PART 270
mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai
seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau
Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?"
Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba‐raba
tembok istana dan berbisik‐bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali
akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja
Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
"Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku
begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu
Bwee berbisik‐bisik dan meraba‐raba tembok seolah‐olah dia hendak
bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba‐tiba jari
tangannya menyentuh huruf‐huruf terukir di situ. Matanya terbelalak
memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar,
tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari
tangannya! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum
aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu,
rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia
keturunan Kai‐ong." "Ohhh....!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya
seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat
menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu
bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini
membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng‐geleng kepalanya. Dia
kagum sekali. Raja Pulau Es benar‐benar hebat, dalam saat terakhir melawan
badai masih sempat menuliskan huruf secara itu. "Jelas bahwa badai telah
membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati‐hati. Liu Bwee tersadar.
Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman
jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia
sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi. "Duhai
suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya.
Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat
membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air
dengan mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat
dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan
gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan
dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf‐huruf di
bawah. Agaknya huruf‐huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di
dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah
mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia
membaca lagi, "Bwee‐moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian
menghukum aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan
suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat
menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu.
Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan
di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke
dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika
PART 271
memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima
pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat. Dengan tergesa‐gesa,
Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat
mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun
obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es,
memasak obat dan mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian
dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam
suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh
nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee
mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan
keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali.
Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan
oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah
tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu‐tahu dia berada di dalam
kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa
ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya
dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan
lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.
"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk kau
pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini engkau menjagaku,
mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?" "Hemmm...., tak perlu
dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau
suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan
berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong,
siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat
baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu,
legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua
penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat
dan baru‐baru ini datang pula ke pulau kosong ini." Liu Bwee memandang
dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Aku melihat bekas
tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas
membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga
menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan
memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu
dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia
mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan
pengikat rambut anaku! Di mana tapak‐tapak kaki itu, Toako? Ingin aku
melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan
benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda
bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke
pulau itu. Seorang laki‐laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat
Hong dan Sin Liong? "Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi
di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouwtwako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah
orang‐orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan
PART 272
berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk
mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu." "Kalau begitu, aku
akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke
daratan besar." Ouw Sian Kok mengangguk‐angguk. "Kukira dugaanmu tidak
keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat
sana?" Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut
karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari
puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es,
daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah
wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh
semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku,
pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu
mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki‐laki itu penuh
harapan dan terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu
menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup
sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau
seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri
apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup
berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan
banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah‐limpah itu, Toako. Semoga
kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk
membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah
seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia
menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab,
hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan
pembalasan yang berlipat ganda bagiku." Berangkatlah kedua orang ini
meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun
dia bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang
bermain‐main dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita bahkan
dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas
itu berjalan lancar. "Ha‐ha‐ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si
Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap‐pwe Enghiong
(Delapan Belas Pendekar) dari Bu‐tong‐pai? kami adalah patriotpatriot
sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik
darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!" Ucapan ini
keluar dari mulut seorang laki‐laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adikadik
seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun
delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu
dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam
dan bersenjata lengkap, bahkan mereka mengejek dan menantang komandan
pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu
pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang,
kesemuanya laki‐laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana
PART 273
dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu
Shan itu. Cap‐pwe Eng‐hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu‐tong‐san
ini adalah murid‐murid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu‐tong‐pai. Mereka
termasuk para anggauta Bu‐tong‐pai yang meninggalkan Bu‐tong‐pai ketika
The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang‐orang
gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin
merebut kekuasaan di Bu‐tong‐pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.
The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi
wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru
mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas
tongkat pusaka Bu‐tong‐pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Butong‐
pai tidak dapat berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri
karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu‐tong‐pai dipimpin oleh
Kui Tek Tojin kembali ke Bu‐tong‐san dan kedatangan pasukan pemerintah
yang menyerbu Bu‐tong‐pai mereka sambut dengan penjelasan yang
menyadarkan pihak pemerintah. Namun, sebagai akibatnya, Bu‐tong‐pai
sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan "kebersihannya" dengan
jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan
cara inilah Bu‐tong‐pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada
pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu
mulai turun tangan menentang pasukan‐pasukan An Lu Shan setiap kali
terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Butong‐
pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu
mana‐mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu
pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan
Belas Pendekar Bu‐tong itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas
orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh
pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas
orang pendekar Bu‐tong‐pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk
melawan mati‐matian. Ucapan Song Kiat, Twa‐suheng (Kakak Seperguruan
Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan
di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba‐aba dan
menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap‐pwe
Eng‐hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas
orang pedekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan
yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan
pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan
para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka melawan
dengan mati‐matian, bantu‐membantu dan memutar pedang mereka dengan
pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan
belas orang ini dijuluki Cap‐pwe Eng‐hiong karena gerakan mereka memang
cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan
yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga
empat orang lawan, mereka mempertahankan diri dengan baik, bahkan lewat
PART 274
tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh
pedang Cap‐pwe Eng‐hiong yang mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke
delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan.
Berturut‐turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda
darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka malang melintang
menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh lebih
orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan
komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat.
Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat
Cap‐pwe Eng‐hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat
membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan
diri. Akan tetapi, tiba‐tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih
seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta
mereta mereka itu menerima aba‐aba untuk menyerbu dan membantu
kawan‐kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi
jumlahnya ini mengejutkan hati Cap‐pwe Eng‐hiong yang tidak menyangkanyangkanya,
namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan
menambah kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka
segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat
sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat
pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang
menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri.
Mereka itu adalah seorang laki‐laki dan seorang wanita yang bukan lain
adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es,
telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berharihari
sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai
orang‐orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini
penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat
mengherankan hati mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata
lirih. "Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia
ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang‐binatang hutan.
Manusia‐manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat
perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee
menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benarbenar
tidak mengenal arti kegagahan sama sekali." "Jika tidak keliru
dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat
pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benarbenar
harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok banyak dan
didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."
"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu
mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang
lemah harus kita bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat
ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut ked
PART 275
merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok
merobohkan enam orang yang dilemparlemparkan seperti orang membuang
rumput‐rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas orang
pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas
pandang saja maklumlah mereka bahwa laki‐laki dan wanita asing yang tibatiba
membantu mereka itu adalah orang‐orang yang luar biasa lihainya!
Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya,
sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak
pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut
Ouw Sian Kok. Laki‐laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan
cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya
merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap
tombak itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan
membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan
pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat
komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang
sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik
dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu
dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya,
dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani
menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini
amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang
anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan,
membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih
sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan
melarikan diri meninggalkan teman‐teman yang terluka! Delapan belas orang
pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita
luka‐luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak
kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu.
Song Kiat mewakili saudara‐saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan
Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia
berkata, "Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu‐tong‐pai
menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji‐wi Taihiap dan Lihiap yang
telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan ******‐****** pemberontak
itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji‐wi yang mulia?" Liu Bwee hanya
memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang
sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan
bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami
berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini
tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama
hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok
dengan mereka ?" JILID 17 Delapan belas orang itu saling pandang,
kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata terbelalak heran.
Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata‐kata Ouw Sian
Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak
PART 276
mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan
pemberontak An Lu Shan? Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat
dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapapertapa
sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak
mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua
orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali
nama Bu‐tong‐pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti
kepada negara menentang pemberontakan. "Agaknya Ji‐wi tidak tahu akan
keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid‐murid Butongpai
yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pembeontak.
Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An
Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya
kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah
dikeroyok oleh pasukaan itu. Melihat kesaktian Ji‐wi, demi keselamatan
negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji‐wi membantu usaha
penyelidikan kami itu." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng
kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami
sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan
pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena
kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain
itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau
mencamuri urusan pemerintah, akan tetapi karena mereka berdua sudah
menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan
kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silahkan Taihiap kalau
hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan
sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau‐kalau
Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang
bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami
akan merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang
pernah melihat mereka itu." Delapan belas orang pendekar itu saling
pandang dan masing‐masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di
antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf,
Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu,
akan tetapi namanama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan
mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor
kepada Ji‐wi?" Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak
mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang‐orang Bu‐tong‐pai,
apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu‐tong‐pai yang bernama The Kwat
Lin?" Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka
terkejut bukan main karena tidak menyangka‐nyangka bahwa wanita
perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Butong‐
pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki
kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini
mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin! Akan
PART 277
tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda
dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan
mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun belum mengenal.
Maka dengan berani, berbeda dengan sute‐sutenya yang berpendapat untuk
tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura
kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya
bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?" Liu
Bwee membelalakan matanya dan sinar matanya berapi‐api. "Sahabat? Apa
kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!" Mendengar
ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas
orang sutenya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan
terheran‐heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee membentak. "Maafkan,
kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan
Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau‐kalau Jiwi mempunyai
hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh
Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena
iblis betina itu adalah musuh besar Bu‐tong‐pai." "Ahhh...! Bukankah dia
dahulu anak murid Bu‐tong‐pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa
dia musuh besar Bu‐tong‐pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar
riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik. "Benar,
ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak
Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di
antaraCap‐sha Sin‐hiap (Tiga Belas Pendekar), murid‐murid dari Supek kami
almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia
menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama
seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa
menundukan Suhu kami, Ketua Bu‐tong‐pai yang sah, bahkan telah
merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan Ketua Bu‐tong‐pai. Iblis
betina itu merampas Bu‐tong‐pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua
Bu‐tong‐pai....." "Ahhh....! Benar‐benar iblis dia!" Liu Bwee memaki. "Dia
becita‐cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim murinya menyelundup
ke istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena
kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah
melarikan diri dari Bu‐tong‐pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami.
Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu‐tong‐pai dibasmi oleh
pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah,
kini Bu‐tong‐pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An Lu
Shan." Ouw Sian Kok mengangguk‐angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang
menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di
manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya. Ingin dia
bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan
merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan
huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan bantuan Ouw Sian
Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
"Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah
PART 278
selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami
menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat
apakah itu" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang
bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu. "Rawa
Bangkai adalah sebuah temapat yang amat berbahaya dan tidak ada orang
berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas
secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya
dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu
sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di
antara datuk‐datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam‐mo Cai‐li, seorang wanita
yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam‐mo Cai‐li
telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia
melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah
berbahaya bagi orang‐orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat
berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas
kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi,
karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami." Liu Bwe dan Ouw
Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang ini sudah
terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata
mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata‐kata perundingan. Liu
Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami
berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami
tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi
kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka.
Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka
membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai." Berseri wajah
delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja
hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh
An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan
tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah
Telaga Utara itu. Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka
menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan mempermudah
penyelesaian tugas mereka. Berangkatlah delapan belas orang itu
mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang
terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat
rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang‐orang
gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu‐tong‐pai itu
tentang orangorang kang‐ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang
mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan
delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia
adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di
daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu mereka
menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja,
bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau
PART 279
yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas
pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An
Lu Shan dan para pembantunya, jika dia hendak mengadakan perundingan
dengan para tokoh kang‐ouw yang berilmu tinggi untuk membagi‐bagi tugas
kerja. Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara
puncak‐puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apalagi
puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurangjurang
amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan,
merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang ke telaga itu. Berbeda
dengan pertempuran‐pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu
Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan
pengawal melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman
pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap
pengawal‐pengawal pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang‐ouw
yang mengadakan pertemuan di Telah Utara itu adalah rata‐rata orang lihai,
baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih yang membantu An Lu
Shan dengan pamrih masing‐masing. Sebagian besar yang datang dari
golongan besih adalah orang‐orang kang‐ouw yang menaruh dendam kepada
kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan
adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenangsenang
dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat
sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para
patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang
datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang
membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda,
ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. An Lu Shan biarpun
kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli
dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia
pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung dihati para orang pandai
yang membantunya, namun dia pura‐pura tidak tahu karena pada waktu itu
dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiapsiap
untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa
dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman
kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini
bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam‐diam,
secara sembunyi, dia menaruh mata‐mata dan penjaga yang melakukan
penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap
gerak‐gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerakgerik
para tokoh kang‐ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan.
Apalagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan
secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali. Demikianlah, ketika delapan
belas orang pendekar Bu‐tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada
pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak‐gerik mereka telah diamat‐amati
para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat
lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa
PART 280
ada dua puluh orang yang gerak‐geriknya lincah dan merupakan orang‐orang
asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar
membayangi saja dua puluh orang itu. "Hendak kulihat bagaimana mereka
akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita,"
katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki telaga, setelah mereka
masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian
perintahnya. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam
yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima
belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh
lebih orang kang‐ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap
membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu?
Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia
harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi
Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau
dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh
keraguan ketika mereka semua berdiri didepan jurang yang ternganga lebar
di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan
curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut
yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya
begitu saja? Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling
gunung ini di halangi jurang seperti ini?" Song Kiat orang tertua dari Bu‐tong
Cap‐pwe Eng‐hiong, mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini
dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurangjurang.
Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus
menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana caranya kalian hendak
menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang
memiliki kepandaian jauh melampaui mereka, merasa ragu‐ragu untuk
mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini. "Rintangan ini telah
kami pelajari dan perhitungkan masak‐masak sebelum kami berangkat ke
sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal
untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat
sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu‐satunya adalah membuat
jembatan manusia dari sini ke seberang jurang." "Jembatan manusia? Apa
maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan
khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan
sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan
melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak
ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu
beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas
membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kudakuda
dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban‐kin‐liat sehingga kedua kakinya
seolah‐olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya,
apalagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda‐kuda seperti itu, enam
ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari
PART 281
tanah! Dia berdiri memasang kuda‐kudanya di belakang sebongkah batu
yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa
tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan
berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke
empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing‐masing berdiri di pundak
saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah‐olah
merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap
naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak
orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di
atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas
orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak
bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming,
seolah‐olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat
baginya! Kemudian atas aba‐aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki
maing‐masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu
merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua
tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke
depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam
jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu
orang paling bawah, memasang kuda‐kuda dan memegangi kedua kaki orang
terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana
cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu
sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang
kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar
karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa
mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam
jurang! Kini susunan orang itu telah melintang dan orang teratas telah
berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat,
yang berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh
merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan
main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan
kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi
kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang lebih
dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata‐kata ini
menyadarkan kedua orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw
Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak
rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu‐ragu lagi lalu melangkah
dan "Menyeberang" melalui jembatan manusia yang sambung menyambung
dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah
dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok
telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee
yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok
menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan
pedang rampasan di tangan kanan, dengan hatihati sambil mengerahkan
PART 282
ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan
melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya,
Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga!
Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon
dekat Ouw Sian Kok sambil berkata, "Mereka benar‐benar merupakan
pendekar‐ pendekar yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan
merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk
membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua orang itu menyeberang
dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu
mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara‐saudaranya,
kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas
dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya
menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah‐olah putus di ujung sana
dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak
orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang
berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang
delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan
agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini.
Namun, dengan cekatan dan terlatih, maasing‐masing kini hanya merangkul
kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang
bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang
ketika tubuh mereka terhayun dekat dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian
orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini yang paling berat
baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas
yang mengunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon
dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada
kakinya! Pantas saja twasuheng ini menjadi orang pertama karena memang
tugasnya paling berat, dan ji‐suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari
delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi
Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia
melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik
ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama
kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan
selamat! "Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong!"
Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah melihat daerah ini
dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama
berbulan‐bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini.
Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu
Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut
penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh
menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak
berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat." Ouw Sian Kok menoleh ke
kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara
Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku,
tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan
PART 283
tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja.
Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...." "Apapun yang akan terjadi,
setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw‐toako, tidak perlu
kita khawatir." Liu Bwee menghibur. Mereka lalu begerak maju memasuki
daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah
tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak
nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir
dan curiga. "Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan
meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" Baru saja Ouw Sian
Kok mengeluarkan kata‐kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara
gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga
maupun dari belakang pohon dan semak‐semak. "Celaka, kita terjebak...!"
Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa‐gesa delapan
belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana
mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan
tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke
depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya. Ternyata di
tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang
siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah
itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk
jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan
akan tewas semua. Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu
kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa
Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap tidak
tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam
perangkap. Penyelidikan kita yang sudah‐sudah pun agaknya sudah
diketahui oleh orang‐orang An Lu Shan. Ternyata secara diam‐diam An Lu
Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah
berbahaya." "Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa
bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah.
Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya
hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?" Mendengar ucapan
Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang
murid Bu‐tong‐pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami
bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga‐duga dan apalagi kami
telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya
pula." "Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung
kita menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah
mengalami banyak kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es,
bahaya bukanlah apa‐apa dan merupakan hal yang wajar. "Kalau begitu, mari
kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia,
tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau
perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh
semangat sambil mencabut pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas
orang sutenya dan dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana
PART 284
telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka
tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri
diiringkan oleh puluhan orang yang bermacam‐macam bentuk dan
keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak
memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa
tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang‐orang yang bersenjata
lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi
mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati‐matian apabila
diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya. Ternyata memang An Lu
Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak
buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang
pendekar dari Bu‐tong‐pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu
diselamatkan oleh dua orang laki‐laki dan wanita yang memiliki kesaktian
luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur
persiapan untuk menyambut mereka. "Mereka tentu akan mengunjungi
tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan
tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu
dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama,
terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah
kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Butong‐ pai itu masuk ke
dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia
menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan
manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi
tentulah Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu
Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak
memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi
mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin lagi berpura‐pura atau
membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat
menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal
pemberontak An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para
pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi
musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan
dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan
tetapi diam‐diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada
laki‐laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang
memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu. "Sungguh kami
merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu‐tong‐pai masih juga
belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia‐nyiakan
sebuah perkumpulan besar seperti Bu‐tongpai, juga telah menghinanya
menganggap Bu‐tong‐pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang, Cuwi
malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orangorang
gagah demikian rendah dirinya, menjilat‐jilat kalau dihina oleh pihak
yang lebih tinggi?" "Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami
membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat
berteriak lantang. An Lu Shan tertawa. "Ha‐ha‐ha, bagus sekali! Demikianlah
Share This Thread