Cuaca hari ini sangat cerah. Sinar matahari pagi ini berhasil membuat mataku tak bisa beradaptasi sejak pertama kali aku membuka mata. Ah, aku membenci sinar matahari. Namun, itu bukanlah suatu alasan aku dapat mengulur waktu lebih lama lagi. Kelas akan dimulai 15 menit lagi dan aku harus sudah tiba tepat waktu.
Hari ini aku harus mengawasi mereka lagi. Jika kalian penasaran untuk apa aku mengawasi mereka padahal mereka adalah kedua teman baikku sejak tiga tahun yang lalu, lebih baik kalian mati penasaran daripada tahu hal yang sebenarnya.
“Yak! Aku sampai 5 menit lebih cepat sebelum bel berbunyi. Hahaha..!” tawaku bangga.
“Hmmm, LOH?! Kenapa kelas ini begitu kosong? Lima menit lagi kelas akan dimulai dan ke mana orang ini semua? Hanya ada tas-tas yang duduk manis di kursi tanpa pengawasan.”
“Tas Viola..... Tas Viola... Kursi Viola... Nah itu dia! Tas siapa ini?! Berani-beraninya anak ini duduk di samping Viola. Oh, sepertinya ini tas Louis. Ya, baguslah. Dengan ini aku dapat dengan mudah mengawasi mereka berdua. Hahahaa..!” tawaku licik.
“SREEETTT..” aku membuka
resleting tas Viola tanpa ijin dan memasukkan sebuah kertas ke dalamnya.
Tunggu dulu. Jika Viola hari ini lebih memilih duduk dengan Louis, di manakah aku harus duduk? Ah Viola memang keterlaluan. Sambil menggerutu, aku meletakkan tasku di salah satu kursi yang kosong, lalu beranjak keluar dari kelas.
“Mengapa koridor kelas pun sangat kosong? Ah, aneh sekali hari ini. Upacara kah hari ini? Bukan, hari ini bukan hari Senin. Hari ini tanggal.... Hmmm, tanggal berapa hari ini?”
Aku berniat mengeluarkan ponselku dari kantongku,
“Hmm, nampaknya hari ini aku lupa membawanya. Sejak kapan aku suka lupa membawa barang-barang penting? Sudahlah, sepertinya hari ini bukan tanggal 17 Agustus, jadi tidak mungkin ada upacara hari ini.”
Entah apa yang membuatku menerka-nerka bahwa semua murid ada di dalam auditorium dan setibanya di sana, aku melihat semua anak-anak SMA sudah berkumpul di sana. Keadaan di sana sangat kacau dan ribut. Tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi, aku mencari Viola dan Louis. Ternyata, mereka duduk di barisan paling depan dan tidak ada kursi yang kosong di sekitar mereka. Oleh karena itu, sebaiknya aku berdiri saja, lagipula kursi di
auditorium ini memang tidak akan cukup untuk semua murid SMA.
“Selamat pagi anak-anak. Saya sebagai Kepala Sekolah...berduka...kematian......penyebab...masih belum diketahui.....”
Pagi-pagi sudah disambut dengan hal yang tidak penting seperti ceramah dari Kepala Sekolah. Kematian? Kematian siapa? Siapapun yang meninggal pun aku tidak peduli. Aku tidak memiliki satu orang pun teman selain Viola dan Louis. Lagipula, untuk apa ada anak yang meninggal saja, harus dibuat heboh seperti ini? Anak itu artis kah? Model kah?
Mataku terpaku pada Viola dan Louis. Aku tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan dengan jelas dari tempat aku berdiri, lebih baik aku maju sedikit. Oh, Viola sedang menundukkan kepalanya, dan Louis tampak sedang berbicara dengannya. Viola menangis? Untuk apa dia menangis? Banyak sekali hal yang tidak jelas pagi ini.
*************
Setiap harinya, aku merasakan kakiku ini semakin lama semakin ringan. Hmm, biarkan aku menceritakan bagaimana kondisiku saat ini. Aku merasakan bahwa tubuh ini seakan melayang, kakiku bergerak semakin cepat setiap harinya, tinggi badanku mengalami kenaikan yang signifikan, dan rambutku bertumbuh secara ekstrim. Sudahlah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh, aku ini juga perempuan yang mengidamkan rambut yang panjang terurai dengan indah.
*************
Di sekolah, hubungan Viola dengan Louis semakin dekat dan tak jarang aku melihat Viola menangis. Aku sempat menghampiri mereka beberapa kali untuk bertanya ada apa dengan Viola, namun mereka mengacuhkanku. Mereka bahkan tidak mau melihat mukaku. Kehadiranku dianggap tidak pernah ada. Apa salahku? Sudah cukup penderitaanku memendam semua perasaan ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk melepaskan semua bebanku ...dan tentu perasaanku.
Aku melihat tas Viola yang sedang terbuka dan aku melemparkan kertas kecil ke dalam tasnya di saat tidak satupun orang melihat apa yang aku lakukan. Setelah semua rencanaku telah berhasil aku lakukan, aku berdiri dan berjalan menuju keluar kelas.
*************
Sebenarnya, banyak hal aneh terjadi sejak berita kematian seorang anak di sekolahku itu. Hal aneh yang terjadi selain Viola dan Louis mengacuhkan adalah, namaku tidak pernah lagi dipanggil oleh wali kelasku. Ah, mungkin saja wali kelasku memang sudah menghafal namaku, akibat diriku yang sangat aneh ini. Bagaimana tidak? Aku tidak pernah berbicara dengan teman-teman sekelasku, dan ketika ada tugas yang harus dikerjakan dalam kelompok, aku lebih memilih untuk menyelesaikannya seorang diri.
Aku tidak akan pernah menyerah untuk “mengganggu” Viola, jika ia terus-menerus mengacuhkanku. Kegiatan rutinku kini adalah memasukkan kertas-kertas kecil setiap harinya ke dalam tas Viola. Curiga bahwa Viola tak pernah menemukan dan membacanya, hari ini aku memasukkan kertas itu diam-diam ke dalam kotak pensilnya. Apapun yang terjadi, aku berniat untuk menunggu ia membuka kotak pensil itu dan melihat responnya.
“Louis, tolong aku. Kertas ini lagi. Bercak da-darah di ker-kertas ini masih sangat segar, tidak seperti kertas-kertas sebelumnya yang sudah agak kecoklatan. Louis, aku.... ta-takut. HUAAAAAAAA!! To-tolong a-ku...!!!” jerit Viola tiba-tiba sambil terisak.
Viola bahkan tidak membuka kertas itu, dan apa? Ia bilang darah? Bercak darah? Adakah orang lain yang ikut memegang kertas itu sebelum dibaca oleh Viola? Tidak. Aku terus mengawasi kertas itu dan tiada seorangpun yang menyentuh kotak pensil itu. Lalu? Apa Viola sudah gila? Penasaran dengan bercak darah itu, aku berdiri dan mengintip isi kertas itu. Tertera dengan jelas tulisanku di sana, namun... ya, ada bercak darah di tempat aku menuliskan namaku. Tidak. Ini tidak mungkin.
Aku merasa sangat bersalah karena telah menakut-nakuti Viola. Aku mendekatinya, meletakkan tanganku di bahunya, dan berusaha menghiburnya. Namun, ...
“Viola, kamu sakit?” tanya Louis dengan muka yang terlihat sangat khawatir.
“H—Huh? Tidak. Aku hanya ketakutan saja dengan
terror ini setiap harinya. Aku le-lelah.” jawab Viola dengan suara yang masih bergetar karena isakan tangisnya.
“Ta-tapi.....”
Aku dapat melihat raut wajah Louis yang tadinya khawatir berubah menjadi ketakutan.
“A—Apa la-lagi Louis?”
“Ba-bahumu.. ber-berda... Darah itu...”
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!”
Aku melihat Viola memejamkan matanya dan tubuhnya mendarat di lengan Louis. Apakah ini yang dinamakan pingsan? Ah, ada-ada saja. Mengapa aku dianggap tidak ada di sini? Mengapa aku seakan-akan sangat menakutkan padahal mereka bahkan mengacuhkanku.
“A-APAAAAAA?!”
Aku memastikan bahwa teriakanku dapat membuat semua orang melihat ke arahku. Namun, tidak ada seorangpun yang melihatku, ya sudahlah. Tidak apa-apa, bukankah lebih baik tidak ada yang memperdulikan aku daripada aku membuat kepanikan yang lebih lagi di sekolah ini? Jika kalian ingin tahu ada apa yang membuat aku sangat terkejut, itu karena... aku melihat dengan sangat jelas, ada bercak darah berbentuk tangan di seragam Viola.
Ini tidak mungkin terjadi. Ya, tidak mungkin dan aku pun berlalu.
*************
Sejak hari itu, Louis dan Viola semakin dekat. Kedekatan ini memang membuatku semakin kacau. Apa-apaan ini. Dua bulan lalu Louis menyatakan cintanya padaku, namun ia meminta aku merahasiakan ini dari Viola. Kalian butuh alasan? Ya, benar tebakan kalian. Viola mencintai Louis dan Louis mencintaiku. Entahlah, mungkin saja ada yang bermasalah dengan mata Louis. Mengapa ia malah menyukaiku yang aneh ini dibandingkan Viola?
