Page 19 of 28 FirstFirst ... 9151617181920212223 ... LastLast
Results 271 to 285 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #271

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 270
    mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai
    seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau
    Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?"
    Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba‐raba
    tembok istana dan berbisik‐bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali
    akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja
    Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
    "Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku
    begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu
    Bwee berbisik‐bisik dan meraba‐raba tembok seolah‐olah dia hendak
    bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba‐tiba jari
    tangannya menyentuh huruf‐huruf terukir di situ. Matanya terbelalak
    memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar,
    tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari
    tangannya! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum
    aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu,
    rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia
    keturunan Kai‐ong." "Ohhh....!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya
    seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat
    menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu
    bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini
    membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng‐geleng kepalanya. Dia
    kagum sekali. Raja Pulau Es benar‐benar hebat, dalam saat terakhir melawan
    badai masih sempat menuliskan huruf secara itu. "Jelas bahwa badai telah
    membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati‐hati. Liu Bwee tersadar.
    Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman
    jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia
    sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi. "Duhai
    suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya.
    Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat
    membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air
    dengan mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat
    dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan
    gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan
    dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf‐huruf di
    bawah. Agaknya huruf‐huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di
    dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah
    mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia
    membaca lagi, "Bwee‐moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian
    menghukum aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan
    suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat
    menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu.
    Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan
    di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke
    dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika

  2. Hot Ad
  3. #272

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 271
    memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima
    pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat. Dengan tergesa‐gesa,
    Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat
    mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun
    obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es,
    memasak obat dan mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian
    dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam
    suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh
    nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee
    mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan
    keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali.
    Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan
    oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah
    tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu‐tahu dia berada di dalam
    kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa
    ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya
    dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan
    lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.
    "Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk kau
    pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini engkau menjagaku,
    mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?" "Hemmm...., tak perlu
    dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau
    suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan
    berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong,
    siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat
    baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu,
    legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua
    penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat
    dan baru‐baru ini datang pula ke pulau kosong ini." Liu Bwee memandang
    dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Aku melihat bekas
    tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas
    membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga
    menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan
    memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu
    dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia
    mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan
    pengikat rambut anaku! Di mana tapak‐tapak kaki itu, Toako? Ingin aku
    melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan
    benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda
    bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke
    pulau itu. Seorang laki‐laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat
    Hong dan Sin Liong? "Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi
    di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouwtwako."
    Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah
    orang‐orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan

  4. #273

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 272
    berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk
    mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu." "Kalau begitu, aku
    akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke
    daratan besar." Ouw Sian Kok mengangguk‐angguk. "Kukira dugaanmu tidak
    keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat
    sana?" Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut
    karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari
    puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es,
    daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah
    wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh
    semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku,
    pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu
    mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
    Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki‐laki itu penuh
    harapan dan terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu
    menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup
    sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau
    seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri
    apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup
    berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan
    banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah‐limpah itu, Toako. Semoga
    kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk
    membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah
    seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia
    menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab,
    hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan
    pembalasan yang berlipat ganda bagiku." Berangkatlah kedua orang ini
    meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun
    dia bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang
    bermain‐main dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita bahkan
    dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas
    itu berjalan lancar. "Ha‐ha‐ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si
    Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap‐pwe Enghiong
    (Delapan Belas Pendekar) dari Bu‐tong‐pai? kami adalah patriotpatriot
    sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik
    darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!" Ucapan ini
    keluar dari mulut seorang laki‐laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh
    tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adikadik
    seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun
    delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu
    dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam
    dan bersenjata lengkap, bahkan mereka mengejek dan menantang komandan
    pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu
    pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang,
    kesemuanya laki‐laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana

  5. #274

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 273
    dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
    menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu
    Shan itu. Cap‐pwe Eng‐hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu‐tong‐san
    ini adalah murid‐murid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu‐tong‐pai. Mereka
    termasuk para anggauta Bu‐tong‐pai yang meninggalkan Bu‐tong‐pai ketika
    The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang‐orang
    gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin
    merebut kekuasaan di Bu‐tong‐pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.
    The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi
    wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru
    mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas
    tongkat pusaka Bu‐tong‐pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Butong‐
    pai tidak dapat berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri
    karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu‐tong‐pai dipimpin oleh
    Kui Tek Tojin kembali ke Bu‐tong‐san dan kedatangan pasukan pemerintah
    yang menyerbu Bu‐tong‐pai mereka sambut dengan penjelasan yang
    menyadarkan pihak pemerintah. Namun, sebagai akibatnya, Bu‐tong‐pai
    sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan "kebersihannya" dengan
    jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan
    cara inilah Bu‐tong‐pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada
    pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu
    mulai turun tangan menentang pasukan‐pasukan An Lu Shan setiap kali
    terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Butong‐
    pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu
    mana‐mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu
    pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan
    Belas Pendekar Bu‐tong itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas
    orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh
    pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas
    orang pendekar Bu‐tong‐pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk
    melawan mati‐matian. Ucapan Song Kiat, Twa‐suheng (Kakak Seperguruan
    Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan
    di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba‐aba dan
    menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap‐pwe
    Eng‐hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas
    orang pedekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan
    yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan
    pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan
    para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka melawan
    dengan mati‐matian, bantu‐membantu dan memutar pedang mereka dengan
    pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan
    belas orang ini dijuluki Cap‐pwe Eng‐hiong karena gerakan mereka memang
    cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan
    yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga
    empat orang lawan, mereka mempertahankan diri dengan baik, bahkan lewat

  6. #275

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 274
    tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh
    pedang Cap‐pwe Eng‐hiong yang mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke
    delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan.
    Berturut‐turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda
    darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka malang melintang
    menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh lebih
    orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan
    komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat.
    Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat
    Cap‐pwe Eng‐hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat
    membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan
    diri. Akan tetapi, tiba‐tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih
    seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta
    mereta mereka itu menerima aba‐aba untuk menyerbu dan membantu
    kawan‐kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi
    jumlahnya ini mengejutkan hati Cap‐pwe Eng‐hiong yang tidak menyangkanyangkanya,
    namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan
    menambah kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka
    segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
    Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat
    sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat
    pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang
    menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri.
    Mereka itu adalah seorang laki‐laki dan seorang wanita yang bukan lain
    adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es,
    telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berharihari
    sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai
    orang‐orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini
    penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat
    mengherankan hati mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata
    lirih. "Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia
    ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang‐binatang hutan.
    Manusia‐manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat
    perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee
    menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benarbenar
    tidak mengenal arti kegagahan sama sekali." "Jika tidak keliru
    dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat
    pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benarbenar
    harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok banyak dan
    didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."
    "Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu
    mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang
    lemah harus kita bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat
    ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut ked

  7. #276

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 275
    merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok
    merobohkan enam orang yang dilemparlemparkan seperti orang membuang
    rumput‐rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas orang
    pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas
    pandang saja maklumlah mereka bahwa laki‐laki dan wanita asing yang tibatiba
    membantu mereka itu adalah orang‐orang yang luar biasa lihainya!
    Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya,
    sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak
    pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut
    Ouw Sian Kok. Laki‐laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan
    cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya
    merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap
    tombak itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan
    membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan
    pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat
    komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang
    sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik
    dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu
    dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya,
    dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani
    menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini
    amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang
    anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
    membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih
    sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan
    melarikan diri meninggalkan teman‐teman yang terluka! Delapan belas orang
    pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita
    luka‐luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak
    kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu.
    Song Kiat mewakili saudara‐saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan
    Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia
    berkata, "Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu‐tong‐pai
    menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji‐wi Taihiap dan Lihiap yang
    telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan ******‐****** pemberontak
    itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji‐wi yang mulia?" Liu Bwee hanya
    memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang
    sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan
    bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami
    berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini
    tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama
    hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok
    dengan mereka ?" JILID 17 Delapan belas orang itu saling pandang,
    kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata terbelalak heran.
    Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata‐kata Ouw Sian
    Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak

  8. #277

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 276
    mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan
    pemberontak An Lu Shan? Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat
    dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapapertapa
    sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak
    mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua
    orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali
    nama Bu‐tong‐pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti
    kepada negara menentang pemberontakan. "Agaknya Ji‐wi tidak tahu akan
    keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid‐murid Butongpai
    yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pembeontak.
    Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An
    Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya
    kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah
    dikeroyok oleh pasukaan itu. Melihat kesaktian Ji‐wi, demi keselamatan
    negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji‐wi membantu usaha
    penyelidikan kami itu." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng
    kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami
    sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan
    pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena
    kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain
    itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
    Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau
    mencamuri urusan pemerintah, akan tetapi karena mereka berdua sudah
    menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan
    kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silahkan Taihiap kalau
    hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan
    sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau‐kalau
    Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang
    bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami
    akan merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang
    pernah melihat mereka itu." Delapan belas orang pendekar itu saling
    pandang dan masing‐masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di
    antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf,
    Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu,
    akan tetapi namanama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan
    mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor
    kepada Ji‐wi?" Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak
    mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang‐orang Bu‐tong‐pai,
    apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu‐tong‐pai yang bernama The Kwat
    Lin?" Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka
    terkejut bukan main karena tidak menyangka‐nyangka bahwa wanita
    perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Butong‐
    pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki
    kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini
    mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin! Akan

  9. #278

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 277
    tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda
    dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan
    mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun belum mengenal.
    Maka dengan berani, berbeda dengan sute‐sutenya yang berpendapat untuk
    tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura
    kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya
    bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?" Liu
    Bwee membelalakan matanya dan sinar matanya berapi‐api. "Sahabat? Apa
    kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!" Mendengar
    ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas
    orang sutenya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan
    terheran‐heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee membentak. "Maafkan,
    kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan
    Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau‐kalau Jiwi mempunyai
    hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh
    Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena
    iblis betina itu adalah musuh besar Bu‐tong‐pai." "Ahhh...! Bukankah dia
    dahulu anak murid Bu‐tong‐pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa
    dia musuh besar Bu‐tong‐pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar
    riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik. "Benar,
    ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak
    Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di
    antaraCap‐sha Sin‐hiap (Tiga Belas Pendekar), murid‐murid dari Supek kami
    almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia
    menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama
    seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa
    menundukan Suhu kami, Ketua Bu‐tong‐pai yang sah, bahkan telah
    merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan Ketua Bu‐tong‐pai. Iblis
    betina itu merampas Bu‐tong‐pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua
    Bu‐tong‐pai....." "Ahhh....! Benar‐benar iblis dia!" Liu Bwee memaki. "Dia
    becita‐cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim murinya menyelundup
    ke istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena
    kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah
    melarikan diri dari Bu‐tong‐pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami.
    Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu‐tong‐pai dibasmi oleh
    pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah,
    kini Bu‐tong‐pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An Lu
    Shan." Ouw Sian Kok mengangguk‐angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang
    menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di
    manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya. Ingin dia
    bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan
    merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan
    huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan bantuan Ouw Sian
    Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
    "Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah

  10. #279

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 278
    selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami
    menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat
    apakah itu" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang
    bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu. "Rawa
    Bangkai adalah sebuah temapat yang amat berbahaya dan tidak ada orang
    berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas
    secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya
    dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu
    sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di
    antara datuk‐datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam‐mo Cai‐li, seorang wanita
    yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam‐mo Cai‐li
    telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia
    melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah
    berbahaya bagi orang‐orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat
    berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas
    kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi,
    karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami." Liu Bwe dan Ouw
    Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang ini sudah
    terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata
    mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata‐kata perundingan. Liu
    Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami
    berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami
    tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi
    kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
    Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka
    membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai." Berseri wajah
    delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja
    hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh
    An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan
    tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah
    Telaga Utara itu. Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka
    menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan mempermudah
    penyelesaian tugas mereka. Berangkatlah delapan belas orang itu
    mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang
    terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat
    rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang‐orang
    gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
    mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu‐tong‐pai itu
    tentang orangorang kang‐ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang
    mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan
    delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia
    adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di
    daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu mereka
    menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja,
    bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau

  11. #280

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 279
    yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas
    pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An
    Lu Shan dan para pembantunya, jika dia hendak mengadakan perundingan
    dengan para tokoh kang‐ouw yang berilmu tinggi untuk membagi‐bagi tugas
    kerja. Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara
    puncak‐puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apalagi
    puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurangjurang
    amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan,
    merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang ke telaga itu. Berbeda
    dengan pertempuran‐pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu
    Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan
    pengawal melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman
    pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap
    pengawal‐pengawal pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang‐ouw
    yang mengadakan pertemuan di Telah Utara itu adalah rata‐rata orang lihai,
    baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih yang membantu An Lu
    Shan dengan pamrih masing‐masing. Sebagian besar yang datang dari
    golongan besih adalah orang‐orang kang‐ouw yang menaruh dendam kepada
    kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan
    adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenangsenang
    dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat
    sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para
    patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang
    datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang
    membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda,
    ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. An Lu Shan biarpun
    kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli
    dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia
    pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung dihati para orang pandai
    yang membantunya, namun dia pura‐pura tidak tahu karena pada waktu itu
    dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiapsiap
    untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa
    dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman
    kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini
    bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam‐diam,
    secara sembunyi, dia menaruh mata‐mata dan penjaga yang melakukan
    penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap
    gerak‐gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerakgerik
    para tokoh kang‐ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan.
    Apalagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan
    secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali. Demikianlah, ketika delapan
    belas orang pendekar Bu‐tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada
    pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak‐gerik mereka telah diamat‐amati
    para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat
    lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa

  12. #281

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 280
    ada dua puluh orang yang gerak‐geriknya lincah dan merupakan orang‐orang
    asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar
    membayangi saja dua puluh orang itu. "Hendak kulihat bagaimana mereka
    akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita,"
    katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki telaga, setelah mereka
    masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian
    perintahnya. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam
    yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima
    belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh
    lebih orang kang‐ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap
    membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu?
    Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia
    harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi
    Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau
    dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh
    keraguan ketika mereka semua berdiri didepan jurang yang ternganga lebar
    di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan
    curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut
    yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya
    begitu saja? Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling
    gunung ini di halangi jurang seperti ini?" Song Kiat orang tertua dari Bu‐tong
    Cap‐pwe Eng‐hiong, mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini
    dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurangjurang.
    Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus
    menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana caranya kalian hendak
    menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang
    memiliki kepandaian jauh melampaui mereka, merasa ragu‐ragu untuk
    mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini. "Rintangan ini telah
    kami pelajari dan perhitungkan masak‐masak sebelum kami berangkat ke
    sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal
    untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat
    sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu‐satunya adalah membuat
    jembatan manusia dari sini ke seberang jurang." "Jembatan manusia? Apa
    maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan
    khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan
    sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan
    melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak
    ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee
    dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu
    beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas
    membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kudakuda
    dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban‐kin‐liat sehingga kedua kakinya
    seolah‐olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya,
    apalagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda‐kuda seperti itu, enam
    ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari

  13. #282

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 281
    tanah! Dia berdiri memasang kuda‐kudanya di belakang sebongkah batu
    yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa
    tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan
    berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke
    empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing‐masing berdiri di pundak
    saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah‐olah
    merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap
    naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak
    orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di
    atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas
    orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak
    bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming,
    seolah‐olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat
    baginya! Kemudian atas aba‐aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki
    maing‐masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu
    merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua
    tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke
    depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam
    jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu
    orang paling bawah, memasang kuda‐kuda dan memegangi kedua kaki orang
    terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee
    dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana
    cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu
    sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang
    kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar
    karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa
    mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam
    jurang! Kini susunan orang itu telah melintang dan orang teratas telah
    berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat,
    yang berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh
    merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan
    main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan
    kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi
    kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang lebih
    dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata‐kata ini
    menyadarkan kedua orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw
    Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak
    rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu‐ragu lagi lalu melangkah
    dan "Menyeberang" melalui jembatan manusia yang sambung menyambung
    dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah
    dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok
    telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee
    yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok
    menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan
    pedang rampasan di tangan kanan, dengan hatihati sambil mengerahkan

  14. #283

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 282
    ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan
    melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya,
    Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga!
    Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon
    dekat Ouw Sian Kok sambil berkata, "Mereka benar‐benar merupakan
    pendekar‐ pendekar yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan
    merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk
    membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua orang itu menyeberang
    dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu
    mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara‐saudaranya,
    kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas
    dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya
    menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah‐olah putus di ujung sana
    dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak
    orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang
    berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang
    delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan
    agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini.
    Namun, dengan cekatan dan terlatih, maasing‐masing kini hanya merangkul
    kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang
    bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang
    ketika tubuh mereka terhayun dekat dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian
    orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini yang paling berat
    baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas
    yang mengunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon
    dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada
    kakinya! Pantas saja twasuheng ini menjadi orang pertama karena memang
    tugasnya paling berat, dan ji‐suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari
    delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi
    Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia
    melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik
    ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama
    kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan
    selamat! "Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong!"
    Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah melihat daerah ini
    dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama
    berbulan‐bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini.
    Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu
    Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut
    penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh
    menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak
    berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat." Ouw Sian Kok menoleh ke
    kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara
    Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku,
    tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan

  15. #284

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 283
    tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja.
    Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...." "Apapun yang akan terjadi,
    setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw‐toako, tidak perlu
    kita khawatir." Liu Bwee menghibur. Mereka lalu begerak maju memasuki
    daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah
    tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak
    nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir
    dan curiga. "Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan
    meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" Baru saja Ouw Sian
    Kok mengeluarkan kata‐kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara
    gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga
    maupun dari belakang pohon dan semak‐semak. "Celaka, kita terjebak...!"
    Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa‐gesa delapan
    belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana
    mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan
    tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke
    depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya. Ternyata di
    tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang
    siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah
    itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk
    jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan
    akan tewas semua. Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu
    kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa
    Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap tidak
    tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam
    perangkap. Penyelidikan kita yang sudah‐sudah pun agaknya sudah
    diketahui oleh orang‐orang An Lu Shan. Ternyata secara diam‐diam An Lu
    Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah
    berbahaya." "Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa
    bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah.
    Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya
    hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?" Mendengar ucapan
    Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang
    murid Bu‐tong‐pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami
    bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga‐duga dan apalagi kami
    telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya
    pula." "Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung
    kita menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah
    mengalami banyak kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es,
    bahaya bukanlah apa‐apa dan merupakan hal yang wajar. "Kalau begitu, mari
    kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia,
    tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau
    perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh
    semangat sambil mencabut pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas
    orang sutenya dan dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana

  16. #285

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 284
    telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka
    tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri
    diiringkan oleh puluhan orang yang bermacam‐macam bentuk dan
    keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak
    memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa
    tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang‐orang yang bersenjata
    lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi
    mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati‐matian apabila
    diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya. Ternyata memang An Lu
    Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak
    buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang
    pendekar dari Bu‐tong‐pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu
    diselamatkan oleh dua orang laki‐laki dan wanita yang memiliki kesaktian
    luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur
    persiapan untuk menyambut mereka. "Mereka tentu akan mengunjungi
    tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan
    tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu
    dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama,
    terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah
    kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Butong‐ pai itu masuk ke
    dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia
    menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan
    manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi
    tentulah Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu
    Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak
    memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi
    mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin lagi berpura‐pura atau
    membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat
    menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal
    pemberontak An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para
    pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi
    musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan
    dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan
    tetapi diam‐diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada
    laki‐laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang
    memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu. "Sungguh kami
    merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu‐tong‐pai masih juga
    belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia‐nyiakan
    sebuah perkumpulan besar seperti Bu‐tongpai, juga telah menghinanya
    menganggap Bu‐tong‐pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang, Cuwi
    malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orangorang
    gagah demikian rendah dirinya, menjilat‐jilat kalau dihina oleh pihak
    yang lebih tinggi?" "Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami
    membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat
    berteriak lantang. An Lu Shan tertawa. "Ha‐ha‐ha, bagus sekali! Demikianlah

Page 19 of 28 FirstFirst ... 9151617181920212223 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •