PART 120
pulau‐pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan
Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai,
pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan
pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni
Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan
seluruh penghuninya terbasmi habis? "Agaknya ibumu tidak berada diantara
pulau‐pulau ini," Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan
sia‐sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari
ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke
Pulau Neraka kalau‐kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah
rindu kepada Soan Cu, suheng." Sian Liong mengerutkan alisnya. "sumoi,
kau...cemburu lagi?" Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata
sewajarnya." "Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau
Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang. Hening sejenak dan mereka
telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat
keputusan akan mencari ke mana. "Kita ke Pulau Neraka!" tiba‐tiba Swat
Hong berkata. "Ehhh...??" "Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek
berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga Ayah
marah‐marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau
Neraka telah berani menawanku." "Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang
telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana
kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah
pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi." "Aku harus
pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng‐geleng kepala. Sukar
benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras
sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu,
akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak
mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."
"Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau
Neraka, ya? Karena ada...." "Sumoi, harap jangan bicara yang tidak‐tidak.
Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar
kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana
kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat
keadaan mereka setelah ada badai mengamuk." Swat Hong cemberut, akan
tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti." Dan mereka lalu
mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi,
setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan
pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin
karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang
amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung‐gunung es yang anat besar
sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang
tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang
pandangannya oleh gunung‐gunung es. Mereka mendayung perahu berputar
namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung‐gunung es itu. "Ahhh,
dahulu tidak ada gunung‐gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong. "Ini
PART 121
tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku
akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja
di sini."Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong
meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat,
mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas
puncaknya yang tinggi. Tiba‐tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang
mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat
dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari
jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki
depanya ke arah burung‐burung yang menyambar‐nyambar di atasnya.
Burung‐burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besarbesar
beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil
mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari
mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian
anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor
ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular
laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka‐luka dan burungburung
nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja
ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan salju yang
digenggam untuk menyambiti burung‐burung itu. Terdengar suara plakplok‐
plak‐plok disusul suara burung‐burung nazar berkaok‐kaok kesakitan
dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali
terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja
Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan
amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring
yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh
kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong. "Tenanglah, aku datang untuk
menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat. "Auuughh..!" Beruang
itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong.
Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat
menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk
tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular
laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia
mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam
daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah
mengucur deras dan dia segera membalut dengan saputangannya. Beruang
itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa
orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang
terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja , karena yang membuat dia
tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu. "Coba
kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa
luka‐luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang
membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau
tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa
beruang itu. "Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka
PART 122
lukamu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang
dia katakan. "Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba‐tiba terdengar teriakan dari
atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari‐lari cepat
sekali.Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong
dengan marah. "Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki. "Dia terluka
cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat,
betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus
mengobatinya sampai sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa
menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang‐buang waktu saja."
"Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang
perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi." "Wah, kau lebih
mementingkan dia..." "Hei..., ada apa engkau...?" Tiba‐tiba Sin Liong berteriak
melihat beruang itu menggereng‐gereng dan menarik‐narik tangannya,
seolah‐olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin
keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam‐diam Sin Liong kagum
bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya
akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang
sekuatnya! Akan tetapi tiba‐tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat
sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.
"Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?" JILID
8 Sin Liong memegang erat‐erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya
diseret oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa
berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru
saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba‐tiba terdengar suara
keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan
menjadi keping‐keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es
yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat
datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya
diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri
dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu. "Terima kasih,
kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua." Akan
tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari
sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu
kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng." "Nanti
dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka‐luka di
tubuh beruang ini." "Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..." "Sumoi, dia telah
menyelamatkan nyawa kita!" "Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah
menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung‐burung nazar itu,
bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan
Marilah, Suheng." "Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai
mengobatinya." Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang
biruang betina ini dari pada aku!" "Sumoi...!" Akan tetapi Swat Hong sudah
berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka,
meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin
Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi
PART 123
karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus‐dengus dan menciumi
kepalanya. "Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya
menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah,
akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang
terancam bahaya maut oleh lukamu?" Sin Liong lalu mengajak beruang itu
mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa
dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan
dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu
menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadangkadang
Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai
perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui
perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih
ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka‐luka
beruang itu sampai sembuh. Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu
kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali.
Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika
mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu
penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat
dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia
lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan
tetapi tiba‐tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi
mencari sumoi!" "Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu mengeluarkan suara
mengeluh dan mukanya seperti orang menangis! Sin Liong tersenyum.
"Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah‐olah mengerti
arti kata‐kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini
mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar‐sinar dan lidahnya terjulur
keluar seperti sikap seekor ****** yang kegirangan. "Kau boleh ikut sampai
aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak
menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka.
Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu
di mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat
Swat Hong, menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika
perahu meluncur dan binatang ini telah jinak benar‐benar. Setelah kini dia
mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka,
perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah dekat dengan Pulau
Neraka, dia menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa
tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas
bukan perahu Pulau Neraka yang kecil‐kecil. Perahu itu besar sekali, perahu
layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun
dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya
patah, layarnya cabik‐cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali,
berdiri miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau
PART 124
Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput
dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan
badai, maka penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air
juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula
penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan
badai. Perahu‐perahu lenyap, pohon‐pohon yang berada di tepi pantai bobol
semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi
pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut, para bajak
laut yang terdiri‐dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu
kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas
ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua puluh
lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang
memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muaramuara
sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki‐laki
tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan
pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam
sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di
antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai
Tok‐gan‐hai‐liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh
badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu
juga, mereka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau
Neraka hanya dikenal oleh Orang‐orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang
dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat
dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang
ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat tetapi karena pulau
dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau yang
hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda
dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung bagi
mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan
mengamuk di daratan pulau sehingga binatang‐binatang berbisa pun menjadi
panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar. Andaikata
mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan
menjadi korban binatang‐binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan
jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos
betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran
dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di
tengah pulau itu terdapat pondok‐pondok yang dibuat oleh manusia! Akan
tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika
para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa
peringatan apa‐apa. Karena mereka adalah bajak‐bajak yang sudah biasa
berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka
itu mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau
itu adalah orang‐orang biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka ketika
mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa
PART 125
penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani
menyambut mereka dengan serangan itu rata‐rata memiliki kepandaian
hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan matimatian. Bajak laut
pimpinan Tok‐gan‐hai‐liong itu pun bukan orang‐orang biasa melainkan
penjahatpenjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata‐rata pandai
ilmu silat. Apalagi Tok‐gan‐hai‐liong sendiri bersama seorang pembantu yang
sebetulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa
Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok‐gan‐hai‐liong
Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya
merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras. Para penghuni Pulau
Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw
Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau
Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena
dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua.
Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan
hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa
dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan
dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek
merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal
olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang
marah itu. Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun
dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu.
Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak
buahnya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu
kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata‐rata memiliki
kepandaian tinggi! "*******...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi
terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya,
membantunya untuk rebah kembali. "Tenanglah, Kong‐kong! Biarlah aku
yang keluar untuk membantu teman‐teman membasmi bajak laut yang tidak
tahu diri itu." Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri
masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur. "Hati‐hatilah, Soan Cu..."
Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir
bajak‐bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang‐orang kasar itu. Dengan
pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah
bertanding mati‐matian melawan bajak‐bajak yang ganas, apalagi melihat
seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki‐laki kasar sampai
wanita itu menjerit‐jerit namun dua orang laki‐laki itu malah tertawa‐tawa
dan merobek‐robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia
mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan,
pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa
wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu
cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor
harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat sepak
terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok‐ganhailiong
Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain
PART 126
cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat
dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat,
membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan
senjata dengan hati‐hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban
kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu. "Lepas tulang
ikan!!" Tiba‐tiba kepala bajak itu memberi aba‐aba kepada sutenya dan
mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang
empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka
berdua lalu mengayun tangan berkali‐kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut
bertubi‐tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini
memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau
Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah
menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah
di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya. Akan
tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan
begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara
ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am‐gi (senjata gelap) berupa
tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari
ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang
darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang
dipakainya. "Sute, tangkap nona manis ini...!" Teriak Koan Sek dengan girang.
Akan tetapi tiba‐tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang
membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar suara
itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang
dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang
menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan.
Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala
mereka sekaligus! Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat
mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan
memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah
berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan
Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan
tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil beseru "Kakak biruang,
lawan mereka yang berani mendekat!" Biruang itu menggereng‐gereng dan
ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang
digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba‐tiba kaki depan kiri
yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan
menangkis pedang melainkan mencengkram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja
orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan siap
untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia
meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara kedua
mata biruang itu. "Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat
melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar
biruang setelah pedangnya ditangkis oleh Sin Liong tadi. "Siuuuut...!!" Senjata
PART 127
ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar
dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat
dan dengan tenaga dahsyat. "Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu
ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget
karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan
perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran, biruang itu sudah membalikan
tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu
mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan
biruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya. "Kakak
biruang, jangan ...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu‐ragu
sehingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat
jauh kebelakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan
muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa
pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun pedang masih berada di
tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum
bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki
kepandaian yang luar biasa sekali. Sin Liong merasa bingung dan gelisah
menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia berseru
berkali‐kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka
adalah orang‐orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar
untuk dibujuk. Tiba‐tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan
suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis‐desis. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya
binatang‐binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan
sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah‐olah
digerakan oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebahlebah
putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat
turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan
ketakutan, seolah‐olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya
maut datang mengancamnya. "Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh
dan siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak
lega. "Bagaimana lukamu?" "Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin
binatang‐binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong.
"Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat
penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling
mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata
lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku membutuhkan obat
penawar racun am‐gi‐nya (senjata gelapnya)...." Melihat betapa wajah dara
itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa
tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa
sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang
masih bengong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat
betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatangbinatang
berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut
sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi sudah
PART 128
mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah
mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi
melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat,
cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan
secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelumnya Koan Sek tahu
apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu
sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak
kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti
terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek menggigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia
merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat
bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang‐orang Pulau Neraka
telah mundur dan menonton sambil sambil tertawa‐tawa. Akan tetapi anak
buah bajak laut itu menghadapi penyerangan binatang‐binatang berbisa dan
sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah‐lebah putih
membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan
merintih‐rintih dan menangis mengerung‐ngerung karena tidak tahan
menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh. "Cepat bertindak,
halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun
yang dikeroyok binatang‐binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak
dapat menyaksikan peristiwa mengerikan itu. Soan Cu menggeleng kepala.
"Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking itu..." "Suara apa itu?
Siapa yang membunyikan?" Soan Cu tersenyum dan menggigit bibirnya
menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk‐nusuk
jantung. "Siapa lagi? Satu‐satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah
Kong‐kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin
Liong. "Aduh celaka..., binatang‐binatang itu...." Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek
menggigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana
pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha
mengusir lebah‐lebah putih yang mengeroyoknya. "Kalau kau keluar dari
sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," Kata Sin Liong,
menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak. "Binatang‐binatang itu
tidak berani memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya
terbelalak ngeri melihat betapa ular‐ular beracun yang bermacammacam
warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran.
Bahkan lebah‐lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak
itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para
bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok
Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa
pembantunya yang juga merupakan sutenya melolong‐lolong dan
bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala
bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi
disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan
meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaanya yang kejam,
PART 129
membunuh para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya, suara itu
melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek
itu pun tidak tampak. pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu
yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti
disayatsayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu,
melihat betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara
mengerikan, berkelojotan dan melolong‐lolong, akhirnya suara jeritan
mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih,
kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang‐binatang kecil
berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke
tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah
dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang
alat tiup terbuat daripada batang alang‐alang, menyerupai suling kecil.
Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta
Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya
datang dan kini binatang‐binatang itu berangsur‐angsur merayap pergi
setelah Ouw Kong Ek merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya
yang tinggal hanya mayatmayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan
mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas
dalam pertempuran. "Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?"
Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat. Sin Liong
mengerutkan alisnya. "To‐cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka
seperti itu." Kakek itu terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia
menuding ke arah mayat‐mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah,
bukankah dia ini pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju
menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat. "Tahan dulu, Tocu!
Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam
tangannya!" "Soan Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang
dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa
dia?" "Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan
membentak, "hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!" Tok‐gan‐hailiong
Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang
menjelajah di dunia kang‐ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika
menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara
mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan
tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul
kembali keberaniannya dan dia tersenyum. "Agaknya kita telah salah masuk.
Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong
karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai
dan sama sekali bukan tandingannya itu. "Kau belum tahu? Ini adalah Pulau
Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
"Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan
obat penawarnya." "Ha‐ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat
penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan
PART 130
penghuni‐penghuninya seperti iblis pula! Benar‐benar kami telah membuat
kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan
tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan
aku dalam cengkraman kalian!" "Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang
sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha‐ha‐ha, boleh! Lakukan
sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku
mempunyai banyak teman terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi
menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini,
apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha‐ha‐ha! biarlah aku mati
ditemani oleh dara remaja ini!" Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua
tangannya dikepal sehingga suling batang alang‐alang itu hancur di
tangannya. Melihat kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata,
"Ouw‐tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan
ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku
melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan
keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga
dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia." "Ha‐ha‐ha , itu baru omongan
yang tepat!" Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin"
berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu
ketua Pulau Es berada di tangannya. Apalagi yang ditakutinya? "Iblis *******!
Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!"Ouw
Kong Ek membentak. "Ha‐ha‐ha, aku Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek bukan
seorang *****." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda apakah
kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga
karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar
besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ. Maka satusatunya
orang adalah pemuda ini. "Aku bukan penghuni Pulau Neraka aku
adalah seorang dari Pulau Es...." "heeeehhh...??" Mata Tok‐ganhai‐ liong yang
tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia merasa seolah‐olah dalam
mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di
mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda
sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya
dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia?
Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman
dari rohnya? "Pulau... Pulau... Es...?" Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk
tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat
kepala bajak ini menjadi termangu‐mangu seperti orang *******. "Kalau
begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang
mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para
pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam. "Terserah, bunuhlah.
Aku toh akan mati bersama dia ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu
yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "ouw‐tocu, biarlah
kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya." Terpaksa
Ouw Kong Ek menggerakan kapalanya memberi isyarat kepada anak
PART 131
buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata
mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau
Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala
bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu
ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat
diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu
dia akan sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak
pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia
mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan
bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka
sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw‐tocu, suruh menumbuk halus dan
masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya
supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini." Dua orang itu
menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong
lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang. "Kau tidak mau membiarkan
aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir. "Jangan tergesa‐gesa," jawab
Sin Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar‐benar manjur, baru
aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?" Koan Sek
menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum
bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh.
Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani main‐main?" Sin Liong diam saja.
Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda
itu penuh selidik, kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari
Pulau Es?" Sin Liong mengangguk. "Dan siapa namamu?" "Kwa Sin Liong.
Mengapa engkau bertanya‐tanya?" "Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es
hanyalah sebuah dongeng..." "Hemm.., memang sekarang hanya tinggal
dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan
Pualu Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah
pulau kosong yang menyedihkan. "Nguuk... nguuukkk..." Sin Liong menoleh
dan tersenyum "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu
menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di
atas perahu di depan pemuda itu. "Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata
dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan
mempunyai binatang peliharaan seperti itu! "Kau bilang tadi... tinggal
dongeng apa maksudmu?" "Tidak apa‐apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil
mengelus biruang yang sudah bertiarap di depannya. "Orang muda she kwa...
eh, ***‐hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?" Sin Liong mengangkat
mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat
betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan
kebencian atau permusuhan dengannya? "Mengapa tidak? engkau pun
membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi
datang berlari‐lari. "Kwa‐taihiap, Nona sudah sembuh!" Sin Liong
mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan
harap kau jangan sekali‐kali mendekati pulau ini." Koan Sek menjawab,
PART 132
"Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis
seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakan
dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka. Ketika
Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar saja
bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di
pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh Kong‐kongnya. Para
penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat‐mayat yang
bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke
pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu. "Taihiap, lagi‐lagi engkau yang
datang menolong kami, "kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak segera
datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata
Soan Cu dengan mata bersinarsinar penuh kagum dan terima kasih. "Ahh,
mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah
kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang
dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi.
Apakah dia tidak datang ke sini?" Soan Cu dan kakeknya memandang kaget
dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa
hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu,
maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak
menyangka yang bukan‐bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh
Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi." "Jadi
Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong
mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah‐marah karena
puterinya pernah ditahan di sini." "Bukan hanya marah‐marah!" kata Soan Cu
mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun
tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!" "Kau juga
dipukulnya?" Sin Liong bertanya. "Tadinya, melihat aku seorang wanita dan
masih muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat kakek
dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti,
akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali
waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!" Sin Liong
menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak
ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah."
"Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak. "Apa yang
telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya. "Dilanda badai... habis seluruhnya,
semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis
terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong
lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa Pulau Es, dan
betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput dari
bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian
kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak. "Ha‐ha‐ha‐ha! Ha‐ha‐ha‐ha!
Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata! kami orang‐orang
buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk tuhan, malah masih dapat
hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es yang suci dan
agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha‐ha‐ha,
PART 133
siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau
dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa‐tawa sampai air matanya
keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang
terjadi dengan dia?" Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama
Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak
diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan
tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di
permukaan laut sehingga sehingga mereka mendarat di gunung es dan
betapa dia menemukan biruang hitam. "Sumoi berangkat melanjutkan
perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini,
sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja
dia segera menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam
beberapa hari ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab, "Untung saja
dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap." "Soan Cu mengapa engkau meniru
kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?" "Biarlah,
Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu
begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap
karena kepandaianmu tinggi sekali." "Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak
datang ke sini, mengapa?" "Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa‐apa
yang tidak baik antara dia dan Kong‐kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau
Es datang mengacau di sini, Kong‐kong jatuh sakit, dan kebencian kami
semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong
datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik." Sin Liong menganggukangguk,
merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang ke Pulau
Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak
tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada! Bajak‐bajak laut itu,
dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya. "Entah.
Tahu‐tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi
pulau." "Agaknya mereka juga diamuk badai." "Mungkin." Soan Cu
melanjutkan. "Kami diserang selagi kong‐kong sakit. Kong‐kong tidak dapat
turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar
menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati‐hati, karena memandang
rendah am‐gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang
di waktu yang tepat, Taihiap." "Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kongkongmu
dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri
mengenangkan kematian para bajak itu. "Ugh‐ugh....!" Kakek itu terbatukbatuk.
"Bajak‐bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidak
memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai,
tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang‐binatang Pulau Neraka
bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk?
Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat
penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat,
perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana
perlu menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong. Akan tetapi, tiba
PART 134
tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan
kakek itu dan berkata, "Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana
berani menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan
membantumu sedapat mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak,
mengira akan menghadapi hal yang sulit. Setelah duduk kembali dan
mengatur napasnya yang terengah‐engah karena kesehatannya belum pulih
kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata, "Kwa‐taihiap, aku
sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap
sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat
tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini
kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan
kami bukanlah orang‐orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan
orang buangan lagi dan sewaktu‐waktu kami boleh meninggalkan pulau ini.
Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa
Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau
Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di
Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah
disangkanya! "Akan tetapi, Ouw‐tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri
adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa‐apa, tidak
mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya
dengan diriku ini." "Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana
saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai
sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap
sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak
tersiksa tinggal di neraka ini." Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan
tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan
berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau
memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak
keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu‐waktu dia boleh
pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
"Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di
sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang
mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan
betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu
hati Kong‐kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak
ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang
menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap." "Dan aku
hendak mencari Swat Hong dan ibunya." "Kalau begitu, mari kita mencari
berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan
ayahku." Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong‐kongnya,
membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kongkongnya,
berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau
Share This Thread