PART 60
ketua Bu‐tong‐pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali,
dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan dunia, biarpun muridmuridnya
terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan
sukar mengalahkan Pat‐jiu Kai‐ong, dan terrutama sekali yang memperberat
hatinya, kalau dia pergi ke Bu‐tong‐pai, tentu semua orang akan tahu tentang
malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh Pat‐jiu
Kai‐ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang
mengetahuinya akan hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain
tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga dia akan
mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu! Akan
tetapi, benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga
dalam waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat‐jiu Kai‐ong? Dia tidak
akan puas kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya
sediri. Biarpun dia sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari
Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat
membuktikan kesaktianya? Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya dan
terutama sekali, lebih lihai dari Pat‐jiu Kai‐ong? Perlahan‐lahan Kwat Lin
bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang
memandangnya. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata,
"Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan
tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat
belajar di sini dan menangkan iblis itu?" Han Ti Ong tersenyum dan
mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah pedang yang
kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu." Kwat Lin menerima
pedang itu dan air matanya turun bertitik akan tetapi segera dihapusnya.
Itulah Angbwe‐ kiam pedang dari twa‐suhengnya! "Engkau meragu, baiklah.
Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku
dapat melatihmu selama setahun sehingga kau lebih lihai daripada Pat‐jiu
Kai‐ong." Kwat Lin menimang‐nimang pedang Ang‐bwe‐kiam di tangannya.
Pat‐jiu Kai‐ong telah dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya.
Mereka telah mainkan Ngo‐heng‐kiam, bahkan telah membentuk barisan Sinkiam‐
tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua
kalah, sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau hanya dia seorang
diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai ukuran apakah dia lebih lihai dari
Pat‐jiu Kai‐ong? "Nona, jangan ragu‐ragu. Percayalah, kalau engkau benar
rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia.
Hiat‐ciang Hoat‐sut dan Pat‐mo‐tung‐hoat dari kakek itu sebetulnya kosong
saja," kata raja itu, seolah‐olah dapat membaca isi hati Kwat‐lin. Dara itu
terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum
dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai
penebus latihan ilmu untuk membalas dendam. "Baiklah, saya akan menguji
kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata." "Haha‐
ha, Pat‐jiu Kai‐ong membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunya
untuk mengalahkan Cap‐sha Sin‐hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan
ini." Dia meraih kebawah dan tanganya sudah membentuk batu karang
PART 61
sedemikian rupa sehingga batu karang itu berbentuk panjang seperti pedang!
"Harap Paduka siap!" Kwan Lin berseru dan tiba‐tiba pedangnya menyambar
dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah
memukul ke arah dada. Serangan berganda dengan pedang dan pukulan
tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo‐heng‐kiam‐sut. Tiba‐tiba
tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada
detik berikutnya, leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya
juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena
maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti
Ong tentu dia telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih
mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu. "Paduka... Paduka mengunakan
jurus Hui‐po‐liu‐hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngoheng‐
kiam‐sut Bu‐tong‐pai!" Han Ti Ong tersenyum, "Persis sekali dengan
seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena sekali serang berhasil,
bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi,
bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu? Kwat Lin tertegun, akan
tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!" "Boleh, boleh.
kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa
engkau akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama." Dengan pengerahan
tenaga dan memilih jurus‐jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan
tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja,
dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan oleh Han Ti
Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung
tenaga mujijat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak
sempat lagi mengelak atau menangis! Setelah sepuluh kali dia terkena
sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi
yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut. "Saya menerima penawaran Paduka!"
Ha Ti Ong memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri.
Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu berseri
melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan
hebat tersembunyi dibalik kemerahan wajah karena malu itu. dengan mesra
Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih, "Aku tahu,
Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap
pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku
bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku
akan menghapus kejijikan dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba
kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat sekali dan tidak akan
mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari,mari kita mengumumkan
pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan
mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng
tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang
yang menembus ke "Taman" itu. Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi
ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin,
sebagai istri ke dua, sunguhpun hal ini mendatangkan bermacam‐macam
tanggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang
PART 62
sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es
bersuka cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan
dikurniai seorang putera. Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan
keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena
sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil "orang luar" sebagai selir, akan tetapi
timbul harapan karena mungkin melalui istri ke dua ini mereka dapat
"memukul" Liu Bwee yang mereka benci. Ternyata kemudian oleh Kwat Lin
Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika
meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar‐benar
jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan
dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti
Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga
lambat laun dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya
hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan terutama dengan mengorbankan
dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta
kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi
setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia melahirkan
seorang anak laki‐laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama
sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali
menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia
dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benarbenar
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah
keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia
merasa berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki‐laki,
dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi pewaris semua ilmu kesaktian
dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh
Pat‐jiu Kai‐ong. Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi
tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek
itu mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa secara
amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam‐diam
berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu,
agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong,
apalagi menjadi istrinya dan sekaligus pewaris ilmu‐ilmunya! Sin Liong
belajar ilmu silat dengan tekun bersama suhengnya, Swat Hong yang lincah
jenaka.Dan mulai tampaklah bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan
kalau para tokoh kang‐ouw ingin memiliki bocah ini dan menjadikan Sin
Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut Sin‐tong. Han Ti
Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan
yang disebut Kwee‐bak‐put‐bong (sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diamdaim
menjadi kagum sekali karena dia harus akui bahwa dalam hal
kecerdasan dan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang
amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar
biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang penuh
kehalusan, kelembutan dan kasih sayang dan iba terhadap orang lain yang
amat mendalam, di samping watak yang wajar seadanya. Benar‐benar
PART 63
seorang bocah yang ajaib! Diam‐diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya
Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang
lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidak baikan,
terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan
perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu‐tong‐pai itu Akan tetapi
karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa‐apa dan yang
sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu
saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan
hati tidak enak. Yang dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu apa‐apa
memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri
kedua, Liu Bwee menderita tekanan batin yang amat hebat. Mula‐mula tidak
terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam di dalam kamarnya
karena hal ini dianggapnya limrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang
baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat
menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya.
Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak
pernah datang lagi menginap dikamarnya, dan kalau sekali‐sekali datang,
tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk menanyakan
kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi kesopanan belaka! Hati
seorang wanita amatlah halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira,
mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula
membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak lakilaki, mulailah hati
Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai
merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin
menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee
makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwan Lin yang makin
dipuja suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan
kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak
khawatir akan menurunya derajatnya apabila madunya itu diangkat menjadi
permaisuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah
seorang wanita yang haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan
betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya disiasiakan oleh
suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin. Melihat
penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam‐diam bersoraklah
para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari
seorang ibu yang masih berdarah "agung" seperti mereka, namun masih lebih
baik dari pada kalau dilahirkan oleh seorang iu seperti Liu Bwee, hanya anak
seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong
oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka condong kepada Kwan Lin
sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh
kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es
sebagai penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan
menjadi pangeran mahkota! Tujuh tahun telah lewat semenjak Sin Liong
berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan
kerajaan kecilnya selam tujuh tahun itu tidak terjadi perubahan sesuatu, para
PART 64
penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram penuh kedamaian
seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah
bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan kecilnya sehingga para
penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan pelanggaran‐pelanggaran yang
terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang
amat besar dan banyak! The Kwat Lin yang kini menjadi permaisuri, diangkat
secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan Liu Bwee tergeser
menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita pertama yang paling tinggi
tingkat kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang wanita yang
memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan beberapa tokoh
lain di Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat‐jiu
Kai‐ong agaknya telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia
tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari suaminya dan melihat
puteranya yang kini telah berusia enam tahun dan menjadi seorang anak
laki‐laki yang tampan dan sehat biarpun tubuhnya agak kecil, sebagai
pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya sendiri sejak kanakkanak.
Sin Liong telah memperoleh kemajuan yang mentakjubkan dan
mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua ilmuyang diajarkan oleh raja itu,
sekali dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna! Tentu saja dalam
waktu beberapa tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian
sumoinya, dan setelah dia berusia empat belas tahun, Sin Liong telah jauh
meninggalkan tingkat sumoinya. Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan
tetapi juga dalam ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa diperintah oleh
suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri di bawah hujan salju
yang amat dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im‐kang
yang amat hebat. Selain tekun mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh
suhunya tanpa ada yang disembunyikan itu, Sin Liong juga rajin sekali
membaca kitab‐kitab yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan
istana. Dia dikenal oleh semua ahli sastra di Pulau Es dan mereka ini amat
kagum dan suka kepada Sin Liong melihat ketekunan bocah ajaib ini. Tidak
ada bosannya Sin Liong membaca kitab‐kitab kuno dan setiap bertemu hurup
baru yang tidak dikenalnya, dia mencatatnya untuk kemudian ditanyakan
kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak dibimbing
langsung, namun Sin Liong telah dapat memperkaya perbendaharaan katakata
sehingga dia mampu membaca kitab‐kitab yang paling kuno di dalam
perpustakaan itu. Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa, karena selain
huruf‐hurufnya kuno, juga huruf‐huruf itu mengandung arti yang amat
mendalam. Karena inilah, maka kitab‐kitab yang amat kuno di pulau itu
jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri segan
membaca kitab‐kitab itu, karena selain sukar, juga isinya hanyalah sajaksajak
kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya dan melelahkan otaknya.
Namun semua kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun
anak ajaib ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi didalam sajaksajak
itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti yang masih merupakan
"rangka" terselubung di dalam huruf‐huruf kuno yang sukar dimengerti itu,
PART 65
bahkan menemukan pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong,
ilmu yang selama ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es, yaitu ilmu inti
sari dasar gerakan semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya,
maka Han Ti Ong dapat mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan jurusjurus,
jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong menolong Sin Long di
jeng‐hoa‐sian. Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin
Liong sendiri, bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu "terselip" dan
terselubung di antara sajak‐sajak kuno yang kelihatanya tidak ada gunanya
itu. Selain memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada
di Pulau Es, Sin Liong memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya
mengenal daun dan tumbuhan obat dengan jalan menyelidikinya di pulaupulau
kosong di sekitar Pulau Es. Dia memang mendapat tugas untuk
mencari bahan‐bahan obat di pulau‐pulau itu untuk kepentingan para
penghuni Pulau Es, Dan dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini, Sin
Liong tidak menyia‐nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi
tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia. Dengan adanya
Sin Liong di Pulau Es, banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya
penyakit, dan untuk ini, Han Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga
dia tidak segan‐segan menurunkan ilmu pengobatan tusuk jarum kepada
muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai puteri raja, juga
memperoleh kemajuan pesat dan dalam usia tiga belas tahun itu dia telah
memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari tandinganya. Dengan demikian,
hampir semua orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing‐masing. Raja
Han Ti Ong memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang
telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami
malapetaka yang dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah
memperoleh banyak keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra,
kedudukan tinggi sekali, dan ilmu kepandaian yang amat hebat pula. Hanya
seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun
batin yaitu Liu Bwee! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena
semenjak beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi
mendekatinya! Lenyaplah wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih
banyak mengurung dirinya di dalam kamar, menyulam atau membaca kitab.
Dia seolah‐olah menjadi seorang pertapa dan biarpun wajahnya tidak
membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan pakaiannya selalu
bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka dan selalu meneteskan darah,
batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan
akan belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah terpuaskan. Keadaan
di dalam istana dengan adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para
anggauta keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak
melihat kesempatan untuk menjatuhkan wanita ini karena Liu Bwee selalu
bersikap diam dan tidak memperlihatkan sesuatu, merupakan api dalam
sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja
dirasakan oleh semua angauta keluarga raja, bahkan dirasakan pula oleh Sin
Liong dan Swat Hong. Sering kali Sin Liong kehilangan kejenakaan Swan
PART 66
Hong yang merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu
termenung seorang diri, dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia
menegus, "Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu suram? lihat, hari
tidak sesuram wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya
yang keemasan!" Swat Hong memandang pemuda itu dan menarik nafas
panjang. "Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan keadaan yang
begini dingin di dalam istana, Su‐heng? Ayah memang masih biasa dan baik
kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah dan Ibu seolaholah
terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku
menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu
lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?" "Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi
hak untuk bicara mengenai orang‐orang tua itu. Hal itu adalah urusan
mereka sendiri." "Aku mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan
hebat bersembunyi di balik senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu
kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...." "Hushh...." "Aku tidak
membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil
nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan
biarpun dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu
menderita sengsara batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan
batinnya...." Dara itu kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi,
"Suheng, apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya
mendatangkan rindu dan kecewa?" "Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan
mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lajim menganggap
hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk
kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang
menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi." Sumoinya terbelalak. "Aihh, kau
bicara seperti kakek‐kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu,
Suheng?" Karena tertarik, dara yang mudah ini sudah melupakan
kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang
suhengnya dengan berseri penuh godaan. "Dari... hemm, kukira dari
kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan
apa artinya filsafat kalau hanya untuk diafal? Tidak ada bedanya dengan
benda mati yang hanya diulang‐ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk
terbang melayang diawang‐awang yang kosong. Terlalu banyak kitab kubaca
sudah, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan
kesadaran." Dia menarik napas panjang. "Suheng, kau tadi mencela aku yang
kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali melihat engkau seperti
orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?" "Aku suka
sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini,
masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat hukumanhukuman
yang dibuang ke Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita,
Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan
Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan
urusan kita." Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan
urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan orangorang terhukum adalah
PART 67
urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan
adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan Suhu...." "Tapi
Ayah seorang Raja, Suheng!" "Raja pun manusia juga." "Tapi Raja hanyalah
menjalankan hukum yang berlaku, Suheng." "Hukum pun buatan manusia.
Benda Mati!" Tiba‐tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang
muda‐mudi itu memperhatikan dan wajah Sin Liong menjadi muram. "Nah,
ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa
lagi sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!" Sin
Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang menariknya ke arah
bangunan di samping istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang
pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran‐pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak sudah penghuni
Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua orang mudamudi
itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi yang
berderet di pinggiran. Ruangan itu luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi
ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang meja panjang ini
terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga terdapat kursikursi,
sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap kosong. Pada saat Sin
Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk
hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas
sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi kebesaran, tampak
duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan
keanehan karena biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan
duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han Ti
Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es. Para
pesakitan yang sudah berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang.
Seorang lakilaki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerakgeriknya
kasar, seorang laki‐laki muda yang tampan dan seorang wanita
yang usianya empat puluhan, namun masih cantik dan wanita ini berlutut di
samping laki‐laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti laki‐laki
tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan tenang‐tenang saja. Dengan suara
lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki‐laki tinggi besar
yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang
Kui. Bouw Tang Kui telah berkali‐kali diperingatkan karena sikapnya yang
kasar, suka menggunakan kepandaian menghina yang lemah dan suka
mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian,mengambil batu
hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena kejahatanya
membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan,
maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk
memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada
semua penghuni pulau." Hening sejenak, kemudian terdengar suara hakim
tua yang lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar
tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri." Bouw Tang Kui yang
berlutut itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya yang
kasar dan nyaring berkata,"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu
PART 68
karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima
banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap
menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba." Hakim
berfikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."
Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih
hebat dari pada penggal kepala. Banyak di antara mereka yang
mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati
kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah
memandang kepada raja, lalu berkata, suaranya penuh pahit getir, "Hukuman
apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa
hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!" "Jadi engkau
menerima keputusan hukuman?" hakim bertanya. "Hamba mene...." "Nanti
dulu!!" tiba‐tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat
muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya
dan mengeluarkan seruan itu. "Harap Suhu dan para Cu‐wi sekalian maafkan
saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak
membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia
telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu
lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi?
Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu‐wi sekalian yang tidak pernah
melakukan kesalahan?" "Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan
dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan
kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu lalu
dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan patut
dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui
adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang
berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan
penyelewengan sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam
penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan tubuhnya melainkan hatinya.
Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan
hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!" Hening sekali keadaan di
situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaanya. "Akan tetapi
di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus
tunduk kepada hukum!" kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim raguragu
untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka banyak orang di
situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena
pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang
mengeluarkan suara membantah. "Harap Suhu memaafkan teecu kalau teecu
terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap
berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah
timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana
mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada
pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum
adalah keji karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada
PART 69
dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka,
bukankah hal itu membuat dia menjadi makin jahat dan mendendam?
Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya menjadi makin parah!
Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya?
Suhu, sudah berkali‐kali teecu menyatakan bahwa hukuman seperti ini tidak
patutu dilakuakan di Lebih baik menuntut mereka yang tersesat agar kembali
ke jalan benar dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan
membuat meraka menjadi lebih jahat lagi." Kwat Sin Liong, kau tak berhak
untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim, lanjutkan
persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak
dapat diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga
mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selam ratusan tahun oleh
nenek moyangnya itu kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang
menjadi muridnya! Sin Liong menghela nafas dan terpaksa dia duduk
kembali. "Ssttt, kau terlampau berani...." Swat Hong berbisik. "Hemmm... tiada
gunanya...." Sin Liong balas berbisik. Suara jaksa yang lantang sudah
memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki‐laki tampan dan wanita
cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan. "Sia Gin Hwa dan
Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan perjinaan. Karena Sin Gin Hwa
telah menjadi istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan
perbuatan hina yang hamat berdosa, melanggar larangan keras yang telah
disyahkan hukum. Karena itu, tidak ada pengampunan baginya dan mohon
pengadilan menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Adapun Lu Kiat,
biarpun masih muda dan belum beristri, namun dia telah berjinah dengan
istri orang, maka dia pun harus dijatuhi hukuman yang layak. Kemudian
terserah kepada hakim." Wanita itu menundukan mukanya yang menjadi
merah sekali ketika mendengar suara mengejek dari mereka yang menonton
di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang‐tenang saja.
Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga
menundukan mukanya, kelihatan gelisah sekali. "Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket
seratus kali kepada Lu Kiat!" "Hamba tidak menerima!" Tiba‐tiba Sia Gin Hwa
berteriak. "Yang melakukan perjinaan adalah hamba berdua, maka kalau
dibuang pun harus hamba berdua!" "Tidak, hamba menerima hukuman
rangket seratus kali!" teriak pula Lu kiat. "Laki‐laki apa kau ini? Ketika
merayuku, kau berjanji akan bersama‐sama menderita andaikata dibuang ke
Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara
mereka. "Diam!!" Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka
berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan. "Karena kalian melakukan
perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka
sepatutnya kalian berdua sama‐sama dibuang ke Pulau Neraka!" kata Raja itu
dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan
kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu
Kiat menjadi makin pucat. Kembali Sin Liong bangkit berdiri. "Maaf, Suhu.
Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan
PART 70
perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan
mereka itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum buang?
Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya.
Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seoarang istri sampai
melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak
perlukah diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berjina
dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsu
berahi? Tentu ada sebab‐sebabnya." " Sin Liong, engkau seorang bocah belum
dewasa, tahu apa tentang nafsu berahi?" bentak gurunya, agak tertegun juga
karena dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya
itu. Terdengar suara ketawa ditahan di sana‐sini, bahkan permaisuri sendiri
menahan senyumnya. "Teecu...teecu...mengerti dari kitab...." "Pembelaan
seorang anak yang belum dewasa terhadap perjinaan yang dilakukan orang
dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka
bertiga sekarang juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong. Persidangan
dibubarkan dan tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk
dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka,
hukuman yang paling mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni
Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa di buang ke Pulau Neraka berarti
hidup tersiksa dan sengsara, lebih hebat dari kematian! Peristiwa seperti
inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum
kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya
terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati
muridnya yang dia kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya
itu dengan menurunkan ilmu‐ilmu simpanannya sehingga dalam waktu
setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu
menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu‐satunya yang menjadi
pewaris ilmu‐ilmu Pulau Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu
dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga
kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah
jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya
memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The
Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia
diperkosa oleh Pat‐jiu Kai‐ong. JILID 5 Dan pada suatu hari terjadilah suatu
hal yang sudah lama diduga‐duga akan terjadi hal yang menjadi akibat
daripada keadaan yang ditekan‐tekan di dalam istana yang dimulai dengan
masuknya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisuri itu ke Pulau Es.
Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi
tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling
sunyi, pantai yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang
terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan
kepompong itu seolah‐olah selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia
duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tabur dipukul gencar,
tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat
penting, sidang yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang
PART 71
pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka. Suara tambur itu seolaholah
menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling
tidak disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang
dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan
menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang
menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar
suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena
suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan. "Kwa‐suheng...!!"
Sin liong terkejut melihat dara itu berlari‐lari kepadanya sambil menangis
dan dengan wajah yang pucat sekali. "Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum
dara itu tiba di depannya. "Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya
berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di
memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya, "Ada apakah dengan
Ibumu? Tenanglah, Sumoi." "Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka
menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan..." Sin Liong
mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran
membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya
dara itu dan dia berkata , "Mari kita lihat!" Ketika dua orang itu tiba di
ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan
sekali dengan sidang pengadilan yang sudah‐sudah karena suasana amat
sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan,
bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh
beberapa orang penjaga, "Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang
boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini." Kata mereka. Dengan
kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan
mukanya merah sekali, "Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku
memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Sin Liong cepat
memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini
sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur
ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini. "Harap
Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan
memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani
melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung. "Aku tahu. Ibuku
yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan
ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat
masuk!" Kembali Swat Hong membentak. "Saudara sekalian harap mundur
dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang
menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat‐cepat
lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat
Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya
mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati
para penjaga dan mereka cepat‐cepat meninggalkan ruangan itu untuk
menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang
PART 72
sedang mengadili isteri raja! Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat
Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki‐laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam
istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan
pemuda itu berlutut di situ, dia seolah‐olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat,
dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya!
Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja
ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi
pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya
duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah
berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan
agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat
Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa,
suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang
menusuk‐nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa
menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda
dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan
perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain
menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia
luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya
dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin." "Bohong...! Ibu tidak
mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang
jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan
tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumionya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti
Ong membentak dengan penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu fitnah belaka!
Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa
saksinya?" kembali Swat Hong menjerit‐jerit. "Hong‐ji, jangan begitu. Ibumu
tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum,
anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh
kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan
yang merobek hati. "Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu.
Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih
seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang
yang paling kuasa. "Saya tidakakan membela diri, hanya seperti dikatakan
anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan
siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap
diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk
orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee
karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak
perempuannya, segera berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap ketika
berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu.
Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan
seorang laki‐laki yang tidak ada hubungan apa‐apa berada di dalam kamar
Part 73
berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia
menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa
yang menyaksikan?" teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang
masih memegang lengannya karena khawatir kalau‐kalau dara ini
mengamuk. "Akulah saksinya!" tiba‐tiba terdengar suara kecil merdu dan
Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini
tersenyum mengejek dan matanya bersinar‐sinar. "Enci Hong, akulah yang
telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!"
Permaesuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah
terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar
yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka
pucat sekali Swat Hong memotong kata‐kata hakim. "Tidak adil kalau begini!
kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa
engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang
pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang
pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara
Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya
makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara
Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka
yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian
melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di
sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap
angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian
menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak, "Hamba tidak
berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian
Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..." "Berani kau mengatakan puteraku
bohong?" Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang
dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke
arah A Kiu. "Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan
rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah.
Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai
kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling
pandang, sedangkan Raja menegur Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina
putera kita?" Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam
saja dan menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali
harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil
berkata, "Lanjutkan." Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata
lantang, " Saksi utama yang mejadi pelaku perjinahan telah terbunuh karena
berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar
itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah
adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat
PART 74
Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk
ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong‐ji...." ibunya terbisik dengan sikap masih
tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang?
Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri,
menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku telah dijatuhi hukuman
tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan
saya tidak rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak
tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya
yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi
penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda bersikap bijaksana,
membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es.
Ibu, selamat tinggal!" "Hong‐ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong
sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dengan cepat. Sin Liong
memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak
dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu
yang akan meledak, ternyata sehebat ini. "Hong‐ji... ah, Hong‐ji, Anakku...!"
Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu
sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak
berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat
Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur
hati ini meratap. Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah
Raja seolah‐olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir,
jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut‐larut
seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee,
yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah
sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan
agar diambil keputusan yang seadil‐adilnya. Siapa mengira terjadi hal‐hal
yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda,
kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya
"membuang diri" ke Pulau Neraka. maka kini,melihat betapa hakim menjadi
bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak
kiri sambil berkata, " Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat
Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau
Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah
berkata demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya,
bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan
itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang,
sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biarpun anakku telah
menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di
sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke
Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat
ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi
dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi.
Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani
Share This Thread