PART 135
Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu,
belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur
jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua
sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu
tak dapat menahan bercucurannya air matanya. "Soan Cu, mengapa kau
menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum
terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak
sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun
sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini
wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi! "Ah,
tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang
sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh
menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggakan
pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga." Sin Loing tersenyum dan
mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut
dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya
melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati
manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan
di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu
tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik buruk,
senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di
luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di
luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang
menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa,
senang, susah, baik, buruk, dan lain‐lain hal yang saling bertentangan itu.
Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata
terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian.
tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena
bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa,
melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh
pertentanganpertentangan itu. Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan
Cu meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air yang
tenang seperti sebuah pisau membelah agar‐agar biru. Soan Cu sudah
melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan
wajah berseri dan mata bersinar‐sinar penuh harapan akan masa depan yang
berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia
mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek
moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju
kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri! Pusat
perkumpulan Pat‐jiu‐kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan)
berada di lereng Pegunungan Hen‐san. Dari luar, tempat itu memang pantas
disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di
dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali
tinggi orang, pagar yang butut dan bambu‐bambu itu mengingatkan orang
akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi
PART 136
kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheranheran
menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana
kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat‐jiu Kai‐ong,
Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat‐jiu Kaipang di lereng Hengsan! Patjiu
kai‐ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia
masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu
butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan
gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja
pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai
seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan
keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di
waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis elaperan yang
berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan
pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang‐senang makan minum
dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya
yang muda‐muda, cantik dan genit. Pat‐jiu Kai‐ong tinggal tinggal didalam
istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi
sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang
pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan pengawalpengawalnya.
Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh‐tokoh dalam patjiu
Kai‐pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau
juga murid‐murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu
melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di
dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka. Adapun Pat‐jiu Kaipang
mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota‐kota.
Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama
besar Kai‐ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangansumbangan
yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka
setorkan kepada Pat‐jiu kai‐ong. Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya
raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain
pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili
ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Patjiu
Kai‐ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya
di Heng‐san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi
meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih
sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin‐tong Si Anak Ajaib
karena dia pada waktu itu ingin cepat‐cepat menyempurnakan ilmu yang
sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat‐ciang‐hoatsut (Ilmu Sihir
Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu
dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena
seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin‐tong dibawa pergi oleh
pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan
orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini
dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi
sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan
PART 137
seorang bocah! Pada suatu hari , pagi‐pagi sekali, selagi Pat‐jiu Kai‐ong
seperti biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian
sebagai seorang pengemis berjalan‐jalan di dalam taman bunga di belakang
istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi
masih tebal, tiba‐tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan
melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja
Pengemis. "Hemm, siapakah pagi‐pagi begini sudah datang menggangguku?"
Pat‐jiu Kai‐ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa
penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan
terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah
seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang
muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu
mengaku sebagai seorang "sahabat lama." Ketika dia keluar membawa
tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat‐jiu Kai‐ong
memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan
pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain
menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia
kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas
tahun. Sampai lama pandang mata Pat‐jiu Kai‐ong melekat kepada dua orang
muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan
andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan
mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu
tertawa bergelak. "Ha‐ha‐ha‐ha! Pat‐jiu Kai‐ong kurasa engkau belum begitu
pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan
Swi Nio, ha‐ha‐ha! Akan tetapi Pat‐jiu Kai‐ong mengerutkan alisnya, sama
sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata
terheran kepada laki‐laki yang berdiri di depannya, seorang laki‐laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning,
dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang
berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi. "Wah, Pat‐jiu Kai‐ong, benarbenar
engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
"Ahhhh...!" Pat‐jiu Kai‐ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat
membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang?
maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal
sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini
kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan
lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang
dahulu menantang pibu kepadaku. Ha‐ha‐ha!" Dara berusia lima belas tahun
yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap
Pangcu sudi memaafkan saya." "Aih‐aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang
mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!" "Ha‐ha‐ha, Pangcu. Bukankah
engkau memang Ketua dari Pat‐jiu Kai‐pang? Mengapa tidak mau disebut
Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata. "Wah, jangan berkelabar. Anakanak
yang baik, sebut saja aku paman. marilah masuk, kita bicara di dalam."
