terjadi pada Rika beberapa hari belakangan ini disebabkan oleh…


    …Quantum Hacking.


    Mungkin karena rasa bersalah bergejolak dalam dada, bibirku refleks mengucapkan, “Maaf.”

    Rika tercengang sesaat. Matanya mulai nampak berkaca-kaca. Pastilah dia sudah menyadari apa maksud dari permintaan maafku.

    “Tunggu. Apa kamu…”

    Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya.

    “Apa kamu yang menyebabkan mati listrik hari itu?!”

    Aku tidak mampu menjawab. Tidak ada kata-kata yang keluar. Jelas sudah bahwa Quantum Hacking ada hubungannya dengan keanehan yang terjadi pada tubuhnya.

    “Jawab, Dennis!! JAWAB AKU!!!!”

    Akupun menghampiri dan memeluknya. Begitu erat.

    “Maaf, Rika. Ini memang salahku.”

    “Kenapa, Dennis… kenapa…”

    “Aku… tidak tahu jika Quantum Hacking dapat berakibat buruk pada tubuhmu.”

    Setengah memberontak, dia berusaha melepaskan pelukanku.

    “Berakibat buruk?! Kamu mengira hanya hal yang sekedar ‘buruk’ yang terjadi padaku, hah??!!”

    Lidahku kembali kelu. Apa maksudnya? Kupikir Rika hanya mengalami sedikit keanehan.

    “Sudah cukup!! Aku… aku tidak tahan lagi!!”

    Kembali hal yang aneh terjadi. Setelah dengan sekuat tenaga melepaskan diri, dia berlari ke arah pintu, disusul dengan tubuhnya menghilang-muncul satu kali sebelum akhirnya keluar dari kamar. Kucoba berlari menyusul, namun sia-sia. Setiap kali tubuhnya menghilang, dia muncul kembali beberapa puluh sentimeter di depan posisi sebelumnya, membuatku kesulitan untuk meraih apalagi menyusulnya.



    Setelah kukenakan lagi jaket tebal yang kutinggalkan di ruang tamu dan keluar pagar depan, setiap lompatan jarak yang dilakukannya makin jauh, mungkin sekitar 2 hingga 3 meter. Kehilangan arah, kakiku berlari dengan liar menyusuri jalanan Autoburg yang mulai tertutup salju tipis, sambil sesekali berteriak memanggil Rika. Apapun yang ada di hadapanku sudah tak kupedulikan lagi. Beberapa kali aku menabrak cybertron ataupun manusia, hingga kutabrak lagi sebuah cybertron.

    Yetz.

    Aku terjatuh, mungkin koordinasi tubuhku sudah berantakan karena beban pikiran ini.

    Duduk di trotoar bersalju, langsung saja kutegakkan kembali tubuhnya.

    “O-Oi, Dennis, kenapa buru-buru begitu?”

    “Yetz, apa kamu lihat Rika?!”, kukeraskan sedikit suaraku.

    “Rika? Aku tidak lihat tuh.”

    “Aghhh…”, kujambak rambutku sendiri. “Di mana dia sekarang…”

    Kata-kata Yetz berikutnya mampu mengunci perhatianku.


    “Dennis, kusarankan jangan mencarinya lagi.”


    “Apa… maksudmu?”

    “Tidak ada gunanya lagi---“

    Emosiku meluap tak tertahankan.

    Kuraih tubuh kalengnya dengan kasar. “Yetz, apa kamu tahu sesuatu?!”

    Mata kameranya teralih ke arah lain.

    “YETZ!!!! CEPAT KATAKAN APA YANG KAMU KETAHUI!!!!”

    Kembali menatapku, dia menjawab, “Rika… dia sudah mati.”

    Nafasku terhenti sejenak. Kata-katanya seperti sebuah ledakan nuklir yang menghantam dadaku. Sesak. Terasa sakit.

    “YETZ, JANGAN MAIN-MAIN!!!!”

    “AKU TIDAK MAIN-MAIN!!!! RIKA SUDAH MATI!!!!”



    Sejak pertama kali mengenalnya, baru kali ini dia menjawab dengan volume suara sekeras itu. Untunglah sekelilingku cukup sepi, hanya ada beberapa cybertron lewat, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan berlebih.

    “Apa kamu ingat tadi pagi?! Aku merasakan kalau tubuhnya sudah tidak memiliki nanomachine lagi!! Secara teori, mustahil untuk mengeluarkan semua nanomachine yang sudah diinjeksikan ke dalam tubuh seseorang!!”

    Sekujur tubuhku mendadak lemas. Tanganku gemetar.

    “Yetz… kumohon jangan bercanda…”

    “Aku tidak bercanda, Dennis. Kecurigaanku membuatku mencari tahu apa saja yang terjadi dari hari Jumat siang hingga pagi tadi, saat aku tidak bertemu dengan kalian sama sekali. Dan… ini yang kutemukan.”

    Sebuah HUD biru transparan muncul di depan tubuhnya. Kucoba menenangkan diri agar dapat mencerna informasi yang ada pada tulisan-tulisannya. Intinya hanya satu hal, yaitu adanya korban jiwa ketika mati listrik hari Jumat lalu. Penyebabnya adalah tertabrak oleh bus otomatis yang kehilangan fungsi navigasinya sesaat ketika mati listrik. Bus itupun tidak menyalakan rem di tempat yang seharusnya, malah berjalan terus dan menabrak korban. Dan nama orang yang menjadi korbannya adalah…


    …Rika Genjougami.


    Masih tidak percaya, aku berusaha melontarkan argumen.

    “Lantas kenapa tidak ada satupun media yang mengetahuinya?!”

    Deretan tulisan kembali ke paling atas. Yetz menunjuk sesuatu di kiri atas, jika berpatokan pada diriku. “Lihat logo ini?”

    Model atom Rutherford dengan bola dunia sebagai latar…

    “Institusi yang menjalankan A.L.I.C.E. Project??!! Apa hubungan mereka---“

    Belum sempat kuselesaikan kata-kataku, Yetz memotong, “Karena ada sesuatu yang aneh setelah kecelakaan. Akan kutunjukkan gambar yang tertangkap oleh beberapa kamera di tiang lampu jalan dan lampu lalu-lintas.”

    Ditunjukkannya 4 gambar, muncul mengambang di hadapannya. Satu adalah sesaat sebelum kecelakaan terjadi ---jelas sekali itu Rika---, tepat ketika tertabrak, sesaat setelah kecelakaan, dan…

    “…ini ketika listriknya menyala?”

    Ini gila. Pada gambar keempat, aku melihat ada dua Rika di situ!! Satu tergeletak, satu lagi berdiri di sebelahnya!!

    “Entah apa itu, yang jelas eksistensi itu muncul ketika listriknya normal kembali. Hanya sekitar lima menit kemudian, orang-orang pemerintahanpun datang dan mengamankan jasad Rika serta eksistensi aneh itu, serta menghapus memori orang-orang di sekitar dengan alat baru ciptaan mereka. Menghilangkan ingatan dalam sekali kilatan cahaya.”

    “Ini… ini tidak mungkin. Jadi yang ada di rumah itu…”

    “Aku taruhan, itu tetaplah Rika. Dia bisa membuka pintu rumahnya kan?”

    “Yetz, tidak usah basa-basi. Cepat katakan apa yang ada di pikiranmu!!”

    “Rohnya.”, jawabnya santai.

    Seketika aku tertawa keras-keras, meski sebenarnya hatiku menangis sejadi-jadinya.



    “HAHAHAHAHAHA!! Yetz!! Jangan gila!! Ini sudah tahun dua ribu lima puluh tiga---“

    “Memangnya kenapa jika sekarang sudah era modern? Ribuan tahun manusia berinteraksi dengan alam roh dengan cara-cara primitif. Keberadaan teknologilah yang membuat mereka tidak lagi percaya dengan hal-hal demikian. Sekarang aku ingin tanya, apa kamu mengerti mekanisme sebenarnya dari percobaan A.L.I.C.E. Project?”

    “Tunggu. Jangan bilang kalau…”

    “Mereka menarik kembali roh orang yang sudah mati ke dalam tubuh. Percaya atau tidak, lompatan energi super besarlah yang mampu membuka batas antar dimensi dan menarik roh mereka kembali. Dalam kasusmu, plus mematerialisasinya dengan tubuh tersendiri.”

    Mendadak penjelasan pak guru yang waktu itu terbersit.


    “Jadi… seandainya terjadi suatu lecutan energi dari beberapa sumber bertenaga besar dalam sekejap…”


    Maka akan terjadi pembentukan materi akibat ketidakstabilan energi yang disebabkan oleh lecutan energi tersebut. Dan itu dia yang ingin diteliti oleh A.L.I.C.E. Project!! Astaga. Tak kusangka pelajaran sekolah yang kuabaikan malah teramat berguna untuk memahami fenomena ini!! Meskipun…

    “Tapi semua percobaan sebelumnya gagal!! Dan laboratorium itu…”

    “Itulah kenapa mereka mengamankan jasad Rika, sementara eksistensi yang bisa kusebut sebagai rohnya itu dibiarkan hidup normal. Mereka ingin mengamati apa sebenarnya yang menyebabkan Rika tetap stabil. Dan sepertinya aku tahu apa itu.”

    Aku bergumam, “Apakah karena… Rika masih punya sesuatu yang belum terpenuhi?”

    Tidak salah lagi. Semua kelinci percobaan A.L.I.C.E. Project waktu itu adalah orang-orang tua yang baru saja meninggal. Wajar jika mereka tidak punya penyesalan apapun lagi ketika hidup.



    Tunggu. Yang buru-buru disembunyikannya tadi…

    “Kamu menyadari sesuatu, eh?”

    “Jika asumsimu benar, sepertinya aku tahu apa yang membuat tubuhnya stabil.”

    “Begitu ya. Ya sudah, ceritakan nanti saja. Sekarang berdirilah.”

    Kakiku sudah terlanjur lemas. Tak ada lagi energi untukku berpijak.

    “Aku tidak sanggup lagi menemuinya. Aku… aku yang telah membunuhnya…”

    Dadaku terus berteriak. Tidak diragukan lagi, akulah yang melenyapkan nyawanya secara tidak sengaja. Quantum Hacking mematikan listrik kota, mengakibatkan bus kehilangan navigasi, dan akhirnya menyebabkan Rika tewas.

    Yetz menyentuh pipiku dengan tinjunya. Pelan.


    “Setidaknya, maukah kamu mengantarnya pergi dengan tenang?”


    Kata-kata itu mengubah dinginnya tangan Yetz menjadi sebuah kehangatan. Dia benar. Bagaimanapun juga, aku yang harus bertanggung jawab. Aku harus menghadapi kenyataan yang terjadi. Rika sudah tidak ada, dan itu semua karena perbuatan tanganku. Artinya, yang paling berhak untuk menemaninya di saat-saat terakhir hanyalah diriku seorang.



    Akupun berdiri dengan mantap. “Yetz, menurutmu, Rika ada di mana?”

    “Melacak seseorang tanpa nanomachine memang sulit. Tapi sebagai teman kalian, sepertinya aku tahu di mana dia saat ini.”

    Yetz melesat di depan, diikuti olehku yang berlari mengekor.

    “Ngomong-ngomong, apa yang sudah kamu lakukan pada dua bangunan itu?”, tanya Yetz selagi melaju.

    “Hah? Bagaimana kamu bisa tahu?!”

    “Hahaha… jangan meremehkan tipe Yetzirah ya. Meski banyak perangkat yang dibuang untuk ditaruh tangki pengurai salju, tapi otakku tetap terhubung pada jaringan seluruh kota. Jadi, mau cerita?”

    “Aku hanya bermain-main dengan atom-atom saja. Kupikir pembangkit listrik itu mati dengan sendirinya karena mendeteksi keanehan pada bahan bakar anti-materinya yang sudah kumanipulasi.”

    Kutarik nafas beberapa kali.

    “Sementara… untuk akselerator partikel itu, aku meningkatkan sedikit energi pada atom-atom di mesin utamanya. Pembangkitpun mati otomatis karena kelebihan beban.”

    “Anak nakal.”, sahutnya. “Namun dengan demikian, sempurna sudah A.L.I.C.E. Project.”

    “Kamu sendiri bagaimana? Aku sebenarnya heran kenapa kamu terlalu pintar dan ber’perikemanusiaan’.”

    “Aku ini yang pertama di antara semua tipe Yetzirah. Primus inter pares.”

    “Ternyata…”, aku tersenyum puas. Tidak mengherankan lagi bagiku. Kata-katanya mengindikasikan bahwa dia adalah prototipe dan kepala dari segala tipe Yetzirah.



    Akhirnya, tempat tujuan. Kuatur aliran udara dari dan ke paru-paruku selama beberapa saat.

    Sebuah taman kecil di bagian utara kota, letaknya cukup jauh dari jalan utama yang membelah kota dari utara ke selatan. Kecil, hanya sekitar 2 kali lebih luas dari halaman rumah biasa. Dua buah bangku panjang dari kayu terletak bersebrangan, satu di sisi kiri dan yang lainnya di sisi kanan taman. Batas depannya ditumbuhi semak-semak pendek yang sudah tak berdaun karena musim dingin. Sebatang pohon cemara besar tumbuh di sisi belakang, juga tak berdaun. Hanya ada hamparan putih pada permukaan tanah, layaknya kanvas yang siap dilukis.

    Kudapati sosoknya sedang duduk pada salah satu dari sepasang ayunan di tengah-tengah taman. Sebuah perosotan menemani di sisi kiri ayunan tersebut.

    Tentu saja cybertron tua itu tahu tempat ini. Taman ini adalah saksi bisu pertemuan pertama kami berdua dengan dirinya.

    “Aku tunggu di sini saja.”, ujarnya.

    Perlahan kumelangkah menghampiri Rika. Yang menyambutku adalah sebuah tatapan sayu, lengkap dengan mata bekas menangis. Langit seakan ingin menambah latar panggung melankolis, menurunkan hujan salju turun yang makin lebat, sesekali disertai desiran lembut angin bersuhu rendah.

    “Rika…”

    Kusebut namanya. Sepasang bola mata bagai safir itupun segera menghadap ke arahku.

    “Dennis…”

    Tak sampai 2 detik, tetes-tetes bagai kristal mulai membasahi pipinya. Aku juga ingin menangis, tapi kuputuskan untuk kutahan sekuat tenaga.

    “Aku sudah tahu semuanya.”

    “S-Siapa…”, kata-katanya mulai tak berbentuk, tertutup isak tangis.

    “Yetz. Dia memberitahuku apa yang terjadi.”

    Ah, aku tidak kuat lagi. Pijakanku goyah. Berlutut di hadapannya, kemudian kupeluk dirinya erat-erat. Air mataku keluar juga.


    “Maaf, Rika.”, kubisikkan dekat telinganya.


    Air mataku turun makin deras. Tubuh kami sama-sama bergetar, selaras. Hanya ada transmisi kesedihan selama beberapa saat, disertai belasan bahkan puluhan kali kuucapkan kata ‘maaf ‘padanya. Permintaan maaf saja memang tidaklah cukup, namun hanya itu yang dapat kulakukan sekarang.

    “Maaf…”

    “Sudah, Dennis. Sudah. Aku bisa mengerti.”

    Suaranya begitu lembut. Mendengarnya, aku benar-benar tak percaya jika… yang kupeluk sekarang ini hanyalah eksistensi rapuh yang dapat lenyap seketika.

    “Tapi, Rika---“

    Lagi, telunjuk kanannya menghampiri bibirku. Dia menggeleng.

    “Kamu tidak sengaja kan?”

    “…mmm.” Kuanggukan pelan leherku.

    “Kalau begitu tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.”

    Sudut-sudut bibirnya sedikit naik.

    “Tapi kamu marah…”

    Masih bersisa jejak air mata, dia berusaha tertawa kecil.

    “Hanya emosi sesaat saja kok. Dan… kalau boleh jujur, sebenarnya aku lega. Untung saja kamu yang melakukan.”

    “…eh?”

    “Coba saja kalau orang lain. Mungkin kamu akan berubah gila, melakukan hacking pada data penduduk untuk menemukan orangnya, kemudian mengobrak-abrik nanomachine pada orang itu, dan bisa jadi kamu membunuhnya dengan sengaja. Itu tidak baik.” Diapun tersenyum.

    “Sok tahu.”, jawabku ketus, sambil berusaha menghapus air mataku sendiri.

    “Heh, aku ini sudah sebelas tahun mengenalmu.”

    Entah apa yang merasukiku, kali ini aku malah tertawa hingga duduk lemas di tanah bersalju. Dengan begini aku yakin, dia adalah Rika yang sama. Selalu berusaha tersenyum dan bicara apa adanya kalau sudah di depanku.

    “Huh, malah tertawa.”

    “Ahaha… maaf, maaf.”

    Dia berdiri dari ayunan, kemudian duduk tepat di sebelah kananku.

    “Jangan minta maaf terus ah.”



    Tiga detik kesunyian, akupun angkat bicara.

    “Rika.”

    “Mmm?”

    “Masih ada sesuatu yang kamu sembunyikan?”

    Tersenyum lega, lalu dia menjawab, “Akhirnya bisa tebak juga. Lama sekali sih.”

    “Kalau Yetz tidak berkata apapun, mungkin aku tidak akan tahu.”

    “Begitu… ya.”

    Alis matanya sedikit turun. Gumpalan kabut terbentuk di depan mulutnya, dia menghela nafas sejenak.

    “Kamu yakin sudah siap?”

    Kujawab dengan mengangguk tanpa keraguan.

    Sesuatu dikeluarkan dari saku kanan roknya. Ditunjukkannya padaku sebuah plastik transparan, diikat sebuah pita merah muda di atasnya. Terbungkus di dalamnya benda berbentuk hati seukuran telapak tangan.



    Coklat.


    Spoiler untuk Chapter 6 – Life: Digital Chocolate :


    ===========================
    Chapter 6 – Life: Digital Chocolate
    ===========================



    “Itu…”

    “Seharusnya kuberikan tanggal empat belas kemarin.” Kemudian ditaruhnya coklat itu di pangkuannya.

    “Jadi itu yang menahanmu?”

    “Mmm. Begitulah kata orang-orang itu.”

    Aku taruhan, yang dimaksud Rika adalah orang-orang dari organisasi yang menjalankan A.L.I.C.E. Project.

    “Aku juga sudah baca laporan-laporan terdahulu tentang A.L.I.C.E. Project hari Sabtu dan Minggu kemarin. Mungkin karena mengetahui kalau aku adalah anak dari dua rekan mereka, merekapun memberitahuku banyak hal. Mau dengar?”

    “Aku bohong jika bilang tidak.”

    “Huh, kamu ini. Suasananya sudah romantis malah minta dijelaskan yang begitu.”

    “Kamu sendiri yang menawarkan. Bagaimana sih?”, kupukul pelan kepalanya.

    “Ehehe… iya, iya.” Lidahnya dijulurkan sedikit. “Jangan marah begitu ah.”



    Sebagian besar sama persis dengan yang Yetz jelaskan. Entah cybertron gila itu berpikir sendiri, masih punya datanya, atau menjebol server yang menyimpan data A.L.I.C.E. Project. Yang bertambah dari penjelasan Rika adalah…

    “Waktu itu mereka sempat terpecah. Ada yang meyakini bahwa A.L.I.C.E. Project takkan sempurna tanpa mempelajari dimensi spiritual, namun kubu lainnya menolak mentah-mentah argumen itu karena tidak masuk akal. Dan dengan insiden yang kualami… mereka mulai percaya tentang adanya hal transenden itu.”

    “Tapi mereka bergerak cepat sekali setelah insiden itu…”

    “Mereka tidak pernah benar-benar berhenti. Memang tidak ada kegiatan yang signifikan, namun setiap saat mereka terus mengawasi kota ini untuk segala kemungkinan yang terjadi. Yah, kamu tahu sendiri, Autoburg memang dirancang untuk mempermudah segala penelitian ilmiah.”



    Rika menarik nafas panjang.

    “Jadi, apa kamu sudah---“

    Segera kupotong, “Rika, kumohon. Bertanya lagi malah membuatku bimbang…”

    Wajahnya menengadah, menatap langit yang menangis dalam bentuk butiran salju.

    “Kamu benar-benar sudah dewasa. Padahal sebentar lagi aku akan pergi…”

    “Sebenarnya aku tidak akan pernah siap dengan kepergianmu, Rika. Setidaknya dalam waktu dekat.”

    “Eh…?”, kali ini dia menengok padaku dengan tatapan keheranan.


    “Aku memang tidak pernah siap membiarkanmu pergi, tapi aku selalu siap untuk dilukai olehmu, berapa kalipun. Yang penting bukan selingkuh saja.”


    Air mata mengucur sesaat. Tatapannya tetap terkunci padaku.

    Cepat-cepat menghapus aliran bening di pipinya, kemudian dia berujar, “Kata-katamu makin manis saja. Kurasa tidak ada jenius lain semelankolis dirimu.”

    “Yah… ini kan salahmu juga. Siapa suruh membuatku sampai tergila-gila begini.”

    Kuraih tangan kirinya, direspon olehnya dengan bersandar padaku. Detik demi detik berlalu, aku hanya berfokus merasakan genggamannya. Tidak lagi kupedulikan jatuhnya butir-butir putih nan dingin yang makin menumpuk di kepala.

    Satu demi satu memori tentangnya bangkit di alam pikiranku. Seseorang yang selama 11 tahun bersamaku. Rika Genjougami, yang mampu mengubah seorang Dennis Rutherford hanya dengan senyuman ceria ketika pertama kali bertemu.



    Helaian rambutnya yang indah.
    Mata birunya yang berkilau.
    Teriakan nyaringnya jika sudah marah.
    Suara riangnya ketika memanggil namaku.
    Cara makannya yang begitu lahap.
    Senyum manisnya.
    Perhatiannya.

    Kemampuannya menarik diriku dari kurungan tanpa emosi.

    Kekecewaan.
    Amarah.
    Tawa.
    Tangis.
    Semuanya. Ya, semua tentang dirinya, semua yang pernah kualami bersamanya. Itulah seorang yang kucintai. Itulah…


    …Rika.


    Getar cinta mendorongku untuk menghampiri wajahnya, mencium bibirnya. Semua berlangsung lebih dalam dibanding sebelumnya.

    Mengikat jiwa.
    Melebur sukma.
    Menyatukan hati.
    Berdua.

    Hujan salju ini bagai meleleh karena gejolak yang makin membara di dada.



    “Ternyata kamu suka menciumku ya.”, komentarnya, ketika bibir kami berpisah.

    “Kalau kamu jadi pacarku, setiap hari akan kulakukan.”

    “Heh, nanti bibirku iritasi.”

    Kamipun tertawa. Bersama. Kali ini, aku merasakan sedikit kelegaan. Bukan karena berhasil menciumnya lebih lama, namun karena menit-menit yang berlalu bersamanya terasa jauh lebih indah dibanding 11 tahun belakangan. Momen yang takkan kulupakan seumur hidup.

    “Oh ya, apa Yetz ikut?”, tanyanya. “Sepertinya aku harus pamit dengannya juga.”

    “Mau pergi sekarang?”

    “Mmm… sebenarnya aku tidak mau. Tentu saja tidak mau.”, dia menggeleng. “Aku ingin lebih lama bersamamu. Tapi tubuh yang tidak stabil ini… ini hanyalah sebagian dari diriku, bukan seluruhnya. Tubuhku yang sebenarnya ada di laboratorium. Aku tidak mau hanya eksistensi sementara ini yang merasakannya. Jadi…”

    “Tadi Yetz memang bersamaku. Mudah-mudahan dia belum pergi.”

    Kupanggil cybertron itu. Sosoknya pun muncul dari belokan ke arah kiri, dari balik tembok.



    “Lama sekali mesra-mesraannya.”

    Dan… ini dia, Rika langsung melemparnya dengan salju. Akurat, seperti biasa.

    “Berisik!!!!”

    “Hahaha… ini baru Rika yang kukenal. Kalau yang kelewat lembut seperti tadi, sepertinya beda orang---“

    Dilempar lagi.

    “Itu lemparan terakhir dariku.”

    Rika tersenyum pada Yetz, lalu membuka kedua tangannya lebar-lebar.

    “Kemarilah.”

    Dipeluknya kaleng tua itu.

    “Maaf ya kalau selama ini aku kasar.”, dielusnya Yetz beberapa kali. “Sebenarnya aku tidak pernah benci padamu kok.”

    “Ahaha… ya, aku juga tahu. Lagipula tubuhku tidak akan rusak hanya dengan dilempar salju atau batu kecil. Hanya tendanganmu saja yang kadang membuatku pusing sedikit.”

    “Jangan kangen padaku ya.”

    “Tidak bisa kujamin. Sesekali pasti aku ingin dilempar dan ditendang lagi.”

    “Hih, kaleng masochist. Menjijikkan.” Ekspresi Rika berubah, seakan sedang melihat kotoran kuda.

    “Jadi, coklatnya untukku?”

    “Seenaknya saja.”, Rika menggenggam erat coklat itu, lalu menariknya ke arah tubuhnya. “Kamu kan bukan pacarku. Ini untuk…”



    Matanya melirik ke arahku. Yetz, yang sepertinya lumayan tahu diri, menyingkir sekitar 3 meter ke arah kiri Rika.

    “Sudah, cepat berikan.”, ujarku.

    “Tidak sabaran sekali sih? Sebelumnya, kamu harus bilang dulu passwordnya.”

    “Hah? Password? Memangnya ini urusan menjebol pintu?”

    “Ya sudah, tidak akan kuberikan.” Wajahnya cemberut.

    Password? Apa mungkin…

    “Begitu kamu menerima coklat ini dan mendengar apa yang kukatakan, aku akan…”

    “Ya, Rika. Aku sudah tahu.”



    Maka kuhela nafas panjang. Tidak ada lagi keraguan. Dia hanya ingin mendengar pernyataan secara jelas dari mulutku, dari jiwaku, dari hatiku.

    Mata kami bertemu. Kutatap jauh ke dalamnya. Kugenggam lembut kedua tangannya yang sedang menggenggam coklat.



    “Rika, aku cinta padamu. Aku… benar-benar mencintaimu. Hanya kamu, tidak ada yang lain.”



    Dengan tulus kukatakan pernyataan cintaku, yang belum pernah kuberikan pada perempuan manapun selain Rika.



    “Mmm. Aku juga, Dennis. Cintaku hanya untukmu. Sudah terlalu lama kupendam… dan aku ingin hanya kamu yang memilikinya.”



    Sesuai perkataan Rika, tubuhnya kembali berubah transparan. Coklat itupun jatuh ke genggamanku.

    “Itu buatanku sendiri lho. Beberapa kali gagal, dan hanya itu yang berhasil. Maaf kalau terlambat diberikan.”

    Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Entah sudah berapa banyak yang dikeluarkannya hari ini.

    Perlahan butir-butir cahaya kebiruan muncul di sekitarnya. Membumbung, terus, tinggi hingga ke awan-awan. Sosok tembus pandangnya bermandikan cahaya, berwarna sama dengan kilauan matanya. Bagai pertunjukan cahaya yang indah, menghiasi malam bersalju yang sepertinya takkan berakhir.


    “Harus dimakan ya.”


    Itulah kata-kata terakhirnya, sebelum pergi dibawa oleh tarian kristal-kristal safir yang nampak begitu hangat.

    Ah… aku menangis lagi. Mengalir dengan sendirinya, bersamaan dengan hilangnya Rika dari pandangan.



    Cahaya terakhir melayang perlahan ke angkasa ketika Yetz menaruh tangannya di bahu kananku.

    “Jangan lama-lama di sini. Nanti sakit.”

    Perlahan dia menyingkirkan salju yang sudah menumpuk di kepalaku.

    “Dia… pergi. Dia pergi, Yetz.”

    “Mmm. Dia pergi. Tapi…”

    Lagi-lagi Yetz membuat pernyataan mengejutkan.

    “…tidak untuk selamanya.”

    Huh?

    “Sepertinya karena terlalu emosi, kamu tidak ingat apa yang kukatakan saat berlari ke sini. Quantum Hacking-mu menyempurnakan A.L.I.C.E. Project, Dennis. Menyempurnakannya. Jika kamu mau, ada kemungkinan kamu bisa menghidupkannya kembali.”

    “Yetz, jangan bercanda lagi. Ini… serius…”

    “Aku seribu kali lebih serius darimu. Apalagi Rika bilang kalau tubuhnya masih disimpan di laboratorium tempat organisasi itu. Seharusnya masih---”

    Saklar otakku langsung berubah. Tangisku terhenti.

    “Yetz, bisa bantu aku?”

    “Langsung semangat, eh?. Oke, akan kubantu sebisaku. Tapi tetap ikuti aturan main mereka. Setuju?”

    Jika Yetz punya wajah, pastilah dia tersenyum lebar saat ini.

    “Jadi, boleh kuminta coklatnya?”

    “Enak saja. Kamu kan tidak punya mulut.”

    *


    “Yetz, semuanya stabil?”

    “Yap, all green. Pasokan energinya cukup, alirannya pun tak bermasalah. Suhu perangkat, semua stabil.”

    Aku berada di sebuah ruangan besar, dengan suatu platform keperakan setinggi perut berdiri di depanku. Jauh di depannya lagi, ada sebuah balok bening berisi cairan kebiruan, ukurannya cukup untuk menampung tubuh orang dewasa. Ditopang oleh balok logam besar yang tersambung dengan beberapa kabel ke platform dan beberapa sudut ruangan.

    Maka kutekan tombol hijau pada platform.

    Cairan itupun perlahan surut, keluar pada empat lubang pembuangan pada keempat sudut di sisi dasarnya. Sosok seseorang makin jelas terlihat, terbaring di dalamnya.



    Rika.



    Tujuh tahun berlalu sejak saat itu. Proyek Quantum Hacking yang kubuat ternyata tak hanya membantuku lulus dengan nilai tertinggi, namun juga menarik perhatian banyak ilmuwan di Autoburg. Dan sesuai dugaanku, orang-orang yang pernah terlibat dalam A.L.I.C.E. Project adalah yang paling gencar memintaku untuk bergabung. Akupun bergabung dengan syarat fungsi Yetz dikembalikan seperti semula, karena aku sangat yakin hanya dialah yang mampu membantu dalam banyak hal agar proyek berjalan sempurna.

    Itulah yang dimaksud ‘ikuti aturan main mereka’ yang dikatakan Yetz 7 tahun lalu. Yep, aku harus bergabung secara formal dengan orang-orang itu, menunjukkan kejeniusanku segila mungkin, membuat mereka tercengang, dan akhirnya menyerahkan proyek padaku. Dengan demikian, aku bisa membawa kembali seseorang yang kucintai tanpa ada halangan. Tujuh tahun terakhir inipun aku menahan diri untuk tidak mencari wanita lain, karena hatiku terus berkata kalau Rika dapat kembali.

    Dan perasaanku benar.

    Begitu balok bening itu membelah dua secara memanjang dan turun perlahan di sisi masing-masing hingga menyentuh tanah, jemarinya bergerak.

    Pelan.
    Kembali bergerak.
    Sedikit terangkat.

    Kelopak matanya membuka, memancarkan kilau biru safir yang sudah lama tak kulihat. Segera aku berjalan ke arahnya.

    “Hei, Dennis, aku tunggu di luar ya!!”

    Yetz pun meluncur pergi keluar ruangan.



    “Yetz…?”

    Suara Rika terdengar lesu. Tapi jelas, implantasi memori berbekal data dari nanomachine di tubuhnya dapat dikatakan sukses. Buktinya, dia bisa memanggil Yetz.

    “Huh, yang kamu panggil malah dia duluan.”, ujarku ketus.

    “Dennis…? Dennis?!”

    Seketika dia duduk.

    “A-A-Aaa…h…”

    Tangannya bergerak memegangi kepala.

    “Makanya jangan terlalu bernafsu. Akibatnya jadi pusing begitu kan?”

    “Dennis…? Tapi benar kan, itu kamu?!”

    “Hanya ada satu Dennis Rutherford di dunia, yang mencintai seorang perempuan bernama Rika Genjougami.”

    “A-A-Aaaa…”

    Mulutnya kaku, pipinya merona merah.

    “S-Sekarang kamu bisa mengucapkan semuanya dengan gamblang begitu…”

    “Jika bukan dengan kekuatan cinta, aku tidak akan mau melakukan ini semua.”, kusingkirkan poni rambutku.

    “Sudah pintar berlagak ganteng pula… aku jadi ragu kalau kamu itu Dennis yang dulu. Apalagi sekarang pakai jas laboratorium begitu.”

    Akhirnya, tawa ini terulang. Tawa kami berdua, setelah membeku selama 7 tahun.

    “Jadi kamu benar-benar melakukannya ya…”

    “Mmm. Apapun akan kulakukan demi dirimu. Tujuh tahun ini aku berjuang sangat keras, hanya untuk mengembalikanmu.”

    “Iya, iya. Terima kasih banyak.”, jawabnya ketus. “Tapi… ngomong-ngomong, kenapa udaranya dingin begini---“ Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri.

    “Eh?”

    Diapun menengok ke arah tubuhnya.



    “HYAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”



    Jelas saja dia tidak mengenakan pakaian apapun. Aku tidak mau benda asing masuk ke mesinnya ---benang, misalnya---, ataupun mengganggu cairan stabilizer yang menyokong tubuhnya selama 7 tahun.

    “D-D-Dennis!! S-Selama ini… k-kamu lihat?!”

    “Aku bohong jika bilang tidak. Tapi lumayan juga ya, ternyata nampak lebih besar jika tidak pakai baju.”

    “K-K-K-Kurang ajar!!!! J-Jangan-jangan kamu juga suka pegang-pegang---“

    “Heh, aku tidak serendah itu. Urusan kontak langsung dengan tubuhmu, sudah pasti hanya Yetz yang kuijinkan.”

    “B-Begitu ya…”, wajahnya nampak lega. Hanya sesaat. “T-Tapi sekarang cepat berikan aku pakaian!! APAPUN!!!! Atau jangan-jangan kamu ingin melihat tubuhku lebih lama---”

    Kulepas jas laboratoriumku, lalu menyelimuti Rika dengan itu.

    “Kancingkan jasnya. Setidaknya cukup untuk menutupi bagian-bagian penting.”

    “M-Mmm.”, dia mengangguk pelan, lalu mengancingkan seluruhnya.

    “Sempit?”

    “Sedikit.”

    “Makanya jangan besar-besar---“

    “D-Dennis…!!!! Sudah, cukuuuuppp!!”

    Terdengar bunyi dari kantong jas ketika Rika bangkit berdiri dan ingin memukulku.



    “Uh?”, tangan kanannya merogoh kantong.

    “Argh, gagal sudah kejutanku.”, kutepuk dahi.

    Dikeluarkannya apa yang ada di situ. Sekantung coklat, kecil-kecil berbentuk hati. Karena tidak cocok bagi pria sepertiku untuk membeli pita berwarna pink, maka yang kuikatkan di plastik transparannya adalah pita biru muda.

    “Ini…”

    “Buatanku. Sepertinya tidak adil jika kamu memberiku buatan tanganmu sendiri, sementara aku hanya membeli dari toko.”

    “Boleh kumakan?”

    Matanya langsung berbinar-binar.

    “Kalau sudah urusan makanan, langsung semangat begitu… Iya, iya, boleh.”

    Dibukanya dengan cepat pita pengikatnya, lalu segera melemparkan satu buah ke mulutnya.

    “Mmm. Enak. Kalau boleh jujur, ini lebih enak dari eksperimenku yang puluhan kali itu.”

    “Baguslah kalau kamu suka.”

    Tujuh tahun berlalu, akhirnya aku dapat melihat senyum lebarnya lagi.

    “Sekali lagi, terima kasih ya. Terima kasih untuk coklat dan kerja kerasnya.”

    Tanpa ragu dia mendekatkan kepalaku dengan lembut ke arahnya. Jarak antara bibirku dengan bibirnya hanya kurang dari 5 sentimeter sekarang. Dan… ini dia, ciuman ketigaku. Nafasnya terasa hangat, gerakan otot lidahnya terasa begitu nyata.

    “Bagaimana, Dennis?”



    “Hmm… rasa coklat. Coklat digital.”



    =====================================

    Spoiler untuk Trivia :

    Spoiler untuk Chapter 1 :

    • Dennis Rutherford merupakan gabungan dari 2 nama:
      ---> Dennis Ritchie, pembuat bahasa pemrograman C.
      ---> Ernest Rutherford, bapak dari fisika nuklir.
    • Rika Genjougami (Japanese name order: Genjougami Rika) memiliki nama dalam huruf kanji: 限上神 理科
      ---> 限 (gen, kan, kagiri) = batas, boundary/limit
      ---> 上 (jou, shou, ue) = di atas, above
      ---> 神 (shin, jin, kami, gami) = dewa, god/deity
      ------> 限上神 (genjougami) = "god/deity above the limit"
      ---> 理 (ri, kotowari) = logika, logic/reason
      ---> 科 (ka, shina) = tingkat, grade
      ------> 理科 (rika) = sains
      Literally, "scientific god/deity above the limit"
    • Head-Up Display itu kira-kira kayak gini:
      Spoiler untuk gambar :

      atau
      Spoiler untuk gambar lagi :

      Tapi ngambang di depan seseorang tanpa perantara kaca/layar/dan sejenisnya. Kalo di cerita ini, HUD-unit nya bisa nongol tiba-tiba karena manipulasi dari nanomachine.
    • Yetzirah (Hebrew) = bentukan/ciptaan, formation/creation


    Spoiler untuk Chapter 2 :

    • Altostratus adalah salah satu jenis awan yang dapat menurunkan hujan atau salju. Jadi, gak heran kalo chara utama bisa memprediksi bakal turun salju.
      Quote Originally Posted by http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_cloud_types
      Clouds of the genus altostratus form when a large convectively stable airmass is lifted to condensation in the mid-altitude level of the troposphere, usually along a frontal system. Altostratus can bring light rain or snow. If the precipitation becomes continuous, it may thicken into nimbostratus which can bring precipitation of moderate to heavy intensity.
    • Risotto termasuk makanan Italia, bahan dan bumbu utamanya adalah seperti yang ditulis di cerita (+ sedikit wine). Lauknya bisa macem" tergantung selera.
      Spoiler untuk gambarnya :

    • Standard Model adalah teori tentang partikel-partikel perantara 3 gaya dasar yg sudah dibuktikan keberadaannya (elektromagnetik, gaya kuat, gaya lemah) dan juga partikel-partikel subatomik elementer dalam mekanika kuantum.
    • Quark adalah partikel dasar penyusun materi, hadron jika bicara spesifiknya. Proton dan neutron termasuk keluarga hadron, dan tersusun atas quark. (Tabel rangkuman jenis-jenisnya: http://en.wikipedia.org/wiki/Quark#Table_of_properties)


    Spoiler untuk Chapter 3 :

    • Pada dasarnya, seluruh partikel di alam semesta dapat dibagi menjadi fermion (punya massa) dan boson (gauge boson = perantara gaya + gak punya massa, Higgs boson = partikel elementer masif tapi sifatnya beda total dari fermion)


    Spoiler untuk Chapter 4 :

    N/A.

    Spoiler untuk Chapter 5 :

    • Model atom Rutherford (planetary model) itu yang kayak gini:
    • Primus inter pares (Latin) = first among equals.


    Spoiler untuk Chapter 6 :

    N/A.



    Spoiler untuk Afterwords :

    Mini series. Format cerita yang jarang gw bikin, baru pengalaman 1 kali.

    Bagaimanapun juga ini jadi tantangan tersendiri buat gw, yang sedikit maksa gw buat meminimalisir "sistem" (dimana complex-scientific adalah favorit gw) dan memasukkan galau galau romantis sebanyak" nya.

    Sebenernya asik sih bikin scene" romantic gitu, cuma ya ga terbiasa aja kalo terlalu dikompres begini. Well, tapi tetep ini jadi pengalaman yang asik.
    FYI, last scene dimana Rika ngilang itu adalah yang paling gw suka. Ngebayanginnya sebelum ditulis udah bikin nangis" sendiri.

    Anyway thanks buat semua yang baca cerita ini. Baik yang wajib baca kayak para juri, para peserta lainnya, dan juga hei kalian para stalker yang baca via share link di Twitter

    Sampai ketemu di cerita-cerita berikutnya Khususnya Gnosis || Saint || Archangel
    Last edited by LunarCrusade; 27-03-13 at 20:55.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  10. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  11. #6
    Dlucario's Avatar
    Join Date
    Nov 2012
    Posts
    431
    Points
    19,914.57
    Thanks: 7 / 25 / 23

    Default

    Title : Triangle Square

    Genre : Romance, Comedy

    Author : Dlucario


    Spoiler untuk Page 1 : We will Never Eat at that Place again :
    Akhir januari masih terasa sangat dingin meski butir-butir salju sudah berhenti berguguran sejak beberapa hari yang lalu. Mungkin karena cahaya matahari yang akhir-akhir ini gemar bersembunyi dibalik awan kelabu, gumpalan es yang menumpuk di ruas jalan sama sekali belum meleleh. Sesekali angin musim dingin berhembus, membuat wajah telanjangku seakan membeku.

    Aku menggosokkan kedua sarung tanganku satu sama lain untuk memproduksi sedikit panas, kemudian menempelkannya pada pipiku. Tiba-tiba sebuah suara yang terdengar tak asing memanggil akrab namaku dari arah belakang.

    “Akiraa!”, seru suara itu.

    Aku menoleh pada sosok yang memanggil namaku, dan mendapati seorang gadis berambut coklat kastanye panjang sedang berlari mendekat.

    “Ohayou, Yanagi.”, sapaku balik, sambil tersenyum singkat.

    Ia kini berhenti berlari dan mulai berjalan disampingku. Cukup dekat sehingga aroma jasmin yang menyejukkan dapat tercium dari tubuhnya yang hanya beberapa senti lebih pendek.

    “Hari ini-pun kamu datang pagi-pagi sekali ya, Akira.”, katanya sambil balas tersenyum. “Udara dingin begini, kalau saja sekarang hari libur aku pasti masih tidur.”

    “Aku sih, bisa-bisa langsung masuk angin kalau terlalu lama tidur ditengah suhu seperti ini.”

    “Itu karena kamu jarang menggerakkan tubuhmu untuk beraktivitas. Olahraga lah sekali-kali!”

    Ia tertawa mengejek.

    Dan basa-basi kecil kami berlanjut selama beberapa belas menit kedepan. Tidak sulit menemukan topik pembicaraan yang nyaman, tentu saja karena aku sudah mengenal Yanagi sejak lama.

    Kirisawa Yanagi, gadis berkulit cerah dengan mata hazel besar yang menghias indah di wajah cantiknya ini merupakan salah satu teman masa kecilku. Pertama kali aku mengenalnya saat kami masih duduk dibangku sekolah dasar. Selain itu, rumah kami juga berdekatan sehingga tidak jarang aku berpapasan dengannya ketika hendak pergi kesekolah.

    “Ngomong-ngomong, Akira. Aku tidak melihat Jin sejak kemarin?”

    Dan, arah pembicaraan kami berlabuh pada seorang lagi teman masa kecilku. Ah.. lebih tepatnya, teman masa kecil kami.

    Aku—Sengoku Akira, Kirisawa Yanagi, dan seorang lagi, Akasaka Jin, kami bertiga sudah cukup akrab sejak sekolah dasar, dan bisa dibilang, tidak pernah terpisahkan bahkan setelah beranjak ke-tingkatan selanjutnya.

    “Kalau tidak salah.. dia bersama Kobayashi-san, kemarin.”

    Aku menjawab seadanya.

    “Si bodoh itu..”, Yanagi menghela nafas berat sambil menepuk satu telapak tangan pada wajahnya.

    Aku hanya tertawa melihat perubahan tiba-tiba pada ekspresi wajah Yanagi.

    Akasaka Jin, makhluk yang satu ini memang tidak diragukan amat-sangat berbahaya, khususnya bagi kaum hawa. Meski aku juga laki-laki, kuakui Jin dianugrahi wajah tampan yang tidak bisa dibandingkan denganku, cukup tampan untuk menunaikan kebrengsekannya menggait puluhan perempuan dalam lima tahun karirnya bersekolah ditingkat menengah dan atas.

    “Hey.. hey.. Akira, bagaimana kalau sepulang sekolah kita mampir ke-restoran cepat saji yang baru saja dibuka itu? Kudengar burger mereka rasanya enak sekali.”

    Antusiasme-nya mendadak naik.

    Gadis yang satu ini memang paling semangat kalau masalah makanan lezat. Pengetahuan yang menyedihkan, namun aku tahu betul kalau hobi nomor duanya setelah berolahraga adalah makan. Kenyataan yang sulit dipercaya jika melihat tubuh ramping sempurnanya.

    “Hmm.. boleh juga. Akan kucoba mengajak Jin ketika dikelas nanti. Yah, meskipun hari ini juga aku yakin ia pasti sudah janji akan berkencan dengan gadis lain.”

    “Tidak masalah, kita bisa pergi berdua saja kalau si bodoh itu punya acara lain.”, ujar Yanagi dengan riang.

    Aku yakin Yanagi tidak memberi maksud apa-apa, namun tentu saja ketika menangkap arti lain dalam kalimatnya jantungku jadi berdetak sedikit lebih kencang selama beberapa saat.

    “Kalau begitu, sampai nanti Akira.”

    Yanagi menepuk pundakku kemudian berlari menuju gerbang sekolah untuk bergabung dengan beberapa teman perempuannya.



    “Sup, Akira.”, satu lagi suara yang familiar menyapaku dari belakang.

    “Ohayou, Jin.”, balasku pada suara itu. “Kau tidak bersama Kobayashi-san pagi ini?”

    Kobayashi Yumi, siswi kelas satu disekolah kami. Cukup mengerikan jika mengingat bahwa Jin baru mengenalnya sekitar satu minggu yang lalu, dan semalam ia sudah berhasil menangkap—, maksudku menginap dikamar gadis itu.

    “Ahh..Yumi-chan, kurasa dia masih tidur sekarang. Ngomong-ngomong, aku tidak menyangka kalau yang kemarin itu pengalaman pertamanya, jadi..”

    “Tidak usah dilanjutkan.”, aku menghentikannya sebelum pembicaraan kami menjurus kearah yang seharusnya tidak dibicarakan pada pagi hari seperti ini.

    “Lalu, Akira.. PR matematika kemarin,”

    Aku menghela nafas panjang.

    “Kau lupa mengerjakannya karena terlalu 'sibuk' semalam?”

    Aku sengaja menekankan kata 'sibuk' sambil memandang sinis padanya.

    “You’re awesome, bro.”, kata Jin, sambil mengacungkan jempolnya padaku.

    “You owe me one..”, balasku, sambil menyerahkan buku catatan matematika-ku padanya.

    “Sebagai ungkapan balas budi, akan kuperkenalkan kau pada.. tunggu sebentar.”, Dari saku jaketnya, Jin menarik sebuah buku catatan kecil berwarna hitam dengan tulisan ‘PlayNote’ berwarna putih tertera di sampulnya. Ia membuka beberapa halaman dengan lihai dan, “Aahh, ini dia, nomor 8, Sera-chan,”

    “Hentikan, dan tidak terimakasih.”, kataku sambil berjalan menjauh.

    “Tunggu dulu, hey Akira. Aku mengenalnya saat masih di tingkat menengah, dan selain berciuman kami tidak melakukan yang lainnya. Jadi, kurasa ia masih pera—“

    “Uaahh, sudah kubilang hentikan bodoh, dan jangan mengejarku!”

    “Hahaha.. jangan marah begitu, aku cuma bercanda.”, katanya sambil merangkul pundakku.

    “Jin.. sepulang sekolah nanti, kau ada urusan tidak?”, aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

    “Apa? apa? Kau mengajakku kencan? Kalau untuk Akira-chan sih, aku tidak keberatan membatalkan janji dengan satu-dua orang perempuan.”, Ujar Jin, sambil mengelus poni rambut yang ia biarkan memanjang sampai menutupi sebelah matanya.

    Oke, aku mulai merinding sekarang.

    “Yanagi mengajak kita makan di restoran cepat saji yang baru itu. Kau tahu kan?”

    Aku mencoba menormalkan kembali arah pembicaraan.

    “Ah, aku tahu-aku tahu! Aku sudah janji akan mengajak Riku-chan ketempat itu, hari minggu nanti.”

    “Cukup menjawab ‘aku tahu’ saja sudah cukup!”

    “Ahahaha.. maaf-maaf.”

    “Jadi, kau ikut tidak?”

    “Hmm.. aku sudah punya janji dengan Yumi-chan hari ini, sepertinya tidak bisa. Sampaikan saja salamku pada Yanagi, ya.”




    Dan sepulang sekolah...

    Kami bertiga duduk di pojokan sebuah restoran cepat saji bernama ‘The Burger’.. penamaan yang kreatif sekali. Tepat disamping kiriku adalah jendela kaca besar yang membentang seperti dinding transparan. Karena jendela tersebut menghadap jalan, sesekali aku bisa melihat lalu lalang remaja yang berpakaian sama dengan kami. Tidak aneh, karena restoran ini memang terletak dekat sekali dengan sekolah.

    “Kupikir salah seorang dari kita sedang berkencan sekarang?”

    Yanagi berkata ketus pada pria berambut hitam lurus yang duduk bersebrangan darinya.

    “Tali persahabatan mengikat diriku jauh lebih erat dari hubungan asmara.”, Jin merespon sambil tersenyum bangga.

    Aku yang duduk tepat disebelah Jin berujar dengan santai, “Yang sebenarnya, Kobayashi-san tidak masuk sekolah hari ini. Bingung karena tidak tahu harus kemana lagi sepulang sekolah, kau memutuskan untuk pergi bersama kami. The End.”

    “Awesome indeed, Sengoku-sama.”, sambung Jin, sambil bertepuk tangan pelan dengan penghayatan yang dibuat-buat.

    “Baka!”, sembur Yanagi.

    “Hatiku sudah terlampau tangguh untuk menerima makian kelas rendah seperti itu, Ojou-sama.”

    Kali ini Jin berbicara sambil meniru gaya pelayan keluarga kaya. Perlu kuakui kalau ia cukup bagus dalam hal ini. Mungkin bisa dibilang, berakting sudah seperti bakat alami nomor duanya setelah menculik—, maksudku merayu perempuan.

    “Ooohh!! Akira, Bang-able Lady outside, what'd you think?”, kata Jin spontan sambil menepuk-nepuk pundakku.

    “Bang-able what? are you crazy!? ”, meski berkata seperti itu, aku tetap saja melihat kearah yang ia beritahukan.

    “Yeah, that's one hell of crazy ass. Nice one there, bro.”

    Si bodoh itu malah mengacungkan jempol padaku.

    “That’s not it, you *****!”, refleks, aku juga memandang bokong si perempuan. WTF, pikiran dan perkataanku jadi tidak sejalan sama sekali!

    “Hey, kalian..”, Yanagi berkata sambil bergantian melihat kearah kami.

    “Bet your virginity, i can take her home next week.”, lanjut Jin tanpa mempedulikan Yanagi.

    “What did you say? No!!”

    “Jangan seenaknya menelantarkanku dalam obrolan kalian sendiri!!!”, akhirnya Yanagi kehilangan kesabarannya.

    Duaaakkk!!*

    “Yanagi used Karate Chop on Jin’s Head. It’s super Effective.”, aku berseru pelan.

    “Ke..kenapa cuma aku saja yang kena..”, kata Jin, dengan ekspresi kesakitan asli tergambar pada wajahnya.

    “Karena kamu yang paling dekat.”

    “Masuk akal sekali!”

    “Pokoknya, jangan seenaknya saja berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti! lagipula aku paling benci merasa ditelantarkan seperti tadi.”, Yanagi bersikeras.

    Yanagi memang lemah dalam berbahasa inggris, sebaliknya aku dan Jin sama sekali tidak merasa kesulitan berbincang menggunakannya. Jin menyadari keuntungan tersebut, dan sengaja menggunakannya di beberapa topik yang memang tidak seharusnya Yanagi dengar. Jujur saja, hal ini cukup praktis jika dimanfaatkan dengan benar.

    “Percuma memperlihatkan buku itu padaku, aku tidak tertarik.. Atau, kamu berencana membunuhku dengan menulis namaku disitu?”, Yanagi berkata sinis sambil melipat kedua tangannya.

    “Memangnya aku Light Yagami!?”

    Tapi sudah lama juga aku tidak melihat mereka bertengkar seperti ini. Yah, wajar saja.. semenjak kami beranjak ke tingkat atas dan menemukan kesibukan sendiri, berkumpul bertiga seperti ini sudah bukan menjadi kebiasaan lagi.

    “Maaf menunggu.”, kata seorang pelayan laki-laki yang bertugas mengantarkan pesanan kami. Ia Kemudian meletakkan satu-persatu pesanan kami diatas meja, kemudian membungkuk dan pergi.

    “Terimakasih.”, kataku pada pelayan itu. Oh, aku belum pernah melihat burger dihidangkan seperti ini. Burger kami masing-masing diletakkan diatas sebuah piring besi berwarna perak, bersamaan dengan kentang goreng disebelahnya sebagai hidangan sampingan.

    “Sugoiii, aku belum pernah melihat burger sebesar ini seumur hidupku!”, seru Yanagi dengan ekspresi bersemangat.

    “Yang benar saja, kalau besar begini bagaimana aku memakannya?”, kata Jin, sambil kemudian meletakkan jari telunjuknya pada permukaan piring besi itu, “P—Panass!”

    “Kau menggunakan pisau dan garpu untuk memakannya, lihat.”

    Aku mengambil pisau dan garpu perak yang keseluruhannya terbalut oleh tisu berwarna putih.

    “Tadinya kukira ini cuma tumpukan tisu biasa.”

    “Mereka sengaja membalutnya agar kedua benda ini tetap steril. Sejujurnya, aku juga baru pertama kali melihatnya. Biasanya servis seperti ini hanya ada di restoran besar.”

    “Hooo.. bisa tahu hal seperti itu, peringkat pertama satu sekolah memang hebat ya.”

    Aku agak tersentak mendengar perkataan Jin. Si bodoh itu.. tidak seharusnya ia mengatakannya sekarang.

    “Eeh.. Peringkat pertama, Akira? Aku baru dengar, benarkah?”

    Yanagi tampak terkejut mendengar perkataan Jin. Wajar saja, aku belum mengatakan apapun padanya.

    “Haah? Jangan bilang kau tidak tahu, tunggu.. kau tidak memberitahunya, Akira?”, Jin meminta penjelasan.

    Kini mereka berdua menatap kearahku.

    Yah.. cepat atau lambat memang harus kukatakan. So, be it.

    “Aku.. mendapat rekomendasi untuk melanjutkan sekolah di Amerika mulai semester ini. Rencananya, aku akan berangkat pada petengahan Februari. Maaf aku tidak sempat mengatakannya pada mu, Yanagi.”

    Aku berkata setelah menarik nafas dalam.

    Entah kenapa memberitahukan hal ini pada Yanagi terasa seratus kali lebih berat daripada mengatakannya pada Jin. Kalau kuingat lagi, bulan November lalu sepulang sekolah..


    “Sepertinya aku akan melanjutkan sekolah di Amerika mulai semester depan.”

    “Amerika, Got it bro. Jangan lupa mintakan tanda tangan The Beatles untukku kalau sudah sampai disana.”

    “The Beatles itu dari Inggris.”

    “Apa bedanya?”



    Kira-kira seperti itu.

    “Sekolah.. rasanya akan terasa sepi kalau kamu pergi.”

    Kata-kata Yanagi membawaku kembali dari momen konyol itu.

    Ia tersenyum, tapi wajahnya kelihatan murung. Uhh, dadaku kini terasa sesak melihatnya. Seharusnya aku yang murung karena mengatakan hal ini padanya.

    Membayangkan kalau aku tidak bisa lagi melihatnya, melihat perempuan yang ku..

    "Tapi kau belum akan pergi dalam waktu yang dekat, kan?" Gadis itu melanjutkan.

    “Yah, Begitulah..”, kataku tak yakin.

    “Tapi, peringkat pertama satu sekolah, huh? Tidak heran kamu dipanggil ke Amerika. Sementara aku, sebelum liburan kemarin harus mengikuti pelajaran tambahan karena tidak lulus di tiga mata pelajaran.”, ujar Yanagi kesal. Suram diwajahnya juga sudah hilang sekarang.

    “Ti.. tiga mata pelajaran? Kalau sebanyak itu sih harusnya kau mengulang saja sekalian.”

    Dan ejekan dari Jin kembali menghidupkan suasana.

    “Heh, aku tidak sudi mengulang setahun. Membayangkan harus memanggilmu ‘senpai’ saja sudah cukup membuatku merinding.”

    “Kalian berdua, cukup..”

    Aku berusaha melerai.

    “Aaahh.. Peringkat satu memang beda ya. Apa otakku bisa ditukar kalau kepalamu kutelan sekarang?”, gumam Yanagi dengan ekspresi penasaran diwajahnya

    “Ide bagus, patut dicoba.”

    Jin mengacungkan jempolnya pada Yanagi.

    “Se-Sebaiknya kita makan burgernya sekarang. Perutku sudah lapar sekali, Itadakimasu!”, seruku cepat untuk membunuh topik tentang kepalaku.

    “Oohh.. itadakimasu!!”, Yanagi berseru dengan riang.

    “Itadakimasu.”, lanjut Jin.

    Gigitan pertama.. Sweet Lord! Jika kami bertiga adalah karakter komik, sekarang ini pasti ada efek listrik yang dengan cepat mengalir horizontal diantara kepala kami, tidak lupa shading realistis dan keringat yang mengucur disekujur wajah.

    “A..aku tidak mau makan burger lain lagi, selain ditempat ini.”, kataku pelan.

    “Ini.. ini pasti burger terenak yang pernah dibuat manusia. Aku tidak akan bisa berhenti memakannya.”, ujar Yanagi dengan suara begetar.

    Tidak ada suara dari Jin. Penasaran, aku menengok kearahnya dan mendapatinya sedang terdiam, beku seperti batu. Dia keracunan?

    “Rasanya..”, Jin berkata perlahan, “Aku baru saja mengalami ‘Burgasme’ pertamaku..”

    Aku dan Yanagi langsung muntah mendengarnya. Sejak hari itu, kami tidak pernah makan disana lagi.


    Spoiler untuk Page 2 : This is an Important Day, Do You Like Curry? :
    “Nee-chan, Nee-chan, ayo bangun.”

    “Umm..”

    “Ohayou, Nee-chan.”, sahut seorang anak laki-laki yang sedang berdiri disamping ranjang tidurnya, sambil tersenyum.

    Masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, Kirisawa Yanagi bangkit dari kasurnya dan mendapati keberadaan seorang anak lelaki berdiri tepat didepan matanya. Kicauan burung kecil yang samar-samar dapat terdengar, membantu membawanya kembali dari alam mimpi. Matanya yang tadi hanya menatap kosong, kini membuka dengan cepat, dan sosok tubuh dengan tinggi tidak jauh beda dari tingginya sendiri, wajah kekanak-kanakan yang sedang tersenyum polos, serta warna rambut kastanye yang sama mulai terpapar jelas.

    “Ji..Jiro!”, teriak Yanagi histeris, sambil menyingkirkan sejumput rambut teruntai menutupi pandangannya, “Sudah kubilang jangan masuk ke-kamarku tanpa izin!”

    “Tapi..”

    “Mama menyuruhmu membangunkanku?”

    “Tidak juga, aku ingin melihat wajah tidur Nee-chan, jadi..”

    “Keluar!!!!”, Teriak Yanagi, sambil tanpa ampun menendang adiknya keluar dari kamar, kemudian dengan cepat menutup kembali pintu kamarnya yang terbuka.



    Selesai bersiap untuk pergi sekolah, Yanagi berdiri sejenak didepan meja belajarnya yang dipenuhi berbagai hiasan berwarna cerah. Matanya terpaku pada sebuah sebuah foto berbingkai plastik motif kayu. Sudah menjadi kebiasaannya tiap pagi untuk memandang foto yang mengabadikan sosok tiga orang anak didalamnya itu.

    Dua orang anak laki-laki, yang satu memiliki rambut hitam lurus, sedang yang satunya lagi memiliki rambut pendek berwarna biru gelap. Ditengah mereka, seorang anak perempuan yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

    Ia tidak tahu bagaimana hal ini bisa menjadi kebiasaan rutin, namun entah kenapa ia bisa merasakan ketenangan yang aneh ketika melihat foto itu. Ketenangan itulah yang membantunya memulai setiap hari baru. Ia percaya bahwa dirinya akan tetap sama seperti foto ini, ‘tetap bersama’. Bertahun-tahun hal itu tetap tak berubah, membuatnya juga tak pernah berpikir tentang kata perpisahan.

    Jari-jari lentiknya menghampiri wajah seorang anak laki-laki yang sedang berdiri disampingnya dalam foto itu.

    Ini hari yang penting, pinjamkan aku kekuatan ya...

    Setelah mengatakan hal itu dalam hati, Yanagi mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar dari kamarnya.



    Bangun pagi memang bukan kelebihannya, namun berjalan dari rumah ke-sekolah tidak diragukan lagi merupakan perjalanan kaki favoritnya sejak memasuki semester baru. Perjalanan 20 menit ini selalu segar dalam memori, terutama elusan angin musim dingin yang diredam jaket tebalnya sehingga menimbulkan rasa sejuk yang nyaman.

    Ketika jalur mulai berubah agak menanjak, beberapa remaja berseragam sama mulai terlihat ramai mewarnai sudut-sudut jalan. Saat itu, Yanagi biasanya bergabung dengan teman-teman perempuannya. Popularitasnya diberbagai bidang olahraga kerap menjadikannya pusat perhatian, tidak hanya diantara pada laki-laki, namun juga teman-teman perempuannya. Dilihat dari sisi manapun, tentu saja hal itu sangat baik. Mengingat dirinya dulu yang hanya memiliki Akira dan Jin sebagai teman bermain..

    “Kyaaaa, Jin-sama.”

    Yanagi mendengar beberapa orang perempuan tidak jauh darinya bersorak pelan. Beberapa perempuan lain juga mengikuti. Tentu saja ‘Jin’ yang mereka maksud adalah Akasaka Jin. Pria tinggi berwajah tampan, bertubuh langsing, dengan rambut panjang sampai menutupi sebelah matanya, itulah Jin. Tidak mengejutkan dengan semua bekal itu ia dapat menarik perhatian para gadis, bahkan hanya dengan berjalan diantara mereka. Disamping Jin, adalah orang yang bisa dibilang sebagai murid nomor satu disekolah. Sengoku Akira, pria berambut biru gelap itu bahkan juga ditawari untuk melanjutkan sekolah di Amerika karena prestasi akademiknya yang jauh melebihi murid lain.

    “Hey, orang yang berjalan bersama Jin-sama itu lumayan juga ya?”

    Kembali.. mereka ini memang gemar bergosip. Meski Yanagi agak terganggu dengan ucapan mereka, tentu saja ia tidak dengan lantang menyuruh mereka berhenti.

    “Kalau tidak salah itu Sengoku-san, kudengar ia menduduki peringkat pertama di tahunnya.”

    "Heeee.. kira-kira dia sudah punya pacar belum ya?”

    “Uaahh, jahat! Padahal aku yang melihatnya duluan.”

    Sekarang mereka bicara seolah Akira benda untuk diperebutkan. Ingin sekali ia menghampiri dan membentak para gadis yang hanya bisa bicara seenaknya itu, tapi dirinya yang sekarang bukanlah figur yang patut melakukan hal demikian. Lagipula jika dibiarkan, bahan gosip mereka akan terus berganti. Ia hanya perlu diam dan mendengar dengan sabar, ini tidak akan membunuhnya.

    Seolah tidak melihat apapun, Yanagi kembali berjalan seperti biasa. Ia bukan lagi dirinya yang dulu, ia tidak lagi hanya memiliki Akira dan Jin. Ia sudah dikelilingi banyak orang sekarang, dan ia tidak mungkin terus-terusan bermain bersama mereka berdua. Ini SMA, tidak selayaknya seorang gadis menghabiskan sebagian besar waktunya dengan dua orang pria yang bukan pacarnya. Ia tahu betul akan hal itu. Tapi bukan berarti ia tidak bisa lagi berteman dengan Akira dan Jin. Mereka tetap berteman, mereka tetap bersahabat, tidak ada yang berubah..

    “Hey, lihat itu Ichinose-san,”

    Salah seorang teman Yanagi menunjuk kearah siswi perempuan yang sedang berjalan melalui gerbang sekolah. Sebenarnya tidak perlu menunjuk pun, siswi perempuan itu sudah cukup menarik banyak perhatian.

    “Sudah dengar belum, katanya kemarin dia menolak Kurosawa dari klub Basket.”

    Sesuai perkiraan Yanagi, bahan gosip mereka kembali berganti.

    “Eeehh? dihitung sejak awal semester, ini sudah yang ke-tiga kan. Minggu lalu, Takamura dari klub Sepak bola juga ditolaknya.”

    “Tuan putri dari keluarga kaya memang beda ya, andai saja aku bisa seperti itu.”

    Selalu menjadi pusat perhatian mata dan perbincangan, itulah Ichinose Erika, ketua OSIS sekaligus idola nomor satu disekolah ini. Terlahir ditengah keluarga kaya yang terkenal, serta dianugrahi paras cantik melebihi perempuan manapun dikota kecil seperti ini. Mewarisi darah ayahnya yang merupakan keturunan asing, dan rambut keemasan dengan gaya twin tails yang sudah menjadi ikon penting bagi penampilan majestiknya. Wibawanya sebagai ketua OSIS juga bukan candaan. Kedudukannya yang sekarang ini tidak hanya diraih dengan kecantikan tak tertandingi, namun juga prestasi akademik jauh melebihi rata-rata, serta bakat alami mempengaruhi orang bagai sang Ratu memerintah rakyatnya. Kombinasi sempurna dari penampilan, status, dan kepribadian yang hanya muncul dalam cerita fantasi seperti itu, tidak heran jika seluruh pria disekolah mengidolakannya.

    Ichinose Erika, sosok yang sempurna bagaimanapun orang melihatnya. Namun entah kenapa, ia merasa tidak akan pernah bisa akrab dengan gadis itu.



    “Yanagi-chan, sepulang sekolah nanti mau ikut main bersama kami?”, tanya salah seorang teman sekelasnya usai bel terakhir berbunyi.

    “Gomen, hari ini aku sibuk.”, Yanagi menolak dengan halus. "Lain kali ya."

    Setelah mengatakan hal itu sambil tersenyum, Yanagi beranjak keluar dari kelasnya seorang diri. Tidak seperti biasanya, ia juga tampak terburu-buru menyusuri koridor sekolah tanpa mempedulikan sekitar. Beberapa kali pundak kecilnya berbenturan dengan siswa lain yang juga sedang berjalan menyusuri koridor.

    “Gomen.”

    Tanpa menoleh, Yanagi meminta maaf dengan singkat setiap kali membentur siswa lain, dan terus berjalan tanpa mengurangi kecepatannya, menyebabkan rambut hitam panjangnya melayang anggun beberapa senti dari punggungnya.


    “Huh, itu tadi Yanagi?”, tanya seorang siswa berambut hitam lurus yang juga sedang berjalan dikoridor.

    Siswa berambut biru-gelap yang sedang berjalan disampingnya menunduk perlahan, dan berkata, “Aku penasaran kenapa ia terburu-buru seperti itu sampai tidak memperhatikan kita.”

    “Mungkin karena sebentar lagi akan hujan? Menurut perkiraan cuaca, sore nanti hujan akan turun.”

    “Ah, sebaiknya aku juga cepat-cepat pulang. Aku tidak bawa payung.”

    “Tenang saja, kau bisa berbagi payung denganku.”

    Siswa berambut hitam sambil mengeluarkan payung kecil dari tas sekolahnya.

    “Tidak terimakasih. Sampai besok, Jin.”

    Tanpa mempedulikan temannya, siswa berambut biru-gelap itu berjalan menjauh.

    “Oi, Akira! Paling tidak temani aku bermain di Game Center!”



    Kirisawa Yanagi berjalan ditengah jajaran sayur yang tersegel rapi didalam mesin pendingin untuk menjaga kesegarannya, sambil beberapa kali melirik secarik kertas kecil yang melekat diantara jemari tangan kirinya.

    “Ini dia.”

    Yanagi menarik sebuah paprika yang kelihatan segar, dan meletakkannya dalam keranjang yang ia kaitkan diantara pergelangan tangan kirinya. Ia selalu tersenyum senang setiap kali berhasil mengoleksi bahan makanan yang tertulis di kertas catatan kecil itu. Kertas catatan buatannya sendiri, yang berisi semua yang ia perlukan untuk membuat nasi kari untuk makan malam nanti.

    Mungkin ia begitu bersemangat karena ini adalah pengalaman pertamanya berbelanja di supermarket untuk makan malam, dimana ia akan memasaknya sendiri. Namun satu hal yang membuatnya melakukan semua ini untuk pertama kalinya, tentu saja karena ini adalah hari yang spesial untuknya. Ia membuat catatan, membeli semua bahan makanan yang tercatat didalamnya dan memasaknya sendiri, juga untuk orang yang spesial.

    Orang itu selalu menemaninya bermain ketika ia masih sangat kecil dan sama sekali belum memiliki teman. Meski sekarang orang itu selalu sibuk, bahkan harus menetap selama beberapa bulan di luar negeri, malam ini orang itu berjanji akan pulang ke rumahnya untuk menemaninya makan malam. Bagi Yanagi kedatangan orang itu jauh lebih penting dari apapun saat ini.

    Karena itulah ia menolak ajakan teman-temannya di sekolah tadi, dan dengan terburu-buru berjalan menembus kerumunan siswa di koridor, yang jika saja ada guru, atau siswa dari komite kedisiplinan melihatnya sudah pasti ia akan ditegur.



    Selesai mengumpulkan semua bahan yang ia perlukan, Yanagi melangkah keluar dari pintu otomatis supermarket kecil yang terletak ditengah kota. Angin dingin berhembus mengibarkan rambut panjang dan jaketnya. Dengan kedua tangan, ia pun memeluk kantung plastik putih belanjaannya barusan, untuk melindungi benda itu dari terjangan angin. Merasa hembusan angin barusan jauh lebih keras dari biasanya, Yanagi menengok keatas dan mendapati kumpulan awan gelap bergerak perlahan diudara yang kelabu.

    Setetes air jatuh tepat kewajahnya ketika ia menengadah ke langit, dan bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi dari balik saku jaket tebalnya.

    “Otou-san.”, katanya bersemangat, begitu mendengar suara orang itu dari ponselnya.

    Orang yang sangat spesial baginya, yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Ayah yang menjadi teman pertamanya, bahkan sebelum ia tahu mengerti betul apa itu teman. Ayah yang kini begitu jauh darinya.

    “Yanagi, maaf aku tidak bisa pulang hari ini. Mendadak ada rapat penting yang harus kuhadiri nanti malam.. maaf ya, padahal nanti malam aku sudah janji kita akan makan bersama.”

    Dua tetes.. tiga tetes.. empat tetes.. perlahan satu demi satu tetesan hujan mendarat di rambut dan pundaknya. Namun Yanagi tidak bereaksi sedikitpun, tangannya terdiam kaku, wajah gadis itu yang tadi melihat ke langit, perlahan turun menghadap tanah. Setiap tetesan terasa begitu berat, seakan memaksanya untuk terus diam menghadap tanah.

    “Halo, Yanagi? Kau masih disana?”

    “Y.. ya, aku.. maaf.. aku sedang berbicara dengan temanku tadi.”, Ia berhenti sesaat untuk menahan suaranya yang bergetar, kemudian melanjutkan, ”Tidak apa-apa kok, aku mengerti Otou-san memang sibuk. Tidak usah dipikirkan, semoga beruntung dengan pekerjaan mu.”

    “Begitu.. sekali lagi aku minta maaf, Yanagi. Maaf aku tidak bisa lama, aku harus segera pergi sekarang.”

    Hujan.. Kini hanya suara hujan lah yang bisa ia dengar. Tangan kanannya yang masih menggenggam ponsel memeluk erat kantung belanjaan miliknya. Wajahnya masih menunduk, garis-garis air mengalir melewati rambutnya, menyusuri pipinya. Ia tidak punya tenaga untuk bergerak, hanya mampu berdiri ditengah guyuran hujan. Ia bertanya dalam hati apakah langit sedang ikut menangis bersamanya, atau justru sedang mengejek suasana hatinya.

    Ia marah ketika ayahnya tidak lagi menemaninya bermain ketika ia beranjak dari taman kanak-kanak. Saat ini, ia ingin sekali melakukan hal yang sama karena telah membatalkan janjinya. Janji.. untuk menjadi dirinya di masa lalu dan menemaninya sekali lagi.

    Yanagi tahu ayahnya tidak mungkin kembali seperti dulu lagi, karena itulah yang ia minta hanya sebuah makan malam sederhana. Untuk sehari saja, ia ingin berkumpul bersama keluarga, bersama ibu, adik, dan ayahnya. Makan malam.. untuk sehari saja.. namun sekarang ia bertanya-tanya apakah permintaan itu begitu sulit untuk dikabulkan.

    Pada akhirnya, tidak semua hal bisa tetap sama seperti masa lalu, ya.

    Wajahnya masih tertunduk, tubuhnya masih tidak bergerak, namun perlahan gejolak panas mulai membabi buta menyerang dada dan matanya.

    Naif sekali.. aku memang bodoh..

    Tidak mampu menahan emosi lagi, segaris air yang terasa hangat juga ikut membaur bersama guyuran hujan yang membasahi wajahnya.

    "Aku memang.."

    Berhenti..

    Seperti terhalang sesuatu, hujan berhenti mengguyurnya. Suara derap tetes yang kasar terdengar tidak jauh diatas kepalanya, dan gadis itu pun mendongak kebelakang, kearah sosok yang memegang benda yang melindungi tubuhnya dari guyuran hujan.

    Sosok familiar itu pun perlahan membuka mulutnya.

    “Lihat wajahmu, laki-laki manapun bisa dibuat turun nafsu-nya kalau melihat tampang sejelek itu.”

    Masih tidak mampu berkata apa-apa, Yanagi menengadahkan wajahnya sedikit keatas untuk menatap wajah pemuda itu.

    Sebaliknya, tidak menerima reaksi yang diharapkan, pemuda itu menghela nafas berat sambil menggaruk sisi belakang kepalanya. Ia berkata singkat.

    "Ayo pulang."

    Terdiam sesaat, Yanagi mengusap air yang membasahi wajahnya dengan punggung tangannya, kemudian mengangguk sambil tersenyum manis.

    “Sampai depan rumahmu saja ya.”, kata pemuda itu sambil mulai berjalan.

    “Hei Jin, kamu suka Kari?”, tanya Yanagi dengan nada riang.

    “... Tidak, kalau pakai paprika.”

    "..."


    Spoiler untuk Page 3 : Three Friends and a Girl with Golden Hair :
    Cerah minggu pagi menerangi pelosok kafe bernuansa klasik, yang terletak didalam pusat perbelanjaan terbesar di kota. Duduk dengan formasi mereka yang biasa, Akira, Jin, dan Yanagi didepan mereka berdua. Tidak lupa tiga cangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap, berdiri diatas meja kaca solid menemani obrolan tiga sahabat ini.

    “Menurut kalian.. hari valentine itu apa spesialnya sih?”, Yanagi berkata pelan sambil menyisip mocca latte-nya.

    Kedua laki-laki yang duduk disebrangnya hanya bisa terdiam, melihat satu sama lain, kemudian kembali melihat kearah Yanagi.

    “Ho.. ho.. hoo~ sepertinya kucing kecil kita yang satu ini mulai peka akan cinta.”, ujar Jin dengan nada puitis.

    “Kenapa tiba-tiba kau membicarakan valentine, Yanagi?”, tanya Akira sambil mengaduk pelan kapucino-nya

    “Tidak juga, err.. hanya saja.. teman-temanku mulai sering berbicara tentang valentine, coklat, orang yang mereka sukai, hal seperti itu lah.”, Yanagi tampak kesulitan berungkap.

    Kembali terdiam, Akira sendiri tidak begitu mengerti tentang valentine yang sering diagung-agungkan oleh rakyat di sekolahnya. Topik valentine memang mulai menghangat sejak beberapa hari yang lalu, terutama di kalangan perempuan. Sabtu kemarin ia bahkan mendapati populasi betina di perpustakaan sekolahnya meningkat drastis, dan buku memasak mendadak laris begitu saja.

    “Kalau kau ingin tahu pendapatku, satu-satunya yang kuanggap bagus pada hari valentine hanya persediaan coklat gratis.”, kata Jin santai.

    “Setuju..”, Akira menambahkan.

    High Five serentak antara mereka berdua.

    “Kalian.. mendapat banyak coklat dari valentine tahun lalu kan?”, tanya Yanagi.

    Yanagi ingat obrolan teman-temannya tentang memberikan coklat pada orang yang mereka suka atau kagumi untuk menunjukkan perasaan mereka. Menurutnya memberikan coklat pada orang yang belum tentu mengenal balik itu konyol, dan ia tidak pernah mengerti kenapa para gadis itu tetap melakukannya.

    “Saking banyaknya, aku bisa kena diabetes kalau mengingatnya lagi.", Jin berkata sambil menyeringai.

    “Aku turut berduka pada mereka yang mau-maunya memberikan coklat penuh harapan semu untuk si bodoh ini.”, kata Yanagi sinis.

    “Kau menyimpulkan terlalu cepat.”, Jin menyisip espreso-nya. Kemudian menoleh pada Akira sambil tersenyum licik.

    Sontak, Yanagi melempar tatapannya pada Akira.

    “Akira.. jangan bilang kamu juga..”

    Mengalihkan pandangan dari Yanagi, Akira bisa merasakan hawa dingin aneh yang menusuk wajahnya.

    “A-aku.. memberikan semuanya.. pada keponakanku.”

    Seperti kehabisan tenaga, Yanagi membiarkan tubuhnya terjatuh pada sofa hitam tempatnya duduk dan menepuk wajahnya dengan sebelah tangan.

    “Aku tidak percaya ada gadis yang mau memberikan coklat pada dua orang brengsek ini. Perasaan mereka sukses tersia-siakan.”

    “Oi.. aku tidak sekejam Akira! Beberapa gadis yang beruntung saat itu, pada akhirnya kuajak bermaa-aaww!!”

    Jin berhenti bicara ketika Akira meninju pundaknya.

    “Dengar Yanagi, kau terlalu membesar-besarkan hal ini. Jika benar mereka menyertakan perasaan mereka, yang kami dapatkan saat itu pasti bukan sekedar coklat buatan pabrik dan surat bertuliskan hal tidak penting..”

    Akira mencoba menjelaskan.

    “Surat tidak penting?”, tanya Yanagi dengan wajah curiga.

    “Apa.. tadi aku bilang surat?”

    “A..ki..raa..”

    Hawa dingin kebiruan tampak menyelimuti sekujur tubuh Yanagi.. setidaknya seperti itulah yang terlihat dalam bayangan Akira.

    “Berterimakasih untuk mereka yang menyertakan alamat email atau nomor telpon pada surat cintanya, pekerjaanku jadi lebih mudaaa—aaawww!!”

    Akira kembali meninju pundak Jin.

    “Kalian.. benar-benar..”

    Ekspresi Yanagi berubah sedingin es. Kalau dibiarkan, mungkin sebentar lagi ia akan menyemburkan badai salju dari mulutnya.

    “Ehmm..” Jin sengaja berdehem untuk menarik perhatian kedua temannya. “Begini Yanagi, seperti yang dikatakan Akira, kau sepertinya menganggap semua mitos Valentine ini terlalu serius. Biar kuceritakan suatu kisah.”

    “Nice one, Jin..”, Akira bergumam pelan. Dengan begini perhatian Yanagi bisa teralih untuk sementara.

    “Ribuan tahun yang lalu, pernikahan ketat dilarang dibawah hukum romawi kuno. Karena itulah, Saint Valentine secara rahasia menikahkan orang-orang yang memang ingin menikah, tentu saja tanpa sepengetahuan pemerintah.”

    “Sebenarnya, ini kisah nyata.”, Akira memotong.

    “Saat itu, Saint Valentine memiliki sahabat karib yang bernama.. tunggu sebentar..”, Jin mengalihkan pandangannya kearah kanan sejenak.

    “Tidak.. dia tidak memiliki sahabat karib.”, Akira pura-pura berbisik pada Yanagi.

    “Nitevalen, Saint Nitevalen! Bagaimana mungkin aku lupa.”, seru Jin sambil tersenyum lebar.

    “Itu cuma anagram dari Valentine.” Akira kembali berbisik.

    Jin menoleh pada Akira dengan ekspresi masam. “Bisa tolong berhenti bicara saat aku sedang bercerita, Sengoku-san?”

    Akira langsung meniru gaya menutup resleting pada mulutnya. Yanagi hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua sahabat masa kecilnya itu, tanpa sadar amarahnya tadi kini sirna sama sekali.

    “Bagus, sampai mana tadi.. ah benar, Saint Nitevalen. Memang benar bahwa perbuatan Saint Valentine membawa kebahagiaan bagi pasangan baru, namun tanpa sadar hal itu juga melahirkan perasaan cemburu bagi mereka yang tidak memiliki pasangan. Saat itulah, sebagai sahabat yang baik Saint Nitevalen hadir untuk membereskan segala bentuk kecemburuan yang muncul. Terutama untuk para perempuan yang membutuhkan kehangatan dan indahnnya hubungan...”

    “Oke, stop sampai situ!”

    Akira berseru sebelum cerita Jin menjurus pada aktivitas pribadinya sendiri.

    “Semua perempuan menginginkan kencan pada hari valentine.”, lanjut Jin setelah memutus sebagian skrip kisah buatannya.

    “Tidak semua.”, Yanagi mengkoreksi.

    Jin hanya menatap Yanagi sambil tersenyum kasihan, dan menggeleng pelan.

    “Dan pada tanggal 13 Februari, keinginan tersebut bermutasi menjadi kebutuhan primer. Saat itulah para Nitevaler datang.”

    “Itu konyol.” sembur Yanagi.

    “Kau benar.. tidak banyak orang yang merasakan semangat hari Nitevalen sekarang. Konyol sekali bukan?”, Jin berkata sambil menyisip espreso-nya.

    “Bukan itu bodoh, maksudku tentang semua perempuan yang menginginkan kencan pada hari Valentine. Ada banyak perempuan yang sama sekali tidak peduli dengan hal itu.”

    Yanagi berujar seperti sedang menjelaskan argumen dalam lomba debat tingkat nasional. Akira dan Jin hanya bisa memandangnya dalam bisu, memandang satu sama lain, kemudian kembali memandangnya. Sesungguhnya tidak ada satupun dari mereka yang bisa menghentikan Yanagi jika gadis itu sudah masuk dalam mode pidato-nya.

    “Kalian terlihat sedang bersenang-senang.”

    Sebuah suara, terdengar seperti alunan musik klasik elegan yang kaya akan hipnotis untuk mendiamkan pendengarnya. Hanya satu gadis yang mereka ketahui memiliki suara seperti ini.

    “Ichinose-san.” sapa Akira ramah sambil tersenyum. Setengah senyumnya dimaksudkan untuk berterimakasih karena berhasil mendiamkan Yanagi.

    Ichinose Erika membalas salam Akira dengan sedikit mengangkat pergelangan tangannya, sambil tersenyum anggun.

    “Menyenangkan sekali masih ada satu orang yang cukup sopan untuk menyapa. Boleh aku bergabung?”

    Senyumnya terlalu menawan untuk menyimpan makna sarkastik, sehingga tidak ada diantara mereka yang protes saat gadis berambut emas itu mengambil tempat disebelah Yanagi.

    “Kebetulan yang menyenangkan.” Akira berkata sambil tertawa kecil untuk mencairkan suasana yang mulai membatu. Ia tahu Yanagi tidak pernah menyukai gadis yang saat ini duduk disebelahnya, tapi ia tidak bisa menemukan alasan mengapa Jin terlihat segang tegang sejak kemunculan Ichinose Erika diantara mereka.

    “Apa yang membawamu kesini, Ichinose-san?”

    “Aku sedang menunggu seseorang. Tapi karena dia tidak datang juga, kupikir tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar.”, jawabnya sambil tersenyum. Sesaat ia melirik pada Jin, membuat pemuda itu seperti melewatkan satu detak jantungnya.

    “Ngomong-ngomong, aku juga ada urusan dengan yang satu ini.”

    Ichinose menyapa lembut pundak Yanagi dengan sebelah tangannya.

    “Nona ini terlihat oleh beberapa siswa dan guru berlari di koridor saat bel pulang sekolah baru saja berbunyi.”

    “Oohh!” Akira dan Jin berseru serentak. Tentu saja mereka juga menyaksikan saat gadis berambut hazel ini berlari menyusuri koridor yang penuh tanpa tahu sekeliling.

    “A-Aku.. apa aku secara tidak sengaja s-sudah menyenggol guru atau siswa y-yang bersangkutan?” tanya Yanagi setengah gagap.

    Ichinose hanya mengangguk pelan sambil tersenyum sebagi respon.

    “Anggap saja peringatan kecil. Yah.. aku sih tidak terlalu mementingkan hal seperti ini, tapi kusarankan kau bisa lebih hati-hati lain kali.”

    Ichinose menyeka helai rambut yang berjatuhan dipundaknya, kemudian beranjak dari tempat duduknya.

    “Baiklah, aku harus pergi sekarang. Terimakasih atas waktunya.”

    Seperti tersihir oleh keanggunan, dan tekanan luar biasa, mereka bertiga hanya bisa menatap bisu kepergian gadis berambut emas itu dari belakang.

    “Rasanya, jantungku berhenti beberapa kali saat ia menyentuhku.”, Yanagi berkata dengan nafas memburu.

    “Kau berlebihan.”, Akira menatap masam gadis didepannya.

    “Akira benar Yanagi.”, kata Jin singkat sambil menyeka setetes keringat yang mengalir dari dahinya. “Bagaimanapun sikap seperti itu tidak sopan. Kau harus minta maaf pada Ichinose.”

    “Tapi, kalian tahu sendiri aku benar-benar tidak... tunggu sebentar, anak muda.”, Yanagi memicingkan matanya pada pemuda berambut hitam didepannya. “Jika mataku tidak menipu, kamu juga terlihat tegang saat Ichinose datang tadi.”

    Akira mengangguk setuju.

    “Jin..” Yanagi memajukan wajahnya pada Jin, entah ekspresinya jadi sedikit kaku. “Jangan bilang kamu.. suka pada Ichinose?”

    Hening.

    “Pfftt.. aku? Jin-sama ini? Suka pada seorang gadis? Yang benar saja.”

    “Jangan menjawab pertanyaan dengan pernyataan irelevan, menghiraukan bukti fisik yang baru saja kau tampilkan tadi, Jin.”

    Akira berujar santai sambil menyisip kapucino-nya.

    Hening.

    “Lupakan.”,

    Akira bergumam kesal melihat ekspresi bingung kedua sahabatnya.

    “Ho.. ho.. hoo~ sepertinya kucing kecil kita yang satu ini mulai peka akan cinta.", ejek Yanagi meniru Jin.

    “Ha.. ha.. haa~ lucu sekali Yanagi. Untuk kasusku, jatuh cinta pada seorang gadis itu tidak beda dengan Spiderman yang hanya ingin melindungi satu perempuan. Seperti kata paman Ben, with big pen*s comes great responsibility.”

    Akira dan Yanagi tidak bisa tidak muntah mendengarnya.

    “Aku tidak bisa datang ketempat ini lagi.”

    Yanagi bergumam penuh penderitaan. Akira mengangguk setuju.

    “Kalau begitu.. sepertinya aku harus pergi sekarang.”, Jin berkata pelan sambil mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jaketnya. “Aku sudah janji pada Tomoyo-chan untuk menemaninya ‘membuat kue’.”

    “Kenapa kau menekankan frasa ‘membuat kue’?”, Akira bertanya sambil memasang wajah curiga.

    Pemuda berambut hitam itu hanya menyeringai mendengar pertanyaan sahabatnya.

    "Perempuan tidak pernah terang-terangan ‘mengajak’ seorang pria. Mereka menciptakan kode tertentu, dimana dibutuhkan keahlian khusus untuk memecah dan menyusunnya kembali untuk kemudian mengetahui maksud sebenarnya. Jika kau perhatikan, 'memasak kue', didalam dapur, suasana memanas, tanpa sadar saling ‘mencicipi’ satu-sama lain, dan dia terus berkata ‘hentikan!’, tapi itu hanya kode untuk...’”

    “Oke, cukup.. kau boleh pergi sekarang.”

    “Yes-Yes Sir!”, Mengikuti gaya hormat seorang prajurit pada komandannya, Jin berdiri dan segera melangkah pergi.

    Kembali, mereka hanya bisa menatap kepergian seseorang dalam bisu, sampai sosoknya tidak terlihat lagi.

    “Hey Yanagi.”

    “Apa?”

    “Bulan desember tahun lalu saat kau mengajakku 'membuat kue'..”

    Dan tinju gadis berambut hazel itu sukses mendarat pada wajah pemuda didepannya.




    “Sudah lama?”, tanya Jin.

    Gadis berambut emas itu melihat kearah pemuda yang sedang berdiri disamping kursi tempatnya duduk.

    “Lumayan.”, Ia menjawab sambil tersenyum.

    Jin mengambil posisi diseberang gadis itu. Untuk sementara mereka hanya saling menatap kosong, tanpa bicara sepatah kata pun, dengan pikiran masing-masing yang tak menentu. Mungkin sama tak menentunya dengan kerumunan manusia yang berjalan keluar masuk pintu utama pusat perbelanjaan besar yang bisa terlihat dari tempat ini.

    “Kenapa disini? Kamu tahu kan aku benci keramaian.”, Gadis berambut pirang itu memecah keheningan.

    “Maaf.. Kebetulan aku juga ada urusan disini. Kupikir untuk menghemat waktu sebaiknya sekalian saja. Tapi..”

    “Tapi?” ulang gadis itu sambil tersenyum penuh arti.

    “Tidak kusangka kamu akan menghampiri kami seperti tadi, Erika-chan.”

    Masih mengenakan senyum yang sama, gadis yang dipanggil Erika itu berkata pelan, “Aku benci menunggu.”

    “Sebenarnya ada berapa banyak hal yang kau benci?”, tanya Jin sambil tersenyum masam.

    “Banyak sekali..”

    Beranjak dari kursinya, gadis itu melangkah perlahan kearah balkon terbuka dimana ia bisa melihat lalu lalang manusia dibawahnya.

    “Keramaian, menunggu, ketidakpastian.. kebohongan.”, Erika menoleh kearah Jin yang masih terdiam memandangnya. Tersenyum kecil, ia pun berjalan kembali.

    “Aku juga tidak begitu suka tempat tinggi.”

    Memandang Erika yang dengan gemulai melangkahkan kaki jenjangnya. Rambut panjang keemasaannya melambai anggun disetiap langkahnya.

    Kendati udara dingin februari, setetes keringat meleleh di wajah Jin. Satu-satunya perempuan yang bisa membuat seluruh lelaki menahan nafas hanya dengan melihatnya berjalan, seperti itulah pesona yang dimiliki Ichinose Erika.

    Wajah mereka saling berhadapan, tersenyum satu sama lain.

    “Do you.. hate me?”

    Suara Jin terdengar seperti bisikan, namun lebih dari cukup untuk sampai pada tujuannya.

    Seperti membiarkan bisikan itu hilang ditelan udara, Erika kembali menempatkan dirinya pada kursi tempatnya duduk tadi. Menatap pemuda berambut hitam lurus didepannya, gadis itu pun tersenyum.

    “No.. You’re my boyfriend afterall.”


    Spoiler untuk Page 4 : Lost Control :
    “Aku ingin bicara.”

    Kami berdua berkata serentak.

    Lima menit berlalu sejak ia memukul wajahku, dan kami terjebak dalam hening setelahnya. Yang memecah keheningan itu tidak lain adalah suara spontan dengan kosa kata sama persis yang terucap hampir bersamaan.

    “Kamu.. ingin bilang apa?”, tanya Yanagi terbata-bata.

    “Tidak penting.. kau duluan saja.”

    Kata-kata kami terdengar canggung.

    Bagiku, apa yang baru saja kukatakan bisa dibilang adalah hasil dari penimbunan kerikil demi kerikil keberanian seharga bertahun-tahun. Apa yang sudah sejak lama ingin kukatakan, apa yang sudah sejak lama tidak berhasil kunyatakan, dan apa yang sudah sejak lama menjadi beban terbesar dalam hatiku.

    Aku akan memberitahukan keberangkatanku ke Amerika, setelah itu...

    Aku akan menyatakan perasaanku padanya.

    Aneh sekali membayangkan situasi kami yang dapat berjumpa satu sama lain hampir setiap hari, namun baru kali ini aku memutuskan untuk benar-benar memberitahukan perasaanku. Yah, aku memang pengecut, aku tahu itu.

    Pernah ku berniat untuk terus memendam perasaan ini selamanya, namun apa bedanya hal itu dengan melarikan diri? Perasaan ini tidak main-main, hanya akan bertambah kuat jika dibiarkan, dan pergi ke Negara lain bukan alasan untuk kabur darinya. Karena itulah aku berniat untuk menyelesaikan semuanya, sekarang, dan untuk selamanya.

    Bertahun-tahun aku membuang kesempatan seperti ini, aku besumpah tidak akan mengulanginya lagi. Meski begitu, menunggu beberapa saat untuknya bicara tidak akan terasa sakit.

    “Baiklah.. aku duluan ya.”

    Yanagi terdengar seperti sedang berkata pada dirinya sendiri. Aku bisa melihat rona merah mulai mewarnai wajahnya. Tunggu, masa sih dia?

    “Aku... menyukai Jin.”

    Menunggu beberapa saat untuknya bicara tidak akan terasa sakit.

    “Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul. Mungkin aku tidak menyadarinya karena kita selalu bersama?”

    Setidaknya itulah yang tadi kupikirkan.

    “Maaf, aku tidak tahan jika harus menyimpannya lebih lama lagi. Kupikir, paling tidak aku harus memberi tahumu. Bagaimana menurutmu, Akira?”

    Pandanganku kosong. Aku tahu ia sedang bicara, namun kata-katanya seperti tidak mampu mencapai pendengaranku.

    “Akira?”

    Tidak.. lebih tepatnya, akulah yang menolak untuk mendengar.

    “AKIRA!!”

    Yanagi berteriak tepat didepan wajahku. Terlalu dekat, mungkin jaraknya kurang dari 10 senti dari wajahku sendiri, sehingga spontan aku langsung menarik diri kebelakang.

    “Kamu tidak apa-apa? Wajahmu tampak pucat.”, tanyanya tampak khawatir.

    “Tidak apa-apa.”

    Bohong. Aku benar-benar hancur sekarang.

    “Kalau begitu, sekarang giliranmu bicara.”

    “Eh?”

    “Bukankah tadi kamu juga ingin mengatakan sesuatu?”

    Itu tidak penting lagi... adalah hal yang tidak mungkin kukatakan padanya.

    “Oh.. itu.. tentang.. rekomendasi yang kudapat untuk melanjutkan sekolah di Amerika.”

    Kalimatku terasa berat, susah sekali untuk dikeluarkan dari mulut. Ternyata sulit juga dengan kondisi batin berantakan seperti ini.

    “Aku..”




    Aku menyukainya sudah sejak lama sekali. Saking lamanya aku bahkan tidak ingat kapan. Mungkin karena kami selalu bersama, perasaan ini mulai tumbuh perlahan tanpa kusadari. Seperti ‘kanker’ kencil yang hampir mustahil dideteksi pada awal kemunculannya, tapi pada akhirnya akan menjadi sangat merepotkan jika dibiarkan begitu saja.

    Tidak terhitung berapa kali terbesit dalam benakku untuk menyatakan perasaanku padanya. Toh, meski sedikit banyak kemungkinan ia akan menolakku, aku bisa terlepas dari penyakit aneh ini.

    Tapi hal itu tidak pernah terjadi.

    Hampir setiap hari aku bertemu dengannya, sebanyak itu lah kesempatan yang kumiliki, dan sebanyak itu juga kesempatan yang sudah kubuang.

    Mustahil aku bisa menyatakan perasaanku padanya.

    Paradigma tanpa dasar yang jelas itu tertanam begitu kuat.

    Maka, aku berpikir untuk mengabaikan perasaan ini, mungkin saja jika diabaikan ia akan hilang dengan sendirinya.

    Apakah berhasil? Tentu saja tidak.

    Perasaanku padanya hanya bertambah besar. Semakin besar di setiap pertemuanku dengannya, semakin besar di setiap kesempatan yang kumiliki untuk menyatakan perasaanku padanya, bahkan semakin besar di setiap aku membayangkan wajahnya. Sayang sekali keberanianku tidak sanggup mencontoh hal itu.

    “Aku menyukai Jin.”

    Sakit..

    Tidak pernah terbayangkan kalau pernyataan sederhana seperti itu bisa terasa amat sangat sakit. Apa ini yang namanya patah hati? Semakin besar perasaan yang di pendam, semakin sakit rasanya ketika semua itu hancur berantakan. Rasanya seperti mau mati saja.

    Yanagi menyukai Jin, sudah sejak lama. Fakta yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam hati kecilku, aku tahu kemungkinan ini memang ada. Namun egoisku menanamnya jauh di dasar tergelap.

    Aku sudah gugur dalam permainan yang bahkan tidak pernah dimulai.




    “Akira!”

    Jin menangkap pundakku dari belakang. Terdiam beberapa saat tanpa menoleh padanya, aku pun menyaut singkat.

    “Apa?”

    “Apanya yang apa? Satu hari ini kau benar-benar tidak tersentuh. Jam makan siang kau tidak ada dikelas ataupun kantin, dan sepulang sekolah tiba-tiba saja kau menghilang tanpa pemberitahuan.”

    Jin menjelaskan dengan terburu-buru, ia bahkan tidak sempat menarik tangannya dari pundakku.

    “Aku sedang tidak enak badan saja. Kau ada perlu denganku?”, kataku sambil berbalik kearahnya.

    Tangannya secara otomatis terlepas dari pundakku, dan bersamaan dengan itu aku bisa melihat sedikit raut terkejut diwajahnya.

    “Kau.. tampak pucat. Kau tidak apa-apa Akira?”

    “Tidak apa-apa..”

    Aku kembali berjalan membelakanginya.

    “Ekspresi wajahmu tidak terdengar seperti perkataanmu.”

    Jin memposisikan dirinya disampingku.

    “Kalau begitu kenapa repot-repot bertanya?”

    “Kau jadi agak menyebalkan kalau sedang sakit.”

    “Aku tidak sakit.”

    “Tidak terlihat seperti itu.”

    “Ada yang salah dengan matamu.”

    “Ada masalah apa?”

    “Tidak ada apa-apa..”

    “Kembali ke titik awal huh..”

    Aku tidak menyaut lagi, begitu juga dirinya. Selama beberapa menit kami berjalan tanpa bicara satu sama lain.

    Belum pulih hatiku usai mendengar pernyataan Yanagi kemarin, melihat wajah Jin sekarang seakan membawa emosi baru. Aku tahu ini tidak adil untuk Jin, ia tidak mengetahui apapun, dan tentu saja Yanagi tidak ingin aku memberitahunya.

    “Tomoyo-chan benar-benar pandai membuat kue, kau harus tahu itu Akira.”, kata Jin sambil mengeluarkan sebuah buku hitam kecil dari saku jaketnya. “Banyak hal yang perlu ditulis karena kejadian semalam, kupikir buku ini akan penuh sebentar lagi.”

    “Maaf, tapi aku tidak tertarik mendengar ceritamu sekarang.”

    Suaraku terdengar letih meski aku tidak bermaksud mebuatnya seperti itu.

    “Tapi kau harus melihatnya Akira, lihat.. gadis ini benar-benar luar biasa didapur. Kau tahu perkataan orang tentang istri yang baik menguasai pekerjaan dapur..”

    “SUDAH KUBILANG AKU TIDAK TERTARIK!”

    Aku berteriak padanya. Jin terdiam sambil menatapku dengan mata terbelalak, sementara buku bersampul hitam yang tadinya melekat ditangan kanannya terlepas dari pegangan dan jatuh mencium tanah.

    Emosiku meluap begitu saja. Tidak seharusnya aku marah hanya karena hal sepele, namun setiap kata yang terucap dari mulut pemuda berambut hitam itu terdengar seperti kompor yang membakar otakku. Pikiranku panas, gelap, rasanya seperti ada gejolak yang ingin menyerbu keluar dan aku ingin sekali membiarkannya.

    Seperti inikah yang namanya lepas kendali?

    “Kupikir sudah saatnya kau membuang benda itu.”, kataku dingin sambil melihat kearah Jin yang sedang membungkuk untuk memungut kembali ‘Play Note’ miliknya.

    Membiarkan emosiku mengambil alih, aku berkata meski tahu betul kalau apa yang sedang kukatakan ini tidak seharusnya kukatakan.

    “Apa yang kau katakan, Akira?”

    Jin berdiri sambil balik menatapku lurus. Sebagian ekspresi yang tadi ia kenakan kini hilang sama sekali. Ya, aku tahu betul wajah seperti inilah yang ia tampilkan ketika sedang serius.

    “Aku penasaran bagaimana bisa kau menceritakan pengalaman yang menurutmu sangat luar biasa, tanpa memperhatikan fakta bahwa kau sudah menelantarkan separuh alasan yang membuat semua pengalaman itu menjadi luar biasa.”, kataku dengan nada sarkastik.

    “Kau tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”

    Jin memicingkan matanya, dan aku balik menatap sinis padanya.

    Berat, nafasku sesak, ini pertama kalinya kami saling bicara dengan atmosfir seperti ini. Aku ingin sekali bungkam dan mengenggam dadaku sekuat mungkin, namun rasa gatal aneh yang menggelitik kepala dan dadaku terus saja memaksaku untuk bicara.

    “Memandang mereka seperti barang koleksi, kau menulis di buku itu. Pernakah terpikir olehmu bagaimana perasaan perempuan yang benar-benar mencintaimu dari lubuk hati, dan kau melangkah diatasnya seperti itu hanya sampah tidak penting yang berserakan dijalan.”

    Aku maju selangkah kearah Jin, dan refleks ia menarik mundur tubuhnya. Kedua pasang mata kami saling berhadapan, sedikit ekspresi gelisah mulai mewarnai wajah pemuda berambut hitam itu.

    Aku melanjutkan.

    “Kebohongan yang kau gunakan untuk merengut hal yang bisa jadi adalah sesuatu yang sangat berharga bagi mereka, semata-mata hanya demi kepuasan pribadimu. Omong kosong, itulah wujud asli dari sampah yang sedang kau pegang di tanganmu sekarang.”

    Hening..

    Beberapa detik keheningan yang tercipta usai pidato panjangku terasa begitu lama. Jin tidak berusaha membalas, namun pandangan matanya tidak beralih se-senti pun dari mataku.

    “Itukah yang selama ini kau pikirkan, Akira?”

    Ia berbicara sekarang. Matanya sayu, tampak letih.

    “Omong kosong dan kebohongan itu.. ‘aku’ yang terlihat di matamu?”

    Aku tidak menjawab. Perasaan bersalah mulai menggerogoti semua sendi tubuhku. Suhu panas yang terasa membakar pikiran, kini berubah menjadi hawa dingin yang membekukan tulang. Perkataan terkadang seperti pedang bermata dua. Ketika menggunakannya dengan maksud untuk melukai lawan, pada kenyataannya diri sendirilah yang terluka paling parah.

    Tentu saja menyesal sekarang pun tidak ada gunanya. Apa yang sudah kukatakan pada Jin tidak mungkin bisa ditarik lagi. Terbutakan oleh amarah pribadi, aku telah melukai satu-satunya sahabat terbaikku.

    Jin menghela nafas melihat gelagatku.

    “Kau tahu Akira, kebohongan menggelitik daya khayal manusia.”

    Pemuda berambut hitam itu menggenggam ‘Play Note’ miliknya dengan kedua tangan, sambil sesaat memandang dalam pada buku itu.

    Kali ini mataku benar-benar dibuat terbelalak melihatnya.

    Dengan tangan kiri menggenggam dari samping, dan tangan kanan dari atas, Jin merobek buku bersampul hitam digenggamannya.

    “Kita hidup dalam khayalan yang diciptakan oleh kebohongan. Namun manusia tidak bisa berkhayal selamanya.”, lanjut Jin tanpa menghentikan aktivitas tangannya.

    Dua, empat, delapan, dan seterusnya, buku hitam itu terus terbelah menjadi serpihan, sampai akhirnya lembaran-lembaran putih bagai salju tipis mulai berterbangan disekitar kami. Meski begitu, tatapanku tidak bisa lepas dari sepasang mata hitamnya.

    “Aku.. sudah sejak beberapa minggu yang lalu dengan Erika..”

    Jin berkata setengah berbisik, hampir tak terdengar. Matanya membuka, dan secercah senyum mulai mewarnai wajahnya.

    "Night in February 13th, i will show you my last play.. With the one and only girl i love in my life."



    Spoiler untuk Page 5 : It's All Depend on You :
    Sengoku Akira menatap amplop putih yang tergeletak di meja belajarnya.

    Matanya menerawang pada amplop itu. Telalu tebal untuk secarik surat, tidak seperti belasan yang ia terima setiap empat belas februari. Perasaan risih yang mendadak muncul, dan dada berdegup kencang ini juga tidak sama. Yang membuatnya merasa seperti ini, tidak lain adalah informasi yang seharusnya tetera didalam amplop ini. Informasi yang akan menentukan masa depannya.

    Masa depan heh, batinnya mengejek.

    Meski gerbang didepannya sudah jelas terbuka lebar, ia tak akan sanggup maju selangkahpun sebelum menuntaskan masalah masa kini.

    Malu atas kelemahan dirinya sendiri, ia berbisik pelan.

    “Jin.. kalau kau, apa yang akan kau lakukan?”



    “Ummn..”

    Mendadak terdengar sebuah erangan kecil tidak jauh disampingnya, Akira pun terbangun dari lamunan dan menoleh pada sumber suara itu.

    “Maaf.. Aku membangunkanmu ya?”

    Sambil tersenyum ramah, Akira menyapa pada gadis yang saat ini sedang berbaring diranjangnya.

    Gadis itu hanya tersenyum balik dan menggeleng pelan.

    “Jam berapa sekarang?”, tanyanya.

    “Empat sore. Kau kelihatan nyenyak sekali, aku jadi enggan membangunkanmu.”

    Tampak malu, gadis itu menggosok sepasang mata hazelnya dengan kedua tangan yang terbalut piyama warna merah muda.

    “Maaf.. aku memang paling tidak bisa bangun sendiri.”

    “Tidak apa-apa. Sudah lama juga aku tidak melihat wajah tidurmu, sayang sekali kalau kau bangun terlalu cepat.”

    “Hoo.. Sudah pintar bicara kamu ya.”, Gadis itu berkata sambil tersenyum penuh arti.

    Mendengar perkataan gadis itu, tanpa ia sadari pandangannya menatap pada kejauhan horizon yang diperllihatkan jendela kamarnya. Sekilas ia dapat melihat sosok pemuda berambut hitam dikejauhan itu.

    “Yah.. Mau bagaimana lagi.”

    Gadis itu menatap pada pemuda yang sedang dimakan lamunannya sendiri. Pandangannya terlihat kosong, tapi ia tahu.. berbagai gejolak dilema kini berkecamuk dalam pikiran sang pemuda.

    Gadis itu tahu betul.. karena pikirannya juga sedang dilanda gejolak yang sama.

    “Hey, Akira. Kamu tidak melakukan apa-apa ketika aku tidur?”

    Lagi-lagi senyum penuh arti itu.

    Jika harus menjawab pertanyaan sang gadis sejujur mungkin, butuh iman bertumpuk sekian banyak, mungkin mencapai tak hingga untuk melewatkan malam, tanpa seujung jari pun menyentuh sosoknya yang terbaring tanpa daya di ranjangnya sendiri.

    “Ti.. tidak sama sekali.”, Akira menjawab terbata-bata.

    Mendengar jawaban sang pemuda, gadis itu langsung menatapnya dalam-dalam dengan sepasang mata hazel besarnya. Perlahan senyumnya memudar, iapun menoleh kearah lain.

    “Fuhh.. membosankan.”, gumamnya hampir dengan suara yang tak terdengar.

    Melihat tingkah gadis didepannya, Akira hanya bisa menghela nafas.

    “Yah... mau bagaimana lagi..”

    Matanya kembali memandang sosok gadis yang terbalut piyama merah muda itu. Apa saja yang sudah terjadi sampai gadis yang selalu ada didalam hatinya, kini duduk diatas ranjang tidurnya?

    Semuanya berawal pagi itu, satu minggu yang lalu.




    Sekolah dikejutkan oleh momen luar biasa yang mengambil seluruh perhatian penduduknya.

    Akasaka Jin, playboy nomor satu sekolah dan Ichinose Erika, gadis yang menjadi idola dan dambaan seluruh pria di sekolah, berjalan berdampingan melaui gerbang sekolah sambil bergandengan tangan. Tidak hanya itu, mereka berdua bahkan terlihat menghabiskan waktu berdua dikala senggang, seperti waktu istirahat, atau saat pulang sekolah.

    Akasaka Jin yang terkenal gemar berkeliaran dengan berbagai gadis, kini menghabiskan waktunya bersama seorang gadis saja. Sedangkan Ichinose Erika yang sangat jarang membiarkan keberadaan laki-laki mendekatinya, tidak ragu menyandingkan lengan pada pemuda yang kini selalu terlihat hadir disampingnya.

    Kombinasi yang unik, namun orang awam yang sepintas melihat hanya dari penampilan saja, pasti langsung berpendapat kalau mereka berdua sungguh pasangan serasi yang tak ada duanya.

    “Kau tidak apa-apa, Yanagi?”

    Dikejutkan oleh sapaan suara dan genggaman tangan yang menghampiri pundaknya, Yanagi terlonjak kaget seakan pikiran kosongnya baru saja ditarik keluar.

    “A-apa, ah.. kamu rupanya Akira.”

    Gadis berambut kastanye itu menoleh pada pemuda yang baru saja membuyarkan lamunannya. Dengan topeng senyum, ia menjawab.

    “Aku baik seperti biasanya, kenapa tiba-tiba bertanya?”

    Akira hanya bisa tersenyum sambil menggeleng pelan.

    “Yanagi, dari dulu kita tahu kalau kau pembohong paling payah.”

    “Kesampingkan Jin, kurasa aku tidak lebih payah darimu untuk masalah ini.”, balasnya sambil tertawa kecil.

    “Kalau jadi kau, aku tidak akan seyakin itu.”, saut Akira sambil menarik kembali tangannya.

    Dadanya berdenyut seperti sedang dipelintir. Bahkan setelah sekian lama mengembannya, Akira tidak pernah terbiasa oleh rasa sakit ini. Rasa sakit yang kadang muncul, untuk orang yang membohongi perasaannya selama bertahun-tahun.

    “Aku mungkin, pembohong paling ulung diantara kita.”

    Dingin suhu udara mulai pudar bersamaan dengan berjalannya tanggal. Namun bagi Akira dan Yanagi, dingin yang melanda hati mereka terasa makin mencekam lebih dari kelamnya malam.




    “Sup, Akira.”

    Sapaan yang sudah lama tak terdengar, dari sosok yang familiar namun tampak asing.

    Jin.

    Bersandar pada pagar rumahnya, pemuda berambut hitam itu tersenyum mengejek

    “Wow, you look awful. Are you eat well this past week?”

    Heh.. tidak berubah rupanya, Akira berkata dalam hati tanpa bisa menyembunyikan senyum lega.

    High Five serentak antara mereka berdua.

    “Aku belum sempat minta maaf untuk kata-kataku saat itu.”, Akira berkata pelan.

    “Sahabat tidak pernah minta maaf sahabatnya. Satu minggu ini kau jadi tambah bodoh ya.”, ejek Jin sambil mengacungkan jari tengahnya.

    Matahari baru seperti mencairkan sebagian es yang mengendap dihatinya. Akira sudah siap jika harus mendatangi Jin dan minta maaf atas semua yang ia katakan, namun tampaknya ia sudah menilai sahabatnya terlalu rendah.

    Persahabatan mereka tidak selemah sampai bisa dihancurkan oleh konflik singkat seperti itu.

    “Aku tidak sudi dikatai begitu oleh ****** yang mabuk cinta sampai lupa pada sahabat-sahabatnya.”, sambil berkata, tinjunya menempel dipundak sipemuda berambut hitam.

    “Uups.. papa tidak pernah pergi selama ini sebelumnya ya. Biar kuhadiahkan sedikit kejutan.”

    Jin merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna coklat. Terdapat garis hitam yang membelah horizontal ditengahnya, memberi kesan kalau kotak itu dapat dibuka.

    Benar saja, Jin membuka kubus mini itu, dan memperlihatkan apa yang tersembunyi didalamnya. Seperti kali terakhir Akira bertengkar dengannya, matanya kembali dibuat terbelalak.

    Tertanam bagai mutiara dalam kerang, sebuah cincin perak.

    “Kau ingat tanggal berapa besok, Akira?”, Jin berkata pelan. Wajahnya serius.

    Pikirannya kembali pada siang itu, tujuh hari yang lalu. Terbata-bata, Akira menjawab, “Tiga belas.. Februari..”

    “Di atap sekolah.. aku akan memberikannya.”

    “Apa kau serius!?”, teriak Akira tanpa mampu menahan keterkejutannya lagi.

    “Yep, aku serius. Aku tahu ini terlalu cepat, kau tidak perlu mengatakannya.”

    Tidak jadi mengatakan apa yang baru saja akan ia katakan, Akira kembali menutup mulutnya.

    “Kau benar Akira, apa yang tertulis dalam ‘sampah’ itu bukanlah pencapaian. Bahkan setelah puluhan gadis yang kutiduri, tidak memberikanku apapun kecuali perasaan hancur.. Namun, sekarang, dengan Erika, untuk pertama kalinya aku merasa.. nyaman. Aku merasa, disinilah tempat seharusnya aku berada.”, menghirup nafas untuk beristirahat sejenak, Jin melanjutkan. “Dan aku ingin merasa seperti ini, seterusnya, selamanya.”

    Tidak tahu harus berkata apa, Akira mengulang kembali frasa terakhirnya.

    “Apa Kau.. serius?”

    “Aku tahu kau merasa bersalah, tapi semua yang kau katakan membuka mataku. Untuk itu, paling tidak aku harus memberitahukan hal ini padamu.”

    Memasukkan kembali kotak berisi cincin perak itu, Jin menggenggam pundak Akira.

    “Jangan katakan hal ini pada siapapun..”

    Kemudian berbalik pergi, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.



    Masih menatap kosong pada pagar yang tadinya disandari oleh Jin, Akira berusaha mengumpulkan semua informasi yang baru saja didapatnya beberapa puluh detik yang lalu. Baru kali ini ia merasa menerima informasi yang terasa begitu berat, sampai pikirannya butuh waktu lama untuk mencernanya.

