Page 14 of 28 FirstFirst ... 410111213141516171824 ... LastLast
Results 196 to 210 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #196

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 195
    Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang
    tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa
    rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
    masih bukan apa‐apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau
    peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang itu maka kalian menjadi
    sombong?" "Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu
    dan biruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
    "Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau
    manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada
    binatang!" "Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan
    telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan
    kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai
    karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobekrobek
    oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah
    mengucapkan kata‐kata menghina!" Sepasang mata kakek itu besinar‐sinar,
    bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh.
    Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang
    pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan
    main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Teetok
    (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka
    kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau
    peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang‐ouw sebagai seorang di
    antara tokoh‐tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan
    tentram, bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang
    bersamanya dan yang sejak tadi diama saja. Tee‐tok Siangkoan Houw sudah
    duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan
    Hui. Adapun orang‐orang lain yang berada di situ adalah para muridmuridnya
    yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang
    banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan
    rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang merupakan murid kepala
    dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio Sam dan
    berjuluk Ang‐in Mo‐ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji.
    "Kalau begitu, mari kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah
    benar‐benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!" "Boleh!" Soan Cu
    menjawab. "Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru,
    kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan
    kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami
    untuk mengganggu siapa pun." "Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima
    akan diganyang oleh biruang kami!" Soan Cu masih marahmarah. "Kakek
    sombong mengandalkan harimaunya menakut‐nakuti orang. Kalau aku tidak
    cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi
    hajaran!" "Hayo kita adukan mereka!" Tee‐tok berteriak‐teriak dengan kumis
    bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling
    diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!"
    Soan Cu menjerit lagi. Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal

  2. Hot Ad
  3. #197

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 196
    bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu
    bersama teman‐temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan
    akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah,
    mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau
    berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi." "Koko,
    lepaskan biruang kita, biar dihancurlumatkan kucing ******* itu. Tar‐tartarrr...!!"
    Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali‐kali. Sin
    Liong melepaskan biruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang
    lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan marahmarah.
    Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan
    siapapun juga, bukan?" Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin
    Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa
    hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil
    menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba‐tiba
    menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada
    yang menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan
    gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mual‐mula mereka saling
    pandang dan masing‐masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan
    suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!
    Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan
    menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang,
    namun kuat dan tetap sekali, biruang menangkis terkaman dan balas
    mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku
    harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang amat kuat
    itu, harimau terguling‐guling! Hanya sepasang matanya saja yang bersinarsinar
    girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong.
    Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata‐kata mengejek
    melihat betapa harimau itu terguling‐guling, namun dia merasa segan
    terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat.
    Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah‐tengah suara gerengan
    yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang
    menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
    menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa
    ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.
    Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati‐matian. Biruang itu sudah
    menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan
    tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya
    dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu
    dirobeknya sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama
    kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun terlambat. Sinar hitam
    menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik
    mengerikan lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau
    yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang kami!" Soan Cu
    melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang
    biruang dengan Hek‐tok‐ting (Paku Hitam Beracun). "Dia pun membunuh

  4. #198

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 197
    harimau kami!" Tee‐tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
    "Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya
    mengeluarkan suara meledak‐ledak di udara. "Tar‐tar‐cring‐tranggggg.....!!"
    Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
    bersinar hitam. itulah pedang Ban‐tok‐siang‐kiam (Sepasang Pedang Selaksa
    Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika
    tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar,
    tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan
    bertempur.....!" Sin Liong cepat menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu purapura
    tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah
    membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran
    hebat sekali antara gadis itu dan Tee‐tok. Melihat gerakan sepasang pedang
    itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya,
    Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah
    mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian
    kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh
    dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan
    pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa‐kut‐kiam (Pedang
    Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan
    diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
    Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu
    terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai
    Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa
    yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat
    penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia
    memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya.
    Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya
    untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang‐ouw datang
    memperebutkan dia dilereng Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Kini, melihat betapa
    Soan Cu sudah bertanding mati‐matian melawan kakek itu, dia menjadi
    khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang
    berjuluk Tee‐tok dan disegani di seluruh dunia Kang‐ouw, benar‐benar
    mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani
    bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee‐tok
    menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga
    sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur
    dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku,
    kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!" Sin Liong menjura.
    "Bukan maksudku dengan kata‐kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya
    hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang
    untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau
    peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa
    harimau kami mati?" "Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang
    adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
    Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya

  5. #199

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 198
    kembali. "Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau
    peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe
    telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu
    sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee‐tok yang masih marah itu membentak.
    "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
    Soabn Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak
    membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini
    sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus
    dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali ,
    baru adil!" "*******!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan
    dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali katakatanya. "Soan Cu, aku mita
    kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku
    yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu
    aku di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya
    memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan
    halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah, dan
    tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu
    membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian
    meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang
    dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari
    situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap
    demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya
    sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat. Setelah Soan
    Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
    mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata,
    "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku
    bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
    menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas." Sikap yang
    tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya
    terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang
    ancaman hukumannya. "Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para
    muridnya. Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum
    saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali
    yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah
    tergantung. "Ayah.....!" Tiba‐tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya
    menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata
    kepada Tee‐tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
    berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan." "Dipikir
    apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan,
    bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?" Mendengar katakata
    orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah
    Sin Liong yang telah siap menerima hukuman. "Terima kasih atas kebaikan
    hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman.
    Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
    "Diam kau!" Tee‐tok membentak, kemudian menuding kepada seorang

  6. #200

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 199
    muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia
    seratus kali!" Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang
    kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah
    menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya.
    Terdengar suara meledak‐ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah,
    melecut tubuh atas yang telanjang itu. "Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang
    terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubitubi,
    melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan
    punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu!
    Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
    Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu
    menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah‐pecah, namun
    jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan
    tampak merah saja tidak ada seolah‐olah cambuk itu bukan melecut kulit
    membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah menghitung
    sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah‐engah
    dan dia menggosok‐gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan
    lecet‐lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan
    kengerian. Semua anak buah atau murid Tee‐tok terbelalak dan pucat. Akan
    tetapi muka Tee‐tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda
    itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah
    menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan
    cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia
    merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar
    senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah
    sebuah senjata sembarangan saja. Tee‐tok merupakan seorang ahli racun dan
    dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
    kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh
    kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia
    hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat
    Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat
    syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar
    untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari
    dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat
    ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai. "Ayah, jangan..... jangan
    pukul dia dengan ini.....!" "Hui‐ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah
    menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm,
    hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku
    dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan....
    aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia
    orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa Ayah tak bisa melihat
    orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah
    puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi
    puterinya. Dia terkejut dan terheran‐heran, kemudian marah sekali.
    Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh

  7. #201

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 200
    geram. "Lupakah kau kepada putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan
    Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya, menangis.
    Betapapun bengisnya, Tee‐tok yang hanya mempunyai seorang anak itu,
    tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia
    melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela
    napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini
    kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu‐ragu.
    Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
    tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus
    seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan
    dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini
    bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu‐san Lojin, entah
    bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini? "Hai, orang
    muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan
    menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau
    bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di
    dunia Kang‐ouw? Locianpwe adalah Tee‐tok Siangkoan Houw yang amat
    tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....."
    Tiba‐tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa
    sebenarnya tidak ada perlunya menyebut‐nyebut hal itu. "Bertemu? Di
    mana?" Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk
    membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng‐hoa‐san, bahkan
    Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah
    ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin‐tong....?" Tee‐tok berseru dan cepat
    melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin‐tong! Aihh..... maafkan kami. Di
    antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan
    merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat
    meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin Liong
    tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah
    menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh...
    hei, matamu tajam sekali, Hui‐ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya
    baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati‐matian memperebutkan anak ini!
    Hui‐ji, dia Sin‐tong! Betapa girangku dia tiba‐tiba muncul di sini!" Dengan
    giran Tee‐tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk
    ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan."
    "Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia
    sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah‐olah merasa ngeri
    karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu,
    pangeran yang luar biasa itu tahu‐tahu muncul pula di situ. "Locianpwe
    maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari
    kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap
    kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan
    telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
    bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan
    menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini. Siangkoan Hui

