PART 150
Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orangorang
di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung.
Benar saja, terdengar pekik susul‐menyusul dan begitu melewati pintu
depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan
berserakan di sana‐sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata
terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua, dahi mereka
juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka
mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu,
kesunyian yang penuh rahasia. Lu‐san Lo‐jin! Pat‐jiu Kai‐ong teringat dan dia
cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu
pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan
semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Kini dia benarbenar
bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu‐san Lojin seperti
yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam
ruangan besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu‐san Lojin dan dua
anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu
memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya
ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja
bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua
lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas
kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang
wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak
laki‐laki berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh
selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah, anak itu pun tampan
dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua
orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak
tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak‐geriknya, hanya
sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia
inikah orangnya?" Tiba‐tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring,
memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam. "Benar, dialah Si
Bedebah Pat‐jiu Kai‐ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi
dingin menyeramkan. "Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas
membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin
cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit
berdiri berlahan‐lahan. "Kau lihat sajalah ibumu menundukan Si jembel
busuk ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika
melangkah maju, tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat‐jiu Kaiong
sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah
melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang
kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali.
"Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang‐orangku dan apa hubunganmu
dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan
Pat‐jiu Kai‐ong sehingga raja pengemis ini dapat mencium bau harum
semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu
Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam
PART 151
gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat‐jiu Kai‐ong. Aku harus
membunuhmu berlahan‐lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan
keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan
semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah
engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat‐jiu Kai‐ong?" Pat‐jiu Kai‐ong,
agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk‐tumpuk sehingga engkau
tidak dapat mengenal korban‐korbanmu lagi. Pandanglah aku baik‐baik dan
kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan
Jeng‐hoa‐san sepuluh tahun yang lalu?" Pat‐jiu Kai‐ong memandang dan
terbayanglah peristiwa di Jeng‐hoa‐san sebelum dia naik ke puncak gunung
itu untuk mencari Sin‐tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini, wajah cantik
yang pernah merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia
permainkan secara kejam. "Kau... kau... Cap‐she Sin‐hiap...?" Tanyanya raguragu.
"Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap‐sha Sin‐hiap. Dua
belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat‐jiu Kaiong
tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah
diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap‐sha Sinhiap,
perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam
ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut? "Ha‐ha‐ha,
kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa
bisa melupakan kenang‐kenangan manis selama tiga hari itu? Ha‐ha‐ha,
betapa mesranya!" Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih
berlagak? Pat‐jiu Kai‐ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku,
aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"
"Perempuan sombong, mampuslah!" Pat‐jiu Kai‐ong sudah menerjang
dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat
wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat
itu menyeleweng dan terkejutlah Pat‐jiu Kai‐ong. Ternyata lawannya ini
benar‐benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang
yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah
The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah
menggembleng diri, di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya.
Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu‐ilmu yang khusus untuk
menghadapi ilmu tongkat Pat‐jiu Kai‐ong dan ilmu mujijat Hiat‐ciang Hoatsut
dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun
ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak
menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi
tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang
senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan
kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk
meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun‐tahun dia citacitakan. Dia
PART 152
menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya,
akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau
Es dan benda‐benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik
untuk meninggalkan pulau, tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena
pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di
Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia
mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu
suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan
menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun
berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang
sudah tinggi, dia berhasil mendarat. Berbulan‐bulan dia menyelidiki dan
akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng
Heng‐san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan puteranya,
dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia
tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam
hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan dengan
maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata
tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin
mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat‐jiu Kai‐ong.
karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan
karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus
suka menjadi muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu ingin
hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap
subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini
menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The Kwat
Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian
mulailah dia turun tangan membunuh‐bunuhi semua binatang peliharaan
gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir
dan juga Lusan Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh
semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak
dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid
Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia keluar dari
gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya
bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu
setelah membunuh semua orang di dalam gedung. Han Bu Ong anak laki‐laki
yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali
tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian
ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat
kekejaman‐kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan
merasa gembira! Barulah hati Pat‐jiu kai‐ong terkejut sekali setelah selama
lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus
pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya. Bahkan lawannya
terkekeh‐kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung
PART 153
lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama
sekali tidak berdaya! "*******, mampuslah!" Tiba‐tiba Pat‐jiu Kai‐ong
berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh
ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini
sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran.
Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga
dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga
dan menghadapi auman Sai‐cu Ho‐kang dari Pat‐jiu Kai‐ong! Padahal lawan
yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai‐cu Ho‐kang yang
berdasarkan Khi‐kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu,
The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah
mengeluarkan suara terkekeh‐kekeh dan lawannya terkejut bukan main
karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan
menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai‐cu Hokang
dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat‐motung‐
hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang
hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan
mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya
dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya
sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati!
Dan memang usahanya ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat‐jiu
Kai‐ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak
akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan
diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan
tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba‐tiba dia memekik dan
menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat
Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu
Hiat‐ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu
mujijat ini, maka dia bersikap hati‐hati dan tidak berani memandang rendah.
Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan
getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut
sekali dan cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian
mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan
diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya
menyambut hawa pukulan Hiat‐ciang Hoat‐sut. "Dess!"dua benturan tenaga
mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga
Hiatciang Hoat‐sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan
tenaga ini, Pat‐jiu Kai‐ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau
kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali,
sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat
melawan hawa ini dan berkali‐kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat
telapak tangan mereka . Tiba‐tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin
menyambar kearah ubun‐ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali
dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan
The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap
PART 154
tongkat. Pat‐jiu Kai‐ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan
tenaga Hiat‐ciang Hoat‐sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini
sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat
yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!" Tongkat raja pengemis itu
hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahutahu
ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya!
Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju
itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok
lehernya. "Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat
mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat‐jiu
Kai‐ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia
terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua
tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah
berusaha mati‐matian membela diri, namun karena totokan pertama
membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi
kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari
tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia siuman. Pat‐jiu Kai‐ong mendapatkan dirinya sudah rebah
terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya,
bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah
yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah
ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di
tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin
mengampuni kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya
kematian. "Bret‐bret‐brettt..., hi‐hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!" Patjiu
Kai‐ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh
pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan
telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
seorang datuk macam Pat‐jiu Kai‐ong juga tidak mengenal takut, dia
menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia
melihat anak laki‐laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa.
"Heh‐heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The
Kwat Lin tertawa‐tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak
menyambar ke arah leher Patjiu Kai‐ong, kakek ini terbebas dari totokan urat
ganggunya dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh
lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah. "Hi‐hik, enak saja!
Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta‐minta mati kepadamu? Tidak,
engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia
inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah kau
membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan
kubunuh ****** tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini
memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak
baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku,
dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi‐hak, jari‐jari
tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua
PART 155
buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin
mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa‐tawa,
kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya
yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat‐jiu Kai‐ong, akan
tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat‐jiu Kai‐ong , tahukah
kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari
perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah
dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang mata Pat‐jiu Kaiong
terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali
memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia
sudah berganti‐ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak
pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan
menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa
bekas anggauta Cap‐sa Sin‐hiap, murid Bu‐tong‐pai yang terkenal gagah itu
menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira‐kira
wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan
tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu
seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan
membunuh ayah sendiri! "Anak... jangan...dengarkanlah...." "Pratttt...!" Pat‐jiu
Kai‐ong tidak dapat melanjutkan kata‐katanya yang tadinya hendak
mmperingatkan anak laki‐laki itu karena urat ganggunya dileher telah
ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai. "Pat‐jiu
Kai‐ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai
seorang datuk? Lihatlah baik‐baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong,
pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk
Twa‐supek dan Ji‐supekmu!" "Baik, Ibu!"Bu Ong lalu melangkah maju dan
dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai
menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat‐jiu Kai‐ong
! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek
itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya! "Ha‐ha, ibu! Lihat, dia
menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu.
"He‐he, seperti teling ****!" Memang Pat‐jiu Kai‐ong menangis! Akan tetapi
bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya
buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa
anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini
bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut
sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di
tangan anaknya sendiri, benar‐benar merupakan tekanan batin yang hampir
tak kuat dia menanggungnya . "Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang
Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya.Jari‐jari tangannya yang
sepuluh itu! Perlahan‐lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah
penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu‐ong. Anak ini
seolah‐olah telah menjadi gila, dengan tertawa‐tawa dia membuntungi
semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari,
PART 156
dia bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini
dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat‐jiu Kai‐ong dan
diceritakan betapa Pat‐jiu Kai‐ong telah membunuh dua belas orang
suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak
harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak menaruh
rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat‐jiu Kai‐ong. Namun dia tidak
menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
perbuatan sewenang‐wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini
sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah
melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.
Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh
tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat
Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
kaki tangannya dapat bergerak, Pat‐jiu Kai‐ong meloncat dan menerkam ke
arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang
berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar
kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi
sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat
dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat‐geliat. "Mundurlah, Bu‐ong. lihat sekarang ibumu yang akan
turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku
terdahulu!" The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan.
"Pat‐jiu Kai‐ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu?
Bayangkanlah,hi‐hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa
menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau
yang menderita . Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!" Bertubitubi
pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung
pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat
ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun
menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan
darah, mukanya dipenuhi oleh kerut‐merut menahan nyeri. "Hi‐hik,
bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu
digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang
bertubi‐tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga
menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin
banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata
dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa
bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
sambil berdongak ke atas. "suheng sekalian, terutama Twa‐suheng, lihatlah
musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh
yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam
PART 157
keadaan tersiksa di antara mayat‐mayat yang membusuk, selama tiga hari
tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong,
kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat‐mayat para pengawal,
selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat‐mayat yang dia
lemparkan ke sekeliling tubuh Pat‐jiu Kai‐ong yang mandi darah. JILID 10
Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu
menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu.
Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan
Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah,
Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi
Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai‐ong! aku harus
membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami
harus menuntut balas!" "Heh‐heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian.
Pat‐jiu Kai‐ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara
tumpukan mayat, he‐he‐heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah
yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya.
Menyenangkan sekali!" Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute"
ini. Ucapan anak itu benar‐benar membuat mereka merasa serem. Memang,
mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin
tentu dilakukan oleh Pat‐jiu Kai‐ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin
membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka
menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua
daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap
menyenangkan sekali dan berpesta, benar‐benar membuat mereka bergidik!
"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak
memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku
sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio
menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air
mata. "Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka.
"Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang. "Tidak
perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar
gedung itu." Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka,
kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut
pula di lempar oleh The kwat Lin di dekat tubuh Pat‐jiu Kai‐ong untuk ikut
menyiksa musuh besar ini! Memang Pat‐jiu Kai‐ong tersiksa hebat bukan
main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari‐jari tangannya, dia melihat
muka anaknya itu berubah‐ubah menjadi muka banyak anak laki‐laki yang
menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki‐laki yang menjadi
korbannya itu seolah‐olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan
kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menusuk‐nusuk
tulang, dia ditinggalkan di antara mayat‐mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya
yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi
PART 158
pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekali,
tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat‐mayat itu mulai
mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang
mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih
diganggu lagi oleh bayangan anak‐anak yang dahulu menjadi korbanya,
membuat Pat‐jiu Kai‐ong menangis di dalam hatinya, menyesali
perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti
itu. Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa
bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya.
Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat‐mayat suhengnya
selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan
sekali. "Hi‐hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau.
Pat‐jiu Kai‐ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah
pusar kakek itu dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin.
Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat
api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata
bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar
gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah
sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut
bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan
mengalami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena tidak
ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua
orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi
meninggalkan Hen‐san. Bu‐tong‐pai adalah sebuah perkumpulan silat yang
besar, merupakan sebuah di antara "partaipartai" persilatan yang terkenal.
Akan tetapi pada saat itu, Bu‐tong‐pai sedang berkabung. Di markas
perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan Bu‐tong‐san, dari pintu
gerbang sampai rumah‐rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran
kain‐kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu‐tong‐pai sedang berkabung.
Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu‐tong‐pai yang
sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San‐jin yang meninggal dunia dalam usia
delapan puluh tahun. Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh
para anak murid Bu‐tong‐pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Butong‐
san, akan tetapi semua anak buah murid Bu‐tong‐pai masih berkumpul
di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan dan masih tampak
beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San‐jin terkenal
sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak
murid Bu‐tong‐pai. "Suhu...!" Seruan ini membuat semua orang menengok
dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh seorang
muda‐mudi remaja dan seorang anak laki‐laki. Wanita itu tidak menoleh ke
kanan kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan
menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil menangis. "Ahh,
bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San‐jin yang
usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini mereka
pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya
PART 159
bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat.
Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu‐tong‐pai yang
amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap‐sha Sin‐hiap yang sudah
bertahun‐tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda
dari Cap‐Sha Sin‐hiap!" terdengar seruan‐seruan setelah mereka mengenal
wanita cantik itu. Mendengar suara‐suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri,
menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil
berkata, "Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap‐Sha Sinhiap.
Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia,
siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu‐tong‐pai?" Para
tokoh Bu‐tong‐pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka,
terdapat delapan orang yang terhitung suheng‐suheng dari The Kwat Lin,
dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti
pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah
mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap‐sha Sin‐hiap,
maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata,
"Sian‐cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap‐sha
Sin‐hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari
mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh
anak murid Bu‐tong‐pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi
ketua di Bu‐tong‐pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu
bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya
bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu
masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk
konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To
yang longgar. "Siapakah Totiang?" "Ha‐ha‐ha‐ha, sungguh lucu kalau seorang
murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto
adalah Kui Tek Tojin, satu‐satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui
Bhok San‐jin." Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman
gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu‐satunya yang
masih hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah
dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya
Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu‐tong‐pai?
Sungguh keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama
sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu membelalakan matanya
dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia
mengeluarkan kata‐kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid
tertua dari Kui Bhok San‐jin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi, apa yang
kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan
ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan
kami semua. Pula, Susiok merupakan satu‐satunya saudara seperguruan
mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua
di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu
menjadi ketua kita?" "Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangkasangka,
juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid
PART 160
mendiang Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Butong‐
pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut
pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu‐tong‐pai
menggantikan Suheng yang telah tidak ada?" "Harap maafkan aku, Susiok.
Bukan sekali‐kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi
penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata
kepada calon ketua Bu‐tong‐pai itu, mengejutkan dan mengherankan semua
orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu.
"Pertama‐tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah
memperdulikan keadaan Bu‐tong‐pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu
sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu‐tong‐pai, ada bahayanya Butong‐
pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali
dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun
terdiri dari bermacam‐macam golongan. Selain itu, selama ini Bu‐tong‐pai
makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan ejekan dan bahan penghinaan
orang lain." "Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana‐sini dan Souw
Cin Cu kembali berkata penasaran, "Sumoi aku benar‐benar merasa heran
mendengar kata‐katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan
para suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang
lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau
sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu‐tong‐pai menjadi lemah dan
menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin
Cu Suheng, selama bertahun‐tahun ini Cap‐sha Sin‐hiap telah lenyap, tahukah
engkau apa yang terjadi dengan mereka?" "Kami telah berusaha menyelidiki
namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Butong‐
pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokoh‐tokoh Cap‐sha Sinhiap,
dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu‐tong‐pai!" Semua orang terkejut
sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap‐sha Sin‐hiap telah
dibunuh orang! "Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya
dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah
mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang?
"Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat‐jiu Kaiong
ketua Pat‐jiu Kai‐pang di Heng‐san." "Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru
kaget, "Pat‐jiu Kai‐ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum mengejek.
"Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan menjadi gentar,
bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah membunuh
dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas
orang tokoh Bu‐tong‐pai mengalami penghinaan, dan Butong‐ pai sendiri
diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak akan
peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu‐tong‐pai lemah! Kini Bu‐tong‐pai
hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta
Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan
membunuh musuh‐musuh besar kami, membunuh Pat‐jiu Kai‐ong dan
membasmi Pat‐jiu Kai‐pang di Heng‐san. Melihat kelemahan Bu‐tong‐pai, aku
tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui
PART 161
Tek To‐jin harus diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan
dapat memajukan dan memperkuat Bu‐tong‐pai, barulah tepat!" Kwat Lin
bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu
kemerahan, sepasang matanya bersinar‐sinar dan dengan tajamnya menyapu
wajah semua anak murid Bu‐tong‐pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas
orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap ini membuat banyak anak murid Butong‐ pai
merasa gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang
mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang
dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan
mengelus jenggotnya sambil mengangguk‐angguk, matanya memandang
wajah wanita itu penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat
terhadap kedudukan Bu‐tong‐pai. Andaikata benar semua kata‐katamu itu,
habis siapakah yang kaupandang tepat untuk menjadi ketua Bu‐tong‐pai?"
Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya
tidak ada orang lain lagi dari Bu‐tong‐pai kecuali aku sendiri!" Kini benarbenar
terkejut dan terheran‐heranlah semua anak murid Bu‐tong‐pai yang
berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi
bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok
Sanjin dan orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap, akan tetapi pada waktu itu dia
bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu‐tong‐pai. Sama sekali
bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid‐murid Kui
Bhok San‐jin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin
yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah
paman gurunya! "Murid Murtad!!" Tiba‐tiba Souw Cin Cu membentak garang
dan meloncat maju, diikuti pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya menuding
ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut
menjadi murid Bu‐tong‐pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun
hanya untuk pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya
sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!"
Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat.
Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok Sanjin.
sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat
paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang‐orang
tertua dari Cap‐sha Sin‐hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika
dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi
orang termuda Cap‐sha Sin‐hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang
sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu.
Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau Es!
Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang
ketika suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar
jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo‐heng‐kun.
Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan
kanan tosu itu menampar pelipis, dia diam saja seolah‐olah dia hendak
menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa
sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba‐tiba tangan kirinya
PART 162
bergerak dari bawah ke atas. "Plak‐plak‐plak!!" Kedua lengan Souw Cin Cu
telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin
yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya
dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan
tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San‐jin terpelanting!
Diam‐diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita
itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak
dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong‐ pai! Akan tetapi
tujuh orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa
dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The Kwat Lin tertawa,
tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut‐turut tujuh orang ini
pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu
bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu‐tahu terpelanting dan
bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang,
akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana
andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar
dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari Butong‐
pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah
meloncat bangun dan mencabut senjata masing‐masing! "Ibu, mengapa tidak
dibunuh saja tikus‐tikus menjemukan ini?" Tiba‐tiba Bu Ong berteriak. Anak
ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok
ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat‐erat oleh Swi Liang dan Swi
Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya.
Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh
subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini
mencampuri urusannya dengan orang‐orang Bu‐tong‐pai. Kwat Lin
tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan
senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak
melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan
andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi
aku." "*******...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju,
akan tetapi tiba‐tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati
perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri
wanita yang tersenyum‐senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki
kepandaian tinggi maka berani menentang Bu‐tong‐pai! The kwat Lin, selama
ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu‐tong‐pai, tidak tahu dari
perguruan manakah?" "Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak
perlu aku menceritakan kepada siapapun juga." "Hei, tosu bau! Ibu adalah
Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?" "Bu Ong...!" Kwat Lin membentak
puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main
kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu‐tong‐pai mendengar ini.
Pulau Es hanya disebut‐sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar
tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang‐ouw.
Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di
PART 163
hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu‐tong‐pai, maka dia menekan
perasaannya dan berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku
sebagai murid Bu‐tong‐pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau
harus tunduk kepada pimpinan Bu‐tong‐pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah
mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang
Bu‐tong‐pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu‐tongpai."
Kwat Lin tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi
bahwa aku telah membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat
kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Butong‐ pai.
Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu‐tong‐pai, bahkan ingin
memimpin Bu‐tongpai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan
kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu‐tong‐pai agar tidak ada lagi
golongan lain yang berani memandang rendah Bu‐tong‐pai, apalagi menghina
anak murid Bu‐tong‐pai seperti yang terjadi kepada Cap‐sha Sin‐hiap sepuluh
tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu‐tong‐pai,
terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin." "Dengan
cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?" "Dengan
mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu‐tong‐pai lebih penting dari pada
nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini
dengan kepandaian kita ." The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun
mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh
semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong
kalian, ingin mengangkat nama Bu‐tong‐pai, maka biarlah aku hanya akan
mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan
penghinaan yang luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan tanpa
membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan
oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid
keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari
Bu‐tong‐pai, sebagai calon ketua Bu‐tong‐pai, dihina oleh seorang anggauta
muda Bu‐tong‐pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai
anggauta Bu‐tong‐pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak
mengacau Bu‐tong‐pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu‐tong‐pai,
pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu‐tong‐pai
terhadap siapapun juga , dan saat ini pinto akan mempertahankannya
terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot
lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan
bajunya melambai panjang. Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu
cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi
tongkat pusaka para ketua Bu‐tong‐pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa
tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam
hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya
dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah
memiliki tingkat tertinggi dari Bu‐tong‐pai, dan telah memiliki sinkang yang
PART 164
amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai
senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat
dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat
melakukan totokan‐totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan!
Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan
pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya
melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan
tenaga sinkang Swat‐im Sin‐jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke
depan menyerang kakek itu. Swat‐im Sin‐jiu adalah tenaga dalam inti salju
yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa
yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa
dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang
menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika
mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di
tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang,
menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!"
Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk
memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu
dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan
kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang
memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam
satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan
sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah,
bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan
kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas! "Ouhhh...!"
Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja
tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan
getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi
pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata
luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkannya karena perubahan sinkang
yang berlawanan itu tidak disangka‐sangkanya, maka untuk menyelamatkan
diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat
Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua
tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi‐hik, tongkat pusaka
telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu‐tong‐pai! "Kembalikan
tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak
ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan
bajunya bergerak seperti kilat menyambar‐nyambar dan dalam segebrakan
itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya!
Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan
andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu‐ilmu dari Pulau Es, tidak
mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya
berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih
mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari
peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu
Share This Thread