PART 15
gagah di dunia kang‐ouw untuk menjaga keselamatannya." Perubahan hebat
pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya
menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat‐kilat dan suaranya
berubah kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak‐anak kurang ajar!
Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?" "Guru kami
tidak tahu‐menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan
mendengar akan Sintong yang terancam bahaya, maka kami melihat
Locianpwe lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak
menghendaki Sin‐tong, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami
mohon maaf sebanyaknya." "Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga.
Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin‐tong?" Tiga
belas pendekar Bu‐tong‐pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus
terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus
terang pula. "Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat‐jiu Kai‐ong sedang
menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat‐ciang‐hoat‐sut (Ilmu Hitam
Tangan Darah)?" Tiba‐tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk
kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan
telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung
tuduhan ini. Ilmu Hiat‐ciang hoat‐sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya
dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang
amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan
minum darah, otak dan sumsum anak‐anak yang masih bersih darahnya!
Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Sintong
mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum
seorang bocah seperti Sin‐tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak
dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!. Tiba‐tiba kakek itu tertawa
lebar. Hah‐hah‐hah‐hah, memang benar! Dan satu‐satunya bocah yang akan
menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin‐tong! Dan aku bukan hanya suka
minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku
bukannya tidak suka bersenang‐senang dengan perawan cantik seperti
engkau, Nona!" "Singggg! Singggg...!" Tampak sinar‐sinar berkilauan ketika
pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan
tiga belas orang pendekar itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawatawa.
"Heh‐heh, kalian mau coba‐coba main‐main dengan Pat‐jiu Kai‐ong?
Sayang kalian masih muda‐muda harus mati, kecuali Nona manis. Andaikata
Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini sekalipun, dia juga tentu akan
mampus kalau berani menentang Pat‐jiu Kai‐ong!" "Serbu dan basmi iblis
ini!" Twa‐suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan
bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat. Tiba‐tiba kakek itu
mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara
tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga
terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah‐olah
semua ***** dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu.
Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar
itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan
PART 16
untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan
jantung mereka seolah‐olah berhenti berdenyut. Twa‐suheng mereka yang
bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu‐hokang (Ilmu
menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!" Seruan ini menyadarkan
para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga
pengaruh Saicu‐hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan
gerakannya. "Sing‐sing.... siuuuut.... trang‐trang‐trang..Heh‐heh‐heh!"
Gulungan sinar pedang‐pedang yang menyambar ke arah tubuh kakek dari
berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang
telah diputar dengan cepatnya oleh Pat‐jiu kai‐ong. Para pendekar Bu‐tongpai
itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi
panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini
menandakan bahwa Si kakek benar‐benar amat lihai dan memiliki tenaga
sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu
ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman
pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap‐sha Sin‐hiap
adalah pedang‐pedang pusaka yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah Ngo‐hengkiam
(Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu‐tong‐pai yang terkenal? Ha..ha, tidak
seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang
yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek. "Bentuk Sin‐kiam‐tin
(Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa‐suheng melihat betapa kakek itu
benar‐benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat
ditangkis dengan mudahnya. Tiba‐tiba tiga belas orang pendekar itu
merobah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan
tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu,
sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul
menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu. Diam‐diam
kakek itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu
menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi
berdasarkan Ngo‐heng‐kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngoheng‐
kiam dan dapat menggerakan tongkat secara otomatis untuk
menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi sekarang,
sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan
mengelilinginya itu benar‐benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat‐jiu
Kai‐ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu‐tong‐pai dan
memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan
tetapi setelah mereka menggunakan Sin‐kiam‐tin dia tahu behwa mereka
kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak
disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San‐jin, ketua dari Bu‐tong‐pai
dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya. Tiba‐tiba terjadi
perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali,
merah darah! "Hati‐hati terhadap Hiat‐ciang Hoat‐sut!" Si Twa‐suheng
berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu. Pat‐jiu
Kai‐ong tiba‐tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat
daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar
PART 17
dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan. "Prak‐prak...dessss!"
Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah
oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat‐ciang
Hoat‐sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima
jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiatciang
Hoat‐sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih
belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek ini
berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sintong!.
Sepuluh orang pendekar Bu‐tong‐pai terkejut dan marah sekali.
Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam.
Namun kembali Pat‐jiu Kai‐ong memekik dahsyat sambil bergerak
menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini
diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya
untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti
itu dan akibatnya, dua belas orang diantara Cap‐sha Sin‐hiap dari Bu‐tong‐pai
itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang
masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh
Pat‐jiu Kai‐ong dan kini sambil tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat
Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang
suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang suhengnya yang selama ini
berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang
bergelimpangan di sekelilingnya, seolah‐olah mayat dua belas orang itu
mengurung dia dan Pat‐jiu Kai‐ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru
mengandung isak tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan,
pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap‐luap.
Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari
samping menghantam pedang yang menusuknya. "Krekkk!" Pedang itu patah
dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakan
matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum
yang baginya amat mengerikan itu, tiba‐tiba dia membalikan tubuhnya dan
melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan
kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya
yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia
tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat
untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut
lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat‐jiu Kai‐ong yang entah kapan
telah berada di situ menghadangnya di depan pohon! "Lepaskan aku!!" Kwat
Lin berteriak dan tubuhnya tiba‐tiba dilontarkan oleh kakek itu, jauh kembali
ke dalam lingkaran mayat‐mayat suhengnya. Dengan langkah gontai, kakek
itu tersenyum‐senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas
para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk
dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor
kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap
PART 18
menerkamnya. Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat
menggerakan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke
arah ubun‐ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking. Batu karang
saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubunubun
kepalanya. "Plakkk!" "Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu
tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek itu telah berdiri di
depannya dan telah mencegah dia membunuh diri! "Bretttt...bretttt....!"
Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh
pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik‐cabik dan cerai‐berai,
membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan
tetapi tiba‐tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan
suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya
sehingga mereka berdua bergulingan diatas rumput yang bernoda darah
para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun
sia‐sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan
pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua
usahanya meronta‐ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini
malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah‐olah seekor kucing yang menjadi
gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak
berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum
menjadi mangsanya! Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan
yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ketiga,pagi‐pagi sekali
dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan
setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja
yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu
mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang
kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di
atas rumput berdarah. "Ha‐ha‐ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas,
dan kalau kau mau membunuh diri, silahkan. Ha‐haha!" Biarpun Kwat lin
berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati
karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi
satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap‐luap masih
memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku
harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha..ha..ha..ha!
Kalau sewaktu‐waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke
Hong‐san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan
tempat itu meninggalkan Kwat‐Lin yang masih rebah dan kini wanita yang
bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat‐mayat dua
belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat
dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa,
diperkosa, dihina di antara mayat‐mayat dua belas suhengnya, bahkan
sewaktu keadaan mayat‐mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau
yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak‐enak
mempermainkannya. Benar‐benar seorang manusia yang kejam melebihi
iblis sendiri. JILID 2 Tiba‐tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah‐olah ada
PART 19
tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan
karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan
atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu
memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar,
keluar suara parau dari mulutnya yang pecah‐pecah bibirnya oleh gigitan
kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah
untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu‐satunya tujuan hidupku
sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Patjiu
Kai‐ong!" Tiba‐tiba dia terhuyung mundur memandang wajah
twasuhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri
hatinya. "Twa Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang
sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa‐suheng....jangan
menangis......" Dia berdirisesunggukan. "Apa.....? Aku telanjang.....?
Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat
Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dab celana luar dari mayat yang
sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya
sendiri. Tentu saja agak kebesaran. "Hi‐hi‐hik, pakaianmu kebesaran,
Suheng......." Dia memandang wajah mayat twa‐suhengnya dan tertawa lagi.
"Hi‐hik,nah,begitu, tertawalah Twa‐suheng, tertawalah para suheng
sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan
kubalaskan...! Hi‐hi‐hik... hu‐hu‐huuuhhh..." Dia menangis lagi terisak‐isak
dan dengan terhuyung‐huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu
setelah mengambil pedang twa‐suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka
terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu‐tong‐pai itu,
sebatang pedang pemberian Ketua Bu‐tong pai sendiri, pedang yang di dekat
gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi
nama Ang‐bwe‐kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung‐huyung,
pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja,
langkah yang kecil‐kecil dan terhuyung‐huyung karena tubuhnya masih
terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang‐kadang terdengar dia terisak
menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu
dengan wanita yang bibirnya pecah‐pecah mukanya penuh debu dan air
mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap‐riapan dan
pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira
bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak
meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin
membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan
pada ingatannya. Pada hari yang sama ketika Cap‐sha Sin‐hiap roboh di
tangan kakek iblis Pat‐jiu Kai‐ong di kaki Pegunungan Jeng‐hoa‐san, terjadi
pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap‐sha Sinhiap
roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula
peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari
itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari
pegunungan Jeng‐hoasan sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan
wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali,
PART 20
mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh
tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus,
mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang
dan seolah‐olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang
memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati
yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu‐ragu,
curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali
berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkahlangkah
gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan
bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutarmutarsebuah
payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang
tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba
mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah
menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang
menarik adalah kuku‐kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara,
diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku
kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan
tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk
lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya
yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali! Biarpun
kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun
sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal
sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah
Kiam‐mo Cai‐li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang
membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking
ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari
bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman
rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam
pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali
tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak‐lenggok dengan payung
di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang‐ouw dengan
perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu
Kiam‐mo Cai‐li ini mendaki lereng Jeng‐hoa‐san! Tentu saja dia pun
mendengar berita menggeggerkan dunia kang‐ouw akan adanya Sin‐tong, Si
Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar‐debar penuh
ketegangandan penuh birahi! Dia dapat membayangkan betapa tenaga
mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari
tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa
menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan
bocah ajaib di puncak Pegunungan Jeng‐hoasan di dalam Hutan Seribu
Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu.
Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi merantau
namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di
PART 21
tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai.
Rawa‐rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang‐san,
merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar,
merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengahtengah
rawa‐rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain,
terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau
inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam‐mo Cai‐li,
bersama belasan orang pembantu‐pembantuyang sudah menjadi orangorang
kepercayaannya. Dia disebut Cai‐li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita
ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil
Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan
sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian
pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi,
penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum
kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga
Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya,
apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan
hubungan dengan kepala‐kepala pengawal, dengan pengawal‐pengawal
kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu
silat‐ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai "bayaran". Akhirnya,
pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah
seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan
tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar,
membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian
minggat! Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam‐mo Cai‐li,
namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu
menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawanitu sehingga
menjadi orang buruan pemerintah. Liok Si berjalan sambil tersenyumsenyum,
kadang‐kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih
mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing
sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau
dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh
bocah ajaib itu. "Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati‐hati
terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm..." Tiba‐tiba dia
terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum
manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima
orang laki‐laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya
menyambar‐nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang,
hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar
tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata‐rata tiga puluh tahun
lebih bertubuh tegap‐tegap dan rata‐rata berwajah tampan dan gagah!
Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati! "Aih‐aihh...
Siapakah Ngo‐wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo‐wi
sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?" Seorang di antara mereka,
yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok
PART 22
hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam‐mo Cai‐li
dari Rawa Bangkai?" Wanita itu memainkan bola matanya memandangi
wajah merka berganti‐ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika
menjawab, "kalau benar mengapa? Kalian ini siapakah?" "Kami adalah Keesan
Ngo‐hohan(Lima Pendekar dari Gunung Ayam)". "Kiam‐mo Cai‐li
mengeluarkan bunyi "tsk‐tsk‐tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia
menjura dan berkata manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya
sudah terkenal di seluruh dunia kang‐ouw sebagai murid‐murid utama Hoasan‐
pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."
"Harap Toanio(Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah
tahu siapa adanya Kiam‐mo Cai‐li, dan karena melihat engkau mendaki Jenghoa‐
san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."
"Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya
makin memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh‐tokoh
kang‐ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin‐tong yang berada di
Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam‐mo Cai‐li
merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin‐tong.
Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin‐tong maka kami
hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari
tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad
baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun,
mengingat bahwa Sin‐tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak
menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang‐orang
gagah untuk melindunginya." Kembali Kiam‐mo Cai‐li tersenyum. "Terus
terang saja, memang aku mendengar tentang Sin‐tong dan aku ingin
mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng‐hoa‐san. Habis kalian mau
apa?" Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan
niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin‐tong,
terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan
perjalanan!" "Hi‐hi‐hik, galak amat! Lima orang laki‐laki muda tampan gagah
bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak
semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!" "Hemm, habis
semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee‐san Ngo‐hohan yang
betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan
mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak
mengganggu Sin‐tong. Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti,
bibirnya penuh tantangan. "Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu
kasih!" "Perempuan hina!" "Jalang!" "Siluman betina" Lima orang itu telah
mencabut senjata masing‐masing yaitu senjata golok besar yang selama ini
telah mengangkat nama mereka di dunia kang‐ouw. Kelima orang pendekar
ini memang merupakan ahli‐ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa‐san‐to‐hoat
yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok
jalan darah yang bernama Sam‐ci‐tiam‐hoat, yaitu ilmu menotok
menggunakan tiga buah jari tangan. "Siaaaattt...singg...siang..." "Ha‐ha, bagus!
kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain
PART 23
cinta, hi‐hik!" Kiam‐mo Cai‐li mengelak dan tiba‐tiba payung hiatmnya
berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari
baja yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah
dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata
tajam. Adapun ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan
gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan
yang lihai. "Trang‐trang‐trang...!!" Bunga api berpijar ketika golok‐golok itu
tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung
yang berkembang dan berputar‐putar, maka sukarlah bagi lima orang itu
untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung
wanita itu. "Hi‐hik, hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja,
masih terlampau sedikit bagiku. Hi‐hik, hendak kulihat sampai dimana
kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan‐lawanku untuk bermain
cinta!" "Perempuan rendah!" Orang pertama dari lima pendekar itu marah
sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba‐tiba golok itu terhenti di
tengah udara karena telah terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang
lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata
rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk
hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya,
rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang
kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee‐san ngo‐hohan!
Sebelum orang ini ssempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam‐mo Cai‐li
bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring. "Krekk!"
Laki‐laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah
terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia
masih dapat melihat dan mendengar. Empat orang lainnya terkejut dan
marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan
kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam‐ci‐tiam‐hoat yang
ampuh! Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa‐tawa
mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan
mudah oleh payung yang diputar‐putar sedangkan ujung rambut yang
panjang itu mengeluarkan suara ledakan‐ledakan kecil dan menyambarnyambar
di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan
kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan
mereka. "Mampuslah!" Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika
goloknya ditangkis, cepat dia "memasuki" lowongan dan berhasil mengirim
totokan. Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di
antara putaran payung itu hanya di bagian dada, maka dia menotok dada kiri
wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat tangguh,
pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu
tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu. "Cusss...!"
tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia
hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama
sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihh, kau
bersemangat benar, tampan. Belum apa‐apa sudah main colek dada, hihik!"
PART 24
Tentu saja pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu
akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan
belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat
berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak
merasakan apa‐apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada?
Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya. "Sudah cukup,
sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!" Tiba‐tiba payung itu tertutup
kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam
menyambar‐nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas
terdengar ledakan‐ledakan dan berturut‐turut tiga orang lagi roboh terkena
totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun
roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka! Orang termuda
dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya
telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan
kebencian meluap dia memaki, "Perempuan hina, ******* rendah, siluman
betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!" "Aihhh... kau
penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!"
Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental
dan sebelum laki‐laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung
rambut telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk
melepaskan libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi
begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi
banyak gumpalan dan tahu‐tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun
sudah terbelit rambut yang seolah‐olah hidup seperti ular‐ular hitam yang
kuat. "Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar
tidak suka memaki lagi!" Laki‐laki itu sudah membuka mulut hendak memaki
lagi, akan tetapi libatan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak
dapat bernapas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita
yang tersenyum‐senyum itu! Kini laki‐laki itu sudah berada dekat sekali,
bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan
perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang
aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat‐kuat, dan
napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
"Aihhh, kau perlu diberi sedikit hajaran, Tampan!" Empat orang pendekar
yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa
wanita iut kini mendekatkan muka sute mereka yang termudda, kemudian
membuka mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah
yang terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit
seperti menahan sakit, mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus
mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar.
Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang
kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit
sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap
darah dari luka di lidah itu! Mereka berempat hanya melihat betapa wanita
PART 25
itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu
memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka
makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan
kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena
darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut
pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda. Dapat
dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut
sute mereka penuh warna merah darah! "Sute...!!!" Mereka berseru akan
tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka. Sute mereka merontaronta
seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para
suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan
ketika wanita itu kelihatan jelas menghisaphisap lehernya ternyata bahwa
urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan
sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di
leher itu! Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya
makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang‐regang itu lemas. Orang
termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiammo
Cai‐li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh,
terlentang dengan muka pucat dan napas terengah‐engah. 'Sute...!" Kembali
mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa
wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk
menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah.
Wajahnya kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseriseri
dan ketika dia mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh
kengerian. Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia
sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua
tangannya bergerak ‐gerak dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu
telah koyak‐koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat
seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan
satu demi satu sambil menari‐nari! Sampai dia bertelanjang bulat sama sekali
di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan
sebal! "Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan
membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya
ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian." "Cih,
siluman betina! Kauanggap kami ini orang‐orang apa? Kami adalah murid
Hoa‐san‐pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada
memenuhi seleramu yang terkutuk melayani nafsu berahimu yang
menjijikan!" kata empat orang itu saling susul dan saling bantu. Kiam‐mo Caili
tersenyum. "Hi‐hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku
sampai mampus!" Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di
antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat
beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil,
menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu
mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang
menggetarkan tubuhnya melalui luka‐luka goresan kuku beracun dari
PART 26
kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan
napasnya terengah‐engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh
kekhawatiran dan kengerian. Tiba‐tiba wanita itu terkekeh, menggunakan
tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki
tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih
rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute mereka
itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh
gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu
menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput
dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian
mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga
terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang
memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa Sute mereka
melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan
oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute
mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya
dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi
kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya. Dapat diduga lebih dahulu
bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat
berdaya apa‐apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut‐turut oleh
Kiam‐mo Cai‐li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat
itu sambil menjilat‐jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar
kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu,
bergegas dia pergi mendaki Jeng‐hoa‐san untuk mencari Sin‐tong yang amat
diinginkan. Lima orang Kee‐san Ngo‐hohan itu mengalami kematian yang
amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka
seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba‐laba dan setelah semua
darah mereka disedot habis oleh laba‐laba, mayat mereka yang sudah kering
dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja. Kwa Sin Liong, atau yang lebih
terkenal dengan nama panggilan Sin‐tong, pada pagi hari itu seperti biasa
setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat‐obatan dan tidak lama
kemudian berturut‐turut datanglah orang‐orang dusun yang membutuhkan
bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Sin tong
mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit
yang mereka derita, menyiapkan obat‐obat untuk mereka semua dengan hati
penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki
perempuan yang memandang kepada bocah itu dengan sinar mata penuh
kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang wajah Sin‐tong itu saja,
mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka. Seolaholah
ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang
meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya
terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat
menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah
merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memang bukanlah seorang
dukun yang menggunakan kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati
PART 27
orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih
buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat
atau daya penyembuh terhadap penyakit‐penyakit tertentu itu. Tiba‐tiba
terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka
semua. Juga in Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan dan
memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang
aneh itu. Akan tetapi begitu kata‐kata nyanyian itu dimengertinya, dia
mengerutkan alisnya dan menggeleng‐geleng kepala. "Aihh, kalau hidup
hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan
dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Huh‐ha‐ha, benar sekali, Sin‐tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani
melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu‐tamu yang tiada
harganya ini!" Terdengar jawaban dan tahu‐tahu disitu telah berdiri Pat‐jiu
Kai‐ong! Sebagai lanjutan kata‐katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah
di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah
dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar lima kali,
disusul jerit‐jerit kesakitan dan robohlah berturut‐turut lima orang dusun
yang berada di depan Sin Liong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas
seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka! "Hi‐hihik,
kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin‐tong lihat ini!" Tibatiba
terdengar suara ketawa merdu dan tau‐tahu di situ telah berdiri seorang
wanita cantik yang bukan lain adalah Kiammo Cai‐li! Dia menudingkan
payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang
berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang lima orang teman
mereka yang telah tewas. "Cuat‐cuat‐cuat...!" Dari ujung payung itu meluncur
sinar‐sinar hitam dan berturut‐turut, enam orang dusun yang masih hidup
menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum‐jarum
hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu! Sejenak Sin Liong
terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan
dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas
orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air
matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil
menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat‐jiu Kai‐ong dan Kiam‐mo
Cai, "Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan
kalian amat terkutuk. Membunuh orang‐orang tak berdosa seolah kalian
pandai menghidupkan orang. Bocah itu memandang kepada sebelas mayat
dan sesenggukan menangis. "Hi‐hi‐hik, Sin‐tong yang baik, apakah kau takut
kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu," kata
Kiam‐mo Cai‐li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan
membayangkannya ketakutan. Sin Liong mengangkat muka memandang
wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang
matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan, "Kau mau bunuh aku
atau tidak, terserah. Aku tidak takut!" "Ha‐ha‐ha! Benar hebat! Sin‐tong, kalau
kau tidak takut kenapa menangis?" Pat‐jiu Kai‐ong menegur. "Apa kau
PART 28
menyambung. "Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis
menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis karena melihat
kesesatan dan kekejaman kalian." Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran
saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka
terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa,
dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk
Sin‐Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun
tidak membayangkan rasa takut! "Desss......!" Karena gerakan mereka
berbarengan, disertai rasa khawatir kalau‐kalau keduluan oleh orang lain,
maka melihat Pat‐jiu Kai‐ong sudah lebih dekat dengan Sin‐tong, Kiam‐mo
Cai‐li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin‐tong karena dia
kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua
tangannya ke arah Pat‐jiu Kai‐ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh
wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat‐jiu Kai‐ong terkejut ketika ada
angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sintong
dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga
lawan dan terpental ke belakang! Sejenak mereka saling berpandangan dan
Pat‐jiu Kai‐ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa, "Ha‐hayha,
lama tidak jumpa, Kiam‐mo Cai‐li menjadi makin gagah saja!" "Pat‐jiu
Kai‐ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sintong
dari tanganku!" Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap
menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu. "Aha,
Kiam‐mo Cai‐li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya
untuk menyempurnakan ilmuku..." "Hi‐hik, Ilmu Hiat‐ciang Hoat‐sut, bukan?
Kau sudah cukup tangguh, Kai‐ong, dan betapa mudahnya bagimu untuk
mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan
sumsumnya. Jangan Sintong!" "Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa
kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin‐tong? Dia masih
terlalu muda, Cai‐li, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya
bagimu mencari orangorang muda yang kuat dan menyenangkan?" "Cukup!
Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu‐satunya adalah untuk
memperebutkannya dengan kepandaian!" "Ha‐ha‐ha, bagus sekali. Memang
aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!" Liok Si, Si
Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan
menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka
sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang
istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
"Trakkk!" Pat‐jiu Kai‐ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis.
Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang
dan Pat‐jiu Kai‐ong cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi
segulungan sinar hitam yang menyambar ganas. "Trakk! Trakkk!!" Dua kali
senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke
belakang. Diam‐diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa
dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka
melanjutkan pertandingan mereka, tiba‐tiba mereka melangkah mundur dan
PART 29
memandang tajam karena berturut‐turut ditempat itu telah muncul lima
orang kakek yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu memiliki
kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti *****‐*****, tidak dapat didengar
atau dilihat lebih dahulu, tahu‐tahu sudah berdiri di situ sambil memandang
ke arah Pat‐jiu Kai‐ong dan Kiammo Cai‐li dengan bermacam sikap. Ketika
dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh
perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang
belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri‐ciri mereka, kedua orang
datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah
orang‐orang aneh di dunia kang‐ouw yang masing‐masing telah memiliki
nama besar sebagai orang‐orang sakti. Sementara itu, ketika melihat dua
orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong
menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh
damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman
dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman‐kekejaman
manusia ketika terjadi pembunuhan ayah‐bundanya, kini dia menyaksikan
kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama
sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu
duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda
duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika
muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa‐apa kecuali
memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak
mengacuhkan. Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh
tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong
dalam cerita Sam‐kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua
batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring
ketika dia tertawa, "Ha‐ha‐ha, kiranya bukan hanya orang gagah saja yang
tertarik kepada Sin‐tong, juga iblis‐iblis berdatangan sungguhpun tentu
mempunyai niat lain!" Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiammo
Cai‐li dan Pat‐jiu Kai‐ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terangterangan.
Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah
Siang‐koan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee‐tok
(Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari
tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun
dan selain itu, juga dia amat jujur dan blak‐blakan, bicara dan bertindak
tanpa pura‐pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal
sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah ilmu pukulannya yang
disebut Pek‐lui‐kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban‐tok
Siang‐kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu
dimana tempat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang
muncul dimana saja secara tak terduga‐duga seperti kemunculannya
sekarang ini di Hutan Seribu Bunga. "Huhh, bekas Suteku yang tetap ******!"
kata orang kedua. "Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua
iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin‐tong
untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat‐Ciang Hoat‐sut. Sedangkan iblis
Share This Thread