Page 4 of 28 FirstFirst 1234567814 ... LastLast
Results 46 to 60 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #46

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 45
    teecu sebagai murid." Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak
    yang masih berlutut itu. "Bocah, siapa namamu?" "Teecu She Kwa, bernama
    Sin Liong. Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah
    bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu
    karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa
    mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu. "Hemm, kau
    ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?" "Mempelajari
    kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu
    kesaktian." "Kalau kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak
    ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka?
    Mereka itu adalah tokoh‐tokoh yang memiliki kesaktian hebat." "Namun
    teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum
    kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali
    karena sifat welas asih pada diri Locianpwe." "Tapi kau hendak belajar silat,
    mau kaupakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna
    berada disini bagi penduduk sekitar Jeng‐hoa‐san?" "Maaf Locianpwe. Tidak
    ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian
    dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu
    disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati
    orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini,
    tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama
    sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah
    sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini
    melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan,
    juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang
    jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan
    teecu." "Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah
    dan enak, tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan
    menderita ditempat yang dingin itu." "Kesukaran apa pun akan teecu terima
    dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah,
    Locianpwe." Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali
    melihat bocah yang dijuluki Sin‐tong ini. Bocah ini sama sekali tidak
    mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain
    yang lemah. Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa
    bocah ini memang benar‐benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan
    pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya
    malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau
    menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap
    diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid lalu apa
    bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi. Akan
    tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang
    mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya. "Kalau memang
    sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin‐Liong. Mari kauikut
    bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali
    membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi. "Suhu, nanti dulu...!"

  2. Hot Ad
  3. #47

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 46
    Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi‐lagi dia mendengar pengaruh yang
    luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara
    kesal dia berkata, "Mau apa lagi?" "Maaf, Suhu. Teecu mana bisa
    meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini saja?" "Habis, apa
    maumu?" "Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi." "Kalau
    aku melarangmu?" Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu
    yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang
    teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur
    mayatmayat ini." Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan.
    Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu
    karang kokohnya. "Murid macam apa kau ini? Belum apa‐apa sudah siap
    membangkang terhadap Guru!" "Teecu menjadi murid bukan membuta, dan
    teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah
    Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam
    kesesatan." Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi
    dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan
    kurang ajar ini dan dia mengangguk‐angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku
    menunggu." "Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti
    yang budiman!" Dengan wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan
    tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali
    hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang‐orang dusun
    dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka
    tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat
    bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah! Mula‐mula Han Ti Ong
    duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras.
    Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat.
    Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah
    pegal‐pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari
    dahinya dan kadang‐kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia
    tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat
    membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau
    dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua
    mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih! "Hemm,
    hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar‐benar bocah ajaib." Han Ti Ong
    mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan
    muridnya dan tanpa berkata apa‐apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya
    amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi
    kabur pandangan matanya karena seolah‐olah tubuh gurunya berubah
    menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat
    sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah
    mayat itu. Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu
    diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat‐mayat itu, dimasukkan ke dalam
    lubang dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya
    mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua
    tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.

  4. #48

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 47
    "Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!" Sin
    Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus
    memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat
    cepatnya meninggalkan Gunung Jeng‐hoa‐san, entah kemana! Akan tetapi
    setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan
    dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang
    berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya
    melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Tiba‐tiba dia
    melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru,
    "Suhu, harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?" "Suhu, disana
    itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun
    merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan
    mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan
    bahwa mayat‐mayat itu tentu diganggu oleh binatang‐binatang buas
    sehingga berserakan kesana‐sini. "Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
    "Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat‐mayat itu? Mereka adalah
    bekas‐bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..." "Wah,
    kau memang gatal‐gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau
    lakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia
    sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh
    ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat‐mayat
    yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium
    baunya yang hampir membuatnya muntah. Dengan langkah lebar Sin Liong
    menghampiri mayat‐mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan.
    Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran‐heran bocah itu
    mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil,
    pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong‐motong daun dan akar
    dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak
    menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya
    dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa
    tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan
    bahwa muridnya ini benar‐benar seorang bocah ajaib yang mempunyai
    pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat‐buat! Dengan kagum dia meloncat
    bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang beberapa sentimeter
    dalamnya. "Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk
    mengubur mereka." "Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...? "Ha, kau masih
    meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik‐baik!" Han Ti Ong lalu
    mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung
    sepatunya mencongkel mayat‐mayat itu menjadi setumpukan barang busuk,
    dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas
    tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair,
    dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua,
    berikut tulang‐tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam
    lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan
    meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk

  5. #49

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 48
    menampung cairan itu. Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu
    menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima
    kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman." "Aahhh....!" Muka
    Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi
    rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat‐mayat
    itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh
    muridnya? "Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekarpendekar
    gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang
    dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang‐orang
    sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!" Kembali
    murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari
    cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan
    Jeng‐hoa‐san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit(dijepit di
    bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!" Han Ti Ong
    menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari
    kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting
    sekali, aku akan marah!" "Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita
    menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati disana..."
    Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok
    tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak
    bergerak‐gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti
    bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia
    tersenyum dan melihat muridnya sudha menjatuhkan diri berlutut di depan
    orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh,
    Suhu! Dia seeorang wanita!" Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah
    muridnya dan melihat betapa tiba‐tiba orang yang disangkanya pingsan itu
    sudha meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan
    kekuatan dahsyat. "Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!" Wanita yang
    mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awutawutan itu menjerit
    ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia
    terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong,
    kemudian menangis tersedu‐sedu dan bergulingan diatas tanah menangis
    seperti seorang anak kecil. "Jangan....aughhh, jangan....lepaskan
    aku....lepaskan ...! Jangan bunuh mereka...!" Sin Liong tertegun dan
    memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang penuh kasihan.
    Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan
    dengan seorang wanita yang berotak miring! "Toanio(Nyonya), kau
    kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan. Tiba‐tiba wanita itu meloncat
    bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali
    tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba‐tiba tertawa
    terkekeh. "Hi‐hi‐hi‐hikk!" Aneh sekali, ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong
    melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis
    muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila.
    Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar, rambutnya
    yang hitam panjang itu riap‐riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu

  6. #50

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 49
    dan air mata, matanya merah dan membengkak. "Hi‐hi‐hik, kubunuh engkau,
    Pat‐jiu Kai‐ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas
    kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. " Hu‐huhuuuuuh....
    Cap‐sha Sin‐hiap dari Bu‐tong‐pai habis terbasmi...." Han Ti Ong
    terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu‐tongpai
    yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa
    pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari
    dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
    "Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap‐sha Sin‐hiap dari Bu‐tongpai?"
    tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu. "Jangan
    sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba‐tiba wanita
    itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok.
    Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
    "Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran. "Bodoh, kalau tidak
    kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau
    bisa mengobatinya?" Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot
    tanpa mampu bergerak. Setelah memerikasa sebentar, dia menarik napas
    panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia
    menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng‐hoa‐san,
    kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk mengobatinya."
    "Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong
    megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan
    ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya
    di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun‐ubun! Sin Liong memandang
    dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang
    kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang
    dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan
    pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan
    menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah
    sudah ada perubahan?" Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa
    mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah
    normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya.
    "Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli
    pengobatan pula." "Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku
    mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk
    jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
    "Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
    "Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan
    membiarkan dia ikut dengan kita." "Kau..............kau gila.......?" "Suhu, dia belum
    sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang jahat,
    bagaimana?" "Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari
    Cap‐sha Sin‐hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
    "Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah
    mayat‐mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat‐jiu
    Kai‐ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh

  7. #51

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 50
    benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia
    seperti itu?" Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah
    The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut
    yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa
    dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia
    sudah "Ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani
    membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik
    hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini..
    entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali. "Sudahlah,
    kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar
    kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana
    perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya
    sendiri! "Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman." Dengan hati
    mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia
    mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan
    karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia
    lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar
    tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini
    secepat terbang menuju ke pantai lautan. Siapakah sebetulnya manusia sakti
    yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang‐ouw itu? Siapakah Pangeran Han
    Ti Ong yang pada bagiaan dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan
    seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini
    merupakan pulau rahasai yang hanya dikenal orang kang‐ouw seperti dalam
    dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu
    kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka
    ini ditolong oleh manusia‐manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni
    Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan
    sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan
    diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang
    membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es
    terkenal di dunia kang‐ouw. Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang
    pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti,
    seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang
    kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluaraganya menjadi pelariaan.
    Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur
    dan menggunakan sebuah perahu utnuk mencari tempat baru. Tujuannya
    adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang‐orang pandai
    dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani
    menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi dia tersesat
    jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara
    sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat
    pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan
    di sekitar situ terdapat pulau‐pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka
    pangeran pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es
    sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang‐orang yang setia

  8. #52

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 51
    kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut‐pengikutnya.
    Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan
    berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini! Berkat kebijaksanaan
    Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram
    dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para
    pengikutnya membentuk keluarga‐keluarga sehingga penghuni pulau itu
    berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang
    sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu.
    Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmuilmu
    warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat
    pula pelajaran ilmu yang tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke
    empat dari raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan
    raja yang sudah‐sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan
    hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau‐pulau
    kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur‐sayuran atau
    berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat
    sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam‐diam dia melakukan
    perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu
    nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai diantara para
    keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di
    daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu‐ilmu silat tinggi yang lain dari
    daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara‐gara perantauan
    Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran
    Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang‐ouw sungguhpun dia
    jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran
    naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang‐ouw untuk
    mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di
    Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar
    dunia kang‐ouw. Para Pangeran yang sudah‐sudah, selalu mengambil isteri
    dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara‐saudara misan mereka sendiri.
    Hal ini adalah untuk menjaga agar "darah" kerajaan tetap "asli". Akan tetapi,
    berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta
    kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil
    dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara‐dara yang berdarah "biasa"
    ini hanya diambil sebagai selir‐selir oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi,
    Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai
    seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja,
    seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan
    yang mengatasi kecantikan para puteri raja! Dari isteri tercinta ini, Pangeran
    Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam
    tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti
    ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat
    Hong(Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan
    puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju
    yang amat kuat! Pada pagi hari itu Swat Hong, nak perempuan berusia enam

  9. #53

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 52
    tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih
    tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya
    penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
    "Hong‐ji (Anak Hong)..." Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang
    memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri
    ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis. Ibunya tertawa.
    :Aih‐aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis?
    Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah
    yang menghalanginya?" "Ibu, kau...kau kejam!" "Ihh! Ibumu kejam? Mungkin
    kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam
    terhadap manusia." Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri
    Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat
    Hong. "Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu
    kepada Ayah?" Tiba‐tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan terasa
    lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong
    melorot turun dan bertepuk‐tepuk tangan, "Hi‐hi, Ibu menangis! Ibu juga
    rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!" Memang watak anakanak,
    begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaanya
    dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan
    tetapi masih bercucuran air mata. Swat Hong yang tadinya berbalik
    menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia
    tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa ibu berduka? Apa
    yang terjadi? Apakah diam‐diam ibu begitu merindukan Ayah dan
    menyembunyikannya saja?" Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan
    menghapus air matanya, mengangguk‐angguk sebagai jawaban karena masih
    sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan
    tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja
    tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu
    kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong
    mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah‐olah orang yang menyusahkan
    hati ibunya sudah berada disitu dan akan dihantamnya. Melihat sikap
    anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan
    tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong‐ji, kalau ada
    yang kurang ajar kepada ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya
    sendiri?" Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga
    hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak
    menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan
    hati Ibu." "Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, LIu Bwee
    mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak,
    "Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas. Swat Hong bersorak
    gembira. Itulah sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau
    dilempar ke udara oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya
    karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun
    kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun
    Ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya

  10. #54

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 53
    melambung tinggi melewati puncak pohon! Ketika tubuhnya melayang turun,
    ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia
    menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh
    sehingga kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya
    untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun‐ubun. Itulah jurus
    terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan
    loncatan ke atas dan menyerang ubun‐ubun kepala lawan, akan tetapi kini
    dilakukannya ketika dia melayang turun! "Haaiiiit...!!" Untuk
    memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang. Tentu
    saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri
    Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua
    penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng
    oleh suaminya dengan ilmu‐ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi
    seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan
    puterinya, dia pun cepat mengelak, dari samping dia menyambar kedua
    lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya
    dilemparkan ke atas! Tubuh itu melayang tinggi dan tiba‐tiba dari atas Swat
    Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang....!!" Mendengar ini, Liu
    Bwee cepat lari kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya
    berseri‐seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya.
    Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang
    mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil
    meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini
    berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang wanita
    muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat
    suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia
    maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir‐selir sebanyaknya. Akan
    tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama
    seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam
    hatinya. "Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!" JILID 4 Teriakan Swat Hong ini
    mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur
    turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya
    pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah
    memiliki ginkang yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dari tempat
    tinggi seperti itu ada bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk
    meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar sebuah
    ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan tepat melayang
    di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga idak menyianyiakan pertolongan
    ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan
    dan mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia
    dapat meloncat kebawah dengan aman. Seperti tidak pernah mengalami
    bahaya apa‐apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang, "Ayah
    datang, Ibu?" Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang
    ke arah perahu yang makin mendekat pantai. "Heii, Ayah bukan datang
    sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki‐laki bersama ayah di dalam

  11. #55

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 54
    perahu!" Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh
    selidiki ke arah perahu. "Wah, jangan‐jangan itu selir dan putera..ayah!" Swat
    Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah
    tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak
    akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar pulau
    Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada
    anak laki‐laki di dalam perahu itu. Mendengar ucapan yang tanpa disengaja
    oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee
    menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak lakilaki
    itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena
    dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga
    keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika
    kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan
    merasa menyesal telah mengeluarkan katakata yang penuh cemburu tadi.
    Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus kata‐katanya dari
    hati anaknya dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita disini saja? Hayo kita
    sambut Ayahmu!" Berlarilarianlah mereka menuruni tebing untuk
    menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita
    yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya sehingga
    Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya, memang
    amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun
    kegembiraanya itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang sendirian
    saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami
    penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak
    disukai oleh keluarga kerajaan, karena dianggap seorang wanita berdarah
    rendah. Kebencian keluarga itu menjadi‐jadi ketika mendapat kenyataan
    betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini dianggap oleh mereka
    Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya!.
    Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki‐laki, maka kebencian
    mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah
    mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran calon raja itu
    memperistrikan puteri mereka! Pada waktu itu, raja yang sudah tua
    menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takan
    bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya
    puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk
    mewariskan singasana kepada puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan
    Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya
    orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera, maka Liu
    Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja terdapat persekutuan yang
    menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang
    mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang
    Bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat
    dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang! Ketika ibu
    dan anak ini tiba dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan
    siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu

  12. #56

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 55
    Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika
    akhirnya perahu itu menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar
    sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang berlari
    menyambut. "Ayah....!!" "Ha‐ha, Hong‐ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong
    menerima puterinya itu dan mengangkatnya tinggitinggi, lalu melemparkan
    tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa‐tawa Swat Hong melayang turun dan
    langsung menyerang ayahnya dengan jurus Kek‐seng‐jip‐hai (Bintang
    Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang dilakukanya kepada ibuya tadi.
    "Ha‐ha‐ha, bagus juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang
    mencengkram ubun‐ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium
    dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri istrinya
    yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata
    halus, Harap kau baik‐baik saja selama aku pergi." Liu Bwee memandang
    suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh Han Ti Ong
    ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar
    suara istrinya lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit parah." Han Ti
    Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati
    istrinya. Dia sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia
    bahwa menjelang kematian ayahnya, ada hal‐hal yang menggelisahkan
    istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan istrinya yang datang
    dari keluarga berdarah "rendah" itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa
    keturunan istrinya itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja!
    Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian
    seperti teringat dia berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama
    seorang muridku, namanya Sing Liong akan tetapi di daratan besar sana dia
    dikenal sebagai Sin‐tong." "Hai, seorang sin‐tong (anak ajaib)? Hemm, ingin
    aku tahu sampai di mana keajaibannya!" "Hong‐ji, jangan!" ibunya menegur,
    akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin Liong sudah
    turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya, tibatiba
    ada bayangan berkelebat dan tahu‐tahu seorang gadis cilik dengan
    gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya dari
    depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya. "Bukk!!" Tanpa dapat
    ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan
    napasnya sesak. Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya
    yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada
    dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali,
    seorang anak‐anak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk
    mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab." "Aihhh..."
    Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa
    keras, "Ayah, dia tidak bisa apa‐apa, mengapa disebut Sin‐tong? Serangan
    biasa saja membuatnya roboh terjengkang!" "Ha‐ha‐ha, kaulihat dia roboh,
    akan tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah
    menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?" "Anak yang luar biasa dia..."
    terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin
    Liong . Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata, "Dia tidak

  13. #57

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 56
    marah karena takut dan pengecut, Ayah!" "He, Sin Liong, apakah engkau
    takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong. Anak
    ini menggeleng kepala. "Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa
    pun dan siapa pun." Swat Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng
    itu, menegakan kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak
    takut, hayo kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda‐kuda. Sin Liong
    menggeleng kepalanya. "Adik yang baik, aku tidak akan menggunakan
    kepandaian apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain,
    apalagi terhadap seorang anak‐anak seperti engkau." Gadis cilik itu sudah
    menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan sikap tenang saja,
    berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba‐tiba
    tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah
    ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong, kau terlalu
    sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong
    menoleh, melihat ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang
    dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia
    ingat bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan
    dari semua penghuni pulau bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh
    sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia
    telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa‐apa, padahal Sin Lion adalah
    murid ayahnya atau suhengnya (kakak seperguruan). Biarpun dia berwatak
    keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan
    mudah berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran
    dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil
    berkata, "Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah."
    Sin Liong terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan
    berkata, Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang
    hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu." "Hi‐hik, wah, dia baik sekali,
    Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng
    tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong
    dengan pertanyaan‐pertanyaan. "Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari
    mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang
    sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin‐tong?" "Payah
    juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang
    baru saja menyerangnya seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini
    sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru
    saja dia memperkenalkan namanya, yaitu Kwan Sin Liong dan belum sempat
    menjawab pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua
    orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin
    turun dari atas perahu. Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang
    masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena malapetaka hebat
    yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini memang
    berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya
    yang awut‐awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu longgar
    itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun

  14. #58

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 57
    dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua
    orang yang memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada
    Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya. "Dia ini siapakah?" Liu
    Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu
    sambil didalam hatinya menduga‐duga dan menanti jawaban yang
    diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan
    kepada suaminya. Akan tetapi sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba‐tiba Kwat
    Lin, wanita itu membentak, "Manusia‐manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan
    dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang
    dahsyat. "He, Twanio! jangan begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah,
    namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya.
    Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han
    Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang‐tenang saja! "Wuuuutttt...
    plak‐plak...!" Tubuh Kwat Lin terplanting ketika pukulannya tertangkis oleh
    Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan
    balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum sadar benar itu
    makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi,
    Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya menotok pundaknya sambil
    berkata, "Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya
    disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan
    lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang
    kelihatan tangkas‐tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya."
    Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar
    ini, Liu Bwee mengangguk‐angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah
    menjadi iba. "Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik‐baik," kata Liu
    Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat
    Lin pergi dari situ. Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan
    sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi dia
    seolah‐olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan
    megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang
    sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini
    sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di
    mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di bagian kiri istana besar. Tepat seperti
    telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah
    pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat
    menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es
    dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas
    dan penasaran rasa hati para pangeran yang membenci Han Ti Ong karena
    usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka tentang keadaan
    Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak
    secara terang‐terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam
    pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti.
    Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang
    seharipun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk
    menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang

  15. #59

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 58
    mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari
    kebiasaan keluarga raja di Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat
    perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan
    pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat‐obatan
    berupa daun‐daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin
    Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
    Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di
    dalam taman istana, taman yang bukan berisi bunga bungan hidup,
    melainkan terisi ukir‐ukiran bunga dari batu‐batu beraneka warna, dihias
    salju dan patung patung kayu. Sudah berhari‐hari, dia duduk di taman ini dan
    didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita malang ini harus
    dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diamdiam
    dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin
    lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!"
    Tiba‐tiba Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di
    belakangnya. Sebagai seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup
    membuat dia siap waspada . Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong
    yang berdiri di situ sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat
    Lin yang kini sudah sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu
    menegur, "Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada di tempat
    aneh ini?" Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan‐pertanyaan itu,
    legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan kata‐kata itu sudah cukup
    membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali
    kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja
    tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada
    di pulau itu. "Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah
    sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita belasan hari ini." "Lupa ingatan?
    Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan
    tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini." "Memang
    begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar
    sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini.
    Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca‐sha Sin‐siap
    yang amat malang...." Tba‐tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian
    berubah pucat, "Kau... kau tahu apa yang terjadi kepada kami...?" Raja Han Ti
    Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu
    dengan senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang
    mengubur jenazah dua belas orang suhengmu, dan aku dan muridku pula
    yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu sehingga
    sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di
    Pulau Es." Mata yang indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau Es... dan aku
    telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..." "Sekarang telah
    menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti, Nona, dan aku
    belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."
    Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. Saya
    menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan

  16. #60

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 59
    kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang
    termuda Cap‐sha Sin‐hiap, dan...kalau paduka menaruh kasihan kepada saya,
    saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang juga...." "Nona The, aku adalah
    seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak
    pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan
    sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan
    merasa berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini,
    sebagai seorang istriku, istri ke dua." Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah
    berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian terus
    terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
    menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat‐jiu Kai‐ong? "Tidak!
    Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya,
    dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat‐jiu Kai‐ong." Han Ti
    Ong mengangguk‐angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa
    seorang dara perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau menerima
    tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona
    akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu
    mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku
    berani meminangnya secara terang‐terangan, karena aku yakin Nona akan
    menerimanya berdasarkan cita‐cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin
    Nona akan membalas dendam kepada Pat‐jiu Kai‐ong, sedangkan Cap‐sha
    Sin‐hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau
    menjadi istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat‐jiu Kai‐ong
    sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan." Ucapan ini berkesan
    mendalam, memang buat Kwat Lin termangu‐mangu. Dia bukan gadis lagi
    dan tidak mungkin dia menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil
    membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda yang
    dideritanya. Akan tetapi, menjadi istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain
    lagi halnya, apa pula kalau orang sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.
    "Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya?
    tanyanya dan kini dia mengangkat muka, memandang raja itu, diam‐diam
    harus mengakui bahwa laki‐laki ini gagah dan tampan, sungguhpun usianya
    tentu tidak kurang dari empat puluh tahun. "Terserah kepadamu. kalau
    engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau
    menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu
    dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan
    aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan
    musuhmu itu." "Be...benarkah itu?" "Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan
    orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan
    jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau
    menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau
    menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
    Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa
    lihainya Pat‐jiu Kai‐ong. Tentu saja dapat pergi ke Bu‐tong‐pai dan
    melaporkan malapetaka yang menimpa Cap‐sha Sinhiap itu kepada gurunya,

Page 4 of 28 FirstFirst 1234567814 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •