PART 210
dan ugal‐ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja,
akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui
oleh orang luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis
seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu,
yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih
dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara
sembunyisembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan
kakaknya itu berjinah secara terangterangan, tidak bersembunyi lagi dan
biarpun pada siang hari di mana banyak mata para angauta Bu‐tongpai
menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu‐tong‐pai itu memasuki kamar
Bu Swi Liang atau sebaliknya pemua itu memasuki kamar subonya kemudian
pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa
yang dapat dia lakukan kecuali menangis? Dan memang sungguh
menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang
kini terjebak oleh nafsu berahi dan menjadi hamba nafsu berahi, juga
menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila‐gila! Hal ini tidak
amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda
yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat
menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The
Kwat Lin pula, memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan
kelaminnya yang lebih tua dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap
cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The
Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki‐laki atau gila berahi. Sama
sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang
membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah seorang
wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik
dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri,
wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa
sayang seorang pria. Adapun pria yang sudah dewasa dan yang dekat
dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia
teertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini
masih hijau dan tentu saja tidak berani mulai dengan langkah pertama, maka
The Kwat Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk membuka
pintu dan menggerakan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat
dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja
hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang
pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka
menjadi ketagihan dan seolah‐olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan
hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan
hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanita seperti
belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia
lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang wanita yang
berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya
sebagai seorang ketua paksaan dari Bu‐tong‐pai, seorang yang bercitacita
untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya
PART 211
memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak
sewenang‐wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi. Akan tetapi, selain
hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai
dengan langkah‐langkah ke arah tercapainya cita‐citanya. Dia mulai
memperkuat Bu‐tong‐pai dengan mengadakan hubungan dengan para
pembesar di kota raja melalui anggauta‐anggauta barunya, yaitu para
pembesar yang mempunyai cita‐cita yang sama, para pembesar calon
pembrontak. Kedudukan Bu‐tong‐pai makin kuat setelah terjadi peristiwa
hebat pada beberapa hari yang lalu. Pada beberapa hari yang lalu, pagi‐pagi
sekali, anak buah Bu‐tong‐pai gempar dengan munculnya dua orang laki‐laki
di pintu gerbang Bu‐tong‐pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu‐tong‐pai
yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal
bahwa dua orang ini adalah tokoh‐tokoh besar dalam dunia persilatan.
Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih,
kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta
berjumpa dengan ketua Bu‐tong‐pai yang baru, para anak murid Bu‐tong‐pai
cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih enakenak
pulas dalam pelukan muridnya, juga kekasihnya, Bu‐swi Liang!
Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk dan mendengar suara seorang
murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak
she Coa dari dusun Koan‐teng di kaki Pegunungan Bu‐tong‐san yang minta
bertemu dengan ketua! "Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!"
kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani
oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir
sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum
mengejek menghias bibir ketua Bu‐tong‐pai yang cantik itu. Semenjak dia
merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi
tokoh‐tokoh kang‐ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu
Bu‐tong‐pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan
membela para tokoh Bu‐tong‐pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang
datang berturut‐turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika,
ada yang terpaksa pergi membawa luka‐luka berat! Dan kini, ayah dan anak
yang datang itu merupakan tokoh‐tokoh yang datang ke enam kalinya. Swi
Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan
membiarkan subu mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu.
Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan,
The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang
memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua
orang itu sambil tersenyum. Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun
dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai
pendekar‐pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biarpun sudah tua,
masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan kumisnya yang putih menambah
keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia
memandang ketua Bu‐tong‐pai dengan sinar mata penuh selidik. Orang ke
dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan
PART 212
berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki‐laki ini
dan memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya
sebagai pendekar‐pendekar dari dusun Koan‐teng yang menjadi sahabatsahabat
baik dari para tosu Bu‐tong‐pai. Kakek Coa Hok memiliki ilmu
pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu pedang ini diturunkan
pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini
mendengar akan malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu‐tong‐pai,
yaitu munculnya orang termuda dari Cap‐sha Sinhiap, seorang wanita yang
merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa banyak sahabat ‐
sahabat kang‐ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu,
mereka berdua menjadi marah sekali. Sebagai orang‐orang yang biasa
menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian
wanita itu dan berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang,
semangat dan kebenaran, naik ke Bu‐tong‐san menjumpai ketua Bu‐tong‐pai
itu. The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Butong‐
san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk
berdamai dan bekerja sama. Selama cita‐citanya belum tercapai, dia
membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali
ada orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para
bekas pimpinan Bu‐tong‐pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan
manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras,
terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka. Memang
demikianlah sifat orang‐orang yang mempunyai cita‐cita besar, cita‐cita yang
sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi
tercapainya cita‐cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang
tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk
membantunya demi tercapainya cita‐cita itu. Orang‐orang yang tidak
membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi
penghalang cita‐citanya, sebaiknya, mereka yang mati‐matian membantunya,
jika cita‐cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau
kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang penting
bukan orang‐orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri! Begitu
berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua
tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji‐wi Coa‐enghiong
(Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh lama kami mendengar Ji‐wi
yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini
dapat bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji‐wi adalah sahabat baik dari Butiong‐
pai....." "The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri
menuding ke arah muka ketua baru Bu‐tongpai itu. "Aku mengenalmu
sebagai seorang di antara Cap‐sha Sin‐hiap yang gagah perkasa, sebagai
seorang murid Bu‐tong‐pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu‐tong‐pai.
Aku telah puluhan tahun bersahabat dengan Bu‐tong‐pai dan telah
mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang
bertahu‐tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad,
merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku
PART 213
sebagai seorang sahabat Bu‐tong‐pai tentu saja tidak mungkin dapat
mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!" Kwat Lin tersenyum
manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa
Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan. "Coa‐lo‐enghiong
agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu‐tong‐pai,
akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu‐tong‐pai, demi cinta saya kepada
Bu‐tong‐pai. Saya ingin menjadikan Butong‐ pai perkumpulah terbesar dan
terkuat di dunia kang‐ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah
menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji‐wi dapat
membuka mata melihat kenyataan dan saya persilahkan Ji‐wi untuk datang
sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama kami."
"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan
omongan manis!" Kakek itu membentak marah. Kedua alis yang hitam kecil
dan panjang itu bergerak‐gerak dan biarpun mulut yang berbibir itu masih
tersenyum, namun kata‐kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis
apa yang kalian akan lakukan?" "Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah
mencabut pedang dan kakek Coa berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi
engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu‐tong‐pai dan kami
akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu‐tong‐pai, kepada
para pimpinan Bu‐tong‐pai, atau kalau engkau berkeras terpaksa kami ayah
dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan
sahabatsahabat dari Bu‐tong‐pai!" "Hi‐hik! Betapa gagahnya keluarga Coa!
Apakah ilmu Pedang Hok‐liong‐kiamsut sehebat sikap mereka, perlu
ditonton dulu!" Tiba‐tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini. Semua
orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang
datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang
muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu
mendengar nama ilmu pedang turunan mereka disebut‐sebut, juga
menengok dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan biarpun
usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia
adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang,
dibiarkan terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang
ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu
tahu‐tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita
yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu
yang dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang
matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir
tak pernah berkejap! Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan
otomatis dia berseru keras. "Kiam‐mo Cai‐li....!!" Puteranya, Coa Khi terkejut.
Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama seorang datuk kaum
sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan
ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek Coa merasa heran sekali
mengapa iblis betina yang sudah bertahun‐tahun tak pernah muncul di dunia
kang‐ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di
Rawa Bangkai di kaki Penggunungan Lu‐liang‐san itu tahu‐tahu kini muncul
PART 214
di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi
malapetaka hebat! The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu
sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap‐sha
Sin‐hiap. Ketika itu, nama Kiam‐mo Cai‐li (Wanita Cerdik Berpedang Payung)
sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis
betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum
mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut
menghadapi iblis yang manapun juga! "Kiam‐mo Cai‐li, apakah
kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua
Butong‐ pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah
kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi
kalian!" Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu‐tong‐pai
itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan
main wanita ini menantang Kiam‐mo Cai‐li seperti itu! Menyuruh datuk
kaum sesat itu untuk mengeroyok! Akan tetapi Kiam‐mo Cai‐li tertawa lebar
sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi‐hi‐hik, hebat
sekali mulut ketua baru Bu‐tong‐pai! Pantas kau disebut‐sebut di dunia kangouw,
kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena
mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan
tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa
pun yang akan menduduki Bu‐tong‐pai, aku peduli apa? Sekarang hendak
kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris‐pewaris ilmu Pedang Hok‐liongkiamsut
yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku,
barulah kita nanti bicara lagi!" The Kwat Lin tersenyum mengejek dan
mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk
mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan
dua oran ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata
demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya
bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan
pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang
tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku! "Hihi‐
hik, memang hebat sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata
Kiam‐mo Cai‐li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas
batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk
bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti
seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik. Ayah dan anak
she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka
seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan
yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka
sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabatsahabat
mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu‐tong‐pai, akan tetapi juga
menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang‐ouw yang
datang lebih dulu dari mereka membela Butong‐ pai. Selain itu mereka sudah
datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang mereka harus
mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi
PART 215
pengecut dan bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah
terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang
gagah dari pada hidup menjadi pengecut hina! "Kalau begitu, The Kwat Lin,
bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah
melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan kedua orang
itu berdiri berjajar dengan memasang kuda‐kuda yang kuat. Kwat Lin
menggerakan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu‐tong‐pai yang
selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu
baginya perlu untuk menghadapi orang‐orang Butong‐ pai yang
menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat
lambang kedudukan tertinggi di Bu‐tong‐pai. Kini, menghadapi dua orang
luar, dia tidak mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan
kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan
kosong! "Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali
Kwat Lin menggerakan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua
orang gagah se Coa itu sambil berkata, "Mulailah!" "Sing, sing.... wut‐wut‐wutwutttt....!!"
Bertubu‐tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan
kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar‐sinar berkilauan dibarengi suara
bersiutan ketika kedua pedang membelah udara. Diam‐diam Kwat Lin
terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang
mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es,
gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat mengelak ke
sana‐sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan
gerakan yang cepat dan indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah
dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki tingkat jauh
lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor
kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah ke sana
ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang
itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan
calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam‐mo Cai‐li yang menonton
pertandingan itu. Tiba‐tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika
lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah
Bu‐tong‐pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut
tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun
Kwat lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua
orang itu tentulah pengkhianatpengkhianat yan berpura‐pura takluk
kepadanya namun diam‐diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat
pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek
Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan
belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakanya
oleh perhatian yang terpecah tadi, maka dia cepat menggulingkan tubuhnya,
mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari
belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang
dilindungi gelang‐gelang emas. "Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main
ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja
PART 216
pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di
pergelangan tangan kiri ketua Bu‐tong‐pai itu! Ketika dia dan ayahnya
memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu‐tahu terdengar jeritjerit
mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu
telah merobohkan dua orang laki‐laki yang tadi mencoba mencuri tongkat
pusaka. Dua orang laki‐laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari‐jari
tangan Kwat Lin yang marah. Setelah membunuh kedua orang itu, sekali
meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. kini
dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya
bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi
tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh
Kwat Lin lenyap dan hanya kadang‐kadang saja tampak, bergerak‐gerak di
antara gulungan dua sinar pedang. Dia seloah‐olah seorang penari yang amat
indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain‐main dengan
gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai
selendang yang di mainkan oleh wanita itu. Tiba‐tiba kedua orang ayah dan
anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka
menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas
dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang
mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hokliong‐ kiam‐sut
(Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak
memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan
keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu
akan mengejar terus. Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak
menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan,
tiba‐tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan
pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan
diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan
depan dengan jari‐jari terbuka. "Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang
keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang
mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar
perut kedua orang laawannya. "Plak! Plak!" Tamparan jari‐jari tangan yang
mengandung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang
sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan. Ayah dan anak
itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh
mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah
ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah
tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena
pukulan yang mengandung Swat‐im‐sinkang hebat dari Pulau Es! "Bagus
sekali....!!" Kiam‐mo Cai‐li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas
batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu‐tong‐pai itu.
Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan sejenak mereka
saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang
mata. "Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau
pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba‐coba, siapa diantara kita
PART 217
yang lebih lihai!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam‐mo
Cai‐li, diantara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau
menantangku demi membela para tosu Bu‐tong‐pai yang sudah
mengundurkan diri?" "Hi‐hi‐hik!" Wanita yang sudah hampir nenek‐nenek
namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu‐tong‐Pai?
Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu‐tongpai,
masa bodoh! Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu‐tong‐pai
disebut Ratu Pulau Es, hatiku tertarik dan sekarang melihat engkau benarbenar
lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah
benar engkau Ratu Pulau Es?" Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah
bekas Ratu Pulau Es! Kiam‐mo Cai‐li, kalau engkau tidak membela tosu‐tosu
Bu‐tong‐pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun
Bu‐tongpai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang‐orang pandai,
terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau
ini tidak pula mempunyai cita‐cita tinggi untuk mencapai matahari dan
bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat
pertapaanmu di Rawa Bangkai?" "Hi‐hi‐hik, aku sudah mendengar pula akan
usahamu yan bercita‐cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke
sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita‐cita, kita
harus menentukan dulu siapa diantara kita yang patut memimpin dan siapa
pula yang harus taat." "Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan
alis berkerut. "Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah
bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil
baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu
mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk
menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita, perlu
diketahui sekarang juga." "Bagus! Dengan lain kata‐kata engkau menantang
untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam‐mo Cai‐li, engkau seperti seekor
katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah
dekat pusaka Bu‐tong‐pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih
itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu
disambar dan dipegangnya. Kiam‐mo Cai‐li menganguk‐angguk. "Hebat
memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini
aku benar‐benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu
memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita
hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk
menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."
Mendengar kata‐kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia
bahwa betapapun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang
terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini
sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat
ditariknya untuk membantu tercapainya cita‐citanya. "Baiklah kalau begitu,
Kiam‐mo Cai‐li. Mari kita mulai!" "Pangcu, awas serangan pedang payungku!"
Kiam‐mo Cai‐li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului
oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan
PART 218
menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu
menusukkan payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata
lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin menggerakan tangan kirinya,
dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa
pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti
tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti
pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin
menyambar dari samping dengan dahsyatnya. "Plakk...! Cringggg‐cring....!!"
Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan Kiam‐mo Cai‐li yang
hendak mencengkeram dan merampas tongkat, namun tongkat sudah ditarik
kembali dan mengirim hantaman dua kali berturut‐turut yang dapat
ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya,
Kiam‐mo Cai‐li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya
yang luar biasa, yaitu Tiat‐mo Kiam‐hoat (Ilmu Pedang Payung Besi). Kalau
saja kwat Lin belum mewarisi ilmu‐ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari
Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam‐mo Cai‐li yang lihai sekali itu. Akan
tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi,
maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah
pertandingan yang amat seru dan seimbang. Kiam‐mo Cai‐li memang luar
biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat,
seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang
kejam dan berilmu tinggi. Tdak hanya ilmu pedangnya yang lain dari pada
yang lain, permainan pedang yang gerakan tangannya terlindung dan
tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya
daripada menggunakan perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya ini
juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kukukukunya
yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi
lagi dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti
ular‐ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang
manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang
sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh
tahun bekas murid Bu‐tong‐pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah
mewarisi kitab‐kitab pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya. Yang jelas,
dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat dibandingkan
dengan Kiam‐mo Cai‐li. Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es,
maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat‐im Sin‐kang,
tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan yang kurang
kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi beku darahnya. Selain menang
dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna daripada
dasar ilmu silat Kiam‐mo Cai‐li yang sesungguhnya merupakan gabungan
ilmu silat campur‐aduk. Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai
seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam‐mo Cai‐li menang keanehan
senjatanya dan menang pengalaman bertanding akan tetapi kelebihannya ini
menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap
PART 219
serangan dan desakannya membuyar oleh hawa sinkang dari dorongan
telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina ini harus mengakui
keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa kalau
dilanjutkan, salah‐salah dia akan menjadi korban hawa Swat‐im Sin‐kang
yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu!
Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi
ketua Bu‐tong‐pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu
menghampiri Kiammo Cai‐li, menggandeng tangan wanita itu dan
memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia
mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya dan sambil menghadapi
hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap‐cakap dan mengadakan
perundingan untuk bekerja sama. Ternyata mereka cocok sekali dan memang
keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam
perundingan ini. Kiam‐mo Cai‐li diangap sebagai pembantu utama dan
tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki
Pegunungan Lu‐liang‐san itu dijadikan markas kedua di mana kelak akan
dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia. Benar saja seperti
yang diharapkan, setelah Kiam‐mo Cai‐li menjadi pembantunya, banyaklah
kaum sesat yang menggabung dan menyatakan suka bekerja sama sehingga
biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua
Bu‐tong‐pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomer satu!
Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar
kota raja menjadi makin luas, dan diam‐diam persekutuan ini mulai
mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para
pembesar yang mengharapkan bantuan orang‐orang kang‐ouw inilah Kwat
Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu‐tong‐pai menjadi makin
kuat dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai
dengan mempergunakan uang sebagai pancingan. Keadaan kerajaan Tang di
masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya, yaitu Kaisar
Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak
dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang
mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah
kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah (712‐
756) di Tiongkok bermunculan sastrawan‐sastrawan dan pelukis‐pelukis
yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li ***‐po, Tu Fu, Wang
Wei dan lain‐lain. Namun, disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong
dalam mengemudikan roda pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang
meruntuhkan segala‐galanya. Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa
pun dan di negara manapun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi
godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi
seorang wanita! Betapa banyaknya sudah dibuktikan oleh sejarah, betapa
pria‐pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh
dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di
hatinya. Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745. Ketika itu, Raja Beng Ong
PART 220
sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah tua dan sudah
kakek‐kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai
sekarang, laki‐laki, betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi
seperti seorang kanak‐kanak yang hijau dan lemah. Seorang di antara banyak
pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya adalah
Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita,
dan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan.
Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini memiliki
kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.
Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang
Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila‐gila. Ratusan orang selir cantik
dan pelayan‐pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan
setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang
cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan nafsu hatinya.
Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk
menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang
wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam
istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana. Setelah Yang
Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah
mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan
Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan,
memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecilkecilnya,
kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan
para Thaikam (Orang Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang
berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah
meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan
penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil
menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh
Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada
yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui
bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya
menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari
suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu
berahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata‐mata
karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyianyikan
kesempatan amat baik itu. Setelah membuat Kaisar tergila‐gila dan
seolah‐olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang
Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan
pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempattempat
penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang
Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah
menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas
bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang
cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya
tak pernah termimpikan oleh mereka. Pada jaman itulah muncul seorang
PART 221
yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan
lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu
San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu Di Liao‐tung.
Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga
yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda
remaja, sebagai seorang budak belian dia dijual kepada seorang perwira
Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah
bintangnya menjadi terang. Sebagai kacung perwira itu, dia ikut pula ke
medan perang dan ternyata bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang
yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran
sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh
majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat
saja dia membuat jasa‐jasa besar sehingga dia diangkat terus, dinaikkan
menjadi perwira dan akhirnya, beberapa tahun kemudian setelah dia
memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga dia
berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal! Mulailah
jenderal An Lu Sun ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu,
tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar
yang waktu itu sedang tergila‐gila kepada Yang Kui Hui yang telah
memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat
cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu
terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri
sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugalugalan,
pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar
dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir ini, yang setiap hari
harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja
bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu!
Terjadilah "main mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan
dan rayuannya, Yanh Kui Hui memuji‐muji kesetiaan dan jasa‐jasa An Lu San
sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui
Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera
angkatnya". Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar
memuji selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan
yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik
selir untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian
memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan
bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan
seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat
dipermainkan oleh jari‐jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu. Tentu
saja setiap sukses dari seseorang, bail didapatkan dengan jalan apa pun juga
melahirkan iri hati kepada orang‐orang lain. Biarpun tidak ada yang berani
secara terang‐terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua
itu, namun diam‐diam banyak anggauta keluarga kerajaan yang merasa iri
hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini
seolah‐olah diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam
PART 222
pelukan Yang Kui Hui. Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam
kamarnya sendiri. Betapapun dia tergila‐gila kepada Yang Kui Hui, namun
karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam
mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam
itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang
tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum
dan menikmati tari‐tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An
Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal
perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang
merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin
beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya
sendiri. Menjelang tengah malam, kaisar terbangun dan ternyata yang
mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti
selir‐selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan
termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang
merupakan selir terakhir. "Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?"
Kaisar berkata, tidak marah karena dia pun pernah mencinta selir yang
cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit
putih halus itu. "Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu
berkata dengan suara agak gemetar, "Sebetulnya hamba tidak berani
mengganggu paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...." Kaisar yang tua
itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindukan
curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya
ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh,
manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku..." katanya sebagai uluran
tangan karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula
berahinya. Yauw Cui tidak berani membantah, bangkit dari lantai di mana dia
berlutut, dan jari‐jari tangannya yang halus mulai menari‐nari di atas
punggung tua yang pegal‐pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa
penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengujungi Paduka. Hamba
tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina
orang!" Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba‐tiba
terhenti dan dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya,
"Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?" Yauw Cui
menangis dan suara terisakisak dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja...
mendengar .... Angoanswe (jenderal An) berada di dalam kamar.... Yang Kui
Hui...." Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis
berkerut dia memandang selirnya itu yang masih menangis, hatinya tidak
percaya sama sekali karena memang sudah seringkali Yang Kui Hui difitnah
orang lain yang merasa iri hati. "Hammm, jangan bicara sembarangan saja
terdorong iri hati." "Tidak.... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan
saja kalau hamba membohong.... tidak berani hamba menjatuhkan fitnah....
hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina maka hamba
memberanikan diri melapor...." "Pengawal....!!" kaisar berseru sambil
mendorong selirnya turun dari pembaringan. Pintu terbuka dan enam orang
PART 223
pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut setelah mereka
melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya. Kaisar menyambar jubah luarnya.
"Antar kami ke kamar yang Kui Hui." kata Kaisar singkat sambil memberi
isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya. Pada saat
Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remangremang
dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama
An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu berahi dan tentu saja segala
pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan
gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat‐sifat liar dan kasar dari tempat
asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya
melayani seorang kakek‐kakek lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan
berkesempatan menikmati rayuan laki‐laki yang jantan dan jauh lebih muda
dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya. Sesosok bayangan
menyelinap ke dalam kamar itu dan berisik di luar kelambu pembaringan.
Bisikan itu merobah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San
dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk
menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas
meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung‐ujung Kamar itu terdapat
mengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika
An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan
keadaan pertahanan di perbatasan utara. Demikianlah, ketika Kaisar yang
diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap
kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua
dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan
Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan! "Hamba sedang
mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San,"
antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan
kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang
cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba." Karena semua pengawal
dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa
selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya tentu saja
Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui. Selir muda ini mengerti bahwa dia
berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak
ada lagi harapan baginya, dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui
sambil berteriak nyaring, "Kau Wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini
akan hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang
marah‐marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan
kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas
disaat itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang
menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang
membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa
itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar.
Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui
Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka.
Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh
PART 224
kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi Gubernur di Propinsi Liao
Tung. Menguasai pasukan‐pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga di
propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya
tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui yaitu
ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar
sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan
yang berdarah bangsawan! Memang An Lu San seorang yang berasal dari
suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa.
Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari
selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk
mengambil hati selir ini dan ternyata semua muslihatnya berhasil baik dan
dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi, tentu saja banyak
pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka
ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang
menjadi Menteri Pertama. Dengan kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong
melakukan penyelidikan dan ketika dia memperoleh berita bahwa An Lu San
mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera
Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap
pelaporan ini omong kosong belaka, akan tetapi karena para pangeran
mendesaknya, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San yang merasa
keadaannya belum kuat betul untuk memulai pembrontakan yang memang
benar telah dipersiapkannya, tidak membantah. Dia menghadap Kaisar dan
dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan kesetiaanya
terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui
membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan
orang yang merasa iri hati bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir
Yauw Cui yang irir hati kepadanya. "hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu
San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak
mungkin dia memberontak, dan andaikata dia benar mempunyai niat
memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka!
Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaanya!
Kabar tentang niat pembrontakan itu tentu ditiup‐tiupkan oleh mereka yang
merasa iri hati kepadanya." Seperti biasa, hati kaisar luluh dan lenyaplah
semua kecurigaan dan keraguannya. Dia malah menjamu An Lu San dan
malam itu dengan amat pandainya An Lu San "membalas budi" Yang Kui Hui,
dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena
terjaga oleh orang‐orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita
ini terjadi An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan
kebanggaan, dan diam‐diam dia makin mempercepat persiapannya untuk
memberontak! Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada
waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari
Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpuasan kepada banyak pembesar
sehingga di sana‐sini timbul niat untuk memberontak. Kesempatan keadaan
yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk
mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita‐citanya mencarikan
Share This Thread