  8. #202

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 201
    memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar‐sinar, penuh
    kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan
    kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum dan
    meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari‐lari kecil
    meninggalkan mereka. "Ha‐ha‐ha! Hui‐ji... ha‐ha‐ha‐ha! Eng kau benar. Dia ini
    seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
    kegembiraan Tee‐tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan
    berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe.
    Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
    sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang
    mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras,
    jangan‐jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha‐ha‐ha, aku suka
    kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras,
    aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin‐tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa
    Sin Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin‐tong. Engkau memang
    anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran
    Han Ti Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan
    tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha‐ha‐ha, aku tahu. Dia
    bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apalagi
    muridnya adalah engkau, Sin‐tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur
    dengan kekecewaan sebesar gunung!" Tiba‐tiba kakek itu meremas cawan
    araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat
    saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat‐ pletot, lenyap
    bentuk cawannya. Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu
    melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak
    kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata,
    "Siapa tidak kecewa? Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya,
    dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu bicara keras,
    kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong
    menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali,
    mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu saja
    baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak
    kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat
    mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui‐ji suka padamu,
    dia jatuh cinta padamu. Ha‐ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu
    saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu, menunduk dan tak berani bicara
    lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya menggeleng
    kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah
    saja dengan Hui‐ji...." "Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan,
    adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah,"
    Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau
    diputuskan begitu saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu‐san Lojin, engkau tua
    bangka benar‐benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana
    baru‐baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang
    puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu‐san, telah pergi entah

  9. #203

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 202
    ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap Locianpwe menenangkan
    pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh,
    tentu akan dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk‐angguk.
    Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya
    itu ternyata adalah Sin‐tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong
    tokoh Pulau Es, dia tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba
    menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan
    lain yang amat penting. Dia masih ragu‐ragu untuk membicarakan urusan ini,
    maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak
    manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu
    sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu
    kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan
    bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling‐aling lagi! Dia merasa malu dan....
    girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah
    jatuh cinta kepada pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya
    tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah
    dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman,
    begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali
    rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus
    dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan
    ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terangterangan
    kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
    Teringat akan ini, tiba‐tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk
    bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang
    melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat
    dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat
    sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit‐gigit ujung sabuk sutera
    merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
    tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini sama
    sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya,
    bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapiapi
    penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong!
    TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat keluar untuk
    menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang
    ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia
    membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat betapa usaha
    pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa
    panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada
    Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam‐diam mengikuti dara itu
    dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti
    mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis
    memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak
    tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang
    dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung
    sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan

  10. #204

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 203
    kadang‐kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti
    dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah melompat
    keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan
    dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda‐kuda dan membentak,
    "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah
    seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya,
    maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun.
    Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang‐datang memakinya itu adalah
    seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh‐eh, apakah kau
    ini orang gila?" Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi
    makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
    matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi‐api. Sukar dikatakan siapa
    di antara kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda,
    sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau....
    perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada
    Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi
    perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimakimaki
    orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor
    naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat dibayangkan betapa
    marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini.
    Ingin dia mencaci maki habis‐habisan, ingin dia menjerit‐jerit, akan tetapi
    karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya mengeluarkan suara
    melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada
    Siangkoan Hui! "Singgg... Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan
    pekik kemarahan, tubuhnya tiba‐tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk
    sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu
    menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah
    berbahaya. "Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil
    menangkis serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan.
    Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan
    memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan
    kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang
    lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan
    Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai
    puteri tunggal, Tee‐tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan
    selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah
    seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang
    berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racunracun
    yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang
    lawannya benar‐benar amat lihai dan berbahaya, tiba‐tiba Siangkoan Hui
    membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar‐sinar merah. Sawat
    Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar
    pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung sehingga jarum‐jarum merah
    yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
    "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar pedangnya,

  11. #205

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 204
    pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan
    sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Seolah‐olah semua
    jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
    "Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi
    sebatang benda keras yang diputar‐putar, melindungi tubuhnya. Pada saat
    pedang tertangkis, tiba‐tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua
    batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka‐sangka dan dengan cepat
    sekali ke arah tenggorokan Swat Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan
    tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
    "menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecilkecil
    dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan
    main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
    arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata
    rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi kini Swat Hong sudah
    marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus‐jurus
    terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak
    hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung pedangnya! "Sumoi,
    jangan....!!!" Tiba‐tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki
    lapangan pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri.
    "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di sini....!" Sin Liong berseru
    girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
    mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus
    lagi saja dia tentu akan menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan
    lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang
    menjadi ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak
    melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan serang orang!" "Kalau
    begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut
    dengan pedangnya! "Eh‐eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah‐marah?"
    Sin Liong terpaksa berlompatan ke sana‐sini mengelak karena sambaran
    pedang di tangan sumoinya itu bukan main‐main! "Kenapa kau membelanya?
    Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa
    mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu tampak dua sosok bayangan
    berkelebat dan tahu‐tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu.
    Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui
    bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena gadis ini amat taat
    kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak
    turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa
    Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka
    berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika
    pemuda ini sedang berindap‐indap melakukan penyelidikan, dia melihat
    seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia
    mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya
    untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi
    di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada
    menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba‐tiba

  12. #206

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 205
    meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan
    memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tibatiba
    ada seorang laki‐laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan
    secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini
    tentulah anak buah Tee‐tok yang hendak menangkapnya atau hendak
    berkurang ajar. "***** ******* jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia
    mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya,
    menyepak dan menampar. "Plak‐plak‐plak.....! Wah‐wah..... galak benar!"
    Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang
    kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini
    mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena
    sama‐sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa
    yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan
    wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan
    Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah
    perkasa. Sejenak keduanya saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan
    Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh
    Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda
    itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnyapun
    telah berlaku kurang ajar. "***** alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee‐tok,
    ya? Hendak menangkap aku? ******* jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
    "Tar‐tar‐tar....!!" Cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak‐ledak di atas
    kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda
    gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Teetok?
    Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu
    dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu
    berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu
    terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti
    dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee‐tok atau racun
    manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia
    menyerang dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang
    menyambar‐nyambar dibarengi suara meledak‐ledak. Akan tetapi, Kwee Lun
    tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana‐sini, bahkan kadang‐kadang dia
    berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja
    mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
    ilmu Bian‐sin‐kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat
    tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan
    karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti
    kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang
    terus sambil memaki‐maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa,
    kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah
    mencabut pedangnya, pedang Coa‐kut‐kiam! Dengan kedua senjatanya ini,
    dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!"
    Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut
    pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas

  13. #207

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 206
    gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg‐trangggg......!" Bunga api berpijar dari
    keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi.
    Kipas bertemu dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang.
    Masing‐masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka
    seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah
    menerjang lagi. "Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis
    sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat
    bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu,
    mengapa kau marah‐marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"
    "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung!
    Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah‐marah begini? Dan kau
    lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak
    menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak
    mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita
    bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau
    tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang macam aku ini
    pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal ****!"
    "Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah,
    celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
    kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau
    bukan puteri Tee‐tok yang begini lihai? "Aku bukan anak racun bumi, bukan
    anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu kita
    cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang
    diadu dengan harimau, pemilik biruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku,
    sahabatnya sahabatku!" Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang
    *******!' "Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau
    siapa?" "Aku baru saja meninggalkan pemilik biruang itu yang menjadi
    sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong
    mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
    "Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini *****?" "Siapa? Siapa
    *****?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar
    ditangannya. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan
    sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee‐tok
    Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun
    Bumi, kejemnya bukan main. Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik
    biruang, tentu akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat
    sekali. "Celaka....!" "Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
    Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari
    kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka
    melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang
    mengelak ke sana‐sini. Ketika Kwee Lun melihat sahabatnya itu menerjang
    seorang pemuda dengan mati‐matian dan mendapat kenyataan betapa
    pemuda itu lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun pedang di
    tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya, dia sudah
    menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak,

  14. #208

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 207
    "Berani kau menghina Hong‐moi?" "Trangg‐cringgg....!!" Kwee Lun terdorong
    ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya
    adalah sepasang senjata di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki,
    "Kerbau *****! Berani kau mencampuri urusan Liong‐koko?" Setelah berkata
    demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka saling
    serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan
    serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang lalu berkata,
    "Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong‐ko, biarkan aku
    bertemput dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!" "Kweekoko,
    mundur! Orang sendiri......!" "Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...."
    Kwee Lun terkejut dan terheran‐heran, sebentar memandang kepada Sin
    Liong, lalu kepada Soan Cu. "Kwee‐koko, inilah suhengku yang kucari‐cari."
    Swat Hong memperkenalkan . "Eh.... akan tetapi, mengapa kau
    menyerangnya.....??" Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku
    ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
    Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang
    betapa dia marah‐marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat
    dan menjadi malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan
    sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai
    ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat
    menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah
    melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya
    Cici adalah sumoi dari Kwa‐taihiap...." "Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong
    berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia
    ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin." "Ha‐ha‐ha!
    Kiranya murid majikan Pulau Kura‐kura? Selamat datang! Dan Nona adalah
    Sumoi dari Kwataihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak
    tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cembertu. "Baik
    sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang‐orang muda yang
    gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam." Tee‐tok Siangkoan
    Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan dia
    menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya,
    Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga
    merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu.
    Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik
    kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa
    dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini
    Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak
    tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik
    seorang kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat
    Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa
    tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarutlarut.
    Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan
    hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok
    dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang,

  15. #209

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 208
    gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling
    serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan
    bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju
    kepada pemuda perkasa itu. Setelah mereka makan minum, berkatalah Teetok
    Siangkoan Houw, suaranya sungguh‐sungguh dan katakatanya ditujukan
    kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji‐wi
    mempunyai hubungan dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwataihiap
    adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya
    apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji‐wi. Dan
    sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang‐ouw, saya
    amat mengharapkan bantuan Sin‐tong!" JILID 13 "Ah, mengapa Locianpwe
    terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah
    yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa‐bawa nama
    Pulau Es." "Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es." "Heiii....? Ada
    urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh
    semangat. Mendengar ini Tee‐tok tersenyum dan memandang. "Sebagai
    Sumoi dari Sin‐tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang
    Nona tadi hebat bukan main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku
    dari Pulau Es atau tidak," jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es,
    kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan kepada kami dan
    maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya
    berutahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada
    urusan yang menyangkut Pulau Es." Tee‐tok menarik napas panjang. "Kalau
    dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji‐wi (Anda
    Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu‐tong‐pai, bukan? Nah, semua
    orang gagah dari dunia kang‐ouw bersepakat untuk menentang Bu‐tong‐pai
    mati‐matian." "Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan
    tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu‐tong‐pai dimusuhi
    orang kang‐ouw. Bukankah anak murid Bu‐tong‐pai adalah orang‐orang
    gagah yang dihormati oleh dunia kang‐ouw? Mengapa sekarang hendak
    dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena
    penasaran. "Ha‐ha‐ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin
    masih belum mendengar berita karena dia selalu bertapa dipulaunya
    sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu‐tong‐pai telah
    beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan
    ketua baru Bu‐tong‐pai, kurasa adalah urusan dalam Bu‐tong‐pai sendiri!"
    kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam
    Bu‐tong‐pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu
    Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang‐wenang, melanggar
    peraturan kang‐ouw, mengalahkan banyak tokoh kang‐ouw dan kabarnya
    bahkan bersekutu dengan pembrontak!" "Ihhhh....!" Swat Hong berseru.
    "Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga berseru. Mendengar seruan dua orang
    muda sakti dari Pulau Es itu, Tee‐tok cepat memandang penuh selidik. "Ji‐wi
    mengenal wanita itu?" Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah.
    Dan sekarang juga kami berdua minta diri, karena kami harus segera

  16. #210

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 209
    berangkat ke Bu‐tong‐pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu
    kita memberitahukan teman‐teman di dunia kang‐ouw agar...." "Tidak usah,
    Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu Sumoi?"
    "Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee‐koko, terima
    kasih atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng
    dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan
    meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee‐koko." Kwee Lun
    mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang.
    "Aku mengerti, Hong‐moi." "Soan Cu, kuharap engkau suka menanti dulu di
    sini dan harap Siangkoan Lo‐enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan
    menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan
    dengan Bu‐tong‐pai." "Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw‐siocia
    tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong‐koko! Aku.... aku....
    akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kaupergilah
    menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu sambil
    menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku
    pergi lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan
    berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau
    begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun
    lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!" Namun Soan Cu tidak
    menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus
    mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda
    yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata. Sin Liong dan Swat
    Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee‐tok bersama puterinya yang
    mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan
    pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi
    matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan
    merangkulnya. dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada
    ayahnya. Teetok menepuk‐nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm,
    tidak patut anak Tee‐tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh
    cinta kepadanya, Hui‐ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi,
    aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin‐tong itu. Aku akan merasa heran
    kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa!
    Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan kita.
    Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau
    sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari
    lagi mereka!" Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika
    diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya,
    sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar‐benar jatuh cinta kepada Sin
    Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan
    wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta,
    kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di Bu‐tong‐pai mengalami perubahan
    hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu.
    Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak
    anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar

Page 14 of 28 FirstFirst ... 410111213141516171824 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •