PART 375
Sam, kakek yang menjadi murid kepala Tee‐tok itu yang menceritakan bahwa
Tee‐tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan
bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki
seperti yang ditanyakan oleh gadis itu. Swat Hong mengerutkan alisnya.
Hatinya mulai bertanya‐tanya. Celaka, pikirnya, jangan‐jangan dia telah salah
memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Janganjangan
dua orang muda itu sengaja melarikan pusaka‐pusaka itu dan
bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan
berbareng dengan perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat
menurun itu. Hidupnya masih perlu dan ada gunanya, setidaknya dia harus
menyelamatkan pusaka‐pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain!
Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia masih
amat dibutuhkan untuk hidup terus. Sambil menahan kemarahannya, dia
berkata kepada murid kepala Tee‐tok itu, "Andaikata ada datang Bu Swi Nio
dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini.
Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang‐in Mo‐ko Thio Sam
yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan
Merah ini, mengangguk‐angguk. Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak
Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota raja untuk
mencari kalau‐kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya di jalan.
Namun semua perjalanannya sia‐sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali
dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang‐in Mo‐ko (Iblis
Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang
dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang. "Saya malah
merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di manamana
sedang ribut dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya
belum juga pulang." Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi,
pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan
pusaka‐pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan
selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit
lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki‐maki Bu Swi Nio yang
dipercaya. "Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati,
kini muridnya yang menyusahkan aku!" Mulailah Swat Hong mencari‐cari
kedua orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari‐cari
kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang
tahu akan mereka. Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi
Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang
kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru
dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini
membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil
mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang
menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan.
Sebaliknya klau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan
hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga
untuk menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin
PART 376
Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran
atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih
ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau
dia membantu. Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di
dalam istana di mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja,
terjadilah hal‐hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan
wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya
adalah wanita, maka begitu dia berhasil, tak pernah berhenti setiap malam
dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli
wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekalipun! pada suatu malam,
dalam keadaan mabok dan sedang gembiranya, An Lu Shan lupa diri dan
dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya
yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam‐diam. Kalau sadar dan tidak
mabok, dia masih menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam
keadaan mabok, dia tidak mempedulikan apa‐apa lagi dan memasuki kamar
mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani
melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak berada di situ.
Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik
jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak, sambil menangis dia
terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu.
Dengan suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu
Shan, namun seorang laki‐laki yang tidak hanya mabok arak, melainkan juga
mabok cinta berahi, tidak mempedulikan apa pun. wanita hanya dapat
merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.
Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu
Shan telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak
arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak‐isak, berlutut di atas
lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat
dia telah menikam dada ayahnya sendiri. "Crappp....!" "Auhhh.... haiii.... kau....
kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu, biarpun pedang telah menembus
dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke arah puteranya. Akan
tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang
sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin
dalam. Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi! "Tangkap pembunuh.....!!"
teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama dengan Han Bu Ong
sudah lari ke dalam kamar. Shi Su Beng menggerakan pedangnya dan
terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula di dekat
mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir
putus terbabat pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat
kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap membela Kaisar itu
mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar! Dalam
keadaan kacau balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja
dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang setia! Hanyalah
mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang
digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan berahi An
PART 377
Lu Shan terhadap mantu perempuannya, bahkan di dalam mabok, Shi Su
Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan
mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang
wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan selagi An Lu Shan
yang mabok itu menggagahi mantunya sendiri, diam‐diam Han Bu Ong
menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki
kamarnya. Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka
berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan
kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng. Terjadilah perubahan
besar‐besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu Ong
berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita‐citakan ibunya, yaitu
menjadi seorng pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari pada di
waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang
menjadi sekutunya! Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya
kekuasaan di tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan keteganganketegangan
di kota raja akibat perebutan kekuasaan. Seperti biasa penguasa
baru mengangkat teman‐temannya sendiri menduduki jabatan tinggi,
melakukan penggeseran‐penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari
kawan‐kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, kacau
rencana perebutan kekuasaan, kalau perlu dengan cara halus maupun kasar,
para pemberontak yang kini memegang tampuk kerajaan itu menjadi lalai.
Mereka terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke
Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu sudah jatuh benar‐benar.
Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan
kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa
Kaisar dan keluarganya di Secuan telah membentuk kekuatan baru untuk
melakukan pembalasan! Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinya
karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu
Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui,
harus mati digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di Secuan,
menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu tenggelam dalam
duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para
pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk
mengangkat Kaisar baru, yaitu putera mahkota yang bergelar Su Tiong. Pada
waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu
Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah menyusul pula ke
Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah
Secuan, dan minta bantuan kepada negara‐negara tetangga yang bersahabat.
