PART 195
Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang
tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa
rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
masih bukan apa‐apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau
peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang itu maka kalian menjadi
sombong?" "Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu
dan biruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau
manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada
binatang!" "Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan
telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan
kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai
karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobekrobek
oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah
mengucapkan kata‐kata menghina!" Sepasang mata kakek itu besinar‐sinar,
bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh.
Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang
pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan
main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Teetok
(Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka
kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau
peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang‐ouw sebagai seorang di
antara tokoh‐tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan
tentram, bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang
bersamanya dan yang sejak tadi diama saja. Tee‐tok Siangkoan Houw sudah
duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan
Hui. Adapun orang‐orang lain yang berada di situ adalah para muridmuridnya
yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang
banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan
rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang merupakan murid kepala
dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio Sam dan
berjuluk Ang‐in Mo‐ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji.
"Kalau begitu, mari kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah
benar‐benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!" "Boleh!" Soan Cu
menjawab. "Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru,
kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan
kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami
untuk mengganggu siapa pun." "Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima
akan diganyang oleh biruang kami!" Soan Cu masih marahmarah. "Kakek
sombong mengandalkan harimaunya menakut‐nakuti orang. Kalau aku tidak
cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi
hajaran!" "Hayo kita adukan mereka!" Tee‐tok berteriak‐teriak dengan kumis
bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling
diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!"
Soan Cu menjerit lagi. Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal
PART 196
bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu
bersama teman‐temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan
akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah,
mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau
berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi." "Koko,
lepaskan biruang kita, biar dihancurlumatkan kucing ******* itu. Tar‐tartarrr...!!"
Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali‐kali. Sin
Liong melepaskan biruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang
lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan marahmarah.
Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan
siapapun juga, bukan?" Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin
Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa
hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil
menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba‐tiba
menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada
yang menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan
gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mual‐mula mereka saling
pandang dan masing‐masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan
suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!
Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan
menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang,
namun kuat dan tetap sekali, biruang menangkis terkaman dan balas
mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku
harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang amat kuat
itu, harimau terguling‐guling! Hanya sepasang matanya saja yang bersinarsinar
girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong.
Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata‐kata mengejek
melihat betapa harimau itu terguling‐guling, namun dia merasa segan
terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat.
Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah‐tengah suara gerengan
yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang
menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa
ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati‐matian. Biruang itu sudah
menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan
tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya
dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu
dirobeknya sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama
kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun terlambat. Sinar hitam
menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik
mengerikan lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau
yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang kami!" Soan Cu
melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang
biruang dengan Hek‐tok‐ting (Paku Hitam Beracun). "Dia pun membunuh
PART 197
harimau kami!" Tee‐tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya
mengeluarkan suara meledak‐ledak di udara. "Tar‐tar‐cring‐tranggggg.....!!"
Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
bersinar hitam. itulah pedang Ban‐tok‐siang‐kiam (Sepasang Pedang Selaksa
Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika
tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar,
tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan
bertempur.....!" Sin Liong cepat menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu purapura
tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah
membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran
hebat sekali antara gadis itu dan Tee‐tok. Melihat gerakan sepasang pedang
itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya,
Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah
mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian
kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh
dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan
pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa‐kut‐kiam (Pedang
Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan
diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu
terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai
Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa
yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat
penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia
memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya.
Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya
untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang‐ouw datang
memperebutkan dia dilereng Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Kini, melihat betapa
Soan Cu sudah bertanding mati‐matian melawan kakek itu, dia menjadi
khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang
berjuluk Tee‐tok dan disegani di seluruh dunia Kang‐ouw, benar‐benar
mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani
bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee‐tok
menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga
sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur
dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku,
kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!" Sin Liong menjura.
"Bukan maksudku dengan kata‐kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya
hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang
untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau
peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa
harimau kami mati?" "Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang
adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya
PART 198
kembali. "Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau
peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe
telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu
sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee‐tok yang masih marah itu membentak.
"Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soabn Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak
membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini
sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus
dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali ,
baru adil!" "*******!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan
dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali katakatanya. "Soan Cu, aku mita
kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku
yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu
aku di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya
memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan
halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah, dan
tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu
membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian
meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang
dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari
situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap
demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya
sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat. Setelah Soan
Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata,
"Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku
bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas." Sikap yang
tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya
terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang
ancaman hukumannya. "Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para
muridnya. Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum
saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali
yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah
tergantung. "Ayah.....!" Tiba‐tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya
menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata
kepada Tee‐tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan." "Dipikir
apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan,
bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?" Mendengar katakata
orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah
Sin Liong yang telah siap menerima hukuman. "Terima kasih atas kebaikan
hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman.
Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee‐tok membentak, kemudian menuding kepada seorang
PART 199
muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia
seratus kali!" Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang
kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah
menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya.
