Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km² dengan kondisi geografi berbatasan dengan laut namun memiliki daerah perbukitan yang ketinggiannya mencapai 1.853 mdpl. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Padang tahun 2014, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.000.096 jiwa yang didominasi oleh etnis Minangkabau dan mayoritas masyarakat di kota ini menganut agama Islam.

Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur.

Saat ini Kota Padang menjadi pusat perekonomian dengan jumlah pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat.[3] Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan di wilayah Sumatera bagian tengah, disebabkan keberadaan sejumlah perguruan tinggi (termasuk Universitas Andalas, kampus tertua di luar Pulau Jawa) dan fasilitas kesehatan yang cukup lengkap. Di kalangan masyarakat Indonesia, nama kota ini banyak dikenal sebagai sebutan lain untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan untuk menyebut masakan khas mereka yang umumnya dikenal sebagai masakan Padang.[4]

Sejarah

Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata padang juga dapat bermaksud pedang.[5] Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat permukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang.[6] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung.[7] Namun, pada awal abad ke-17 kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.[8][9]

Kehadiran bangsa asing di Kota Padang diawali dengan kunjungan pelaut Inggris pada tahun 1649.[10] Kota ini kemudian mulai berkembang sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.[11] Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan permukiman baru di pesisir barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau. Selanjutnya pada tahun 1668, VOC berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, sebagaimana diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.[12] VOC berhasil mengembangkan Kota Padang dari perkampungan nelayan menjadi kota metropolitan pada abad ke-17.[13] Padang menjadi kota pelabuhan yang ramai bagi perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7 Agustus 1669 terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat diredam oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.[14]

Beberapa bangsa Eropa silih berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada tahun 1781, akibat rentetan Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini.[15][16] Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini dikembalikan kepada VOC.[17] Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan.[18] Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris.[15] Namun, setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824.[19] Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra's Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang.[20] Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada 1 Maret 1906.

Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia.[21] Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya.[22] Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.[23]

Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus. Namun, pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui Pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan.[24] Pada tanggal 9 Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia setelah sebelumnya menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui surat keputusan Presiden RIS nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan Kota Padang sebagai daerah otonom. Wilayah kota diperluas, sementara status kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Wali kota Padang.[23] Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto menetapkan Padang menjadi ibu kota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure pada tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Pemerintah pusat kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah Kota Padang sebagai pemerintah daerah.[25]


Panorama Kota Padang di sehiliran Batang Arau pada abad ke-19.

Geografi


Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatera, dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65% dari luas provinsi Sumatera Barat.[27] Hampir 70% dari luas Kota Padang berupa perbukitan dan kawasan hutan lindung. Hanya sekitar 205,007 km² wilayah yang merupakan daerah efektif perkotaan.[28] Daerah perbukitan membentang di bagian timur dan selatan kota. Bukit-bukit yang terkenal di Kota Padang di antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit Gado-Gado, dan Bukit Pegambiran. Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 68,126 km di daratan Sumatera. Selain itu, terdapat pula 19 buah pulau kecil, di antaranya yaitu Pulau Sikuai dengan luas 4,4 ha di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Pulau Toran seluas 25 ha dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan Padang Selatan.[29][30]

Pada tahun 1833, Residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan 8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami.[31] Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami di pesisir Kota Padang dan menyebabkan kerusakan pada kawasan Pantai Air Manis.[31] Pada 30 September 2009, kota ini kembali dilanda gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter,[32] dengan titik pusat gempa di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km, yang menyebabkan kehancuran 25% infrastruktur yang ada di kota ini.[33]

Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Suhu udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–32 °C pada siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari, dengan kelembabannya berkisar antara 78%–81%.[34] Kota Padang memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km. Tingkat curah hujan Kota Padang mencapai rata-rata 405,58 mm per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per bulan. Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap banjir. Pada tahun 1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam banjir karena saluran drainase kota yang bermuara terutama ke Batang Arau tidak mampu lagi menampung limpahan air tersebut.[35]

Tata ruang

Kota Padang memiliki karakteristik ruang perkotaan yang menghadap Samudera Hindia dan dikelilingi oleh jajaran Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan kawasan urban di Padang bergerak ke arah utara dan timur dari kawasan kota tua di muara Batang Arau.[36] Penataan wilayah kota saat ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2010–2030. Sejalan dengan pembangunan kota yang berbasis mitigasi bencana, wilayah timur Padang dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan pusat pendidikan, sedangkan wilayah barat yang berdekatan dengan pantai merupakan kawasan komersial perkotaan dan pusat bisnis.[37][38] Pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang ke wilayah timur (Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah) pada tahun 2010 adalah salah satu upaya mengurangi konsentrasi penduduk di kawasan pinggir pantai.


Panorama Kota Padang dari Gunung Padang pada 28 Juni 2013. Padang memiliki ruang perkotaan yang menghadap Samudera Hindia ke arah barat dan dikelilingi Pegunungan Bukit Barisan dari arah timur.

Arsitektur

Dari sisi arsitektur bangunan yang ada di Kota Padang saat ini berada dalam transformasi penemuan kembali tradisi dalam bentuk ekspresi arsitektur modern tetapi tradisional.[39] Kota ini secara umum mampu mengimbangi perkembangan bentuk arsitektur impor yang terus muncul di setiap kota di Indonesia dengan seni arsitektur tradisionalnya.[40] Hal ini juga terlihat selain pada bangunan dijumpai juga bermacam gapura pada beberapa ruas jalan dengan ciri khas atap gonjong.[41] Gonjong ini merupakan salah satu bagian simbol etnik, merepresentasikan makna filosofi Minangkabau yang terabstrasikan ke dalam bentuk bangunan.[42] Walaupun saat ini telah terjadi pergeseran nilai budaya mengancam eksistensi nilai-nilai yang masih asli, masyarakat Minang pun merasa bahwa citra arsitektur vernakular mereka cukup terwakili oleh atap gonjong saja.[43]

Sebelumnya dari sehiliran Batang Arau menuju Muara Pantai Padang terdapat beberapa bangunan tua dengan ciri arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan gaya model untuk daerah tropis antaranya NHM (Nederlansche Handels-Maatschappij), Padangsche Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio yang didirikan sebelum 1920 dan menjadi saksi bisu jejak kolonial yang tertinggal.[44]

Taman dan hutan kota

Sejak tahun 1995, Pemerintah Kota Padang telah mulai mengembangkan hutan kota termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman dan indah, sekaligus sebagai salah satu sarana rekreasi terutama bagi warga kotanya.[45] Selain tetap mempertahankan beberapa RTH yang telah ada seperti RTH Imam Bonjol[46] dan RTH Taman Melati, pemerintah kota berencana membangun hutan kota pada kawasan Delta Malvinas yang berada pada sehiliran Batang Kuranji.[47]

Sementara pada Kecamatan Lubuk Kilangan, terdapat Taman Hutan Raya Bung Hatta, yang merupakan kawasan konservasi pelestarian plasma nutfah flora hutan seluas 240 ha.[48] Taman Hutan Raya ini berbatasan dengan Kabupaten Solok, dan telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam, sarana pendidikan dan penelitian serta juga berfungsi hidroorologi dan penangkal polusi khususnya bagi Kota Padang.[49]

Kota Padang mendapat piala Adipura untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dari Presiden Soeharto atas prestasinya menjadi salah satu kota terbersih di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1991 kota ini juga memperoleh Adipura Kencana.[14] Hingga tahun 2009 Kota Padang telah mendapat 17 kali penghargaan Adipura selama 4 periode penilaian.[50]

Kependudukan

Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling banyak di provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Kota Padang adalah sebanyak 833.584 jiwa. Jumlah tersebut menunjukan penurunan yang signifikan dari data kependudukan tahun 2008 (856.815 jiwa) akibat peristiwa gempa bumi 2009.[27] Pada akhir tahun 2014, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Padang melaporkan jumlah penduduk sebanyak 1.000.096 jiwa dengan rincian 273.915 Kepala Keluarga yang terdiri dari 507.785 orang laki-laki dan 492.306 perempuan.[1] Pada tahun 2009 kota ini bersama dengan kota Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta, ditetapkan oleh Kemendagri sebagai empat kota proyek percontohan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.

Tahun 1819 1874 1930 1971 1980 1990 2008 2010 2014
Jumlah penduduk 8.500 25.000 52.054 195.912 480.607 631.263 856.815 833.584 1.000.096

Pendidikan

Kota Padang sejak dari zaman kolonial Belanda telah menjadi pusat pendidikan di Sumatera Barat. Tercatat pada tahun 1864, jumlah pelajar yang terdaftar di sekolah yang ada di kota ini sebanyak 237 orang.[82]

Untuk memberikan pelayanan dan kemudahan bagi siswa dan orang tua murid, pemerintah kota bekerja sama dengan UNP dan Telkom sejak 1 Juli 2010 kembali menyelenggarakan Penerimaan Siswa Baru (PSB) Online untuk sekolah negeri jenjang SMP dan SMA, dengan perbaikan pola dan sistem dibandingkan tahun sebelumnya.[83][84] Sistem yang telah diterapkan sejak tahun 2006 ini,[83] akan memotivasi sekaligus memudahkan seluruh siswa yang akan melanjutkan pendidikannya di masing-masing tingkatan pendidikan. Mereka dapat memilih sekolah favoritnya berdasarkan rangking nilai yang mereka dapat dan diketahui secara langsung dan transparan.[85]

Kota Padang memiliki puluhan perguruan tinggi, enam di antaranya merupakan perguruan tinggi milik pemerintah. Universitas Andalas (Unand) yang belokasi di Limau Manis diresmikan oleh Wakil Presiden pertama Mohammad Hatta pada tahun 1955 sebagai universitas tertua di luar Jawa. Pada tahun 2014, Unand menjadi satu-satunya kampus di Sumatera yang mendapatkan peringkat A untuk akreditasi perguruan tinggi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).[86] Perguruan tinggi negeri lainnya yang ada di Kota Padang yakni Universitas Negeri Padang di Air Tawar, Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol di Lubuk Lintah, Politeknik Negeri Padang di Limau Manis, Politeknik Kesehatan Padang di Siteba, dan Akademi Teknologi Industri Padang di Tabing. Beberapa perguruan tinggi swasta juga berada di kota ini, seperti Universitas Bung Hatta, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Universitas Ekasakti, Universitas Tamansiswa, Universitas Putra Indonesia, Universitas Baiturrahmah, dan Institut Teknologi Padang.

Perpustakaan Daerah Sumatera Barat terletak di Kota Padang termasuk salah satu perpustakaan terbaik di Indonesia, dengan jumlah koleksi yang mencapai 30.000 judul, termasuk fasilitas dan pengelolaan yang maksimum, serta jumlah pengunjung pustaka yang tinggi.[87] Setelah gempa bumi kegiatan Perpustakaan Daerah Sumatera Barat sejak 1 Februari 2010 untuk sementara dipindahkan ke Tabing, menunggu pembangunan gedung baru yang sebelumnya mengalami kerusakan parah.[88]

Pendidikan formal SD atau MI negeri dan swasta SMP atau MTs negeri dan swasta SMA negeri dan swasta MA negeri dan swasta SMK negeri dan swasta Perguruan tinggi
Jumlah satuan 477 129 49 10 42 58

Kesehatan

Sebagai salah satu pusat kesehatan di Pulau Sumatera, Kota Padang telah memiliki fasilitas kesehatan yang cukup lengkap. Selain memiliki beberapa rumah sakit yang bertaraf nasional dan internasional, rumah sakit tersebut juga telah didukung oleh beberapa perguruan tinggi yang berkaitan dengan kesehatan. Rumah Sakit Umum Dr. M. Djamil yang didirikan oleh pemerintah pusat pada tahun 1953 merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatera bagian tengah.[93] Rumah sakit ini telah berafiliasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan Politeknik Kesehatan Padang. Setelah gempa 30 September 2009, kondisi bangunan dan peralatan rumah sakit ini memprihatinkan.[94] Rumah Sakit M. Djamil saat ini tengah berusaha memperbaiki program Hospital Disaster untuk mengantisipasi kejadian serupa nantinya.[95]

Pemerintahan Kota Padang sendiri juga telah memiliki rumah sakit yang bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Rasidin.[96] Untuk memberikan pelayanan yang maksimal, pemerintahan Kota Padang juga telah mendirikan sebanyak 20 buah puskesmas dan 58 buah puskesmas pembantu pada wilayah kecamatan di kota ini. Untuk tahun 2007, satu puskesmas di Kota Padang rata-rata melayani 41.000 orang. Angka ini lebih tinggi dari konsep ideal wilayah puskesmas yang hanya untuk melayani 30.000 orang saja, sehingga jika ditinjau dari penyebaran, sarana kesehatan sudah memadai. Namun jika ditinjau dari aspek mutu pelayanan kesehatan masih jauh dari yang diharapkan.[92]

Selain itu, di kota ini juga terdapat sejumlah rumah sakit yang dikelola oleh BUMN, Kepolisian, TNI AD dan pihak swasta. Pada tahun 2013, PT Semen Padang meresmikan Semen Padang Hospital yang merupakan rumah sakit bertaraf internasional pertama di Sumatera Barat.[97] Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo yang dikelola oleh TNI AD terletak pada kawasan cagar budaya Ganting. Rumah sakit ini berdiri pada komplek bangunan peninggalan zaman Belanda dan sebelumnya merupakan tempat peristirahatan para tentara kolonial.[67] Rumah Sakit Selasih merupakan rumah sakit swasta yang dikelola secara bersama dengan pihak Kumpulan Perubatan Johor (KPJ) Sdn Bhd dari Malaysia,[98] namun akibat gempa bumi 30 September 2009 rumah sakit ini mengalami kerusakan berat.[99]

Perekonomian

Kota Padang sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-19 telah mengalami pertumbuhan ekonomi cepat yang didorong oleh tingginya permintaan kopi dari Amerika. Akibatnya pada tahun 1864 telah berdiri salah satu cabang Javaansche Bank yakni bank yang bertanggung jawab terhadap mata uang di Hindia Belanda serta telah mengikuti standar selaras dengan yang ada di negara Belanda. Seiring itu pada 1879 juga telah muncul bank simpan pinjam. Hal ini mencerminkan tingginya tingkat peredaran uang di kota ini.[133]

Kota ini menempatkan sektor industri, perdagangan dan jasa menjadi andalan dibandingkan dengan sektor pertanian dalam mendorong perekonomian masyarakatnya. Hal ini terjadi karena transformasi ekonomi kota cenderung mengubah lahan pertanian menjadi kawasan industri. Walaupun di sisi lain industri pengolahan di kota ini telah memberikan kesempatan lapangan pekerjaan yang cukup berarti.[134]

Di kota ini terdapat sebuah pabrik semen yang bernama PT Semen Padang dan telah beroperasi sejak didirikan pada tahun 1910. Pabrik semen ini berlokasi di Indarung dan merupakan pabrik semen yang pertama di Indonesia,[135] dengan kapasitas produksi 5.240.000 ton per tahun.[136] Hampir 63% dari produksinya[135] (baik dalam bentuk kemasan zak maupun curah) didistribusikan melalui laut dengan memanfaatkan pelabuhan Teluk Bayur. Selepas reformasi politik dan ekonomi, masyarakat Minang umumnya menuntut pemerintah pusat untuk melaksanakan spin off (pemisahan) PT Semen Padang dari induknya PT Semen Gresik,[137][138] yang mana sejak tahun 1995 telah di merger (penggabungan) secara paksa oleh pemerintah pusat, walau tuntutan akuisisi PT Semen Padang menjadi perusahaan yang mandiri lepas dari PT Semen Gresik telah dikabulkan Pengadilan Negeri Padang,[139] namun penyelesaian persoalan tersebut masih belum jelas sampai sekarang.[140] Apalagi ditengarai terjadi kemerosotan kinerja perusahaan sejak penggabungan tersebut.[141] Hal ini karena pemerintah pusat masih menganggap restrukturisasi beberapa BUMN melalui pembentukan holding terhadap beberapa BUMN yang memiliki keterkaitan atau kesamaan usaha merupakan penyelesaian terbaik untuk membangun keunggulan daya saing BUMN tersebut agar lebih menjamin perolehan laba di atas rata-rata perusahaan pesaing lainnya.[142]
Semen Padang merupakan produsen semen tertua di Indonesia.

Pusat perdagangan di Kota Padang adalah Pasar Raya Padang yang dibangun pada zaman kolonial Belanda oleh seorang kapiten **** bernama Lie Saay.[143] Dalam perkembangannya, pasar tradisional ini pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyarakat di Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Bengkulu pada era 1980-an.[144] Selain itu, aktivitas perniagaan di Padang juga didukung oleh 16 pasar satelit yang tersebar di seluruh pelosok kota, sembilan di antaranya dimiliki oleh Pemerintah Kota Padang yaitu Pasar Alai, Pasar Bandar Buat, Pasar Belimbing, Pasar Bungus, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Simpang Haru, Pasar Siteba, Pasar Tanah Kongsi, dan Pasar Ulak Karang.[145]

Tidak seperti kebanyakan kota besar di Indonesia, pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di Kota Padang terbilang cukup lamban. Pada tahun 1990-an terdapat setidaknya lima permohonan izin pendirian mal di Kota Padang yang ditolak oleh Zuiyen Rais, walikota Padang saat itu, karena mengambil lokasi di pusat kota.[146] Pusat perbelanjaan modern yang beroperasi saat ini di Kota Padang di antaranya yaitu Plaza Andalas, Basko Grand Mall, Rocky Plaza, dan SPR Plaza.

Perekonomian Kota Padang juga ditopang oleh sektor pariwisata dan industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran).[147] Hal ini didukung oleh keberadaan sederet hotel dan gedung pertemuan di kota ini. Hingga saat ini Kota Padang telah memiliki puluhan hotel berbintang, termasuk di antaranya satu hotel bintang 5 dan tujuh hotel bintang 4.[148] Minangkabau International Convention Center (MICC) yang saat ini dalam tahap konstruksi akan menjadi gedung pertemuan terbesar di Kota Padang.

Pariwisata

Kota Padang yang terkenal akan legenda Sitti Nurbaya dan Malin Kundang saat ini sedang berbenah ke arah pembangunan kepariwisataan.[149] Kota ini memiliki sebuah museum yang terletak di pusat kota yang bernama Museum Adityawarman, yang memiliki gaya arsitektur berbentuk rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang), model Gajah Maharam. Di halaman depan museum terdapat dua lumbung padi. Museum ini mengkhususkan diri pada sejarah dan budaya suku Minangkabau, suku Mentawai dan suku Nias. Museum ini memiliki 6.000 koleksi.

Di kawasan pelabuhan Muara banyak dijumpai beberapa bangunan peninggalan sejak zaman Belanda. Beberapa bangunan di kawasan tersebut ditetapkan pemerintah setempat sebagai cagar budaya. Di antaranya adalah Masjid Muhammadan bertarikh 1843, yang merupakan masjid berwarna hijau muda yang dibangun oleh komunitas keturunan India. Cagar budaya lain, Klenteng Kwan Im yang bernama See Hin Kiong tahun 1861 kemudian direnovasi kembali tahun 1905 setelah sebelumnya terbakar.[150] Dari sehiliran Batang Arau, terdapat sebuah jembatan yang bernama jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan itu menghubungkan sebuah kawasan bukit yang dikenal juga dengan nama Gunung Padang. Pada bukit ini terdapat Taman Sitti Nurbaya yang menjadi lokasi kuburan Sitti Nurbaya.[151] Kawasan bukit ini juga dahulunya menjadi tempat permukiman awal masyarakat etnis Nias di Kota Padang.[152]

Kemudian di pelabuhan Teluk Bayur terdapat beberapa kawasan wisata seperti pantai Air Manis, tempat batu Malin Kundang berdiri.[153] Selain itu, terus ke selatan dari pusat kota juga terdapat kawasan wisata pantai Caroline, dan pantai Bungus,[154] serta sebuah resort wisata sekelas hotel berbintang tiga yang terletak di Pulau Sikuai.[155] Sedangkan ke arah Kecamatan Koto Tangah, terdapat kawasan wisata pantai Pasir Jambak, serta kawasan wisata alam Lubuk Minturun,[156] yang populer dalam tradisi balimau dan ramai dikunjungi oleh masyarakat terutama sehari sebelum masuk bulan Ramadan.[157]

Kota ini juga terkenal akan masakannya. Selain menjadi selera sebagian besar masyarakat Indonesia, masakan ini juga populer sampai ke mancanegara.[158] Makanan yang populer di antaranya seperti Gulai, Rendang, Ayam Pop, Terung Balado, Gulai Itik Cabe Hijau, Nasi Kapau, Sate Padang dan Karupuak Sanjai. Restoran Padang banyak terdapat di seluruh kota besar di Indonesia. Meskipun begitu, yang dinamakan sebagai "masakan Padang" sebenarnya dikenal sebagai masakan etnis Minangkabau secara umum.[4]

Dalam mendorong pariwisata di Kota Padang, pemerintah kota menggelar Festival Rendang untuk pertamakalinya pada tahun 2011, setelah sebelumnya Rendang dinobatkan oleh CNN International sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia).[159] Festival yang dipusatkan di RTH Imam Bonjol tersebut diikuti oleh kelurahan se-Kota Padang dan berhasil memasak 5,2 ton daging, sehingga tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai perlombaan memasak dengan daging dan peserta terbanyak.[160] Pada tahun yang sama pemerintah kota juga mulai menyelenggarakan Festival Sitti Nurbaya, pergelaran tahunan yang mengangkat adat dan tradisi Minangkabau.[161]