Jika kalian penasaran akan jawabanku pada Louis waktu itu, hmmm.. Aku menolaknya. Bukan karena aku mengasihani Viola. Tidak ada seorangpun yang pantas untuk mengasihani Viola. Ia anak yang pintar di bidang akademik dan musik. Sesuai kata Violin, ia sangat pandai bermain biola. Selain itu, ia juga anak yang periang, ya memang tidak untuk belakangan ini. Ia memang sering menghabiskan waktunya menangis di pelukan Louis, tapi bukan berarti ia patut dikasihani.
Aku mencintai Louis melebihi apapun, tapi ada satu hal yang terus-menerus menjadi beban pikiranku dan untuk saat ini, aku tidak ingin menceritakan soal itu pada kalian. Biarlah waktu yang menjawab saja dan aku berharap kalian belum lelah untuk menunggu ceritaku yang bertele-tele ini. Aku tidak berniat mengulur-ulur waktu, namun aku sendiri juga harus memastikan dulu perasaan apa yang aku rasakan di dalam diriku ini. Bersabarlah...
Selain menceritakan kehidupan pribadiku pada kalian, aku rasa aku masih harus mengikuti gerak-gerik kedua teman dekatku itu. Tidakkah kalian tahu? Ini memuakkan. Biar aku coba menggambarkan apa yang aku lihat setiap harinya. Aku harus melihat mereka bermesraan setiap harinya sejak mereka mulai mengacuhkan kehadiranku. Mereka memang bukan sepasang kekasih, tapi ini sudah berhasil membuatku naik darah.
Apakah semua lelaki memang dapat mengatakan cinta pada siapapun dan berganti ke perempuan lain begitu saja dengan sangat cepat? Louis, aku tak pernah menyangka dirimu seperti itu. Mengacuhkanku, lalu berpindah hati ke Viola. Jika Louis memang begitu peduli pada Viola, mengapa ia tidak pernah memperdulikan aku? Aku juga sedang mengalami beban yang sangat berat saat ini!
*************
Aku sungguh muak dengan ini semua. Viola sudah mulai mengacuhkan surat demi surat yang aku selipkan. Keceriaannya pun kini sudah kembali seperti sediakala. Ini artinya, aku harus mulai melakukan aksiku berikutnya. Viola dan Louis tidak akan pernah boleh bersatu.
“JIKA MEREKA BERSATU, AKU HARUS ADA DI DALAMNYA! HAHAHAHAHAA!” tawaku licik.
Aku akan menghentikan semua ini. Sudah saatnya aku meraih cita-citaku dengan caraku sendiri. Pagi ini, aku menyiapkan beberapa lembar kertas yang sudah penuh dengan tulisanku. Tujuanku hari ini adalah memasukkan semua kertas ini ke dalam tas Viola dan Louis. Tentu saja, mereka akan menyesal telah menelantarkanku selama ini.
“LOUIS! TAS-MU TERBUKA SENDIRI!” teriak salah satu anak di kelas itu.
Dengan sangat marah aku menerjang tubuh anak itu dan mencekiknya. Semua anak-anak di kelas itu berteriak dan berlari keluar kelas, membiarkan anak ini pingsan di atas lantai. Namun, Viola dan Louis masih duduk tanpa bergerak sedikitpun.
“Xyla, itu di-dirimu?”
Xyla? Viola memanggil namaku? Benarkah? Sudah sekian lama aku tidak pernah mendengar ada orang yang memanggil namaku.
Apa akhirnya Viola sudah menyerah untuk mengacuhkanku? Ini pertanda yang baik.
“Xyla, apa yang kamu inginkan dari kami? Tolong hentikan apapun yang sedang kamu lakukan pada kami dan sekitar kami. Aku mohon jangan ganggu kami lagi.”
Louis memohon padaku untuk tidak mengganggu mereka lagi? Apa ia sudah gila? Aku ini teman dekatnya! Berani-beraninya ia mengusirku dari hidupnya! Mereka sangat keterlaluan! Lihat saja apa yang akan aku lakukan pada kalian.
Aku melemparkan semua kertas itu ke dalam tas Viola dan Louis, dan berlalu.
*************
Sepertinya, sudah saatnya aku memberitahu apa saja yang pernah aku tulis kepada mereka.
“Viola aku merindukanmu. Viola aku ingat dulu kita pernah bermain bersama, engkau suka menghabiskan banyak waktu di kamarku, dan kau juga tak jarang menginap di rumahku.
Love, Xyla ♥”
“Viola, mengapa kamu mengacuhkanku?
Love, Xyla ♥”
“Viola, apa kau benar-benar bahagia tanpa diriku?
Love, Xyla ♥”
“Viola, mengapa kau sangat dekat dengan Louis?
Love, Xyla ♥”
“Viola, aku mohon kepadamu untuk menjauhi Louis.
Love, Xyla ♥”
“Viola, tak pernah ada lagikah diriku dalam kehidupanmu?
Love, Xyla ♥”
“Viola, jangan menangis lagi. Aku mencintaimu.
Love, Xyla ♥”
.....
Masih ada beberapa surat kecil yang tak dapat aku sebutkan isinya saat ini. Aku harap kalian bersabar sedikit lagi. Semua ini akan berakhir sesaat lagi. Jika kalian ingin tahu apa surat yang aku tulis untuk Louis, biar aku ingat-ingat kembali.
“Aku berharap kau masih mengingatku, mengingat cintamu padaku.
Love, Xyla ♥”
“Aku sangat mencintaimu, Louis.
Love, Xyla ♥”
“Aku tak dapat menahan emosiku saat aku melihatmu bersama dengan Viola.
Love, Xyla ♥”
“Mengapa kau dengan sangat cepat membuangku?
Love, Xyla ♥”
“Kau tak pernah peduli denganku lagi kini. Apa ini semua karena Viola?
Love, Xyla ♥”
“Aku berbohong saat mengatakan bahwa aku tak mencintaimu.
Aku mencintaimu, namun aku .... mencintai Viola juga.
Aku mencintai kalian berdua.
Love, Xyla ♥”
“Aku harap kamu mau memaafkanku dan aku harap kau menjauh dari Viola.
Aku berjanji aku akan menghentikan teror ini jika kau menjauhinya dan kembali ke dalam pelukanku.
Love, Xyla ♥”
Jika pernyataan cintaku pada Louis memang sudah sangat terlambat, itu lebih baik daripada aku tidak mengatakannya sama sekali bukan? Sudahlah, setidaknya aku sudah mengatakan dengan jujur bahwa aku tidak menyukai keakraban Louis dan Viola yang sangat intim itu.
*************
Aku harap kalian masih ingin mendengarkan aku. Tolong aku. Hanya kalian yang bisa menolong aku kali ini. Tolong bantu aku untuk membaca apa yang ada di foto ini. TOLONG AKU!
Biar aku ceritakan lebih detail. Pagi ini, di saat aku ingin keluar dari apartemen tempat aku tinggal, ada sebuah amplop yang terselip di bawah pintu. Perasaan tidak enak telah menjalar ke seluruh tubuhku saat aku membuka amplop itu. Amplop tanpa nama itu ternyata berisikan sebuah foto dan selembar surat.
Kalian ingin tahu apa yang terlihat di foto itu? Memang aku tidak pandai menggambar, dan aku tidak ingin meng-fotokopi foto ini kepada orang lain. Biar aku jelaskan saja. Di foto itu terlihat sangat banyak nisan yang ... ah, sudahlah aku pun tidak tahu di mana itu. Yang jelas, foto itu terfokus pada sebuah nisan yang bertuliskan,
Rest In Peace
“ XYLA “
( 13 Oktober 1991 – 13 Desember 2007 )
Turut berduka,
.....
.....
“TOLONG KATAKAN PADAKU, BAHWA FOTO YANG ADA DI NISAN ITU BUKANLAH DIRIKUUU!!!!!” aku mengerang dan berteriak sekencang-kencangnya.
“Siapa aku sebenarnya? Siapa aku saat ini? Apa benar Louis dan Viola tidak dapat melihatku selamanya lagi? Apa benar hidupku telah berakhir sejak tanggal itu? Aku mohon, ..... KEMBALIKAN HIDUPKUUU!!!!”
Jika kalian masih ada di sana, membaca ceritaku, tolong jangan tinggalkan aku sendiri. Aku sendirian saat ini, hanya kalianlah yang dapat melihat penderitaanku saat ini. Aku mohon, jangan pergi dari hidupku. Temani aku membaca surat ini hingga selesai dan temani aku lanjutkan hidupku hingga cita-citaku tercapai...
“Xyla, jika kau bisa membaca ini, tolong dibaca dan kami mohon, jangan ganggu kami lagi. Aku tahu kamu akan sangat sedih jika mengetahui kenyataan. Kamu sudah ditemukan terbujur kaku di kamar apartemenmu dengan sebuah pisau sudah tertancap di perutmu. Aku memang tidak sempat melihat keadaanmu di apartemen. Namun, menurut para saksi, bercak darah mewarnai setiap sudut kamarmu. Mukamu sangat mengenaskan dan aku sudah tidak ingin membayangkan lebih lanjut lagi. Aku melihatmu saat kau sudah tiba di rumah duka. Aku dan Louis sangat sedih melihat kepergianmu yang tiba-tiba seperti itu, tapi apapun alasannya, itu pilihanmu. Aku tidak pernah menyangka kau akan pergi secepat ini, namun aku mohon, pergilah ke tempat di mana kau seharusnya berada.
Love, Viola dan Louis.”
*************
Share This Thread