Terdengar suara meledak‐ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah,
melecut tubuh atas yang telanjang itu. "Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang
terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubitubi,
melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan
punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu!
Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu
menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah‐pecah, namun
jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan
tampak merah saja tidak ada seolah‐olah cambuk itu bukan melecut kulit
membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah menghitung
sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah‐engah
dan dia menggosok‐gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan
lecet‐lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan
kengerian. Semua anak buah atau murid Tee‐tok terbelalak dan pucat. Akan
tetapi muka Tee‐tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda
itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah
menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan
cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia
merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar
senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah
sebuah senjata sembarangan saja. Tee‐tok merupakan seorang ahli racun dan
dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh
kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia
hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat
Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat
syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar
untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari
dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat
ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai. "Ayah, jangan..... jangan
pukul dia dengan ini.....!" "Hui‐ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah
menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm,
hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku
dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan....
aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia
orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa Ayah tak bisa melihat
orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah
puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi
puterinya. Dia terkejut dan terheran‐heran, kemudian marah sekali.
Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh
PART 200
geram. "Lupakah kau kepada putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan
Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya, menangis.
Betapapun bengisnya, Tee‐tok yang hanya mempunyai seorang anak itu,
tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia
melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela
napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini
kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu‐ragu.
Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus
seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan
dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini
bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu‐san Lojin, entah
bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini? "Hai, orang
muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan
menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau
bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di
dunia Kang‐ouw? Locianpwe adalah Tee‐tok Siangkoan Houw yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....."
Tiba‐tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa
sebenarnya tidak ada perlunya menyebut‐nyebut hal itu. "Bertemu? Di
mana?" Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk
membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng‐hoa‐san, bahkan
Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah
ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin‐tong....?" Tee‐tok berseru dan cepat
melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin‐tong! Aihh..... maafkan kami. Di
antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan
merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat
meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin Liong
tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah
menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh...
hei, matamu tajam sekali, Hui‐ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya
baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati‐matian memperebutkan anak ini!
Hui‐ji, dia Sin‐tong! Betapa girangku dia tiba‐tiba muncul di sini!" Dengan
giran Tee‐tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk
ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia
sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah‐olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu,
pangeran yang luar biasa itu tahu‐tahu muncul pula di situ. "Locianpwe
maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari
kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap
kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan
telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan
menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini. Siangkoan Hui
PART 201
memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar‐sinar, penuh
kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan
kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum dan
meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari‐lari kecil
meninggalkan mereka. "Ha‐ha‐ha! Hui‐ji... ha‐ha‐ha‐ha! Eng kau benar. Dia ini
seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
kegembiraan Tee‐tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan
berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe.
Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang
mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras,
jangan‐jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha‐ha‐ha, aku suka
kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras,
aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin‐tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa
Sin Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin‐tong. Engkau memang
anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran
Han Ti Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan
tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha‐ha‐ha, aku tahu. Dia
bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apalagi
muridnya adalah engkau, Sin‐tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur
dengan kekecewaan sebesar gunung!" Tiba‐tiba kakek itu meremas cawan
araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat
saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat‐ pletot, lenyap
bentuk cawannya. Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu
melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak
kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata,
"Siapa tidak kecewa? Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya,
dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu bicara keras,
kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong
menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali,
mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu saja
baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak
kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat
mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui‐ji suka padamu,
dia jatuh cinta padamu. Ha‐ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu
saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu, menunduk dan tak berani bicara
lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya menggeleng
kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah
saja dengan Hui‐ji...." "Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan,
adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah,"
Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau
diputuskan begitu saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu‐san Lojin, engkau tua
bangka benar‐benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana
baru‐baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang
puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu‐san, telah pergi entah
PART 202
ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap Locianpwe menenangkan
pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh,
tentu akan dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk‐angguk.
Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya
itu ternyata adalah Sin‐tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong
tokoh Pulau Es, dia tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba
menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan
lain yang amat penting. Dia masih ragu‐ragu untuk membicarakan urusan ini,
maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak
manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu
sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu
kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan
bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling‐aling lagi! Dia merasa malu dan....
girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah
jatuh cinta kepada pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya
tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah
dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman,
begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali
rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus
dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan
ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terangterangan
kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat akan ini, tiba‐tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk
bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang
melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat
dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat
sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit‐gigit ujung sabuk sutera
merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini sama
sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya,
bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapiapi
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong!
TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat keluar untuk
menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang
ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia
membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat betapa usaha
pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa
panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada
Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam‐diam mengikuti dara itu
dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti
mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis
memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak
tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang
dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung
sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan
PART 203
kadang‐kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti
dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah melompat
keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan
dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda‐kuda dan membentak,
"Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah
seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya,
maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun.
Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang‐datang memakinya itu adalah
seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh‐eh, apakah kau
ini orang gila?" Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi
makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi‐api. Sukar dikatakan siapa
di antara kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda,
sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau....
perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada
Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi
perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimakimaki
orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor
naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat dibayangkan betapa
marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini.
Ingin dia mencaci maki habis‐habisan, ingin dia menjerit‐jerit, akan tetapi
karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya mengeluarkan suara
melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada
Siangkoan Hui! "Singgg... Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan
pekik kemarahan, tubuhnya tiba‐tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk
sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu
menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah
berbahaya. "Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil
menangkis serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan.
Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan
memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan
kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang
lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan
Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai
puteri tunggal, Tee‐tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan
selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah
seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang
berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racunracun
yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang
lawannya benar‐benar amat lihai dan berbahaya, tiba‐tiba Siangkoan Hui
membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar‐sinar merah. Sawat
Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar
pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung sehingga jarum‐jarum merah
yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh.
"Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar pedangnya,
PART 204
pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan
sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Seolah‐olah semua
jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi
sebatang benda keras yang diputar‐putar, melindungi tubuhnya. Pada saat
pedang tertangkis, tiba‐tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua
batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka‐sangka dan dengan cepat
sekali ke arah tenggorokan Swat Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan
tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
"menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecilkecil
dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan
main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata
rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi kini Swat Hong sudah
marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus‐jurus
terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak
hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung pedangnya! "Sumoi,
jangan....!!!" Tiba‐tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki
lapangan pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri.
"Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di sini....!" Sin Liong berseru
girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus
lagi saja dia tentu akan menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan
lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang
menjadi ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak
melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan serang orang!" "Kalau
begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut
dengan pedangnya! "Eh‐eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah‐marah?"
Sin Liong terpaksa berlompatan ke sana‐sini mengelak karena sambaran
pedang di tangan sumoinya itu bukan main‐main! "Kenapa kau membelanya?
Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa
mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu tampak dua sosok bayangan
berkelebat dan tahu‐tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu.
Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui
bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena gadis ini amat taat
kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak
turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa
Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka
berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika
pemuda ini sedang berindap‐indap melakukan penyelidikan, dia melihat
seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia
mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya
untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi
di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada
menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba‐tiba
PART 205
meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan
memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tibatiba
ada seorang laki‐laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan
secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini
tentulah anak buah Tee‐tok yang hendak menangkapnya atau hendak
berkurang ajar. "***** ******* jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia
mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya,
menyepak dan menampar. "Plak‐plak‐plak.....! Wah‐wah..... galak benar!"
Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang
kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini
mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena
sama‐sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa
yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan
wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan
Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah
perkasa. Sejenak keduanya saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan
Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh
Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda
itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnyapun
telah berlaku kurang ajar. "***** alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee‐tok,
ya? Hendak menangkap aku? ******* jahanam! Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar‐tar‐tar....!!" Cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak‐ledak di atas
kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda
gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Teetok?
Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu
dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu
berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu
terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti
dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee‐tok atau racun
manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia
menyerang dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang
menyambar‐nyambar dibarengi suara meledak‐ledak. Akan tetapi, Kwee Lun
tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana‐sini, bahkan kadang‐kadang dia
berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja
mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
ilmu Bian‐sin‐kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat
tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan
karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti
kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang
terus sambil memaki‐maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa,
kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah
mencabut pedangnya, pedang Coa‐kut‐kiam! Dengan kedua senjatanya ini,
dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!"
Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut
pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas
PART 206
gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg‐trangggg......!" Bunga api berpijar dari
keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi.
Kipas bertemu dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang.
Masing‐masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka
seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah
menerjang lagi. "Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis
sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat
bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu,
mengapa kau marah‐marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung!
Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah‐marah begini? Dan kau
lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak
menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak
mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita
bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau
tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang macam aku ini
pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal ****!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah,
celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau
bukan puteri Tee‐tok yang begini lihai? "Aku bukan anak racun bumi, bukan
anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu kita
cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang
diadu dengan harimau, pemilik biruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku,
sahabatnya sahabatku!" Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang
*******!' "Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau
siapa?" "Aku baru saja meninggalkan pemilik biruang itu yang menjadi
sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong
mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini *****?" "Siapa? Siapa
*****?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar
ditangannya. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan
sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee‐tok
Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun
Bumi, kejemnya bukan main. Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik
biruang, tentu akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat
sekali. "Celaka....!" "Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari
kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka
melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang
mengelak ke sana‐sini. Ketika Kwee Lun melihat sahabatnya itu menerjang
seorang pemuda dengan mati‐matian dan mendapat kenyataan betapa
pemuda itu lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun pedang di
tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya, dia sudah
menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak,
PART 207
"Berani kau menghina Hong‐moi?" "Trangg‐cringgg....!!" Kwee Lun terdorong
ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya
adalah sepasang senjata di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki,
"Kerbau *****! Berani kau mencampuri urusan Liong‐koko?" Setelah berkata
demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka saling
serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan
serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang lalu berkata,
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong‐ko, biarkan aku
bertemput dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!" "Kweekoko,
mundur! Orang sendiri......!" "Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...."
Kwee Lun terkejut dan terheran‐heran, sebentar memandang kepada Sin
Liong, lalu kepada Soan Cu. "Kwee‐koko, inilah suhengku yang kucari‐cari."
Swat Hong memperkenalkan . "Eh.... akan tetapi, mengapa kau
menyerangnya.....??" Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku
ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang
betapa dia marah‐marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat
dan menjadi malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan
sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai
ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat
menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah
melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya
Cici adalah sumoi dari Kwa‐taihiap...." "Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong
berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia
ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin." "Ha‐ha‐ha!
Kiranya murid majikan Pulau Kura‐kura? Selamat datang! Dan Nona adalah
Sumoi dari Kwataihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak
tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cembertu. "Baik
sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang‐orang muda yang
gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam." Tee‐tok Siangkoan
Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan dia
menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya,
Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga
merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu.
Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik
kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa
dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini
Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak
tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik
seorang kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat
Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa
tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarutlarut.
Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan
hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok
dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang,
PART 208
gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling
serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan
bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju
kepada pemuda perkasa itu. Setelah mereka makan minum, berkatalah Teetok
Siangkoan Houw, suaranya sungguh‐sungguh dan katakatanya ditujukan
kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji‐wi
mempunyai hubungan dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwataihiap
adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya
apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji‐wi. Dan
sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang‐ouw, saya
amat mengharapkan bantuan Sin‐tong!" JILID 13 "Ah, mengapa Locianpwe
terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah
yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa‐bawa nama
Pulau Es." "Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es." "Heiii....? Ada
urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh
semangat. Mendengar ini Tee‐tok tersenyum dan memandang. "Sebagai
Sumoi dari Sin‐tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang
Nona tadi hebat bukan main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku
dari Pulau Es atau tidak," jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es,
kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan kepada kami dan
maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya
berutahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada
urusan yang menyangkut Pulau Es." Tee‐tok menarik napas panjang. "Kalau
dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji‐wi (Anda
Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu‐tong‐pai, bukan? Nah, semua
orang gagah dari dunia kang‐ouw bersepakat untuk menentang Bu‐tong‐pai
mati‐matian." "Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan
tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu‐tong‐pai dimusuhi
orang kang‐ouw. Bukankah anak murid Bu‐tong‐pai adalah orang‐orang
gagah yang dihormati oleh dunia kang‐ouw? Mengapa sekarang hendak
dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena
penasaran. "Ha‐ha‐ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin
masih belum mendengar berita karena dia selalu bertapa dipulaunya
sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu‐tong‐pai telah
beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan
ketua baru Bu‐tong‐pai, kurasa adalah urusan dalam Bu‐tong‐pai sendiri!"
kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam
Bu‐tong‐pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu
Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang‐wenang, melanggar
peraturan kang‐ouw, mengalahkan banyak tokoh kang‐ouw dan kabarnya
bahkan bersekutu dengan pembrontak!" "Ihhhh....!" Swat Hong berseru.
"Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga berseru. Mendengar seruan dua orang
muda sakti dari Pulau Es itu, Tee‐tok cepat memandang penuh selidik. "Ji‐wi
mengenal wanita itu?" Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah.
Dan sekarang juga kami berdua minta diri, karena kami harus segera
PART 209
berangkat ke Bu‐tong‐pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu
kita memberitahukan teman‐teman di dunia kang‐ouw agar...." "Tidak usah,
Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee‐koko, terima
kasih atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng
dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan
meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee‐koko." Kwee Lun
mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang.
"Aku mengerti, Hong‐moi." "Soan Cu, kuharap engkau suka menanti dulu di
sini dan harap Siangkoan Lo‐enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan
menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan
dengan Bu‐tong‐pai." "Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw‐siocia
tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong‐koko! Aku.... aku....
akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kaupergilah
menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu sambil
menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku
pergi lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan
berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau
begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun
lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!" Namun Soan Cu tidak
menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus
mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda
yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata. Sin Liong dan Swat
Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee‐tok bersama puterinya yang
mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan
pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi
matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan
merangkulnya. dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada
ayahnya. Teetok menepuk‐nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm,
tidak patut anak Tee‐tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh
cinta kepadanya, Hui‐ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi,
aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin‐tong itu. Aku akan merasa heran
kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa!
Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan kita.
Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau
sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari
lagi mereka!" Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika
diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya,
sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar‐benar jatuh cinta kepada Sin
Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan
wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta,
kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di Bu‐tong‐pai mengalami perubahan
hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu.
Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak
anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar
Share This Thread