400 tahun lamanya umat Kristiani di Malaysia dan Indonesia menggunakan nama Allah. Namun pertanyaan yang menggelitik: mengapa baru dipermasalahkan sekarang?
Penggunaan kata Allah sudah ada jauh sebelum agama Islam ada dan digunakan dalam agama pagan Mekkah sebagai lambang sang pencipta. Sebelum adanya Islamisasi, penggunaan kata Elohim (Ibrani) telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dalam alkitab terjemahan Aram, nama Elohim ditranslate menjadi Elaha.
Nama Elaha diketahui akrab digunakan di gereja Orthodox Syria sejak abad ke-5 dan komunitas Kristen Arab adalah salah satu jemaat besar gereja Orthodox. Seiring dengan mulai diterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Arab, komunitas Arab Kristen lalu mengintegrasi padanan kata “Allah” yang selama itu dipercaya sebagai pagan kedalam sistem kepercayaan mereka.
Ketika kata “Allah” juga mengalami Islamisasi, tidak tercatat ada pergesekan antara kedua agama (Kristen-Islam) karena masalah tersebut. Salah satunya alasannya karena kedua agama tersebut tahu bahwa kata “Allah” bukan ciptaan original kedua agama dan lebih kepada reformasi pemahaman “Allah” menurut agama masing-masing.
Alasan lain, karena baik Islam dan Kristen secara mainstream sependapat bahwa sosok yang mereka sembah adalah figur yang sama. Disini mengapa ada istilah agama Abrahamaik atau Samawi.
Tak Terlatih Hadapi Persamaan
Kisruh penggunaan nama Allah di Malaysia tidak diketahui hingga kini apa dampaknya dalam kehidupan interaksi sosial antar umat beragama di Indonesia. Apakah perkembangan yang terjadi di Malaysia bisa terjadi juga di Indonesia?
Umat Muslim di Indonesia sangat unpredictable. 40-50 tahun yang lalu, tidak ada yang namanya golongan Syiah dan Sunni. Kalau anda saat itu bertanya pada teman Muslim, Islam mana aliran mereka….maka yang anda dapat adalah tatapan aneh. Beberapa dengan polos mungkin hanya menjawab Islam hanya satu…tidak seperti agama lain yang terpecah misalkan Kristen/Katholik atau (Buddha) Mahayana dan Theravada.
Ketika Muslim Indonesia mulai mengetahui eksistensi seperti Syiah dan Ahmadiyyah, mereka seperti tersambar petir. Berbeda dengan agama lain yang apa adanya dan mengakui eksistensi golongan-golangan lain di agamanya sehingga umat didalamnya bisa menerima perbedaan, Muslim tidak bisa melewati fase tersebut. Why? Apakah karena Muslim disini tidak terlatih menghadapi perbedaaan seperti argumentasi kaum liberal dan cendekiawan? Justru sebaliknya. Muslim tidak terlatih untuk menghadapi golongan yang “terlihat sama” dengan mereka.
Orang Muslim tidak pernah terlatih seperti bagaimana orang Kristen menghadapi Saksi Yehova atau bagaimana umat Buddha seperti Mahayana dan Theravada hidup tanpa rasa takut “umatnya dicuri.”
Kesatuan Islam yang mereka ketahui selama puluhan tahun bukan sekadar sebuah doktrin. Ini adalah kebanggaan mereka yang menunjukkan superioritas mereka terhadap agama-agama diluar Islam yang dalam pandangan mereka terpecah-belah akibat ketidaksempurnaan ajaran mereka.
Kalau merujuk pada kasus Syiah dan Ahmadiyyah, terlihat sekali Islam di Indonesia ibarat baru mengalami era “Renaissance.” Konflik Syiah/Sunni sudah terjadi ratusan tahun namun usaha untuk kembali “memurnikan ajaran Islam” baru dimulai di Indonesia beberapa tahun ini. Syiah dan Ahmadiyyah bukan diserang karena mereka berbeda…tapi karena terlalu banyaknya persamaan yang “dirasa” membuat semuanya menjadi abu-abu.
Hubungan Islam dan Kristen meski sering bersinggungan dalam urusan sosial kehidupan beribadah, namun hingga kini tidak pernah ada konflik serius yang ingin menghilangkan salah satu ajaran agama tertentu. Semboyan Lakum Dinukum Waliyadin adalah salah satu harga diri umat Muslim untuk menunjukkan sikap toleransi mereka untuk tidak “mengurusi ajaran agama orang lain dan sebaliknya.”
Namun sebagai sesama ajaran Abrahamaik, mungkin tinggal menunggu hingga salah satu pihak merasa bahwa ajaran mereka “terlalu sama.” Maka mulailah muncul wacana hak paten “Allah” hanya milik agama tertentu. The rest is history.
Akan sangat menarik untuk dicermati apakah “virus” dari Malaysia ini bisa menginfeksi Indonesia juga. Dengan sederet sejarah mengenai Ahmadiyyah dan Syiah yang berbahaya karena “terlalu sama” apakah lembaran konflik agama baru hanya tinggal menunggu waktu?
sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/0...an-578517.html
Pembahasan serupa yg tidak kalah manariknya:
sumber: http://islamlib.com/?site=1&aid=1274...itle=editorial
Share This Thread