PART 285
semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu
antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak,
melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas
oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang‐senang belaka.Marilah kita
bersama‐sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun
sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai
manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah." Ucapan yang keluar
dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan dan
memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai
sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung.
Tiba‐tiba Liu Bwee yang biarpun hanya seorang wanita namun pernah
menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar
daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga
mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas
orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik
pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan
merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya." Mendengar ucapan ini,
sadarlah pendekar dari Bu‐tong‐pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An
Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami
tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan
nama besar sebagai pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian
kami, harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan
darah dan nyawa!" Kedua pihak sudah "panas", akan tetapi An Lu Shan masih
bersabar, mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata,
"Terserah pemilihan Cuwi dari BU‐tong‐pai. Akan tetapi karena Jiwi yang
datang bersama Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong merupakan manusia‐manusia
sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula
Jiwi mencampuri urusan Bu‐tong‐pai yang memusuhi kami." "Kami berdua
hanyalah orang‐orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu‐tong
Cap‐pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk
membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung jawab kami dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka
mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima
penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari
dunia kang‐ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu
kami menghadapi orang‐orang Bu‐tong‐pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami
sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam
dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha membujuk
Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba‐tiba Liu Bwee
berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu
bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang
yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari pada
nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu
disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian
PART 286
bukan apa‐apa dan kami yang sudah berjanji kepada Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong,
tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap,
apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa."
An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang
kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan
menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh?
Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya
menerjang maju! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu
seperti mengerti isi hati masing‐masing, maka hampir berbareng mereka
berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum
bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus
berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan
pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap,
tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu
akan melumpuhkan semangat lawan. Melihat gerakan mereka berdua. An Lu
Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya
bahwa dua orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa
mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja
menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke
belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokohtokoh
kang‐ouw yang berdiri di kanan kiri dan belakangnya. "Trangcringggg‐
cringggg....!!" Para tokoh kang‐ouw itu terkejut bukan main.
Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis
pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat
orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga
yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas
orang pendekar itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi
pembunuhan besar‐besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat
hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak
menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba‐tiba
dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti
"terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang
panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu
silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia
terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya
tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya
menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!" Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah‐patah! Tentu saja
tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong‐gi‐kiam hadiah dari
Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno
yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak
menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan sisa gagang tombaknya
menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan
sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu‐tahu tangan
PART 287
Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini
para pengawal dan orang‐orang kang‐ouw telah mengurungnya dan berhasil
melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak
marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu
mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu
Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk
membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang
yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang
hidupnya yang liar dan ganas. Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi
telaga itu. Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok,
mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu
merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan
An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para
anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka
tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan
hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan
atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang
membahayakan nyawa mereka. Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh,
sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu‐tong‐pai itu mengamuk
dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah,
pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu
roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau
tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh
pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka
melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu‐tongpai
itu seolah‐olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan. Hal
ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan
pengawal‐pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu
lawan. Juga para tokoh kang‐ouw tidak ada yang menganggur, sebagian
menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini
menghadapi delapan belas orang pendekar Bu‐tong‐pai itu. Dan kini pasukan
pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua
sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan
mengeroyok musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Butong‐
pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih
banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang‐orang
kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama
kemudian, Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang
demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah terakhir dan
setelah masing‐masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu
yang biasanya menjadi tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan,
hati itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh
dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang‐orang yang memiliki
PART 288
tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh‐tokoh kang‐ouw yang berada di
situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal
oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang
roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang
dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan
toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini
terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan
dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga,
orang‐orang kang‐ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita
yang amat mereka kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok
mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk
merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya,
disusul dengan berkelebatnya Tiong‐gi‐kiam di tangannya membuat belasan
batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan
main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu. "An Lu
Shan, bebaskan Liu‐toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian
Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!"
Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa
diri dan menyebut‐nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang
mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka,
akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau
Neraka merupakan pulau‐pulau tempat tinggal para dewata dan siluman
yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian tidak tahu dia itu adalah
bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil
menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat
orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua orang terkejut,
termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki‐laki gagah
perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu
dibebaskan? Selagi semua orang ragu‐ragu, terdengarlah suara ketawa, "Hehheh‐
heh, anak‐anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni
Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku
karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja,
namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh
mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata
yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal
sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu
bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh
anak buahnya mengamat‐amati saja. Kakek itu sudah berbulan‐bulan
memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama
sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang
menegangkan itu benar‐benar amat mengherankan hati orang. Ouw Sian Kok
yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika
melihat seorang kakek berpakaian sederhana tambal‐tambalan, bertopi
caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan
dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu, dia cepat memandang wajah
PART 289
kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang
mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini
merupakan seorang tokoh kang‐ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan
pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini
mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. "Sudah tua bangka masih banyak
pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya dan pedangnya
mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulunggulung
ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang. Dengan
tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua
menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu
tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung‐tanggung
sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka
serangan. Akan tetapi tiba‐tiba kakek itu memutar pancingnya dan
terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap waspada
dan ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke
depan menyambutnya, dia cepat menggerakan pedangnya yang ampuh
dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu.
Namun, bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya,
berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh, dan tahu‐tahu
Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa
ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi tangkai pancing, tali
pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena
tali itu kecil saja, dan tahu‐tahu mata pancing itu telah mengait punggung
baju Ouw Sian Kok sehingga seolah‐olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang
terkena pancing! Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak hendak
membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba‐tiba tubuhnya
yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar‐putar di atas kepala
kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu
tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu
mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga,
kaget dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian
Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali! Ouw Sian Kok merasa malu dan
marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu
memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar‐putar itu
agak menurun dan bambu itu melengkung seolah‐olah tidak kuat menahan
tubuhnya. "Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi
karena dia masih memutar‐mutar hasil pancingannya itu dengan amat
cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri dan hanya melirik ke
arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang‐kadang
mencoba untuk menggerakan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
Tiba‐tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw‐toako, jangan melawan....!
Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!" Mendengar seruan
Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan dia menghentikan usahanya untuk
PART 290
menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi
memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh‐heh‐heh, ternyata Pulau
Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali pancing itu mengendur dan
tahu‐tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia
berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah
terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan
yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An‐goan‐swe harap
suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan
wanita itu." Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat
cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat
sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat
daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita‐cita,
berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman
hatinya. Maka tanpa ragu‐ragu lagi dia memberi isyarat kepada orangorangnya
untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini tidak ada
yang berani membantahnya sungguhpun para anak buah dan pembantunya
merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan
tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi? Bukankah
ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya? Liu Bwee yang sudah
terbebas dari totokan dan belenggu, segera menghampiri kakek itu dan
menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan
katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk‐angguk.
"Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau
Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu
Bwee sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu
berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw‐twako, Beliau ini adalah kakek dari
suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai
seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...."
Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari
Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya
tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah
merasakan kelihaian kakek ini, hatinya makin tunduk dan dia pun
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu
Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek
itu terkekeh, "Heh‐heh‐heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah
bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan,
masih saja tidak mau merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian
berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah
kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa,
akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan
belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal mungkin saja
terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut
mereka tidak saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima
geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka
tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia!
PART 291
Maka keduanya lalu mengangguk‐angguk tanpa bicara lagi. Kakek itu merasa
girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An‐goanswe, telah berbulan‐bulan
aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi
penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah,
perkenankan kami bertiga pergi dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju
dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Locianpwe, saya mohon
petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum
bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka
sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakek sakti
itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar‐mutar pancingnya yang
mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian
terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah
terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling
yang timbul dari tali yang diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang
baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih
baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi
tua mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang
menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan
kesengsaraan ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban
kekerasan pula! Suara melengking dan nyanyian terhenti, semua orang
tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan
ketika mereka memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para
pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata,
"Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian
melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian
Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di
balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat‐ingat dan
mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan
nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orangorangnya yang terkenal
ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya.
Yang lama akan terguling yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja
sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama
pasti akan berhasil. Apalagi bait‐bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah
dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.
Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota
yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu
dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah‐olah segala
sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukan dirinya belaka!
Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil
merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil
pembunuhan besar‐besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak
lama kemudian dia dan puteranya berturut‐turut dibunuh oleh kaki
tangannya sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa
yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua
PART 292
pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya
sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu
yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia tidak mau melihat apa
adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu
mengarahkan pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang
belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya.
Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau
sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula
dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula
kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan
berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita
kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya
sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang
buruk, mengerti dengan sedalam‐dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun
terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini,
apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung
keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas
yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi, aku
dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih,
apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan
yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita tinggalkan dulu Liu
Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang
bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah
puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempattempat
sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka
marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng
puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee‐tok Siangkoan Houw.
Setelah mendengar tentang Bu‐tong‐pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin
yang memang sedang mereka cari‐cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu
meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi
menuju ke Pegunungan Bu‐tong‐san. Biarpun kedua orang muda yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat
dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja,
namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian
barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu‐tong‐san. Di kaki gunung tadi
mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Butong‐
pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak‐puncak Pegunungan Bu‐tongsan.
"Hati‐hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu‐tong‐pai." Sin Liong
berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas
lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya
berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Bu‐tong‐pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua
orang Bu‐tong‐pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela
PART 293
The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!" JILID 18 Hati Sin Liong merasa
khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu
dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja
girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan
sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda
kekhawatiran akan sifat Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang
ke Bu‐tong‐pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan
pusaka‐pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi,
setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan
menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin
yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini
menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat
Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak
ingin memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam
bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya! Mereka sudah
mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu‐tong‐pai yang tinggi.
"Sumoi, kauserahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang‐orang Butong‐
pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka
mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka." Swat Hong
mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah
tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina
itu!" Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita
mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah
kabarnyaBu‐tong‐pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai
banyak anak murid?" Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang
yang tertutup tiba‐tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam,
terpentang lebar‐lebar tampaklah lima belas orang laki‐laki tua, di antaranya
beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh
wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat
Hong! Setelah para tokoh Bu‐tong‐pai itu keluar dan berhadapan dengan
mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah
kami berhadapan dengan para Locianpwe dari Bu‐tong‐pai?" Dengan
pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong dan tosu tua
yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian
keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!" Sebagai
jawaban kata‐kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki‐laki gagah
perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon‐pohon dan rumpun, di luar
pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap
dengan tangan di gagang pedang masing‐masing. Melihat ini, timbul
kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah
kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Butong‐
pai. Lekas panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang
agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak
bertemu dengan Ketua Bu‐tong‐pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu
siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?" Swat
PART 294
Hong terbelalak, memandang kaget dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami....
kami tidak datang mencari Totiang...." Para tosu dan semua orang itu saling
pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi
besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, bertanya, "kalau begitu,
siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat Lin...." Baru selesai Swat
Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan
menubruk maju, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun‐ubun kepala Swat
Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong
terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar‐benar amat ganas, kejam dan
berbahaya sekali. Apalagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan
yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan
bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiiittt....!!" dia melengking
panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut. "Dukkkk....
plakkkk....!!" Tangan yang mencengkeram ke arah ubun‐ubunnya dapat dia
tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan
dengan menundukan kepala sedikit, kemudian mendahului dengan jari
tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada
pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu
menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar
dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah
bergerak menendang. "Desss....!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan
jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras! Semua orang terkejut,
juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya,
tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona
muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah
orang‐orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan
ketua Bu‐tong‐pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin
itu berpikir. Hanya orang‐orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang
memiliki ilmu kepandaian seperti ***** itu. Para tosu dan tokoh Bu‐tong‐pai
lainya melihat tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului
oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Butong
Cap‐pwe Enghiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah
mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju
menyerbu dengan pedang di tangan. "Hemm, kalian benar‐benar mengajak
berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal.
Suruh semua orang Bu‐tong‐pai maju mengeroyokku kalau kalian membela
The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan
cahaya seperti hendak menyebarkan maut. Tiba‐tiba Sin Liong membentak.
"Tahan senjata....!!" Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orangorang
Bu‐tong‐pai dan segera terdengar seruan‐seruan kaget ketika tiba‐tiba
di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan
terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahu sebabnya! Sin
Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap
Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang
ke Bu‐tong‐pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu‐tong‐pai
PART 295
karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu‐tong‐pai. Kami datang untuk
mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan Bu‐tong‐pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang
gagah Bu‐tong‐pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela
The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa....? Membela The
Kwat Lin? Bukankah Ji‐wi ini sahabat‐sahabat wanita iblis itu?" "Bicara
lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh
The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian
bukan manusia baik‐baik dan biarlah kubunuh sekalian!" "Siancai....!
Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut
yang tidak bergigi lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu‐tong‐pai! Karena
tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini gara‐gara wanita iblis
yang telah merusak nama baik Bu‐tong‐pai dan membuat kami selalu
menaruh curiga kepada siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah
bicara di dalam!" Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam
bangunan yang menjadi pusat Bu‐tongpai itu, dan dipersilahkan duduk di
ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya,
"Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji‐wi dan mengapa menanam bibit
permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji‐wi
hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga
hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya tidaklah perlu kami
memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan
diri sejauh mungkin dengan urusan kang‐ouw sehingga lebih baik kalau tidak
memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi
dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Butongpai,
maka kami berdua menyusul ke sini." Kui Tek Tojin mengelus
jenggotnya dan mengangguk‐angguk. Diam‐diam dia dapat menduga bahwa
dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada
hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak
bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas
murid Bu‐tong‐pai itu, dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan
diam‐diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya
menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan
pemerintah. "Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi
pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya,
meninggalkan Bu‐tong‐pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama
ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami
telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk
membuktikan bahwa Bu‐tong‐pai tidak bersekutu dengan pemberontak,
terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu‐tong Cap‐pwe
Enghiong, murid‐murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan
tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan." Mendengar ini, Sin
Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali, jauh‐jauh mereka menyusul ke
Bu‐tong‐san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi
di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah. "Aihhh....
PART 296
ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh
kepada Sin Liong. "Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami
beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan
diri ke tempat kediaman Kiam‐mo Cai‐li. Kalau Ji‐wi mencarinya ke sana,
tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu." "Kiam‐mo
Cai‐li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan
wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya. ìDia
adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan
telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiammo
Cai‐li tinggal di Rawa bangkai, di kaki Pegunungan Lu‐liang‐san, tidak
begitu jauh dari sini." "Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Luliang‐
san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri. Sin
Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu‐tong‐pai itu
berkata, "Harap Ji‐wi berhati‐hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang
sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam‐mo Cai‐li
mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang
tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya." "Terima kasih
atas peringatan Locian‐pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan
karena dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang‐orang tua di
Bu‐tong‐pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ. Setelah
berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin
menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang
amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang‐orang dari Pulau
Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau
Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu
seperti dewa!" "Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu
tempatnya?" "Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini
kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka
bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa‐gesa." Swat Hong mengangguk,
mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan
dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya
bersinar‐sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di
dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam‐diam
dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya
sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal,
seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah
bersama keluarga, hidup aman teteram dan penuh kegembiraan, bermainmain
di dalam taman bunga yang indah, bersedau‐gurau, tertawa, bernyanyi,
membaca sajak, atau jari‐jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan
alat‐alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi
bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas
panjang. Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh
di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah
melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu. "Suheng...." Sesuatu
dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat
PART 297
wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap
seperti orang malu? "Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang
rumput, mempermainkannya dengan jari‐jari tangannya, kemudia dalam
keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya.
"Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu
bagaimana?" Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib
dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa
depanya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan
mengembalikan pusaka‐pusaka itu ke Pulau Es." "Hemm, kemudian?' Swat
Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi
sebatang rumput dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput
itu digigit‐gigitnya. "Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibu sampai
dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulaupulau di sekitar Pulau Es, dan
kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari
sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti
mencari." Lama tiada kata‐kata keluar dari mulut yang menggigit‐gigit
rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu
dengan ibu?" "Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu
dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau
hidup bersama ibumu......" "Dan kau?" "Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi
merantau karena tidak ada apa‐apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas.
Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan
itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang
di udara tanpa beban tugas sedikit pun. "Suheng...." "Hemmm.....?" "Kalau
bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?" "Sudah kukatakan
begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai
tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?" Sin
Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di
hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung,
sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir kemudian menjawab tanpa
keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan
meninggalkanmu, Sumoi." "Kita tinggal di mana?" "Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?" "Ya." "Sampai kapan?" Kembali Sin Liong termangumangu
dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku
jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idamidamkan
tadi." "Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang
diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam
melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat
kenikmatan besar." "Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat
kakimu dengan kakiku, Suheng." "Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor
burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!" "Untuk selamanya,
Suheng?" Kembali Sin Liong termangu‐mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau
harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan
PART 298
meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri
seorang laki‐laki yang patut menjadi suamimu." "Tidak sudi!!" Tiba‐tiba Swat
Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi
rumput di mulutnya sudah dikunyah‐kunyah! Sin Liong terbelalak
memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar‐benar terkejut dan heran
sekali mengapa sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara
dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap
sumoinya yang akan dibelanya itu. "Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu
membalikan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu,
biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata
dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk
matanya. "Suheng, engkau....engkau kejam....!" dan sekarang Swat Hong
menangis betul‐betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput,
menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir
keluar dari celah‐celah jari tangannya. Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu
menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya kepada
bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki
kejam. Swat Hong memeras air matanya, mengapus muka dengan
saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau
memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku
sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat bebas merantau
seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa‐siapa
lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan
tetapi.....uhuh‐ uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas.
Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!" "Eh‐eh, Sumoi...., bagaimana
pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang
pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu,
dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada
keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil
memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kaukira aku
harus menungguimu saja?" "Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar
kau dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah menikah
lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah‐olah dia merasa
penasaran. Sin Liong membelalakan matanya memandang. "Eh? Mengapa
begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!" Swat Hong
menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada
suhengnya, disambung kata‐kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun
tidak apa‐apa, akan tetapi engkau seorang wanita...." "Apa bedanya? Kalau
pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya,
aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!" Sin Liong
menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi.
Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa
ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelah
sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling
PART 299
mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak seperti
sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti
sumoinya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya,
sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri
dia memikirkan ini! Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk
termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya
sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah duduk
dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura‐pura tidak
memperhatikan ulah sumoinya. "Suheng...." "Hemmm....?" "Kau marah
kepadaku?" Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu.
Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada
Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini,
agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku." "Suheng, katakanlah.
Mengapa engkau tidak mau menikah?" Pertanyaan ini merupakan serangan
tiba‐tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya.
Dia mengerutkan alisnya, mengosok‐gosok dagunya sebelum menjawab,
kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang
memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar
lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan,
sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat
bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri?
Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan
lain ikatan duniawi lagi?" Swat Hong termangu‐mangu , agaknya tertegun
mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tibatiba
bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?" Sin Liong
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang pertapa berarti
mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari
segala‐galanya." "Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung
masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya
penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukaan sumoinya ini? "Dahulu kita
sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat
mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau
tidak mencinta seorang wanita?" Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak
mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...." "Tidak, Sumoi, kalau yang kau
maksudkan adalah cinta berahi." "Akan tetapi Suheng menolongnya,
membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng
mencintainya?" "Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain,
akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah,
kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga
timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin
cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau
maksudkan itu." "Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali
dan dia terang‐terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah
Share This Thread