PART 225
kedudukan tinggi untuk puteranya! Pada suatu hari, datanglah seorang
utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu‐tong‐san, menghadap Ketua
Bu‐tong‐pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin
Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah
utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Butong‐
pai dan terjadilah kesibukan di Bu‐tong‐pai. Pangeran Tang Sin Ong,
yaitu seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan
pula, sebagai saingan besar dari An Lu San, pangeran yang dihubungi oleh
Kwat Lin, mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui
akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah
di antara kesenangan Kaisar. saat inilah yang dinanti‐nanti oleh The Kwat Lin
dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat mereka yan telah lama
mereka rencanakan. Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar
bersama Yang Kui Hui bersenang‐senang di dalam hutan di kaki Pegunungan
Funiu‐san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan
perburuan ini, tempat itu dijaga oleh para pengawal dan ada pula pasukan
yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan sehingga
binatang‐binatang yang ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan
Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan
anak panah ke arah binatangbinatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang
pembesar penting, yang menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin
Ong. JILID 14 Seperti biasa, Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di
dalam pondok yang memang tersedia di situ, di tengah‐tengah hutan. Para
pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil
bercakap‐cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang‐binatang yang
akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup‐nyusup ke dalam hutan
lebat di depan. para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal
Kaisar dan pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini
mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti.
Segera terdengar sorak‐sorai dari jauh, makin lama makin mendekat. itulah
suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat
penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan gendewa
bersama dengan anak panahnya siap di tangan. Mendengar suara ini, kaisar
sudah keluar dari pondok sambil tersenyum‐senyum gembira membawa
sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan
pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. Tak lama
kemudian, mulailah bermunculan binatang‐binatang hutan yang panik
ketakutan karena dikejarkejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka
yang bersorak‐sorai itu. Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong
dan para pembesar lainnya menghujankan anak panah mereka ke arah
binatangbinatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan
pengawal Pangeran tang Sin Ong, seorang pengawal menyelinap kedalam
semak‐semak, menanggalkan pakaian biasa menyelinap dan memasuki
pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka.
Dengan kecepatan kilat, laki‐laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui
PART 226
yang sedang berdiri menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir cantik
itu menerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan
ketika semua orang menoleh medengar jeritan itu, Yang kui Hui telah
dipondong dan dibawa lari oleh laki‐laki itu. "Penculik.....!" "penjahat....!"
"Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran....!!" Tiba‐tiba Pangeran tang Sin
Ong berseru keras. Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat
berseru, "Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan
dia....!" Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran tang Sin Ong, bahkan
Kaisar sediri, mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu.
Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali. "Cepat
kejar.... tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar berteriak dengan muka pucat.
Tiba‐tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang
penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanitawanita
cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah
menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh
penculik dan merampas Yang Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda
dan cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking
yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang
berkelojotan, terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada wanita
pertama seolah‐olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan
yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat bergerak lagi dan
tewas seketika! Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan
perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui
Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang
memeluknya. kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah
berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.
"Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata
kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena
ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?" "Hamba
adalah Ketua Bu‐tong‐pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu
lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di
sebelahnya, "dan ini adalah Bu Liang‐cu murid hamba." "Ahhh, kiranya ketua
Bu‐tong‐pai yang terkenal!" Kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja
demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan kekasih kami dan
membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar." Yang Kui Hui
sudah menghentikan tangisnya dan kini dia pun memandang kedua orang
wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan
memberi hadiah kepada kalian." The Kwat Lin menyembah dengan hormat.
"Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat yang setia
kepada junjungannya. hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya
apabila paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai
pengawal pribadi paduka. Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan
yang kuat tentu membahayakan Paduka. Girang bukan main hati Yang Kui
Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang
menunduk sejak tadi. Gadis itu kini mengangkat mukannya dan dengan
PART 227
sepasang mata yang bersinarsinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang‐cu.
Saking girangnya, yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan
permata dan menghadiakan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia
menerima pula gadis murid Bu‐tong‐pai itu sebagai pengawal pribadinya.
Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang‐cu itu ikut bersama rombongan
Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembli ke istana. Ada pun
The Kwat lin segera kembali ke Bu‐tongsan dengan hati girang karena
siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguhpun untuk itu dia terpaksa
harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya. Penculik itu bukan lain
adalah seorang anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki
ginkang tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan diri Yang Kui
Hui dengan janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya. Akan
tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri
setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa
dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The Kwat Lin, namun
pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat
mengeluarkan suara. Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang
Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi
Nio. Akan tetapi, betapa marahnya ketika dia menghadapi penolakan
muridnya! "Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal
lainnya, biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimanapun, biar harus
mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi
perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam....
pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukan
mukanya. Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking
marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang melihat adiknya
terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau
Moi‐moi tidak berani, biarlah teecu melakukannya." "Kau seorang pria....
mana mungkin....?" "Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu
di waktu kecil seringkali teecu mengenakan pakaian Moi‐moi dan bermainmain
seperti seorang anak perempuan ." Mendengar ini, Kwat Lin termenung.
Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga kekasihnya ini.
Selama ini, Swi Nio delalu memperlihatkan sikap dingin dan kdang‐kadang
menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya,
bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu berahinya! Pekerjaan yang
direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau
dilakukan oleh orang yang paling dipercayanya. Memaksa Swi Nio amat
berbahaya karena siapa tahu kalau‐kalau murid perempuan ini akan
mengkhianatinya kelak. "Hemm, kita coba saja!" katanya dan setelah melihat
Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali.
Agaknya murid itu memang mempunyai bakat sandiwara maka ketika
berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira
bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikian, rencana siasat itu dijalankan
dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik
bernama Bu Liang‐cu, berhasil menyusup ke dalam istana sebagai pengawal
PART 228
pribadi dari Yang Kui Hui! Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin,
yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan menolong selir itu
dari bahaya cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya
itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai
berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan mudah saja
melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia
setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan
kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita‐citanya. Berbeda
dengan kakaknya yang telah mabok bujukan gurunya, Swi Nio makin lama
merasa makin tidak enak tinggal di Bu‐tong‐san. Dia sama sekali tidak senang
dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya
memang dia rela menjadi murid wanita sakti, karena wanita itu yang
menolong dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat‐jiu Kai‐ong
musuh besar yang telah membunuh ayah mereka. Akan tetapi semenjak
menyaksikan betapa subonya itu menguasai Bu‐tong‐pai dengan kekerasan,
melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh
Bu‐tong‐pai mengundurkan diri dari Bu‐tong‐pai, hatinya sudah merasa tidak
senang. Apalagi melihat masuknya orangorang kasar dan yang dia ketahui
adalah bekas‐bekas penjahat menjadi anggauta Bu‐tong‐pai dia merasa
penasaran. Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya
merasa malu dan hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya.
Seringkali secara diam‐diam Swi Nio menasihati kakaknya, bahkan
menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu‐tongpai,
namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita
batin seorang diri, seringkali menangis di dalam kamarnya. Melihat
munculnya Kiam‐mo Cai‐li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah
mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam‐mo Cai‐li adalah seorang
datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi
sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai pemimpin! Pagi hari itu, setelah
merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa pamit bersama subonya dan
kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat
menahan kegelisahan hatinya lagi dan dia memberanikan diri memasuki
kamar subonya di mana subonya sedang bercakap‐cakap dengan Kiam‐mo
Cai‐li yang kebetulan datang ke Bu‐tong‐san. "Subo, teecu (murid) tidak
melihat adanya Liang‐koko yang tadinya pergi bersama Subo selama
beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan
kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia
kurang tidur memikirkan kakaknya. The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi
Nio terang‐terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu
digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu berhasil baik, betapapun juga
The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan
dingin! "Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak. "Tapi.... Subo, dia
adalah kakak teecu......" Swi Nio membantah. "Hemm, dia bertugas di kota
raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"
PART 229
Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan
mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi....dia.... dia telah menyelundup ke
dalam istana....?" The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya
ke muka Swi Nio sambil membentak marah, "Gara‐gara engkaulah! Apa
kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan tugas
berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah
menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak
mengenal budi!" Swi Nio membalikan tubuhnya, menutupi muka dan
menangis sambil mengeluh, "Liang‐koko..... ah, Koko....!" Setelah dara itu
berlari pergi, Kwat Lin duduk kembali, wajahnya keruh dan dia mengomel,
"Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!" Kiam‐mo‐Cai‐li
tersenyum. "Mengapa pusing‐pusing menghadapi seorang gadis seperti itu?
Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi
kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!"
"Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?" "ah, aku mengenal gadis
seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun
dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya
yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara halus."
"Bagaimana maksudmu? Membujuknya?" Kiam‐mo Cai‐li menggeleng
kepalanya. "Dibujukpun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi
isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya." "Ihhh! Aku
tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?" "Kita harus cerdik, kita
harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau
menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus
menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu memiliki watak
mata keranjang sehingga dia akan tentu berterima kasih sekali kepadamu
kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik manis itu kepadanya,
menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua, kalau
muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak
banyak bantahan lagi!" The Kwat Lin mengangguk‐angguk dan diam‐diam dia
memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai‐li! Akan
tetapi.... biarapun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini
dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau
dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?" Kiam‐mo
Cai‐li tertawa. "Hi‐hi‐hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung
jawab dia tentu tidak akan menolak." Dia lalu mendekatkan mulutnya
ketelinga The Kwat Lin berbisik‐bisik. Kwat Lin mengangguk‐angguk. "
Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku
tidak tega, akan tetapi.... demi suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak
menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah.... kita
atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini." "Tentu mudah saja
dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu
membuat nama Bu‐tong‐pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan?
Kalau seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang
Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi‐hi‐hik." "Kau memang cerdik sekali, Cai
PART 230
li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi itu
sambil tersenyum‐senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawancawan
perak mereka. Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka
itu, datangalah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin
Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui.
Sebelum peritiwa itu, hubunganya dengan pangeran itu dilakukan secara
sembunyi dan pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir
(utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan itu sekaligus
mengangkat nama Bu‐tong‐pai, Pangeran Tang Sin Ong berani datang secara
berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan
bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran
itu. Tentu saja keadaan di Bu‐tong‐san seperti dalam pesta. Semua anak buah
Bu‐tong‐pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu
disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang pengantin.
Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar
dari Bu‐tong‐pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang biasa
dipergunakan untuk Lian‐bu‐thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi
dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan
menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu‐tong‐pai.
Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong
seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin diruangan dalam dan ketua ini
ditemani oleh Kiam‐mo Cai‐li dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah dipaksa oleh
subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di dalam
hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di
dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu
akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja. Ketika pengeran ini
dipersilahkan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The
Kwat Lin memperkenalkan Kiam‐mo Cai‐li Liok Si sebagai pemilik istana
Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai
muridnya yang terkasih. Pangeran itu memandang Kiam‐mo Cai‐li dan Bu
Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata, "Sungguh beruntung sekali
Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya
yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini....aaihh...
penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira
dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa
berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk
ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebagai tiga cawan!"
Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua
ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi
Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah
jatuh dan gairahnya sudah bernyala‐nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah
padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar kata‐kata
yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini.
Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja
dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan kata‐kata terima ksih dia
PART 231
menerima tiga cawa arak berturut‐turut. Biarpun dia tidak biasa minum
banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa
banyak membantah. Melihat ini The Kwat lin dan Kiam‐mo Cai‐li tertawa
girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah matanya
kepada Sang Pangeran.Tang Sin Ong mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu
melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di
lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang
kalung itu kepada Swi Nio sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali
tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini
yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya
sebagai tanda penghormatan saya kepada seorang Nona secantik dewi!" Bu
Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan
kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang
terlalu berani itu. Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata,
"Swi Nio, Pangeran telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas
menerima dan menghaturkan terima kasih?" Bu Swi Nio merasa terdesak dan
dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba...., hamba...., tidak berani
menerimanya....." "Swi Nio....!" The Kwat Lin menegur "Bu Swi Nio, mengapa
kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam‐mo Cai‐li juga ikut menegur.
Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu‐malu,
tidak seperti gadis‐gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah
menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan
gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu."
Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan
kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya.
Karena tak dapat menolak lagi dan kalung yang lebar itu sudah mengalungi
lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura, "Banyak terima
kasih hamba haturkan..." "Aaaahhh, jangan sungkan‐sungkan." Dia tertawa,
kedua orang wanita sakti itupun tertawa dan mereka bergantian
menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio. "Muridku,
karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan
arak tetapi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai
seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan
tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!" Muka Swi Nio
menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara
terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyumsenyum
dan mengelus jenggotnya, menghampiri pangeran dan menuangkan
arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka minum arak
sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malumalu.
"Ha‐ha‐ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau
tidak aku temani. Hayo untukmu juga secawan!" Kembali Kwat Lin dan Kiammo
Cai‐li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga
cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak, kini
diloloh banyak arak yang diamdiam telah dicampuri bubuk putih dilepas
secara lihai oleh Kiam‐mo Cai‐li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio
PART 232
menjadi mabok. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan
gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran
yang pandai bicara itu. "Ha‐ha‐ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona
Bu, aku lupa semua wanita di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat
berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar ini Swi Nio
mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan
pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa
kata‐kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio
muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan
diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan
terima kasih, muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah,
tidak......!" Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali.... kau gagah
perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota
raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal
pribadiku...." "Tidak....! Ahhh, tidak mau.... oughh.......!" Swi Nio yang tadinya
bangkit berdiri serentak itu, tiba‐tiba terhuyung dan kembali menjatuhkan
diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berpuatr‐putar dan dia
merasa seperti terayun‐ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan
kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya menggoyang
kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat‐lapat suara gurunya,
"Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yan
terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu........"
"aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat
wajah yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin
Ong, wajah seorang laki‐laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah
tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan
akhirnya dia tidak ingat apa‐apa lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di
raknya oleh Kiam‐mo Cai‐li telah bekerja dengan baik, dia tertidur dan tidak
merasa apa‐apa lagi. Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolaholah
dia berada di dalam sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang
Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia merontaronta
hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa
tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya
terasa sakit‐sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi,
dan lapat‐lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang
menyatakan cinta kasihnya. Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan
merintih perlahan, lalu membuka matanya Mimpi itu teringat lagi olehnya,
membuat dia bergidik ngeri. Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia
membuka mata mendapatkan dirinya, telah rebah di atas pembaringannya
sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia
bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak
berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya, Kiammo
Cai‐li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia
terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu‐tahu berda di
pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat
PART 233
kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba‐tiba tahulah dia akan
semua yang telah terjadi atas dirinya! "*******....!" Dia bangkit akan tetapi
terguling lagi karena selain kepalanya pening sekali, tubuhnya juga panas
dan lemas seolah‐olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah
pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat
dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong
membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya. Tiba‐tiba pintu kamar
terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk
mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah
maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu. "Selamat, muridku. Engkau
telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan
menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya
terkasih...." "Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun
tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya dikepal.
"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika
kena tamparan tangan gurunya. "Swi Nio, apa yang kauucapkan itu? Engkau
suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya, engkau
tersenyum‐senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang‐senang di
dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang
kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi
isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak?
Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri?
Bocah ***** tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri
yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baik‐baik. Engkau sudah bukan
perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin
meninggalkan kamar itu dan membanting keras‐keras daun pintu kamar. Swi
Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk. Tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Dengan terisak‐isak dan jari‐jari tangan gemetar dia
mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya
masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu
dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya.
Melawan pun tidak mampu, apa lagi dia benar‐benar merasa seperti tidak
bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu
terkawal kuat! "Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah....
Koko...., apa yang harus kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak,
dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!!
Ya, matilah jalan satu‐satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil.
Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak
semestinya mati menggantung diri seperti wanita‐wanita lemah.
Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya
gemetar dan tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya,
lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya.
Tadinya dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri,
maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa
PART 234
yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki‐laki muda, paling
banyak tiga puluh tahun usianya. Laki‐laki ini tersenyum, wajahnya cukup
tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan
seorang gagah." Bisik laki‐laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat
menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk
membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau....?"
"Ssssttt...., bisik pula laki‐laki itu. "Aku seorang mata‐mata yang dikirim oleh
Jenderal An Lu San. Nona, daripada engkau membunuh diri, mari kubantu
kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk
An‐goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang
yang telah mendatangkan malapetaka ini kepadamu." Seperti kilat masuknya
pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan
jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran
itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh
obat dari Kiam‐mo Cai‐li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli
tentang racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh
gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja
dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya
bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek
membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan berindap‐indap
Swi Nio mengajak laki‐laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang
pagi, mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Butong‐ pai.
"Haiii....!!" tiba‐tiba terdengar bentakan dan lima orang anggauta Bu‐tong‐pai
muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka
melihat Swi Nio, mereka terheran‐heran, memandang kepada gadis itu lalu
kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia bersama murid utama
ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang
ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang
ini adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap,
apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu‐tongpai
dengan diam‐diam?" Tiba‐tiba terdengar teriakan berturut‐turut dan lima
orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja
mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar
jari‐jari yang amat kuat dari mata‐mata itu yang bergerak dengan cepat luar
biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang.
Dia makin kagum. Kiranya mata‐mata ini bukan orang biasa dan andaikata
ketahuan pun akan merupakan lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia
sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam‐mo Cai‐li dan subonya
turun tangan. "Mari cepat....!" Orang laki‐laki itu berkata dan melihat keadaan
Swi Nio yang masih lemas, dia tanpa ragu‐ragu lagi lalu menyambar tubuh
gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya
meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu. Gadis bernama Liang‐cu
yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana
sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir
Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda
PART 235
itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat
selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain‐lain
di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa
tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanita‐wanita cantik, yaitu para
pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya, karena
para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria,
namun sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah
seorang pemuda yang sedang berkobar nafsunya karena Bu‐tong‐san dia
diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai
seorang pemuda yang baru gila berahi, kini berada ditengah‐tengah para
wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama. Untuk
melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena
kesempatannya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka
rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal, dia tentu akan mati
konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia
tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat
mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat
penting bagi perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena
taruhannya adalah nyawanya. Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi
Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi
selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal‐pengawal
pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya,
sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan
utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun sendiri di
dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu
dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar
biasa, dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan
seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia
membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari‐jari
tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium
olehnya bau semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan
alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu
dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang‐cu! kenapa melamun saja?"
Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa, di
belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu
adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita
yang genit‐genit "Ah, Enci Liang‐cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau
bersendaugurau dengan kami? Swi Liang tersenyum menekan jantungnya
yang berdebar‐debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot
melahap kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang
beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti ini...." kata Swi Liang.
"Mari temani kami main thio‐ki (kartu) di kamarku, Enci Liang‐cu!" kata Si
Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang‐cu. Tidak enak hanya bermain berdua.
Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini
PART 236
rekan‐rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang. Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan
kecurigaan apalagi memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan
wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis
itu tertawa‐tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya
kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja bundar
rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di
sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu
untuk main, juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan‐cawan
kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang‐cu. Mari kita,
main‐main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata
sambil merangkul. "Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci
Liang‐cu," kata Si Baju Merah memegang‐megang lengan pemuda itu. "Aihhh,
tangan Enci Liang‐cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak
tangan pemuda itu. Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil
berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?" "Hi‐hik, kau terlalu memuji,
Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang. "Kalau engkau
menjadi seorang laki‐laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang‐cu!" kata Si
Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin
menghadapi godaan‐godaan ini, maka cepat‐cepat mengajak mereka bermain
kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat lagi
bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan
mendekap mereka, menciumi bibir yang merah dan lincah itu! "Eh, untuk apa
arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang
berbau wangi. "Hi‐hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan.
Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak
wangi!" kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakapcakap
dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang
bercakap‐cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya
mendengarkan dan kadang‐kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin
dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain
sungguh‐sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak
adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang
tengah malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis! "Ahhh, hawanya
panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan panas, hanya engkau terlalu
banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin...
aihhh, gerahnya." Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebutngebut
dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke arah
dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan
tonjolan‐tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu
tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut
dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis! "Wah, Enci Liang‐cu
jarang kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia bisa menebus
kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi‐hik, kalau arak habis dia
PART 237
harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi‐hi‐hik, benar! Dia
harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirobah.
karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju
Merah. Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium
pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua
matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya
gelagapan. "Enci Liang‐cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun‐tahun
dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain
cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita.
Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar
menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah. Permainan dilanjutkan dan
makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri.
Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa
dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan
mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa
diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan
saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu! "Aihh,
Enci Liang‐cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci Liang‐cu....
kalau saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi
Liang berkata, terengah‐engah sedikit. "Matikanlah lampunya, barangkali di
dalam gelap aku akan dapat pian‐hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja
dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka
yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah
keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan
seluruh nafsu mereka tanpa malu‐malu lagi. Tak lama kemudian terdengar
jerit tertahan, disusul teriakan‐teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget
bercampur girang, "Eh... kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara
Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar keras lagi
sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah‐olah tiga orang "gadis" itu
sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan
sebaliknya. Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang
berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "...engkau....
setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau
tidak.... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria
sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam. Sunyi
mengikuti kata‐kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak
lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang‐cu, meloncat
keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang
sudah menjadi mayat! Dengan tergesa‐gesa Swi Liang membawa dua mayat
itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian
kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat. Akan
tetapi hatinya lega dan diam‐diam dia menyesali perbuatannya sendiri.
Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke
dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka,
PART 238
sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan.
Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati
konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu,
keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa‐apa dua orang gadis itu
telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman
akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka
demi keselamatan dirinya sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya
menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga,
mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya
memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira
bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap
agar supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia
harus cepat‐cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi.
Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada
kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu,
menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan
pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri
seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia
mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit‐mijit
kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit
tubuh selir itu. Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya
keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membakar dadanya dan api
itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki
yang halus lunak dan hangat. "Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti
seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang
memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya
engkau, Liang‐cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali,
nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal‐pegal....." Dan selir itu
sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang.
Pemuda itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat
yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang menengadah itu.
Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam
agak mengeriting itu terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkarlingkar
menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga. Dahi yang
melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak
makin putih terhias anak rambut yang menghitam dan sepasang alis yang
hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang terpejam
sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata
menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang
menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis,
agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu,
sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah
bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu,
pinggang itu....! Swi Liang menelan ludahnya berkali‐kali dan jari‐jari
PART 239
tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui Hui dapat
merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya
dan bertanya, "Ada apakah Liang‐cu? Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak
apa‐apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita..... hamba sampai merasa
terharu memandangi Paduka....." "Aihhh...., hi‐hik, kau aneh, Liang‐cu Coba
kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan beritahukan kepada penjaga di luar
bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak beristirahat. Oya, suruh
penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku.
Setelah itu, kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur." Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah
itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu
sehingga mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum
itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan
pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat
itu. "Nanti dulu, Liang‐cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku.
Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak panas...." kata Yang Kui Hui
sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah
berkembang. Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya
seperti tercekik. Dengan jari‐jari tangan gemetar dia membantu puteri itu
membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai
pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah
lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya dibuka,
Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang.
Tercium olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat
selir Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari
bandingnya. "Hi‐hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan
matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan teguran itu menyadarkan Swi
Liang yang segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau,
seolah‐olah melihat bidadari turun dari langit...." Selir Kaisar itu tertawa
senang. "Aihh, kata‐katamu seperti seorang laki‐laki saja! Hayo pijiti aku lagi
dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan
perintah ini dengan penuh gairah. Jari‐jari tangannya kembali memijit betis
dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri
itu terkekeh kegelian. "Hi‐hi‐hik, kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang
dan kuat seperti tangan laki‐laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan
tubuhnya dan kini rebah terlentang, karena pakaian dalam yang tipis itu
tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi. Cahaya
kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang
membayang di balik pakaian tipis itu seolah‐olah telanjang bulat di
depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal‐pegal rasanya. Akan tetapi jangan
kuat‐kuat, perlahan saja, Liang‐cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati
seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu berahi
seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria.
Namun tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak sembrono, dan sambil
Share This Thread