PART 300
engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?" "Hemmmm, sama sekali
tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang
lain." "Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kaucinta?" Sin Liong menggeleng lagi. "Termasuk
aku....?" Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini.
Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang
memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam
lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk,
sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum
tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak
kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti
seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela
untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa
sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi,
karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih
belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat
mendaki puncak yang menjulang tinggi itu. "Sumoi, perlahan dulu....! Hatihatilah....!"
Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya
untuk menyusul sumoinya yang lari seperti ***** itu. Karena agaknya Swat
Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk
melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan
menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki
hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang
mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba‐tiba
bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan‐bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat
Hong membelalakan matanya saking herannya. Mereka berdua telah
dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang
tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja
tidak melihat muka orang‐orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka
berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka
yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orangorang
yang sudah dewasa, bahkan wajah laki‐laki berusia kurang lebih empat
puluh tahun! Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka
kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah, mengandung
kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam‐macam,
senjata yang aneh‐aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka
ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh,
kadang‐kadang tumit mereka diangkat, kadang‐kadang mereka bergerak
sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti kakat,
kadangkadang berloncatan! "Kalian mau apa? Pergi....!!" Swat Hong
membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai
PART 301
terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat empat kali tendangannya
yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh
dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelah, bahkan
hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang
bentuknya seperti gergaji! "Hati‐hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah."
Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan
pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
"Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya
takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa
rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main‐main, maka dia cukup
cerdik untuk mentaati bisikan suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak,
memasang kuda‐kuda dengan pungung saling membelakangi hampir
bersentuhan. Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang
diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari‐jari terbuka, miring di depan
dada. Sin Liong pun memasang kuda‐kuda yang sama, hanya bedanya, dia
memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak
bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri
mengikuti setiap gerak‐gerik para pengurung mereka. "Harap Cuwi jangan
salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk
memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun juga di tempat ini. Kami datang
karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi
tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali." Akan
tetapi, orang‐orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka
sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh‐aneh. Dua orang muda mudi
itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf
di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di antara orang kerdil
itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya, "Mau apa kalian
mencari Rawa Bangkai?" Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu
menjawab dengan bentakan, "Orang‐orang kerdil menjemukan! Kami
mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!" Mata orang‐orang itu melotot
namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang
memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya pemimpin mereka,
yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa
mencari The Kwat Lin?" "Mau kubunuh mampus!" Jawaban Swat Hong ini
seperti merupakan aba‐aba saja karena mendengar mereka memekik aneh
dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi
jantung karena pekik‐pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa
melalui suara yang disertai khingkang. Tentu saja dua orang muda yang
memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah
dikalahkan hanya dengan pekik‐pekik itu. Melihat betapa dua orang muda itu
sama sekali tidak terpengaruh, tiba‐tiba Si pemegang golok bercincin
berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan
cara aneh, yaitu sambil lari mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja
akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat
PART 302
berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri,
sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil
mengerahkan tenaga sinkangnya. "Trang‐trang‐cringggg...!!" Bunyi senjata
tajam bertemu dan terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena
senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu
membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari
pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu. Orangorang
kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja
cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka
keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka
maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi‐tubi, bergantian tanpa
mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik
kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari
arah lain. "Suheng, biar kubasmi *****‐***** pendek ini!" Swat Hong menjadi
tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri
saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu "memberi hati"
kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu. Sebelum Sin Liong
menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara
melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan dan disusul
dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah
pekik berturut‐turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena
sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan
terjangan kaki Swat Hong! Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat
dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam
segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima
orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang!
Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil Bergolok
yang memimpin mereka, segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan
itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang
terluka, Si Pemegang Golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau
memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan
Kiam‐mo Cai‐li!" "Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong
membentak. "Heh‐heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa
kamu itu?" Si Pemegang Golok mengejek. "*******, siapa takut?" Swat Hong
melompat dan mengejar. "Sumoi....!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi
Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali,
apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin
segera berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus
mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar.
Orang‐orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari
hutan memasuki daerah yang tandus berbatu‐batu dan di situ terdapat
banyak gua batu yang besar‐besar, dan dari luar tampak menghitam karena
di sebelah dalam gua tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari
belakang Sin Liong melihat betapa orang‐orang kerdil itu bagaikan
rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki gua‐gua di
PART 303
sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan
yang berada di tengah‐tengah di antara semua gua. "Sumoi, berhenti dulu! Ini
bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena
Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke
dalam gua besar. "Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya
sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat
mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi.
"Sumoi....!!" Dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya
sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia terkejut dan dapat
menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabangcabang. Dia
maju terus dan benar saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong
dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga! "Sumoi....!!"
Dia berteriak lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya
sendiri lima kali berturut‐turut! "Celaka," pikirnya, "Kita telah terjebak!"
Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan sumoinya yang dia
khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang‐orang kerdil. Sin Liong
tanpa ragu‐ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa,
ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari
yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana
masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang
dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
"Aihhh....!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak
memanggil, "Sumoi....!" Gema suaranya mengaung dan membuat
panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari
memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat
bekas tapak sepatu sumoinya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki
kecil‐kecil dari orang‐orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut
taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau.
Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi
bekas dan jejaknyapun belum ditemukan. "Sumoi....!!" Dia berteriak lagi kuatkuat
ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam
gunung yang cukup lebar. Sebagai jawabannya, tiba‐tiba terdengar suara
berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar sinar‐sinar hitam.
Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda‐benda
bersinar itu adalah anak panah‐anak panah yang dilepas dari tempat rahasia.
Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar
yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis
dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh
dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana
nasib sumoinya di tempat berbahaya ini? "Sumoi....!!" Dia segera membalikan
tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali
melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu sampai dia tiba di jalan
simpang empat tadi, kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriakteriak
memanggil nama sumoinya. "Swat Hong....! Han Swat Hong....!!"
Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga
PART 304
dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada
jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin
Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini
dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa
dia tadi tidak melarang sumoinya memasuki gua‐gua rahasia penuh jebakan
ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus dengan hati
gelisah, akan tetapi dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa
tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan
antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat
gua‐guh dan lorong‐lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan
alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang
jebakan‐jebakan yang jahat! "Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu
meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri
kembali di jalan yang telah dilalui, terbelalak memandang ke depan. Kiranya
secara tibatiba sekali, tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya
tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga
meter, terbuka tiba‐tiba sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus,
tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis‐desis
dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau hamis
membuat Sin Liong bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam lubang itu
terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji! "*******....!" desisnya
dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan
mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan. Dia
melompati lubang itu dan melanjukan larinya. Ketika dia berjalan satu li
lebih, lorong itu pun berhenti di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan
besar pula, bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh
sinar dari mana, agaknya ada lubang‐lubang dari mana sinar matahari dapat
masuk. Tiba‐tiba, seolah‐olah muncul dari dalam dinding batu, tampak
seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang‐orang
kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan
sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar‐sinar sedangkan
kumis dan jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari
yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar‐sinar
tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin
Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri
ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek
ini, tiba‐tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba‐tiba
muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan
kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah
dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari
tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi
dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan
lucu. Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan
dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada
tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar‐sinar tanda sebatang senjata yang
PART 305
baik. Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki
permusuhan, biarpun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan
perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi‐locianpwe sudi
memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan
Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku
demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji
akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani
mengganggu lagi." Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat betapa
Sin Liong mengamat‐amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan
sama sekali tidak ada tanda‐tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya,
mereka tertawa dan kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada
ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The‐lihiap dan bilang
tidak ada permusuhan dengan kami? Ha‐ha, orang muda, siapakah engkau?
Dan siapa pula Sumoimu itu?" "Namaku Kwa Sin Liong dan....sesungguhnya
kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini." "Kalau
begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?" "Kami mempunyai urusan
pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak menyangkut diri
orang lain." Kembali dua orang kekek itu tertawa. "Ha‐ha‐ha, aku Ji Bhong
dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan
denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The‐lihiap, berarti kalian
adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin
mengalami keksengsaraan seperti Sumoimu." Sin Liong terkejut sekali, bukan
hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The
Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya. "Di mana Sumoi? Apa
yang kalian lakukan dengan dia?" bentaknya. "Ha‐ha‐ha, menyerahlah dan
baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu
menjawab. Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu menerjang
maju dengan tongkat pendeknya. "Sing....siuuuut.... trang‐trang....!!" Dua orang
kakek itu sudah menggerakan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali
gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin
Liong murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat‐hebat,
maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakan
tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang
kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup
ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti
hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka
memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan‐serangan
bertubi‐tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong
masih merasa tidak tega untuk membunuh orang, maka dia mengeluarkan
suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua
tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari
kanan kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua
tangan kosong! Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya
dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi menangkap
pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar‐benar berani mati karena
PART 306
tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan
mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan
lawan yang menggenggamnya, akan tetapi betapapun ia mengerahkan
tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin
Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot‐betot toyanya, percuma
saja, Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit
dan...tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan kiri!
Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu
dan menyerang melalui lengan mereka masingmasing dan memukul dada,
membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar
dinding, terengah‐engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu
dan tiba‐tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.
"Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri,
namun dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan
kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan kiri. Sin Liong
menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya
menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk,
sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang
toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat
berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat
Hong? Teringat akan sumoinya ini, dia menjadi panik lagi. Andaikata
sumoinya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi
bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa
sumoinya terancam bahaya, benar‐benar menggelisahkan hatinya. Dia
merasa bertanggung jawab akan keselamatan sumoinya, dan dia merasa
seolah‐olah mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa dia
sampai membiarkan dara itu terancam bahaya. Sin Liong menghampiri
dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba‐raba. Lebih satu jam dia
menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di
antara puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang
rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap melalui
lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana
dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak
tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi. Kembali dia
berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang
dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia
bahkan tidak tahu lagi mana jalan keluar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum
dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa
mungkin sekarang di "dunia luar" sudah mulai senja. Bagaimanapun juga, dia
tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong. Sin Liong berjalan terus,
ke mana saja asal bergerak dan dia memperhatikan lorong yang dilaluinya
agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin
gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan meraba‐raba.
Tiba‐tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang
mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan
PART 307
tetapi tiba‐tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu
tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan
menjebaknya! Betapapun juga, dia tidak takut. Dengan hati‐hati dia bergerak
lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak olehnya
adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya,
kakinya yang melangkah hati‐hati tidak menemui jebakan apa‐apa sampai
dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi
sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak perduli, lalu mengambil obor itu
dan diam‐diam berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang
amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat
melanjutkan usahanya mencari Swat Hong. Selagi dia berjalan maju dengan
hati‐hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat
menoleh akan tetapi tidak melihat apa‐apa. Sinar obor itu hanya
mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sananya
kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan
akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda‐benda
hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung‐dengung. Lebah! Banyak
sekali lebah hitam yang datang berterbangan, Seakan berlomba untuk
mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah‐lebah itu
dan Sin Liong maklum sekarang mengapa mereka memberikan sebatang
obor. Tentu untuk menarik lebahlebah itu, dan kalau lebah‐lebah itu cukup
berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah
yang sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan
lebah‐lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai
saputangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan
saputangan yang diputar‐putar untuk mengusir lebah‐lebah itu. Namun,
tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebahlebah
itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan
saputangan ini. Biarpun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena
terhalang saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin
Liong, menanti saat baik untuk menyerang! Celaka, pikir Sin Liong. Tidak
mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi
melawan lebah‐lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan
kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran
saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah‐celah batu
dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebahlebah itu tidak lagi
mepedulikannya setelah dia tidak memengang obor, dan kini binatangbinatang
kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk
bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati
karena menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega.
Binatang‐binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin
marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri
masal yang mengerikan itu. Diremasnya batu‐batu dari dinding dan
ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak‐teriak. "Aduh....! Aduh, mati
aku....!" Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka
PART 308
itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah‐lebah. Baiklah, dia akan
pura‐pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan
cara ini dia akan dapat memancing orang‐orang kerdil itu. Kalau mereka
menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan
Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu! Semalam Sin Liong berada di
dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika
inilah dia pergunakanuntuk beristirahat dan biarpun dia sama sekali tidak
dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gel isah memikirkan Swat
Hong seperti itu? Betapapun juga, dia dapat melepaskan lelah dan
memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di
dalam hutan. Dia menghela napas panjang. Biarpun di depan gadis itu dia
berpura‐pura tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang
tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan
cintakasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati
gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia
dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti
ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati
Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencita gadis itu, tidak
mencinta seperti di harapkan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan
diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya
hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat saja kehidupan ayah Swat
Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja
yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih berahi seperti itu.
Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian
isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan
berakhir dengan kesengsaraan. masih banyak lagi contohcontoh. Cinta kasih
yang terdorong oleh berahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan
keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang
akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan,
perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain‐lain. Pengikatan diri
kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan
kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri
dengan bermacam duka dan kesengsaraan. Yang paling menimbulkan sesal
dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta
kasih gadis‐gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada mereka,
namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja
sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang
laki‐laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi. Cuaca tidak
segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk
melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang
telah padam rebah di antara bangkai‐bangkai lebah yang hangus. Tak lama
kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
mendengar suara‐suara gerakan kaki. Ada orang‐orang datang
menghampirinya! Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang
kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan
PART 309
merubungnya, bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan
tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak
jantung dan pernapasannya. "Dia telah mati....!!" Terdengar suara di atasnya.
Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring. "Kita laporkan
kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang. Pada saat itu, Sin
Liong membalikan tubuhnya, tangannya menyambar dan dia telah
menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang
kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding
melalui pintu‐pintu rahasia, meninggalkan Si Kerdil yang telah roboh
tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja. Dia lalu
mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik,
"Hayo tunjukan aku di mana temanku wanita itu ditawan!" Orang kerdil itu
menjadi pucat dan menggeleng‐geleng kepalanya. "Aku..... aku tidak tahu...."
"Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya.
Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu." "Aku.... aku
tidak berani...." kemudian orang itu berkata, suaranya mengandung rasa
takut dan dia menoleh ke kanan kiri seolah‐olah takut kata‐katanya
terdengar oleh dinding di kanan kirinya. "Hemm, aku tahu. Kalau kau
mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau
menunjukan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."
"Aku... aku takut..... takut disiksa...."orang itu berkata setengah menangis Sin
Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus
mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu
menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil
berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah,
kautunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!" Orang
itu menyeringai, makin lama makin lebar dan tubuhnya mengeliat‐geliat
menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu
tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan
berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku.... atau
bunuh aku saja..." Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia
mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan
menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukan tempat sahabatku itu,
selama hidup kau akan menderita seperti ini!" "Tolong.... aduhhhh... baik,
kutunjukkan tempatnya.... tapi .... tapi bebaskan dulu aku......" Girang bukan
main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang
itu yang segera menggeliat dan memijit‐mijit dadanya, kemudian
memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri. "Aku akan
menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau harus tahu bahwa kalau gadis itu
sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya." Tentu saja kata‐kata ini
membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi,
melainkan berkata dengan suara terengah . "Lekas.... tunjukkan....!" Dan dia
menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri
melalui tempat‐tempat rahasia. Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari
melalui lorong‐lorong dan ternyata lorong‐lorong itu amat ruwet
PART 310
bangunannya, berbelit‐belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja
dia tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum. Lorong rahasia ini
memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li
jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit dan di
situ banyak terdapat gundukan‐gundukan batu pedang dandari atas
bergantungan pula batu‐batu yang runcing. Mereka berada di dalam guhaguha
besar yang berbeda sekali dengan guha‐guha darimana Sin Liong dan
Swat Hong masuk.
"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena
dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya
dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan
kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! "Di mana dia? Hayo
katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu. Tubuh orang itu
menggigil. "Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar,
bukan?" "Hayo kita ke sana!" "Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka
menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba‐laba raksasa yang
mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....." Sin Lion tidak perduli dan menyeret
orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui
bantu‐batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ,
tiba‐tiba dia mendengar suara lirih. "Sumoi....!" Dia berteriak. "Suheng....
aihhhh.... Suheng....!" Terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia
mendorong orang kerdil itu sampai terguling‐guling lima meter jauhnya.
Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak
memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam,
membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba‐tiba dia terbelalak, otomatis
dia memasang kuda‐kuda dengan pedang tiangkat tinggi‐tinggi dan tangan
kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada
seekor laba‐laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat
seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba‐laba itu tampak sarang
laba‐laba yang bukan main besarnya, benag sarang laba‐laba itu sebesar jarijari
tangan, nampak kuat sekali dan di tengah‐tengah sarang itu, tubuh Swat
Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak
terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak
dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat
berkata, "Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!" Sin Liong
mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat
itu penuh dengan hawa beracun! Laba‐laba ini selain besar sekali juga
beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia
tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah
menolong sumoinya. "Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya
dengan suara gemetar saking girang dan terharunya Laba‐laba itu
memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan
PART 311
cepat sekali dan tiba‐tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan
mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar
yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan
pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia
melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua kemudian dari samping
dia menggerakan kaki menendang. "Desss....!!" Betapa besar pun ukuran
tubuh binatang itu, namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar,
terbanting pada dinding batu, terhuyung‐huyung lalu menghamburkan
banyak benang putih ke arah Sin Liong. Pemuda perkasa ini meloncat untuk
mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba‐laba itu telah lari
menghilang melalui sebuah lubang di celah‐celah dinding batu. Cepat Sin
Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan
tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang
dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya
karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang‐benang pokok
terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langitlangit
guha. Pedangnya menyambar‐nyambar dan runtuhlah sarang itu,
membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah. Gadis itu telah lemas sekali
dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda
itu membersihkan benang‐benang laba‐lana itu dan memondong tubuh
sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang
lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan
sumoinya. Detik jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis,
akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoinya itu
telah keracunan! "Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku
sudah hampir tidak kuat....." Gadis itu tiba‐tiba merangkul dan menangis
dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak
lama kemudian dia berkata, "Laba‐laba itu beracun, kau terkena hawa
beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti itu?" "Sejak malam
tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...." "Sudahlah, mari kubantu
engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu
aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata terengahengah,
"ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram
hatiku suheng." Sin Liong mengangguk. Menurut halis menyelidikan tadi,
biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya
dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya
selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang
mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah‐olah kengerian yang
ditahan‐tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang
tertekan. "Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan
mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga
pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka
memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai
gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya.
