VIVAnews - Masyarakat biasanya tak bisa menolak apabila disodori uang untuk memilih salah satu kandidat dalam kampanye. Ketua Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia, Mikhael Dua, mengatakan bahwa fungsi uang menjadi berbeda, apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Dalam ekonomi, imbuhnya, uang adalah sebagai alat tukar, sedangkan dalam politik, uang dijadikan sebagai alat kekuasaan.
"Uang digunakan sebagai alat memaksa dan pada saat yang sama, dia juga bisa menjadi daya tarik. Orang yang menerima uang menjadi sadar dan emosional," kata Mikhael dalam acara "Pilpres 9 Juli 2014: Jangan Pilih yang Bayar" di Restoran Horapa, Jakarta, Sabtu 21 Juni 2014.
Diapun berharap, masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dengan jelas pada 9 Juli nanti. "Yang harus dimanfaatkan orang adalah melihat mana yang menjadi pilihannya. Orang yang berbicara dengan suara hati, tentu bisa memilih yang benar," kata dia.
Sebelumnya, pengamat politik, Viktor Silaen, meminta masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang menggunakan cara kotor dalam berkampanye: politik uang. Sebab, pemimpin ini dinilai tak layak bagi masyarakat.
"Tolak capres yang bayar. Jangan pilih. Bukan karena supaya dia kalah, tapi karena dia tak layak bagi pemimpin. Tidak memberikan teladan yang baik," kata Viktor di tempat yang sama.
Sementara itu, aktivis Muslim Moderat, M Guntur Romli, mengatakan suap tersebut merupakan hal yang dilarang agama.
"Suap dalam bahasa Arab artinya risuah/rasuah. Risuah itu pemberian dengan iming-iming. Memberi untuk memperoleh sesuatu. Risuah adalah membenarkan yang batil," kata Guntur.
Uang itu paling penting di dunia. Uang mewakili kesehatan, kekuatan, kehormatan, kemurahan hati, dan keindahan, namun kebalikannya dapat mencolok juga mewakili penyakit, kelemahan, aib, keburukan, dan keburukan
"Uang Tidak di Bawa mati, tapi tanpa uang terasa MATI"
Share This Thread