Hari itu beberapa waktu lalu, ada yang lain di Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Waktu itu tengah berlangsung ritual manten gunung untuk pernikahan Rini Triastuti dan Nuryanto. Berbagai media datang untuk meliput. Ada Tempo, TPI, Kompas, Trans7, Trans TV, dan tentu saja, Scientiarum.
Rini Triastuti adalah anak pasangan Timbul Prayitno dan Wartiyah. Selama ini, Timbul dikenal sebagai tokoh kesenian masyarakat setempat. Sedangkan Nuryanto adalah anak pasangan Supodo dan Juwarti.
“Resepsi pernikahan ini mengambil tempat grup kesenian Topeng Ireng Petung,” kata Herman, salah satu anggota grup kesenian tersebut. Tempat yang dimaksud Herman juga merupakan rumah pribadi Timbul Prayitno, pemimpin grup tersebut.
Terinspirasi dari kisah Ramayana, mereka mengemas pesta pernikahan itu dengan tema “Rama Sinta Krama,” yang melibatkan warga desa sebagai subjek.
Mereka melakukan kirab (pawai — Red) sepanjang sekitar satu kilometer. Sesuai dengan temanya, maka Rini berpakaian seperti Sinta dan Nuryanto seperti Rama dalam cerita Ramayana.
Rini dan Nuryanto, masing-masing menunggangi kuda dalam kirab tersebut. Kirab dipimpin oleh Waskito, seniman asal Muntilan, dengan mengenakan pakaian tokoh Kresna. Dua seniman Merapi dari Teater Gadung Mlati, Anjar dan Ismanto, terlihat membawa tempayan berisi air, dupa, dan seikat daun pemercik air. Sementara itu, seniman Padepokan Redi Tengis, Ardhi Gunawan, menaburkan kembang mawar warna merah dan putih. Mereka berjalan pada barisan terdepan sebagai cucuk lampah.
Rombongan kirab yang mengikuti dari belakang berasal dari berbagai grup kesenian tradisional. Ada Warok Bocah (Dayoga), Grasak Bocah (Jagoan), Topeng Ireng Putri (Jagoan), Rodat (Gejayan), Gatholoco (Krantunan), Cakalele (Petung), dan Grasak (Banyunganti).
Kirab berjalan diiringi alunan berbagai alat musik tradisional, seperti kendang, bende (semacam gong yang berukuran kecil — Red), jedhor, terbang, dan truntung dari berbagai grup kesenian. Kirab ini menjadi tontonan masyarakat desa yang rela berpanas-panas ria. Mereka berdiri di kiri dan kanan jalan yang telah dihiasi dengan karya seni instalasi dari puluhan daun kelapa.
Ismanto membasuh kaki kedua mempelai dengan air, sebelum rombongan pengantin masuk ke halaman rumah Timbul. Air tersebut diambil dari tempayan yang telah berlumut tebal. Di sekitar tempayan tersedia sejumlah makanan sesajian seperti nasi, sayuran, lauk pauk, buah-buahan, dan kemenyan.
Acara pertemuan pengantin dipimpin oleh seniman berpakaian tokoh Punakawan dari Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor pimpinan Sitras Anjilin. Upacara pertemuan keluarga pengantin dihiasi dengan dialog humor, yang menghidupkan suasana sehingga mengundang tawa para tamu.
Kedua mempelai kemudian duduk di kursi pengantin yang dihias secara kontemporer dengan dominasi instalasi dari anyaman jerami. Mereka diapit pasangan orangtua masing-masing di kiri dan kanan pelaminan. Resepsi ini juga diramaikan oleh berbagai tari-tarian.
Acara ini dikemas secara kekeluargaan oleh Kelompok Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Menoreh, Andong, dan Sumbing). Kelompok Lima Gunung adalah komunitas seniman yang melestarikan dan mengembangkan tradisi seni budaya, lewat acara tahunan yang selama ini dikenal dengan nama “Festival Lima Gunung.” Festival ini menyuguhkan berbagai kesenian tradisional musik dan tari.
Tanto Mendut, salah satu tokoh seniman Komunitas Lima Gunung, menegaskan bahwa apapun acaranya, baik itu menggambar, konser musik, atau seni pertunjukan lainnya, yang paling penting adalah pemberdayaan. Ia percaya bahwa semua manusia itu cerdas.
Tanto Mendut memiliki berbagai latar belakang profesi, seperti guru, pengarang lagu, hingga pemain band. Namun kini, ia lebih senang sebagai organizer kesenian-kesenian desa, penulis, serta menjadi pedagang barang seni untuk para turis. Tanto adalah seorang yang mampu memformulasikan, mengartikulasikan, dan mengaksentuasikan kepentingan-kepentingan masyarakat sekitar Borobudur dan para seniman Lima Gunung.
“Mau desa atau kota itu tidak penting. Yang penting otaknya jalan,” kata Tanto. “Lihat ibu-ibu, Mas. Mereka selama ini hanya di dapur, sekarang mereka juga bisa tampil. Coba lihat anak-anak, mereka juga bisa menari. Semua harus diberdayakan.”
“Mereka adalah keluarga petani biasa yang selama ini intensif bergelut dengan dunia kesenian rakyat. Mereka berupaya membuat pesta pernikahan ini meriah. Selama ini, pesta meriah dan besar-besaran terkesan hanya dilakukan kalangan pejabat dan ‘orang-orang besar’ di gedung megah. Tapi seperti terlihat, ternyata petani pun bisa membuatnya di desanya sendiri. Menyatu dengan lingkungan alamnya.”
“Coba lihat tempayan ini, Mas,” kata Tanto, sambil menunjuk pada tempayan yang dilapisi lumut tebal, tempat Ismanto tadi mengambil air untuk membasuh kaki pengantin.
Tanto mengatakan bahwa ini adalah realitas desa. Ia protes, karena selama ini masyarakat dijajah dengan teori-teori sosiologi Barat yang belum tentu sesuai dengan Indonesia. “Kalau pake teori-teori mereka, ya kita ini salah,” ujar Tanto lagi.
catatan: Tulisan ini diedit seperlunya dari tulisan TS di Scientiarum.com
Share This Thread