PART 240
menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah,
menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan
menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu dan
jari‐jari tangannya seolah‐olah bertemu langsung dengan kulit paha karena
hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah‐olah
mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan
sama sekali dia tidak berani memandang wajah puteri itu karen takut kalaukalau
Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul sampai ke
ubun‐ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani
bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya
menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali keliru
bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau
memang aneh, Liang‐cu. Benar kata‐kata beberapa orang pelayan yang
selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari
ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan‐jantanan? Kau patut
menjadi seorang laki‐laki. Suaramu agak berat, gerak‐gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolaholah
hedak menelanku bulat‐bulat setiap kali kau melihatku! Hi‐hik, aku
sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk
meningikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan
hamba." "Ah, tidak apa‐apa, Liang‐cu. Engkau sudah berjasa besar,
dan....hem..... keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu
hanya karena kau seorang gadis kang‐ouw yang berkepandaian silat tinggi.
kalau engkau seorang pria sejati, hi‐hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih
menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti jari‐jari tangan yang tadi menarinari
dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar‐debar dengan
kerasnya sehingga suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya
dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah
membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang
tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua
cita‐citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila‐gila ini dan
sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi
suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subonya! Tiba‐tiba Swi Liang
berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba....
hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia
melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan
dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi‐hik,
Liang‐cu. Engkau memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau
menjadi laki‐laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi.
Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari
PART 241
menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah,
menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan
menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu dan
jari‐jari tangannya seolah‐olah bertemu langsung dengan kulit paha karena
hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah‐olah
mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan
sama sekali dia tidak berani memandang wajah puteri itu karen takut kalaukalau
Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul sampai ke
ubun‐ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani
bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya
menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali keliru
bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau
memang aneh, Liang‐cu. Benar kata‐kata beberapa orang pelayan yang
selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari
ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan‐jantanan? Kau patut
menjadi seorang laki‐laki. Suaramu agak berat, gerak‐gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolaholah
hedak menelanku bulat‐bulat setiap kali kau melihatku! Hi‐hik, aku
sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk
meningikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan
hamba." "Ah, tidak apa‐apa, Liang‐cu. Engkau sudah berjasa besar,
dan....hem..... keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu
hanya karena kau seorang gadis kang‐ouw yang berkepandaian silat tinggi.
kalau engkau seorang pria sejati, hi‐hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih
menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti jari‐jari tangan yang tadi menarinari
dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar‐debar dengan
kerasnya sehingga suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya
dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah
membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang
tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua
cita‐citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila‐gila ini dan
sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi
suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subonya! Tiba‐tiba Swi Liang
berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba....
hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia
melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan
dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi‐hik,
Liang‐cu. Engkau memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau
menjadi laki‐laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi.
Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari
PART 242
terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk cium ganas, menerkamnya
seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya
dan membelit‐belitnya. Manusia, baik laki‐laki atau wanita, kaya atau miskin,
dari golongan ningrat maupun jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi
akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka,
lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah
tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan
JILID 15 Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah, seperti
nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum
habis bahan bakarnya! Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan
dirinya, akan gerak‐gerik dirinya lahir maupun batin, takkan kehilangan
kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat dicengkeram oleh nafsu
dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana
menolak nikmat hidup yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak.
Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar‐bebar akan dapat
menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap
hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak dikejar‐kejarnya. Dialah orang
menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan
kewaspadaan dan memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya,
lahir maupun batinnya, bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan
dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh
kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan gerak‐geriknya, tanpa celaan
tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap
diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan
mengekang nafsu, tidak akan ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan
dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu‐waktu nafsu yang masih
menguasai diri itu meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktuwaktu akan
dapat menyala lagi, demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan
pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan. Dengan
pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan
sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak
tampak untuk sewaktu‐waktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG
NAFSU ADALAH NAFSU JUGA. Mengekang berarti menggunakan kekerasan
menuruti keinginan! Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan
melampiaskan nafsu berahinya, terlena di pembaringan, wajahnya yang agak
pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita
cantik itu tersenyum. Jari‐jari tangannya yang halus itu bergerak membelai
dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia
menghela nafas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan
barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya
terseret oleh nafsu berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang
menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini
tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan
menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui
Hui bangkit duduk dan perlahan‐lahan, agar jangan membangunkan pemuda
PART 243
itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah dari wajah
Swi Liang dan sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang
mereka lakukan semalam ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas
sampai akhirnya tertidur kelelahan. Betapapun juga, pemuda itu terlalu
halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman
bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan
hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah
boleh disebut seorang laik‐laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan
pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang
seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar,
menonjolkan kejantanan yang amat hebat! Sedangkan pemuda ini, terlalu
halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi,
pemuda ini tentulah seorang mata‐mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri.
Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan
terkena rayuan seorang mata‐mata. Untung mata‐mata ini belum bertindak
terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui
bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati‐hati dia
mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas
tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap‐indap menuju ke
pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun
pintu perlahan‐lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik‐bisik dengan
beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain
setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul itu
akan melaksanakan perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur
nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan
keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang
kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja
terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya,
lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia membalik ke kanan, lengan kirinya
dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dai membuka matanya ketika tangan
dan kakinya bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk,
menoleh ke kanan kiri, mencari‐cari. yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!
Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di
dalam hatinya. Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena
khawatir kalau‐kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki
keadaanya, bergegas dia menyambar pakaiannya, dan cepat mengenakan
pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya. Dengan tergesa‐gesa dia
menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk
memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya dan sia‐sia
bedak dimukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuma‐ciuman Yang Kui
Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya
ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar
itu! Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu
Yang Kui Hui sengaja hendak main‐main dengan dia! Tak mungkin wanita itu
melakukan hal yang bukan‐bukan dan merugikannya setelah apa yang
PART 244
mereka nikmati bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut
dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir
Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu,
membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar itu,
padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang
pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap
pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara biasa lalu menanyakan di
mana adanya majikan mereka yang cantik itu. "Beliau tadi memerintahkan
bahwa kalau Liang‐lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke
dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana." Mendengar kata‐kata ini,
Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah
dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang
angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir itu ingin
melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar
jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain! "Ha‐ha, kau
cerdik sekali, mais," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu
itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum‐senyum
membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di
dalam pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah
dan luas itu. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang
biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari
naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan
tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah
membersihkan taman. Ketika melewati tempat di mana dia malam‐malam
beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi
Liang menggerakan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak
terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya dan untuk menekan perasaanya,
dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal orang lain
kecuali dia itu. Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk
pintu pondok sambil berkata dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh
rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis, bukalah pintu,
aku sudah amat rindu kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka
dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan
kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh
orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan! "Menyerahlah
engkau, Liang‐cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!" komandan
pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan
kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah
lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa... apa... dosaku....?" Dia bertanya gagap,
saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki‐laki yang keluar dari
mulutnya. Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan
membentak. "Lekas berlutut dan menyerah!" Swi Liang maklum bahwa
rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa
yang telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak
menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia
PART 245
tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka. "Mampuslah!"
bentaknya sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan
kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri menghantam pengawal
ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyunghuyung,
akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang,
mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah‐muntah darah
karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang
dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata‐rata memiliki
ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot
jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan kosong! "Jangan
bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup‐hidup!" beberapa kali komandan
berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena
beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus.
Dalam keadaan luka‐luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar
tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa
pelayan wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang
pemuda dan mungkin mata‐mata musuh yang sengaja menyelundup.
Mendengar ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa
untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan
yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku. Ada beberapa
macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat
patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari
kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula.
Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi
kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa
dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam
hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu saja mengharapkan
sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik" di
alam baka! Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran
semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang bersemangat demikian
sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan
gagah. Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena
dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya
untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita‐cita subonya terlaksana.
Kalau putera subonya sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicitacitakan
subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri! Karena
semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal
patahlah semangatnya. Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut
Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es
yang kini menjadi Ketua Bu‐tong‐pai dan yang bersekutu dengan Pangeran
tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu
kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu saja
menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari
kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal
PART 246
kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Butong‐
pai yang memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera
Lu‐san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan
karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik
dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi
seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang,
keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini
tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret
seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang
bersalah adalah dirinya sendiri! Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu
dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam lingkungan apa
pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap
saat, tak mungkin terseret atau ternoda, seperti emas murni atau bunga
teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang
yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa
karena "akunya"menonjol dan Si Aku ini memang selalu ingin menang
sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala
keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh
dengan ular‐ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan
lain‐lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan. Pasukan yang
kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari
Kaisar sendiri, tiba di Bu‐tong‐san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin,
Ketua Bu‐tong‐pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah melarikan diri
bersama anak buah yang setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan.
Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah
lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia
merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang
mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerang Bu‐tongpai,
tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu.
Maka diamdiam dia lalu lolos dari Bu‐tong‐san, bersama anak buahnya yang
setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua
dari komplotan ini. Seperti di ketahui, Kiam‐mo Cai‐li Liok Si yang menjadi
datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan
tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai, di kaki Pengunungan Luliangsan,
menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari
kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan
daerah berbahaya dan rahasia itu. Pelarian dari Bu‐tong‐pai ini diterima
dengan baik oleh Kiam‐mo Cai‐li Liok Si yang memperoleh kesempatan
menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan
Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya. "Aku hanya
merasa kecewa sekali mengenangkan muridmuridku," kata The Kwat Lin
dengan suara gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang
mata‐mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal
kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu
PART 247
katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa
dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun
dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan
kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan
hati gemas. "Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu,
mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela. "Hem, Cai‐li, jangan kau
menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu‐tong‐pai setelah kini
menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu.
Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan.
Betapapun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang
puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?" Kiam‐mo Cai‐li
tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita‐cita
yang besar sekali. "The‐pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian
seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai
pemberontak dan aku akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah.
Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita‐citaku hanya satu,
ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh
kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya." Kiam‐mo Cai‐li
mengangguk‐angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia
membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku." The Kwat
Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam‐mo
Cai‐li, kita bukan anak‐anak kecil lagi, kita sama‐sama wanita dan kita saling
mengetahui isi hati masing‐masing. Engkau sudah banyak menolongku,
masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan
dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup
semati?" Kiam‐mo Cai‐li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa
engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan
keras dan bercita‐cita tinggi, The‐lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan
kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih
menguntungkan kita." "Bagaimana?" "Bersekutu dengan An Lu Shan!" The
Kwat Lin memandang wajah Kiam‐mo Cai‐li dengan alis berkerut. Majikan
Rawa Bangkai itu tersenyum dan diam‐diam The Kwat Lin harus memuji
bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum
kelihatan masih muda dan masih cantik. Kata‐kata Kiam‐mo Cai‐li
mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya. Sudah
terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang
dapat bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api
pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri
hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang
Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya ini mengusulkan untuk bersekutu dengan
An Lu Shan! "Cai‐li, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan
matanya memandang tajam menyelidik. "Aih, The‐lihiap, aku tahu mengapa
engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman dahulu
pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan?Demi
PART 248
tercapainya cita‐cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik
menjadi kawan!" Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum.
"kau benar, Cai‐li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia
mau?" "Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu.
Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita‐cita
merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan
bantuan orang‐orang pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan
tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar‐debar dan menggosok‐gosok
pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu‐ragu.
"Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku akan
menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan
kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya." Wanita cerdik Kiam‐mo Cai‐li
berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu Shan
mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The
Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari
pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam‐mo Cai‐li Liok
Si. Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu.
Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya
kelihatan gagah perkasa dan tangkas. Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal
berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan genangan
air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput
dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang‐kadang tidak nampak
airnya. Bahkan seolah‐olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang
berbahaya sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa
dan salah injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok
ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki
terbenam, disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu
dalam sekali dan karena amat lembek, maka seolah‐olah menyedot kaki,
padahal kaki orang atau binatang itu tenggelam terus secara perlahan‐lahan
dan lupur itu memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah‐olah
disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang
merupakan perangkap‐perangkap maut dari alam ini, juga di situ terdapat
banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumputrumput
dan tetumbuhan lain. Jauh dari rawa, tampak ditengah‐tengah rawa
itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunanbangunan yang tampak dari
jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk
mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi
rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan‐bangunan itu adalah
sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam‐mo cai‐li.
Karena seringkali terdapat bangkai‐bangkai binatang‐binatang yang
terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadangkadang
tampak mayat mausia‐manusia yang sampai membusuk dimakan
lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai! Karena
Kiam‐mo‐Cai‐li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk
mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi
OART 249
alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri
untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini
hidup aman dan teteram di kaki Pegunungan Lu‐liang‐san itu, tempat ini
menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak
buahnya. Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi
rawa. Tiga orang di antara mereka laki‐laki tua berusia antara lima puluh
sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki‐laki berusia tiga puluh
tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu
masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun,
tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya
mengandung sinar keras. Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan lakilaki
muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak
membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong!
Bagaimana dia sekarang bersama laki‐laki dan tiga orang kakek dapat berada
di tepi Rawa Bangkai? Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin
Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri
dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki‐laki yang ternyata adalah
seorang mata‐mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki‐laki itu
bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati,
maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga
mata‐mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari
tembok Bu‐tong‐pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus
dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki
Pegunungan Bu‐tong‐san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah
hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat
akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis
mengguguk. Laki‐laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas
panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena
pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka
seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air
mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata,
"Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan
yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan.
Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri
dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan
semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada orangorang
yang telah merusak hidup kita." Kata‐kata yang dikeluarkan dengan
suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan
basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru
melihat nyata akan wajah masing‐masing. Wajah pria itu menimbulkan
kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung
laki‐laki itu berdebar dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio
bertanya. "Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata‐mata,
seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam
penyelidikanku di Bu‐tong‐pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau
PART 250
adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah
murid dari Ketua Butong‐ pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan
nasibmu semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar!
Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam
kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan
kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya
dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan
tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat
baik Gurumu yang amat lihai. Jalan satu‐satunya, marilah ikut aku, mengabdi
kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau
akan dapat membalas dendam." "Kau.... kau seorang prajurit bawahan
Jenderal itu?" Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan
perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan diri dengan Angoanswe
dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu‐tongpai.
Aku disuruh menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin
Ong dan Bu‐tong‐pai. An‐goanswe adalah seorang yang amat cerdik. Dia
biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia
harus tahu segala gerak‐gerik musuh, baik gerak‐gerik Kaisar maupun
pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah
melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali
dan melaporkan hasil penyelidikanku kepada An‐goanswe. kau ikutlah, akan
kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki
kepandaian yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong."
"Aku.... aku tidak suka menjadi pemberontak." "Hemm,apakah kaukira aku
suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan
karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati
terhadap pemerintah." "Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang
gagah itu."mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya
jalannya saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa San‐Pai yang
tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan
condong untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari
terjadilah hal yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku..." Swi
Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat lalu berkata, "Liem‐twako,
kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan
riwayatnya secara singkat. Dia tinggal di kota Ma‐Kiubun, sebuah kota yang
cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup tenang dan bahagia dengan
isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko
obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa
kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda‐tanda
mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke
kelenteng untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan
secepatnya. "Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun
dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil
menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan
PART 251
berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi
bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera
bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya!
Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam
kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia
termangu‐mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar
penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat
dia mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia
menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang
dilihatnya? "Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia
pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia
mengakhiri ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.
"Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia menyentuh lengan Toan Ki
dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio‐hwesio
******* itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem‐twako!" Toan
Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka
saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona.
Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu
pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu‐membantu, akulah yang akan
membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu.
Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas dan lunas. Pemuda
bangsawan ******* itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu!
Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu
Shan yang segera menerimaku karena dia membutuhkan bantuan
kepandaianku." "Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib
buruk sekali seperti aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat
bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut bersamamu menghadap
Jenderal An Lu Shan." Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar
saja seperti dikatakan laki‐laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam
rombongan orang‐orang gagah bukan perajurit yang menjadi
pembantupembantu An Lu Shan. Persahabatannya dengan Liem Toan Ki
menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih‐benih cinta kasih di antara
kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan
keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya
keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio
mengatakan bahwa dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi
apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup
sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apalagi karena perjodohan
mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orangorang
yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya.
Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio,
bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan orang‐orang berkepandaian
tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan
PART 252
Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang
ahli gwakang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok ini biarpun usianya sudah
lima puluh tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk
mengangkat seekor kerbau bunting Di samping tenaganya yang besar, juga
dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya. Kakek kedua
adalah pat‐jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang
berusia enam puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan
baru, selalu memegang sebatang tongkat butut dan siapa pun, bahkan An Lu
Shan sendiri, menyebutnya Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini
hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat‐jiu Mo‐kai
tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama besarnya
sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan
selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga
menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum
pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai
akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan. Orang ke tiga, berusia
lima puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut
Agama To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan
kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal,
namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya
itu bahkan mampu menandingi tongkat Pat‐jiu Mo‐kai! Setelah Liem Toan Ki,
Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang
memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari
The Kwat Lin bekas ketua Bu‐tong‐pai yang mengajak kerjasama dalam
menentang Kaisar. "Aku sengaja mengutus Ngo‐wi (kalian Berlima) untuk
menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah benarbenar dia hendak
bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk
mengukur hati gurunya. Kalau dia benar‐benar hendak bersekutu, tentu dia
tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi
pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu
bersama dua orang Lo‐enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka
yang hendak bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalaukalau
terancam bahaya." Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang
kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka
memandang ke arah pulau di tengah‐tengah rawa yang tampak dari tempat
itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa
dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar
akan bahayanya melintasi rawa itu. "Saya hanya baru satu kali mengunjungi
tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia
ditanya oleh teman‐temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam‐mo Cai‐li
yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap
lompatanya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja
aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat‐lompat ke tanah kiri,
kadang‐kadang membalik lagi." "Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia
yang sukar diketahui orang luar," kata Pat‐jiu Mo‐kai sambil meraba‐raba
PART 253
dagunya yang berjenggot panjang. "Dan menurut Kiam‐mo Cai‐li, katanya
meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan
penuh dengan jebakan alam. Kadang‐kadang dia membawa kami meloncat ke
bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata
bagian itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering
di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya
sekali. Ketika pulang ke Bu‐tong‐san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia
tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun
tidak dapat mengingat kembali jalan berliku‐liku itu." "Bagaimana kalau kita
menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau
pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi‐moi. Kita berempat
mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu
sehingga andaikata kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat
menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitupun boleh, akan kucoba mengingat‐ingat, akan tetapi harus kau
sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!" "Ah, aku tidak
setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba‐tiba Tan Goan Kok berkata
dengan suaranya yang parau dan nyaring. "Akan tetapi aku tidak takut, Tanlo‐
enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem‐koko yang memegang
ujung talinya, aku tidak takut apa‐apa lagi. Andaikata aku terjeblos, tentu
akan dapat cepat ditariknya naik lagi." "Bukan tidak setuju karena takut,
melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan
ejekan. Perlu apa kita harus mencari‐cari jalan rahasia yang disembunyikan
orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri‐curi
seperti segerombolan maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan
pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil mengerutkan
alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di
tengah rawa itu sebagai tamu‐tamu yang datang secara gagah. Karena kalau
usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio
terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka
memandang rendah saja. Akan tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka
dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka
menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak
tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata,
"Dapat! Aku teringat akan orang‐orang Mongol yang menggunakan akal
mencari ikan di rawa‐rawa seperti ini!" Empat orang kawanannya
memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan.
"Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.
"Mereka menggunakan bambu‐bambu sebagai perahu." "ahh, mana
mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok
di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput,"
bantah Pat‐jiu Mo‐kai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut. "Kita
jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing‐masing
menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok
Tojin singkat, akan tetapi teman temannya sudah dapat menangkap
PART 254
maksudnya. "Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita
dapat meluncur melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang. "Hemm,
kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati‐hati, benar‐benar mengerahkan
ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan
makin menjadi bahaya tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali.
Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat‐jiu Mo‐kai yang
bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. Tak lama
kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang
terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh, seolah‐olah lima orang itu
terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari
dekat barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar
yang kedua ujungnya telah diperuncing dan mereka menggunakan dayung
kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah.
Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba‐coba untuk
menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak
kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga
kaki dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka
seolah olah melekat pada batang bambu itu tidak dapat berputar, dan dengan
ginkang mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat
memperingan tubuh mereka dan bambu yang mereka injak itu meluncur
cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang‐orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah
Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia
telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es!
Diam‐diam, dari tempat persembunyian mereka, banyak pasang mata
mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu meluncur
datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu
menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu
menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang
menghadang di tengah perjalanan itu, orang‐orang Rawa Bangkai menjadi
kagum dan segera melaporkan kepada Kiam‐mo Cai‐li dan The Kwat Lin akan
kedatangan lima orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding
sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di
antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali. "*******," desisnya
marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!" "Ahhh, The‐lihiap,
mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu,
melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk
memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi
utusan An Lu Shan," kata Kiam‐mo Cai‐li. The Kwat Lin tercengang dan
teringat akan cita‐citanya. Memang benar, urusan pribadi harus
dikesampingkan kalau dia ingin agar cita‐citanya yang amat tinggi untuk
putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam‐mo Cai‐li
berunding bagaimana untuk menghadapi lima orang itu, utusan‐utusan An
Lu Shan dimana termasuk bekas muridnya itu. Kiam‐mo Cai‐li yang amat
cerdik lalu memberi nasihat‐nasihat sehingga keduanya dapat mengatur
Share This Thread