PART 30
betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin‐tong? Hayo
kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk
menyangkal!" Orang yang kata‐katanya amat menusuk ini adalah seorang
kakek yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee‐tok, bahkan menyebut
Tee‐tok sebagai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi
kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip
sebatang tongkat panjang dan gerak‐geriknya ketika bicara seperti seekor
****** tidak mau diam, bahkan kadang‐kadang menggaruk‐garuk kepala
atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan‐kiri. Inilah dia tokoh
hebat yang berjuluk Thian‐tok (Racun Langit), bekas suheng Tee‐tok yang
memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama
dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee
Thian Thaiseng, Si Raja ****** itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri
nama Kim‐kauw‐pang seperti tongkat Si Raja ******. Juga dia telah
menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak‐gerik seekor
****** yang diberinya nama Sin‐kauw‐kun(Ilmu Silat ****** Sakti). Seperti
juga Tee‐tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada
yang tahu lagi nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin. "Hemmm, setelah ada aku
disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!"
kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung
pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian‐he Te‐it,
Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua
dari Perkumpulan Kang‐jiu‐pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang
didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak
gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak,
dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal
memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh
seorang ahli silat dan setiap gerak‐geriknya menunjukkan bahwa dia telah
mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus,
usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah
menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya
terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang. "Kami berlima dengan
tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua
orang tokoh terkenal seperti Ji‐wi (Anda berdua), Pat‐jiu Kai‐ong dan Kiammo
Cai‐li, terutama sekali kepada Cai‐li, terimalah hormatku." Pat‐jiu Kai‐ong
sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam‐mo Cai‐li
tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata‐kata
menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus‐elus oleh sikap
dan kata‐kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun
membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum
simpul manis sekali dia bertanya, "Harap maafkan, kana tetapi siapakah
saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan
bu(Sastra dan silat) yang tinggi ini?" Laki‐laki itu tersenyum dan menjawab
halus, "Saya yang rendah dinamakan orang Gin‐siauw Siucai (Pelajar
PART 31
Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di Beng‐san." Kiam‐mo Cai‐li
kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihhh, sudah lama sekali saya
telah mendengar nama besar Cin‐siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat
tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah
lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng‐san. Mudahmudahan
saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng‐san yang
indah, menjadi tamu Gin‐siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti
kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!" Ucapan terkhir ini jelas
ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar‐kasar tadi. Orang
ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun
lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang
sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah
kipas yang tiada hentinya digoyang‐goyang menipasi lehernya seolah‐olah
dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia
membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak
dalam kitab To‐tek‐kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya tiada kurang Terisi penuh, namun tampaknya
meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan Yang
paling lurus, kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang
paling fasih, kelihatan gagu. Api panas dapat mengatasi dingin, air sejuk
dapat mengatasi panas, Sang Budiman, murni dan tenang dapat memberkati
dunia!" "Huah‐ha‐ha‐ha! Anda tentulah lam‐hai Seng‐jin (Manusia Sakti Laut
Selatan), bukan? Sajak‐sajak To‐tekkheng agaknya telah menjadi semacam
cap Anda, ha‐ha‐ha!" kata Pat‐jiu Kai‐ong sambil tertawa mengejek. Tosu itu
berkata , "Siancai! Pat‐jiu Kai‐ong bermata tajam, dapat mengenal seorang
tosu miskin dan bodoh." "Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam‐mo Caili,
"Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang
berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan
menjadi majikan dari Pulau Kura‐kura. Ini namanya menggunakan pakaian
butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya." "Siancai! Pujian
kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee‐tok Siangkoan
Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa apaan semua
kepura‐puraan yang menjemukan ini? Patjiu Kai‐ong dan Kiam‐mo Cai‐li,
ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan
Sin‐tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang
membunuhnya!" "Tee‐tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa
kau mencampuri?" Pat‐jiu Kai‐ong menjawab dengan senyum dan suara
halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang.
"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima
mempunyai maksud yang sama, yaitu masing‐masing menghendaki agar Sintong
menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan,
namun kami memperebutkan Sin‐tong untuk menjadi murid kami atau
seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!"
kata pula Tee‐tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan
PART 32
perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling‐aling lagi melalui
suaranya yang nyaring. "Tee‐tok, jangan sombong kau! Mengenai
kepentingan masing‐masing memperebutkan Sin‐tong, adalah urusan pribadi
yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing‐masing
hendak memiliki Sin‐tong, Untuk kepentingan pribadi masing‐masing tentu
saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang
mengaku sebagai tokoh‐tokoh sakti dan gagah dari dunia kang‐ouw hendak
mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam‐mo Cai‐li
sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan
tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin‐siauw
Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata
Kiammo Cai‐li yang cerdik. "Perempuan sombong kau, Kiam‐mo Cai‐li!" Teetok
membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu?
Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti
engkau dari muka bumi!" "Tee‐tok, buktikan omonganmu!" Kiam‐mo Cai‐li
membentak dan dia pun melangkah maju. "Eh‐eh, nanti dulu! Apa hanya
kalian berdua saja yang menghendaki Sin‐tong? Kami pun tidak mau
ketinggalan!" kata Pat‐jiu Kai‐ong mencela. "Benar sekali! Perebutan ini tidak
boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa
pun untuk memperoleh Sin‐tong!" Thian‐te Te‐it Ciang Ham membentak
menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada. "Siancai,
siancai...!" Lam‐hai Seng‐jin melangkah maju, menggoyang kebutannya.
"Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara
kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita
bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam
memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin
memperoleh Sin‐tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya
terserah kepada pemilihan Sin‐tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita
bertanya kepada Sin‐tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah
menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau
mencampuri, Bagaimana?" "Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!"
kata Tee‐tok. "Aku pun setuju!" kata Thian‐tok dan yang lain pun tidak
mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini,
kemudian melanjutkan dengan kata‐kata sengaja dibikin keras agar
terdengar oleh Sin‐tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin‐tong
akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang
hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari
kejantanannya juga harus berterus terang!" Tentu saja dua orang tokoh
golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian‐tok yang
licik itu. "Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak
mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki
nyawanya?" Kiam‐mo Cai‐li mengejek Thian‐tok. "Kau...! Majulah, rasakan
Kim‐kauw‐pang pusakaku ini!" "Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas
membentak. "Siancai...!" Lam‐hai Seng‐jin mencela dan melangkah maju.
"Apakah kalian benar‐benar hendak menjadi kanak‐kanak? Katanya tadi
PART 33
sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan
Sin‐tong." Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin‐tong yang masih duduk
bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah
laku tujuh orang itu. "Sin‐tong yang baik. Lihatlah, kau satu‐satunya wanita di
antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan
merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun
sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah
ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu
dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di
Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia.
Marilah Sin‐tong, Anakku!" Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak
wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak
bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat
kepalsuan di balik bujuk‐rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa
wanita ini dengan tersenyum‐senyum dapat begitu saja membunuh jiwa
enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat
menjawab. "Sin‐tong, aku adalah ketua dari Pat‐jiu Kai‐pang di Pegunungan
Hong‐san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku
kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau
ikutlah bersamaku, Sin‐tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis.
Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong
olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan
aku, dan Pat‐jiu Kai‐ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah
di dunia ini!" Kembali Sin‐tong memandang wajah itu dan diam‐diam
bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawatawa
seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja
pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik, Sin‐tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin‐siauw Siucai,
seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng‐san.
Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama
puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu
meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sintong."
"Ha‐ha‐ha, kau turut aku saja, Sin‐tong. Biarpun aku seorang yang
kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak‐anak. Aku sendiri memiliki
seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi
saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid
Tee‐tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin‐tong." "Tidak, aku saja! Aku Bhong
Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang
kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu.
Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai‐seng, akulah yang
mewarisi ilmu Kim‐kauw‐pang. Kau jadilah murid Thian‐tok dan kelak kau
akan merajai dunia kang‐ouw, Sin‐tong." "Lebih baik menjadi muridku. Aku
Thian‐he Te‐it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kangjiu‐
pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia
terpandai di kolong langit!" "Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua
PART 34
itu, Sin‐tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan
kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan
kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu,
hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau
berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan
besar seperti Nabi Lo‐cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau
jadilah murid Lam‐hai Sengjin, Sin‐tong!" Hening sejenak. Semua mata
ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang
tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang
orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar
dan penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya
tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan
Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya
tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi
ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat‐mayat
yang patut dikasihani ini." "Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan
memaksamu!" kata Tee‐tok yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti
dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian‐tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih
seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin
merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil
mungkin. Kita bukan kanak‐kanak, kita adalah orang‐orang yang telah
menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masingmasing
mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai
pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin‐tong," kata Lam‐hai Seng‐jin yang
lebih sabar daripada yang lain. "Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat‐jiu kaiong
yang khawatir kalau‐kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan
Kiam‐mo Cai‐li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak
dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu
baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam‐mo Cai‐li, wanita yang cerdik ini dapat
melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan
bersama seperti yang diusulkan Lam‐hai Seng‐jin. Dalam pertempuran
seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau
diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh
mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan
demikian, satu‐satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah
lihai daripada yang lain." Akhirnya Pat‐jiu kai‐ong kalah suara dan ketujuh
orang itu telah mengelurkan senjata masingmasing, membentuk lingaran
besar dan bergerak perlahan‐lahan saling lirik , siap untuk menghantam
siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar‐benar
merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh! Sin Liong yang
masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi
silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masingmasing
untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian
cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan
PART 35
gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat
jelas bayangan siapa. Memang hebat pertandingan ini karena dipandang
sepintas lalu, seolah‐olah setiap orang melawan enam orang musuh dan
kadang‐kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee‐tok menyerang Pat‐jiu Kaiong
dengan siang‐kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri
kanan. Pat‐jiu Kai‐ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang
Lam‐hai Seng‐jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin‐siauw Siucai!
Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee‐tok itu
bertemu dengan tombak di tangan Thian‐he Te‐it dan tongkat Thian‐tok,
sehingga seolah‐olah dua orang ini melindungi Pat‐jiu Kaiong. Pertandingan
kacau balau dan hanya Kiam‐mo Cai‐li yang benar‐benar amat cerdiknya. Dia
tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar‐putar, selalu
menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak
menyerang siapa‐siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan
rambutnya untuk membuat kacau dan kadang‐kadang juga menekan lawan
apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah
untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa
membantu siapa‐siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu
rata‐rata adalah orang‐orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah
mudah dibokong oleh Kiam‐mo Cai‐li, bahkan lama‐lama akalnya ini
ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini
sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacaubalau
itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan
membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluapluap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu‐tahu dia
melihat seorang laki‐laki duduk ongkang‐ongkang di atas cabang pohon
besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki‐laki itu memandang
ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri
memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang
sebatang alat tulis tiada hentinya mencoratcoret di atas kain putih itu,
seolah‐olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang
menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong
yang terheran‐heran itu memperhatikan. Orang laki‐laki itu kurang lebih
empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di
bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas
dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya
tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik‐baik,
pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai
kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga
mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya
bersinar‐sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat‐coret melukis
pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa
mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak
itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke
arah orang itu. Dia mendengar bentakan‐bentakan nyaring dan tidak tahu
PART 36
bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian‐he Te‐it telah terkena
hantaman tongkat Thian‐tok di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat‐jiu
Kai‐ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di
antara Siang‐kiam di tangan Tee‐tok, sedangkan Lam‐hai Seng‐jin dan Ginsiauw
Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi
muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak
sampai mengalami luka dalam yang parah. Sin Liong melihat betapa laki‐laki
di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil
dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon,
memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan
tubuhnya melayang turun. "Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru.
"Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang
anak kecil benar‐benar tak tahu malu sama sekali!" Tujuh orang itu terkejut
ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu.
Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang
yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan
untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin‐tong
yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur
dan masing‐masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah
laki‐laki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara
mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
JILID 3 ******* kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan
memaki kami?" bentak Patjiu Kai‐ong sambil mengusap pundaknya yang
berdarah. Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus
kecil?" bentak pula Thian‐he Te‐it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung
bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya. Laki‐laki itu melangkah maju
menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sama sekali tidak
takut, bahkan wajahnya itu berseri‐seri memandang mereka seorang demi
seorang. kemudian, setelah berada di tengah‐tengah sehingga terkurung, dia
berkata, " Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik
terancam oleh perebutan orang‐orang pandai di dunia kang‐ouw. Ketika tiba
disini dan melihat lagak kalian, mau tidak mau aku masuk dan hatiku
memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang sungguh‐sungguh
masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Pat‐mo‐tung‐hoat yang
berdasarkan Ilmu Pedang Pat‐mo‐kiam‐hoat," katanya sambil menuding ke
arah Pat‐jiu Kai‐ong. Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang
mengenal ilmu tongkatnya, padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan
kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan ilmu otngkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee
Thian Si Raja ******, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi
gerakan Raja ******, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus! Dia menuding
arah Thian‐tok. "Brakkk!!" Batu besar yang berada di samping Thian‐tok
hancur berantakan karena dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali
mendengar ucapan yang dianggapnya menghina itu. "Manusia lancang,
berani kau menghina Thian‐tok?" bentaknya dan tongkatnya sudah diputar
PART 37
hendak menyerang. Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!" Dan aneh,
suaranya demikian berwibawa sehingga Thian‐tok sendiri sampai tergetar
dan menghentikan gerakan tongkatnya. "Aku melihat kalian masing‐masing
memiliki kepandaian khusus namun masih mentah semua. Aku tidak
membohong dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seorang demi
seorang, akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang kalian
pergunakna dalam pertandingna kacau balau tadi. Hayo siapa yang maju
lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!" Ucapan ini lebih
mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan, maka Patjiu
Kai‐ong melupakan pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat ke
depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba
kaubuktikan kementahan ilmu tongkatku!" Setelah berkata demikian, Raja
Pengemis ini menyerang, menggunakan tongkatnya untuk menusuk,
kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan memutar tongkat ke atas
menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adalah gerakan pedang,
dia ambil dari Ilmu Pedang Pa‐mo‐kiam‐hoat. Hal ini adalah rahasianya,
maka dia heran sekali mendengar orang tampan gagah itu mengenal ilmu
tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya. Enam orang tokoh yang lain
adalah orang‐orang yang telah terkenal, maka mereka menahan kemarahan
dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini benarbenar
memiliki kepandaian aneh dan apakah benar‐benar selihai mulutnya
yang amat sombong itu. Serangan Pat‐jiu Kiam‐ong itu tidak ditangkis, akan
tetapi tubuh orang itu tiba‐tiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong
melihat betapa tubuh orang itu tahu‐tahu telah melayang turun dari atas
pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang pohon, yang daunnya telah
dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak tampak,
dan entah bagaimana cepatnya tahu‐tahu dia telah membikin sebatang
tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat‐jiu Kai‐ong.
Begitu dia turun, Pat‐jiu Kaiong telah menyerangnya dengan kemarahan
meluap. "Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat‐mo‐kiam‐hoat (Ilmu Pedang
Delapan Iblis) yang kau rubah menjadi Patmo‐ tung‐hoat?" Dan orang itu pun
kini mengimbangi permainan ilmu tongkat Pat‐jiu Kai‐ong dengan gerakan
yang sama! Jurus demi jurus dimainkan orang itu untuk menangkis dan balas
menyerang, namun bedanya, serangannya jauh lebih cepat dan lebih kuat
tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu! Tokoh‐tokoh lain hanya
menduga‐duga, mengira orang baru itu meniru gerakan Pat‐jiu Kai‐ong, akan
tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang bukan lain
adalah ilmu tongkatnya sendiri yang digubahnya sendiri! Dia menjadi
bingung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan
dalam belasan jurus saja, tiba‐tiba terdengar suara keras, tongkat di tangan
Pat‐jiu Kaiong patah dan si Raja Pengemis ini sendiri terpelanting dan
mukanya pucat sekali karena tadi ujung tongkat lawannya telah menyambar
dahinya tepat diantara mata dan kalau dikehendakinya, tentu dia telah tewas,
akan tetapi orang aneh itu hanya mengguratnya saja sehingga kulit di bagian
itu robek dan berdarah. Tahulah dia bahwa sia telah berhadapan dengan
PART 38
seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuinya, tahu pula
bahwa nyawanya diampuni maka tanpa banyak cakap dia lalu mundur dan
berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik, "Aku mengaku kalah!" Tentu
saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi, dalam
pertandingan kacau balau, telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis, dan
mereka maklum bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu
sendiri merupakan senjata pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di
samping tenaga sinkang si Kakek Jembel yang amat kuat. Namun, dalam
belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku kalah, tongkatnya patah dan
diantara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka mengira bahwa orang
yang baru datang itu hanya meniru‐niru ilmu silat Pat‐jiu Kai‐ong! "Si Jembel
tua bangka memang *****!" Tiba‐tiba Thian‐he Te‐it Ciang Ham meloncat ke
depan, tombaknya melintang di tangannya, sedangkan tangan kirinya
dikepal, tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal dengan
sebutan Kang‐jiu(Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam! Orang itu
tersenyum sabar. Hemm, jadi tadi adalah Pat‐jiu Kai‐ong, ketua Pat‐jiu Kaipang
yang terkenal? Heran ilmunya masih serendah itu sudah berani malang
melintang di Heng‐san. Dan kau ini siapakah? Ginkangmu cukup lumayan
akan tetapi permainan tombakmu belum patut disebut Sin‐jio(Tombak
Sakti), dan pukulan itu, tentu yang dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak
cocok dengan sebutannya karena terlalu lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi
kebiasaannya kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang
jarang itu bergoyang‐goyang menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si
******* sombong! Tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku
adalah Thianhe Te‐it (Nomor Satu Sedunia) ketua dari Kang‐jiu‐pang di
Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!" Kembali orang itu meloncat
ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan seluruh gerak‐geriknya
melihat bahwa orang itu benar‐benar memiliki ginkang yang sukar
dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan
kecepatan yang luar biasa sekali, lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama
kemudian sudah melayang turun membawa sebatang cabang yang
panjangnya sama dengan tombak di tangan Ciang Ham, bahkan ujungnya
juga sudah diruncingkan, entah bagaimana caranya! "Nah, coba mainkan ilmu
tombakmu dan pukulan Lengan Bajumu yang masih mentah itu." Thian‐he
Te‐it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan
keras dia menerjang, tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak
berubah menjadai belasan banyaknya, semua mata tombak itu seolah‐olah
menyerang bagian‐bagian tertentu dari lawannya! Namun orang itu pun
menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang sama, bahakan
mata "tombaknya" berubah menjadi dua puluh lebih, membentuk bayangan
tombak yang menyilaukan mata dan terjadilah pertandingan tombak yang
amat aneh karena gerakan mereka sama. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati Thian‐he Te‐it Ciang Ham. Ilmu tombak itu adalah ciptaannya
sendiri dan selama ini belum pernah diajarkan kepada siapapun juga,
PART 39
merupakan kepandaian khasnya yang ampuh. Akan tetapi sekarang dia
melihat orang ini mainkan ilmu tombaknya dengan gerakan yang lebih cepat
dan lebih kuat! Marahlah dia. "***** kau!" dia memaki dan kini tombaknya
membuat lingkaran besar, menyambarnyambar diatas kepala sedangkan
lengan kirinya melakukan pukulan maut karena lengan itu seolah‐olah
merupakan sebuah senjata baja yang kuat sekali. "Bagus," orang itu berseru,
tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan dan terdengar suara
"krekkk" ketika ujung tombak Thian‐he Te‐it patah disusul bertemunya dua
buah lengan. "Desss...!" Thian‐he Te‐it Ciang Ham mengaduh, melemparkan
tombaknya yang patah, menggunakan tangan kanan mengurut‐urut lengan
kirinya. Lengan kiri yang terkenal dengan sebutan Lengan Baja itu, yang
berani menangkis senjata tajam lawan, begitu bertemu dengan lengan lawan,
berubah menjadi seperti bambu bertemu besi. Tulangnya retak dan sakitnya
bukan main! Dia pun bukan anak kecil, seketika tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi,
membuat dia seolah‐olah berhadapan dengan gurunya, maka dia meloncat ke
belakang, meringis dan berkata nyaring, "Aku kalah!" Hening sejenak. Lima
orang tokoh lain terheran‐heran, hampir tidak dapat percaya akan peristiwa
yang telah terjadi. Biarpun mereka mulai merasa heran dan gentar, namun
rasa penasaran membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu
benar‐benar lihai. Mereka hendak membuktikan sendiri apakah benar orang
aneh ini dapat memainkan ilmu istimewa mereka yang selama ini
mengangkat nama mereka di tempat tinggi di dunia kang‐ouw. "Hayo, siapa
lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?" Orang itu sengaja
menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil
mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi. "Aku ingin
mencoba!" Thian‐tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti
seekor kera dan tangan kirinya menggaruk‐garuk pantat, tangan kanan
memegang tongkat Kim‐kauw‐pang itu memutar‐mutar tongkatnya. "Nanti
dulu," kata orang itu. "Yang bertombak tadi, bukankah dia yang terkenal
sekali sebagai ketua Kangjiu‐ pang di Secuan? harap Pangcu (Ketua) menjaga
agar anak buahmu tidak merendahkan nama Kang‐jiupang dengan
melakukan perbuatan melanggar hukum dan memperbaiki ilmu silatnya."
Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyang‐goyang karena
marahnya. "Dan Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah
memang hendak meniru lagak seekor ******? Kalau begitu, tentulah Anda
yang berjuluk Thian‐tok, yang kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian,
terkenal dengan Ilmu Tongkat Kim‐kauw‐pang dan Ilmu Silat Sin‐kauw‐kun."
"Dugaanmu benar, akulah Thian‐tok! Siapakah namamu, manusia sombong?"
Thian‐tok Bhong Sek Bin membentak marah. "ataukah kau tidak berani
mengakui namamu dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri
ilmu orang lain?" Biarpun diserang dengan kata‐kata yang menghina itu,
orang ini tersenyum saja dan menjawab, "Namaku tidak ada perlunya
kauketahui. Kalau aku tidak mampu mengalahkan engkau dengan ilmumu
sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri dan boleh kau perbuat
PART 40
sesukamu terhadap diriku." Thian‐tok lalu mengeluarkan suara memekik
nyaring seperti seekor kera marah, akan tetapi sebelum dia menyerang lakilaki
aneh itu telah menyambar tombak cabang pohon yang tadi dilemparnya
ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan jari
tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah dan
berubahlah tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama
dengan Kim‐kauwpang di tangan Thian‐tok! Thian‐tok sudah menerjang
dengan gerakan lincah sekali. Kim‐kauw‐pang ditangannya diputar‐putar
sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan pekik‐pekik dahsyat dan
tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar tongkat sendiri. Namun
dengan enaknya orang itu pun memutar tongkatnya, serupa benar dengan
gerakan Thian‐tok bahkan mulutnya juga mengeluarkan pekik seperti
****** itu dan terjadilah pertandingan yang aneh dan lucu, seolah‐olah
bukan sedang bertanding, melainkan Thian‐tok sedang berlatih silat dengan
gurunya. Gerakan mereka sama, akan tetapi gerakan orang itu lebih cepat
dan lebih mantap. Kembali belum sampai dua puluh jurus terdengar suara
keras, Kim‐kauw‐pang di tangan Thian‐tok patah‐patah menjadi tiga potong
dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan muka pucat karena tulang
pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan! Melihat betapa bekas
suhengnya kalah, Tee‐tok marah sekali. Siang‐kiam di punggungnya telah
dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju. "Keluarkan
senjatamu, manusia licik! Akulah Tee‐tok, hayo lawan siang‐kiam‐ku ini kalau
kau memang gagah!" Orang itu menjura, "Aha, kiranya Tee‐tok Siangkoan
Houw yang terkenal. Kulhat tadi ilmu pedangmu adalah pecahan dari Huiliong‐
kiamsut, dan kau pandai pula menggunakan Ilmu Silat Pek‐lui‐kun.
Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih mentah." "Tak usah banyak
cakap! Lawanlah ilmuku!" Bentak Tee‐tok dengan marah dan dia sudah
menerjang maju. Laki‐laki iut mematahkan tongkatnya menjadi dua potong
tongkat yang sama dengan pedang‐pedang di kedua tangan Tee‐tok, dan
begitu dia menggerakkan kedua tangannya, tampaklah sinar‐sinar bergulung
dengan gerakan yang persis seperti gerakan Tee‐tok yang memutar sepasang
pedangnya. Kembali terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkalikali
terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun
anehnya, tongkat dari cabang pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat
putus, bahkan kedua tangan Tee‐tok selalu terasa panas dan perih setiap kali
pedangnya bertemu tongkat! Dengan teliti Tee‐tok memperhatikan gerakan
orang dan dia terkejut. Memang benar bahwa orang itu mainkan jurus‐jurus
ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus ilmu pedangnya, bahkan
telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang itu jauh lebih
lincah dan lebih kuat daripada dia. Lewat lima belas jurus, Tee‐tok berseru,
"Aku mengaku kalah!" Dia meloncat mundur, menyimpan pedangnya dan
mengangkat tangan menjura ke arah orang itu sambil berkata, "Harap kau
menerima penghormatanku dengan Pek‐lui‐kun!" Kelihatannya saja dia
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun
dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang
PART 41
mendatangkan hawa panas dan yang dapat membunuh lawan dari jarak tiga
empat meter tanpa tangannya menyentuh tubuh lawan! Itulah pukulan Peklui‐
kun(Kepalan Kilat) yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat! Orang
itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya, sambil tersenyum dia pun
mejura dengan gerakan yang sama. Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak
oleh mata. Di tengah udara, diantara kedua orang itu terjadi benturan tenaga
dahsyat dan akibatnya membuat Tee‐tok terpental ke belakang, terhuyung
dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena
tenaganya Pek‐lui‐kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin
pucat. "Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!" kata Tee‐tok dengan jujur,
dan memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran.
"Engkau luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!" Ginsiauw
Siucai berkata sambil melangkah maju. "Aku tahu bahwa agaknya aku
pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat
engkau mainkan ilmu‐ilmuku yang tentu kauanggap masih mentah pula. Aku
adalah Gin‐siauw Siucai dari Beng‐san, senjataku adalah suling dan pensil
bulu entah kau bisa mainkannya atau tidak." "Gin‐siauw Siucai, sudah lama
aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku tentu saja
dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu, dan
aku pun memiliki sebatang pensil bulu." Orang itu memungut sebatang
ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin‐siauw
Siucai, juga dia mencabut keluar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk
mencoretcoret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur.
Akan tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin‐siauw Siucai adalah pensil yang
dibuat khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan
sebagai senjata sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di
tangan orang itu hanyalah sebatang pensil biasa saja. Berkerut alis Gin‐siauw
Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah kepadanya. Akan
tetapi karena orang itu tersenyum‐senyum dan meniru menggerak‐gerakkan
pensil dan "suling" di tangannya, dia lalu berkata, "Apa boleh buat, engkau
sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan
aku yang menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau
akan menjadi makin terkenal, sungguhpun kami belum tahu siapa kau. Nah,
mulailah!" Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya
bergerak lebih dulu. Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil
menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata, "Lihat baik‐baik, Siucai.
Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan pensilmu?" Kedua tangan orang
itu bergerak dan Gin‐siauw Siucai terkejut mengenal jurus‐jurus maut dari
kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya! Tentu saja
dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis kedua
senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa
kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih
kalah jauh. Namun, Siucai ini merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia
bertapa di Beng‐san menciptakan ilmu‐ilmu silat tinggi yang dirahasiakan
dan belum pernah diajarkan kepada siapapun juga. Bagaimana sekarang
PART 42
telah dicuri oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan matimatian,
mengeluarkan jurus‐jurus paling ampuh dari kedua senjatanya,
namun karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung. Seperti juga
yang lain dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus. Terdengar
suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil patah‐patah bertemu
dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura
dan berkata, "Kepandaian Taihiap(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku
yang bodoh mengaku kalah." Orang itu tersenyum dan memuji "Tidak
percuma julukan Gin‐siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu."
Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Ginsiauw
Siucai menjadi makin kagum dan terheran‐heran. "Sekarang tiba
giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat yang gagah. Akan tetapi karena
sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat
kautiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak
kulihat apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan
kosong pinto sendiri?" Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam‐diam ia
terkejut. Tak disangkanya tosu ini amat cerdik. Dia belum pernah melihat
tosu ni mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan dapat
menirunya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tentu saja saya akan
melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum bertanding, saya harap
Totiang tidak keberatan untuk memperkenalkan nama." "Siancai...! Anda
licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau
sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah Lam‐hai Seng‐jin yang
berkepandaian rendah..." "Aihh, kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari pulau
kura‐kura? Telah lama mendengar nama Totiang, girang hati saya dapat
bertemu dan bermain‐main sebentar dengan Totiang." "Nah, siaplah!" Lamhai
Seng‐jin sudah memasang kuda‐kuda sambil memandang tajam ke arah
lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan ini akan dapat
menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri! Diam‐diam orang itu
memperhatikan dan tersenyum, lalu dia pun memasang kuda‐kuda yang
sama, kuda‐kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian‐sin‐kun (Tangan Kipas
Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya
sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun mengandung
daya pukulan maut yang dahsyat sekali. "Hiiaaatttttt....!!" Tosu itu sudah
menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya mengelak
cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya, akan
tetapi betapa kagetnya melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik
berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru
saja dia pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat
mengelak untuk memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa
elakan orang tadi dengan gerakan aneh jauh lebih cepat dan bahkan sambil
mengelak orang itu dapat balas menyerang! Kembali Lam‐hai Seng‐jin
menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti juga tadi
lawannya meloncat dan tahu‐tahu telah membalasnya dengan serangan dari
jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin
PART 43
lama dia menjadi makin penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan,
jurus‐jurus maut dari Bian‐sin‐kun sampai delapan jurus banyaknya. Semua
jurus dapat dihindarkan orang itu dan tiba‐tiba orang itu berseru, "Totiang,
jagalah serangan Ilmu Silat Bian‐sin‐kun!" Dan dengan gencar kini orang itu
menyerangnya dengan jurus‐jurus yang tadi sudah dikeluarkannya, delapan
jurus paling ampuh dari Bian‐sin‐kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan
main, Lam‐hai Sengjin sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk
balas menyerang sehingga dia terancam dan terdesak hebat oleh ilmu
silatnya sendiri. Biarpun dia tahu bagaimana utnuk memecahkan jurus‐jurus
serangan dari Bian‐sin‐kun, namun karena kalah tenaga dan kalah cepat,
akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya pucat
dan dia harus cepat‐cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak
terluka. "Siancai...engkau benar‐benar seorang manusia ajaib..." akhirnya dia
berkata sambil bangkit perlahanlahan. "Lepaskan aku...!" tiba‐tiba terdengar
seruan halus dan semua orang menengok ke arah Sin‐tong dan melihat
betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri Kiam‐mo Cai‐li. "Hei,
lepaskan dia!" Enam orang kakek sakti maju berbareng. "Mundur!" Kiam‐mo
Cai‐li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan
itu ke leher Sin Liong. "Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!" Melihat
ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua. Laki‐laki
aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah
maju dan suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata, "Kiam‐mo
Cai‐li, lepaskan bocah yang tidak berdosa itu!" "Hi‐hik, enak saja kau. Mundur
atau dia akan mampus di ujung payungku!" Dia menempelkan ujung payung
yang runcing itu ke leher Sin Liong yang tak mampu bergerak dalam pelukan
lengan kiri yang kuat itu. Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang
lain, laki‐laki itu masih tersenyum dan masih melangkah maju, membuat
Kiam‐mo Cai‐li mundur‐mundur dan dia berkata, "Bocah itu tidak ada
hubungan apa‐apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan tetapi
demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu
kepada Beruang Es untuk menjadi makanannya!" Berkata demikian, laki‐laki
itu menanggalkan jubah luarnya. "Kau...kau..Pangeran Han Ti Ong...."
"Pangeran Han Ti Ong...!" Para tokoh kang‐ouw itu berteriak. "Pangeran
Pulau Es....!" Kiam‐mo Cai‐li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib
itu tentu dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan
lengking panjang rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher Pangeran
Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang
dahsyat. Laki‐laki itu, yang disebut Pangeran Han Ti Ong, tenang‐tenang saja,
tidak mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular
membelit lehernya, akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk,
dia menangkap payung itu dan sekali menggeakkan tangan pedang payung
itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung itu membabat putus
rambut yang melibat lehernya. Tangannya tidak berhenti sampai di situ saja.
Selagi Kiam‐mo Cai‐li menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan
andalkan itu putus setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong
PART 44
bergerak, dan tahu‐tahu tubuh Sin Liong dapat dirampasnya setelah lebih
dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga tubuh Kiam‐mo Cai‐li
menjadi lemas dan seperti lumpuh! Dengan Sin Liong dalam pondongan
lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi tujuh
orang itu, tidak mempedulikan Kiam‐mo Cai‐li yang mangeluh dan
merangkak bangun. "Apakah masih ada diantara kalian yang hendak
mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!"
"Siancai....!" Lam‐hai Sian‐jin menjura, "Harap Ong‐ya maafkan pinto yang
tidak mengenal Ong‐ya sehingga bersikap kurang ajar." "Maafkan aku,
Pangeran." "Maafkan saya..." Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya
Kiam‐mo Cai‐li saja yang tidak minta maaf, bahkan wanita ini berkata,
"Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja, Kiam‐mo Cai‐li tidak biasa
membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!" "Hemmm, terserah
kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian, orang‐orang
tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah." Dengan kepala
menunduk, tujuh orang tokoh kang‐ouw yang namanya terkenal itu
meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan
kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan‐bayangan mereka berkelebat
dan sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu. "Hemmm...berbahaya..." Han
Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil
memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya. "Locianpwe selain
sakti dan budiman juga cerdik sekali..." Sin Liong berkata memuji sambil
memandang wajah Pangeran itu dengan kagum. Han Ti Ong mengerutkan
alisnya. "Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya
kau mengatakan aku cerdik?" "Locianpwe mengalahkan mereka, berarti
Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan mereka
lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat gerakangerakan
mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka
sendiri yang sudah Locianpwe catat berarti Locianpwe cerdik sekali." Wajah
yang gagah itu berubah, mata yang tajam itu memandang heran dan kagum,
kemudian dia berkata, "Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat
melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk
mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau
bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan
mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju
bersama mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau
sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!" Melihat orang itu membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat
sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ maka dia berseru,
"Locianpwe....". Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia
merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang
kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu
dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan
langkahnya, lalu menoleh dan bertanya, "Ada apa lagi?" Dengan masih
berlutut Sin lIong berkata, "Locianpwe, sudilah kiranya Locianpwe menerima
Share This Thread