    Perlahan kembali pada dunia nyata, matanya menangkap sesuatu yang berbeda dari kotak surat yang bertengger diatas pagar rumahnya. Secarik amplop, dapat terlihat melalui jendela hitam transparan di perut kotak surat berwarna merah itu.

    Berjalan perlahan, ia membuka kotak suratnya dan menarik keluar amplop yang menarik perhatiannya. Sejenak merasakan ketebalannya, terlalu tebal untuk secarik surat. Namun, nama yang tertera di bagian depan, dan stempel sekolahnya sudah merupakan informasi yang cukup untuknya menerka isi dari amplop ini.

    Tangan kirinya merogoh saku celananya untuk menarik keluar ponsel miliknya, kemudian mengirim e-mail untuk seseorang yang juga berhak menerima semua informasi ini.




    “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”, tanya Yanagi yang sedang duduk pada ayunan ditengah taman yang sepi.

    “Sebelumnya, aku minta maaf karena sudah memanggilmu kemari.”

    Akira mengambil tempat pada ayunan yang menggantung disebelah Yanagi.

    “Tidak masalah.. sebenarnya aku senang kamu mengajakku keluar, saking bosannya dirumah aku sampai tidak tahu harus melakukan apa.”

    Yanagi menendang tanah, membuat ayunannya melambung tinggi. Angin yang tercipta ikut menerbangkan rambut kastanye-nya

    “Jadi, kamu mau bicara sekarang?”

    Menunduk sejenak, Akira mengeluarkan secarik amplop dari saku jaketnya.

    “Ini dari sekolah.. kurasa kepindahanku tidak akan lama lagi.”

    Hening..

    Satu ayunan yang melambung tinggi, sementara yang satu hanya diam tak bergerak. Kesamaannya, kedua remaja yang duduk diatasnya sama sekali tidak bersuara.

    “Kepala sekolah memberi tahuku, kalau surat pemberitahuan sudah dikirim, itu artinya keberangkatanku tidak akan kurang dari tiga hari lagi.”

    “Kenapa mereka seenaknya begitu.”, Yanagi menyaut dingin.

    “Jangan salah. Akhir-akhir ini kondisi cuaca memburuk, jadi keberangkatanku belum bisa dipastikan. Padahal aku harus pindah sesegera mungkin agar tidak terlalu ketinggalan dengan pelajaran disana.”

    “Tetap saja..”

    Tersenyum sejenak, Akira menoleh pada gadis yang sedang menggerutu disampingnya.

    “Maaf ya, aku harus pergi disaat seperti ini.”

    “Bodoh! Masih juga memikirkan orang lain disaat seperti ini!”, saut Yanagi kesal, sambil melepaskan dirinya dari ayunan yang tengah melambung diudara.

    “Akira, apa keluargamu ada dirumah sekarang?”

    “Karena ini hari sabtu, mereka pergi kerumah kakek dan nenekku di..”

    “Itu artinya kamu harus berkemas sendiri kan.”

    Dengan sigap Yanagi menangkap tangan Akira, dan menariknya berdiri.

    “Biar aku membantumu malam ini.”

    “Haah?”



    Entah kenapa, Yanagi jadi tidur dikamarnya malam ini.

    Harus ia akui kalau gadis ini benar-benar membantunya. Dari menyiapkan makan malam, sampai melipatkan pakaiannya untuk kemudian dimasukkan kedalam koper. Semua ia lakukan dengan baik, sampai rela tidak tidur hingga larut.



    “Kamu belum membuka amplop itu?”

    Kata-kata Yanagi memecah lamunannya, membawanya kembali pada masa kini.

    Apa ia sudah siap?

    Konfliknya dengan Jin sudah terselesaikan, bahkan sebelum dimulai. Sepedas apapun perkataan yang sudah dilontarkan olehnya, Jin tidak pernah memikirkannya sebagai cemohan, ia menggunakannya untuk melangkah maju.

    Yanagi, memberanikan diri membuka perasaannya pada salah seorang sahabat. Meski tidak sempurna, itu semua jauh lebih baik dibanding dirinya yang tidak pernah membuka hatinya. Tidak pada dirinnya sendiri, tidak pada sahabat terdekatnya.

    Selama ini Akira tahu, dirinyalah yang paling dingin, paling tertutup diantara mereka bertiga. Dan selama ia masih mengunci dirinya sendiri, ia tidak akan pernah sanggup melangkah kedepan.

    Masalah yang selama ini membebani hatinya, ternyata begitu dekat.

    Sejenak menyentuh dadanya dalam-dalam, Akira menoleh pada Yanagi sambil tersenyum.

    “Mau bantu membukakannya?”



    “Tiga Februari.. Jam.. delapan malam.”

    Akira dan Yanagi sontak memandang satu sama lain.

    “Malam ini..”, Akira berkata pelan.

    “MALAM INI!”, Yanagi mengulang sambil histeris menangkap kedua pundak pemuda didepannya.

    “Jam delapan.. empat jam lagi.. butuh waktu tiga puluh menit untuk pergi ke stasiun, naik kereta ke bandara satu jam, jadi total..”

    “Mikir apa kamu disaat seperti ini, sana cepat siap-siap!!”

    “Total dua jam.. kalau diasumsikan butuh waktu tiga puluh menit untukku bersiap-siap dari rumah, termasuk menghubungi keluargaku.”

    Akira berkata sambil mengambil ponsel yang tertidur dimeja belajarnya.

    “Yap beres.. aku akan menyiapkan air untuk mandi sebentar, kau mau duluan Yanagi?”

    “Kamu.. bisa-bisanya masih setenang ini.”, Yanagi berkata setengah tidak percaya, setengahnya lagi murni kagum.

    “Dalam empat jam aku akan meninggalkan negara ini, keluarga, sahabat, dan juga teman-temanku. Bagian mana dari diriku yang telihat tenang sekarang?”

    Saat itulah Yanagi menyadarinya. Terdengar suara getar aneh dari knop pintu yang diputar Akira untuk membuka pintu kamarnya. Samar-samar, kedua kaki pemuda itu juga tampak bergetar.

    Akira.. tentu saja dirinyalah yang paling panik saat ini.



    Dengan bertumpu pada sebelah tangan, Akira perlahan menuruni tangga rumahnya.

    Sakit..

    Tangan kanannya menggenggam dada yang terasa berdenyut lebih keras dari biasanya. Ia pikir semuanya telah berakhir ketika ia akhirnya memutuskan untuk membuka amplop itu.

    Apa? Apa yang kurang?? Akira membatin.

    Keping ingatan.. informasi.. mengumpulkan semua itu, membawanya pada momen masa lalu.

    "Night in February 13th, i will show you my last play.. With the one and only girl i love in my life."

    “Kau ingat tanggal berapa besok, Akira?”

    “Diatap sekolah.. aku akan memberikannya.”


    Tangan kiri yang menggenggam dadanya bergetar. Denyut yang menyiksa bergemuruh seperti *** yang hendak meledak.

    “Jangan katakan hal ini pada siapapun..”




    Meski udara tidak sedingin malam sebelumnya, kabut awan masih setia menghalangi rembulan dalam upaya memamerkan cahayanya.

    Diatas lantai tertinggi sebuah gedung sekolah, seorang pemuda berdiri ditemani kabut kelam yang sewarna dengan pakaiannya. Dengan kedua tangannya beristirahat dalam kehangatan kantung celananya, ia berbisik seorang diri.

    “Semuanya, tergantung padamu.. Akira.”


    Spoiler untuk Page 6 : The Triangle :
    “Bagaimana perasaanmu?”

    “Macam-macam.”

    “Keluargamu?”

    “Mereka akan menunggu dibandara.”

    “Tidak memberitahu Jin?”

    “Sudah kuberitahu lewat e-mail.”

    “Hmm..”

    “Kenapa?”

    “Aku bingung harus bicara apa lagi.”

    Akira menggeleng pelan melihat tingkah gadis disampingnya.

    “Kau tidak perlu memaksakan diri mengajakku bicara. Malah sebenarnya, akan lebih baik jika pikiranku dibiarkan tenang dulu sekarang.”

    “Tapi.. mungkin saja ini akan jadi obrolan terakhir kita.”

    “Bodoh, aku tidak akan pindah kesana selamanya.”

    “Yang aku khawatirkan kalau pesawatmu tiba-tiba jatuh, atau diculik alien.”

    “Kau mendoakanku mati ya.”

    “Kemungkinan itu tetap ada kan..”

    “Yanagi! Tolong.. aku butuh ketenangan sekarang.”, seru Akira setengah membentak.

    “Apa sih, jadi kamu takut sekali mati ya..”, gerutu Yanagi dalam suara yang hampir tak terdengar. Kalau sedang menggerutu mulutnya jadi maju seperti cumi-cumi, tapi Akira tidak punya waktu untuk membahasnya.

    Denyut siksa yang sejak tadi menyerang dadanya belum juga hilang, tapi bukan itu yang sekarang menjadi pikiran utamanya.

    Ia punya pilihan, untuk menghilangkan siksaan ini untuk selamanya. Namun, pilihan itu saling berkontradiksi satu sama lain, dan ia tidak tahu harus memilih yang mana.

    Jin akan melamar Ichinose Erika, malam ini, di atap sekolah. Meski Jin jelas berkata kalau ia tidak boleh memberitahukannya pada siapapun, ia tahu kalau ada satu orang yang seribu kali lebih berhak mengetahui informasi ini darinya.

    Yanagi.

    Jarum pendek jam bahkan belum menyentuh angka enam. Jika ia memberitahu Yanagi sekarang, gadis itu masih memiliki waktu untuk mengutarakan perasaannya pada Jin.

    Tiket terakhir untuknya, sebelum Jin mengantarkan cincin perak itu pada jari gadis lain.

    Disisi lain, informasi ini dapat ia biarkan lenyap bersama dinginnya udara februari. Bahkan, ia dapat memanfaatkan kepergiannya untuk menyatakan perasaannya pada Yanagi.

    Dua pilihan..

    Menyedihkan, jawabannya sudah jelas tapi butuh waktu selama ini untuk memikirkannya. Batinnya mengejek.

    “Yanagi.”

    Akira berhenti melangkah,

    “Ada masalah?” tanya Yanagi, yang juga ikut berhenti.

    “Jin akan melamar ichinose-san malam ini. Di atap sekolah.”

    Waktu terasa seperti berhenti untuk beberapa saat bagi Yanagi.

    “Ia bilang, jangan katakakan pada siapapun, tapi kupikir kau berhak tahu.“

    “A-aku.. dia.. Jin, kalau memang itu yang dia inginkan, aku tidak punya hak untuk menganggunya.”, Yanagi tampak kesulitan merangkali kata-katanya.

    Melihat tingkah gadis didepannya, Akira menghela nafas sambil tersenyum.

    “Mengganggu huh, itu yang ingin kau lakukan sekarang?”

    “Bodoh! Tidak mungkin aku akan melakukan hal itu!”

    “Hari bahkan belum malam. Kalau sekarang, mungkin kau tidak akan bertemu ichinose-san.”

    “Sekali lagi kutekankan, kenapa aku harus melakukan hal itu!”

    “Karena kau mencitai Jin.”

    “HENTIKAN!!”

    Yanagi berteriak sambil menutup kedua telinganya.

    “Kupikir.. kupikir pasti ada yang salah denganku. Bagaimana mungkin aku bisa menyukai orang seperti Akasaka Jin.”, masih dengan posisi tangan yang sama, Yanagi berkata pelan. “Tapi, melihat mereka berdua.. tujuh hari ini, aku akhirnya sadar.. sudah saatnya aku melepas perasaan ini.. perasaan yang sudah lama kusimpan, namun selalu kuragukan.. aku akhinya bisa melepasnya.”

    “Kau bohong.”

    Suara Akira yang tanpa ekspresi terasa menusuk dalam dada gadis itu, bagai pedang es.

    “Kamu tidak tahu apa-apa..”

    Yanagi bersikeras.

    “Aku tahu.. aku tahu betul perasaanmu.. karena aku mencitaimu, Kirisawa Yanagi.”

    Kali ini, kejutan listrik terasa menyambar sekujur tubuh Yanagi.

    “Aku menyukaimu, sudah sejak lama. Saking lamanya aku bahkan tidak ingat kapan.”

    Akira tersenyum memandang gadis berambut kastanye didepannya.

    “Mungkin karena kita selalu bersama, perasaan ini mulai tumbuh perlahan tanpa kusadari.”

    Akira kembali bicara, bersamaan dengan itu setitik air bagai permata mulai menghiasi mata hazel Yanagi.

    “Tidak terhitung berapa kali terbesit dalam benakku untuk menyatakan perasaanku padamu. Toh, meski sedikit banyak kemungkinan kau akan menolakku, aku bisa terlepas dari penyakit aneh ini.. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.”

    Akira menghirup nafas dalam sejenak, wajahnya tampak damai.

    “Hampir setiap hari aku bertemu dengannya, sebanyak itu lah kesempatan yang kumiliki, dan sebanyak itu juga kesempatan yang sudah kubuang. Sampai pada akhirnya aku menyadari.. Mustahil aku bisa menyatakan perasaanku padanya. Maka, aku berpikir untuk mengabaikan perasaan ini, mungkin saja jika diabaikan ia akan hilang dengan sendirinya.”

    Air mata terus membahasi wajah putih Yanagi. Tangan yang tadi menutup kedua telinganya, kini menahan rasa pedih di hidung.

    “Apakah berhasil? Tentu saja tidak.”

    Masih dengan senyum yang sama, Akira melanjutkan.

    “Perasaanku padanya hanya bertambah besar. Semakin besar di setiap pertemuanku dengannya, semakin besar di setiap kesempatan yang kumiliki untuk menyatakan perasaanku padanya, bahkan semakin besar di setiap aku membayangkan wajahnya. Sayang sekali keberanianku tidak sanggup mencontoh hal itu.”

    Akira berjalan mendekati Yanagi. Dengan lembut ia mengusap air mata yang mengalir dipipi gadis itu.

    “Kau juga.. seperti itu kan?”


    Tidak mampu menjawab, Yanagi hanya menatap kedua mata pemuda berambut biru-gelap itu dengan mata berkaca-kaca.

    “Pergi, temui dia.”, Akira berkata lembut.

    Kata-katanya seperti memberi kekuatan, kehangatan, semua yang ia butuhkan untuk jujur pada dirinya sendiri.

    “Tapi.. tapi..”, Air mata kembali mengalir. “Ini malam penting untukmu.. Akira.”

    Wajah mereka begitu dekat, cukup dekat untuk merasakan nafas satu sama lain.

    “Aku hanya akan pergi ke belahan bumi lain. Belum ada apa-apanya dihadapan teknologi komunikasi jaman sekarang.”

    “Kenapa.. kalau kamu mencitaiku, kenapa memberitahuku tentang Jin.”

    Akira menggelengkan kepalanya.

    “Karena aku mencintaimu, makanya aku memberitahumu.”




    Atap sekolah terasa begitu berbeda di malam hari. Kabut awan yang dibawa angin, menyelimuti kelamnya malam tanpa bulan. Udara dingin yang tak bersahabat berusaha menembus tebalnya jaket, berbeda dengan udara pagi yang ramah menyapa.

    Bukan.. perasaan dingin ini bukan dikarenakan dinginnya udara malam, bukan juga karena kelamnya suasana tanpa bulan. Perasaan dingin ini, takut, gugup, tak menentu, semuanya berkolaborasi seakan ingin menggoyahkan ketetapan hati yang menjadi penopang untuk terus melangkah.

    Menunggu disana. Seperti dibalut oleh malam itu sendiri.

    Akasaka Jin.




    “Menunggu kereta datang.. aku lupa menghitung ini tadi.”, Akira menggerutu kesal dikursi stasiun yang sepi. “Mujur sekali ada gadis cantik yang mau menemaniku di saat membosankan begini.. Ichinose-san.”

    Senyum kecil melingkar diwajahnya yang sanggup membuat iri bidadari langit. Ichinose Erika menyaut tanpa menoleh pada pemuda yang sedang duduk tepat disebelahnya.

    “Suatu kehormatan bagiku, Sengoku-san.”

    “Kupikir ada ‘atap’ yang harus kau hadiri sekarang.”

    Gadis berambut emas itu tidak merespon, dan tetap diam dalam senyumnya.

    “Who am i kidding... Sudah sejak kapan kau dan Jin merencanakan semua ini?”

    “Awal semester baru..”

    “Hampir satu bulan yang lalu ya.. atas dasar apa?”

    “Tidak ada apa-apa kok. Sebagai ketua OSIS, aku tidak bisa begitu saja membiarkan siswa yang sedang kesulitan.”

    “Dasar tukang bohong..”

    “Tajam dan tanpa basa-basi. Seperti inikah dirimu yang asli?”

    “Tidak lebih buruk darimu, ketua OSIS muka dua.”

    Tidak bisa menahan tawanya, Ichinose Erika akhirnya menoleh pada pemuda disampingnya.

    “Ini pertama kalinya ada laki-laki yang mengatakan hal seperti itu padaku.”

    “Selamat yah..”, saut Akira tanpa balas menoleh pada Ichinose.

    Tawanya berubah jadi ekspresi gerutu. Gadis berambut emas itu pun menangkap dagu Akira dan mengarahkannya pada wajahnya.

    “Lihat lawan bicaramu kalau sedang bicara, kupikir kau yang paling punya etika diantara kalian bertiga.”

    “U-uaahh, apa yang kau lakukan!”

    Akira langsung tersentak kebelakang begitu wajahnya ditarik begitu dekat.

    “Nah, sekarang aku sudah dapat perhatianmu?”

    “A-apa, yang kau inginkan?”, tanya Akira waspada.

    “Menjelaskan semuanya padamu. Itu tugas terakhirku dari-’nya’.."



    Cinta segitiga.

    Masalah sepele seperti itulah yang melanda tiga sahabat ini. Mungkin hal itu akan tetap menjadi sepele jika bukan karena ikatan terlampau solid dan kemauan untuk terus bersama yang selama ini dengan kuat menopang mereka. Ironis, justru hal itulah yang membuat segitiga sederhana ini menjadi cukup merepotkan.

    Salah seorang dari mereka menyadari hal itu.

    Dia adalah orang yang paling menghargai persahabatan mereka.

    Dia juga tahu jalur cinta yang saat ini berjalan diantara mereka.

    Dan dia sadar betul akan potensi yang tersimpan dalam masalah sepele ini.

    Sebagai satu-satunya yang tahu, ia merasa memiliki kewajiban untuk menyelesaikan semuanya sendiri.

    Namun seberapa keraspun ia berpikir, tidak ada solusi ideal kecuali dengan mengorbankan satu bagian dari segitiga.

    Dan disitulah masalahnya.

    Sesuatu yang tampak sempurna, akan hancur berantakan jika satu bagiannya dilepas.

    Untuk itu, ia merasa bahwa dirinya yang mengetahui akar masalah adalah ‘korban’ yang paling ideal.

    Ia sudah siap, mengorbankan dirinya untuk melihat kedua bagian yang lain bahagia.

    Harga yang pantas untuk terus menjaga ikatan yang sangat berharga baginya.



    “Sebagai perempuan, dan orang yang memiliki koneksi tinggi didalam sekolah aku memegang peran yang sangat penting. Bisa dibilang, karena kehadirankulah rencananya dapat terwujud. Memberi banyak waktu dan kesempatan berdua untuk kalian, merekomendasikan tanggal kepindahanmu, pura-pura berlagak seperti kekasih, bahkan duplikat kunci sekolah untuk akses malam hari seperti ini.”

    Akira hanya bisa terdiam mencerna rentetan informasi tingkat tinggi yang kini berjejer masuk kedalam kepalanya.

    “Si bodoh itu.. demi aku dan Yanagi?”

    Tersenyum sejenak mendengar respon Akira, Ichinose pun melanjutkan.

    “Bagaimanapun, ia tetaplah remaja biasa. Punya perasaan, bisa sakit hati, merasa tidak puas. Justru disaat terakhir lah semua sifat itu meledak keluar. Tidak adil baginya jika ia sendiri tidak memiliki kesempatan. Karena itu, ia memasang sebuah taruhan kecil untukmu.”

    “Taruhan, untukku?”

    Akira menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tanya. Sedetik kemudian barulah ia menyadari arti sebenarnya dari kalimat itu.

    “Jangan katakan hal ini pada siapapun..”

    Senyum Ichinose sedikit membuka, ia seperti telah menunggu momen ini.

    Jika ia memberitahu Yanagi, itu artinya sahabat terbaikku sedunia telah melepas cinta sejatinya demi kebahagiaan sahabatnya — adalah apa yang ia katakan saat membuat taruhan itu.”




    Awan hitam tidak benar-benar menculik cahaya bulan beserta kerlip bintang kecil. Merekalah yang memilih untuk bersembunyi didalamnya.

    Banyak manusia yang tak sadar bahwa merekalah yang memilih untuk tenggelam dalam kegelapan yang muncul dari dalam hati.


    Pemuda itu berlutut didepan sang gadis. Ditangannya bertengger sebuah kotak berisikan cincin perak yang berkilau sepeti sinar rembulan.

    Tanpa mampu menahan kebahagiaannya, sang gadis memeluk pemuda itu dengan tetes air mata berjatuhan bagai kerlip ratusan bintang.


    Untuk terus diam dalam kegelapan, atau melangkah maju dan menemukan cahaya mereka. Semuanya tergantung dari diri manusia itu sendiri.




    Bibir mereka bersentuhan. Pada awalnya sepihak, namun ritme yang tepat mulai terbangun dengan sendirinya.

    Berpisah, pemuda itu menatap bingung wajah bak bidadari berambut emas yang tiba-tiba saja menyerang bibirnya.

    “Apa yang Jin tidak pikirkan adalah, menambah satu ‘bagian’ untuk membuat sebuah ‘bujur sangkar’.”

    Tangannya yang halus bersentuhan dengan tangan pemuda itu, secarik kertas berpindah darinya.

    “Ayahku punya banyak kerabat di Amerika. Kirimi aku e-mail kalau sudah sampai disana ya.”

    Gadis itu berhenti sejenak, membiarkan peluit kereta memekik nyaring mengintrupsi, kemudian berkata sambil tersenyum nakal.

    “Ngomong-ngomong, yang tadi itu ciuman pertamaku.”





    Epilog


    Musim panas selalu terasa membakar New York, membuat kota yang tak pernah tidur itu menjadi lebih hidup. Tempat-tempat perbelanjaan disepanjang Fifth Avenue, Madison Avenue, ataupun SoHo dipenuhi arus manusia, baik turis dari seluruh penjuru dunia maupun penduduk lokal yang kelihatan tidak kalah mencolok.

    Pemain musik jalanan menggelar konser musik di stasiun kereta bawah tanah, taman dan sudut-sudut kota, dengan warna beragam dari jazz, acapella, klasik, bahkan hip-hop dan R&B. Menjadikan tempat-tempat yang mereka jajahi seperti panggung hiburan terbuka.

    Great Lawn Central Park, terlihat anak-anak kecil bermain dipancuran air, beberapa keluarga yang sedang berpiknik, bahkan para remaja perempuan yang berjemur dengan kostum terbuka mereka.

    Disuatu sisi taman raksasa itu, Sengoku Akira duduk dibawah rindangnya pohon sebagai tabir alami sinar matahari.

    Sesekali seorang anak berambut pirang keemasan yang sedang berlarian bersama seorang wanita cantik dengan warna rambut sama, melambai kearahnya sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa inggris.

    Ia hanya membalas lambaian anak itu sambil tersenyum. Kedua pendengarannya terisolasi dari hiruk pikuk dunia luar, mentalnya tenggelam dalam alunan melodi klasik yang memanjakan.

    Alat pendengar musik berwarna putih yang kini menempel di kedua telinganya, tersambung melalui teknologi Wireless pada Tablet yang juga terbaring diatas lembutnya rumput hijau. Pada layar Tablet itu, terlihat sebuah foto yang digunakan sebagai Wallpaper. Dengan dirinya berdiri disamping seorang pria berambut hitam yang mengenakan tuxedo. Tampak juga wanita cantik berambut kastanya dengan gaun putih panjang, juga berdiri disamping pria itu. Dan disamping wanita bergaun putih, berdiri seorang wanita yang mengenakan gaun merah ketat, dengan rambut emas panjang diikat kebelakang.

    Dua orang sahabat, dan seorang cinta sejatinya.


    Last edited by Dlucario; 25-03-13 at 00:28.

  12. #7

    Join Date
    Oct 2012
    Location
    She cautioned <3
    Posts
    1,732
    Points
    2.35
    Thanks: 45 / 108 / 94

    Default

    Title : Terakhir kalo udah selesai

    Genre : Romantic

    Spoiler untuk part 1 :
    Sudah satu jam Veni menunggu kekasihnya datang. Veni tampak lelah dalam lamunannya yang perlahan kabur akibat rasa ngantuk yang perlahan mulai menghampirinya. Veni duduk ditemani dengan secangkir jus mangga kesukaannya. Tak ada hidangan makanan yang ada dimejanya. Ia hanya termenung dan terus menunggu kekasihnya yang seharusnya datang dan makan malam dengannya malam ini. Detik demi detik Veni menanti kedatangan Robi, namun Robi tak kunjung terlihat. Sudah kesekian kalinya Veni mencoba menelpon Robi, namun tak ada jawaban juga. Hati Veni semakin gundah bercampur rasa sedih yang amat mendalam. Hingga akhirnya waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dengan berat hati, Veni pun berjalan keluar dari restoran dan pulang.


    Tidak biasanya Robi lupa akan hari ini. Padahal hari ini bertepatan dengan 10 bulan hari jadiannya dengan Veni. Seharusnya Robi datang ke restoran untuk makan malam dengan Veni. Sayangnya dia malah hilang tanpa kabar entah kemana. Di jalan Veni hanya meratapi kesedihnnya. Perlahan air mata mulai menetes di pipinya. Hati Veni seakan teriris oleh pisau yang sangat tajam, seolah darah mengucur dari balik lubuk hatinya yang paling dalam.

    “ Kemana Robi? Kenapa kamu tidak datang? Kenapa kamu bahkan tak memeberi kabar apapun kepadaku? Dimana kamu? Kenapa kamu begitu jahat? Kenapa kamu membiarkanku sendiri? Aku benci kamu! Aku benciiiiii!” Jerit Veni dalam hati.

    ***

    “Selamat Pagi Ven!” Sapa Robi.

    Veni tidak menjawabnya dan tetap terus berjalan menuju kelasnya. Veni masih kesal dengan kejadian semalam. Bahkan saat ini raut muka Robi seakan menunjukkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Wajahnya biasa saja dan tanpa sedikit pun merasa bersalah kepada Veni. Robi terus mengikuti langkah Veni menuju kelas Veni yang terletak di ujung sekolah. Kelas mereka memang bersebelahan, hanya terpaut Laboratorium Fisika yang terletak diantara kelas mereka. Veni terus melangkah tanpa menghiraukan Robi yang ada dibelakangnya.


    “Ven.. Veni.. Veni, kamu Kenapa ? Ada apa sama kamu ?” Tanya Robi sambil mengikuti langkah Veni.

    Veni terus terdiam dan hanya menunudukkan kepalanya. Hingga akhirnya kelas Robi pun telah dilewati. Namun Robi tetap mengikuti Veni ke kelasnya.

    “Veni.. kamu kenapasih ?” bentak Robi sambil menarik tangan Veni hingga Veni menghadapnya.
    “Pikir aja sendiri.” Jawab Veni singkat.

    Veni langsung melepaskan tangannya dari Robi dan bergegas masuk ke dalam kelas. Robi kemudian membalikkan arahnya dan berjalan menuju kelasnya. Ia mencoba berfikir untuk menemukan jawabannya. Di kelas Robi tidak memperhatikan pelajaran yang diajarkan oleh guru. Tetapi pikirannya hanyut dalam lamunan seorang Veni. Robi terus memutar ingatannya. Mencoba mengingat kembali kejadian kejadian yang terjadi sebelumnya. Namun tiba tiba terdengar banyak suara memanggilnya.

    “Rob.. Robi.. Robiiiiii……” teriak sekelas.
    “Hah? Hah? Kenapa? Kenapa?” tanya Robi gugup.
    “Hahahahaaahhahhahaaaaa….” Serentak satu kelas menertawakannya.

    Robi pun bingung. Wajahnya tampak bertanya-tanya menacari tahu apa yang terjadi.

    “Ada apa sih San ?” tanya Robi kepada Sandi, teman sebangkunya.
    “Dari tadi kamu tuh dipanggil Bu Ika, tapi kamu nggak menjawab malah ngelamun terus. Tuh liat Bu Ika tersenyum sinis sama kamu.”
    “Hah.. e....e emm.. ma ma maaff, Bu. Ibu memanggil saya? Ada apa, Bu?’ tanya Robi dengan malu dan gugup.
    “Ngelamunin apa Rob ? Serius banget.” Tanya Bu Ika sinis.
    “Enggak Bu. Hehee.”
    “Sudah sana kerjakan soal di papan tulis.”

    ***

    “Kriiiiingggg…. Kriiiiiingggg !!”

    Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Semua siswa ke luar dari kelas masing-masing. Tak berapa lama Robi langsung keluar kelas dan menuju kelas sebelah untuk bertemu dengan Veni. Namun sayang, Veni yang ditunggu-tunggu ternyata sudah lebih dulu pulang dari pada Robi. Robi semakin bingung atas keanehan sikap Veni hari ini. Robi tidak menyangka bahwa Veni akan semarah ini dengannya.
    Sebenarnya Veni sudah tahu jika nanti pulang sekolah Robi akan menunggunyanya. Namun dia sengaja kabur dan pulang duluan karena malas bertemu dengan Robi yang menyebalkan itu. Veni sebenarnya merasa kasihan terhadap Robi. Tapi apa boleh buat, sebab hingga saat ini Robi belum juga menyadari kesalahan yang dibuatnya.

    Dari kejauhan Veni mengintai Robi yang sedang duduk di depan kelas Veni. Mukanya muram seakan sedang mengerjakan soal matematika yang sangat sulit dalam waktu satu menit. Robi termenung meratapi kesedihannya. Tangannya menyangga dagunya yang seolah sudah lunglai dan mau jatuh ke bawah. Dia seakan kehilangan tenaganya untuk menopang kakinya agar dia bisa pulang ke rumah.
    Tidak biasanya Robi dan Veni hanya diam-diaman saja selama di sekolah. Biasanya mereka selalu bersama ketika pulang sekolah. Mereka selalu pulang bersama dan becandaan berdua. Baru kali ini Robi merasakaan hari sesepi ini. Sengguh bukan hari keberuntungan untuk Robi.

    ***

    Sesampainya dirumah Robi masuk kamar dan meihat catatan yang ada pada kalendernya. Saat itu dia baru sadar bahwa kemarin itu adalah hari jadian mereka pada bulan ke sepuluh. Robi bergegas mengambil ponselnya. Segera dia mencari nama kontak Veni lalu menelponnya. Robi berharap Veni akan menerima telpon darinya. Robi sangat menyesal akan hal yang telah dilakukannya kepada Veni. Seharusnya Robi tahu bahwa setiap tanggal 22 mereka bertemu di restoran itu untuk sekedar merayakan hari jadi mereka tanpa harus diingatkan satu sama lain.
    Suara ponsel Veni mengagetkannya ketika dia sedang asyik mengerjakan soal matematika. Setiap malam Veni selalu belajar. Dia belajar dengan giat. Bahkan dia termasuk salah satu juara dikelasnya.

    “Siapa sih? Ganggu aja?” celetuk Veni, kesal.

    Veni pun mengambil ponselnya yang terletak di atas tempat tidurnya. Ketika ia tahu bahwa itu ternyata telpon dari Robi, Veni langsung menaruh ponselnya kembali. Veni tidak mau mengangkatnya karena perasaannya yang masih kesal dengan Robi. Veni sebenarnya sudah merindukan suara Robi. Seharian mereka tidak bicara satu sama lain. Namun Veni harus bisa menahannya supaya Robi mengerti akan kesalahannya.


    Robi sangat sedih karena Veni tak kunjung mengangkat telpon darinya. Robi tahu bahwa Veni belum tidur sebab biasanya Veni tidur jam sembilan malam sedangkan sekarang baru jam delapan malam. Robi masih sibuk dengan ponselnya. Dia tak henti-hentinya menelpon Veni. Robi sadar bahwa ini memang kesalahnnya, maka dia terus berusaha minta maaf kepada Veni.
    Dalam hati, Veni ingin sekali mengangkat telpon dari kekasihnya itu. Seharian ini mereka tidak bicara satu sama lain karena Veni memang sengaja menghindari Robi. Namun detik demi detik berganti menit Veni sudah tidak tahan lagi. Veni sangat merindukan Robi yang seharian ini telah di cuekin. Dengan ragu tangan Veni meraih ponselnya kembali dari tempat tidurnya lalu mengangkat telpon dari Robi.
    “Halloooo..”

    “Veni, aku minta maaf, aku benar-benar lupa hari kemarin. Maafkan aku, aku tidak sengaja lupa akan hal itu. Bahkan aku tidak memegang ponselku malam itu, karena ponselku sedang disita. Maafkan aku karena aku sudah separah ini sama kamu. Tolong Veni, maafkan aku. ” Jelas Robi lebar.
    Veni hanya terdiam mendengar kata-kata Robi tadi. Tak heran jika ponsel Robi disita oleh orang tuanya. Hobi Robi memang bermain game. Jika dia kebanyakan main game maka ponselnya akan disita dan akan dikembalikan keeseokan harinya oleh orang tuanya. Saat bermain game, dia bisa bermain hingga empat jam lamanya, hingga akhirnya dia lupa kewajibannya yaitu belajar. Orang tuanya pun memutuskan untuk menyita ponsel Robi jika dia tidak belajar. Sebenarnya Robi anak yang rajin, namun kadang jika ada game-game terbaru yang muncul, dia lebih mementingkan game daripada belajarnya.
    Setelah mendengar pejelasan Robi perlahan mata Veni mulai berkaca-kaca. Tak berapa lama kemuadian, air mata pun keluar membasahi pipi Veni.

    “Ven.. Venii.. jawab Ven.. maafkan aku.” Rengek Robi.
    “Sudahlah kalau kamu memang benar-benar lupa. Aku tak apa.” Jawab Veni sambil terisak dalam tangisnya.
    “Veni, kenapa kamu terisak seperti itu ?” Tanya Robi khawatir.
    “Tidak apa-apa kok. Hanya sedikit flu.” Jawab Veni bohong.
    “Ya sudah kamu istirahat saja Ven. Minum obat biar cepet sembuh… oyaaa, Veni, terimakasih banyak yaa. Aku janji aku tak akan mengulanginya lagi.”

    ***



    Spoiler untuk Part 2 :
    Keesokan harinya Robi sengaja bangun pagi agar nanti bisa berangkat sekolah bersama Veni. Robi akan menjemput Veni di rumahnya sebagai tanda permintaan maaf atas kesalahan yang dilakukan Robi. Akhirnya setelah semuanya siap, pukul enam pagi Robi berangkat ke rumah Veni dengan sepeda motor maticnya. Setelah kurang lebih seperempat jam berjalan, akhirnya Robi tiba juga di rumah Veni.

    “Selamat pagi mang Udin!” sapa Robi.
    “Selamat pagi mas Robi, mari silakan masuk. Mau jemput neng Veni ya, sebentar ya mas saya panggilkan.”

    Mang Udin adalah tukang kebun Veni, ia selalu menyapu halaman rumah Veni setiap pagi dan sore hari. Aku dan mang Udin sudah saling kenal sejak pertama kali aku datang untuk mengantar Veni pulang sekolah. Mang Udin adalah orang yang ramah dan sopan kepada orang lain. Tak heran jika banyak tetangga mengenalnya atas perilakunya itu.
    Selang beberapa menit aku menunggu, akhirnya Veni keluar dari rumah dengan seragam putih abu-abunya dan tas yang biasa ia bawa dilengan kirinya lengkap dengan flat shoes dan kaos kaki panjang selututnya. Tak lupa wajahnya yang ia poles dengan sedikit bedak dan lip ice yang mewarnai bibir mungilnya. Veni terlihat begitu menawan di mata Robi. Sempat Robi melamun karena kecantikan kekasihnya tersebut. Namun pudar ketika Veni menepuk pundaknya.


    “Hei, pagi-pagi kok melamun” Kaget Veni.
    “Emmm..enggak papa kok Ven, habisnya kamu cantik sih.”
    “Apaan sih kamu pagi-apagi udah nggombal.”
    “Enggak, beneran tau.”
    “Huh dasar kamu Rob .. Baru tau ya kalo aku cantik ?”


    Seketika Robi langsung mencubit hidung Veni karena kekonyolannya itu. Mereka kemudian berangkat sekolah berboncengan. Jarak rumah Veni ke sekolah kira-kira hanya sepuluh menit. Selain itu letak sekolah mereka juga sejalur dengan arah rumah masing-masing dari mereka. Pagi itu jalanan padat terisi oleh banyak kendaraan seperti mobil dan sepeda motor. Hal itu membuat para pengendara harus lebih berhati-hati. Apalagi sekarang adalah musim hujan. Jika jalanan terguyur hujan, kemungkinan kecelakaan semakin besar. Robi mengendarai motornya dengan sangat hati-hati karena dia tak ingin Veni kenapa-napa.

    Pukul tujuh kurang sepuluh menit mereka tiba disekolah.
    “Flu mu udah sembuh belum Ven ?”
    “Udah kok Rob. Tenang aja.”
    “Okedeh. Jangan sampe sakit lagi yaa, soalnya sekarang ini banyak virus-virus yang berterbangan mengintai kesehatan kita. Maka dari itu, kita harus waspada dan hati-hati.”
    “Iya Robiii…”

    Mereka kemudian berjalan menuju kelas mereka. Mereka berjalan berdampingan. Banyak teman yang sudah mengetahui jika mereka berpacaran. Maka dari itu, teman-teman hanya biasa saja jika melihat mereka berdua berangkat bersama, pulang bersama ataupun berjalan berdampingan seperti pagi itu. Suasana sekolah sudah ramai dengan murid-murid lainnya, kebanyakan dari mereka adalah murid-murid yang rajin. Pukul enam pagi pun ada yang sudah tiba di sekolah, jadi saat itu tepat dengan pertama kali pintu gerbang di buka pada pagi hari.
    “Sampai nanti pulang sekolah ya, Ven.”

    Begitu kata-kata Robi sebelum dia masuk ke kelasnya. Veni hanya tersenyum sambil melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Veni sudah mengetahui maksud dari omongan Robi tadi. Pulang sekolah mereka biasa untuk pergi ke taman. Entah sekedar menghibur diri ataupun belajar bersama mengenai pelajaran yang belum terlalu dimengerti oleh mereka berdua.

    Pukul dua siang mereka pulang sekolah. Mendengar bel pulang Robi pun bergegas ke kelas Veni untuk mengajak Veni ke taman biasa. Saat tiba dikelas Veni, ternyata kelas Veni belum pada keluar dan ada guru yang masih mengajar. Terpaksa Robi menunggu di kursi depan kelas Veni. Robi memperhatikan teman-teman yang berjalan di hadapannya. Kebanyakan dari mereka menyapa karena Robi memang memiliki banyak teman di sekolah itu. Hampir seluruh kelas sebelas mengenal Robi. Robi memang tidak mengikuti organisasi-organisasi di sekolah, namun keahliannya dalam beradaptasi dan bergaul dengan satu sama lain menjadikannya memiliki banyak teman. Kakak kelas maupun adik kelas juga banyak yang mengenal Robi. Banyak teman-temanya, adik kelas, maupun kakak kelas yang suka kepadanya. Entah sekedar kagum ataupun benar-benar menyukainya tak ada yang tahu.


    “Doorr… “ Kaget Veni.
    “Eehh eehhh.. Veni apaan siih ?” Jawab Robi latah.
    “Habisnya ngelamun melulu sih dari tadi. Ngapain coba, kurang kerjaan mesti.” Ejek Veni sambil menjulurkan lidahnya.
    “Kan aku ngelamunin kamu Ven, jadi nggakpapa dong..”
    “Iiiihh dasar yaaaa… “ Jawab Veni sambil berjalan meninggalkannya.

    “Eehh Ven mau kemana kamu, tunggu jangan tinggalin aku.” Teriak Robi sambil mengejar Veni.

    Kemudian mereka pergi menuju taman yang biasa mereka datangi setelah pulang sekolah. Udara ditaman sangatlah sejuk, rumput hijau menambah keasrian taman yang ditumbuhi banyak pohon rindang. Tak lupa dibawahnya terdapat bunga-bunga yang indah dan bermekaran dikala musim hujan. Di ujung taman terdapat kolam ikan yang dipinggirnya terdapat banyak batu-batu agar jika orang-orang mendekat tidak mudah terpeleset. Orang-orang juga bisa memberi makan ikan-ikan cantik yang berada di dalam kolam tersebut. Selain itu dibawah pohon-pohon terdapat kursi panjang yang biasa digunakan untuk istirahat sambil menikmati pemandangan asri di taman itu.

    Robi dan Veni sering duduk di dekat kolam di bawah sebuah pohon besar yang sangat rindang. Selain udaranya yang segar, Veni dan Robi juga bisa sambil memeberi makan ikan-ikan kecil di kolam itu. Mereka berdua duduk sambil bercerita mengenai hari ini, tidak jarang pula gombalan-gombalan Robi menyertai setiap pembicaraannya. Namun obrolan mereka terhenti ketika senja telah tiba. Matahari mulai menempati ufuk timur. Bayang-bayang merah jingga mulai menghiasai langit timur. Matahari tersenyum dengan indahnya seakan mengingatkan Robi untuk segera membawa Veni pulang ke rumah.

    ***
    Setelah beberapa bulan hubungan mereka tetap berjalan lancar dan baik baik saja. Mereka selalu melewati kebahagiaan bersama. Mereka pun saling percaya dan selalu menjaga kepercayaan diantara satu sama lain. Begitu juga dengan Robi yang tidak lagi melupakan tanggal jadian mereka berdua. Robi selalu datang tepat waktu bahkan sebelum Veni datang. Robi datang dengan berbagai kejutan romantisnya. Hal itu membuat Veni bahagia dan semakin sayang kepada Robi yang selalu mengasihi dan selalu baik kepadanya. Tak luput juga perhatian Robi yang selalu diberikan kepada Veni. Semua itu membuat Veni semakin nyaman dengan Robi.

    Namun semua itu pudar ketika terdapat siswi pindahan dari luar Jawa yang mengusik hubungan mereka berdua. Sisiwi itu bernama Caca. Kebetulan Caca dimasukkan ke dalam kelas Robi. Awalnya Robi dan Caca adalah teman biasa. Mereka bahkan tidak terlalu mengenal satu sama lain. Mereka hanya ngobrol seperlunya saja. Di kelas mereka pun juga jarang duduk sebangku, karena teman sebangku Robi adalah Sandi, sahabatnya.





    Spoiler untuk Part 3 :

    Hingga pada suatu hari, Caca mulai menyukai Robi. Semua itu berawal dari pelajaran drama Bahasa Indonesia. Bu Nanik menyuruh sekelas untuk berpasang-pasangan membentuk kelompok. Dan pasangan itu harus cewek dan cowok. Kelompoknya itu ditentukan oleh Bu Nanik. Bu Nanik menyebutkan bahwa Robi dan Caca satu kelompok. Hari itu Caca dan Robi pun duduk sebangku. Sedangkan Sandi duduk dengan pasangannya. Caca dan Robi membahas cerita drama yang akan ditampilkan mereka berdua. Disela-sela obrolannya untuk membuat naskah drama, Caca sempat melihat wajah Robi. Robi memang cowok yang termasuk manis dan ganteng. Kulitnya tidak terlalu putih namun tidak juga hitam. Kulit wajahnya mulus hampir tanpa jerawat. Selain itu senyumnya yang begitu manis ditambah dengan giginya yang putih dan rapi membuat setiap wanita bisa jatuh hati padanya. Dan saat ini hal itu terjadi kepada seorang gadis bernama Caca. Jantungnya mulai berdegup kencang ketika mata mereka bertemu dalam setiap obrolannya.


    Sejak hari itu, Caca sering meminta Sandi untuk tukeran tempat duduk dengannya karena Caca ingin duduk sebangku bersama Robi. Hal itu dilakukan Caca karena ingin melihat ketampanan Robi dari dekat. Robi pun menganggapnya biasa saja karena mereka memang sedang dihadapi oleh tugas membuat naskah drama bersama. Ketika Caca kesulitan dalam mengerti pelajaran, Caca pun tak sungkan untuk bertanya kepada Robi. Spontan Robi langsung menjelaskan petanyaan dari Caca. Robi termasuk siswa yang pandai. Dibalik hobinya yang selalu main game, tetapi dia konsekuen dengan belajarnya. Dia memiliki impian untuk tetap terus bertahan di rangking kelas sepuluh besar. Maka dari itu ia selalu memperhatikan ketika guru sedang menerangkan.


    Caca semakin terpesona dengan Robi. Caca selalu berharap jika Robi menjadi pacarnya, Padahal Caca tahu bahwa Robi sudah memiliki pacar. Namun Caca tidak peduli karena yang dia inginkan hanya Robi. Caca mulai mencari tahu segala hal tentang Robi. Dari tanggal ulang tahunnya, nomor teleponnya, warna kesukaannya, rumahnya, makanan favoritnya, minuman kesukaannya dan lain-lain. Caca sangat jeli untuk mencari informasi mengenai Robi. Tak hanya itu, diam-diam Caca juga sering mengikuti kemanapun Robi pergi.


    Ketika Robi dan Sandi pergi ke kantin, diam-diam Caca dan Sari mengikuti mereka. Caca dan Sari juga pergi ke kantin. Robi dan Sandi berniat untuk membeli makanan kecil dan minuman, kemudian mereka duduk di bangku pojok di ujung ruangan kantin. Caca yang melihat hal tersebut langsung ikutan membeli makanan kecil beserta minumannya. Setelah membelinya Caca dan Sari lalu mendatangi Robi dan Sandi.

    “Eehh.. aku gabung yaa..” Pinta Caca.
    “Emm.. kenapa kalian nggak duduk disana, itu ada Dina dan Evi sedang makan juga.”Jawab Robi.
    “Nggak ah, aku sama kalian aja, boleh kan ?”Paksa Caca.
    “Ooohh boleh kok boleh. Duduk aja!”Kata Sandi.
    “Yaudah deh.” Jawab Robi pasrah.

    Sebenarnya Robi tidak suka dengan kedatangan Caca dan temannya itu. Namun sepertinya Sandi senang jika Caca dan temannya itu gabung dengan mereka berdua. Dari raut wajah Sandi, Robi tahu bahwa sahabatnya itu menyukai Caca. Maka Robi pun harus ikhlas ketika berada satu meja dengan Caca dan temannya. Selama itu banyak yang mereka bicarakan. Tetapi kebanyakan yang menjawab adalah Sandi. Robi sengaja diam karena tidak mau mengganggu mereka. Padahal Caca banyak tanya kepada Robi. Entah itu menanyakan tentang dirinya ataupun sekedar basa basi saja. Robi tetap cuek kepada Caca, dia terus menikmati makanan yang tadi di belinya. Sedangkan Sandi berusaha mengalihkan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Caca kepada Robi. Hingga bel tanda masuk pun berbunyi. Mereka berempat kemudian berjalan menuju kelas.

    “Krriingg... Krriiingg... Krriiing...”

    Bel tanda pulang sekolah berbunyi. semua siswa berhamburan keluar kelas untuk segera pulang. Begitu juga dengan Caca yang langsung menghampiri Robi dan mulai mengeluarkan senjatanya untuk memikat hati Robi.

    “Rob.. Robi.. “ Panggil Caca.
    “Kenapa Ca?”
    “Anterin aku ke toko buku yuk.”
    “Nggak ah, sama Sandi aja tuh.”
    “Aku maunya sama kamu. Ayo Rob.” Paksa Caca sambil menarik tangan Robi.
    “Enggak Ca, lepasin.”

    Tiba tiba Veni datang dan sempat melihat apa yang baru saja terjadi. Veni yang berniat untuk mendatangi Robi mendadak berhenti dan membalikkan langkahnya. Robi kaget, sesaat Robi langsung mengejar Veni namun lagi-lagi Caca menarik tangan Robi. Langkah Robi pun terhenti.

    “Kenapa lagi sih? Lepasin Ca.”Pinta Robi.
    “Nggak mau, kamu kan mau nganterin aku ke toko buku. Ayok!”Ajak Caca, memaksa.
    “Ca, aku nggak bisa. Aku harus ke Veni, maaf yaa. Kamu sama Sandi aja.” Jawab Robi sambil melepaskan tangannya dari Caca dan langsung berlari mengejar Veni.

    Robi terus berlari mengejar Veni. Sedangkan Caca terlihat kecewa dengan Robi yang mementingkan Veni daripada dirinya. Robi sangat khawatir dengan Veni. Robi tak mau hubungannya terganggu hanya gara-gara sikap Caca yang berlebihan kepada Robi. Saat itu Robi sudah tak lagi memikirkan perasaan Caca, yang hanya dia pikirkan adalah bagaimana menjelaskan ini semua kepada Veni. Robi tahu bahwa saat ini perasaan kekasihnya itu sangat sedih dan kecewa. Namun Robi akan tetap berusaha meyakinkan Veni agar dia kembali percaya kepada Robi.


    Ketika sampai di pintu gerbang ternyata jemputan Veni sudah datang. Tanpa pikir panjang Veni langsung memasuki mobilnya. Robi yang tahu hal itu mencoba mempercepat langkah berlarinya. Namun sia-sia, karena mobil Veni terlanjur melaju dengan cepat. Veni sengaja menyuruh sopirnya untuk langsung menjalankan mobilnya. Veni tidak mau bertemu bahkan berbicara dengan Robi. Hati Veni terasa retak, rasanya mau hancur lebur menjadi abu. Semua itu membuat perasaannya terhadap Robi terkikis. Sedangkan dengan Robi, hal itu membuatnya merasa terpukul. Raut mukanya mendadak menjadi sedih dan campur dengan emosi. Robi menyesal memiliki teman seperti Caca. Saat itu emosinya kepada Caca pun memuncak di ubun-ubun. Robi menyalahkan Caca atas kejadian ini.

    “Kenapa Caca harus pindah kesini sih? Sukanya ganggu hubungan orang aja. Arrgghhh !! “Gumamnya dalam hati.

    Kemudian Robi kembali memasuki sekolahnya. Tangannya menyibakkan rambutnya kebelakang berharap masalah ini cepat selesai. Raut mukanya gundah, seakan kehilangan arah. Dia berjalan melewati koridor sekolah menuju halaman belakang untuk mengambil motornya. Sesekali ia mendapati sampah kaleng di depannya kemudian dia tendang kaleng itu hingga melayang entah kemana. Dia tidak peduli jika kaleng yang ditendangnya itu bakal mengenai orang lain. Hanya Veni yang terus menerus terngiang dibenaknya.

    Saat Robi menendang kaleng bekas tersebut, tidak sengaja Sandi melihatnya dari kantin dekat parkiran sekolah. Seketika Sandi berlari ke arah Robi. Sandi tahu bahwa ada yang tidak beres dengan Robi. Rasa keingintahuannya mendorong Sandi untuk menanyakan apa yang terjadi kepada sahabatnya itu.

    “Rob, ada apa? Kelihatannya ada yang tidak beres?” Tanya Sandi.
    “Aku enggakpapa kok, San.” Jawab Robi bohong.
    “Udah muka kucel kayak gitu masih aja bisa bohong. Ckck” Ledek Sandi.
    “Apaan sih.” Jawab Robi singkat.
    “Hhh.. Kenapa sih kamu? Lagi marahan ya?”
    “Gara-gara gebetanmu tuh. Aku jadi renggang sama Veni.”
    “Sabar, Sob. Emangnya Caca ngapain kamu sama Veni?”
    “Tadi dia ngajak aku buat nganterin dia ke toko buku, tapi aku nolak terus pergi. Tapi tiba-tiba dia nahan aku sambil megangin tanganku. Dari arah sana ada Veni jalan ke arahku, Veni liat tangan Caca megangin aku. Veni langsung lari keluarr terus naik mobil, Veni pulang. Aku sedih, San.” Jelas Robi lebar dengan raut muka sedih.
    “Kok segitunya sih si Caca, nggak nyangka aku dia sampe selebay dan setega itu sama Veni.”
    “Nggak tahu tuh, jadi cewek over banget sih, nggak suka aku. Tapi San, terus aku harus gimana sekarang ?”
    “Huussh jangan gitu, dia tetep gebetanku tauu….. Kamu samperin Veni ke rumahnya aja habis ini.”
    “Cewek kayak gitu aja di pertahanin kamu tuh, kalo aku sih mendingan cari cewek lain yang lebih baik. Uppss maaf… Tapi aku takut ke rumah dia, San.”
    “Yang suka kan aku, ngapain kamu yang sewot? Kamu harus berani dong Rob, demi Veni.”
    “Hahaha terserah deh.. Oke, thanks, Sob. Akan ku coba. Doakan ya.”



    Spoiler untuk Part 4 :

    Tangan Robi langsung menyambar bagian depan tasnya yaitu tempat dimana kunci motor Robi diletakkan. Setelah mengambil kunci motor, Robi pun menyalakan motornya dan bergegas membawa motornya melaju ke rumah Veni. Suara klakson Robi ibarat menyapa Sandi karena Robi sudah tak sempat lagi berbicara. Di perjalannya mata Robi hanya terfokus kepada jalanan yang ramai lancar. Saat itu banyak sekali murid SMA yang pulang sekolah. Maka jalanan jadi penuh oleh kendaraan mereka. Lalu lalang siswa SMA yang menyebrangi jalan raya menambah kemacetan di jalanan.

    Setelah kira-kira lima belas menit, akhirnya Robi tiba di rumah Veni. Motor Robi di parkir di halaman depan yang terdapat banyak tanaman hias dan bunga-bunga indah. Di ujung halaman depan terdapat kolam ikan yang kecil namun menarik untuk sekedar refreshing atau mencari inspirasi. Pohonnnya yang rindang membuat rumah Veni terasa sangat teduh, begitu juga udaranya yang sangat sejuk membuat orang yang ke rumahnya betah tinggal disana.
    Sementara Robi terus berjalan menuju pintu rumah Veni. Kemudian terlihat tangannya mengetuk pintu rumah kekasihnya itu.


    “Thookk.. thookk.. thookk..”


    Robi terus menunggu di depan pintu. Berharap saat pintu terbuka yang dia lihat adalah Veni. Namun setelah dia menunggu beberapa saat, tiba-tiba pintu rumah Veni terbuka. Robi sangat senang, ia sudah membayangkan jika Veni yang mebukakan pintu tersebut. Namun ternyata dugaannya salah. Yang ada di depannya saat ini adalah Mang Udin. Bukan Veni yang dia inginkan.


    “Loh kok Mang Udin ?” Tanya Robi kaget.
    “Laiya ini saya Mang Udin, Mas. Kenapa kok sepertinya kaget begitu?”
    “Oohh.. Maaf maaf mang. Saya kira tadi Veni yang membuka pintunya, eeh ternyata malah Mang Udin.”
    “Mmm.. pantas saja.. Mbak Veni kan belum pulang dari sekolah mas.”
    “Hah? Tapi dia tadi sudah di jemput, pulangnya pun sudah dari tadi.”
    “Mungkin mbak Veni mampir dulu. Kan hari ini malam Minggu mas, biasalah.”
    “Kira-kira pulangnya kapan ya, mang ?”
    “Wah, kalo itu mang Udin kurang tahu, mas.”


    Robi sangat sedih karena gagal untuk bertemu dengan Veni. Robi bingung apakah dia harus menunggu Veni hingga pulang atau tidak. Saat itu jam menunjukkan pukul 15.30 WIB. Artinya itu belum terlalu sore. Dan Robi pun memutuskan untuk menunggu Veni. Robi duduk di anak tangga depan rumah Veni. Pikirannya juga tak luput dari seorang Veni yang selalu mengisis kesehariannya. Robi terus melihat gerbang depan, berharap mobil Veni muncul. Namun hingga satu jam berlalu mobil Veni tak kunjung terlihat. Menit demi menit terus ia lewati. Robi adalah tipe cowok yang setia kepada pacarnya. Maka dari itu, dia bisa sabar menunggu Veni pulang.

    Adzan Maghrib mulai berkumandang. Veni tak kunjung pulang. Robii akhirnya pasrah dan memilih untuk meninggalkan rumah Veni. Saat dia keluar dan membelokkan motornya ke arah barat, mobil Veni muncul dari arah timur.


    “Loh itu bukannya Robi.” Gumam Veni dalam hati.


    Robi terlanjur mengendarai motornya dengan cepat. Sehingga Robi tidak mengetahui bahwa Veni sudah pulang. Veni yang mengetahui hanya diam saja dan mulai memikirkan kekasihnya itu. Sebenarnya Veni sengaja pulang sore. Dia meminta kepada sopirnya untuk pergi jalan-jalan dan mengalihkan pikirannya dari Robi dan kejadian yang baru dilihatnya tadi. Veni sudah tahu bahwa Robi pasti akan mendatangi rumahnya. Dan kali ini Veni berhasil menghindar dari Robi yang telah menyakiti hatinya.

    Sesampainya di rumah Veni langsung memasuki kamar lalu mandi. Ia mencoba menghibur diri agar pikirannya tidak tertuju kepada Robi ataupun masalah tadi. Malam hari Veni belajar, sengaja ponselnya ia taruh di bawah bantal dan di silent agar ia tidak mendengar jika nanti Robi menelponnya. Veni benar-benar kecewa kepada Robi yang tidak bisa menjaga perasaannya. Veni mencoba fokus dengan pelajaran yang sedang di pelajarinya. Di meja belajar, ia juga mencoba mengerjakan soal-soal yang ada pada buku latihan. Di telinganya terdapat headphone yang selalu menemaninya ketika ia sedang belajar. Veni tidak bisa belajar tanpa mendengarkan musik. Meskipun musik suaranya keras, namun itu membuatnya lebih fokus daripada ia harus mendengarkan suara TV di ruang tengah yang kadang-kadang sampai terdengar hingga ke kamarnya. Selain itu, ia juga bisa melupakan segala masalah dan dia bisa konsentrasi dalam belajar. Pukul sepuluh malam Veni memutuskan untuk tidur.

    ***

    Keesokan harinya Veni bangun dan mengambil ponselnya. Veni dikejutkan dengan berpuluh-puluh panggilan masuk dan berpuluh-puluh sms dari Robi. Yaa.. semua panggilan masuk dan sms itu hanya dari Robi seorang. Setelah Veni membukanya ternyata isi smsnya adalah Robi minta maaf kepada Veni atas kejadian kemarin. Robi juga tidak mau jika hubungannya renggang hanya gara-gara Caca yang tidak tahu diri itu. Di dalam smsnya Robi terus meminta agar Veni memaafkan dirinya. Veni sempat terharu membaca sms dari Robi. Namun apa boleh buat, Veni sudah terlanjur kesal dengan Robi. Veni tidak membalas sms dari Robi.

    Kala itu adalah hari Minggu. Veni dan Robi sengaja tidak keluar rumah. Padahal biasanya setiap minggu mereka selalu ada kegiatan. Kegiatan Veni setiap minggu adalah menjenguk neneknya. Sudah lama neneknya sakit. Neneknya juga pernah di rawat di rumah sakit, namun setelah keadaannya membaik, atas ijin dokter nenek akhirnya di perbolehkan pulang. Semenjak itu menjadi tugas rutin Veni untuk selalu menjenguk neneknya. Rumah neneknya Veni kira-kira hanya 10 km dari rumah Veni. Jarak tersebut bisa di tempuh dengan motor selama kurang lebih 10 menit. Veni selalu ke rumah nenek membawa buah-buahan dan roti bolu kesukaann nenek. Sebenarnya makanan kesukaan neneknya adalah coklat. Tetapi Veni jarang membelikannya mengingat gigi nenek yang sudah tak banyak lagi. Tidak lucu jika setelah makan coklat nanti gigi nenek menjadi linu dan akhirnya tanggal satu per satu dan nenek kehilangan semua giginya. Apa jadinya jika nenek tidak memiliki gigi. Maka dari itu Veni tak pernah membelikan neneknya coklat. Selain itu, Veni tidak mau jika nantinya penyakit neneknya kambuh lagi hanya karena kebanyakan memakan coklat.

    Tetapi pada hari Minggu kali ini Veni sengaja tidak menjenguk neneknya. Dia ingin istirahat total suapaya hari esok nanti ia bisa bangun dengan pikiran yang fresh dan tidak lagi lesu seperti hari kemarin. Sepajang hari Veni hanya membaringkan badannya. Sesekali ia pergi ke ruang tengah untuk melihat acara televisi. Jika tidak, Veni hanya tiduran dengan mp4 yang selalu di bawanya kemana-mana. Minggu Veni sangat damai dan tak ada satu orang pun yang mengganggunya. Sementara Robi mengisi liburannya dengan mencucici motor keasayangannya. Biasanya Robi selalu olahraga di pagi hari ataupun saat senja datang. Tetapi kali ini ia sehati dengan Veni yang sengaja tidak pergi keluar rumah. Seharian itu Robi hanya di rumah. Sesekali Robi juga keluar rumah karena teerpaksa mengantarkan mamanya ke pasar. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan gitarnya. Sepanjang hari ia hanya menyanyikan lagu-lagu dengan gitarnya. Robi selalu melakukannya di dalam kamar jika ia sedang suntuk dan tidak tahu apa yang mesti ia kerjakan.




    Spoiler untuk part 5 :


    Saat Veni sedang di kamar, tak sengaja ia memandang fotonya dengan Robi. Senyum mereka berdua terlihat manis. Foto mereka berdua itu seakan menandakan betapa bahagianya mereka saat itu. Tidak seperti saat ini yang sedang kabut. Veni lalu mengambil pigura mereka berdua itu. Kemudian dibawanya ke dekat jendela kamarnya. Veni memandangi foto mereka dengan haru. Veni seakan terbawa dalam memori dan kenangan yang telah mereka buat dulu. Sungguh indah dan tak terlupakan. Veni hanyut dalam kenangan manisnya bersama Robi. Sesekali ia menghirup udara dan mengembuskannya. Menandakan bahwa ia sangat merindukan Robi. Terlintas dipikirannya semua tentang Robi. Tetapi mengapa hari ini Robi tak menanyakan keadaannya. Bahkan sekedar sms atau telepon pun tidak. Padahal Veni sangat mengharapkan kedatangan Robi yang selalu perhatian kepadanya.


    “Apakah Robi sudah berubah? Hingga begitu cepatnya dia melupakan aku dan tak menanyakan kabarku. “ Gumam Veni dalam hati.


    Bagi Veni dan Robi, hari Minggu kala itu tidak ada yang spesial. Mereka terus-menerus menunggu waktu untuk kembali berputar hingga tiba saatnya esok akan datang. Seperti biasa, di malam hari mereka belajar untuk menghadapi pelajaran hari esok. Mereka berdua benar-benar diam seakan mereka bukanlah sepasang kekasih lagi. Sengaja Robi tidak terus mengejar dan meminta maaf kepada Veni hari itu. Ia ingin agar beretemu langsung dengan Veni dan membicarkannya. Jika di sms mungkin akan susah memberikan alasannya. Namun jika beretemu langsung, Robi bisa berbicara dengan leluasa, tak lupa dengan memandang mata Veni yang selalu berbinar.

    ***

    Saat istirahat, Veni belum juga melihat batang hidung Robi. Setiap Veni berjalan, ia selalu mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru sekolah. Namun sosok yang ia tunggu-tunggu tak kunjung muncul di pandangannya. Veni pun terus berjalan untuk kembali ke kelasnya. Tiba-tiba Rena mengajak Veni ke perpustakaan untuk meminjam salah satu buku pelajaran.



    “Ven, anterin ke perpus bentar yuk!”
    “Ngapain ?”
    “Ya pinjem bukulah, masak mau ngapelin Robi. Hahaa.”
    “Iihh kamu gitu banget.”
    “Eiittss jangan marah dong, Ven. Yuk!”


    Rena langsung menarik tangan Veni yang penuh dengan makanan yang barusan mereka beli dari kantin. Veni hanya pasrah di tarik oleh temannya itu, ia tetap berjalan untuk mengantarkan Rena ke perpustakaan. Tak lupa ia mengarahkan pandangannya ke seluruh sudut sekolah untuk mencari Robi. Namun tak juga ditemukan oleh Veni. Akhirnya ia dan Rena masuk ke perpustakaan. Mata Veni tak berkedip ketika didapatinya sesosok orang yang seharian ini dicarinyaa sedang duduk dan ngobrol bersama cewek lain. Mereka adalah Robi, Caca dan Sandi. Rena tidak mengetahui hal itu karena ia langsung terfokus pada buku yang dicarinya. Veni hanya bisa menahan amarahnya tanpa berkata sepatah kata pun dengan mata tetap tertuju kepada mereka bertiga. Sengaja Veni memperhatikan mereka dari jauh, dia tak mau kalau Robi mengetahui Veni ada disitu. Selain itu jika Veni mendekat juga tak ada gunanya, karena mereka berbicara dengan suara pelan. Sebab di perpustakaan memang tidak diperbolehkan untuk berbicara keras. Ketika Veni sedang melihat mereka bertiga, sambil mencai buku tiba-tiba Rena bertanya kepada Veni.


    “Ven, kok diem aja sih.” Tanya Rena. Namun Veni tidak mendengar pertanyaan Rena dan tetap diam.
    Seketika Rena langsung melihat Veni, lalu matanya pun ikut mengarah ke pandangan yang sedang dilihat oleh Veni. Ketika melihatnya Rena pun kaget.
    “Ven, bukannya itu Robi ?” Tanya Rena spontan .


    Veni tetap diam saja. Hatinya semakin teriris ketika tangan Caca memegang tangan Robi. Terlihat Caca memang sengaja mendaratkan tangannya diatas tangan Robi. Begitu juga kepala Caca yang juga sengaja disenderkan di pundak Robi. Spontan Robi langsung menolaknya dan menyuruh Caca untuk tidak bersikap seperti itu. Namun Caca tetap menolak dan tetap bersikap seenaknya kepada Robi. Melihatnya, perlahan air mata Veni sudah tak terbendung lagi. Tak lama kemudian air mata mulai menetes di pipinya. Rena sudah tak kuat lagi melihat temannya itu sedih. Ia pun langsung mengambil tindakan. Ditariknya Veni ke depan mereka bertiga, lalu Rena menyerang Robi dengan perkataannya.



    “Heh Rob, kamu tuh tega banget ya. Masih punya perasaan nggak sih ? Atau emang udah nggak punya hati ? Liat dong Veni, dia tuh dari tadi nungguin kamu mbalik ke dia. Tapi apa yang lakuin ? Gini balesanmu ke dia ? Dasar cowok play boy lo. Gampang banget sih di godain.” Kata Rena sambil emosi.
    Kemudian Rena langsung membawa Veni keluar dari perpustakaan tanpa memberi kesempatan Robi untuk berbicara. Rena tak lagi peduli dengan perasaan orang yang dicacinya tadi. Yang ia pedulikan adalah perasaan temannya. Dibawaya Veni ke sudut sekolah untuk menenangkan diri. Rena bingung harus berbuat apa. Sementara Veni terus larut dalam kesedihannya. Rena mencoba mengerti akan perasaan Veni yang telah disakiti oleh orang yang disayanginya. Selama beberapa menit Rena mencoba menenangkan dan menghibur Veni. Rena juga menyelipkan nasihat-nasihat kecil agar Veni tetap kuat dan memilih jalan yang terbaik diantara mereka berdua.

    ***

    Hari itu bukanlah hari yang baik untuk Veni. Begitu juga dengan Robi, mereka berdua nampak bingung apa yang harus mereka lakukan. Bukan maksud Robi menyakiti hati Veni. Sebenarnya Robi dekat dengan Caca itu karena ia disuruh untuk membantu sahabatnya mendekati Caca. Sandi minta tolong kepada Robi karena dilihatnya Robi sudah nampak dekat dengan Caca. Namun tak disangka semua itu malah menjadi petaka bagi hubungannya.



    Robi memegang origami yang telah dibuatnya. Ia membuat origami untuk Veni. Di dalamnya tertulis kalimat atas permintaan maafannya kepada Veni. Sebenarnya pulang sekolah tadi Robi ingin membawa Veni ke taman agar Veni tahu bahwa Robi masih sangat-sangat menyayanginya. Ia tidak mau semuanya kandas ditengah jalan. Rumah pohon di taman sudah di hias seunik mungkin. Namun kini seakan usang ditelan waktu.



    Hari demi hari mereka lalui tanpa satupun terlewati. Keduanya yang terus diam sudah menjadi hal biasa. Setiap pertemuan diantara mereka berdua seakan menjadi momok antara keduanya. Veni dan Robi merasa takut. Salah satu sisi, Veni tidak mau jika perasaannya disakiti lagi. Tetapi disisi lain Robi juga memendam rasa bersalah yang tak pernah berhenti mengejarnya. Hubungan mereka hanya diambang, tak ada kata putus dan tak ada kata sambung. Hubungan mereka samar-samar, tak ada kejelasan di dalamnya.



    Hingga suatu saat, tak ada sepatah kata yang terucap dari mulut Robi ketika ia mengetahui bahwa Veni koma di rumah sakit. Veni terkena benturan keras ketika mobil yang ditumpanginya mencoba menghindari truk tangki yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah selatan. Namun naas, mobilnya oleng kemudian menabrak pembatas jalan hingga Veni terkena benturan yang sangat keras yang mengenai sarafnya. Robi yang mendengarnya dari Sandi merasa sangat sedih. Ia ingin segera menjenguk Veni agar dia tahu bagaimana keadaan Veni saat ini. Beruntung luka Veni tidak terlalu parah, namun saying karena ia harus mengalami koma.




    Selama hampir dua minggu Veni koma di rumah sakit. Selama itu pula setelah pulang sekolah Robi selalu menjenguknya. Robi tidak pernah ke rumah sakit dengan tangan kosong. Melainkan ia selalu membawa bunga untuk Veni. Setiap hari ia selalu mengganti bunga dikamar Veni. Bunga itu mungkin melambangkan permintaan maafannya kepada Veni. Dengan itu, Robi bisa mengurangi rasa bersalahnya yang mendalam terhadap Veni. Bukan Robi jika ia tidak bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Bukan Robi jika ia tidak setia kepada wanita yang disayanginya.





    Spoiler untuk Chapter 6 :
    Robi amat sedih saat veni sakit, dia merasa ada sesuatu yang kurang di dalam dirinya, robi berjanji jika nanti veni sembuh Robi tidak akan menyakitinya lagi. Robi sungguh menyesali perbuatannya itu. Saat itu adalah seminggu sebelum Valentine Day tiba. Dengan semangat ia berjalan melewati koridor rumah sakit menuju kamar tempat Veni di rawat karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kekasihnya itu, namun betapa terkejutnya dia ketika membuka pintu kamar itu tetapi tidak ada orang didalamnya. Kamarnya rapi seakan sudah tidak ada lagi pasien yang di rawat di kamar itu. Robi mulai cemas dan bingung , wajahnya mendadak pucat, tangannya pun lunglai seakan sudah tak lagi memiliki tenaga. Pikirannya melayang-layang hingga hal yang bukan-bukan pun ikut merasuki naungan pikirannya. Didapatinya suster yang sedang lewat di depan kamar. Dengan gemetar, Roni mencoba menanyakan keberadaan Veni.
    “Permisi, Sus.” Sapa Robi.
    “Iya ada yang bisa saya bantu?” Jawab suster, halus.
    “Sus, pasien yang ada di kamar ini kemana ya ? Apakah dia baik-baik saja ?”
    “Ooh, pasien di kamar ini sudah pindah ke ruang rawat yang biasa. Tadi pagi pasien sadar dari komanya.”
    “Oh..Oh begitu ya, Sus. Saya kira ada apa-apa dengan pasien itu. Oya, kamar rawat pasien itu dimana ya?”
    “Kalau tidak salah pasien dipindah ke Kamar Melati Nomor 2.”
    “Terimakasih banyak, Sus. Permisi.”
    Robi segera bergegas ke kamar Veni, ia berjalan dengan bahagia dan tampat raut wajahnya berubah menjadi ceria karena sebentar lagi dia akan melihat orang yang disayanginya itu telah membuka matanya kembali. Tiba di depan pintu kamarnya, orang tua Veni membuka pintu. Robi yang berada di depannya langsung menjulurkan tangan lalu bersalaman dengan orang tua Veni. Orang tua Veni bermaksud pulang ke rumah. Ia senang melihat Robi berada disitu karena bisa menjaga Veni yang sendirian di kamar itu. Orang tua Veni menyuruh Robi untuk menjaganya hingga paman dan bibinya datang untuk bergantian menunggu Veni. Robi pun menyanggupinya lalu berjalan memasuki kamar Veni.

    Hati Robi berdegup kencang. Ia merasa bahagia, namun ia juga merasa malu karena ia belum sempat mengucapkan maaf kepada Veni. Setelah masuk ke kamar, Robi berjalan ke arah Veni. Ia mencoba tegar dan tetap bersikap seperti biasa terhadap Veni. Robi tak mau Veni tahu bahwa sebenarnya ia sangat malu berada disini saat ini. Melihat Robi, Veni langsung melemparkan senyum manisnya kepada Robi. Lalu Robi duduk di kursi tepat disamping tempat tidur Veni. Tak lupa ia memberikan berbagai macam buah dan bunga yang telah dibawanya.
    Dengan ragu, Robi mencoba memegang tangan Veni seperti saat dia menjenguknya ketika Veni sedang koma. Veni terdiam, mencoba menatap mata Robi yang kemudian berkaca-kaca. Veni menatap Robi lembut, hingga akhirnya Robi mengangkat kepalanya dan bertemulah matanya dengan mata Veni.
    “Ven, maafin aku. Maafin aku yang udah terlalu banyak ngecewain kamu. Aku tidak ada apa-apa dengan Caca. Dia hanya temanku biasa..aku sudah coba untuk menghindarinya tetapi dia selalu mendekatiku seolah ingin menjauhkan aku dari kamu .... Ven tolongg..” Belum selesei Robi berbicara, tiba-tiba Veni menutup mulut Robi dengan jari telunjuknya.
    “Sshhtss… A ku ta.uu. A.ku ta..u se..mua.nya da.ri S.an.di. Di..a su..dah men..ceri..ta..kan se..mua..nya kep..ada..ku. Ha.a.rusn..ya a..ku yang mi..nta ma a af ke..pa..damu kar..na a..ku be..lum bi..sa me..nger..ti a ak..an di..ri..mu.” Veni mencoba menjelaskannya pelan, dia belum terbiasa bebicara lancar setelah ia menderita koma selama dua minggu.
    Robi kemudian mencium tangan Veni dengan lembut dan berterimakasih kepadanya. Begitu beruntungnya Robi karena memiliki kekasih sebaik dan sepengertian Veni. Sejak saat itu Robi semakin menyayangi kekasihnya. Begitu pula hubungan mereka yang saat ini kembali membaik. Tak lama keadaan Veni juga semakin membaik. Hingga akhirnya pada tanggal 14 Februari Veni diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter.
    Robi tidak mengantarkan Veni pulang. Melainkan dia menunggu di rumah Veni untuk menyambut kedatangan Veni. Dia sibuk mempersiapkan kejutan untuk kekasihnya. Dia juga sudah bilang kepada orang tua Veni agar diperbolehkan menghias rumah. Dia menghias dengan sederhana, simple namun sungguh mengesankan. Ditambah dengan nuansa pink yang dipakainya membuat suasana lebih bermakna. Balon, coklat dan kado sebagai tanda permintaan maafannya pun tak lupa ia siapkan.
    Ketika Veni tiba dirumah, ia langsung membuka pintu rumah dan kejutan pun siap dimulai. Awalnya semuanya gelap tak terlihat. Namun sesaat setelah itu, lampu dihidupkan dan banyak kertas bertaburan ke arah Veni. Semua orang terdekatnya muncul dihadapannya. Semua temannya sengaja diundang oleh Robi agar ikut kemari supaya suasana semakin meriah dan Veni juga merasa bahagia melihatnya. Aku berjalan ke arah Veni dengan membawa tulisan diatas gabus besar berbentuk hati yang bertulisan “Happy Valentine Day”. Veni yang melihatnya pun terkejut. Tidak menyangka dia bakal memperoleh kejutan seperti ini. Sesaat dia pun langsung memeluk erat Robi yang berada tepat diahadapnnya. Robi menyambutya dengan bahagia, lalu membalas pelukan dari Veni.

    Hari setelah valentine Day berlangsung Robi dan Veni kembali ke sekolah, mereka berdua sangat senang dan bahagia, tiada lagi orang-orang yang mengganggu hubungan mereka lagi termasuk Caca karena Caca sudah menyadari bahwa perbuatannya itu salah. Di sekolah sekarang mereka semua berteman. Robi dan Veni akhirnya pun menyadari bahwa kunci dari suatu hubungan adalah PERCAYA. Sekarang Robi dan Veni lebih percaya lagi dan tidak ada rasa cemburu-cemburu lagi karena mereka berdua sudah sangat mencintai satu sama lain.

    Sepulang dari sekolah Robi mengajak Veni untuk pergi ke taman dekat sekolah. Di saat sampai di taman Veni melihat ada kolam pemancingan yang banyak orang disana, lalu Veni pun mengajak Robi untuk memancing... Robi pun langsung mengikutinyaa. Detik demi detik mereka bercanda tawa di saat memancing, seperti pasangan Suami Istri yang sudah sangat akrab dan mencintai. Dalam hari Robi berkata “sungguh senang aku mempunyai kekasih seperti Veni yang cantik, baik , dan pengertian.
    Menjelang sore Robi dan Veni pun pulang, seperti biasa Robi mengantar Veni pulang ke rumah. Saat sampai rumah Veni, Robi mencium veni. Veni pun juga sangat senang. Sebelum pulang Robi mengajak Veni melihat pesta kembang api jam 10 malem karena berhubung hari ini malam minggu Robi ingin menghabiskan waktunya bersama Veni. Veni pun mau dan sangat senang
    Tiba jam 10 malam, Robi pun tiba di rumah Veni , Veni pun langsung ijin dengan ibunya dan berangkat dengan Robi. Sampai di tempat pesta kembang api, Veni dan Robi langsung ikut bermain kembang api bersama orang yang ada di situ. Tak ada lagi orang yang bisa memisahkan mereka berdua. Mereka bagaikan pasangan seperti lebah dan madu yang selalu mengisi setiap kekosongan. Robi berjanji tidak akan menyia-nyiakan kekasihnya itu dan sebaliknya dengan Veni. Akhirnyaaaaaaaaaaaaaa mereka berdua menjadi sepasang kekasih yang beautiful

    ****



    Last edited by ESSCENSHIFT; 27-03-13 at 23:42.

  13. #8
    Mello's Avatar
    Join Date
    Feb 2009
    Location
    Jakarta/Depok
    Posts
    11,007
    Points
    15,295.39
    Thanks: 164 / 188 / 154

    Default

    Distant Horizon

    Author: Mello
    Copyright ©2013 - f399 IDGS Forum
    Genre: Romance, School Life, Fantasy, Supernatural, Tragedy

    Spoiler untuk Story :
    Spoiler untuk Chapter 1 : The distance between me and you is still so great :


    “Sampai jumpa besok”

    Hari pertama masuk semester ini sudah usai, mereka pulang dengan wajah gembira bersama masing masing teman barunya, hebat juga di hari pertama mereka sudah membuat sebuah kelompok bermain nya masing masing dengan teman baru. Aku selalu pulang lebih lambat dari yang lain, kenapa? Ya aku ingin melihat pemandangan di atas sekolah terlebih dahulu.

    Angin mengibaskan rambutku, langit di kota ini berwarna Oranye membentang dengan indah, ditambah suasana yang masih sedikit lembab dan sejuk. Yah aku tidak begitu suka akan keramaian, pemandangan seperti ini yang bisa membuat hatiku tenang. Matahari sudah mulai tenggelam kurasa sudah waktunya juga aku pulang.

    Dalam perjalanan pulang yang kukerjakan hanyalah mengeluh, mungkin aku manusia paling pesimis di dunia. Aku benci kota ini, aku juga benci negara ini atau bahkan dunia ini, tidak tidak, tidak ada yang salah dengan dunia ini aku benci diriku sendiri. Biasanya orang orang pada masa SMA ini adalah masa dimana mereka sedang menikmati masa mudanya. Masa muda itu ******** hanya kelihatan indah di depan saja, padahal di dalam masing masing hati mereka tertanam rasa iri, benci, kepada teman dekatnya.

    “Oh kau sudah pulang Yamaguchi-kun, kalau ingin makan malam kau bisa mampir”

    Sapa bibi yang merupakan tetangga sebelah, sambil tersenyum kumenjawab “Ya terimakasih”

    Aku tinggal di sebuah Apartment kecil di dekat stasiun, beliau merupakan kenalan dari salah satu orang tuaku dan memintanya untuk melihat keadaanku sehari hari. Pintu kamar kubuka, barang barang berserakan dimana dimana rasanya seperti ada pertempuran dua orang badass yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan dunia, yah kurang lebih seperti itulah deskripsi keadaan kamarku saat ini.

    Tanpa membereskan apapun aku langsung lompat ke ranjang dan melanjutkan rutinitasku yaitu “mengeluh”. Aku tinggal sendiri tanpa orang tua, wajar saja jika kamar seorang anak laki-laki umur 16 tahun an berantakan seperti ini.

    Ini semua salah mereka, karena mereka aku terbentuk menjadi manusia pengeluh seperti sekarang ini, ya kedua orang tuaku sudah lama bercerai semenjak aku kecil, pada saat itu sudah sewajarnya aku mendapat kasih sayang dari mereka, yang ada mereka menelantarkanku sampai sekarang. Ah aku sudah beberapa kali berfikir untuk apa aku dilahirkan? Aku sama sekali tidak mempunyai tujuan hidup.

    Malamnya hujan kembali mengguyuri kota ini, rasanya cuaca di kota ini sangat cocok dengan hatiku. Terlarut dalam heningnya malam, emosi dan jiwaku menjadi lebih tenang dengan keadaan seperti ini, jiwaku seakan melayang dalam kesejukan yang membuat rasa kantuk pun datang, dan tanpa disadari akupun sukses tertidur.

    Sinar matahari sudah masuk ke ruanganku melalui celah celah jendela yang ada, wajahku terbasuhi oleh sinarnya yang memaksaku untuk bangun dan melakukan kegiatan sehari hari seperti biasanya.

    Kumulai lagi kegiatan rutin berangkat ke sekolah, hal ini akan terus bersirkulasi tiada henti sampai beberapa tahun kedepan. Banyak orang yang bertemu temannya ketika perjalanan pergi ke sekolah dan menyapanya, haha tidak akan ada yang menyapaku, aku dikenal murid berandalan disini. Ya yang kulakukan sejak kecil hanyalah bertengkar dan bertengkar, karena kupikir orang kuat itu hebat, bahkan aku juga telah menindik telingaku tapi tidak ada yang berani memarahiku mulai dari pengurus sekolah sampai guru sekalipun.

    *grek

    Pintu kelas kubuka, biasanya ketika aku masuk suasana kelas yang ramai akan menjadi hening tapi kali ini berbeda, suasana tetap ramai. Apa mereka sudah mulai terbiasa denganku? Ah aku tidak perduli apa yang dipikirkan mereka, tapi sedikit banyak hal ini tidak bagus untuk ku, karena aku lebih suka suasana kelas yang tenang.

    “Hei itu dia Yamaguchi-san yang terkenal suka bertengkar dengan orang lain”

    “Hati hati Tomoka-chan jangan sampai kau terlibat dengannya”

    “Kasihan sekali nasibmu Tomoka, karena hari pertama tidak masuk kau hanya dapat kursi sisa”

    Huh? Para murid wanita sedang menggosipi aku rupanya, ya sudahlah lagipula aku sudah terbiasa dengan keadaan ini.

    “Haha kalian jangan terlalu keras nanti dia mendengarnya”

    Sudah telat, aku sudah mendengarnya secara jelas dari tadi. Sebentar kalau tidak salah dengar mereka menyebut nama Tomoka, apakah itu Tomoka yang terkenal dengan sebutan Field Empress? Setelah sempat melirik sedikit ternyata memang dia penyebab kelas tetap ramai.

    Ya, mungkin di sekolah ini tidak ada yang tidak mengenali nama Hiratsuka Tomoka seorang Ace di bidang olahraga Tennis andalan dari sekolah ini. Rumornya berkat dialah sekolah ini bisa terus berjalan, yah bisa dibilang legenda hidup sekolah ini.

    Dia sangat populer di kaum pria maupun wanita, dengan rambutnya yang panjang bewarna biru kehitaman membentang seperti warna langit pada malam hari ditambah dengan model rambut twintailnya, tidak banyak wanita yang cocok menggunakan rambut twintail menurutku. Dengan postur tubuh langsing dan cukup tinggi untuk ukuran perempuan, dan… haruskah kubilang? Dada, ya ditambah feature dada nya yang besar yang dengan cepat memikat mata pria, tunggu bicaraku seperti orang mesum sekarang.

    Bicara hal lainnya, aku mengenalnya dari jendela, waktu aku masih kelas 1, tidak sekarang juga masih bahkan sejak kecil aku selalu mencari posisi duduk paling belakang dan dekat jendela bahkan jika sudah ada orang yang menempatinya mampu kuusir hanya dengan tatapanku. Posisi belakang pojok itu seperti posisi yang terisolasi dari kelas, yah memang itu yang kuinginkan, aku menyukai suasana yang tenang lagipula.

    Kebetulan waktu kelas 1 kemarin posisi kelasku bersampingan dengan lapangan tenis sekolah ini, sehingga pemandangan setiap hari yang kulihat hanyalah lapangan tenis saja, disaat itu juga aku melihatnya bersinar dengan terangnya dilapangan, bagaikan seorang dewi yang mempunyai sayap dia bergerak sangat lincah sekali ketika permainan dimulai. Yah sedikit tambahan fetishku pun ikut bertambah akan wanita yang memakai seragam tenis.

    Jadi kesimpulannya, kemarin kursi disampingku masih kosong, ini biasa terjadi karena orang orang menghindari duduk dekat denganku, tidak masuknya Hiratsuka kemarin membuat dia hanya mendapat kursi sisa tepat disampingku.

    *grek

    Pintu dibuka, gurupun masuk kelas menandakan pelajaran akan dimulai

    “Hei kita baru bertemu kan? Namaku Hiratsuka Tomoka salam kenal, kamu ?”

    Tidak biasanya ada orang yang menyapaku duluan apalagi dia seorang perempuan, biasanya mereka semua langsung takut kepadaku dan berusaha menjauh. “err… Yamaguchi, Yamaguchi Hotaka”

    Dengan raut wajah yang sedikit bingung dia menjawab “Salam kenal Yamaguchi-san, mohon bantuannya selama setahun kedepan”

    Aku diam tidak menjawab sapaannya. Yah sejak kecil aku memang lemah dengan wanita, ah atau bahkan dengan semua orang, pergaulanku memang sangat kurang.

    Siang mulai datang, siang di kota ini sangat berbeda dengan siang pada umumnya. Awan gelap mulai datang, burung burung pun bepergian kembali ke sarangnya, angin angin mulai menari masuk ke celah celah jendela yang ada, seiring kegelapan yang datang hujanpun datang. Jam istirahat makan siangpun tiba, para murid mulai duduk di kelompoknya masing masing termasuk Hiratsuka-san sendiri, yang tersisa hanya aku sendiri.

    Yak inilah yang akan terjadi jika pada saat jam makan siang tiba namun turun hujan, para murid akan mengobrol masalahnya masing-masing, dan tidak jarang juga membicarakan orang lain atau bahkan sahabatnya sendiri, err ini bukan kemauanku untuk menguping, mau tidak mau suaranya terdengar olehku. Namun ini tidak seperti tahun kemarin, rasanya pergosipan ini ramai sekali.

    “Huh padahal aku suka padanya, tapi dia menolakku karena dia suka Hiratsuka”

    “That *****! Beraninya membuat temanku menangis akan kuhajar dia suatu saat”

    “Belum seberapa, cowo yang kusuka bahkan sudah menembak Hiratsuka tapi ditolak”

    “Apa, dia ditolak? Padahal dia termasuk urutan ke 3 dari pria yang paling ingin dikencani di sekolah ini.”

    “Jangan jangan tipe yang disuka Hiratsuka adalah tipe om om.”

    …. Busuk sekali pikiran mereka, aku tidak tahu yang sebenarnya, bisa bisanya mereka menjudge seseorang seperti itu. Seperti yang kuberitahu dari awal, masa muda adalah masa dimana penuh kebohongan, penjilatan, dan berbagai tipu daya lain nya.

    “Hei aku pergi kebelakang dulu ya”

    Dengan wajah tersenyum sambil mengangkan tangan dia berkata “Hati hati Tomoka-chan !”

    Hmm mereka kelompoknya Hiratsuka, sepertinya mereka teman teman dari 1 klub tenisnya, aku pernah beberapa kali melihat wajahnya.

    “Seandainya dia tidak ada pasti aku yang menjadi Ace nya saat ini.”

    “Haha sudah jangan terlalu dipikirkan, aku yakin suatu saat dia akan jatuh.”

    Padahal belum lama mengatakan hati hati dijalan dengan wajah tersenyum, dan sekarang mimiknya langsung berubah drastis dan berkata sebaliknya, apalagi mereka teman seperjuangan nya. Semakin disukainya seseorang, semakin banyak pula orang yang membencinya, tidak selamanya hidup dalam ketenaran itu menyenangkan, aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang dibuat Hiratsuka jika ia mengetahui semua ini.

    Orang populer pun mempunyai masalahnya sendiri, ternyata dia tidak jauh berbeda denganku. Semua hidup dalam kepalsuan, tidak ada yang namanya sahabat di dunia ini, yang ada hanyalah teman, pada akhirnya mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi masing masing.

    Hari ini berbeda dengan kemarin, matahari kini memberikan sinarnya yang terang ke kota suram ini, cuaca begitu bagus kian memberi harapan kepada orang orang yang akan melakukan kegiatannya masing masing. Jam makan siang tiba kembali, masih muak mendengar kejadian kemarin aku memilih untuk makan diluar saja.

    Tanpa kusadari kaki ku melangkah kea rah lapangan tennis, sepertinya ini didorong akan kebutuhan fetishku, err…. Tidak tidak, ini pasti karena aku merindukan suasanya….. ya kuakui aku juga merindukan akan perempuan berseragam tennis. Lapangan masih kosong, sepertinya para anggota klub sedang mengganti seragamnya.

    Aku duduk di pojok lapangan tenis yang tertutup pohon yang rindang, sehingga aku tetap bisa menikmati bokong bokong indah, tidak tidak maksudku menikmati permainan tennis mereka dengan sejuk dan tidak kepanasan. Selesai makan aku sempat tertidur sedikit karena suasana yang sejuk dan rindang ditambah kenyangnya perut, sampai aku terbangun karena…

    *PAK !!

    Suara SMASH! Yang kuat dan keras terdengar, ya smash itu berasal dari pukulan sang Ace sekolah ini Hiratsuka Tomoka.

    “Ayo lebih semangat lagi”

    Hebat, dia tampak sangat berbeda dari yang kulihat dikelas, baru kali ini aku menyaksikan aksinya sedekat sekarang. Kalau di game, dia seperti Boss yang sangat menguasai lika liku dungeon yang dikuasainya. Tampak seperti dewi perang Athena sang Ace terus melancarkan serangan ke lawannya sampai tak berkutik.

    “Ayo selanjutnya”

    “Hei Tomoka kau jangan terlalu keras terhadap murid murid baru”

    “Percuma saja, dia seperti masuk ke dalam trance jika sudah menginjak lapangan”

    Semua murid baru dibantai olehnya tanpa kenal ampun ya.

    “Aku selanjutnya!”

    Seorang murid baru muncul menantangnya dengan sangat percaya diri, siapa dia bisa seyakin itu melawan Hiratsuka?

    “Baiklah siapa namamu”

    “Maruko Yoshino”

    Ah pantas saja mukanya pernah kulihat, ternyata dia merupakan pemegang juara tennis untuk kalangan putri tingkat SMP di profinsi nya, sepertinya ini akan menjadi pertandingan yang cukup seru. Siapapun pemenangnya, pada akhirnya Hiratsuka bisa mendapatkan lawan yang seimbang.

    Servis pertama dilakukan oleh sang penantang, permainan berjalan dengan mulus, para penonton terbawa akan suasananya, layaknya menonton final world cup mereka memerhatikan jatuhnya bola dengan sangat serius. Sang Ace menari di lapangan dengan lincahnya, setiap gerakannya tidak ada kebimbangan di dalamnya, pukulan yang dikeluarkan selalu berjalan dengan mulu seakan dia bisa mengontrol bolanya ingin dijatuhkan dimana.

    Kupikir pertandingan ini akan berjalan cukup seru, ternyata pikiranku salah baru 1 set saja sang Ace telah membantai penantang dengan skor 40-0. Kepercayaan diri yang dimiliki Maruko-san langsung hilang, raut wajahnya menunjukan ketidak percayaan akan kemampuan yang dimiliki monster yang dilawannya, rasanya usaha yang dilatih keras olehnya selama bertahun tahun di banting sekencang kencangnya oleh lawannya.

    “Ada lagi selanjutnya?”

    “Sudah kubilang jangan terlalu keras Tomoka-chan, nanti mereka tidak mau masuk”

    “Ah maaf maaf, aku keasyikan sendiri ketika game sedang berlangsung”

    Dengan berakhirnya pertandingan tersebut, membuat sisa sisa murid yang ada kehilangan minat untuk menantang Field Empress ini, kurasa julukan itu sangat pas untuknya.

    Inikah yang dinamakan dunia sang jenius pro? Dimana keahlian seseorang ditempa semaksimal mungkin hingga membuat orang sepertiku tidak bisa masuk ke dalamnya.

    “Senpai memang hebat, aku suka sekali”

    “Ajarkan aku senpai”

    Dengan wajah tersenyum dan mengangkat jempolnya, ia menjawab “Haha baik baik”

    Seiring dengan pergantian tahun, maka penggemarnya akan bertambah pula. Aku melupakan sesuatu, meski ada saja orang yang membencinya, tapi dia masih punya orang yang selalu mendukungnya, tidak sepertiku yang sendirian seperti ini. Persepsiku salah, aku dan dia sangat berbeda.

    Jarak diantara kami berdua masih sangat jauh.


    Spoiler untuk Chapter 2 : My soul has set out on that journey :

    “Aku tidak bisa tidur sama sekali”

    Langit sudah gelap, bahkan bulan pun tidak menunjukan kecantikannya, yang ada hanya awan hitam gelap pekat segelap hidupku, yah kurasa cuaca ini lebih pas untuk ku daripada pemandangan sunset yang kulihat di atap sekolah.

    Jika keadaan ini terus berlajnjut, bisa bisa aku mati dalam kebosanan. Liarnya kehidupan pergaulan bebas dapat menjerumuskanku ke dalam hal hal yang buruk, kalau ini terus berlangsung mungkin dalam waktu dekat aku akan mengkonsumsi obat obatan terlarang, merampok, atau mati? Aku tidak ingin seperti itu, aku sudah berhenti merokok dan berkelahi sejak setahun lalu, tapi aku tetap belum menemui tujuan hidupku.

    “Huaaahhmm”

    Tidak terasa sang mentari telah terbangun dari tidurnya, pancaran sinarnya telah menghidupkan semua makhluk makhluk yang tertidur, aku tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan hal hal yang tidak berguna. Masih dalam keadaan mengantuk waktu terus berjalan, tidak ada pilihan lain sudah saatnya aku melakukan rutinitas biasa.

    “Kau sudah mendapatkan pedang dari boss terakhir?”

    “Hah aku belum melwatinya, armorku masih kurang untuk menghadapinya”

    “Haha, mau tukar armorku dengan cincin statusmu?”

    Akhir akhir ini game seperti Monst*r Hunter sedang populer dikalangan para murid sekolah, yah pilihan untuk menjadi gamer juga sudah kupikirkan sebelumnya tapi aku memang tidak cocok dengan tipe seperti itu. Haruskah aku memasuki sebuah klub, dimana kegiatan yang dilakukan sehari hari hanyalah bersenang senang, sambil minum the dan makan makanan manis, dimana aku menjadi 1-1nya pria diantara para wanita wanita cantik yang menyukaiku, hah itu tidak mungkin terjadi di dunia nyata, seandainya kehidupanku bisa seindah drama drama yang ada.

    Aku sudah mencoba mendekati beberapa orang dan berusaha menyesuaikan dengan hobinya masing masing, namun yang kulakukan hanyalah kesalahpahaman belaka karena dari awal imageku sebagai anak berandalan telah melekat di otak mereka. Orang orang yang kudekati selalu kabur, bahkan beberapa memberiku uang dan meminta ampun, sebelum aku berbicara apa apa.

    Terbiasa seperti apapun, diperlakukan seperti ini tentu membuatku kesal. Aku bukan binatang buas yang beringas dan tak berotak yang memangsa herbivora herbivora yang lewat secara membabi buta.

    “Ini kertas ujiannya”

    “K…kau mau melawan guru…ya, aku tidak takut”

    Ya, hal ini tidak terjadi hanya di kalangan murid, tapi sampai dikalangan guru sekalipun takut terhadapku. Tidak ada satupun yang dapat kulakukan dengan benar, bagaimana cara menghapus kesalahpahaman ini? Aku tidak ingin selamanya seperti ini.

    “Yak sekarang kalian boleh istirahat”

    Yak cuaca sedang cerah, saatnya aku mencari tempat untuk makan siang, sepertinya hari ini tidak ada kegiatan klub tennis lebih baik aku makan di halaman pojok belakang sekolah, yah ini bukan tempat favoritku tapi di waktu makan siang seperti ini atap sekolah pasti penuh ramai dengan para murid, aku ingin mencari ketenangan.

    Dalam perjalanan langkah kakiku terhenti, samar samar aku merasakan aura menekan yang terpancar dari tempat yang ingin kutuju, yah kupikir ini hanya intuisi sampahku belaka, tak memperdulikannya aku terus berjalan ketempat semula. Sesampai disana aku menemukan sumber dari aura menekan yang tadinya kupikir hanya perasaanku semata.

    Tempat ini hanyalah sebuah halaman belakang biasa, tidak ada yang menonjol dari tempat ini sama sekali, benar benar sebuah taman kecil biasa, tapi…. Kesedihannya seperti tersebar luas menyatu dengan atmosfer di sekitarnya, seakan dunia akan kiamat. Satu-satunya orang yang bisa bersinar dengan terangnya, murid teladan sekolah, dengan kata lain dia benar benar outstanding dan dikenal semua orang bisa bisanya memancarkan aura seperti ini.

    “Apa yang sedang dia pikirkan” pikirku sambil memasang wajah bingung

    Apakah ini yang dinamakan route? Dimana aku akan berakhir dengannya dalam keadaan bahagia, haruskah aku menyapanya “Hei ada masalah apa?”

    Disaat seperti ini memori buruk ku terulang kembali, dimana ketika aku mencoba berbaur dengan salah satu murid wanita yang kusuka, dan yang terjadi hanyalah akward moment dan dia memandangku dengan muka yang penuh kecurigaan, entah mungkin dia menganggapku seorang disgusting perverted stalker, sejak saat itu aku tidak pernah punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Tidak mau mengambil resiko aku menjauhi tempat ini dan mencari tempat lain untuk makan siang.

    Kelas sudah usai, yah kurasa aku ingin memakan makanan cepat saji untuk makan malam, sebaiknya dalam perjalanan pulang aku mampir ke Mc Wonald.

    “Kau suka tenis?”

    “….”

    “Hei aku berbicara denganmu”

    Dengan wajah bingung sambil menengok ke kanan kiri, dan menunjukan jari telunjuk ke badanku sambil berkata “err maaf… aku?”

    Dia membalas hanya dengan anggukan saja

    “hmm yah… sedikit”

    Jawaban bodoh, ini kesempatanmu untuk memperbaiki hidupmu yang rusak, seharusnya aku menjawab “iya” dengan excited untuk mendekatinya.

    Dengan wajah memerah sambil menghindari wajahku dia berkata “Ma…mau menemaniku latihan?”

    ****, wajahnya yang mungil sambil memerah membuatnya terlihat tampak imut sekali, oh gawat pasti wajahku saat ini sedang menunjukan wajah senyum mesum, aku harus memperbaiki ekspresi wajahku dengan cepat.

    Dengan gugup ku menjawab “Ta..tapi aku tidak begitu bisa memainkannya”

    Tanpa pikir panjang, dia langsung menarik lengan bajuku dan membawaku ke tempat tennis, aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya, apakah ini hadiah pemberian dari Tuhan karena aku telat meninggalkan perbuatan buruk dalam setahun terakhir ini? Atau dia akan berkata “Aku selalu melihatmu” dan memberikanku sebuah confession dadakan, ah lupakan opsi kedua yang hanya terjadi di atas sebuah script belaka.

    Lapangan terlihat sepi, tentu saja hal ini dikarenakan memang hari ini seharusnya mereka tidak mempunyai jadwal latihan, seperti yang kulihat di sebuah manga manga sport, seorang badass pasti latihan lebih banyak daripada anggota biasanya. Dia meminjamkanku seragam untuk pria milik anggota klub ini agar aku dapat menggunakan lapangan bersamanya.

    Tidak ada yang spesial dalam sparing latihan ini, sedikit banyak hal yang bisa kuimbangi darinya hanyalah power dari pukulan yang kuberikan, yah wajar saja selama ini yang kulakukan hanya berkelahi sehingga otot dan fisik ku terlatih untuk kegiatan kegiatan seperti olahraga. Pertandingan diakhiri dengan kekalahanku, kupikir dia akan mengalah awalnya, yah wajar saja aku kalah, teknik dia sudah sangat tinggi dan terlalu jauh untuk kuimbangi. Walau ini hal biasa, momen ini menjadi sebuah kegiatan penyegar dalam hidupku yang busuk.

    Selesai sparring kami pulang bersama ke rumah masing masing, ini rasanya seperti date dengan Hiratsuka-san, sambil berjalan tidak jarang juga aku melihat wajahnya yang cantik dan berfikir “Kenapa aku? Bukankah teman latihan mainnya ada banyak? Kenapa aku yang belum dikenal sama sekali ini tiba tiba diajak”

    Ingin sekali rasanya menanyakan hal itu tapi kuurungkan, aku tidak mau keadaan ini hancur hanya karena kesalahan sebuah kalimat, aku berharap sekali jika waktu bisa kuhentikan sekarang.

    “Tadi pukulanmu sangat kuat dan bisa mengimbangiku”

    “Yah.. kurasa karena …

    Tunggu, ini seperti sebuah dejavu, ketika dimana seorang wanita bertanya kepada pria, lalu pria itu salah menjawab dan membuatnya marah. Jawaban apa yang harus kuberikan, jika kujawab “Ah itu hanya kebetulan”

    “Jadi kau hanya main main denganku!”

    Tidak tidak, tipe wanita berbeda bisa jadi responnya akan seperti itu, bagaimana jika kujawab… “Yah karena aku seorang pria”

    “Kau meremehkanku hanya karena sebuah gender?”

    Jawaban apapun pasti berakhir dengan buruk, ah perasaan wanita memang sulit untuk ditebak, aku tidak tahu lagi aku harus bertaruh.

    “Mungkin karena aku sering berkelahi sejak kecil”

    Ah kali ini dia akan menganggapku sebagai murid berandalan yang hanya tahu berkelahi saja, kurasa masa bersenang senangku akan berakhir disini.
    Tiba tiba dia berhenti berjalan dan menundukan kepala, yah sudah kuduga cerita cinta palsuku akan seperti ini.

    Kibasan rambutnya seperti menghipnotisku, inner beauty yang dia miliki keluar secara mendadak, aura seorang ratu yang bersinar dengan terangnya menyala dengan liar didepan mataku. Sambil membalikan wajahnya kehadapanku lalu dia tersenyum sambil membalas “Terima kasih telah menemaniku tadi, aku sangat senang sekali”.

    Momen ini tidak bisa kuungkapkan dengan kata kata lagi, aku tidak tahan melihat wajah senyumnya sedekat ini, rasanya aku siap mati kapan saja tanpa ada penyesalan, aku tidak tahu lagi ekspresi seperti apa yang kupancarkan diwajahku saat ini. Kurasa rasa suka terhadapnya mulai muncul di dalam hatiku.

    Dengan salah tingkah dia berkata “ahh… itu…. Maksudku aku.. aku senang dapat teman sparing yang seimbang denganku, jangan salah artikan”.
    Aku tidak perduli lagi apa yang dipikirkannya saat itu, karena saat itu aku hanya membatu seolah ragaku telah berpisah dengan tubuhku.
    Lampu hijau telah berubah menjadi merah, dia pergi menyebrang sambil mengucapkan “Sampai jumpa besok.. Yuu…”
    “Ah maksud ku Yamaguchi-san”

    “Yuu”? apa yang ingin diucapkan olehnya barusan? Ah kurasa aku hanya salah dengar, atau mungkin aku mirip seorang temannya dengan huruf depan “Yuu”. Akhirnya, hari yang berbeda telah datang kepadaku, kuharap hari hari seperti ini akan terus berlanjut ke depannya.
    Tapi, aku tidak tahu kenapa, padahal dia bersinar dengan terangnya dan terus mengepakan sayapnya di bidang tennis karena keahliannya yang mengerikan, tapi kibasan sayapnya seperti tidak bebas, yang kulihat dia seperti burung yang terkurung di sebuah sangkar yang kuat. Tidak tahu kenapa, di balik sisi terangnya aku merasakan sisi gelapnya yang berada jauh di dalam dirinya sejak lama dan tumbuh membesar.

    “Hah tiba tiba sudah larut, aku sampai lupa kalau perutku lapar”

    Akhir minggu telah tiba, kali ini cuacanya tidak cerah maupun tidak hujan, awan gelap telah menutupi kota ini.

    “Sudah waktunya mengambil laundry, lebih baik aku berangkat sekarang sebelum turun hujan”

    Setiap minggu nya aku harus mengambil laundry yang tempatnya cukup jauh dari apartementku, kurang lebih sekitar 4-5km. Bukannya didekatku tidak ada tempat laundry, tapi hanya disitulah 1-1nya tempat mencuci yang bagus dan terjamin aman di kota ini, maksudku tidak aman disini sudah banyak kejadian dimana sang pemilik laundry mengambil pakaian pakaian milik kliennya dan memberikan alasan bahwa telah dirampok. Kota ini sudah benar benar suram, oleh karenanya tindak kejahatan banyak terjadi.

    Biasanya ada mobil yang akan mengantar cuciannya ke tempatku, namun terkadang suka telat karena kurangnya pekerja yang mengantarkan, dan sibuknya tempat itu setiap harinya. Waktuku sedang luang, ada bagusnya aku meringankan mereka dengan berjalan sendiri kesana untuk mengambilnya.

    Yah jika aku ingin kesana berarti aku harus melintasi tempat itu, ya yang kumaksud disini adalah sebuah “hutan terlarang”. Hutan ini mempunyai rumor yang jelek maupun bagus, dimana dikatakan di suatu tempat di hutan ini akan ada tempat dimana sebuah permintaan bisa dikabulkan, mendengar hal itu tentu orang orang segera mencarinya namun tidak seorang pun yang dapat kembali.

    Aku cukup suka hutan ini, aku sudah beberapa kali masuk karena suasananya yang begitu tenang dan nyaman, namun hal buruk tidak pernah menimpaku, yah yang kulakukan hanya sekedar mencari ketenangan mungkin hutan itu memang menghukum orang orang yang tamak sepertinya. Sangat disayangkan dulunya hutan ini sempat dijadikan tempat rekreasi yang membuat kota ini hidup oleh para turis, namun karena berita tersebut tempat ini jadi banyak ditakuti orang dan pemerintah memutuskan untuk menutup hutan ini tahun depan.

    “Kurasa aku akan mampir ke dalam 1-2 kali lagi untuk terakhir kalinya”

    Tidak biasanya aku tertarik dengan apa yang terjadi di hari esok, ya besok yang kulakukan masih sama seperti biasa, sekolah. Rasanya sekolah tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya, yah alasan aku senang bukan karena sekolah tapi karena tidak sabar ingin bertemu dengannya.

    “Hi..Hiratsuka-san, boleh aku makan denganmu?”

    “…”

    Sambil terbata bata dia menjawab “Ten….tentu”

    Kehidupan seperti inilah yang selama ini kuimpikan, kehidupan normal sekolah pada umumnya, inilah start dari sebuah perjalanan yang kutunggu selama ini.


    Spoiler untuk Chapter 3 : A fake tales from prohibited forrest :


    Tak terasa sudah 5 bulan terlewati sejak aku masuk semester baru, kehidupan sekolahku yang tadinya membosankan benar benar berubah. Hubunganku dengannya berjalan baik meski progress diantara kami berjalan cukup lambat, sejujurnya rasa sukaku terhadapnya semakin membesar, yah tapi aku tidak yakin orang sehebat dia mau denganku.

    Tidak lupa terima kasih karenanya, kini sudah ada beberapa orang yang mau berbicara denganku, meski tujuan salah satu dari mereka yaitu mendekati Hiratsuka, tapi aku mengesampingkan hal itu terlebih dahulu, karena aku cukup senang dengan keadaan sekarang. Ngomong ngomong soal 5 bulan, berarti sekarang adalah bulan Agustus, saatnya sekolah mengadakan festival musim panas, Tanabata, maupun liburan musim panas, aku tak sabar melewatinya.

    “Nee nee Yuri-chan, datang ke Tanabata tidak?”

    Dengan wajah memerah “Maeda-san tolong jangan memeluk ku di depan orang banyak”

    “Oh ya Tomoka, kau sepertinya tidak bisa ikut ya karena harus latihan untuk pertandingan tennis pada saat festival nantinya”

    Hiratsuka tidak menjawab pertanyaan temannya, dia tampak seperti melamun memikirkan sesuatu, aura kesedihan yang terpancar darinya mulai terlihat kembali. Apa dia sedang sakit? Atau mendapat masalah dari teman klubnya? Diam diam aku ikut mencemaskannya.

    “Hee Tomoka kau melamun lagi…”

    “Eh… ohh oh maaf maaf, haha, ya sepertinya aku tidak bisa ikut maaf ya”

    Tahun ini Tabata datang lebih awal daripada event lainnya, orang orang sibuk membicarakan hal apa saja yang mereka ingin lakukan. Sejujurnya aku sudah lupa terakhir kalinya aku pergi ke Tanabata, mungkin umur 5 tahun? Ya saat itu aku masih sangat kecil, merupakan saat saat terindah ketika kedua orangtua ku masih bersatu. Setelahnya tidak pernah sekalipun aku mengikuti Tanabata, hal yang kulakukan hanya melihatnya dari kejauhan di sebuah bukit sambil menikmati kembang api sendirian.

    Tanabata merupakan event yang sangat ditunggu tunggu oleh penduduk kota ini, karena tidak jarang festival ini dibatalkan karena cuaca yang tidak bersahabat, kuharap tahun ini cuacanya akan cerah.

    “Hiratsuka-san, kau ikut Tanabata kan?”

    “Se.. sepertinya aku tidak bisa Yamaguchi-kun, maaf aku harus latihan sepanjang liburan”

    Sambil tersenyum pasrah kumenjawab “Baiklah jika memang tidak bisa, aku mengerti keadaannya, semoga kamu menang di turnamen nanti”
    Hiratsuka terdiam sebentar, sambil membalikan wajahnya

    “A…akan kuusahakan datang, lagipula aku sudah lama tidak ikut Tanabata jangan salah paham”

    Dia pergi dari kelas menuju ruang klubnya, kuharap dia bisa datang karena salah satu faktor terbesarku mengikuti Tanabata adalah untuk melihat Hiratsuka menggunakan kimono/yukata, dia pasti akan terlihat cantik sekali.

    Tanabata telah datang, dimana kebanyakan pengunjung ialah sepasang kekasih, yah memang tempat ini cocok untuk sepasang kekasih karena dari sejarah Tanabata sendiri dimana sepasang kekasih Orihime dan Hikoboshi dipisahkan oleh Milky Way, dan hanya dapat bertemu 7 hari dalam setahun. Aku segera melihat ke sekitar dan mencari tahu apakah Hiratsuka jadi datang atau tidak. Aku memang belum janjian sama sekali karena kelihatannya dia sibuk, tapi aku sempat bicara untuk bertemu di depan pintu festival jika ingin datang.

    1 jam, bahkan 2 jam aku menunggu tidak ada tanda tanda Hiratsuka datang, aku sengaja datang lebih awal untuk memastikan apakah dia kesini atau tidak. Suasana disini sudah sangat ramai bahkan mendekati acara puncak, orang orang yang berdatangan sudah ada yang pulang, padahal kebetulan Tanabata tahun ini cerah ditaburi bintang bintang yang indah, atmosfir disini sungguh menyenangkan, baru kali ini aku merasa nyaman di tempat yang ramai.

    3 jam berlalu, batang hidung Hiratsuka tidak terlihat sama sekali, teman teman sekelasku juga sudah banyak yang terlihat namun dia tidak ada. Kurasa dia sangat sibuk dengan olahraga tenisnya, sepertinya sudah waktunya aku pulang. Sambil menengok ke atas aku melihat bintang dan mencoba meraihnya dengan tanganku, berusaha sekeras apapun aku tidak akan bisa mencapainya, mungkin ini jarak antaraku dengan Hiratsuka, terlalu jauh kami benar benar hidup di dunia yang berbeda.

    Sambil membungkukan kepala dan bergumam “Hah tidak ada gunanya aku melihat kembang api sekarang.

    Tanpa disadari sudah terlihat sesosok pasangan kaki yang lentik di depan kedua mataku, kudengar suara hembusan nafas yang sepertinya tergesa gesa akibat berlari. Rambut panjang yang terurai terbentang begitu indahnya seperti langit yang cerah pada malam hari. Wangi dari parfum yang dikenakan mulai tercium, suara yang dikeluarkan olehnya seperti suara yang kukenal.

    “Haaah… hahhh, maaf Yamaguchi-san aku harus latihan sampai larut jadi terlambat”

    “Kamu sudah lama ya? Sejak jam berapa? Maaf maaf”

    Aku terdiam melihat kedua bola matanya yang indah, pantulan cahaya dari matanya langsung menusuk ke seluruh organ tubuhku, baru pertama kali aku melihat Hiratsuka melepas ikat rambut twintailnya dan dibiarkan panjang terurai. Tubuhku gemetar karena mengalami keadaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya, detik itu juga ingin rasanya aku memeluknya erat sambil berkata “tidak apa” tapi kuurungkan niat itu walau tanganku sudah sempat bergerak keatas.

    Dengan wajah bingung memandangku dia terdiam melihatku

    “Ya…yah tidak lama, aku sudah disini sejam jam 7 tadi”

    Sambil menunduk, dengan cepat dia mengenggam tanganku dan berkata “ma..maaf membuatmu menunggu selama itu”

    Kami sudah tidak bisa masuk ke dalam lagi karena tempat sudah penuh dengan para pengunjung, meski begitu kami sangat menikmati festival ini. Suara suara dari pengunjung sekitar benar benar tidak terdengar lagi, genggaman tangan darinya sama sekali tidak kulepas, tangan yang hangat dan mungil diikuti jari jarinya yang lentik membuat parasnya menjadi lebih sempurna.

    Pecahan api yang ditimbulkan merata menghiasi langit, angin yang meniupkan baling baling kecil terus berhembus seirama, alunan simfoni yang indah terngiang dikepalaku. Rambutnya terjurai sangat alami ke seluruh tubuhnya, kulitnya yang putih bersinar membuatnya terlihat seperti seorang dewi, apakah dia Otohime yang dikirimkan untuk ku? .Ini merupakan ingatan yang tidak akan terlupakan dari hidupku, ingatan ini akan terus diabadikan oleh bintang Altair dan Vega.

    Tenggelam dalam atmosfer, aku tidak sadar puncak event ini telah selesai, kami berdua melepaskan genggaman tangan masing masing dengan malu. Meski hanya sebentar aku sudah sangat puas bisa mengikuti Tanabata dengannya. Para pengunjung yang datang dan para petugas toko telah berkemas kemas untuk pulang ke rumahnya masing masing, begitu juga dengan kami.

    “Hiratsuka, rumahmu dimana? Biar kuantar sampai rumah”

    “Rumahku dekat hutan terlarang, tidak perlu repot repot aku bisa sendiri”

    “Sama sekali tidak, lagipula tidak baik seorang wanita berjalan sendirian”

    “… ba.. baiklah cukup sampai hutan terlarang saja”

    Entah kenapa sepertinya dia tidak ingin orang lain tahu rumahnya, aku sudah pernah menanyakan ke beberapa temannya akan rumahnya, namun tidak ada satupun yang mengetahuinya. Awalnya kupikir mereka berbohong karena curiga padaku tapi sepertinya tidak. Yah biar saja, biar waktu yang menjawab, ada waktunya orang butuh privasi akan dirinya.

    Sepanjang jalan kami mengobrol tentang kegiatan sehari hari, semua terasa normal namun tetap ada yang mengganjal untuk ku. Ya, aku masih heran kenapa orang populer sepertinya tiba tiba mendekatiku tanpa ada sebab, hal ini melebihi keberuntungan daripada mendapatkan sebuah vocer beratus ratus juta dari suatu produk. Apakah aku orang yang seberentung itu? Dan ini semata mata pemberian Tuhan? Aku masih tidak ingin menanyakannya takut hubungan kami akan rusak.

    Dia akan mengikuti turnamen tennis untuk mewakilkan sekolah kami, sepertinya aku tidak bisa berharap banyak untuk bertemu dengannya saat liburan musim panas nanti (turnamen akan diadakan pada saat festival musim panas setelah liburan sekolah nanti). Dengan kemampuan miliknya juara seprovinsi, oh atau dalam kompetisi 1 negara pun aku yakin dia akan mampu memenangkan pertandingan.

    “Kita sudah sampai, terima kasih telah mengantarku selanjutnya aku bisa sendiri”

    “Ba.. baiklah hati hati dijalan”

    Terdiam sebentar dia berkata “Hei apakah kau percaya dengan fairy tale?”

    Kenapa dia tiba tiba membicarakan topik ini? Dengan ragu kumenjawab “Mungkin?”

    “Kamu tahu tentang cerita hutan terlarang ini?”

    Tentu aku tahu, tidak, kurasa semua orang yang tinggal di kota ini tahu akan cerita ini. Bagaimana tidak, hutan ini merupakan salah 1 topik besar yang tersebar luas, tapi tidak ada yang mengetahui dengan jelas cerita yang benar.

    “Tentang tempat ini bisa mengabulkan permintaan apa saja?”

    “Pernahkah kamu masuk ke dalam, lalu menemukan danau yang indah di dalamnya?”

    Dengan bingung aku merespon “Y…ya tentu aku pernah melihatnya”

    Mendengar kalimatku, wajahnya tampak sangat kaget seakan tidak percaya, ya aku memang beberapa kali telah melihatnya tempatnya memang indah tapi tidak ada yang spesial seperti dapat mengabulkan permintaan. Apakah dia tertarik dengan cerita konyol seperti ini, aku tidak menyangka Hiratsuka termasuk orang orang yang tamak (mungkin?) yang merebut satu hadiah yang tentu tidak akan pernah ada.

    “Aku … aku sangat suka tempat ini, suasananya sangat nyaman, dan lagi aku masih mempercayainya sampai sekarang jika fairy tale ini ada.”

    “Aku mempunyai 1 permintaan yang ingin kukabulkan meski nyawaku harus ditukar”

    Kira kira apa permintaannya, aku ingin mengetahui jauh lebih dalam tapi takut mencampuri urusan pribadinya.
    Bukannya aku benci akan hal hal seperti ini, dulu aku juga mempercayainya dan mempunyai keinginan agar kedua orang tuaku bersatu lagi. Sejak kecil aku sudah mengeksplor hutan ini untuk membuktikannya, namun yang kutemukan hanya danau kecil biasa dan tidak mempunyai kekuatan spesial seperti yang dirumorkan orang orang banyak. Seiring berjalannya waktu tentu cerita khayalan seperti ini tidak kupercaya lagi, walau aku masih sering mengunjungi tempat ini hanya untuk menikmati suasananya.

    Bibi tetangga sebelah juga seringkali menceritakanku tentang hutan ini, beliau berkata kalau tempat ini tempat sakral yang suci dan dijaga oleh penunggu penunggu surga, beliau juga menentang keras akan penebangan yang ingin dilakukan pemerintah.

    Dengan memberanikan diri kubertanya “Kalau boleh tahu, permintaan apa yang ingin dikabulkan?”

    Suasana menjadi hening, Hiratsuka diam tidak menjawab, angin mulai berhembus lumayan kencang dan menusuk kulitku melalui celah celah pakaian yang kukenakan. Waktu semakin larut, bintang bintang mulai tertutup awan awan gelap, suara suara gemuruh petir mulai terdengar samar samar menandakan sepertinya akan hujan sebentar lagi.

    Masih diam seribu kata, aku memutuskan untuk memecah keheningan “Maaf jika itu memang urusan pribadi kau tidak perlu katakana kepadaku”
    Tetesan tetesan air pun mulai berjatuhan ke permukaan bumi, datang seirama dari rintik sampai deras. Air mulai membasahi kedua tubuh kami, rambut indah yang terurai mulai menjadi basah kuyub disusul dengan Kimono yang dikenakannya. Kenapa suasana sangat berubah drastic seperti ini, padahal masih beberapa jam yang lalu aku merasakan pengalaman yang tidak akan kulupakan.

    “Maaf telah menanyakanmu hal hal yang aneh”

    “Tidak usah dipikirkan kata kataku barusan, sekali lagi terima kasih telah mengantarku”

    Setelah mengatakan hal itu dia berbalik arah dan mulai berjalan pulang menuju rumahnya, aku tidak tahu apa yang sedang ada di benaknya saat ini. Lagi lagi aura kesedihan yang dipancarkan terlihat untuk ketiga kalinya, dia terlihat benar benar seperti burung yang berada dalam sangkar. Seolah kesepian yang dideritanya membuat langit ikut bersedih untuknya, pohon pohon disekitarnya ikut menjadi layu, aku tidak mengerti dengan keadaan ini tapi kali ini merupakan aura yang paling parah yang pernah kulihat dari sebelum sebelumnya.

    Sepanjang jalan perjalanan pulang aku terus termenung memikirkannya, masalah apa yang sedang dihadapi olehnya, saat ini aku tidak lagi memperdulikan keadaan sekitar sedikitpun walau hujan sedang turung dengan kencang disertai angin yang cukup keras.

    Sesampainya di apartment, aku ingin menanyakan lebih jelas kepada bibi tetangga sebelah tentang hutan terlarang ini, namun sepertinya beliau sudah tertidur karena waktu yang sudah menginjak jam 12 malam. Aku sudah memutuskan tekad untuk menanyakan semua hal tentang dirinya jika bertemu kembali, tidak perduli jawabannya akan merusak hubungan kami atau tidak.

    Malam ini menjadi malam yang cukup panjang bagiku, aku mulai merasa bodoh dan berfikir kemungkinan kemungkinan positif maupun negative seperti “Hiratsuka hanya senang bermain dengan pria pria bodoh sepertiku” atau “Ada masalah yang sangat serius dan diluar dugaan yang membuatnya seperti itu”. Aku tidak tahu mana yang benar, aku ingin mencari tahu kebenarannya.

    Informasi mulai kucari dari internet, namun hal ini tidak banyak membantu sepertinya. Legenda ini tidak dikenal banyak orang, hanya dikenal oleh para masyarakat sekitar yang tinggal di tempat ini, jalan terbaik memang menanyakan kepada para orang tua yang sudah cukup lama tinggal disini.

    “Aku masih tetap tidak mempercayainya, kurasa ini semua hanya cerita dongeng dari para orang tua untuk anaknya saja”.


    Spoiler untuk Chapter 4 : I love you everyday :


    Burung burung mulai berkicau, sang fajar mulai terbit dengan gagahnya, pagi hari telah tiba, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan hal ini. Hal pertama yang kulakukan ialah langsung pergi ke bibi tetangga sebelah untuk menanyakan fakta dan sejarah mengenai hutan terlarang.

    “Bibi maaf menganggu, ada hal yang ingin kutanyakan”

    Hening tidak ada balasan, ruangannya juga terlihat gelap, sandal maupun sepatu yang biasa diletakan diluar tidak ada, tidak ada tanda bibi sedang ada di rumah sepertinya.

    “Pergi kemana dia ketika aku sedang membutuhkannya”

    Mengingat waktu masuk jam sekolah semakin dekat aku berhenti mencari bibi tetangga sebelah, dan mulai bersiap siap untuk pergi.

    Tanabata dimulai dari hari kemarin sampai minggu depan, festival sekolahpun kebetulan diadakan di 2 hari terakhir sebelum Tanabata selesai. Aku harap kejadian kemarin tidak menganggu latihan Hiratsuka akan kegiatan tennisnya. Aku ingin dia memenangkan kejuaraan ini, yah meskipun aku yakin dia bisa menang dengan mudah jika skillnya seperti itu, lalu setelah itu …..

    Sambil menggengam tangan aku berkata “Ya aku akan menyatakan perasaanku setelah dia menjadi juara nanti”

    Bel sekolah telah berbunyi, aku sama sekali tidak melihat Hiratsuka di kelas, apakah dia merasa sakit karena kemarin malam hujan turun cukup lebat, aku harap dia baik baik saja. Menunggu kedatangannya yang kulakukan hanya bengong di sekolah, masih berharap jika ia memang datang terlambat untuk jam pertama namun sepertinya Hiratsuka benar benar tidak masuk hari ini. Khawatir pun tidak memecahkan masalah, aku segera ingin tahu akan keadaannya, aku ingin menjenguknya jika ia memang benar sakit namun aku tidak tahu dimana rumahnya.

    Sepulang sekolah tanpa disadari kakiku melangkah ke arah hutan terlarang, terdiam melihat ke dalam dan memikirkan kejadian yang terjadi kemarin. Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk berkunjung ke dalam selain untuk menenangkan diri dan juga mencari tahu akan misteri ini.

    Yang pertama kulakukan ialah menemukan danau, mengingat kemarin Hiratsuka menanyakan apakah aku menemukan danau atau tidak, kenapa dia bertanya seperti itu? Apakah danau ini tidak bisa ditemukan siapapun? Padahal menurutku jalan menuju ke danau tidak terlalu sulit dari pintu masuk.

    “Aneh… aku tidak menemukan danaunya sama sekali, bahkan aku merasa belum pernah ke tempat ini sebelumnya”

    Tidak perduli sesulit apa aku mencarinya, aku sama sekali tidak menemukan tanda tanda dimana danau itu berada, apakah aku tersesat? Apakah aku akan berakhir seperti orang orang yang hilang di hutan ini sebelumnya? Dilihat dari kejadian aneh ini aku mulai berfikir bahwa hutan ini memang bukan sekedar hutan biasa.

    Langit mulai gelap, sudah sekitar 3 jam lebih aku berada disini, danau sudah bukan tujuan utamaku saat ini, pintu keluar saja tidak dapat aku temukan. Apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku akan mati disini?. 5 jam berlalu, langit sudah menunjukan malam hari, rasa lapar dan haus mulai menyerangku disaat seperti ini aku mulai berfikir kata kata orang tua ku semenjak kecil untuk selalu sedia makanan atau minuman untuk saat darurat.

    “Seharusnya aku menuruti kata kata mereka”

    8 jam berlalu, rasa dahaga dan lapar mulai membesar disusul dengan rasa kantuk. Berteriak sekencang apapun tidak ada yang mendengar, yang ada hanya para binatang, aku tidak tahu apakah disini ada binatang buas atau tidak. Keadaan bimbang dan rasa takut mendatangiku, aku membutuhkan hujan saat ini untuk air minum, namun jika hujannya terlalu lebat dan lama aku takut tidak bisa bertahan.

    Tidak bisa berfikir jernih, aku hanya pasrah sambil tiduran memandang ke arah langit “Mungkin aku akan mati disini, haha kurasa ini akhir yang pas untuk orang sepertiku”

    *Srak

    Aku mendengar suara rumput yang terkena gesekan, sepertinya itu suara yang ditimbulkan dari kaki manusia. Aku langsung bangun dan mengejar sumber suaranya sekalian bertujuan meminta pertolongan. Aku berhasil menemukan sumber suaranya dan melihat bayangan, sepertinya itu bayangan manusia, aku sudah berteriak namun dia tidak menjawabnya yang bisa kulakukan saat ini hanya mengejarnya dan jangan sampai kehilangan jejaknya. Dia berjalan cepat, aku hampir tidak bisa mengikutinya, kakiku mulai lelah dan mulai tertinggal padahal ini satu satunya kesempatanku untuk bisa keluar dari sini.

    *Duk

    Aku terjatuh akibat sebuah batu yang ada didepanku, sial ini bukan waktunya untuk menjadi orang yang ceroboh, aku langsung bangun dan melihat keadaan sekitar namun aku kehilangan jejak akan orang misterius itu. Aku melihat kearah belakang yang ada hanya pemandangan malam hari di hutan, setelah membalikan muka kedepan tiba tiba terlihat sebuah jalan yang sepertinya menuntunku untuk keluar dari tempat ini, tanpa piker panjang aku langsung berjalan mengikut setapak yang tadinya tidak ada ini.

    Cahaya lampu jalan mulai terlihat dari jauh, jalan setapak ini memang menuntunku untuk keluar dari hutan ini, akhirnya aku bisa keluar dari sini setelah terkurung sekitar 9 jam. Rasa penasaran dari keanehan hutan ini sudah tidak terbesit di otak ku saat ini, yang kulakukan pertama ialah mencari sebuah convenience store terdekat untuk mengatasi rasa haus dan lapar ini, setelahnya aku langsung pulang ke apartmenku.

    Kejadian aneh kemarin membuatku merasa tidak enak badan, dan sepertinya keadaan ini terus berlanjut, bibi tetangga sebelah juga tidak bisa kutemui hari ini dengan keadaan yang sama. Niat untuk bolos sekolah hari ini kuurungkan mengingat aku masih ingin bertemu dengan Hiratsuka secepat mungkin.

    Aku datang tepat berbarengan dengan guruku, tentu kelas sudah ramai dan syukurlah aku melihat ada Hiratsuka di kelas dengan keadaan sedang dikerumuni teman temannya yang menanyakan kenapa ia tidak masuk kemarin. Dengan keadaan seperti itu aku tidak bisa menghampirinya, lebih baik aku menanyakannya nanti saja.

    Keadaan mulai sepi, tapi kelas akan dimulai sebentar lagi kurasa ini waktunya yang tepat untuk aku menghampirinya.

    “He..hei Hiratsuka-san, kau tidak apa apa? Ada yang ingin kubicarakan pada saat istirahat nanti”

    Sambil menangkat tangannya dia berkata “Ahaha tidak apa apa, aku baik baik saja, baiklah aku akan menemuimu di jam istirahat nanti”

    Melihat dia menjawabku dengan senyuman ceria aku berfikir syukurlah sepertinya tidak ada hal serius yang terjadi dan dia sudah kembali ke Hiratsuka yang ceria dan aktif seperti biasanya.

    Bel sekolah pun berbunyi, waktu istirahat telah tiba, kami sudah berjanji untuk bertemu di halaman belakang sekolah.

    “Hei Hiratsuka-san, kau sudah disini duluan rupanya, maaf membuatmu lama menunggu”

    “Ah tidak aku baru saja sampai disini Yamaguchi-san”

    Pertama yang kutanyakan ialah masalah kesehatannya, syukurlah dia menjawab baik baik saja, dilihat dari keadaannya sekarang sepertinya dia memang tidak bohong dan sudah sehat kembali. Selanjutnya aku menanyakan rumahnya karena pada saat itu HP Hiratsuka tidak dapat kuhubungi, jadi aku ingin mengetahui lebih lanjut akan informasi tentangnya.

    “Me…memang kenapa kau ingin tahu rumahku?”

    Pertanyaan itu terlontar darinya, apa yang harus kujawab? Tentu saja tujuan utamaku mengetahui rumahnya untuk mendekatinya lebih dekat dan memperdalam hubungan kami saat ini. Lebih baik aku mencari aman terlebih dahulu.

    “Err.. aku pikir kita telah berteman cukup dekat, ini merupakan hal yang wajar bukan? A… aku juga jadi lebih gampang menghubungimu jika ada sesuatu”

    Dengan wajah menunduk dia membalas “Teman ya… baiklah sepulang sekolah nanti aku akan memberitahu rumahku… Hotaka-kun”

    Setelah berkata seperti itu dia berlari ke arah lapangan tennis sambil melambaikan tangannya kepadaku. Ini pertama kalinya dia memanggilku bukan dengan nama keluarga, apakah dengan ini dia menganggapku bahwa aku teman dekatnya, atau ini sebuah tanda bahwa route ku dengannya semakin terbuka, yang pasti aku sangat senang dipanggil dengan namaku olehnya.

    Dia sudah menungguku di gerbang sekolah untuk memberitahukan rumahnya, mengingat dia pernah mengatakan bahwa rumahnya dekat dengan hutan terlarang dan setelah mengalami kejadian kemarin, aku jadi sedikit takut mendekati hutan tersebut. Ini bukan saatnya takut akan hal tersebut, aku akan melupakan masalah hutan itu cepat atau lambat lagipula hutan itu akan segera ditutup oleh pemerintah tahun depan jadi ini tidak akan menjadi masalah.

    “Hiratsuka-san maaf aku terlambat, hari ini jadwalku untuk melakukan piket….. atau bolehkah kupanggil Tomoka?

    Walau terdiam sebentar dia segera membalasku dengan senyuman dan berkata “Tentu Hotaka”

    Dengan wajah memerah dan membalikan muka dia berkata “Ha…hari ini aku sedang tidak ada kegiatan club, la..lagipula langit masih terang, aku ingin jalan jalan sebentar menyegarkan pikiranku. Ma…..maukah kau menemaniku dulu?”

    Apa ini, tiba tiba dia mengajaku da…date? Date atau bukan tidak jadi masalah, tentu aku sangat senang bisa menghabiskan waktuku hanya berdua dengannya, tanpa ragu aku menjawab “Tentu, aku juga sedang tidak ada kegiatan, aku akan menemanimu kemanapun”

    CRAP ! kata kata menemanimu kemanapun sudah seperti sebuah kalimat pernyataan, aku kelepasan bicara terbawa atmosfir sekitar, gawat bagaimana ini aku sudah terlanjur mengatakannya kuharap dia tidak menganggapku yang tidak tidak. Berusaha mengalihkan topik aku segera menanyakan tentang kegiatan club dan sekolahnya.

    Banyak hal yang kami berdua lakukan, dari mulai pergi ke arcade yang tidak disangka Tomoka sangat jago di beberapa game tertentu, disusul ke toko mainan yah biar bagaimanapun dia seorang wanita, biar dia terlihat tomboy dia tetap mempunyai sisi lembut di dalamnya terlihat matanya yang sangat berkaca kaca melihat boneka boneka binatang dengan bentuk yang imut walau Tomoka sendiri tidak mau mengakuinya dan beralasan yang lain.

    Kami juga pergi ke toko buku, buku yang ia lihat adalah buku tentang masakan, sepertinya dia mempunyai interest dalam hal ini, aku ingin mencicipinya kapan kapan. Karaoke pun menjadi tempat tujuan kami untuk membunuh waktu dan melepas stress akan masalah masalah yang ada, dan tidak disangka juga suara Tomoka lumayan bagus untuk ukurang anak SMU, kupikir kalau dia dilatih ada kemungkinan dia bisa menjadi penyanyi.

    Berbaur dengan keramaian kota, entah bagaimana sepertinya kami menjadi salah satu perhatian publik, yah mungkin mereka memandangku seperti anak berandalan yang mengancam seorang putri yang cantik untuk berjalan dengannya. Tapi memang Tomoka sendiri lah yang menjadi faktor utama orang orang memperhatikan kami, dia sepertinya memang sudah cantik sejak lahir, aku merasa bahagia bisa jalan berdua dengannya.

    Yang kulakukan saat ini benar benar seperti date, aku bersyukur aku mengurungkan niatku untuk bolos sekolah hari ini, biar badanku masih dalam keadaan seperti ini aku sudah tidak memikirkannya lagi semenjak bersama dengannya. Kebahagiaan ini terus berlanjut saat ini, kuharap aku bisa melakukan kegiatan ini dengannya lagi nanti.

    Langit mulai pudar, matahari mulai menjauh, burung burung berpulangan ke tempatnya masing masing, senja yang indah mulai datang. Kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu di sebuah restoran keluarga kecil di daerah sini, lagipula aku tidak ingin merepotkan kedua orang tua Tomoka nantinya jika bertemu.

    Tempat ini direkomendasikan Tomoka, yah karena ini dekat dengan daerah rumahnya, sepertinya ia suka makan disini bersama keluarganya. “Kau sepertinya sering makan disini bersama keluargamu ya?”

    “Orang tua…. Err iya”

    Gawat sepertinya aku menanyakan pertanyaan yang salah, mungkin dia punya masalah dengan keluarganya sama sepertiku, atau mungkin…. Aku tidak perlu tau lebih lanjut “Maaf, aku salah bicara sepertinya”

    Bodoh, semenjak pertanyaan yang kulontarkan keadaan menjadi hening. Aku segera berusaha memecahkan keadaan ini dengan mengganti topik yang ceria.

    Kini saatnya aku mengetahui rumahnya, kami berjalan ke arah hutan terlarang, mengingat kejadian kemarin membuatku sedikit merinding, namun ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan rumahnya yang kulakukan hanya sekedar lewat lagipula. Sesampai di depan pintu masuk hutan terlarang langkah Tomoka terhenti.

    “Ini… ini rumahku, seluruh hutan terlarang ini merupakan rumahku”

    Aku tidak tahu apa yang ingin ditunjukannya kepadaku, aku tidak tahu dia berbohong kepadaku atau bercanda maupun mengatakan hal yang sebenarnya, untuk mengetahuinya lebih lanjut aku akan mengikuti apa yang akan terjadi nanti.

    “Aku ingin Hotaka bersamaku pergi ke danau di hutan ini”

    “Ta..tapi Tomoka, sebenarnya baru kemarin aku kesini untuk mencari danau tapi aku tidak menemukannya sampai aku terjebak didalamnya untuk waktu yang cukup lama”

    Dengan tersenyum dia menjawab “Percaya padaku… Hotaka”

    Aku tidak dapat berkata banyak setelah melihat senyumnya, yang kulakukan hanya menurut dan mengikutinya. Aku tidak tahu apa tujuan dia yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berusaha percaya kepadanya dan mengikutinya.

    Tidak seperti kemarin, kali ini danaunya dapat kami temukan, Tomoka memimpin jalan menuju danau ini seolah dia sangat tahu rute rute di hutan ini, apakah benar hutan ini sendiri merupakan rumahnya? Ada yang berubah disini, seingatku dulu di dekat danau tidak ada gerbang kuil didepannya. Keadaan disni juga banyak berubah, dimana cahaya bulan masuk melalui celah celah pohon langsung menyinari danau itu sendiri, disusul dengan banyaknya kunang kunang yang menghiasi sekitarnya, tempat ini sangat berubah menjadi tempat yang cantik.

    Dari belakang dia mendekatiku “Hotaka…”

    Tiba tiba dia mendekatiku, tanpa kusadari dia menciumku secara mendadak.

    “Hotaka, aku mencintamu, sejak hari itu sampai sekarang, aku mencintamu setiap harinya… tuan pemberani (Yuuki)”.

    Sebuah pernyataan mendadak diberikan olehnya yang membuatku tidak bisa berkata apapun.


    Spoiler untuk Chapter 5 : How did we end up this way, what did we do wrong? GOD :


    “Aku mencintaimu” kata kata itu kini terngiang di kepalaku, ada apa sebenarnya, bukannya aku tidak merasa senang, namun ini terlalu tiba tiba. Aku tidak merasa diriku adalah pria yang cukup populer dikalangan para wanita, pernyataan mendadak ini masih sangat membingungkanku, semua ini terasa seperti kebohongan yang nyata.

    “Aku akan menjelaskan semuanya Hotaka, tunggu disini sebentar”

    Sambil berbicara seperti itu Tomoka lalu pergi ke dalam, dan yang ternyata setelah kulihat baik baik terdapat sebuah kuil disana. Kuil ini tidak pernah kulihat sebelumnya, apakah tempat ini berbeda dengan tempat dimana aku melihat danau sebelumnya? Sungguh hutan ini menyimpan banyak misteri yang tidak kuketahui. Dan yang lebih mengejutkannya, kuil ini cukup terawat seperti kuil kuil normal lainnya yang ada pada saat ini.

    Tidak lama kemudian Tomoka keluar dari dalam kuil itu menggunakan kostum Miko, tidak kusangka dia sangat pas menggunakan kostum itu, entah mengapa tiba tiba terbesit di otak ku dan de javu pun kualami. Aku seperti pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, aku seperti pernah melihat Tomoka memakai baju Miko sebelumnya, dimana aku melihatnya? Padahal aku baru bertemu dengannya sejak masuk SMA sekarang.

    “Ikut aku Hotaka”

    Dia mengajaku kembali ke depan gerbang kuil, dan menyuruhku untuk memejamkan mata, sambil berbicara kepada seseorang “Keluarlah”. Aku tidak tahu siapa orang ini, rasa takut mulai menghampiriku, tidak tahu apa yang terjadi kedepannya yang kulakukan hanya menuruti orang yang kusuka saat ini.

    “Kau boleh membuka matamu Hotaka”

    *!!!

    Tepat dihadapanku muncul sebuah batu besar yang diduduki oleh sebuah tengkorak yang dibalut dengan sehelai kain sambil menatap ke arahku. Tempat apa ini, belum ada tengkorak ini sebelumnya sampai Tomoka berbicara kepada seseorang untuk keluar, apakah dia berbicara dengan orang mati? Atau bahkan jangan jangan Tomoka memang sudah mati, dan dia sebentar lagi akan ikut menyeretku ke alamnya. Aku hanya bisa mempasrahkan diri terhadap keadaan ini, sudah tidak ada waktu lagi untuk kembali, akan kuhadapi apapun yang terjadi kedepannya.

    Air mata menetes dari wajah Tomoka, sambil tersenyum dia berbicara “Tengkorak ini dirimu sendiri Hotaka”

    Aku semakin bingung dengan semua penjelasan ini, apa yang sebenarnya terjadi, aku sendiri tidak tahu apa yang ingin kutanyakan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian Tomoka menggengam tanganku, kehangatan akan tangannya membuatku yakin kalau Tomoka adalah manusia, dia masih hidup sepertiku.

    Sambil menyeret tanganku dia berkata “Kau akan mengerti semuanya setelah menyentuhnya”

    Tiba tiba sinar yang sangat terang datang kehadapanku, aku terseret ke dalam sebuah dimensi yang tidak kukenal, saat itu tubuhku seperti ditarik oleh tekanan tekanan aliran waktu. Rasa sakit menyerang kepalaku, nyawaku seperti terpisah dari ragaku, aku benar benar tidak tahu rasa seperti apa yang kualami saat ini, terlalu aneh untuk dijelaskan.

    Rasa sakit masih berkeliaran di kepalaku, aku terbangun ditempat yang cukup asing, pohon pohon masih banyak terlihat disekitarku, anak kecil yang sedang bermain dengan riangnya menggunakan Yukata terlihat di depanku, pasukan berarmor sepertinya sedang berpatroli dengan menggunakan kuda gagahnya, dan juga ramai akan penduduk desa yang sedang berdagang maupun bersilaturahmi dengan sesama. Aku merasa pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, tapi aku tidak dapat mengingatnya.

    Pakaian yang dikenakan oleh penduduk sekitar ialah pakaian pakaian tradisional, dimana pakaian seragam sekolah yang kukenakan saat ini membuatku merasa ini bukan tempatku. Setelah berusaha mengingatnya, kini baru kusadari bahwa setting yang ada di depan mataku saat ini ialah persis pemandangan pada zaman Edo. Tapi aku tidak tahu tahun berapa sekarang, dan kenapa aku bisa ada di masa lalu? Mencoba menanyakannya kepada orang orang disini, namun tidak satupun yang menjawab, sepertinya memang aku tidak terlihat di mata mereka.

    “HEI !!! minggir anak kecil, apa kau tidak lihat tuan putri ingin lewat”

    “Anak gembala sapi sepertimu tidak seharusnya mengotori tempatku berpijak” saut sang putri

    Sepertinya ada pasukan kerajaan yang sedang melakukan investigasi atau semacamnya ketempat ini, sombong sekali mereka, hanya karena seorang anak kecil lewat didepannya sampai membentaknya seperti itu. Namun sepertinya dia sudah biasa dengan keadaan seperti ini, anak itu hanya diam dan lewat begitu saja tanpa menghiraukan mereka.

    Tiba tiba keadaan sekitar bergerak dengan cepat, lebih tepatnya sepertinya aku terseret lagi kedalam arus waktu seolah ingin menunjukan kejadian penting yang terjadi. Aku tidak tahu sudah berapa hari yang terlewat sejak kejadian waktu itu, kini aku berada di daerah pinggiran sungai dan waktu sudah menunjukan senja di sore hari.

    Dari kejauhan aku melihat seorang anak perempuan cantik sedang berada di pingir sungai sendirian, dilihat dari siluetnya rasanya aku pernah melihatnya.

    “Hei tuan putri, kemana pengawalmu, kenapa kau sendiri sekarang?” sapa sang anak pengembala sapi sambil memakan sebuah nasi kepal.

    “Ka….kau anak yang kemarin siang menghalangi jalanku, be…beraninya menyapaku seolah kita sudah kenal dekat”

    *Kruuuk ~ suara perut yang kelaparan terdengar dari sang putri, dengan wajah memerah dia mencoba menutupinya, haha kebanggaan seorang tuan putri hancur sudah dengan 1 bunyi perut lapar.

    “ehm… kau mau? Maaf hanya ada 1 aku hanya bisa memberikannya setengah sisa dariku”

    “Huh mana mau aku makan makanan orang rendah sepertimu, lebih baik aku minum air sungai ini daripada harus makan makananmu”

    *Kruuk~ suara makin terdengar dari perutnya, ini bukan saatnya untuk mempertahankan martabatmu, perutmu lebih penting saat ini tuan putri yang keras kepala. Dengan sigap si anak pengembala sapi itu langsung menggengam tangan putri dan memberinya setengah dari nasi kepal miliknya, dan berkata “Jangan bodoh, kau tidak perlu malu dengan keadaan ini, makanlah sebelum perutmu tambah sakit”.

    Tuan putri keras kepala itu langsung terdiam mendengar perkataannya, disusul dengan tangisan anak kecil manjanya. Ternyata dia terpisah dari rombongannya akibat diam diam kabur dan ingin bermain dengan binatang binatang yang ada di desa ini. Akibat kejadian ini, kini mereka berdua sudah berbicara seperti teman dekat saja, dan sebenarnya walau sifat sang putri seperti itu tapi di dalam hatinya dia tetap orang baik.

    “Te…terima kasih, berkatmu aku tertolong dari rasa lapar dan terima kasih juga telah mengantarkanku ke pusat di desa ini, sehingga aku bisa pulang”

    Dengan senyuman dia menjawab “Tidak masalah, kuharap kita bisa bertemu lagi dan aku akan mengajakmu ketempat tempat yang menarik disini”

    Dengan wajah memerah dia membalas dengan pelan “pa… pasti”

    Time warp menyeretku kembali, aku tidak tahu sebenarnya apa yang mau ditunjukan kepadaku, siapa kedua anak tersebut apakah ada hubungannya denganku dan Tomoka? Dinilai dari fisik memang wajah sang putri mirip sekali dengan Tomoka, namun si anak pengembala sapi itu sama sekali tidak mirip denganku.

    Perjalanan waktu ini terus memperlihatkanku hubungan antar 2 anak ini, dimana sang putri yang selalu diam diam mengendap keluar untuk bertemu dengannya. Hubungan mereka semakin dekat dari waktu ke waktu dan semuanya terlihat berjalan baik baik saja tanpa ada kejadian buruk yang menimpa mereka. Hingga tiba saatnya dimana mereka kini sudah menjadi remaja dan mulai mendekati umurku, dugaanku benar sang putri kini makin terlihat mirip dengan Tomoka, namun tidak dengan anak itu.

    Kini aku dibawa ke sebuah hutan dan terlihat dimana pasukan kerajaan sedang mengejar mereka berdua, apa yang sebenarnya terjadi disini. Mereka berdua dikejar oleh sekitar 15 orang pasukan kerajaan yang berusaha menangkapnya, apakah ini Coup de etat?. Satu persatu mereka berhasil ditumbangkan secara perlahan dengan jebakan jebakan yang cukup sederhana yang dibuat oleh sang pengembala sapi.

    “Heh jangan pikir kalian bisa menyentuh jari kotor kalian sedikitpun, apa cuma segini kekuatan dari pengawal kerajaan”

    Dengan strategi memanasi lawan hingga terbawa emosi, jebakan yang sangat simpel pun jadi bekerja terhadap mereka, sepertinya dia sudah sangat menguasai hutan ini sebelumnya. Hingga pada akhirnya mereka terjebak di sudut hutan dan dikepung oleh sisa pasukan 7 orang.

    “Haha bocah kini kau terkepung, akan kubunuh kau sebentar lagi”

    Gawat kalau begini mereka berdua bisa mati, aku ingin sekali membantu mereka namun aku benar tidak bisa menyentuh apa apa disini bahkan mereka tidak bisa melihatku, tidak ada yang bisa kuperbuat. Namun raut wajat sang pengembala sapi belum pudar, dia masih tersenyum akan kemenangan, sepertinya dia sudah menyiapkan strategi untuk mengalahkan mereka.

    “Apa kau yakin ini akan berhasil? Ini rencana terakhir kita dan kalau salah langkah saja bisa bisa keadaan menjadi sangat buruk”

    “Tidak perlu cemas putri, yang perlu dilakukan ialah terus memancing emosi mereka dan mengincar celah yang ada dengan tenang, kita akan membawa mereka ke danau dekat kuil”

    Sambil kebingungan dia bertanya “Kau tidak takut?”

    Dengan tersenyum yakin dia menjawab “Tidak ada yang perlu ditakuti, kalau kau takut yang harus kau lakukan ialah mempercayai semuanya padaku tuan putri, aku akan melindungimu apapun yang terjadi”

    Dengan kelihaiaannya rencana yang cukup beresiko ini berjalan dengan semestinya. Dia sudah memasang beberapa jebakan binatang seperti lubang parit, maupun panah panah yang akan melayang jika pasukan kerajaan salah sedikit saja dengan pijakannya. Kini mereka tinggal berjumlah 3 orang, tentu rencana yang cukup beresiko sebelumnya sudah membuat sang pengembala kelelahan dan cukup mendapatkan luka luka kecil yang sedikit menyulitkannya untuk bergerak.

    “Kau tidak apa apa? Kau terlihat sangat lelah, dan luka luka ditubuhmu sepertinya cukup berbahaya”

    “Tidak apa tuan putri, percaya padaku, aku tidak akan membiarkan ujung jari kotor mereka menyentuhmu”

    Dengan muka memerah dan tersenyum malu sang putri menjinjitkan badannya dan mencium pipi sang pengembala dan berkata “Terima kasih telah berbuat sejauh ini untuk ku, hanya ini yang bisa kulakukan saat ini, semoga ciumanku bisa sedikit menyembuhkan lukamu”

    “Te.. terima kasih telah memberi hadiah terbaik untukku putri, rasa sakitku kini telah hilang”

    “BOCAH SIALAN, BERANINYA KAU MEMPERMAINKANKU DAN ANAK BUAHKU !”

    Mereka datang dengan sangat marah, ini bisa jadi menguntungkan atau malah membahayakan, dilihat dari kondisi sang pengembala yang sudah kelelahan sendirian menumbangkan 12 orang pasukan kerajaan, namun ini masih berjalan sesuai dengan strateginya saat ini. Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa hal ini menimpa mereka.

    Dengan mengumpulkan sedikit keberanian sang putri bertanya “Ke…kenapa kau melakukan semua ini komandan, bukankah kau sudah menjagaku sejak aku kecil”

    “Jangan bercanda ! aku mau menjadi penjaga bocah sialan sepertimu karena kau mempunyai masa depan yang cerah, aku berusaha mendekatimu sejak kecil dan berencana menikahimu nantinya lalu diam diam membunuh ayahmu agar gelar raja menjadi miliku seorang!. Kini rencanaku telah gagal karena seorang pengembala kotor sepertinya, aku berusaha menjauhkanmu dari semua pria yang memungkinkan membuatmu cinta kepadanya agar hanya aku seorang yang bisa kau cintai".

    “RENCANA BUSUKMU AKAN KUHABISI DISINI”

    “Bo…bodoh, aku akan menceritakan semua ini kepada ayahku setelah ini agar kau dipenjara”

    “HAHAHAHA! Jangan bercanda, memangnya kau akan kubiarkan hidup setelah mendengar semua ini, yang perlu kulakukan disini hanyalah mengarang cerita dengan skenario terbaik dariku, ingin dengar?

    “A…apa rencanamu”

    “Pasukan ini sudah dari awal kuperintahkan untuk menangkap pengembala kotor itu berdasarkan cerita dia menculikmu dan hal ini sudah diperintahkan sendiri oleh raja untuk menangkapmu, yang perlu kulakukan disini hanya memotong kedua kaki pengembala kotor itu, mengikat kedua tangannya. Setelahnya aku akan menikmati tubuhmu lebih dulu sebelum kau kubunuh di depan kedua mata pengembala itu, aku akan membuat keadaan dimana orang yang disayanginya diperkosa di depan kedua matanya. Aku akan membunuhmu di depannya dengan cara yang sadis dan membiarkan pengembala kotor itu hidup untuk beberapa hari kedepan dan nantinya dia akan mati sendiri sambil merasakan penderitaan yang besar. Yang kulakukan tinggal pulang dan mengarang cerita kalau kau dibunuh olehnya, lalu dia juga ikut bunuh diri HAHAHAHA”

    Kejam sekali rencananya, rasanya aku ingin ikut membunuhnya namun tidak ada yang bisa kulakukan saat ini. Setelah mendengar perkataannya sang pengembala langsung mengambil tombak yang jatuh di dekatnya lalu dengan cepat dia menerjang sisa pasukan kerajaan. Tunggu sepertinya ini bukan strategi darinya, matanya berubah menjadi mata binatang buas yang ingin mengoyak mangsanya sampai tak berbekas, gawat dia termakan dengan kata katanya kini dia sendiri yang terbawa emosi.

    Pertarungan sengit 1 lawan 3 ini dimenangkan oleh sang pengembala dengan hasil luka yang dialaminya cukup parah, selama ini yang dilakukan olehnya hanya membuat para pasukan pingsan atau tidak bisa bergerak, namun berbeda untuk yang ini, hukuman mati memang pantas untuk mereka.

    Sambil sempoyongan dia masih berkata dengan gagahnya “Aku sudah menumbangkan mereka semua tanpa berhasil menyentuhmu sedikitpun tuan putri”

    “AWAS BELAKANGMU!”

    Dengan sigap dia berbalik untuk menepis serangan terakhir dari sang komandan, namun terlambat yang bisa dilakukan saat ini hanya menggeser sedikit tombaknya agar tidak menusuk tepat di jantungnya.

    “Yang kuinginkan hanya hidup damai bersama Yuuki-san, bagaimana kami bisa berakhir seperti ini? Kesalahan apa yang telah kami lakukan? Tuhan”.


    Spoiler untuk chapter 6 : The place where wishes come true :

    “Yuuki-san…. YUUKI !!!!!”
    Keadaan menjadi sangat kacau, darah mengalir dari sang pengembala yang bernama Yuuki? Kurasa itu namanya karena aku baru mendengarnya sekarang. Organ organ dalamnya terlihat sedikit, walau tusukannya tidak berhasil mengenai tepat jantungnya. Tangisan sang putri terdengar sangat kencang, aku ingin sekali membantu mereka berdua tapi tidak ada yang dapat kuperbuat.
    Dengan bersusah payah sang pengembala berkata “Aku sudah melakukan yang terbaik yang kubisa…. Aku sedikit lelah, aku ingin istirahat sebentar. Bolehkah aku meminta satu permintaan?”
    Sambil mengalirkan air mata “Apa yang kau inginkan?, aku akan mengabulkan apapun permintaanmu selama aku bisa”
    Sambil senyum ia mengatakan “Aku hanya ingin istirahat di pangkuanmu”
    Tetesan air mata sang putri makin mengalir, seluruh badannya gemetar seakan ada gempa saat itu, tangannya perlahan mengenggam sang pengembala lalu dipegang dengan eratnya seakan tidak akan dilepas walau kiamat datang pada saat itu. Tidak dapat mengendalikan ekspresi lagi, sang putri langsung memeluk badannya dengan erat
    “Bodoh… jangan berkata yang tidak tidak”
    “Jangan menangis tuan putri, aku hanya beristirahat sebentar”
    “Jangan panggil aku tuan putri, panggil namaku dan kau harus berjanji kau tidak akan meninggalkanku sekarang”
    “Ya…. Aku janji….. Tomoka”.
    Hari pun semakin larut, kekacauan yang baru saja terjadi sudah menjadi tenang, sinar rembulan masuk melalui celah celah dedaunan, kunang kunang ikut menari mengelilingi mereka. Sang putri terdiam membantu memberikan pangkuannya dan bersabar menunggu untuk sang pengembala terbangun. Kudengar suara bisik bisik darinya yang terus meminta permohonan kepada Tuhan agar sang pengembala dapat selamat.
    Sampai sejauh ini aku tidak terseret oleh aliran waktu, biasanya aku akan terseret jika sebuah scene telah terjadi dan membawaku ke scene berikutnya. Kesimpulan yang kudapat ialah cerita ini belum selesai, seharusnya ini semua ada hubungannya denganku tapi yang ada hanya cerita masa lalu tentang seorang putri yang mirip dan mempunyai nama yang sama dengan Tomoka. Dia tidak mungkin Tomoka yang kukenal, tidak mungkin dia masih hidup dengan postur tubuh seperti sekarang selama beratus ratus tahun.
    Sang fajar mulai terbit menyinari danau, burung burung pun mulai bernyanyi, sampai sekarang tidak ada tanda bahwa sang pengembala akan terbangun dari tidurnya, sebaliknya sang putri terlihat terus menunggu tanpa tertidur. Tidak ada keajaiban yang terjadi sampai saat ini, wajar saja kurasa luka yang dialami sang pengembala lumayan parah apalagi dia tidak segera dibawa ke rumah sakit, bisa bisa ia kehabisan darah dan meninggal.
    Tidak tahan merasa kantuk, sang putri tertidur dengan posisi tetap memangkukan kepala sang pengembala. Aku tidak tahu kenapa masih berada disini, apa peranku disini? Tidak tahu apa yang ingin kukerjakan aku mencoba mulai berkeliling melihat tumpukan para prajurit yang tumbang di hutan ini. Beberapa dari mereka sudah menghilang, kurasa mereka sudah pulang ke kerajaannya, hal ini tidak dapat lama dibiarkan bisa bisa mereka kembali memanggil pasukan lainnya untuk bala bantuan.
    Tapi tempat ini menguntungkan mereka, butuh waktu lama untuk sampai ke danau di dalam hutan ini, kurasa mereka masih punya waktu untuk meninggalkan tempat ini. Kembali ke danau, tidak sengaja aku mendengar suara semak semak yang bergoyang, apa tempat ini ketahuan? Jika hal itu terjadi ini sangat gawat untuk mereka berdua.
    “GYAA!”
    Suara teriakan terdengar, dengan segera aku mengecek sumber suara tersebut. Ternyata ada sisa pasukan yang mencoba mencari komandan mereka dan menemukannya, gawat mereka akan memanggil bala bantuan secepatnya aku harus membangungkan sang putri.
    Apapun yang kulakukan aku tidak dapat menyentuh mereka, sekeras apapun aku berteriak mereka tidak akan mendengarku. Sial segala cara sudah kucoba tapi tidak ada yang dapat kuperbuat, suara pasukan tadi rupanya tidak sampai kesini untuk membangunkan sang putri. Sang pengembala juga sepertinya sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup, dia termakan emosi di saat terakhir, kurasa hal itu wajar siapapun akan terbawa emosi jika orang yang di sayanginya dihina seperti itu.
    “Ck… tidak adakah yang bisa kuperbuat?”
    Lelah mencoba membangunkan mereka, aku kembali berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar untuk melihat keadaan. Benar saja, kemungkinan terburuk telah terjadi, kini pasukan bantuan datang lebih banyak dari sebelumnya, jumlah mereka bisa lebih 2 kali lipat.
    “Aku harus segera kembali ke tempat mereka, semoga sang putri sudah terbangun”
    Sesampainya disana aku melihat hal yang tidak terduga, bukan sang putri yang terbangun namun sang pengembala yang berdiri tegak dengan gagahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dengan luka seperti itu selamat saja sudah seperti keajaiban.
    “Disana !!! sedikit lagi maju kesana!”
    Pasukan kerajaan mulai mendekati lokasi, kali ini apa yang bisa dilakukan oleh sang pengembala dengan luka seperti itu dihadapan pasukan yang jumlahnya 2 kali lipat lebih dari sebelumnya.
    “Aku telah pulih sepenuhnya, terima kasih telah mengabulkan permintaanku, sekarang istirahatlah dengan tenang karena aku…”
    “Tidak ingin lagi kau melihat wajahku disaat aku sedang mengamuk”
    Tidak mau membangunkan sang putri, sang pengembala maju mendekati para pasukan lalu membantainya satu per satu. Kali ini dia tetap mengamuk, namun pikirannya sudah tenang tidak seperti sebelumnya. Anehnya luka di tubuhnya benar benar sudah menghilang sama sekali tidak berbekas seakan dia telah dihidupkan kembali. Tidak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya pada saat aku meninggalkan tempat itu.
    Pembantaian massal terjadi, darah berceceran membasahi bumi, mata sang pengembala benar benar berubah menjadi mata pembunuh berdarah dingin. Berbekal dengan keinginan untuk melindungi seseorang yang disayanginya, dia berkorban mengotori tangannya menjadi pembunuh, kini dia sudah tidak dapat kembali hidup normal menjadi pengembala sapi seperti sebelumnya.
    Tidak lama setelah pembantaian terjadi, sang putri terbangun dari tidurnya dan terkejut dengan keadaan disekitarnya. “Apa yang terjadi disini, dimana…. Dimana kamu Yuuki !!”
    “Tidak perlu berteriak tuan putri, aku akan selalu ada didekatmu melindungimu sampai kapanpun”
    Terpana melihatnya, tanpa disadari tetesan air mata mulai mengalir dari kedua bola matanya. Kini matahari telah terbit sepenuhnya, atmosfer disini benar benar berubah, keduanya saling berpegangan tangan dan bertatapan tanpa berbicara sepatah katapun.
    “Aku harus menjelaskan semua ini dengan cepat kepadamu”
    Ternyata sang pengembala tahu alasan kenapa dia dapat pulih dengan luka seperti itu. Tempat ini merupakan tempat sakral yang suci dan dapat mengabulkan permintaan para pasangan yang saling mencintai apapun itu. Tentu hal ini tidak semudah cerita dongeng, kedua pasangan tersebut harus benar benar mencintai satu sama lain dengan tulus sampai kapanpun, hal ini disusul dengan pembayaran yakni sebuah “karma”.
    Setiap permintaan yang dikabulkan akan diberikan karma yang setimpal dengan permintaannya. Sang pengembala seharusnya sudah mati pada saat itu, namun sang putri memohon agar dia dapat selamat, pada saat itulah permintaannya dikabulkan.
    “Karena yang kau minta adalah sebuah kehidupan, maka pembayaran harus dilakukan dengan sebuah kehidupan juga”.
    Ini berarti tuan putri akan kehilangan nyawanya sendiri, tidak membiarkan hal ini terjadi sang pengembala juga meminta sebuah permintaan yang berisi “Buat sang putri terus hidup sampai saatnya aku bisa berenkarnasi dan bertemu dengannya, keabadian akan dibayar dengan keabadian, aku akan membayarnya dengan terus menjaga tempat ini meski yang tersisa hanya tulang tulang sampai tiba saatnya sang putri bertemu dengan renkarnasiku.”
    “Permintaan ini hanya dikabulkan untuk pasangan yang saling mencintai…. Tomoka”
    “Bodoh… kau tidak perlu menjelaskannya lagi Yuuki”
    Keduanya langsung saling berpelukan, dan memberikan kecupan perpisahan dengan sangat romantis. Namun kini aku mulai mengerti dengan cerita ini, semua mulai saling berkesinambungan satu sama lain, ada kemungkinan Tomoka disini merupakan Tomoka yang sekarang sedang kulihat. Dan…. Aku merupakan renkarnasi dari sang pengembala yang bernama Yuuki?
    “Danau ini akan menyeretmu dan membawamu ke tempat dimana terletak diantara surga, maupun neraka. Tempat ini disebut “Kehampaan” dimana kamu tidak akan tahu sudah berapa lama waktu yang kau lewati, kau tidak akan merasa kantuk haus maupun lapar, yang kau rasakan hanya kehampaan.”
    “Aku tidak ingin melakukan semua ini, namun hanya hal ini yang dapat kulakukan untuk menyelamatkanmu dari kematian. Beda halnya denganku, walau tersisa hanya tulang belulang namun indra perasa manusiaku masih terasa seperti manusia normal. Aku tidak ingin kau berada di posisi ini.”
    Perpisahan singkat ini diakhiri dengan sebuah janji yang berisi
    “Tomoka.. sampai saatnya tiba, janjikan aku satu hal..”
    “Aku tidak tahu berapa tahun, puluhan atau bahkan ratusan, aku tetap akan terus menunggu di tempat ini sampai kau datang. Dan janjikan aku bahwa kau akan mencintaiku setiap harinya sampai hari itu tiba”.
    Sambil tersenyum dan meneteskan air mata dia berkata “Bodoh… tidak perlu kau katakan lagi”
    Air air danau mulai menyembur keluar, tidak hanya sang putri yang terseret kini aku ikut terseret olehnya. Sepertinya cerita ini telah selesai, ternyata ini alasan kenapa Tomoka secara mendadak menyukaiku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti setelah bertemu dengannya.
    Hal berjalan tidak seperti yang kuduga, kini disaat perjalanan kembali semua ingatan sang pengembala mulai memasuki diriku. Tidak hanya ingatan yang masuk ke tubuhku, namun rasa sakit yang dialami dari saat dia hidup sampai mati, bahkan rasa lapar haus dan kantuk saat dia menjadi tengkorak juga memasuki tubuhku. Aku tidak tahu apakah tubuhku akan kuat menahan semua ini.
    Rasa yang kualami saat ini sudah tidak dapat dijelaskan kembali, bayangkan saja rasa sakit selama beratus ratus tahun dikirim secara mendadak ke tubuhku dalam 1 waktu, secara akal sehat seharusnya tubuhku sudah hancur karena tekanan yang kualami sangat kuat, seakan tekanan udara dari dasar laut yang terdalam pun sama sekali tidak ada apa apanya dibanding yang kurasakan sekarang.
    Setelah terbangun, keadaan sekitar kini menjadi gelap, aku telah ingat semua memori yang terjadi denganku dari saat aku masih bernama Yuuki, sampai sekarang. Tengkorak yang seharusnya menjadi tubuh dari nenek moyangku kini telah menghilang, sepertinya permintaan kami berdua telah selesai dikabulkan, seharusnya kutukan abadi milik kami berdua sudah menghilang.
    Dan ternyata keadaan belum berubah seperti sebelumnya, aku masih tertidur di pangkuan Tomoka sama seperti waktu itu.
    “Kurasa tempat ini memang bisa mengabulkan sebuah permintaan”
    “Bo…bodoh kau sudah sadar, kenapa tidak membangunkanku”
    “Maaf… aku sudah kembali Tomoka… dan terima kasih telah mencintaiku setiap harinya sampai sekarang”
    “Kau tidak perlu memberitahuku lagi… bodoh”.
    Walau Tomoka telah merasakan kehampaan selama beratus ratus tahun, sifat dia tetap belum berubah sampai sekarang. Kurasa janjinya kepadaku benar benar dipegang sampai saat ini. Terima kasih Tomoka, terima kasih telah berbuat sejauh ini untuk orang sepertiku.


    Last edited by Mello; 27-03-13 at 23:56. Reason: Chapt 6
    Everlasting Memories project


    When Tsundere's being honest to you, it means she desperately in love with you and that time too she give you her heart, faith, & trust 100%

  14. #9
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Spoiler untuk Pohon :
    Spoiler untuk Meet Melline - Marmut dan kacang :
    Minim dialog, dikompensansi dengan deskripsi lengkap tentang jalan pikiran tokoh. Pikiran tokoh utama bisa dijelaskan dan dimanfaatkan dengan baik untuk loncat dari satu bagian ke bagian lainnya. Diksinya juga cukup menarik, membuat pembaca nggak bosan meski proporsi deskripsi jauh lebih berat dari dialognya. Masing-masing karakter yang muncul juga dijelaskan dengan cukup baik.

    Sayang sekali masih ada inkonsistensi gaya penulisan deskripsi di beberapa bagian. Garis besarnya, sebagian deskripsi ditulis dengan gaya modern, tapi ada beberapa bagian yang terkesan seperti sajak tradisional. Jalan cerita juga terkesan terlalu buru-buru. Hubungan dari bagian sebelumnya ke bagian selanjutnya terlalu lemah. Dari menghayalkan sekitar di paragraf pertama, selanjutnya entah kenapa tanpa ada yang memicu tiba-tiba teringat masa TK, dst.

    Spoiler untuk One-way Road - Jalan putar balik :
    Pembukanya fresh. Selanjutnya kembali dipenuhi dengan deskripsi tentang jalan pikiran sang tokoh. Komedi yang dimasukkan sebagai bumbu cukup gokil menjurus garing, tapi nggak jelek. Proporsi dialog mulai mengimbangi, tapi masih terkesan kaku.

    Spoiler untuk Starflake - Keping tipis berlapis cahaya :
    Dan para pembaca bertanya apa orang tua dari Melline nggak khawatir membiarkan putri satu-satunya diajak jalan berdua dengan pria yang baru mereka kenal? Perubahan hari dijelaskan dengan deskripsi, perubahan sifat Melline bisa terlihat dari cara dialognya yang santai, akrab bin mesra, it’s good indeed. Yah, meski kekakuan dialog belum mengalami cukup perubahan.

    Spoiler untuk The Moongazer - Bulan, bintang, dan buah jeruk :
    Proporsi dialog makin bertambah, kaku juga mulai mencair. Awal-awal, keliatannya tingkat kebagusan deskripsi mulai menurun, but no. Dialog diatas balkon, dibawah langit malam, dimandikan air mata, berpelukan, semuanya bisa disampaikan dengan indah. I like it.

    Spoiler untuk Woodenbell - Teka-teki berantai :
    Dari nuansa penuh roman, berlanjut ke udara misteri ala detektif muda amatir. Deskripsi pertengahan cerita pun diwarnai pemikiran tokoh utama yang penuh pertanyaan dan hipotesis. What a change of pace.

    Spoiler untuk Orange - memori sebuah melon :
    Kini proporsi dialog mengalahkan deskripsi, what a come back win!
    Dilanjutkan dengan aksi detektif kita. Dialog antara Melon dengan pak Chien agak janggal, karena karakter melon yang sebelumnya punya karakter penurut dan.. biasa, ternyata punya sisi menyebalkan yang nggak ragu menyemburkan sindiran berani dalam dialognya. Disisi lain, pak Chien yang sudah terkuak kedoknya memang seharusnya panik, namun rasa panik yang natural kurang dapat dituliskan sehingga sebagian besar dialog terkesan dipaksakan.
    And then, reward for the hero nya.. kurang dapet. Dibanding semua perpisahan dan misteri yang mereka lewati, endingnya agak lemah.. However, nice twist. Meski out of image, tapi seluruh misteri dan kejanggalan dari chapter sebelumnya bisa dikupas tuntas tanpa sisa.


    Spoiler untuk asdf :
    Konsep ceritanya unik. Diksinya menarik, dan jenaka. Tapi keseluruhan pace kurang konsisten. Awalnya cerita terlalu terburu-buru, namun selanjutnya malah terlalu datar (dan keduanya nggak bagus). Awal sampai pertengahan mendekati akhir nggak ada yang sesuatu yang spesial. Seakan, chapter-chapter sebelum chapter terakhir hanya berupa pemanjang cerita.
    Overall, ceritanya bagus. Romansanya hangat & ringan, dan pada akhirnya bermuara pada twist yang mengejutkan.


    Spoiler untuk Score :
    87


    Spoiler untuk Digital Chocolate :
    Spoiler untuk Techno: Childhood Friend :
    Settingnya dimasa depan, dengan teknologi amat maju, oke sci-fi ini.. punya deskripsi yang lengkap, terutama atas fitur tubuh sang heroine dan perasaan Tokoh utama terhadap heroine tersebut. Masalahnya, sang penjelas selaku tokoh utama sendiri nggak mendapat spot light dalam deskripsi terhadap diri sendiri. Dialog sendiri bisa mengalir lancar dan ringan, meski sebagian besar konteksnya berisi komedi percintaan biasa. Well, that’s a good point.

    Spoiler untuk Past: A.L.I.C.E. Project :
    Adegan makan siang bersama yang sempat menjurus emosional. Awalnya sempat terasa lebay, terimakasih karena penjelasan Dennis tentang masa lalu Rika. Masih kecil udah jago pemrograman? Oh, tapi bukan itu bagian absurdnya. Dialog singkat mereka saat flashback itu absurd. Romantis memang, tapi kurang patut diucapkan anak seumuran mereka. Banyak anak kecil yang jenius, tapi kayaknya nggak ada anak kecil yang jenius sekaligus punya hati dewasa sampai bisa mengatakan kalimat seperti itu. Hey, tapi dia nggak sadar apa yang dia rasakan saat itu, kan? masih 12 tahun lho! Ah sudahlah..

    Yetz datang. Yetz, memasukkan benda ini sebagai karakter pembantu itu ide bagus. Cerita ini memang butuh pencair suasana ulung,

    Spoiler untuk 14th: Quantum Hacking :
    Detik-detik ingin mengutarakan perasaan, dimana sebelumnya ada gejolak kegalauan yang dideskripsikan cukup jelas dalam pemikiran sang tokoh. Yetz datang.

    Seharusnya tipikal ‘gangguan saat mau nembak’ begini bisa membawa gelitik tersendiri, tapi kalau cara menggoda(Yetz)nya terlalu biasa, dan respon dari pasangan utama kita terlalu bisa ditebak, bukannya menjadi bumbu gelitk, adegan ‘Yetz datang’ ini malah bisa membuat pembaca kesal.

    Oops.. mati listrik.

    Spoiler untuk Love: Melancholic Confusion :
    Kota yang nggak pernah merasakan mati listrik, tiba-tiba kena mati listrik. Menyenangkan juga kalau dibayangkan.

    Rika.. tiba-tiba alur cerita berubah emosional. Lesu karena mati listrik, wtf? Semakin hari semakin down. Aura cerita yang tadinya bersemerbak merah muda, sekarang jadi ungu gelap (somehow terbayang begitu) Dan, mungkin karena efek deskripsi & dialog mereka yang tiba-tiba berubah drop mellow agak mesra, nuansa emosionalnya (lagi-lagi)jadi terkesan lebay. Saking lebay emosional dan gelapnya, jadi seperti dunia akan berakhir, atau seperti ada yang bakal mati.

    Oh.. dia jadi transparan.

    Spoiler untuk Transcendence: Fragile Existence :
    Tiba-tiba Heroine-nya mati. Pembaca pun bingung. Tapi bingungnya nggak bisa lama-lama karena nuansa emosional makin menjadi, dan kini menjurus pada kesedihan tokoh utama.

    Oh, heroinenya mati ditabrak dan jadi hantu karena masih ada sesuatu yang belum terpuaskan. Sampai disini perkembangannya jadi agak mengecewakan meski penjelasannya somehow bisa sedikit masuk di akal.

    Wah.. coklat.

    Spoiler untuk Life: Digital Chocolate :
    Saat-saat Rika menghilang, sebenarnya dialog terakhir tentang ‘aku mencintaimu’ whatsover itu agak menganggu. Mungkin kalimatnya terasa kurang tepat disaat seperti itu, akan lebih baik kalau diganti, atau dihilangkan sekalian. Deskripsinya itu aja udah cukup menyentuh.

    Andd.. Tokoh utama bekerja untuk menghidupkan kembali Rika.. this gave me the same vibe as Doraemon ending. Dan dialog lelcuon tentang ‘besar’ itu bisa lebih bagus kalau diiringi keterangan reaksi tambahan.
    Ciuman rasa coklat digital.. how?


    Spoiler untuk asdf :
    Magnificent First point of view, unrivalled knowledge. Nggak hanya latar sekitar, fitur karakter, dan pemikiran yang semua dijelaskan dengan baik, diksinya pun variatif. Banyak istilah sains/teknologi berat disetiap chapter. Bisa mengundang minat maniak teknologi, sekaligus cobaan berat buat pembaca yang gaptek..

    Well, sejak awal cerita ini punya prospek menjanjikan kearah ending. Sayang sekali twistnya kurang bisa memenuhi. Endingnya juga kurang memuaskan, pas dengan judul, tapi kurang dibarengi deskripsi akhir yang harusnya bisa melengkapi beratnya cerita secara keseluruhan.

    Satu hal yang terakhir, Penjelasan lengkap pun bisa jadi pedang bermata dua. Kalau hal-hal berat bisa dijelaskan dengan sempurna, malah akan terasa aneh kalau ketika hal-hal kecil terjadi, yang meskipun sifatnya relatif trivial, justru dijelaskan dengan penjelasan yang melenceng dari nalar.

    Last, terimakasih pada trivia yang membantu menjelaskan beberapa bagian penting btw. Nice untuk kolaborasi rapi antara sci-fi dan roman kehidupan sekolah, dimana keduanya bisa dibawakan nyaris sejajar.. tapi tetep aja sci-fi-nya lebih dominan!



    Spoiler untuk Score :
    93


    Spoiler untuk Triangle Square :
    Spoiler untuk We will Never Eat at that Place again :
    Tentang tiga sahabat di masa SMA, dua lelaki, satu gadis. Gaya sudut pandang orang pertama. Aman-aman saja kalau diasumsikan pemeran utama adalah orang yang menceritakan dari sudut pandangnya. Jadi, pemeran utama memiliki dua sahabat, seorang gadis yang dideskrpsikan dengan cukup gemilang, dan seorang lelaki lagi yang juga dijelaskan nggak kalah gemilangnya. Bisa dibilang unik.

    Berkumpul setelah sekolah, makan di restoran cepat saji. Semuanya biasa, nggak terlihat ada pemicu yang bakal mengacu pada jalan selanjutnya.
    Komedinya fresh, dan nggak main stream. Nggak bisa dibilang sempurna juga, tapi ini bagus.

    Spoiler untuk This is an Important Day, Do You Like Curry? :
    Ganti sudut pandang? Sekarang sudut pandang orang ketiga, dengan Yanagi sebagai pemeran utamanya. Di buka dengan keseharian pagi seorang gadis yang sungguh menyegarkan. Ada satu bagian penting, tentang foto masa kecil. Potensi roman mulai terlihat disini.

    Penjelasan berlanjut disini. Akira yang kurang mendapat jatah deskripsi, sekarang balik dideskripsikan dari sudut pandang Yanagi. Begitu halnya Jin. Dan, satu lagi karakter muncul. Membedakan karakter besar dengan karakter kecil, dimana karakter besar dideskripsikan dengan mantap.

    Dan, ending chapter yang memukau. Perasaan sedih Yanagi, sampai kesedihan itu di’payungkan’, semuanya dapat digambarkan dengan jelas sekali.

    Spoiler untuk Three Friends and a Girl with Golden Hair :
    Valentine itu apa?

    Kalau ketiganya muncul, komedi pun terjadi. Penjelasan tentang Saint Valentine itu cukup menghibur, dan lelucon dibagian akhir tentang ‘membuat kue’ benar-benar menggelitik imajinasi.

    And then, best ending chapter so far. I like this kind ‘Surprise!! To-be-continued. Memberikan unsur kejutan yang nggak terkira, membawa rasa penasaran tentang apa yang bakal terjadi di chapter selanjutnya.

    Spoiler untuk Lost Control :
    Penggambaran suasana patah hatinya luar biasa. Pertama, dijelaskan dahulu betapa Akira menyukai Yanagi, memberikan efek lebih pada penolakan selanjutnya. Selanjutnya, hanya ada kekosongan yang menanti. Nice strategy, indeed.

    Konflik terjadi. Akira lepas kendali. Karakter yang biasanya tenang, tiba-tiba lepas kendali karena patah hati. Alasannya masuk akal, tapi kurang dapat digambarkan dengan tepat dalam cerita.

    Dan lagi-lagi, ditutup dengan sempurna.

    Spoiler untuk It's All Depend on You :
    Eh, mereka tidur sekamar? Wait? How? Bikin iri deh! Awal chapter ini dibuka dengan selembar amplop, ‘gadis’ yang tidur dikamar Akira, dan galau. Semuanya dibungkus deskripsi menarik, dan sinkron dengan nuansa cerita.

    Berlanjut ke kilas balik yang menjelaskan kenapa mereka berdua bisa berakhir dalam satu kamar. Membantu berkemas, eh? suuree. Apapun bisa terjadi pada anak muda yang sedang patah hati.

    Dibuka dengan amplop, ditutup dengan amplop. Pernah ada teori yang mengatakan kalau, cerita yang baik memiliki penutup yang kembali mengacu pada pembukanya. Mungkin ini contohnya.

    Spoiler untuk The Triangle :
    What? Cinta segitiga? That simple? That tension when Akira berkata pada Yanagi untuk pergi mengejar Jin. Deskripsi menggetarkan ketika Jin menunggu diatap sekolah. Fakta mengejutkan ketika Eri berada disamping Akira, semua penjelasan yang mengacu pada fakta sederhana, namun menyimpan rahasia memukau..That tricky ******* Jin.

    And That kiss..

    Epilog.. orang yang nggak pernah ke centra park pun bisa dibuat berada dalam suasana summer yang damai disana. I like it.


    Spoiler untuk asdf :
    Story Description is High-Tier! I must say, thost beatutiful saying, and words.. i'm impressed.

    Diksinya kaya, setiap endingnya kreatif. Endingnya bersifat seperti pandu yang terus membimbing pembaca untuk terus melanjutkan cerita sampai ending, jika tidak silakan mati penasaran.

    However, beberapa event yang terjadi di chapter 1,2, dan 3 terkesan tidak berhubungan, dan begitu berguna untuk kelanjutan keseluruhan cerita. Tampak hanya terkesan semacam ‘pengisi’ untuk menuntaskan ‘kuota 6 chapter’.

    Kembali pada konten cerita. Ide utamanya, seperti yang sudah dijelaskan di chapter terakhir, Cinta segitiga. Kalau dipikir lagi, mengerikan bagaimana ide sederhana begini bisa dibungkus menjadi cerita yang sangat menarik, dengan ending memukau.


    Spoiler untuk score :
    92


    Spoiler untuk Terakhir kalo udah selesai :
    Spoiler untuk 1 :
    Awalnya diwarnai pertengkaran kekasih karena.. tunggu, karena apa? Pemikiran Veni bisa dijelaskan dengan baik. Tentang betapa kesal dan jengahnya dia karena Robi nggak datang saat janjian akan ketemuan. Nah, itu dia alasannya. Veni kesal karena alasan terlampau sepele, ia bahkan nggak memberi tahu pada Robi sedikitpun tentang rasa kesalnya. Dan semua kekesalan itu bisa dibuat sebagaimana mungkin menjadi satu chapter penuh, amazing! Benar, disatu sisi, ini luar biasa. Di sisi lain, ini luar biasa absurd.

    Spoiler untuk 2 :
    Veni dan Robi baikan. Hari-hari dipenuhi romansa dua anak muda yang saling menjalin cinta. Semuanya bisa dideskripsikan dengan cukup baik. Sampai akhirnya, calon orang ketiga muncul. Sayang sekali kemunculannya kurang mendapat perhatian, karena hanya dijelaskan dalam beberapa kalimat saja.

    Spoiler untuk 3 :
    Konflik terjadi. Nggak disangka sahabat Robi, Sandi suka sama Caca. Cinta segi empat pun tercipta. Diakhiri dengan Veni yang salah paham, Robi yang marah, dan status kedua lainnya masih belum terlalu jelas.

    Satu hal yang aneh, dari semua perlakuan Caca yang bener-bener jelas ingin mendekati Robi, harusnya Sandi sadar kalau Caca sebenarnya suka sama Robi. Tapi Sandi sama sekali nggak sadar, bahkan dia santai-santai aja?

    Spoiler untuk 4 :
    Nuansa galau terasa kuat di chapter ini. Robi yang pergi kerumah Veni untuk memberi penjelasan, tapi nggak kesampaian. Pada akhirnya melampiaskannya dengan bermain Gitar. Boleh juga nuansa galaunya.

    Spoiler untuk 5 :
    Veni bertanya apakah Robi telah berubah dan melupakan dia? Bukannya di chapter 4 Robi udah mengirim berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk?

    Lalu, Rena yang setia sama Veni dan bertindak memaki Robi atas dasar rasa sayang pada sahabatnya, bisa tergambar dengan baik sekali.

    Loh, tiba-tiba Veni koma? Kenapa?

    Spoiler untuk 6 :
    Ketika pasangan jatuh koma, segala keraguan di masa lalu bisa terhapus, dan Robi pun mendatangi Veni untuk minta maaf. Tipikal pasangan galau, kalau satu udah mulai minta maaf, yang lain juga ikutan minta maaf.

    Yah, yang paling penting Veni bisa selamat, kemudian Robi dan Veni bisa kembali akur. Tapi mana kabarnya Sandi dan Caca?


    Spoiler untuk asdf :
    Oke, pada awalnya Robi dan Veni emang udah menjadi sepasang kekasih. Intinya cerita ini mengisahkan hubungan yang berkali-kali dijatuhi cobaan, dan pada akhirnya setelah berhasil melewati cobaan itu bisa bersatu lagi.

    Bisa jadi cerita yang sangat bagus kalau diolah lebih telaten, sayang sekali dialog dan deskripsi tokoh, dan sekitar masih sangat kurang. Nila lebihnya, cerita ini konsisten dan terus maju dalam alur yang stabil. Datar, stabil, nggak ada twist, nggak ada yang begitu spesial, tapi nggak ada keanehan yang memperjelek atau membuat bingung.

    Well, overall it’s a pretty good story.


    Spoiler untuk Score :
    81


    Spoiler untuk Distant Horizon :
    Spoiler untuk The distance between me and you is still so great :
    Setting dan kondisi awal yang disiapkan lumayan main stream. Tentang anak muda berandal yang jatuh cinta sama cewek paling populer di sekolah.

    Pikiran tokoh utama sebagai anak laki-laki berumuran 16 tahun yang nggak begitu menikmati masa mudanya dan secuil latar belakang bisa dideskripsikan dengan cukup jelas disini. Heroine-nya pun dari awal digambarkan dengan cukup jelas, sehingga bisa dibayangkan dengan mudah

    Spoiler untuk My soul has set out on that journey :
    Chapter 2 : My soul has set out on that journey
    Bangun-sekolah-ujian-walking around-dst. Berandalan yang dibenci guru, bertemu perempuan populer yang ternyata juga dibenci temannya.

    Bagaimanapun Hiratsuka itu perempuan paling populer diskolah, apa tokoh utamanya nggak curiga, atau paling nggak bertanya kenapa tiba-tiba sang idola sekolah tiba-tiba mau bicara, bermain tennis, dst bersama?

    Wait.. berkelahi memang, somehow membuat orang lebih kuat. Tapi jadi jago main tennis?

    Dan tiba-tiba udah akhir minggu aja.

    Spoiler untuk A fake tales from prohibited forrest :
    Sekarang 5 bulan berlalu. Perkembangan karakter mulai mengarah pada roman, dan tokoh utama akhirnya bertanya-tanya kenapa orang sepopuler Hiratsuka mau berjalan dengannya. Kemana aja pertanyaan itu 5 bulan yang lalu??

    Adegan melihat kembang api itu dijelaskan dengan cukup indah. Hutan terlarang mulai disebut diakhir chapter. Cara penyampaian tentang hutan terlarang ini bagus, menjajikan sebuah misteri yang berkemungkinan muncul di kelanjutan cerita.

    Spoiler untuk I love you everyday :
    Tokoh utama memasuki hutan terlarang. Tersesat. Adegan tersesat disini kurang maksimal digambarkan, karena hanya menjelaskan rasa takut dan pemikiran dari tokoh utama. Sedangkan kondisi sekeliling hutan sendiri jadi terabaikan. Kurang maksimal yang sama terjadi pada adegan tokoh utama kembali ke hutan bersama Hiratsuka, dan ketika Hiratsuka menyampaikan perasaannya

    Spoiler untuk How did we end up this way, what did we do wrong? GOD :
    Setelah pernyataan cinta, langsung pergi ke masa lalu. Anak gembala bertemu putri, menjalin hubungan, dikejar pasukan untuk dibunuh. Luar biasa semua itu bisa di kompres dalam satu chapter. Tentu saja konsekuensinya nggak murah.

    Spoiler untuk The place where wishes come true :
    Ceritanya jadi mirip legenda kuno, tentang kedua kekasih yang meminta bantuan dewa agar nyawa dan hubungan mereka bisa terus berlanjut, dengan bayaran tertentu. Konsepnya menarik, beberapa kejanggalan yang terjadi dari awal pun, walau nggak sepenuhnya, tapi bisa tertutupi disini. Sayang sekali kurang bisa diolah dengan baik, tapi senggaknya bisa berakhir dengan mulus.



    Spoiler untuk asdf :
    Awal cerita cukup menipu dan menyesatkan pembaca suapaya nggak bisa memprediksi ending yang luar biasa jauh dari ekspektasi. Over all, ide dan konsepnya menarik, and you’re pro at making tsundere-like-dialog. Deskripsi tentang pikiran tokoh utama juga sangat jelas.

    However, Dialognya.. lemah, kaku. Konten dialog lumayan, tapi bentuknya membingungkan dibaca karena ditulis hampir tanpa keterangan tambahan. Dua dialog kadang dikatakan oleh satu orang. Pembaca jadi bingung karena nggak bisa membedakan dialog ini dari mana asalnya, dan siapa yang mengatakan. Alur cerita juga terlalu cepat dan terburu-buru. Dari satu scene ke scene lain seperti nggak ada batasan. Melaju mulus, luncur, bebas hambatan, ataupun jenis-jenis rambu yang menandakan kalau paragraf berikutnya akan terjadi pergantian setting cerita.

    Well, at least ceritanya bisa berakhir dengan mulus.



    Spoiler untuk Score :
    85



    ***


    Spoiler untuk Result :

    1st Prize: LunarCrusade (93)

    2nd Prize : Dlucario (92)

    3rd Prize : MelonnMelonn (87)


    4th : Mello (85) + 500 vgame point

    5th : CindyAvianty + 500 vgame point (81)



    Thanks for Participating
    Last edited by -Pierrot-; 29-05-13 at 03:09.

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •