Page 21 of 28 FirstFirst ... 11171819202122232425 ... LastLast
Results 301 to 315 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #301

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 300
    engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?" "Hemmmm, sama sekali
    tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang
    lain." "Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
    Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
    "Tidak ada dara yang kaucinta?" Sin Liong menggeleng lagi. "Termasuk
    aku....?" Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini.
    Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang
    memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam
    lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk,
    sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum
    tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak
    kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
    "Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti
    seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela
    untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa
    sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi,
    karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum ...."
    "Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih
    belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat
    mendaki puncak yang menjulang tinggi itu. "Sumoi, perlahan dulu....! Hatihatilah....!"
    Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya
    untuk menyusul sumoinya yang lari seperti ***** itu. Karena agaknya Swat
    Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk
    melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan
    menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki
    hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang
    mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba‐tiba
    bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan‐bentakan nyaring.
    Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat
    Hong membelalakan matanya saking herannya. Mereka berdua telah
    dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang
    tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja
    tidak melihat muka orang‐orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka
    berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka
    yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas adalah wajah orangorang
    yang sudah dewasa, bahkan wajah laki‐laki berusia kurang lebih empat
    puluh tahun! Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka
    kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah, mengandung
    kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam‐macam,
    senjata yang aneh‐aneh tidak lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka
    ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh,
    kadang‐kadang tumit mereka diangkat, kadang‐kadang mereka bergerak
    sambil berjongkok sehingga menjadi makin pendek seperti kakat,
    kadangkadang berloncatan! "Kalian mau apa? Pergi....!!" Swat Hong
    membentak dan mengirim tendangan berantai ke arah empat orang katai

  2. Hot Ad
  3. #302

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 301
    terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat empat kali tendangannya
    yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh
    dan cekatan sekali, empat orang kerdil itu telah mampu mengelah, bahkan
    hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang yang
    bentuknya seperti gergaji! "Hati‐hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah."
    Sin Liong berbisik dan pemuda ini sudah menyambar sebatang kayu dahan
    pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
    "Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik.
    Swat Hong adalah seorang dara yang keras hati dan tidak mengenal artinya
    takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa
    rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main‐main, maka dia cukup
    cerdik untuk mentaati bisikan suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak,
    memasang kuda‐kuda dengan pungung saling membelakangi hampir
    bersentuhan. Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang
    diangkat, sedangkan tangan kiri dengan jari‐jari terbuka, miring di depan
    dada. Sin Liong pun memasang kuda‐kuda yang sama, hanya bedanya, dia
    memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak
    bergerak sama sekali, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri
    mengikuti setiap gerak‐gerik para pengurung mereka. "Harap Cuwi jangan
    salah paham," Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk
    memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun juga di tempat ini. Kami datang
    karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi
    tahu di mana adanya Rawa Bangkai, kami akan berterima kasih sekali." Akan
    tetapi, orang‐orang kerdil itu tetap saja bergerak maju mengelilingi mereka
    sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh‐aneh. Dua orang muda mudi
    itu tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf
    di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di antara orang kerdil
    itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya, "Mau apa kalian
    mencari Rawa Bangkai?" Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu
    menjawab dengan bentakan, "Orang‐orang kerdil menjemukan! Kami
    mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!" Mata orang‐orang itu melotot
    namun mereka masih tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang
    memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya pemimpin mereka,
    yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa
    mencari The Kwat Lin?" "Mau kubunuh mampus!" Jawaban Swat Hong ini
    seperti merupakan aba‐aba saja karena mendengar mereka memekik aneh
    dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi
    jantung karena pekik‐pekik aneh itu merupakan penyerangan luar biasa
    melalui suara yang disertai khingkang. Tentu saja dua orang muda yang
    memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah
    dikalahkan hanya dengan pekik‐pekik itu. Melihat betapa dua orang muda itu
    sama sekali tidak terpengaruh, tiba‐tiba Si pemegang golok bercincin
    berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan
    cara aneh, yaitu sambil lari mereka menyerang, tampaknya sambil lalu saja
    akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat

  4. #303

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 302
    berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri,
    sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan pedangnya sambil
    mengerahkan tenaga sinkangnya. "Trang‐trang‐cringggg...!!" Bunyi senjata
    tajam bertemu dan terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena
    senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan pedang itu
    membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari
    pegangan tangan mereka yang terasa tergetar hebat dan panas itu. Orangorang
    kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali itu saja
    cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka
    keroyok itu memiliki kekuatan sinkang yang hebat, jauh melebihi mereka
    maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi‐tubi, bergantian tanpa
    mau mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik
    kembali senjata itu dan sudah ada temannya yang melanjutkan serangan dari
    arah lain. "Suheng, biar kubasmi *****‐***** pendek ini!" Swat Hong menjadi
    tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri
    saja itu yang dianggapnya terlalu mengalah dan terlalu "memberi hati"
    kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu. Sebelum Sin Liong
    menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara
    melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya berkelebatan dan disusul
    dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah
    pekik berturut‐turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena
    sambaran pedang, yang tiga lagi roboh oleh dorongan tangan kiri dan
    terjangan kaki Swat Hong! Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat
    dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam
    segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima
    orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang!
    Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil Bergolok
    yang memimpin mereka, segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan
    itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang
    terluka, Si Pemegang Golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau
    memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan
    Kiam‐mo Cai‐li!" "Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong
    membentak. "Heh‐heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa
    kamu itu?" Si Pemegang Golok mengejek. "*******, siapa takut?" Swat Hong
    melompat dan mengejar. "Sumoi....!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi
    Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali,
    apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin
    segera berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus
    mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar.
    Orang‐orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari
    hutan memasuki daerah yang tandus berbatu‐batu dan di situ terdapat
    banyak gua batu yang besar‐besar, dan dari luar tampak menghitam karena
    di sebelah dalam gua tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari
    belakang Sin Liong melihat betapa orang‐orang kerdil itu bagaikan
    rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki gua‐gua di

  5. #304

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 303
    sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan
    yang berada di tengah‐tengah di antara semua gua. "Sumoi, berhenti dulu! Ini
    bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena
    Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke
    dalam gua besar. "Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya
    sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat
    mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi.
    "Sumoi....!!" Dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya
    sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia terkejut dan dapat
    menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabangcabang. Dia
    maju terus dan benar saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong
    dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga! "Sumoi....!!"
    Dia berteriak lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya
    sendiri lima kali berturut‐turut! "Celaka," pikirnya, "Kita telah terjebak!"
    Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan sumoinya yang dia
    khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang‐orang kerdil. Sin Liong
    tanpa ragu‐ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa,
    ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari
    yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana
    masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang
    dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!
    "Aihhh....!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak
    memanggil, "Sumoi....!" Gema suaranya mengaung dan membuat
    panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari
    memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat
    bekas tapak sepatu sumoinya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki
    kecil‐kecil dari orang‐orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali, menurut
    taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau.
    Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi
    bekas dan jejaknyapun belum ditemukan. "Sumoi....!!" Dia berteriak lagi kuatkuat
    ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam
    gunung yang cukup lebar. Sebagai jawabannya, tiba‐tiba terdengar suara
    berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar sinar‐sinar hitam.
    Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda‐benda
    bersinar itu adalah anak panah‐anak panah yang dilepas dari tempat rahasia.
    Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar
    yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis
    dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh
    dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana
    nasib sumoinya di tempat berbahaya ini? "Sumoi....!!" Dia segera membalikan
    tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali
    melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu sampai dia tiba di jalan
    simpang empat tadi, kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriakteriak
    memanggil nama sumoinya. "Swat Hong....! Han Swat Hong....!!"
    Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga

  6. #305

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 304
    dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada
    jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang. Sin
    Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini
    dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa
    dia tadi tidak melarang sumoinya memasuki gua‐gua rahasia penuh jebakan
    ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus dengan hati
    gelisah, akan tetapi dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa
    tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan
    antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat
    gua‐guh dan lorong‐lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan
    alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang
    jebakan‐jebakan yang jahat! "Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu
    meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri
    kembali di jalan yang telah dilalui, terbelalak memandang ke depan. Kiranya
    secara tibatiba sekali, tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya
    tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga
    meter, terbuka tiba‐tiba sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus,
    tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar suara mendesis‐desis
    dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau hamis
    membuat Sin Liong bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam lubang itu
    terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji! "*******....!" desisnya
    dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan
    mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan. Dia
    melompati lubang itu dan melanjukan larinya. Ketika dia berjalan satu li
    lebih, lorong itu pun berhenti di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan
    besar pula, bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh
    sinar dari mana, agaknya ada lubang‐lubang dari mana sinar matahari dapat
    masuk. Tiba‐tiba, seolah‐olah muncul dari dalam dinding batu, tampak
    seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang‐orang
    kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan
    sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar‐sinar sedangkan
    kumis dan jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari
    yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar‐sinar
    tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin
    Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri
    ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek
    ini, tiba‐tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba‐tiba
    muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan
    kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah
    dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari
    tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi
    dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan
    lucu. Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan
    dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada
    tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar‐sinar tanda sebatang senjata yang

  7. #306

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 305
    baik. Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki
    permusuhan, biarpun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan
    perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi‐locianpwe sudi
    memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan
    Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku
    demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji
    akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani
    mengganggu lagi." Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat betapa
    Sin Liong mengamat‐amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan
    sama sekali tidak ada tanda‐tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya,
    mereka tertawa dan kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada
    ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The‐lihiap dan bilang
    tidak ada permusuhan dengan kami? Ha‐ha, orang muda, siapakah engkau?
    Dan siapa pula Sumoimu itu?" "Namaku Kwa Sin Liong dan....sesungguhnya
    kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini." "Kalau
    begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?" "Kami mempunyai urusan
    pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak menyangkut diri
    orang lain." Kembali dua orang kekek itu tertawa. "Ha‐ha‐ha, aku Ji Bhong
    dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan
    denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The‐lihiap, berarti kalian
    adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin
    mengalami keksengsaraan seperti Sumoimu." Sin Liong terkejut sekali, bukan
    hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The
    Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya. "Di mana Sumoi? Apa
    yang kalian lakukan dengan dia?" bentaknya. "Ha‐ha‐ha, menyerahlah dan
    baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu
    menjawab. Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu menerjang
    maju dengan tongkat pendeknya. "Sing....siuuuut.... trang‐trang....!!" Dua orang
    kakek itu sudah menggerakan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali
    gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin
    Liong murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat‐hebat,
    maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakan
    tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang
    kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup
    ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti
    hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka
    memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan‐serangan
    bertubi‐tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong
    masih merasa tidak tega untuk membunuh orang, maka dia mengeluarkan
    suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua
    tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari
    kanan kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua
    tangan kosong! Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya
    dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi menangkap
    pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar‐benar berani mati karena

  8. #307

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 306
    tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong berteriak dan
    mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan
    lawan yang menggenggamnya, akan tetapi betapapun ia mengerahkan
    tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin
    Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot‐betot toyanya, percuma
    saja, Sin Liong kembali memekik keras, kedua tangannya bergerak sedikit
    dan...tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan kiri!
    Hawa pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu
    dan menyerang melalui lengan mereka masingmasing dan memukul dada,
    membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar
    dinding, terengah‐engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu
    dan tiba‐tiba mereka lenyap melalui pintu kecil yang terbuka secara aneh.
    "Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri,
    namun dinding itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan
    kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan kiri. Sin Liong
    menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya
    menghantami dinding kiri, namun hanya batu permukaan saja yang remuk,
    sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang
    toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat
    berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia akan dapat menolong Swat
    Hong? Teringat akan sumoinya ini, dia menjadi panik lagi. Andaikata
    sumoinya berada di sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi
    bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi membayangkan betapa
    sumoinya terancam bahaya, benar‐benar menggelisahkan hatinya. Dia
    merasa bertanggung jawab akan keselamatan sumoinya, dan dia merasa
    seolah‐olah mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa dia
    sampai membiarkan dara itu terancam bahaya. Sin Liong menghampiri
    dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya meraba‐raba. Lebih satu jam dia
    menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di
    antara puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang
    rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah menyelinap melalui
    lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana
    dinding batu itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak
    tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil tadi. Kembali dia
    berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang
    dilaluinya ini. Entah berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia
    bahkan tidak tahu lagi mana jalan keluar. Dia pun tidak ingin keluar sebelum
    dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa
    mungkin sekarang di "dunia luar" sudah mulai senja. Bagaimanapun juga, dia
    tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong. Sin Liong berjalan terus,
    ke mana saja asal bergerak dan dia memperhatikan lorong yang dilaluinya
    agar jangan melalui sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin
    gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan meraba‐raba.
    Tiba‐tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang
    mengerikan itu. Sin Liong melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan

  9. #308

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 307
    tetapi tiba‐tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi, sinar terang itu
    tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan
    menjebaknya! Betapapun juga, dia tidak takut. Dengan hati‐hati dia bergerak
    lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak olehnya
    adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya,
    kakinya yang melangkah hati‐hati tidak menemui jebakan apa‐apa sampai
    dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi
    sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak perduli, lalu mengambil obor itu
    dan diam‐diam berterima kasih sekali karena memang keadaan cuaca yang
    amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia dapat
    melanjutkan usahanya mencari Swat Hong. Selagi dia berjalan maju dengan
    hati‐hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat
    menoleh akan tetapi tidak melihat apa‐apa. Sinar obor itu hanya
    mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sananya
    kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan
    akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda‐benda
    hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung‐dengung. Lebah! Banyak
    sekali lebah hitam yang datang berterbangan, Seakan berlomba untuk
    mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah‐lebah itu
    dan Sin Liong maklum sekarang mengapa mereka memberikan sebatang
    obor. Tentu untuk menarik lebahlebah itu, dan kalau lebah‐lebah itu cukup
    berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah
    yang sengatannya mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan
    lebah‐lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai
    saputangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan
    saputangan yang diputar‐putar untuk mengusir lebah‐lebah itu. Namun,
    tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebahlebah
    itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan
    saputangan ini. Biarpun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena
    terhalang saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin
    Liong, menanti saat baik untuk menyerang! Celaka, pikir Sin Liong. Tidak
    mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi
    melawan lebah‐lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan
    kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran
    saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah‐celah batu
    dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebahlebah itu tidak lagi
    mepedulikannya setelah dia tidak memengang obor, dan kini binatangbinatang
    kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk
    bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati
    karena menyerbu api, makin lama makin banyak. Hatinya tidak tega.
    Binatang‐binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin
    marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri
    masal yang mengerikan itu. Diremasnya batu‐batu dari dinding dan
    ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak‐teriak. "Aduh....! Aduh, mati
    aku....!" Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka

  10. #309

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 308
    itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah‐lebah. Baiklah, dia akan
    pura‐pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan
    cara ini dia akan dapat memancing orang‐orang kerdil itu. Kalau mereka
    menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan
    Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu! Semalam Sin Liong berada di
    dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika
    inilah dia pergunakanuntuk beristirahat dan biarpun dia sama sekali tidak
    dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gel isah memikirkan Swat
    Hong seperti itu? Betapapun juga, dia dapat melepaskan lelah dan
    memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di
    dalam hutan. Dia menghela napas panjang. Biarpun di depan gadis itu dia
    berpura‐pura tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang
    tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan
    cintakasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati
    gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia
    dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti
    ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati
    Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencita gadis itu, tidak
    mencinta seperti di harapkan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan
    diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya
    hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat saja kehidupan ayah Swat
    Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja
    yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih berahi seperti itu.
    Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gila karena kematian
    isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan
    berakhir dengan kesengsaraan. masih banyak lagi contohcontoh. Cinta kasih
    yang terdorong oleh berahi dan kesengsaran ini pasti akan disusul dengan
    keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang
    akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan,
    perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain‐lain. Pengikatan diri
    kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan
    kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri
    dengan bermacam duka dan kesengsaraan. Yang paling menimbulkan sesal
    dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta
    kasih gadis‐gadis itu tentu akan mendatangkan kekecewaan kepada mereka,
    namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja
    sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang
    laki‐laki lain, kekecewaan itu pun akan lenyap tanpa bekas lagi. Cuaca tidak
    segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk
    melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang
    telah padam rebah di antara bangkai‐bangkai lebah yang hangus. Tak lama
    kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
    mendengar suara‐suara gerakan kaki. Ada orang‐orang datang
    menghampirinya! Tepat seperti yang diharapkannya, muncullah dua orang
    kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan

  11. #310

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 309
    merubungnya, bahkan ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan
    tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan detak
    jantung dan pernapasannya. "Dia telah mati....!!" Terdengar suara di atasnya.
    Dia tidak melihat siapa yang bicara karena dia rebah miring. "Kita laporkan
    kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang. Pada saat itu, Sin
    Liong membalikan tubuhnya, tangannya menyambar dan dia telah
    menangkap lengan seorang kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang
    kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik dinding
    melalui pintu‐pintu rahasia, meninggalkan Si Kerdil yang telah roboh
    tertotok. Memang Sin Liong hanya membutuhkan seorang saja. Dia lalu
    mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik,
    "Hayo tunjukan aku di mana temanku wanita itu ditawan!" Orang kerdil itu
    menjadi pucat dan menggeleng‐geleng kepalanya. "Aku..... aku tidak tahu...."
    "Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya.
    Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu." "Aku.... aku
    tidak berani...." kemudian orang itu berkata, suaranya mengandung rasa
    takut dan dia menoleh ke kanan kiri seolah‐olah takut kata‐katanya
    terdengar oleh dinding di kanan kirinya. "Hemm, aku tahu. Kalau kau
    mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan tetapi kau
    menunjukan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu."
    "Aku... aku takut..... takut disiksa...."orang itu berkata setengah menangis Sin
    Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa dia harus
    mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu
    menggunakan jarinya memijit tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil
    berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku? Nah,
    kautunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!" Orang
    itu menyeringai, makin lama makin lebar dan tubuhnya mengeliat‐geliat
    menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri itu
    tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan
    berkelojotan seperti orang sekarat, mulutnya merintih, "Bebaskan aku.... atau
    bunuh aku saja..." Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia
    mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan
    menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau menunjukan tempat sahabatku itu,
    selama hidup kau akan menderita seperti ini!" "Tolong.... aduhhhh... baik,
    kutunjukkan tempatnya.... tapi .... tapi bebaskan dulu aku......" Girang bukan
    main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang
    itu yang segera menggeliat dan memijit‐mijit dadanya, kemudian
    memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri. "Aku akan
    menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau harus tahu bahwa kalau gadis itu
    sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya." Tentu saja kata‐kata ini
    membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi,
    melainkan berkata dengan suara terengah . "Lekas.... tunjukkan....!" Dan dia
    menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri
    melalui tempat‐tempat rahasia. Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari
    melalui lorong‐lorong dan ternyata lorong‐lorong itu amat ruwet

  12. #311

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 310
    bangunannya, berbelit‐belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja
    dia tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum. Lorong rahasia ini
    memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li
    jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit dan di
    situ banyak terdapat gundukan‐gundukan batu pedang dandari atas
    bergantungan pula batu‐batu yang runcing. Mereka berada di dalam guhaguha
    besar yang berbeda sekali dengan guha‐guha darimana Sin Liong dan
    Swat Hong masuk.
    "Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena
    dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya
    dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan
    kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! "Di mana dia? Hayo
    katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu. Tubuh orang itu
    menggigil. "Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar,
    bukan?" "Hayo kita ke sana!" "Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka
    menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba‐laba raksasa yang
    mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....." Sin Lion tidak perduli dan menyeret
    orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui
    bantu‐batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ,
    tiba‐tiba dia mendengar suara lirih. "Sumoi....!" Dia berteriak. "Suheng....
    aihhhh.... Suheng....!" Terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis.
    Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia
    mendorong orang kerdil itu sampai terguling‐guling lima meter jauhnya.
    Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak
    memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam,
    membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba‐tiba dia terbelalak, otomatis
    dia memasang kuda‐kuda dengan pedang tiangkat tinggi‐tinggi dan tangan
    kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada
    seekor laba‐laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat
    seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba‐laba itu tampak sarang
    laba‐laba yang bukan main besarnya, benag sarang laba‐laba itu sebesar jarijari
    tangan, nampak kuat sekali dan di tengah‐tengah sarang itu, tubuh Swat
    Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak
    terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak
    dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat
    berkata, "Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!" Sin Liong
    mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat
    itu penuh dengan hawa beracun! Laba‐laba ini selain besar sekali juga
    beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia
    tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah
    menolong sumoinya. "Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya
    dengan suara gemetar saking girang dan terharunya Laba‐laba itu
    memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan

  13. #312

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 311
    cepat sekali dan tiba‐tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan
    mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar
    yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan
    pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia
    melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua kemudian dari samping
    dia menggerakan kaki menendang. "Desss....!!" Betapa besar pun ukuran
    tubuh binatang itu, namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar,
    terbanting pada dinding batu, terhuyung‐huyung lalu menghamburkan
    banyak benang putih ke arah Sin Liong. Pemuda perkasa ini meloncat untuk
    mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba‐laba itu telah lari
    menghilang melalui sebuah lubang di celah‐celah dinding batu. Cepat Sin
    Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan
    tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang
    dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya
    karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang‐benang pokok
    terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langitlangit
    guha. Pedangnya menyambar‐nyambar dan runtuhlah sarang itu,
    membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah. Gadis itu telah lemas sekali
    dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda
    itu membersihkan benang‐benang laba‐lana itu dan memondong tubuh
    sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang
    lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu.
    "Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan
    sumoinya. Detik jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis,
    akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoinya itu
    telah keracunan! "Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku
    sudah hampir tidak kuat....." Gadis itu tiba‐tiba merangkul dan menangis
    dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak
    lama kemudian dia berkata, "Laba‐laba itu beracun, kau terkena hawa
    beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti itu?" "Sejak malam
    tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...." "Sudahlah, mari kubantu
    engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu
    aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata terengahengah,
    "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram
    hatiku suheng." Sin Liong mengangguk. Menurut halis menyelidikan tadi,
    biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya
    dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya
    selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang
    mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah‐olah kengerian yang
    ditahan‐tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang
    tertekan. "Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan
    mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga
    pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka
    memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai
    gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya.

  14. #313

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 312
    Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari
    memasuki guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat
    sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan
    memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan
    mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat maju,
    bermaksud menangkap seorang di antara mereka." in Liong mendengarkan
    penuh perhatian dan diam‐diam dia membandingkan pengalaman sumoinya
    dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan
    seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa
    dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan. "Ketika aku
    meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba‐laba itu.
    Tubuhku tertangkap, aku meronta‐ronta namun laba‐laba itu terus
    menambah tali‐tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa.
    Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba‐laba itu begitu
    dekat, seolah‐olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan
    entah beberapa kali." "Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi.
    Sungguhpun aku merasa heran sekali...." "Dapat kaubayangkan betapa
    ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang
    mendatangkan cahaya remang‐remang amat mengerikan, dan aku terjerat
    sama sekali tak mampu bergerak, dan laba‐laba itu ...... mendekati aku, lalu
    mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu‐ragu.....ihh, melihat kaki yang
    berbulu itu, meraba‐raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan
    terisak‐isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi yang
    penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti,
    mengapa selama itu laba‐laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia
    amat berbisa." "Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar
    kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau. "Ah kiranya
    engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu
    tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan
    dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu
    engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu." "Baik, Suheng.... aku......
    ahhhh......" Tiba‐tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling
    pingsan! Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya.
    Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan
    bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini
    adalah karena tadi sumoinya meletakan Batu Mustika Hijau itu di
    pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak
    tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang,
    setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan
    tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang
    sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan. Sin Liong tidak ragu‐ragu
    lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak.
    Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya. "Sumoi, kau ternyata
    terluka hebat juga di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas
    kaubuka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di

  15. #314

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 313
    punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian." Suara Sin Liong sungguhsunggu
    dan Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia
    merasa penting dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi
    dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan
    punggungnya terbuka sama sekali. "Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah,
    Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil
    memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot. "Tenanglah, Sumoi. Biar
    kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku." Sambil duduk bersila
    di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang
    dingin, menempelkan telapak tangan pada pungung yang berkulit putih
    mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya
    menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan
    hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu semberono,
    mengira luka sumoinya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati
    sumoinya. Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintihrintih.
    Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya
    berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di
    punggungnya itu masuk perlahan‐lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit.
    Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia
    ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya. Dia tahu bahwa
    mengerahkan Swat‐im‐sin‐kang untuk mengusir hawa beracun yang panas
    itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apalagi harus dilakukan
    sedikit demi sedikit dengan hatihati sehingga akan menghabiskan tenaga.
    Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang
    telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar
    telapak tangan suhengnya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya!
    Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya
    mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu. Sin liong
    tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga
    tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat
    mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia
    memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam
    usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoinya tersiksa, bukan hanya
    tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat‐im‐sin‐kang yang mengusir hawa
    beracun panas melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak
    karuan. Tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya
    terbuka terengah‐engah, dan dimukanya tidak hanya peluh yang menetes,
    melainkan juga air mata! Juga keuda orang muda ini tidak tahu betapa di
    tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang
    mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan
    sederhana bentuknya namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya
    yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang
    putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus
    rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini
    biarpun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan

  16. #315

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 314
    yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan
    mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar
    matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih
    pantas menjadi seorang pendeta atau pertama yang agung. Kakek itu
    mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang
    Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai‐belai punggung
    yang melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke
    pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot, dari samping
    punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama
    sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan
    tanggung‐tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga
    bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan
    mudah membangkitkan berahi seorang pria yang memang benaknya penuh
    terisi oleh khayalan‐khayalan *****! Siapakah kakek yang usianya kurang
    lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung
    telanjang seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama turun
    dari pertapaannya di lereng Pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun
    dia meninggalkan daratan besar merantau ke barat dan akhirnya bertapa di
    lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa‐pertapa sakti dan mempelajari
    ilmu. Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya.
    Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam
    sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan
    yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh‐aneh. Dan karena memang di dalam
    dirinya belum bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua
    kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan keluar, dibantu
    dengan ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi
    seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan‐segan melakukan apa
    pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia. Nama pendeta ini
    adalah Ouwyang Cin Cu, seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan
    tetapi lebih‐lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai
    sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang
    Cin Cu inilah, yang merupakan obat "guna‐guna" , maka An Lu Shan yang
    kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui! Bertapa atau melakukan segala
    usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia‐sia dan palsu belaka,
    karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih
    berkecamuk nafsu itu sendiri. penekanan hanyalah akan menghentikan
    timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti
    bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu‐waktu, jika penekanannya berkurang
    kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan‐tahan. seperti api dalam
    sekam , sewaktu‐waktu dapat membakar. karena yang menekan nafsu ini
    pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama
    yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan
    lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran ***** yang tiada
    berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan
    masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu berahi kalau

Page 21 of 28 FirstFirst ... 11171819202122232425 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •