Aku si ‘Bisu’, Dia si ‘Suara’

oleh: vLin777 / Tsundere
Hak cipta: scarletforeve.me



Jika aku tidak pernah berbicara selamanya, akankah kau terus mengusikku setiap waktu?

“Hai! Sendirian aja nih?”

(Sepertinya kau bisa melihat tanpa harus bertanya.)

“Masih belum bisa bicara juga?”

(Kapan aku pernah bicara? Lagian, memangnya aku peduli?)

“Sepertinya kamu memang harus melihat ke arahku, karena aku sedang berbicara.”

(Memangnya kau ini siapa yang berhak mengajariku hal yang tidak penting seperti itu?)

“Baiklah, bukan aku kalau menyerah begitu saja.”

(…)

“Jadi, bagaimana harimu?”

(Tak bisakah kau diam?)

“Apa sih yang kau pikirkan?”

(Bukan urusanmu.)

“Dasar pecundang! Hidupmu tak hanya perihal bagaimana kau bisa bersuara, kan?!”

(Bukan urusanmu.)

“Apa bedanya jika pita suaramu akhirnya berfungsi dengan baik? Sama saja!”

(Kau bukan aku.)

“Baiklah, aku mengaku bahwa aku pernah melihatmu tertawa.”

(Tidak pernah ada yang melarangku untuk tertawa, seingatku.)

“…dan kau bersuara.”

(Lalu? Memangnya aku perduli?)

“Jangan menyangkal lagi! Aku tahu kau tidak bisu!”

(Kau sudah boleh pergi. Aku sungguh lelah.)

“LIHAT AKU!”

(…)

“Baiklah kalau itu maumu.”

Aku melihat siluet tubuhnya. Mengambil tasnya, berdiri, entah.. Sepertinya ada air mata di sana. Aku tidak peduli sama sekali. Ia melihatku sekali lagi, memintaku untuk mengucapkan apapun yang ada di pikiranku. Aku, bergeming.

“Kau adalah manusia terbodoh jika akhirnya kau membiarkanku pergi seperti ini! Aku menemanimu selama ini, meski hampa, meski tak ada satupun kata yang terlontar dari mulutmu. Tapi aku percaya bahwa persis dua tahun lalu…”

(Hei, ini menarik. Dua tahun lalu?)

“Bagus. Akhirnya kau melihatku juga!”

(Memangnya aku peduli? Dan, mengapa aku menemui matanya saat ini? Benarkah aku tidak peduli?)

Aku dapat mengerti sirat matanya yang begitu tajam, seolah memaksaku untuk berbicara dan ia pun melanjutkan apa yang sempat terhenti.

“Aku hanya berharap kau tak melupakan kejadian itu.”

Menyadari rona pipinya yang sudah merah jambu, aku bangkit dari tempatku, dan berjalan mendekatinya.

(Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Dasar wanita bodoh.)

“Kejadian di mana kau akhirnya ber….”

(Tidak ada yang perlu dijelaskan, jangan mengatakan apapun.)

Aku tidak tertarik untuk menceritakan apa yang setelahnya terjadi, karena itu surgaku dan aku tidak berkenan membaginya dengan siapapun. Tapi, ya sudahlah. Bibirnya masih hangat seperti kali pertama aku melumatnya, tubuhnya yang begitu indah tanpa balutan, hangat meskipun matahari tak terik. Dada kami bertemu, mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang bergejolak di antara tipisnya kulit dada kami, meski tak pernah mampu untuk membuncah keluar. Entah nafasku yang memburu, entah nafasnya yang berusaha mengejarku, atau bahkan nafas kami yang menyatu meski tak satu ritme.

“Mengapa harus menunggu dua tahun?”

(Apa yang baru saja aku lakukan?)

“Tak perlu kau bicara, jika dengan bisu kau dapat membuatku gila.”

Aku dapat merasakan aliran darahku dan hangat telapak tangannya yang sedikit bergetar, sebelum akhirnya aku hentakkan. Aku mengambil setiap helai pakaian di lantai, melipatnya, dan mengembalikan pada pemiliknya.

(Kau boleh pergi dan membenciku. Aku, tidak peduli.)

“Ucapkan bahwa kau mencintaiku seperti apa yang kau lakukan dua tahun lalu, brengsek!”

(Aku tidak perlu meminta maaf untuk hal yang tidak orang lain ketahui, bukan?)

“KAU PERNAH BICARA! TATAP AKU!”

(Untuk apa aku berbicara, jika kata-kata dapat membunuh hati seorang wanita terlarang ini tergila-gila pada orang yang tidak seharusnya?)

“KAU! …”

(Katakan kau membenciku dan pergilah.)

“…mengapa harus setega ini?”

(Apa yang kau harapkan dari seorang aku yang mendadak bisu?)

“Baiklah. Jika kau tidak mencintaiku, mengapa kau mencumbuku setelah kematian kakakku?”

Haruskah aku peduli saat mendengar suaranya yang bergetar? Sepertinya, tidak.

“AKU MENCINTAIMU DAN AKU TAK PUNYA SIAPA-SIAPA LAGI!”

(Oh ya? Memangnya aku peduli?)

“Bodoh! Kau juga tidak punya siapa-siapa, dan kita akan jadi luar biasa jika bersama!”

(Luar biasa? Mungkin membuatmu mengemis cinta padaku sudah jadi hal paling luar biasa, bagiku.)

“Kau tak akan membiarkanku menyusul kakakku kan? Aku takut. Aku benar-benar takut dan tak ingin mati percuma. Aku butuh seseorang untuk melindungi hidupku, kalau-kalau pembunuh itu datang lagi.”

Tak banyak yang dapat aku ceritakan. Kepulan tembakau memenuhi ruangan, entah apa yang membuat sisi lainku terbangun. Setidaknya, ia yang memaksaku untuk melakukannya, dan jeruji besi tidak pernah jadi pilihanku dalam hidup.

“Aku memang mencintaimu. Kau boleh ada di hidupku, selama kau tidak pernah mengatakan satu kata terlarang, “bunuh”, entah itu berimbuhan atau tidak. Selamat tinggal, semoga kau kini sudah bertemu dengan kakakmu, yang mengancam untuk membunuhku jika aku bersamamu.”

Setidaknya, terima kasih padamu, wanita yang aku cintai, karena dirimulah yang membuat ceritaku ini akhirnya bersuara, meski selalu satu sisi.