“Halo?”
“Kamu tuh kemana saja? Kalau tidak ditelepon, kamu tidak pernah memberi kabar!” Suaranya terdengar kesal dari seberang sana.
Aku terdiam sejenak. Kalau diingat lagi, sudah sekitar tiga hari dia tidak menelepon. Padahal biasanya, tiada hariku terlewat tanpa mendengar suaranya dari perantara alat kecil ini. Rupanya.. dia menungguku menelepon, ya. Pantas saja.
“Maaf, aku sibuk beberapa hari ini. Kalau pun ada waktu sewaktu larut, aku takut mengganggu,” ujarku mencari alasan.
“Bagaimana mungkin menganggu-“
Tak berhasil. Ia malah membentakku lebih keras lagi.
Kalau berhadapan dengan yang satu ini, aku memang kerap dibuat tak berkutik. Yah, Salahku juga karena kurang jarang meluangkan waktu untuknya.
“Maaf ya, ma.. aku juga kangen sama mama. Besok aku yang telepon ya. Aku ada
meeting penting lima menit lagi.”
***
“Nak, mama kangen sekali sama kamu. Kapan kamu bisa pulang?”
Segera setelah aku menelepon, rasanya sekujur tubuhku jadi lemas. Aku sudah biasa menerima bentak, namun tidak untuk suara tercekat darinya. Aku tidak kuat mendengar ibuku yang selama ini selalu tegar membesarkanku seorang diri, jadi lemah seperti ini.
“Iya, ma.. kalau proyek yang ini sudah selesai ya.”
“Kapan?”
“Tidak lama lagi, kok. Mama maunya kapan?”
“Ya, mama maunya sih sekarang.”
Aku tersenyum sendiri. Mamaku ini memang suka seenaknya.
“Ya kalau sekarang, kan aku masih kerja, ma.”
“Kamu bisanya kapan?”
“Satu minggu lagi, ya? Sekalian natal.”
“Ya sudah, kamu mau mama masakkan apa?”
Nah, aku paling suka kalau mama sudah bertanya hal ini.
“Apa saja, yang penting ada sambal terasi, ya.” Aku memberi jeda sedikit. “Kalau mama, mau aku bawakan oleh-oleh apa?”
Kupikir tak ada ruginya bertanya toh.. jika hal-hal sepele dari kota ini dapat membuatnya bahagia, apa salahnya?
“Hmm.. mama mau kamu bawa pacar kamu saja, deh.”
Bodoh sekali aku sudah bertanya.
***
“Err.. ma, kata siapa aku sudah punya pacar?”
“Ah, kamu jangan pura-pura tidak tahu. Adikmu bilang kamu sudah punya pacar, kok. Lagi pula, mama akan lebih tidak percaya lagi kalau anak mama yang paling cantik ini masih belum laris.”
Sialan, Mira! Padahal sudah kubilang untuk tidak cerita yang macam-macam. Awas saja, besok tidak akan kuberi uang saku.
“T-tapi, aku tanya dulu ya, kalau dia mau..”
“Pasti mau! Kalau tidak, mama tak akan restui baru tau rasa.”
Mamaku ini kalau bercanda memang suka bikin anaknya jantungan.
“T-tapi ma,”
“Nak, mama selalu percaya sama kamu. Kalau kamu yang pilih, mama pasti setuju. Mama cuma mau lihat pria pilihan kamu, pilihan anak mama yang paling cantik, dan pintar. Pria yang bisa kamu andalkan, pria yang bisa kamu percaya untuk membangun keluarga.”
Aku terdiam. Kali ini lama sekali.
“Jangan lupa ya, nak. Anggap saja ini hadiah natal untuk mama.”
Aku menutup telepon.
Ingin kujawab panggilannya, ingin kujawab harapannya. Namun suaraku tak sanggup keluar.
Kutarik bantal terdekat yang bisa kuraih, lalu kupeluk erat. Jemariku bergerak lincah di atas layar ponsel, mencari namanya.
***
“Halo..” ia menyapa.
Sekedar mendengar suaranya saja sudah dapat menenangkan hatiku.
“Sayang? Kamu disana? Kamu tidak apa-apa, kan?”
“Ehmm.. T-tidak apa-apa kok.” Suaraku bergetar, ceroboh sekali. “Kamu sudah makan?” lanjutku cepat.
“Sudah dong..”
“Pakai apa?”
“Indomie, hehe.”
“Dasar, lagi-lagi malas beli ke luar ya.”
Dia ini memang lebih sibuk dariku. Kadang-kadang aku khawatir melihat pola makannya, sekaligus bingung, tentu saja. Setelah semua hal itu, proporsi tubuhnya masih sangat bagus.