PART 312
Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari
memasuki guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat
sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan
memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan
mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat maju,
bermaksud menangkap seorang di antara mereka." in Liong mendengarkan
penuh perhatian dan diam‐diam dia membandingkan pengalaman sumoinya
dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan
seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa
dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan. "Ketika aku
meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba‐laba itu.
Tubuhku tertangkap, aku meronta‐ronta namun laba‐laba itu terus
menambah tali‐tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa.
Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba‐laba itu begitu
dekat, seolah‐olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan
entah beberapa kali." "Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi.
Sungguhpun aku merasa heran sekali...." "Dapat kaubayangkan betapa
ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang
mendatangkan cahaya remang‐remang amat mengerikan, dan aku terjerat
sama sekali tak mampu bergerak, dan laba‐laba itu ...... mendekati aku, lalu
mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu‐ragu.....ihh, melihat kaki yang
berbulu itu, meraba‐raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan
terisak‐isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi yang
penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti,
mengapa selama itu laba‐laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia
amat berbisa." "Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar
kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau. "Ah kiranya
engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu
tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan
dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu
engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu." "Baik, Suheng.... aku......
ahhhh......" Tiba‐tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling
pingsan! Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya.
Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan
bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini
adalah karena tadi sumoinya meletakan Batu Mustika Hijau itu di
pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak
tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang,
setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan
tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang
sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan. Sin Liong tidak ragu‐ragu
lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak.
Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya. "Sumoi, kau ternyata
terluka hebat juga di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas
kaubuka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di
PART 313
punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian." Suara Sin Liong sungguhsunggu
dan Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia
merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi
dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan
punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah,
Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil
memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot. "Tenanglah, Sumoi. Biar
kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku." Sambil duduk bersila
di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang
dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih
mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya
menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan
hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono,
mengira luka sumoinya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati
sumoinya. Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintihrintih.
Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya
berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di
punggungnya itu masuk perlahan‐lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit.
Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia
ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya. Dia tahu bahwa
mengerahkan Swat‐im‐sin‐kang untuk mengusir hawa beracun yang panas
itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apalagi harus dilakukan
sedikit demi sedikit dengan hatihati sehingga akan menghabiskan tenaga.
Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang
telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar
telapak tangan suhengnya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya!
Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya
mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu. Sin liong
tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga
tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat
mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia
memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam
usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoinya tersiksa, bukan hanya
tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat‐im‐sin‐kang yang mengusir hawa
beracun panas melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak
karuan. Tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya
terbuka terengah‐engah, dan dimukanya tidak hanya peluh yang menetes,
melainkan juga air mata! Juga keuda orang muda ini tidak tahu betapa di
tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang
mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan
sederhana bentuknya namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya
yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang
putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus
rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini
biarpun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan
PART 314
yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan
mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar
matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih
pantas menjadi seorang pendeta atau pertama yang agung. Kakek itu
mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang
Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai‐belai punggung
yang melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke
pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot, dari samping
punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama
sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan
tanggung‐tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga
bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan
mudah membangkitkan berahi seorang pria yang memang benaknya penuh
terisi oleh khayalan‐khayalan *****! Siapakah kakek yang usianya kurang
lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung
telanjang seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama turun
dari pertapaannya di lereng Pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun
dia meninggalkan daratan besar merantau ke barat dan akhirnya bertapa di
lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa‐pertapa sakti dan mempelajari
ilmu. Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya.
Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam
sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan
yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh‐aneh. Dan karena memang di dalam
dirinya belum bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua
kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan keluar, dibantu
dengan ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi
seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan‐segan melakukan apa
pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia. Nama pendeta ini
adalah Ouwyang Cin Cu, seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan
tetapi lebih‐lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai
sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang
Cin Cu inilah, yang merupakan obat "guna‐guna" , maka An Lu Shan yang
kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui! Bertapa atau melakukan segala
usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia‐sia dan palsu belaka,
karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih
berkecamuk nafsu itu sendiri. penekanan hanyalah akan menghentikan
timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti
bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu‐waktu, jika penekanannya berkurang
kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan‐tahan. seperti api dalam
sekam , sewaktu‐waktu dapat membakar. karena yang menekan nafsu ini
pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama
yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan
lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran ***** yang tiada
berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan
masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu berahi kalau
Share This Thread