Pat‐jiu‐kai‐ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas
PART 138
beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang
baik untuk tamuku yang terhormat, Lu‐san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan
dua orang putera‐puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat‐jiu‐kai‐ong
menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawatawa mereka memasuki
istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursikursi
yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi
keindahan ruangan itu, Lu‐san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama
sudah aku mendengar bahwa Pat‐jiu‐kai‐ong tinggal disebuah istana yang
megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar.
Hebat sekali!" Sejak tadi Pat‐jiu‐kai‐ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi
itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik
jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha‐ha, kau terlalu memuji,
sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan
meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang
penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."
Kedua orang tua ini lalu bercakap‐cakap dengan gembira membicarakan
masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu‐san Lojin, seorang ahli silat
dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan
dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke
puncak Lu‐san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng
putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin‐tong,
dalam kekecewaannya Pat‐jiu Kai‐ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan,
menculik dan membunuhi bocah‐bocah yang dianggapnya cukup sehat.
Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu‐san, dia berada dalam keadaan
keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh
anak laki‐laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum
mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri
dengan ilmu hitam Hiat‐ciang Hoat‐sut. Karena hatinya yang penasaran
mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin‐tong,
maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu
hitam itu, dia terlampau terburu‐buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu
itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia
terhuyung‐huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lusan.
Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya
maut maka hatinya menjadi khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu
keadaannya terlihat oleh Lu‐san Lojin yang sedang turun gunung bersama
putera‐puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun,
sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu‐san Lojin cepat menolong Patjiu
Kai‐ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum
bahwa Pat‐jiu Kai‐ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang
ini naik ke puncak Lu‐san. Di situ Pat‐jiu Kai‐ong diobati Lu‐san Lojin sampai
sembuh . Selama satu bulan berada di Lu‐san, raja pengemis ini menerima
perawatan yang amat baik dari Lu‐san Lojin, maka dia merasa berterima
kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat
baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena
PART 139
kebaikan hati Lu‐san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang
anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk
mengganggu anak laki‐laki itu. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang
ditolongnya adalah Pat‐jiu kai‐ong ketua Pat‐jiu kai‐pang, Lusan Lojin
terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang
namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah
sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling
mengunjungi dan saling membantu. "Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak
mengenal budi," setelah makan minum Pat‐jiu Kai‐ong berkata kepada
tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu‐san,
bukan kalian yang jauhjauh datang mengunjungi aku." "Ahhh, mengapa kau
menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masingmasing
sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya
kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng‐san, maka aku teringat
kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati Pegunungan
Hengsan mencarimu." "Terima kasih, engkau baik sekali, Lu‐san Lojin. Akan
tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?" Lu‐asn
Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang
puterinya seolah‐olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya
kepada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat‐jiu
Kai‐ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara
sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui
urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya . "Kami baru
saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata siasia
belaka perjalanan kami untuk mencari Tee‐tok Siangkoan Houw." "Teetok
Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu,
Lu‐san Lojin?" "Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil,
antara Tee‐tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan
puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.
Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee‐tok
sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya,
namun selalu sia‐sia. Akhir‐akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di
Lokyang, akan tetapi setelah jauh‐jauh kami bertiga mencarinya di sana,
ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih
selalu aneh dan penuh rahasia." JILID 9 "Ha‐ha‐ha, ala salahmu sendiri!
mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee‐tok?" "Pat‐jiu
Kai‐ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami
mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka
menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee‐tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya,
dan kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa‐gesa pulang." Lu‐san Lojin
menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami
hanya dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi‐pagi kami harus
melanjutkan perjalanan." "Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk
menjamu kalian sepuas hatiku." Tiba‐tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar
PART 140
istana raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi
Kai‐ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut. "Ada apa? mau apa
kalian mengganggu kami?" Kai‐ong membentak marah dan menurunkan
cawan araknya keras‐keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
"Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada
peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua." "Apa yang
terjadi? Hayo cepat ceritakan." Dengan wajah ketakutan, seorang di antara
dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar
istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar
dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat‐jiu Kaiong.
Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan
kadang‐kadang mengadunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan
memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan memuji‐mujinya
sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba‐tiba ayam jago itu
menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati,
dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah
sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya.
"Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada
bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat
menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago
dan...." "Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh
orang. "Kalian ***** semua! Mana kain yang ada tulisan itu!" Kepala pengawal
yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan
sehelai kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan hurufhuruf
kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda‐noda darah, darah ayam
jago tadi. Akan tetapi Pat‐jiu Kai‐ong yang menerima kain itu, sejenak
menjadi bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia
buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu
kepada Lu‐san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!" Lu‐san
Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya
memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa
artinya ini?" "Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat‐jiu Kai‐ong bertanya,
suaranya membentak. Lu‐san Lojin lalu membaca huruf‐huruf itu. Malam ini,
semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat‐jiu Kai‐ong dari binatang
sampai manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es. "Ratu Pulau Es...?" Patjiu
Kai‐ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak mengenalnya. Hai pelawak dari
manakah yang main‐main seperti ini? Ha‐ha‐ha, biar dia datang hendak
kulihat magaimana macamnya!" "Kai‐ong, harap jangan main‐main. Biarpun
hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya
penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang
terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...." "Ha‐ha‐ha, siapa perduli?
Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah
mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak
membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He,
pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?" Dua orang pengawal itu
PART 141
mengangguk. "Sudah Pangcu." "Apa kalian takut?" "Ti... tidak, Pangcu, Hanya...
hanya amat aneh itu..." "Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua
belas orang melakukan penjagaan yang ketat terutama malam ini. Kita jangan
mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia
dan kita permainkan dia, ha‐ha‐ha!" "Kai‐ong harap hati‐hati...." kata Lu‐san
Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu. "Ha‐ha‐ha, mengapa
khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang,
setelah kini Hiat‐ciang Hoat‐sut kulatih sempurna, aku takut apa?" Kakek dari
Lu‐san itu kelihatan ragu‐ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia
takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama dua orang
anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap‐cakap sampai
lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilahkan mengaso sejenak dalam
kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan
makan minum lagi. Sekali ini mereka benar‐benar takjub. Melihat Pat‐jiu Kaiong
kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah!
Mengignat betapa siang tadi Kai‐ong merupakan seorang pengemis yang
berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja, benar‐benar membuat Lusan
Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan
hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap
daripada siang tadi! "Ha‐ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai
kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah
hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat‐jiu Kai‐ong
mengusap‐ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut,
matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu
dia berkata, kata‐kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para
tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati, "Lu‐san Loji,
sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang
hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan
tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang‐senang dengan aku dalam
kamarku, ha‐ha‐ha!" "Kai‐ong!" Lu‐san Lojin membentak. "Apa... maksud
kata‐katamu ini?" Pat‐jiu Kai‐ong memandang tamunya sambil tersenyum
lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik
jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka
bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung
dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan mereka, tidur‐tiduran
dengan mereka sejenak." "Kai‐ong, apa kau gila??" Lu‐san Lojin hampir tidak
dapat percaya akan pendengaranya sendiri. "Eh, mengapa? Apa salahnya aku
tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh‐heh, tak tahan aku melihat
puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan
ganteng ini. Anak‐anak baik, marilah kalian layani pamanmu..." "*******!"
Lu‐san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di
belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat‐jiu Kai‐ong!
Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu
ini. Mau apa engkau dengan anak‐anakku?" "Ha‐ha‐ha! Siapa main gila?
Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa‐apa di sini. Akan tetapi
PART 142
begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh ayamku dan
mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu?
Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat‐jiu Kai‐ong tidak pernah menyianyiakan
kecantikan seorang dara remaja seperti putermu ini dan puteramu
yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan
sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat‐ciang
Hoat‐sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang
berani datang!" "Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang
busuk!" Lu‐san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya.
Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai bekas murid Hoasanpai
yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil
renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat,
mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya
dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat‐jiu
Kai‐ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai‐ong yang
amat lihai. Sambil tertawa, Kai‐ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang
lebar dua kali dan kakek Lu‐san itu terpaksa harus menarik kembali kedua
tanganya karena dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang
diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung
lengan baju itu! dua orang naknya yang sudah marah sekali karena merasa
dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang
menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan
dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher. "Ha‐ha, bagus!
Kalian benar‐benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolaholah
tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu
menyambar dekat, tiba‐tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang
pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi
Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang
mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan
tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat‐jiu Kaiong.
Namun usaha mereka ini sia‐sia belaka, pedang mereka tak dapat
dicabut, seolah‐olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat. "Manusia tak
kenal budi!" "wirrrr... tar‐tar!" Pat‐jiu Kai‐ong merasa terkejut melihat
menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu‐san Lojin melolos
sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai
senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan
memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk
lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi
sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya. "Krekkkrekkk!"
dua batang pedang itu patah‐patah dalam cengkraman Pat‐jiu Kaiong
dan sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk,
raja pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke
arah Lu‐san Lojin. "Trang‐tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar
ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu‐san
Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa.
PART 143
Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di
pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan
begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya
dan tidak berguna membantu ayah mereka. Pada saat itu, muncullah empat
orang pengawal yang mendengar suara ribut‐ribut. Melihat mereka, Pat‐jiu
Kai‐ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai
mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak
menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan
sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi,
namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid‐murid terpandai
dari Pat‐jiu Kai‐ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan
tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat ditotok dan
roboh dan lumpuh. Ha‐ha‐ha, belenggu kaki tangan mereka baik‐baik...
kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha‐ ha!" Pat‐jiu Kai‐ong
tertawa sambil menyambar tongkatnya. Setelah dia bertongkat, maka kini dia
menghadapi Lu‐san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu‐san itu marah
bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia
mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat‐jiu Kai‐ong
menghadangnya sambil tertawa‐tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya
sehingga terpaksa kakek Lu‐san itu melayaninya bertanding. Pertandingan
yang amat seru dan diam‐diam Pat‐jiu Kai‐ong harus mengaku bahwa ilmu
kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat. "Pat‐jiu Kaiong,
benar‐benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan
nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu‐san
Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya. "Ha‐haha,
dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian
datang dengan niat buruk!" "Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut
pautnya dengan si pembunuh ayam!" "Ha‐ha‐ha, Lu‐san Lojin! Kalian
menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan ***** itu
bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat‐jiu Kai‐ong
menyambar ganas. "Plak‐plakk!" Ujung sabuk kakek Lu‐san menangkis dua
kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa
tenaga Si Raja Pengemis itu benar‐benar amat kuat. "Pat‐jiu Kai‐ong, kau
salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang.
Lepaskan kedua anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi
musuh gelap itu." "Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu‐san Lojin,
dengan baik‐baik. Aku tergila‐gila melihat anakanakmu. Pinjamkan mereka
kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh,
baru aku akan membebaskan kalian." "Iblis busuk!" Lu‐san Lojin marah
sekali dan dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk
melawan raja pengemis ini karena dia maklum bahwa betapapun juga hati
yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu‐satunya jalan
untuk menolong anak‐anaknya adalah melawan mati‐matian. "Plakkk!" Tibatiba
ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas
senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata
PART 144
lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat‐jiu Kai‐ong untuk
menggerakan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.
Lu‐san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti
tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat‐ciang
Hoat‐sut dari raja pengemis itu, namun dia pernah mendengar akan hal ini,
tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak
dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan
senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat‐jiu Kai‐ong, apalagi tanpa
senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut
pukulan itu. "Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan
akibatnya tubuh Lu‐san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai,
mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini
pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah! "Lempar dia di kamar
tahanan!" Pat‐jiu Kai‐ong berkata sambil tertawa. Setelah tubuh kakek yang
pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat‐jiu Kai‐ong
menghampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar
guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa‐tawa dia
memasuki kamarnya. Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang
di atas pembaringan Pat‐jiu Kai‐ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu
kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil
tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh
kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio memandang dengan mata terbelalak
ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat‐jiu Kai‐ong menghampiri
pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi
Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan menangis dan kau
jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang‐senang sepuas hati
setelah kami menangkan musuh gelap yang mengancam." Dia menengok ke
arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga baik‐ baik
jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa‐apa, cepat berteriak
memanggil para pengawal. Mengerti?" Lima orang selir itu mengangguk dan
kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh ayam
jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh,
tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang‐senang dengan dua orang
muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang
pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia
harus berhati‐hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan
benar‐benar aman barulah dia boleh bersenag‐senang. Dia belum yakin
benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu‐san Lojin dan
kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga
orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus
berhati‐hati, maklum bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau
Lu‐san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andaikata
tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita
dan tampan itu? Pat‐jiu Kai‐ong duduk lagi di ruangan tadi sambil
melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang
PART 145
pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia
tertawa keras‐keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan
perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh
ayam itu tidak perlu ditakuti. Andaikata dia mampu mengalahkan dua belas
orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiatciang
Hoat‐sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat
diandalkan. Tadipun, hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja,
ilmu itu telah merobohkan Lu‐san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak takut!"
serunya kuat‐kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es *******! Ha‐ha‐ha!"
Para pelayan sudah menyalakan lampu‐lampu penerangan dan atas perintah
para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para
pelayan membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil kepala
pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan
perondaan bergilir, Pat‐jiu Kai‐ong lalu duduk bersila di dalam ruangan itu
untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya sehingga
biarpun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan
meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap
semua suara yang tidak wajar di luar istana. Malam makin larut dan keadaan
sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari
para pengawal, dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar seseorang
di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang
dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar
Pat‐jiu Kai‐ong, agar terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan
itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa‐malu‐malu membelai pemuda
itu, memegang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya.
Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani
mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan
dengan teliti dan hati‐hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka
melakukan penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat‐jiu Kai‐ong.
Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan
lebih tertib dan rapi pula. dia merasa tersiksa dan diam‐diam dia memaki
musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya
seberat mungkin! Tiba‐tiba terdengar suara jeritan susul‐menyusul yang
datangnya dari dalam kamarnya! Pat‐jiu Kai‐ong cepat melompat dan hanya
dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam
kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan gugup
dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas
pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di
atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas!
"Apa yang terjadi? *******, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka
bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... *****...., hanya tampak bayangan
berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua... tahutahu telah
PART 146
lenyap..." "T0lol!!" Pat‐jiu Kai‐ong berkelebat keluar melalui jendela kamar
yang terbuka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para
pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejek dua orang tawanan
yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat orang masuk?" Bentaknya kepada para
pengawal. "Tidak ada, Pangcu." "Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua
orang tawanan itu lenyap?" Kagetlah para pengawal itu dan Pat‐jiu Kai‐ong,
dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam
istana. Mula‐mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu‐san Lojin dan dua orang
anaknya itu benar‐benar mempunyai kawan‐kawan di luar, buktinya kedua
orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam
kamar tahanan, Lu‐san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai! "Cepat
lakukan penjagaan tadi. Tutupsemua jalan masuk! Bagi‐bagi tenaga!" Pat‐jiu
Kai‐ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya
bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang
musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu. Setelah sekali lagi memeriksa
sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada lubang
yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan
keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, Pat‐jiu Kaiong
kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar.
Malam telah makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai
memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada dengan menculik dua orang
tawannan itu secara aneh. Biarpun lima orang selirnya bukan ahli‐ahli silat
tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik
pemudapemudi itu di depan hidung mereka, sungguh merupakan hal yang
amat aneh! Pat‐jiu Kai‐ong bergidik dan membalik‐balik gudang ingatan di
dalam otaknya. Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan ratunya, dengan
penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti
Ong ketika memperebutkan Sin‐tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu
dia pun tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap
permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu
seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang
telah berhasil menangkan perebutan atas diri Sin‐tong! Mengapa kini muncul
tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah yang
bermain‐main dengan dia? Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya
membunuh ayam, dapat dipastikan bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri
seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang
secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu
saja banyak, dan di antara mereka, yang paling menonjol adalah Kiam‐mo
Cai‐li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya? "Ha‐ha‐ha!"
Dia tertawa keras‐keras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut?
Andaikata Kia‐mo Cai‐li sendiri yang datang, diapun tidak takut! Dan
siapakah lain wanita di dunia Kang‐ouw yang lebih mengerikan daripada
Kiam‐mo Cai‐li? "Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat
persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat‐jiu Kai‐ong tidak takut kepada siapa
pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha‐ha
PART 147
ha‐ha!" Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Patjiu
Kai‐ong berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang
tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai
sambutan atas tantangannya, tiba‐tiba terdengar suara ayam jagonya yang
berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali! "Ha‐ha‐ha!"
Pat‐jiu Kai‐ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab, akan
tetapi tiba‐tiba dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu
berhenti setengah jalan dan terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan!
Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam‐ayam betina di dalam
kandang, seolah‐olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi
suara berkotek ini pun berhenti setengah jalan dan bekali‐kali terdengar
suara "ko" suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"*******...!!" Pat‐jiu Kai‐ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah
meloncat keluar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan
dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu.
Kini dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga
memeriksa kandang dan di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa
dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah
tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana‐mana, membuat
lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan. "Jahanam...!" Patjiu
Kai‐ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca
memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin
berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan. "Ngeooonggg...!" Suara
kucing yang tiba‐tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget
dan memandang ke atas genting. Si Putih satu‐satunya kucing peliharan di
gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng, seolah‐olah
menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya terhenti tiba‐tiba
dan Pat‐jiu Kai‐ong cepat melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas
genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal yang membawa obor
mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang
baru saja mengeong tadi! "Jahanam...!" Pat‐jiu Kai‐ong memaki untuk kedua
kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti oleh dua orang
pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam
ketika dia meloncat ke atas genting membuktikan bahwa pengawal itu sudah
memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangumangu
di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun.
Keadaan sunyi. Sunyi ekali, terlampau sunyi seolah‐olsh gedung itu telah
berubah menjadi tanah kuburan! "Hung‐hung! Huk‐huk‐huk...!!" Riuhlah
suara tiga ekor anjng peliharaan gedung itu menggonggong dan menyalaknyalak
di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan mereka, apalagi
suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba‐tiba ditutup dengan
suara "kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi
kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan ******‐******
itu. "Bedebah...!" Pat‐jiu Kai‐ong melompat dari atas genting, tidak dapat
disusul oleh dua orang pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja
PART 148
dia sudah tiba di sebelah kanan gedungnya, di kandang ******. Seperti sudah
dikhawatirkannya, tiga ekor ****** itu sudah menggeletak mati dengan leher
hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang
pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang dengan
muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat‐jiu Kai‐ong suara Lusan
Lojin ketika membacakan isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang
tinggal di rumah Pat‐jiu Kai‐ong, dari binatang sampai manusia, akan
kubasmi habis!" Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan ******,
sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat
akan ini, Pat‐jiu Kai‐ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar "Cepat,
semua berkumpul denganku di dalam gedung...!" Tiba‐tiba mereka
dikejutkan oleh jeritan‐jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu.
Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka
dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di
atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat‐jiu
Kai‐ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah
tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar
darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang
kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu adalah
tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu
sampai garis‐garisnya tampak! "Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung.
Mereka kembali berlari‐lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal
lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang
korban pertama. Segera tersusul pula pekik‐pekik mengerikan itu dari
belakang gedung. Pat‐jiu Kai‐ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk
pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang
pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, presis
seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah
tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan
tetapi kematian mereka susul menyusul begitu cepatnya, seolah‐olah banyak
musuh yang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak
menyataakan sesuatu, Pat‐jiu Kai‐ong maklum bahwa tanda dari jari tangan
itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya
satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga
para pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.
Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka
mereka, Pat‐jiu Kai‐ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul
kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih. Dia berteriak
memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat‐jiu Kai ong!"
Setelah dia mengeluarkan kata‐kata ini dengan suara nyaring, keadaan
menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn menyeramkan,
seolah‐olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut iblis
menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Patjiu
Kai‐ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang
PART 149
dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang
dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi
ketua Pat‐jiu Kai‐pang yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang
banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang
ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat
namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa
bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil
meruncing! "Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang
pengawalnya yang diam‐diam telah kehilangan separuh dari nyali mereka.
"Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
berjalan‐jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat
melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!" Setelah berkata
demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat‐jiu Kaiong
melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai.
Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing‐masing telah mencabut
senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang
ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga
sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata mereka
memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara.
Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu. Tiba‐tiba Pat‐jiu Kai‐ong melihat
sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon! Celaka pikirnya. Kiranya
si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung.
Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahutahu
telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakan
senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat‐jiu Kai‐ong betapa tiga buah
senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena
dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya
hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan! "Hik‐hikhik!"
Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat‐jiu Kai‐ong berdiri dan dia
melihat sinar‐sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari,
melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena
punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing‐masing! "*******
jangan lari kau!" Pat‐jiu Kai‐ong sudah melayang turun dan tongkatnya sudah
diputar‐putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu!
Pat‐jiu Kai‐ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan
sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya.
Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya
dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup
mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik
masing‐masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga
buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari
jarak yang cukup jauh, tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari.
Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu
Mendadak Pat‐jiu Kai‐ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya
dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua.
Share This Thread