“Makanya kamu kesini, masak buat aku.”
“Iya ya, lain kali kalau aku kesana, biar kubuang semua. Sekalian dengan kardus-kardusnya.”
“Waahh, seram sekali nona yang satu ini. Padahal rencananya ingin kusumbangkan pada panti asuhan setempat.”
Aku tertawa.
Hilang sedikit rasa kacau di hati setelah berbicara dengannya. Ia selalu berhasil memerkankan senyumku, selalu dapat menyingkirkan rasa gundah yang mengganggu, selalu menjadi yang paling mengertikanku.
“Sayang..” ujarku pelan.
Kumantapkan hati untuk bicara. Aku pun, harus menjadi orang yang pantas untuk berdiri sejajar dengannya. Tak boleh terus-menerus lemah.
“Akhir minggu ini, ada acara?”
***
“Natal, ya? Aku kosong, kok. Keluargaku sedang keluar negeri. Kenapa memang?”
“Ikut aku, yuk?” ajakku dengan nada senormal mungkin.
“Mau ke puncak lagi? Kita kesana dua minggu yang lalu, kan? Waah, aku tidak sabar.”
“B-bukan! Duh, pikiranmu itu cuma mengarah kesana, ya.”
“Loh, kupikir kamu juga setuju waktu itu. Daripada keluyuran tidak jelas di kota, lebih baik kita berdua-“
“AAAAAAAAA
STOP! STOP!! STOP!!!” refleks, aku berteriak. Tidak bisa kupungkiri, pengalaman dua minggu lalu itu memang.. tapi ini bukan saatnya membicarakan hal itu.
Ini bukan saatnya. Bukan saatnya..
“Sayang, wajah kamu jadi mirip tomat segar, tuh.”
“Diaaaam!! Ah, lagi pula kamu mana bisa lihat, sekarang!”
Aku menarik nafas dalam. Tanpa sengaja melihat pantulan diri pada cermin besar yang terletak di samping kasur, tempatku duduk.
Wajahku, merah seperti tomat.
“L-lupakan dulu hal itu. Ini tentang mamaku-“
***
Ia terdiam.
Kali ini, dia yang terdiam. Benar-benar peristiwa langka, mengingat selama ini selalu dirinya lah yang menghidupkan kegiatan menelepon kami, dengan berbagai godaan jenakanya.
Yah, wajar. Memang sulit bagi kami untuk memperkenalkan diri pada orang tua masing-masing. Aku pun, mungkin jantungku akan berhenti beberapa saat jika suatu hari ia meneleponku, hanya untuk memberi tahu kalau orang tuanya tiba-tiba saja ingin menemuiku.
Dan kalau aku menolak..
“Kalau tidak, mama tak akan restui baru tau rasa.”
Oke, yang satu itu hanya candaan mama belaka. Tapi tetap saja..
“Yakin?”
Satu kata darinya membuatku tersentak.
“Tidak..” Aku menjawab singkat.
Jujur, aku tidak siap, dan kupikir kami memang tak akan pernah siap.
“Ya sudah, aku tidak ikut perlu ikut kalau begitu.”
“T-tapi..”
“Tidak apa-apa. Bilang saja aku ada acara natal bersama keluarga, atau dinas keluar kota juga boleh. Kamu pintar membuat alasan, kan?”
Bahkan di saat seperti ini, dia masih sempat menggodaku.
“Bagaimana?” lanjutnya.
Aku menghela nafas panjang. Entah karena lelah, atau lega.
“Maaf ya, sayang,” ujarku tulus padanya.
Ia tersenyum. Aku tidak bisa melihatnya, namun aku tahu ia sedang tersenyum sekarang. Senyum yang sama, seperti biasa ketika ia menenangkanku di kala hati ini sedang gelisah.
“Tidak apa-apa, kok. Titip salam saja buat mama ya.”
Dia bilang mama.
“K-kamu, bicara sembarangan saja!”
“Loh? Kamu tidak mau dia jadi mamaku juga? suatu saat nanti sih, ya.” Ia berkata sambil tertawa. Kali ini jelas, ia tertawa.
“Y-ya.. tentu saja.. mau.”
Aku terdiam lagi. Wajahku terasa panas.
“Sayang?”
…
“Jadi mirip tomat segar, tuh.”
“D-diam, kamu mana bisa lihat!? Aahh.. ya sudah lah, aku mau tidur dulu. Capek!”
“
Have a nice dream, ya.”
“
I love you, Christa.”
“
I love you too, Eve.”
Share This Thread