PART 45
teecu sebagai murid." Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak
yang masih berlutut itu. "Bocah, siapa namamu?" "Teecu She Kwa, bernama
Sin Liong. Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah
bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu
karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa
mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu. "Hemm, kau
ingin menjadi muridku hendak mempelajari apakah?" "Mempelajari
kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu
kesaktian." "Kalau kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak
ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka?
Mereka itu adalah tokoh‐tokoh yang memiliki kesaktian hebat." "Namun
teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum
kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali
karena sifat welas asih pada diri Locianpwe." "Tapi kau hendak belajar silat,
mau kaupakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna
berada disini bagi penduduk sekitar Jeng‐hoa‐san?" "Maaf Locianpwe. Tidak
ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian
dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu
disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati
orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini,
tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama
sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah
sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini
melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan,
juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang
jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan
teecu." "Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah
dan enak, tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan
menderita ditempat yang dingin itu." "Kesukaran apa pun akan teecu terima
dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah,
Locianpwe." Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali
melihat bocah yang dijuluki Sin‐tong ini. Bocah ini sama sekali tidak
mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain
yang lemah. Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa
bocah ini memang benar‐benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan
pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya
malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau
menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap
diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid lalu apa
bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi. Akan
tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang
mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya. "Kalau memang
sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin‐Liong. Mari kauikut
bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!" Han Ti Ong kembali
membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi. "Suhu, nanti dulu...!"
PART 46
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi‐lagi dia mendengar pengaruh yang
luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara
kesal dia berkata, "Mau apa lagi?" "Maaf, Suhu. Teecu mana bisa
meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini saja?" "Habis, apa
maumu?" "Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi." "Kalau
aku melarangmu?" Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu
yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang
teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur
mayatmayat ini." Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan.
Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu
karang kokohnya. "Murid macam apa kau ini? Belum apa‐apa sudah siap
membangkang terhadap Guru!" "Teecu menjadi murid bukan membuta, dan
teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah
Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam
kesesatan." Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi
dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan
kurang ajar ini dan dia mengangguk‐angguk. "Lakukanlah kehendakmu, aku
menunggu." "Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti
yang budiman!" Dengan wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan
tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali
hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang‐orang dusun
dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka
tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat
bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah! Mula‐mula Han Ti Ong
duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras.
Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat.
Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah
pegal‐pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari
dahinya dan kadang‐kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia
tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat
membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau
dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua
mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih! "Hemm,
hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar‐benar bocah ajaib." Han Ti Ong
mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan
muridnya dan tanpa berkata apa‐apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya
amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi
kabur pandangan matanya karena seolah‐olah tubuh gurunya berubah
menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat
sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah
mayat itu. Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu
diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat‐mayat itu, dimasukkan ke dalam
lubang dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya
mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua
tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
PART 47
"Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!" Sin
Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus
memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat
cepatnya meninggalkan Gunung Jeng‐hoa‐san, entah kemana! Akan tetapi
setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan
dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang
berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya
melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Tiba‐tiba dia
melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru,
"Suhu, harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?" "Suhu, disana
itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun
merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan
mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan
bahwa mayat‐mayat itu tentu diganggu oleh binatang‐binatang buas
sehingga berserakan kesana‐sini. "Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat‐mayat itu? Mereka adalah
bekas‐bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..." "Wah,
kau memang gatal‐gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau
lakukan terhadap mereka?" Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia
sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh
ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat‐mayat
yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium
baunya yang hampir membuatnya muntah. Dengan langkah lebar Sin Liong
menghampiri mayat‐mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan.
Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran‐heran bocah itu
mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil,
pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong‐motong daun dan akar
dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak
menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya
dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa
tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan
bahwa muridnya ini benar‐benar seorang bocah ajaib yang mempunyai
pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat‐buat! Dengan kagum dia meloncat
bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang beberapa sentimeter
dalamnya. "Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk
mengubur mereka." "Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...? "Ha, kau masih
meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik‐baik!" Han Ti Ong lalu
mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung
sepatunya mencongkel mayat‐mayat itu menjadi setumpukan barang busuk,
dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas
tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair,
dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua,
berikut tulang‐tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam
lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan
meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk
PART 48
menampung cairan itu. Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu
menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya, "Suhu, terima
kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman." "Aahhh....!" Muka
Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi
rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat‐mayat
itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh
muridnya? "Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekarpendekar
gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang
dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang‐orang
sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!" Kembali
murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari
cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan
Jeng‐hoa‐san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit(dijepit di
bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!" Han Ti Ong
menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari
kempitan di bawah ketiaknya. "Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting
sekali, aku akan marah!" "Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita
menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati disana..."
Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok
tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak
bergerak‐gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti
bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia
tersenyum dan melihat muridnya sudha menjatuhkan diri berlutut di depan
orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya, "Eihh,
Suhu! Dia seeorang wanita!" Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah
muridnya dan melihat betapa tiba‐tiba orang yang disangkanya pingsan itu
sudha meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan
kekuatan dahsyat. "Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!" Wanita yang
mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awutawutan itu menjerit
ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia
terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong,
kemudian menangis tersedu‐sedu dan bergulingan diatas tanah menangis
seperti seorang anak kecil. "Jangan....aughhh, jangan....lepaskan
aku....lepaskan ...! Jangan bunuh mereka...!" Sin Liong tertegun dan
memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang penuh kasihan.
Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang wanita yang berotak miring! "Toanio(Nyonya), kau
kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan. Tiba‐tiba wanita itu meloncat
bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali
tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba‐tiba tertawa
terkekeh. "Hi‐hi‐hi‐hikk!" Aneh sekali, ketika wanita itu tertawa, Han Ti Ong
melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis
muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila.
Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar, rambutnya
yang hitam panjang itu riap‐riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu
PART 49
dan air mata, matanya merah dan membengkak. "Hi‐hi‐hik, kubunuh engkau,
Pat‐jiu Kai‐ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas
kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. " Hu‐huhuuuuuh....
Cap‐sha Sin‐hiap dari Bu‐tong‐pai habis terbasmi...." Han Ti Ong
terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu‐tongpai
yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa
pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari
dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap‐sha Sin‐hiap dari Bu‐tongpai?"
tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu. "Jangan
sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba‐tiba wanita
itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok.
Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran. "Bodoh, kalau tidak
kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau
bisa mengobatinya?" Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot
tanpa mampu bergerak. Setelah memerikasa sebentar, dia menarik napas
panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia
menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng‐hoa‐san,
kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong
megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan
ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya
di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun‐ubun! Sin Liong memandang
dengan mata terbelalak. Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang
kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang
dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan
pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan
menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah
sudah ada perubahan?" Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa
mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah
normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya.
"Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli
pengobatan pula." "Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku
mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk
jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan
membiarkan dia ikut dengan kita." "Kau..............kau gila.......?" "Suhu, dia belum
sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang jahat,
bagaimana?" "Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari
Cap‐sha Sin‐hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah
mayat‐mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat‐jiu
Kai‐ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh
PART 50
benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia
seperti itu?" Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah
The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut
yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa
dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia
sudah "Ketularan" watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani
membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik
hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini..
entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali. "Sudahlah,
kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar
kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana
perkembangannya." Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya
sendiri! "Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman." Dengan hati
mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia
mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan
karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia
lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar
tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini
secepat terbang menuju ke pantai lautan. Siapakah sebetulnya manusia sakti
yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang‐ouw itu? Siapakah Pangeran Han
Ti Ong yang pada bagiaan dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan
seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini
merupakan pulau rahasai yang hanya dikenal orang kang‐ouw seperti dalam
dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu
kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka
ini ditolong oleh manusia‐manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni
Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan
sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan
diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang
membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es
terkenal di dunia kang‐ouw. Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang
pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti,
seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang
kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluaraganya menjadi pelariaan.
Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur
dan menggunakan sebuah perahu utnuk mencari tempat baru. Tujuannya
adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang‐orang pandai
dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani
menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi dia tersesat
jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara
sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat
pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan
di sekitar situ terdapat pulau‐pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka
pangeran pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es
sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang‐orang yang setia
PART 51
kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut‐pengikutnya.
Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan
berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini! Berkat kebijaksanaan
Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram
dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para
pengikutnya membentuk keluarga‐keluarga sehingga penghuni pulau itu
berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang
sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu.
Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmuilmu
warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat
pula pelajaran ilmu yang tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke
empat dari raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan
raja yang sudah‐sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan
hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau‐pulau
kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur‐sayuran atau
berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat
sunyi itu. Dia sering kali pergi dari pulau dan diam‐diam dia melakukan
perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu
nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai diantara para
keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di
daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu‐ilmu silat tinggi yang lain dari
daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara‐gara perantauan
Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran
Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang‐ouw sungguhpun dia
jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran
naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang‐ouw untuk
mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di
Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar
dunia kang‐ouw. Para Pangeran yang sudah‐sudah, selalu mengambil isteri
dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara‐saudara misan mereka sendiri.
Hal ini adalah untuk menjaga agar "darah" kerajaan tetap "asli". Akan tetapi,
berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta
kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil
dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara‐dara yang berdarah "biasa"
ini hanya diambil sebagai selir‐selir oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi,
Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai
seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja,
seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan
yang mengatasi kecantikan para puteri raja! Dari isteri tercinta ini, Pangeran
Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam
tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti
ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat
Hong(Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan
puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju
yang amat kuat! Pada pagi hari itu Swat Hong, nak perempuan berusia enam
PART 52
tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih
tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya
penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
"Hong‐ji (Anak Hong)..." Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang
memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri
ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis. Ibunya tertawa.
:Aih‐aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis?
Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah
yang menghalanginya?" "Ibu, kau...kau kejam!" "Ihh! Ibumu kejam? Mungkin
kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam
terhadap manusia." Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri
Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat
Hong. "Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu
kepada Ayah?" Tiba‐tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan terasa
lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong
melorot turun dan bertepuk‐tepuk tangan, "Hi‐hi, Ibu menangis! Ibu juga
rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!" Memang watak anakanak,
begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaanya
dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan
tetapi masih bercucuran air mata. Swat Hong yang tadinya berbalik
menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia
tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa ibu berduka? Apa
yang terjadi? Apakah diam‐diam ibu begitu merindukan Ayah dan
menyembunyikannya saja?" Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan
menghapus air matanya, mengangguk‐angguk sebagai jawaban karena masih
sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan
tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja
tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu
kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong
mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah‐olah orang yang menyusahkan
hati ibunya sudah berada disitu dan akan dihantamnya. Melihat sikap
anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan
tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong‐ji, kalau ada
yang kurang ajar kepada ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya
sendiri?" Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga
hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak
menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan
hati Ibu." "Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, LIu Bwee
mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak,
"Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas. Swat Hong bersorak
gembira. Itulah sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau
dilempar ke udara oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya
karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi sekali. Namun
kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun
Ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya
PART 53
melambung tinggi melewati puncak pohon! Ketika tubuhnya melayang turun,
ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia
menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh
sehingga kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya
untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun‐ubun. Itulah jurus
terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan
loncatan ke atas dan menyerang ubun‐ubun kepala lawan, akan tetapi kini
dilakukannya ketika dia melayang turun! "Haaiiiit...!!" Untuk
memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang. Tentu
saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri
Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua
penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng
oleh suaminya dengan ilmu‐ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi
seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan
puterinya, dia pun cepat mengelak, dari samping dia menyambar kedua
lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya
dilemparkan ke atas! Tubuh itu melayang tinggi dan tiba‐tiba dari atas Swat
Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang....!!" Mendengar ini, Liu
Bwee cepat lari kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya
berseri‐seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya.
Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang
mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil
meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini
berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang wanita
muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat
suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia
maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir‐selir sebanyaknya. Akan
tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama
seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam
hatinya. "Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!" JILID 4 Teriakan Swat Hong ini
mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur
turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya
pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah
memiliki ginkang yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dari tempat
tinggi seperti itu ada bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk
meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar sebuah
ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan tepat melayang
di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga idak menyianyiakan pertolongan
ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan
dan mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia
dapat meloncat kebawah dengan aman. Seperti tidak pernah mengalami
bahaya apa‐apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang, "Ayah
datang, Ibu?" Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang
ke arah perahu yang makin mendekat pantai. "Heii, Ayah bukan datang
sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki‐laki bersama ayah di dalam
PART 54
perahu!" Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh
selidiki ke arah perahu. "Wah, jangan‐jangan itu selir dan putera..ayah!" Swat
Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah
tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak
akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar pulau
Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada
anak laki‐laki di dalam perahu itu. Mendengar ucapan yang tanpa disengaja
oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee
menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak lakilaki
itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena
dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga
keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika
kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan
merasa menyesal telah mengeluarkan katakata yang penuh cemburu tadi.
Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus kata‐katanya dari
hati anaknya dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita disini saja? Hayo kita
sambut Ayahmu!" Berlarilarianlah mereka menuruni tebing untuk
menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita
yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya sehingga
Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya, memang
amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun
kegembiraanya itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang sendirian
saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami
penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak
disukai oleh keluarga kerajaan, karena dianggap seorang wanita berdarah
rendah. Kebencian keluarga itu menjadi‐jadi ketika mendapat kenyataan
betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini dianggap oleh mereka
Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya!.
Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki‐laki, maka kebencian
mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah
mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran calon raja itu
memperistrikan puteri mereka! Pada waktu itu, raja yang sudah tua
menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takan
bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya
puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk
mewariskan singasana kepada puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan
Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya
orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera, maka Liu
Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja terdapat persekutuan yang
menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang
mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang
Bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat
dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang! Ketika ibu
dan anak ini tiba dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan
siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu
PART 55
Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika
akhirnya perahu itu menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar
sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang berlari
menyambut. "Ayah....!!" "Ha‐ha, Hong‐ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong
menerima puterinya itu dan mengangkatnya tinggitinggi, lalu melemparkan
tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa‐tawa Swat Hong melayang turun dan
langsung menyerang ayahnya dengan jurus Kek‐seng‐jip‐hai (Bintang
Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang dilakukanya kepada ibuya tadi.
"Ha‐ha‐ha, bagus juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang
mencengkram ubun‐ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium
dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri istrinya
yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata
halus, Harap kau baik‐baik saja selama aku pergi." Liu Bwee memandang
suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh Han Ti Ong
ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar
suara istrinya lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit parah." Han Ti
Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati
istrinya. Dia sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia
bahwa menjelang kematian ayahnya, ada hal‐hal yang menggelisahkan
istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan istrinya yang datang
dari keluarga berdarah "rendah" itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa
keturunan istrinya itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja!
Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian
seperti teringat dia berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama
seorang muridku, namanya Sing Liong akan tetapi di daratan besar sana dia
dikenal sebagai Sin‐tong." "Hai, seorang sin‐tong (anak ajaib)? Hemm, ingin
aku tahu sampai di mana keajaibannya!" "Hong‐ji, jangan!" ibunya menegur,
akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin Liong sudah
turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya, tibatiba
ada bayangan berkelebat dan tahu‐tahu seorang gadis cilik dengan
gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya dari
depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya. "Bukk!!" Tanpa dapat
ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan
napasnya sesak. Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya
yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada
dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali,
seorang anak‐anak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk
mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab." "Aihhh..."
Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa
keras, "Ayah, dia tidak bisa apa‐apa, mengapa disebut Sin‐tong? Serangan
biasa saja membuatnya roboh terjengkang!" "Ha‐ha‐ha, kaulihat dia roboh,
akan tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah
menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?" "Anak yang luar biasa dia..."
terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin
Liong . Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata, "Dia tidak
PART 56
marah karena takut dan pengecut, Ayah!" "He, Sin Liong, apakah engkau
takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong. Anak
ini menggeleng kepala. "Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa
pun dan siapa pun." Swat Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng
itu, menegakan kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak
takut, hayo kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda‐kuda. Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Adik yang baik, aku tidak akan menggunakan
kepandaian apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain,
apalagi terhadap seorang anak‐anak seperti engkau." Gadis cilik itu sudah
menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan sikap tenang saja,
berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba‐tiba
tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah
ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong, kau terlalu
sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong
menoleh, melihat ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang
dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia
ingat bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan
dari semua penghuni pulau bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh
sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia
telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa‐apa, padahal Sin Lion adalah
murid ayahnya atau suhengnya (kakak seperguruan). Biarpun dia berwatak
keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan
mudah berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran
dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil
berkata, "Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah."
Sin Liong terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan
berkata, Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang
hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu." "Hi‐hik, wah, dia baik sekali,
Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng
tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong
dengan pertanyaan‐pertanyaan. "Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari
mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang
sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin‐tong?" "Payah
juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang
baru saja menyerangnya seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini
sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru
saja dia memperkenalkan namanya, yaitu Kwan Sin Liong dan belum sempat
menjawab pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua
orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin
turun dari atas perahu. Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang
masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena malapetaka hebat
yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini memang
berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya
yang awut‐awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu longgar
itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun
PART 57
dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua
orang yang memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada
Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya. "Dia ini siapakah?" Liu
Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu
sambil didalam hatinya menduga‐duga dan menanti jawaban yang
diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan
kepada suaminya. Akan tetapi sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba‐tiba Kwat
Lin, wanita itu membentak, "Manusia‐manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan
dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang
dahsyat. "He, Twanio! jangan begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah,
namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya.
Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han
Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang‐tenang saja! "Wuuuutttt...
plak‐plak...!" Tubuh Kwat Lin terplanting ketika pukulannya tertangkis oleh
Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan
balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum sadar benar itu
makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi,
Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya menotok pundaknya sambil
berkata, "Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya
disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan
lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang
kelihatan tangkas‐tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya."
Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar
ini, Liu Bwee mengangguk‐angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah
menjadi iba. "Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik‐baik," kata Liu
Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat
Lin pergi dari situ. Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan
sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi dia
seolah‐olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan
megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang
sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini
sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di
mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di bagian kiri istana besar. Tepat seperti
telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah
pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat
menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es
dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas
dan penasaran rasa hati para pangeran yang membenci Han Ti Ong karena
usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka tentang keadaan
Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak
secara terang‐terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam
pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti.
Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang
seharipun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk
menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang
PART 58
mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari
kebiasaan keluarga raja di Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat
perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan
pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat‐obatan
berupa daun‐daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin
Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di
dalam taman istana, taman yang bukan berisi bunga bungan hidup,
melainkan terisi ukir‐ukiran bunga dari batu‐batu beraneka warna, dihias
salju dan patung patung kayu. Sudah berhari‐hari, dia duduk di taman ini dan
didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita malang ini harus
dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diamdiam
dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin
lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!"
Tiba‐tiba Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di
belakangnya. Sebagai seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup
membuat dia siap waspada . Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong
yang berdiri di situ sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat
Lin yang kini sudah sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu
menegur, "Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada di tempat
aneh ini?" Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan‐pertanyaan itu,
legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan kata‐kata itu sudah cukup
membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali
kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja
tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada
di pulau itu. "Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah
sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita belasan hari ini." "Lupa ingatan?
Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan
tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini." "Memang
begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar
sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini.
Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca‐sha Sin‐siap
yang amat malang...." Tba‐tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian
berubah pucat, "Kau... kau tahu apa yang terjadi kepada kami...?" Raja Han Ti
Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu
dengan senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang
mengubur jenazah dua belas orang suhengmu, dan aku dan muridku pula
yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu sehingga
sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di
Pulau Es." Mata yang indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau Es... dan aku
telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..." "Sekarang telah
menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti, Nona, dan aku
belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."
Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. Saya
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan
PART 59
kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang
termuda Cap‐sha Sin‐hiap, dan...kalau paduka menaruh kasihan kepada saya,
saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang juga...." "Nona The, aku adalah
seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak
pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan
sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan
merasa berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini,
sebagai seorang istriku, istri ke dua." Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah
berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian terus
terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat‐jiu Kai‐ong? "Tidak!
Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya,
dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat‐jiu Kai‐ong." Han Ti
Ong mengangguk‐angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa
seorang dara perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau menerima
tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona
akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu
mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku
berani meminangnya secara terang‐terangan, karena aku yakin Nona akan
menerimanya berdasarkan cita‐cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin
Nona akan membalas dendam kepada Pat‐jiu Kai‐ong, sedangkan Cap‐sha
Sin‐hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau
menjadi istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat‐jiu Kai‐ong
sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan." Ucapan ini berkesan
mendalam, memang buat Kwat Lin termangu‐mangu. Dia bukan gadis lagi
dan tidak mungkin dia menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil
membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda yang
dideritanya. Akan tetapi, menjadi istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain
lagi halnya, apa pula kalau orang sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.
"Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya?
tanyanya dan kini dia mengangkat muka, memandang raja itu, diam‐diam
harus mengakui bahwa laki‐laki ini gagah dan tampan, sungguhpun usianya
tentu tidak kurang dari empat puluh tahun. "Terserah kepadamu. kalau
engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau
menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu
dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan
aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan
musuhmu itu." "Be...benarkah itu?" "Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan
orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan
jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau
menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau
menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa
lihainya Pat‐jiu Kai‐ong. Tentu saja dapat pergi ke Bu‐tong‐pai dan
melaporkan malapetaka yang menimpa Cap‐sha Sinhiap itu kepada gurunya,
Share This Thread