Maka terkumpullah pasukan‐pasukan campuran yang terdiri dari bermacam
suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang
pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda bersahabat
oleh Kalipu. Pasukan‐pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi
latihan‐latihan berat dalam persiapa kaisar Su Tiong untuk merampas
kembali kerajaannya, Kok Cu I. Tidak ada hal penting terjadi selama
perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak
PART 378
periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini
menjadi pendiam dan ada garis‐garis dan bayangan muram di wajahnya yang
tetap cantik jelita walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua
tahun mencari‐cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia
merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji
bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka
Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian
An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar
yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah
pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri. panglima Kok ini menyebar para
pembantunya, yaitu panglima‐panglima bawahan di seluruh daerah Secuan
untuk menerima dan mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk
menjadi tentara. Seorang di antara bawahannya yang bertugas
mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi orang‐orang asing dari
barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah berjasa
menghubungi orang‐orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang kuasa di
Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di
sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil
menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor
telah tiba di situ. panglimaKok Cu I yang cerdik memisah‐misahkan para
pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan.
Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan
dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam‐macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw
Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing
yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata
tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia
melihat seorang laki‐laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang
gandewa dan akan panah dikelilingi prajurit‐prajurit Han dan Arab sambil
tertawa‐tawa. Laki‐laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata
dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung‐burung itu! Aku akan
menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?" Swat Hong
tertarik , berhenti dan memandang ke atas. Diam‐diam dia terkejut dan
menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung‐burung
yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang
ahli panah yang sakti? "Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan. "Tidak,
yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain. Perwira bangsa
Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan,
kumisnya bergerak‐gerak. "Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung
terakhir!" Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas
mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya,
lalu menarik tali gendewa . Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga
batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak
kelihatan bagaimana burungburung itu terkena anak panah, namun jelas
tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba
PART 379
tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua
orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak
dan bertepuk tangan memuji. "Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun
dia maklum bahwa kepandaiannya memanah seperti itu hanyalah berguna
untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk
pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am‐gi (senjata rahasia)
seperti jarum, paku, piauw dan lain‐lain. "Hai, Nona! Tepuk tangan untuk
kelihaian Perwira Ahmed!" Tiba‐tiba ada seorang laki‐laki menegur Swat
Hong. Laki‐laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia
bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan. JILID
23 Akan tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang muka dan
melanjutkan langkahnya. Akan tetapi laki‐laki itu melompat dan menghadang
didepannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau
menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan menembak tepat, juga
banyak wanita tergila‐gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"
Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!"
sambil melangkah terus. "Dan kau laki‐laki kurang ajar!" Swat Hong berkata
dan sekali dia menggerakan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah
memegang pergelangan tangan laki‐laki itu dan begitu dia membetot, lakilaki
itu jatuh tersungkur mencium tanah! "Aihhh, berani kau memukulku?"
Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan menubruk. "Plakkk!
Augghhh....!" Perajurit itu terlempar dan mengaduh‐aduh, mukanya
membengkak. Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu
menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata‐mata!" Swat
Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang
dan hendak berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya
bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur
dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh‐aduh kesakitan. Tentu saja
keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung, akan
tetapi tiba‐tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat
maju dan menghadik. "Mundur semua!" Setelah orang‐orang mundur tidak
melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk
di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim
bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang
sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?" "Hemm, pikir Swat Hong.
Pantas kalau banyak wanita tergila‐gila. Memang perwira yang bernama
Ahmed ini gagah sekali, gagah dan tampan, amat keras daya tariknya
terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu
mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan
menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki‐laki ini pandai
bersikap manis terhadap wanita. "Sudahlah," kata Swat Hong. Aku pun tidak
ingin mencari permusuhan, asal mereka jangan kurang ajar. Bahkan aku
ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku
dapat menghadap Kaisar?" Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan
gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang
PART 380
lihiap (pendekar wanita)!" "Tentu tokoh kang‐ouw kenamaan!" Perwira
Ahmed menghentikan ribut‐ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan
menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri
Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk.
Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw‐ciangkun.
Banyak pula orang‐orang kang‐ouw yang telah diterima menjadi
sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti
Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang
disebut pendekar wanita dari dunia kang‐ouw, bukan?" Swat Hong tidak
peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu
Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan
Bouw‐ciangkun?" "Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan
keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun‐tahun untuk menyaksikan
kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed
memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak
panah?" Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin
perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang
praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang‐terangan." Perwira
Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis.
"Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam
jarak seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan senjata apa pun
untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus‐menerus
dan bertubi‐tubi sampai puluhan batang!" "Hemm, mungkin berhasil
merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja." "Wah....!" Ahmed
membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang sanggup
menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?" "Boleh
kaucoba. Aku bersedia." "Eiiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama
hidupku kalau sampai melukaimu, apalagi membunuhmu!" "Tidak perlu
khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan
tangan kosong!" "Mustahil!" Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat
Hong, kini mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia
hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang
rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata‐katanya." Atas
dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba
kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah
sambil menghitung sampai seratus, langkah pendek‐pendek saja, kemudian
membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip. "Wah, terlalu
dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu begitu pendek‐pendek, Nona. Ini
hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil
melangkah mundur sampai lima puluh langkah. Diam‐diam Swat Hong
memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah
kepadamu. Nah, aku sudah siap." katanya. Ahmed ragu‐ragu, mukanya agak
pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk
menangkis atau sebuah perisai." "Tidak perlu. Seranglah!" Didesak oleh
orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran
PART 381
sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan
masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar
tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan
hati‐hatilah!" teriaknya dan terdengar suara menjepret ketika tampak lima
sinar berturutturut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang
mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan. Swat Hong
melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur disekeliling tubuhnya.
Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi
juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak
panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak
membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan
napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama
sekali tidak mengelak! Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak
percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh
wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!
"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia
merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang
matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri. Lima batang lagi anak
panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main dan
kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu
menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima
batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa
Ahmed masih saja khawatir kalau‐kalau mencelakainya, maka dia meloncat
dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak,
bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu! Ahmed
mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu‐ragu lagi akan
kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi‐tubi
seperti hujan derasnya, susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara
ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke
sana‐sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya
dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah itu
untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian
dengan cepat dan tak terduga‐duga dia menyambitkan sebatang anak panah
yang meluncur cepat ke arah Ahmed. Auhhh....!" Ahmed berteriak kaget dan
gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena
sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan
kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu
dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang
mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu‐bulunya telah
dibuang . Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh
kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai.....,
Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan
ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona...... saya merasa kagum dan
hormat sekali.......!" Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya
pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan
PART 382
tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah
seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu sudah empat
puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan
tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada
panglima ini karena pandang mata itu seolah‐olah hendak menelanjangi dan
sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya! Ahmed cepat
berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu
bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti
oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk‐angguk,
bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar
kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong. "Nona, Komandanku
tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap
Bouw‐ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang
berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona,
saya antar." "kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa
memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini. "Nama
saya Ahmed, Nona." Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang
sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han
Swat Hong." Mereka memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan
dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk
seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun
lebih, mukanya bulat dan matanya sipit menjadi agak lebar ketika dia
memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed. Setelah memberi
hormat, Ahmed berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi
sukarelawati." "Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh
pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap
angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang
senang. Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah
keluar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar
itu menjadi sunyi sekali biarpun di situ, selain Bouwciangkun dan Swat Hong,
masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti
arca. "Silahkan duduk, Nona." Suara Bouw‐ciangkun berubah, tidak singkat
dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat
Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak
membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan
dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk. "Kami telah mendengar
akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi.
Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan
seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh
karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau kesempatan
sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar
sendiri." Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja
dekat dengan keluarga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit
Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih
sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga
PART 383
Kaisar, maka pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan
keluarga Kaisar amatlah cocok baginya. "Baik, saya akan menanti," jawabnya.
Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw‐ciangkun sendiri lalu
mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang
terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan
mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang
penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka
aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak‐bengkok seperti ular dan
memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura‐kura. "Mereka ini
adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw‐ciangkun
menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang
mereka itu yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun
dengan gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw‐ciangkun
melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang‐orang pilihan, bermacam suku
bangsa di barat dan utara." Akan tetapi Swat Hong sudah tidak
memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang
memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini
kosong?" tanyanya. "Memang di kosongkan dan disediakan untuk tamu
agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini
barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima
Nona menghadap. saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk
melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha
melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar." Swat Hong hanya memangguk
dan pembesar itu pergi meninggalkannya.
Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata
mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang
pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami
menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera
mereka sibuk di dapur. Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar
untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti
seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan
istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia
memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga
Kaisar? Dia ingin melihat‐lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja dia
meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba‐tiba muncullah tiga
orang mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan
perisai kura‐kura tadi. "Harap Nona jangan meninggalkan pondok . Kami
diperintah untuk menjaga pesanggrahan dan kalau Nona memaksa pergi
kami harus mengawal Nona." Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi
karena maksud itu baik, biarpun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan
menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok,
terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti
seorang asing di situ. Tiba‐tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed.
PART 384
Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia
mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia
beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk
di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan
berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouwciangkun
dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi,
diiringkan oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.
Begitu berhadapan, Bouw‐ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata,
"Kiong‐hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar dan karena
Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri.
Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona
menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!" Hati Swat
Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut‐sebut,
dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar
dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti
tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di
Pulau Es juga dia banyak membaca kitab‐kitab ayahnya tentang penghidupan
keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura
penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki
pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua. Setelah
hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan
mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka
makan minum. Bouw‐ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai
panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu. "kami
mengandalkan bantuan sahabat‐sahabat dari barat ini untuk merampas
kembali kota raja." antara lain Bouw‐ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu
hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar
pertemuan ini cepat selesai. Dengan tangannya sendiri Bouw‐ciangkun lalu
mengisi cawan‐cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia
sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "mari kita mulai makan
minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda
dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda
Kaisar!" Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka,
kemudian Bouw‐ciangkun mempersilahkan Swat Hong dan Panglima Arab
itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw‐ciangkun dengan gembira
menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga
menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di
antara para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan
sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas
kawan‐kawannya sendiri. "Ha‐ha‐ha, seperti sekumpulan ******
memperebutkan tulang!" Dia menutup ceritanya sambil tertawa‐tawa.
Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik,
mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, membuka
tutupnya dan mencium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia
mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah seorang
PART 385
pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri
Baginda. karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan
anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan untuk pertama, demi
keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat
Hong dengan minum dari guci tanduk kerbau itu, tidak banyak, hanya
setengah cawan kurang. karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga
kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apalagi karena dia melihar
betapa Bouwciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum.
Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras,
manis dan harum sungguhpun agak aneh harumnya. "Secawan lagi kita
minum demi persahabatan kita!" Kembali Swat Hong minum dari cawan
araknya yang sudah diisi lagi setengahnya. "Dan cawan terakhir kita minum
untuk kemenangan perjuangan kita!" Sekali ini cawan itu dipenuhi dan
karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa‐apa, Swat
Hong tidak khawatir dan minum anggur sampai habis. panglima Hussin dan
Bouw‐ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuaspuasnya.
Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil
tertawa Bouw‐ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan
pesanggrahan ini karena siapa tahu tiba‐tiba saja Sri Baginda Kaisar telah
siap menerima kunjungan Nona. hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di
malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan
sewaktu‐waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima
Hussin yang akan datang menjemput Nona." Swat Hong mengangguk dan
setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal
pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk
menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali
beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini
teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah
dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan tangan dan
menguap..... goyang‐goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia
menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh
sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan
mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong
meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak
wajar, pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah
Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian
terbayanglah dan terdengar lagi kata‐kata Bouw‐ciangkun yang menyatakan
bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu‐waktu dia atau Panglima Hussin
akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa‐tawa dan
seakan‐akan ada "main mata" di antara kedua orang panglima itu! "Celaka....!"
dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan tetapi dia
tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena
kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!
Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok
bayangn seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesangrahan itu dari
PART 386
balik batu‐batu gunung. pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan
sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya
bersinar‐sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana
dia dapat datang di tempat jauh itu? Seperti telah dituturkan di bagian depan,
dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia
pulang ke Pulau Kura‐kura di Lam‐hai. Tepat seperti dugaannya semula,
gurunya, Lam‐hai Seng‐jin, terheran‐heran dan kagum mendengar penuturan
muridnya terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat
dengan penghuni Pulau Es! Setelah muridnya selesai menceritakan semua
pengalamannya, juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka
yang dicintainya dengan suara berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu
sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah aku memperdalam ilmumu dan
menerima sisa‐sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau
lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau balau dilanda oleh para
pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar mengungsi ke Secuan,
maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu kaisar,
jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak." Demikianlah,
Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali
memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan
kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura‐kura
untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke
barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng
dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari
timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki
daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw‐ciangkun. Kwee Lun terus
melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu
bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan
perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja,
ketika Kwee Lun berjalan‐jalan dan bertemu dengan para perajurit Han,
bertanya‐tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara
para prajurit itu. "Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain
jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan
saja, dara perkasa yang mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan
sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!" "Ah, masa?" "Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!" "Akan tetapi ilmu silatnya hebat! janganjangan
panglima itu akan mampus olehnya!" "Mudah‐mudahan begitu!" "tapi
panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja Perwira Ahmed itu, dimana‐mana
para wanita tergila‐gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk
menundukan hati wanita." Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya.
Tak disangkanya, di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang
sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja!
Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia tertarik. "Kalau wanita itu
lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil
tersenyum. "Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan
oleh Bouw‐ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat
PART 387
melawan apabila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau Bouwciangkun
sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw‐ciangkun
selalu berusaha mengambil hati orang‐orang berkulit hitam itu!" Kwee Lun
makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya
memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya
telah dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang
oleh para perajurut diberi nama tempat penjagalan perawan! "Hem,
semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan
kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang aku menjadi
seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun juga
datangnya! Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan
pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan
menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki
rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat
betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu
melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan itu, Kwee Lun
bersembunyi dan mengintai. Penjaga‐penjaga yang memegang pedang ular
dan perisai kura‐kura itu kelihatanya bukan penjaga‐penjaga sembarangan.
Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk
dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tdak
terlambat, pikirnya. Akan tetapi, tiba‐tiba dia melihat seorang perwira Arab
yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang
penjaga menghadangnya, mereka bercakap‐cakap dan perwira itu dibiarkan
oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm, ini agaknya pembesar
yang di "hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia
harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali
terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi,
"******* busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat
sembunyinya. Penjaga itu terkejut cepat menarik perisai kura‐kura di depan
dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.
"Haaaaiiiiittttt!!!" Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung
menendang dengan tumit kaki kanan di depan. "Bresss....!!" Perisai kura‐kura
itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya
terdorong dan terjengkang bergulingan. Mendengar suara berisik ini,
berdatanganlah para penjaga lain dan dalam waktu sebentar saja Kwee Lun
terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh
belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kukra‐kura
itu. Sementara itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed
tadi, setelah berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk
memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut
mendengar ribut‐ribut dan ketika dia menengok, dia melihat seorang
pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini
menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka
dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya
untuk minggir. "Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang! Didorongnya
PART 388
dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong rebah
terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan
mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat!
Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka
tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong. Tak
lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening
kepalaku....." "Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang
menolongmu......" Ahmed mengguncang‐guncang dara itu. Swat Hong
membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya. "Lekas
kaucium ini....." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat
Hong. Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed,
maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan
dia tersedak lalu berbangkis. Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong
bertanya, kepalanya masih agak pening. "Lekas kau telan ini...." Ahmed
memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang
dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya." Teringatlah Swat Hong
dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu
menelan pel kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang
kembali. "Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka.
Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau
keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang
hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...." "Kwee Lun.....!"
Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak
lari keluar. "Nanti dulu, Nona." Swat Hong berhenti. "kau baik sekali, Saudara
Ahmed. Aku berterima kasih kepadamu." "Bukan itu. kau....kau harus lukai
aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai
pengkhianat." Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah
menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat
baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku..... dan
ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak
ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed,
nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!" Swat Hong bergerak cepat sekali,
dan tahu‐tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya dan perwira
itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi
lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak. Swat Hong cepat menyambar
botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian
dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga
menimbulkan kesan seolah‐olah di kamar itu telah terjadi pertempuran,
mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai,
kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,
"Selamat tinggal!" Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan
bertemu kembali." Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed
tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata," Kau..... setangkai
bunga di padang pasir........" Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua
orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan
PART 389
menjerit‐jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat
bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang
seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan
mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main
karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi
ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan
memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu
pedang ular dan perisai kura‐kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk
barisan yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai
untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai,
persis gerakan seekor kura‐kura menyerang dan menyembunyikan kepala di
dalam batoknya. Menghadapi kepungan yang ketat ini, Kwee Lun merasa
kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan
akhirnya dia dapat membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke
sana‐sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung
yang berada di belakangnya dan begitu berada di luar kepungan dia berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat
belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak
terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat
Hong dari luar kepungan. "Nona Han....!" "Kwee‐toako, mari kita basmi
mereka ini!" seru Swat Hong. Kwee Lun girang bukan main, tak pernah
disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat
Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan
ditolongnya itu berbalik malah menolongnya! "Kita lari saja, Nona. tidak
perlu melawan tentara yang amat banyak!" "Tidak aku harus bunuh dulu si
******* she Bouw....!" Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan
berbondong‐bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouwciangkun
sendiri! Melihat Bouw‐ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali.
Dari mulutnya terdengar suara melengking nayring dan tubuhnya melesat
seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah
Bouw‐ciangkun. panglima ini terkejut, menggerakan pedang menangkis.
Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu
patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata
lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong! "Nona,
jangan...." Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan
orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan
mereka secara yang sama sekali tidak disangka‐sangka itu. Semua orang
menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan
pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata‐mata dari pihak
pemberontak! "Tangkap mata‐mata!" "Bunuh mereka!" "Tahan semua
senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan
itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu
dengan marah. Mau bicara apa lagi mata‐mata yang sudah membunuh
komandan mereka ini? "Saudara‐saudara sekalian! Kami berdua bukan mata
Share This Thread