Page 20 of 28 FirstFirst ... 10161718192021222324 ... LastLast
Results 286 to 300 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #286

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 285
    semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu
    antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak,
    melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas
    oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang‐senang belaka.Marilah kita
    bersama‐sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun
    sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada
    rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai
    manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah." Ucapan yang keluar
    dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan dan
    memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai
    sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung.
    Tiba‐tiba Liu Bwee yang biarpun hanya seorang wanita namun pernah
    menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar
    daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga
    mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas
    orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik
    pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan
    merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya." Mendengar ucapan ini,
    sadarlah pendekar dari Bu‐tong‐pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An
    Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami
    tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan
    nama besar sebagai pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian
    kami, harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan
    darah dan nyawa!" Kedua pihak sudah "panas", akan tetapi An Lu Shan masih
    bersabar, mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata,
    "Terserah pemilihan Cuwi dari BU‐tong‐pai. Akan tetapi karena Jiwi yang
    datang bersama Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong merupakan manusia‐manusia
    sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula
    Jiwi mencampuri urusan Bu‐tong‐pai yang memusuhi kami." "Kami berdua
    hanyalah orang‐orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu‐tong
    Cap‐pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk
    membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung jawab kami dan tidak ada
    sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka
    mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima
    penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari
    dunia kang‐ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu
    kami menghadapi orang‐orang Bu‐tong‐pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami
    sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam
    dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha membujuk
    Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba‐tiba Liu Bwee
    berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu
    bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang
    yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari pada
    nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu
    disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian

  2. Hot Ad
  3. #287

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 286
    bukan apa‐apa dan kami yang sudah berjanji kepada Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong,
    tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap,
    apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa."
    An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang
    kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan
    menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh?
    Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya
    menerjang maju! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu
    seperti mengerti isi hati masing‐masing, maka hampir berbareng mereka
    berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum
    bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus
    berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan
    pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap,
    tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu
    akan melumpuhkan semangat lawan. Melihat gerakan mereka berdua. An Lu
    Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya
    bahwa dua orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa
    mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja
    menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke
    belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokohtokoh
    kang‐ouw yang berdiri di kanan kiri dan belakangnya. "Trangcringggg‐
    cringggg....!!" Para tokoh kang‐ouw itu terkejut bukan main.
    Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis
    pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat
    orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga
    yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas
    orang pendekar itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi
    pembunuhan besar‐besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat
    hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak
    menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya.
    Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba‐tiba
    dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti
    "terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang
    panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu
    silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia
    terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya
    tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya
    menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak.
    "Trakkkk!" Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah‐patah! Tentu saja
    tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong‐gi‐kiam hadiah dari
    Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno
    yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak
    menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan sisa gagang tombaknya
    menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan
    sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu‐tahu tangan

  4. #288

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 287
    Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini
    para pengawal dan orang‐orang kang‐ouw telah mengurungnya dan berhasil
    melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak
    marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu
    mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu
    Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk
    membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang
    yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang
    hidupnya yang liar dan ganas. Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi
    telaga itu. Bu‐tong Cap‐pwe Eng‐hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok,
    mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu
    merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan
    An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para
    anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka
    tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan
    hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan
    atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang
    membahayakan nyawa mereka. Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan
    Ouw Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh,
    sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu‐tong‐pai itu mengamuk
    dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah,
    pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu
    roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau
    tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh
    pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka
    melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu‐tongpai
    itu seolah‐olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan. Hal
    ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan
    pengawal‐pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu
    lawan. Juga para tokoh kang‐ouw tidak ada yang menganggur, sebagian
    menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini
    menghadapi delapan belas orang pendekar Bu‐tong‐pai itu. Dan kini pasukan
    pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua
    sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan
    mengeroyok musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Butong‐
    pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih
    banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang‐orang
    kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama
    kemudian, Bu‐tong Cap‐pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang
    demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah terakhir dan
    setelah masing‐masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu
    yang biasanya menjadi tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan,
    hati itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh
    dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan
    Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang‐orang yang memiliki

  5. #289

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 288
    tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh‐tokoh kang‐ouw yang berada di
    situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal
    oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang
    roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang
    dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan
    toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini
    terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan
    dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga,
    orang‐orang kang‐ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita
    yang amat mereka kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok
    mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk
    merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya,
    disusul dengan berkelebatnya Tiong‐gi‐kiam di tangannya membuat belasan
    batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan
    main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu. "An Lu
    Shan, bebaskan Liu‐toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian
    Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!"
    Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa
    diri dan menyebut‐nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang
    mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka,
    akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau
    Neraka merupakan pulau‐pulau tempat tinggal para dewata dan siluman
    yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian tidak tahu dia itu adalah
    bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil
    menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat
    orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua orang terkejut,
    termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki‐laki gagah
    perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu
    dibebaskan? Selagi semua orang ragu‐ragu, terdengarlah suara ketawa, "Hehheh‐
    heh, anak‐anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni
    Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku
    karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja,
    namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh
    mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata
    yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal
    sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu
    bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh
    anak buahnya mengamat‐amati saja. Kakek itu sudah berbulan‐bulan
    memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama
    sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang
    menegangkan itu benar‐benar amat mengherankan hati orang. Ouw Sian Kok
    yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika
    melihat seorang kakek berpakaian sederhana tambal‐tambalan, bertopi
    caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan
    dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu, dia cepat memandang wajah

  6. #290

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 289
    kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang
    mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
    seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini
    merupakan seorang tokoh kang‐ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan
    pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini
    mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. "Sudah tua bangka masih banyak
    pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya dan pedangnya
    mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulunggulung
    ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang. Dengan
    tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua
    menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu
    tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung‐tanggung
    sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka
    serangan. Akan tetapi tiba‐tiba kakek itu memutar pancingnya dan
    terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap waspada
    dan ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke
    depan menyambutnya, dia cepat menggerakan pedangnya yang ampuh
    dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu.
    Namun, bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya,
    berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh, dan tahu‐tahu
    Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa
    ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi tangkai pancing, tali
    pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena
    tali itu kecil saja, dan tahu‐tahu mata pancing itu telah mengait punggung
    baju Ouw Sian Kok sehingga seolah‐olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang
    terkena pancing! Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak hendak
    membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba‐tiba tubuhnya
    yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar‐putar di atas kepala
    kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu
    tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu
    mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara.
    Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga,
    kaget dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian
    Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali! Ouw Sian Kok merasa malu dan
    marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu
    memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar‐putar itu
    agak menurun dan bambu itu melengkung seolah‐olah tidak kuat menahan
    tubuhnya. "Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi
    karena dia masih memutar‐mutar hasil pancingannya itu dengan amat
    cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri dan hanya melirik ke
    arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang‐kadang
    mencoba untuk menggerakan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
    Tiba‐tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw‐toako, jangan melawan....!
    Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!" Mendengar seruan
    Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan dia menghentikan usahanya untuk

  7. #291

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 290
    menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi
    memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh‐heh‐heh, ternyata Pulau
    Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali pancing itu mengendur dan
    tahu‐tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia
    berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah
    terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan
    yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An‐goan‐swe harap
    suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan
    wanita itu." Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat
    cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat
    sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat
    daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita‐cita,
    berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman
    hatinya. Maka tanpa ragu‐ragu lagi dia memberi isyarat kepada orangorangnya
    untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini tidak ada
    yang berani membantahnya sungguhpun para anak buah dan pembantunya
    merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan
    tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi? Bukankah
    ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya? Liu Bwee yang sudah
    terbebas dari totokan dan belenggu, segera menghampiri kakek itu dan
    menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan
    katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk‐angguk.
    "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau
    Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu
    Bwee sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu
    berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw‐twako, Beliau ini adalah kakek dari
    suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai
    seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...."
    Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari
    Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya
    tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah
    merasakan kelihaian kakek ini, hatinya makin tunduk dan dia pun
    menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu
    Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek
    itu terkekeh, "Heh‐heh‐heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah
    bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan,
    masih saja tidak mau merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian
    berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah
    kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa,
    akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan
    belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal mungkin saja
    terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut
    mereka tidak saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima
    geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka
    tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia!

  8. #292

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 291
    Maka keduanya lalu mengangguk‐angguk tanpa bicara lagi. Kakek itu merasa
    girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An‐goanswe, telah berbulan‐bulan
    aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi
    penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah,
    perkenankan kami bertiga pergi dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju
    dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Locianpwe, saya mohon
    petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum
    bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka
    sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakek sakti
    itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar‐mutar pancingnya yang
    mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian
    terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah
    terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling
    yang timbul dari tali yang diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang
    baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih
    baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi
    tua mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang
    menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan
    kesengsaraan ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban
    kekerasan pula! Suara melengking dan nyanyian terhenti, semua orang
    tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan
    ketika mereka memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para
    pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata,
    "Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian
    melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian
    Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di
    balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat‐ingat dan
    mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan
    nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orangorangnya yang terkenal
    ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya.
    Yang lama akan terguling yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja
    sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama
    pasti akan berhasil. Apalagi bait‐bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah
    dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula.
    Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota
    yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
    Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu
    dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah‐olah segala
    sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukan dirinya belaka!
    Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil
    merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil
    pembunuhan besar‐besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak
    lama kemudian dia dan puteranya berturut‐turut dibunuh oleh kaki
    tangannya sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa
    yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua

  9. #293

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 292
    pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya
    sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu
    yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia tidak mau melihat apa
    adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu
    mengarahkan pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang
    belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya.
    Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau
    sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula
    dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula
    kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan
    berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita
    kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya
    sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang
    buruk, mengerti dengan sedalam‐dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun
    terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini,
    apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung
    keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas
    yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi, aku
    dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih,
    apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan
    yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita tinggalkan dulu Liu
    Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang
    bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah
    puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempattempat
    sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
    Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka
    marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah dituturkan di
    bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng
    puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee‐tok Siangkoan Houw.
    Setelah mendengar tentang Bu‐tong‐pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin
    yang memang sedang mereka cari‐cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu
    meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi
    menuju ke Pegunungan Bu‐tong‐san. Biarpun kedua orang muda yang
    memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat
    dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja,
    namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian
    barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu‐tong‐san. Di kaki gunung tadi
    mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Butong‐
    pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak‐puncak Pegunungan Bu‐tongsan.
    "Hati‐hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu‐tong‐pai." Sin Liong
    berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas
    lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya
    berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada
    hubungannya dengan Bu‐tong‐pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua
    orang Bu‐tong‐pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela

  10. #294

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 293
    The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!" JILID 18 Hati Sin Liong merasa
    khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu
    dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja
    girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan
    sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda
    kekhawatiran akan sifat Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang
    ke Bu‐tong‐pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan
    pusaka‐pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi,
    setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan
    menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin
    yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini
    menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat
    Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak
    ingin memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam
    bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya! Mereka sudah
    mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu‐tong‐pai yang tinggi.
    "Sumoi, kauserahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang‐orang Butong‐
    pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka
    mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka." Swat Hong
    mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah
    tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina
    itu!" Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita
    mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah
    kabarnyaBu‐tong‐pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai
    banyak anak murid?" Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang
    yang tertutup tiba‐tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam,
    terpentang lebar‐lebar tampaklah lima belas orang laki‐laki tua, di antaranya
    beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh
    wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat
    Hong! Setelah para tokoh Bu‐tong‐pai itu keluar dan berhadapan dengan
    mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah
    kami berhadapan dengan para Locianpwe dari Bu‐tong‐pai?" Dengan
    pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong dan tosu tua
    yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian
    keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!" Sebagai
    jawaban kata‐kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki‐laki gagah
    perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon‐pohon dan rumpun, di luar
    pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap
    dengan tangan di gagang pedang masing‐masing. Melihat ini, timbul
    kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah
    kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Butong‐
    pai. Lekas panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang
    agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak
    bertemu dengan Ketua Bu‐tong‐pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu
    siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?" Swat

  11. #295

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 294
    Hong terbelalak, memandang kaget dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami....
    kami tidak datang mencari Totiang...." Para tosu dan semua orang itu saling
    pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi
    besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, bertanya, "kalau begitu,
    siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat Lin...." Baru selesai Swat
    Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan
    menubruk maju, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun‐ubun kepala Swat
    Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong
    terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar‐benar amat ganas, kejam dan
    berbahaya sekali. Apalagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan
    yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan
    bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiiittt....!!" dia melengking
    panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut. "Dukkkk....
    plakkkk....!!" Tangan yang mencengkeram ke arah ubun‐ubunnya dapat dia
    tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan
    dengan menundukan kepala sedikit, kemudian mendahului dengan jari
    tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada
    pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu
    menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar
    dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah
    bergerak menendang. "Desss....!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan
    jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras! Semua orang terkejut,
    juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya,
    tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona
    muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah
    orang‐orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan
    ketua Bu‐tong‐pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin
    itu berpikir. Hanya orang‐orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang
    memiliki ilmu kepandaian seperti ***** itu. Para tosu dan tokoh Bu‐tong‐pai
    lainya melihat tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului
    oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Butong
    Cap‐pwe Enghiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah
    mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju
    menyerbu dengan pedang di tangan. "Hemm, kalian benar‐benar mengajak
    berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal.
    Suruh semua orang Bu‐tong‐pai maju mengeroyokku kalau kalian membela
    The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan
    cahaya seperti hendak menyebarkan maut. Tiba‐tiba Sin Liong membentak.
    "Tahan senjata....!!" Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orangorang
    Bu‐tong‐pai dan segera terdengar seruan‐seruan kaget ketika tiba‐tiba
    di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan
    terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahu sebabnya! Sin
    Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap
    Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang
    ke Bu‐tong‐pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu‐tong‐pai

  12. #296

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 295
    karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu‐tong‐pai. Kami datang untuk
    mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada
    sangkut pautnya dengan Bu‐tong‐pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang
    gagah Bu‐tong‐pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela
    The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa....? Membela The
    Kwat Lin? Bukankah Ji‐wi ini sahabat‐sahabat wanita iblis itu?" "Bicara
    lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh
    The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian
    bukan manusia baik‐baik dan biarlah kubunuh sekalian!" "Siancai....!
    Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut
    yang tidak bergigi lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu‐tong‐pai! Karena
    tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini gara‐gara wanita iblis
    yang telah merusak nama baik Bu‐tong‐pai dan membuat kami selalu
    menaruh curiga kepada siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah
    bicara di dalam!" Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam
    bangunan yang menjadi pusat Bu‐tongpai itu, dan dipersilahkan duduk di
    ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya,
    "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji‐wi dan mengapa menanam bibit
    permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji‐wi
    hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga
    hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya tidaklah perlu kami
    memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan
    diri sejauh mungkin dengan urusan kang‐ouw sehingga lebih baik kalau tidak
    memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi
    dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Butongpai,
    maka kami berdua menyusul ke sini." Kui Tek Tojin mengelus
    jenggotnya dan mengangguk‐angguk. Diam‐diam dia dapat menduga bahwa
    dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada
    hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak
    bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas
    murid Bu‐tong‐pai itu, dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan
    diam‐diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya
    menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan
    pemerintah. "Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi
    pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya,
    meninggalkan Bu‐tong‐pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama
    ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami
    telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk
    membuktikan bahwa Bu‐tong‐pai tidak bersekutu dengan pemberontak,
    terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu‐tong Cap‐pwe
    Enghiong, murid‐murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan
    tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan." Mendengar ini, Sin
    Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali, jauh‐jauh mereka menyusul ke
    Bu‐tong‐san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi
    di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah. "Aihhh....

  13. #297

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 296
    ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh
    kepada Sin Liong. "Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami
    beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan
    diri ke tempat kediaman Kiam‐mo Cai‐li. Kalau Ji‐wi mencarinya ke sana,
    tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu." "Kiam‐mo
    Cai‐li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan
    wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya. ìDia
    adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan
    telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiammo
    Cai‐li tinggal di Rawa bangkai, di kaki Pegunungan Lu‐liang‐san, tidak
    begitu jauh dari sini." "Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Luliang‐
    san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri. Sin
    Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu‐tong‐pai itu
    berkata, "Harap Ji‐wi berhati‐hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang
    sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam‐mo Cai‐li
    mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang
    tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya." "Terima kasih
    atas peringatan Locian‐pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan
    karena dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang‐orang tua di
    Bu‐tong‐pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ. Setelah
    berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin
    menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang
    amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang‐orang dari Pulau
    Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau
    Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu
    seperti dewa!" "Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu
    tempatnya?" "Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini
    kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka
    bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa‐gesa." Swat Hong mengangguk,
    mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan
    dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya
    bersinar‐sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di
    dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam‐diam
    dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya
    sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal,
    seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah
    bersama keluarga, hidup aman teteram dan penuh kegembiraan, bermainmain
    di dalam taman bunga yang indah, bersedau‐gurau, tertawa, bernyanyi,
    membaca sajak, atau jari‐jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan
    alat‐alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi
    bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas
    panjang. Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh
    di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah
    melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu. "Suheng...." Sesuatu
    dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat

  14. #298

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 297
    wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap
    seperti orang malu? "Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang
    rumput, mempermainkannya dengan jari‐jari tangannya, kemudia dalam
    keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya.
    "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu
    bagaimana?" Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib
    dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa
    depanya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan
    mengembalikan pusaka‐pusaka itu ke Pulau Es." "Hemm, kemudian?' Swat
    Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi
    sebatang rumput dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput
    itu digigit‐gigitnya. "Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibu sampai
    dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulaupulau di sekitar Pulau Es, dan
    kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari
    sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti
    mencari." Lama tiada kata‐kata keluar dari mulut yang menggigit‐gigit
    rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu
    dengan ibu?" "Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu
    dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau
    hidup bersama ibumu......" "Dan kau?" "Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi
    merantau karena tidak ada apa‐apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas.
    Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku."
    Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan
    itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang
    di udara tanpa beban tugas sedikit pun. "Suheng...." "Hemmm.....?" "Kalau
    bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?" "Sudah kukatakan
    begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
    "Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai
    tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?" Sin
    Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di
    hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung,
    sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir kemudian menjawab tanpa
    keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan
    meninggalkanmu, Sumoi." "Kita tinggal di mana?" "Di mana saja sesukamu."
    "Kita berkumpul?" "Ya." "Sampai kapan?" Kembali Sin Liong termangumangu
    dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku
    jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idamidamkan
    tadi." "Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang
    diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam
    melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat
    kenikmatan besar." "Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat
    kakimu dengan kakiku, Suheng." "Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor
    burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!" "Untuk selamanya,
    Suheng?" Kembali Sin Liong termangu‐mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau
    harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan

  15. #299

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 298
    meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri
    seorang laki‐laki yang patut menjadi suamimu." "Tidak sudi!!" Tiba‐tiba Swat
    Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi
    rumput di mulutnya sudah dikunyah‐kunyah! Sin Liong terbelalak
    memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar‐benar terkejut dan heran
    sekali mengapa sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara
    dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap
    sumoinya yang akan dibelanya itu. "Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu
    membalikan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu,
    biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata
    dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk
    matanya. "Suheng, engkau....engkau kejam....!" dan sekarang Swat Hong
    menangis betul‐betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput,
    menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir
    keluar dari celah‐celah jari tangannya. Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu
    menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya kepada
    bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki
    kejam. Swat Hong memeras air matanya, mengapus muka dengan
    saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau
    memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku
    sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat bebas merantau
    seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa‐siapa
    lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan
    tetapi.....uhuh‐ uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku agar dapat bebas.
    Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!" "Eh‐eh, Sumoi...., bagaimana
    pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang
    pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu,
    dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada
    keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil
    memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kaukira aku
    harus menungguimu saja?" "Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar
    kau dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah menikah
    lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah‐olah dia merasa
    penasaran. Sin Liong membelalakan matanya memandang. "Eh? Mengapa
    begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!" Swat Hong
    menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada
    suhengnya, disambung kata‐kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
    "Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun
    tidak apa‐apa, akan tetapi engkau seorang wanita...." "Apa bedanya? Kalau
    pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya,
    aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!" Sin Liong
    menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi.
    Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa
    ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelah
    sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling

  16. #300

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 299
    mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak seperti
    sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti
    sumoinya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya,
    sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri
    dia memikirkan ini! Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk
    termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya
    sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah duduk
    dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura‐pura tidak
    memperhatikan ulah sumoinya. "Suheng...." "Hemmm....?" "Kau marah
    kepadaku?" Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu.
    Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada
    Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada seorang yang marah di sini,
    agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku." "Suheng, katakanlah.
    Mengapa engkau tidak mau menikah?" Pertanyaan ini merupakan serangan
    tiba‐tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya.
    Dia mengerutkan alisnya, mengosok‐gosok dagunya sebelum menjawab,
    kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang
    memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar
    lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan,
    sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat
    bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri?
    Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan
    lain ikatan duniawi lagi?" Swat Hong termangu‐mangu , agaknya tertegun
    mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tibatiba
    bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?" Sin Liong
    tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang pertapa berarti
    mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari
    segala‐galanya." "Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
    Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung
    masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya
    penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukaan sumoinya ini? "Dahulu kita
    sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat
    mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau
    tidak mencinta seorang wanita?" Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
    "Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak
    mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...." "Tidak, Sumoi, kalau yang kau
    maksudkan adalah cinta berahi." "Akan tetapi Suheng menolongnya,
    membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng
    mencintainya?" "Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain,
    akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah,
    kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga
    timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin
    cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau
    maksudkan itu." "Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali
    dan dia terang‐terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah

Page 20 of 28 FirstFirst ... 10161718192021222324 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •