PART 75
pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah
menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun‐tahun itu. "Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini
memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan
persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih
duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han
Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada
diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang
kini telah menjadi permaisurinya. Diam‐diam dia merasa menyesal sekali.
Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa
pendekar wanita Bu‐tong‐pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir
gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu
Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya
Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri
pergi entah ke mana! Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan
tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat
dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung
jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia
mendiamkan saja, seolah‐olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak
hidup ibu dan anak itu. "Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat
berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya."
Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi
berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dala
kedukan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu
mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu
menunggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya
yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur
amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya
pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya ketika dia bertanya‐tanya
kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam‐diam pernah pula seorang diri
mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat
dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman
seperti pulau yang pantas di huni oleh ***** dan iblis.Pantainya penuh
dengan batu‐batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi
kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya
sehingga ketika itu Sin Liong menduga‐duga bahwa orang‐orang buangan
yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas
pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es
diadakan pengadilan dan diputusakan hukuman buang ke Pulau Neraka,
karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi
kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu
atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau
Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khwatir. Kagum akan
keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi
khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu.
PART 76
Sumoinya baru berusia empat belas tahun! Biarpun dia tahu bahwa ilmu
kepandaian sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai untuk menjaga
diri, namaun betapapun juga sumoinya itu masih kanak‐kanak! Sin Liong
sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari
pada usia Swat Hong! Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui
lautan yang penuh dengan gumpalan‐gumpalan es yang mengapung di
permukaan laut, gumpalan es yang kadang‐kadang sebesar gunung dan
celakalah kalau sampai perahu tertumpuk oleh gumpalan es menggunung itu
yang kadang‐kadang bergerak, digerakkan oleh angin. Celaka pula kalau
sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling menempel
tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah‐tengah. Akan
tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula
caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan‐gumpalan
es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celahcelah yang agak lebar.
Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan
ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu berenang di kanan kiri dan belakang
perahunya. Betapapun juga tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena
dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaianya tidak akan berguna
banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia
mengeluarkan bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka
bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan kiri, depan
belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan‐ikan hiu itu pergi berenang
pergi dengan cepat seperti ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam
yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya
ikan‐ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang
sering kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikanikan
buas di waktu mereka mencari ikan. Beberapa jam kemudian, kembali
dia menghadapi ancaman ikan‐ikan kecil yang banyak sekali jumlahnya,
mungkin laksaan. Ikan‐ikan besar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya
melebihi ikan hiu. Ikan‐ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas
perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi
runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit
terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke
dalam air. Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal
tulangnya dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat
menyebar obat bubuk hitam beracun itu dan ikan‐ikan kecil itupun lari cerai
berai tidak berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan
daerah berbahaya itu. Setelah melalui perjalanan yang amat sulit akhirnya
menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi
seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang
terdapat di pulau itu amat besar dan liar, pohon‐pohon aneh dan menghitam
warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan mati. Namun,
dibalik kesunyian itu Sin Liong merasakan seolah‐olah banyak mata
mengamatinya dan maut tersembunyi disana‐sini, siap untuk mencengkram
siapa pun yang berani mendarat! Melihat keadaan pulau ini makin berdebar
PART 77
hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong.
Apakah dara itu sudah berasil mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai
pulau ini, karena dara itupun tahu jalan ke situ, dan mengerti pula tempattempat
berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat
Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan‐ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka.
Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena
racun yang kabarnya memenuhi pulau ini? Karena khawatir kemalaman
sebelum dapat menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan
menarik perahunya ke atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan.
Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengungdengung
dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah
berwarna putih menyambar‐nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang
tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah‐lebah itu mengandung racun
yang amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat
itu, namun lebah‐lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil
mengeluarkan suara berdengung‐dengung yang mengerikan. Sin Liong cepat
menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya.
Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan lebah‐lebah itu
terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah.Sin Liong
tidak tega untuk membunuh lebah‐lebah itu maka dia hanya menggunakan
hawa putaran jubahnya untuk mengusir. namun, binatang‐binatang kecil itu
hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi
sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi
Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah.
Melihat ini, Sin Liong kaget. betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk
berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya
sampai lebah‐lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang
paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi
tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang
keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga
timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang
ranting kering dan dibakarnya ranting ini. Benar saja. Dengan ranting yang
ujungnya menyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang
berani mendekatinya. Dia melanjutkan perjalanan, dan terus menerus
menyalakan api diujung ranting yang dikumpulkan dan dibawanya. Dapat
dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang
berbisa di sepanjang jalan. Ular‐ular kecil, kalajengking, lebah‐lebah dan
sebangsanya merayap‐rayap lari ketika dia datang dengan obor di tangan.
Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut
terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok
oleh binatang‐binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah!
lebah‐lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari
suara yang berdengung‐dengung itu masih terus berada di belakangnya.
Tiba‐tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah‐lebah itu beterbangan
PART 78
makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan
ada beberapa yang ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi
ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya.
Suitan terdengar berkali‐kali dan lebah‐lebah itu makin marah dan
mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecillainya yang
banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut‐takut
oleh api di ujung ranting. "Siuuuttt..." tiba‐tiba tampak benda hitam
menyambar kearah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bawa sambitan
yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja
dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menari kebawah ranting terbakar
itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang dilontarkan.
Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang
membokonginya dan orang itu agaknya yang besuit‐suit tadi. Suitan yang
agaknya merupakan perintah kepada binatang‐binatang itu untuk
mengeroyoknya! "Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan
menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mau
mencaru Sumoiku di sini!" Hening sejenak. Suitan‐suitan tidak terdengar lagi
dan lebah‐lebah itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang dan lain
binatang kecil. Terdengar bunyi tampak kaki menginjak daun‐daun kering
dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang kaki,
berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkan itu kotor tidak terawat,
mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang‐orang gila. Dengan
gerakan perlahan, pandang mata penuh juriga, belasan orang itu
menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda itu tersenyum ramah,
bersikap tenang dan mengangkat ranting menyala tinggi‐tinggi untuk
memperhatikan wajah mereka. "Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi
memaafkan kedatanganku yang tiba‐tiba ini. Akan tetapi sungguhnya aku,
Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka apalagi terhadap
penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoiku yang bernama Han Swat
Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini." Seorang di antara mereka,
yang mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan
sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar.
"kau dari mana?" "Dari Pulau Es...." Belasan orang itu mendengus dan
kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi senjata golok besarnya
dan membentak, "kalau begitu kau harus mampus!" "Nanti dulu, harap Cuwi
bersabar." Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas,
"Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang bukan
untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?" Pada saat itu,
muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara
mereka, yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa‐kongcu dari
Pulau Es?" Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal
orang itu yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang
dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw‐lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang
juga sudah dibuang ke sini!" "Apa??" Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata
PART 79
kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu. "Dia
adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa
ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan
hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?" "Benar,"
jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawanya." Si Brewok meragu.
"Kalau begitu, kita bawa dia kepada To‐cu (Majikan Pulau)!" Bouw Tang Kui
melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To‐cu
sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya." Sin Liong mengangguk.
Memang menghadapi orang‐orang kasar ini akan berbahaya sekali karena
mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau
yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan dapat minta
keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia mengangguk dan
beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong
sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti
rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia
melihat tempat‐tempat berbahaya, lumpur‐lumpur yang tertutup rumput
tinggi, pasir‐pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang
menginjaknya, pohonpohon yang aneh dengan buah‐buah yang kelihatan
lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat,
dan lain‐lain. Benar‐benar pulau yang amat aneh dan berbahaya, fikirnya.
Pantas kalau disebut Pualu Neraka, dan diam‐diam dia mencela kekejaman
Kerajaan Pulau Es yang membuang orang‐orang bersalah ke tempat seperti
ini. Dari keadaan orang‐orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang Kui
seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa ini
baru beberapa bulan saja dibuang ke sini, sedangkan yang lain‐lain, biarpun
dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orangorang
liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatanya! Dan selain
menjadi orang‐orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai
ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang‐binatang
berbisa di pulau itu. Buktinya, biarpun meraka berjalan di hutan penuh
binatang berbisa itu tanpa sepatu tidak ada seekor pun yang berani
menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang
mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum bahwa orang‐orang ini
telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok‐gosokan ke seluruh
kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat. Tak
disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat
tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar, dikelilingi pondokpondok
kayu sederhana. lampu‐lampu dinyalakan terang dan Sin Liong
dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu
yang disebut To‐co (Majikan Pulau). Ruangan itu luasanya lebih dari sepuluh
meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata
dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang
Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang
kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong
PART 80
yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang
pernah diobati oleh pemuda ini. "Hayo berlutut di depan tocu!" kata Si
Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin Liong dengan
tenang berdiri di depan To‐cu itu dan memandang penuh perhatian. Orang
ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya
besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor
singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar‐sinar,
mulutnya menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena
sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan
menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian besar penghuni
Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih.
Kursinya terbuat dari tulang‐tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya
dihiasi dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar
memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di sebelah kana ketua Pulau
Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir membuat
Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang
anak perempuan yang cantik dan tersenyum‐senyum, sikapnya kelihatannya
gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatanya mirip dengan Swat
Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula‐mula memasuki
ruangan. Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnnya penuh
perhatian, anak perempuan itu tersenyum‐senyum. Melihat Sin Liong tidak
mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudia berkata
berlahan, suaranya rendah, "Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya? Hendak
kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?" Berkata
demikian, tiba‐tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan
seorang penjaga, menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia
menggerakan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah kedua
kaki Sin Liong! Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum
bahwa ketua Pulau Neraka itu bermagsud menggunakan lemparan tongkat
untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakan
kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya
berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua kakinya menginjak.
Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri
di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah‐olah tak
pernah terjadi sesuatu! "Waduhhh, dia hebat sekali, kong‐kong (Kakek)!"
anak perempuan yang tadi tersenyum‐senyum itu besorak penuh kagum,
padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena mengangap
bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka. "Hebat apa! Permainan kanakkanak
seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah. "Kong‐kong
juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak prempuan itu berkata dengan
sikap dan suara manja. "Hushh! Diamlah kau!" kakek itu membentak dan
sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong. Dibentak seperti
itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah, menahan tangis. Sin
Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata menghibur, "Adik
yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan
PART 81
mengajarkannya kepadamu." Anak perempuan itu memandang Sin Liong
dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang
manja menjadi berseri‐seri kembali. "Orang muda yang bersikap dan
bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian
untuk mengacau Pulau Neraka?" Kakek itu membentak, menahan
kemarahannya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan
sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar
biasa. Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam‐dalam,
kemudian dia berkata dengan suara tenang, "Harap To‐cu suka memaafkan
kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua
penghuni Pulau Neraka kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat
buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong dan ...." "Dia
murid Han Ti Ong!" tiba‐tiba Si Brewok berkata lantang. Ucapan ini disambut
dengan suara berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka
sudah menjadi marah sekali. Semua orang yuang berada disitu adalah orangorang
buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal
disitu selama tiga keturunan, ada orang buangan baru dan ada pula yang
merupakan turunan dari orang‐orang buangan lama, akan tetapi
kesemuanuya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu
Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah
murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan
hati mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak
mencabik‐cabik dan membunuh pemuda itu yang dianggapnya seorang
musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut kepada ketua mereka,
tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang
dalam pandang mata mereka itu. "Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti
Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa
orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan
beberapa orang buangan baru yang lain. "Bunuh saja dia!" "Seret murid Han
Ti Ong!" "Jadikan dia mangsa ular!" Kakek bekepala besar itu mengangkat
kedua lengannya ke atas dan membentak, "Diam...!!" Sin Liong kembali
terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi ketua Pulau Neraka
agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia sendiri yang berdiri di
depan kakek itu merasa betapa kedua kakinya tergetar! Mengertilah dia
bahwa ketua Pulau Neraka ini benar‐benar memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam
keadaan terancam. Namun Sin Liong tidak merasa takut sedikitpun juga
karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap
mereka ini. Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil
berkata, "To‐cu, sekali lagi kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama sekali
tidak mengandung niat buruk dan kalau tidak ada perlu sekali pasti aku tidak
akan berani menginjakan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari
Sumoiku yang bernama Han Swat Hong puteri Suhu....." Sin Liong
menghentikan kata‐katanya karena teringat bahwa dia telah kelepasan
bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur maka tak mungkin kata‐kata itu
PART 82
ditariknya kembali. "Putera Han Ti Ong...??" Ketua Pulau Neraka berseru
keras sekalli sampai mengagetkan semua orang. "Kau mencari puteri Han Ti
Ong di sini?" Sin Liong berkata, "Benar, To‐cu. Karena aku menduga bahwa
dia berada di sini maka aku menyusul ke sini." "Tangkap puteri Han Ti Ong!"
"Bunuh dia!" "Gantung puterinya!" Kini Sin Liong mengangkat kedua
lengannya dan sambil menggerakan khikangnya dia beseru, "Harap Cuwi
diam!" Dan diamlah semua orang. Di antara meraka yang memiliki
kepandaian tinggi, termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang
muda yang belum dewasa benar ini ternyata memiliki kekuatan khikang yang
amat hebat! "Harap Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga
menjadi orang buangan." Ucapan Sin Liong ini tentu saja mengejutkan dan
mengherankan hati semua orang sehingga mereka tidak dapat mengeluarkan
kata‐kata melainkan hanya memandang kepada SinLiong dengan mata
terbelalak. "Kau bohong!" Kakek berkepala besar itu menghardik. "Mana
mungkin Han Ti Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau Neraka?"
"Agaknya Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es,
dan sebetulnya yang dianggap melanggar hukum adalah istri suhu sendiri,
istri tua, yang aku yakin hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah
menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu mewakili ibunya untuk
membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku menyusul ke sini untuk
mengajaknya pulang ke Pulau Es." Tiba‐tiba ketua Pulau Neraka tertawa
bergelak, tertawa penuh kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan
air mata! "Huah‐ha‐ha‐ha! Ha‐ha‐ha, betapa lucunya! Rasakan kau sekarang
Han Ti Ong, Raja *******! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa
kesengsaraan karena keluarga berantakan. Haha‐ ha!" Semua orang yang
melihat dan mendengar kata‐kata ketua Pulau Neraka ini, kontan tertawatawa
semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biarpun mereka belum sempat
membalas dendam kepada Raja Pulau Es, mendengar nasib buruk Raja itu
sudah merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka.
Hanya anak perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya
tidak mengerti apa‐apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan
Sin Liong yang juga terheran‐heran. "Hei, Kwat Sin Liong! Betapa baiknya
ceritamu, akan tetapi aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri
peteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. kita tunggu dan lihat saja. Setelah aku
melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini, barulah kita akan bicara lagi.
Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan sambil menanti munculnya
puteri Han Ti Ong!" Si Brewok dan beberapa orang yang agaknya menjadi
pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah melangkah menghampiri Sin
Liong dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum bahwa tidak ada jalan
lain kecuali menyerah sambil menanti munculnya Sumoinya karena sebelum
dia bertemu degnan Sumoinya, melawan hanya akan menimbulkan
permusuhan yang tidak ada artinya saja. Maka dia mengangkat kedua
tangannya dan berkata, "Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian
menggunakan kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan
sampai Sumoiku muncul." Melihat sikap tenang dan ucapan yang berwibawa
PART 83
ini, belasan orang yang mengurung Sin Liong dengan sikap mengancam tadi
kelihatan ragu‐ragu. Akan tetapi Sin Long lalu melangkah ke depan dan
berkata, "Marilah bawa aku ke kamar tahanan." "Jangan ganggu dia, biar dia
mengaso di kamar tahanan dan layani baik‐baik sampai puteri Han Ti Ong
mucul. kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta
membunuhnya!" Ketua Pulau Neraka berkata sambil terkekeh‐kekeh karena
hatinya senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai membuang
istrinya sendiri ke Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang diri
ke Pulau Neraka. Biarpun dia belum percaya benar akan cerita ini sebelum
dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa
senang di dalam hatinya. Dengan sikap gagah dan tenang sekali Sin Liong
digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh pandang mata penuh khawatir
dari anak perempuan tadi. Setelah rombongan itu lenyap, anak perempuan
itu mencela ketua Pulau Neraka, "Kong‐kong kenapa dia ditahan? Dia luar
biasa, berani dan pandai sekali!" "Hushh! Dia orang Pulau Es, dia murid Han
Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita. Mengerti?" Anak perempuan itu
cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil bersungut‐sungut sedangkan
kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu memberi isyarat
memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik‐bisik sambil tersenyumsenyum.
Pembantunya juga tertawa, mengangguk‐anguk lalu pergi. Kakek ini,
ketua Pualu Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali tidak
curiga kepada cucunya sendiri, tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap
dan mendengarkan perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang tidak pernah mempunyai prasangka
buruk terhadap orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak
manusia dan biarpun terhadap orang‐orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh
kepercayaan. Maka diapun percaya penuh akan kata‐kata ketua Pulau Neraka
dan dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring
memasuku kamar tahanan! Setelah berada di dalam kamar di bawah tanah
yang sempit itu, dengan jendela dan besi dari baja, dan ruji baja yang kuat
memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak
menaruh khawatir akan keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah
mengapa sumoinya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua
Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah
berada di Pulau Neraka, tentu tidak seperti ini sikap mereka terhadap
dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa Sumoinya belum tiba di Pulau Neraka,
padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya sumoinya itu?
Tengah malam telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar tahanan
itu. Tidak ada penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa
di pintu masuk lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang
selalu siap dengan senjata di tangan. Tiba‐tiba dia mendengar suara wanita
yang marah‐marah di sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan. "Kalian
berani melarangku masuk?" terdengar suara wanita itu. "Nona, tahanan ini
adalah orang penting! dan...." "Dan kauanggap aku bukan orang penting?
Kaukira aku mau apa? Aku mau mengejeknya dan memakinya, dia adalah
PART 84
musuh besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau melarang dan aku
akan mengatakan kepada Kong‐kong bahwa kalian berani kurang ajar
kepadaku hendak menggodaku, aku mau melihat apakah kepala kalian masih
akan menempel di leher!" "Ah, tidak... bukan begitu...." "Maafkan, Nona...."
"Silahkan masuk, silahkan;;;;" "Awas kalau ada yang mengikuti aku dan
mengintai, berarti dia mau kurang ajar dan akan kuberitahukan kepada
Kong‐komg!" Sin Liong sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan
ribut‐ribut dengan para penjaga itu, akantetapi begitu dara itu muncul di
bawah sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak
memanggil karena mengira bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di bawah
sinar lampu yang tidak begitu terang memang gadis cucu ketua Pualu Neraka
ini hampir sama dengan Swat Hong. Setelah melihat jelas bahwa yang datang
adalah cucu ketua Pulau Neraka dan mengingat akan kata‐kata gadis ini di
luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan memakinya, Sin
Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya, pura‐pura
tidur. "Ssssttt..." Sin Liong tidak menjawab, bergerak sedikitpun tidak. Perlu
apa melayani seorang bocah yang hanya datang hendak mengejek dan
memakinya? Demikian pikirnya sungguhpun hatinya terasa tidak enak juga
harus mendiamkan saja orang yang susah payah datang sampai ribut mulut
dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diamdiam
dia mengintai dari balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit.
"Pssstttt... kau tidak tidur, bulu matamu bergerak‐gerak, jangan kautipu
aku...." anak perempuan itu berkata lagi dengan suara bisik‐bisik dan
meruncingkan bibirnya di antara ruji‐ruji jendela. Sin Liong menarik napas
panjang dan membuka matanya. "Hah, kau boleh mengejek dan memaki
sesukamu, kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar‐benar,"
katanya. "Hi‐hik!" Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya yang
kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan para penjaga itu, percaya saja
apa yang kukatakan apa yang kukatakan di luar tadi!" Sin Liong bangkit
berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan. Mereka saling berhadapan
dan saling pandang melalui ruji‐ruji jendela. "Apa yang kaumaksudkan,
Nona?" Mulut yang tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya
manja, "Kau tadi menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang menjadi
Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!" Mau tidak mau Sin
Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia kepada Han
Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang perempuan itu. "Baiklah,
Adik yang manis. sebenarnya, mau apa kau datang ke sini kalau bukan untuk
mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?" "Aku
datang untuk bercakap‐cakap." "Hemm, waktu dan tempatnya tidak tepat
untuk bercakap‐cakap. Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah cucu
To‐cu di sini, tempat ini di kamar tahanan yang kotor dan sempit dan
sekarang sudah lewat tengah malam. Harap engkau kembali ke kamarmu dan
tidur yang nyenyak. jangan‐jangan kau akan dimarahi Kong‐kongmu." "Aku
tidak takut! Aku sengaja datang ke sini untuk bercakap‐cakap denganmu.
Siapa berani melarangku?" Sikapnya menjadi galak, matanya bersinar‐sinar
PART 85
dan Sin Liong menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan
betapa ganjilnya watak wanita. Dia melihat watak‐watak yang aneh dan
sukar dimengerti yang dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng
dari suaminya, berjinah dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong
yang tadinya periang lalu berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan
mengalah terhadap suaminya yang menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat
Lin yang juga amat berubah setelah menjadi istri raja, pada diri Swat Hong
yang telah nekad membuang diri ke Pualu Neraka, dan kini dia berhadapan
dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh sekali. "Baiklah, jangan
marah karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin bercakapcakap,
nah, bercakaplah dan aku akan mendengarkan." Gadis itu melongo.
"Bercakap apa?" Diam‐diam Sin Liong merasa geli. Benar‐benar seorang
gadis yang masih seperti kanak‐kanak dan mungkin semua sikapnya tadi,
ketika bergembira dan ketika marah, tidaklah setulusnya hati maka demikian
mudah berubah. "Bercakap apa saja sesukamu, misalnya siapa namamu,
siapa pula nama Kong‐kongmu dan keadaan di pulau ini dan lain‐lain." Wajah
itu berseri kembali, gembira setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak
sekali bahan untuk dibicarakan. "Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan hatinya. Dan
memang hati Soan Cu senang sekali mendengar pujian ini. "Benarkah?
Benarkah namaku indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan
riwayatnya secara singkat. Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu bernama
Ouw Kong Ek bukanlah seorang buangan dari Pulau Es, melainkan keturunan
orang buangan yang semenjak ratusan tahu menjadi ketua di situ karena
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan
dari Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang pertama yang menjadi
"Ketua" di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada
anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek. Ouw Kong Ek sendiri mengambil
seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan permaisuri Raja Pulau
Es yang dijatuhi hukuman buang karena fitnah dan sesungguhnya dia tidak
mau melayani seorang pangeran yang tergila‐gila kepadanya, menjadi
istrinya mempunyai seorang anak laki‐laki yang bernama Ouw Sian Kok.
Akan tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan
seorang gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda. Dia
mencurahkan pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi
semua ilmunya dan yang diharapkan kelak akan menggantikan kedudukanya
kalau dia sudah mengundurkan diri. Namun nasib buruk menimpa keluarga
Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu, ibu
muda ini meninggal dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka sehingga
ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau Neraka, tak
seorangpun tahu kemana perginya orang gila itu. "Demikianlah riwayatku
yang tidak mengembirakan," Soan Cu mengakhiri ceritanya. Sejak kecil aku
tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak
pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik
oleh Kong‐kong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan
PART 86
ketua di sini. Akan tetapi aku tidak sudi!" "Mengapa tidak suka, Soan Cu?"
"Siapa sudi mengurusi orang‐orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat,
karena itu aku suka kepadamu Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka,
engkau berani dan baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah,
sebentar lagi, kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!" Sin Liong
terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang. "Benarkah? Mengapa aku
dibunuh? Bukankah Kongkongmu berjanji bahwa kita akan berjanji akan
menunggu sampai Sumoiku tiba di Pulau Neraka?" "Uhh, kau percaya kepada
Kong‐kong! Hmm, dia hanya membohong." "Ah, mengapa begitu? Sebagai
seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu." "Membohong dan menipu
merupakan pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan
layak di sini! itu adalah tanda dari kecerdikan seseorang!" "Pantas kau tadi
pun membohongi penjaga." Sin Liong mencela. "Memang, kalau tidak
membohong, mana bisa masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan celaka
kalau akau tidak membohong." "Hmmm..., alasan dicari‐cari dan ngawur. Jadi
mereka hendak membunuhku? Mudah saja, apa dikira aku begitu mudah
dibunuh?" "Kau tidak tahu kecerdikan Kong‐kong, Sin Liong. Kalau digunakan
kekeras, agaknya kau akan melawan dan sudah melihat kau tadi sudah lihai.
Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang‐binatang berbisa untuk
mengeroyokmu dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam
ular, kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang
memenuhi tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kaulakukan
untuk menyelamatkan diri?" "Hemm, aku akan berusaha membela diri, kalau
aku gagal, aku akan mati dan habis perkara. tidak ada hal yang
menggelisahkan hatiku." "Kau sombong! Kau tidak minta tolong kepadaku?"
"Andaikata aku minta tolong juga, kalau kau tidak mau menolong, apa
artinya? Tanpa kuminta sekalipun, kalau kau mau menolong, bagaimana
caranya? Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja, Soan
Cu. Betapapun juga terima kasih atas kedatanganmu dan kebaikan hatimu.
Kau seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada diantara
orang‐orang liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau berada
disini." Soan Cu mengeluarkan sebuah bungkusan. "Inilah yang akan
menyelamatkanmu. Kaupergunakan obat bubuk ini untuk menggosok semua
kulit tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di sekelilingmu. Tidak
akan ada seekor pun binatang berbisa yang berani datang mendekat, apalagi
menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk menyerahkan ini,
akan tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat tinggal, Sin Liong."
Sin Liong menerima bungkusan itu, mengulurkan tangan dari antara ruji
jendela dan memegang lengan dara itu. "Nanti dulu, Soan Cu." Ada apa lagi?"
Gadis itu membalikan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan. Hal ini
dilakukan oleh Sin Liong karena dia merasa terharu juga oleh pertolongan
yang sama sekali tidak disangka‐sangka itu. "Soan Cu, tahukah engkau apa
yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong‐kongmu mengetahui akan
perbuatanmu ini?" "Menolong engkau? Ah, paling‐paling dia akan
membunuhku!" "Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu,
PART 87
mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan
mempertaruhkan nyawa?" "Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua
orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin
mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudahlah, hati‐hati menjaga dirimu,
Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar. Sin Liong berdiri temenung
sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila
menenangkan hatinya. Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang
memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak kan
gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang‐binatang itu,
sungguhpun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan
dilakukanya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia
teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh
binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat
penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan
melihat obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau
dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan,
melakukan siulian (samadhi) lagi. Pendengarannya menjadi amat terang dan
tajam sehingga dia dapat menangkap suara mendesis dan suara yang
dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh, makin lama makin
mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang
tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak membohong! Maka dia lalu
membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian
dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya
sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu,
dia menanti. Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba‐tiba
saja munculah mereka! Diam‐diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan
melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah
pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang
besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlomba
dengan lebah‐lebah putih yang beterbangan masuk melalui jendela. Sin Liong
cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan
sebagian ke atas, ke arah lebah‐lebah yang berterbangan. Dia tersenyum
kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil
sampai yang paling besar, tiba‐tiba serentak membalik saling terjang dan
saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah‐lebah putih juga
terbang dengan kacau, menabarak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang
sempat terbang keluar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar saja
suara binatang‐binatang itu sudah menjauh. Akan tetapi mendadak Sin Liong
meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat jantungnya
berdebar,. Suara seorang wanita memaki‐maki, "Iblis kalian semua! Manusiamanusia
gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat
Hong!" Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan
terdengar suara keras ketika ruji‐ruji jedela jebol semua. Dia meloncat dan
keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong. Setibanya di luar,
tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak
PART 88
pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh‐aduh di
bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong
menggeleng‐geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan
main gagahnya. Dikurung oleh orang‐orang Pulau Neraka itu masih enakenak
saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang
mengurungnya memegang senjata. JILID 6 Heiii! Mundur kalian, jangan
ganggu dia!!" Sin Liong sudah meloncat ke depan. "Kau yang mundur!
Mengapa ikut‐ikut keluar?" Swat Hong membentak dan memandang Sin
Liong dengan mata mendelik. "Ehh? Sumoi...? Aku hanya ingin menolongmu."
"Siapa membutuhkan pertolonganmu? kembalilah ke kamar tahananmu itu
dengan ... dengan..." Akan tetapi Swat Hong tak dapat melanjutkan katakatanya
karena kini orang‐orang Pulau Neraka telah mengeroyoknya.
"Wuuuttt... siuuuuttt!" Tubuh Swat Hong sudah menyambar ke sana‐sini,
selain mengelak dari serbuan banyak senjata itu, juga untuk mengirim
serangan serangan balasan dengan tangan dan kakinya yang bergerak cepat
sekali. Bukan main hebatnya Swat Hong yang bergerak cepat dan yang
didorong oleh perasaan marah itu. Dia memang marah, bukan marah kepada
orang‐orang Pulau Neraka, melainkan marah kepada... Sin Liong! Kiranya
tanpa diketahui oleh Sin Liong sendiri, sudah sejak tadi Swat Hong tiba di
tempat itu, menggunakan kepandaiannya menyelundup sehingga tidak
diketahui para penjaga dan dia telah dapat mendengarkan percakapan antara
suhengnya dan Soan Cu. Hatinya menjadi panas! Dia sendiri tidak tahu akan
hal ini, tidak sadar mengapa dia menjadi tidak senang mendengar betapa
suhengnya bercakap‐cakap dengan ramah bersama seorang gadis! karena itu,
niatnya untuk menolong suhengnya menjadi buyar dan dia hanya menonton
saja ketika suhengnya diserbu binatang berbisa dan dapat menolong diri
dengan obat penolak yang diberikan oleh Soan Cu. Ketika Swat Hong yang
marah menyaksikan ibunya dijatuhi hukuman buang melarikan diri dari
Pulau Es, dara ini segera berlayar menggunakan sebuah perahu Pulau Es.
Tujuannya memang hendak membuang diri ke Pulau Neraka menggantikan
ibunya, dan terutama hal ini dilakukannya sebagai protes kepada ayahnya.
Akan tetapi karena dia belum pernah pergi ke pulau tempat buangan itu, dan
pula karena sudah jauh meninggalkan Pulau Es dia mulai merasa gelisah dan
ngeri memikirkan keadaan Pulau Neraka yang kabarnya amat berbahaya itu,
maka dia tersesat jalan, mendarat di pulau‐pulau kosong sekitar Pulau
Neraka. Akhirnya dia melihat dari jauh perahu Sin Liong meluncur di antara
gumpalan‐gumpalan es yang menggunung. Dia merasa heran sekali melihat
suhengnya dan merasa khawatir kalau‐kalau suhengnya itu mengejarnya
atas suruhan raja untuk memaksanya kembali ke Pulau Es. Maka diam‐diam
ia lalu mengikuti dari jauh sampai akhirnya dia melihat suhengnya mendarat
di Pulau Neraka. Dengan menggunakan kepandaianya. Swat Hong berhasil
pula mendarat di Pulau Neraka. Dia tidak khawatir akan serangan binatangbinatang
berbisa, karena sebelum berangkat Swat Hong membawa batu
mustika hijau yang dia dapat dahulu dari ayahnya. Di bagian tertentu di dasar
laut dekat Pulau Es terdapat batu mustika hijau ini yang amat sukar didapat
PART 89
dan hanya beberapa orang penghuni Pulau Es saja yang berhasil
mendapatkannya. Batu mustika hijau ini mengandung khasiat yang mujijat
terhadap ular berbisa dan semua binatang berbisa, selalu ditakuti binatangbinatang
itu, juga dapat dipergunakan untuk mengobati luka terkena gigitan
binatang berbisa. Maka, dengan batu mustika ditangannya, dengan mudah
Swat Hong dapat memasuki Pulau Neraka tanpa mendapat gangguan sedikit
pun dari binatang berbisa yang hidup di pulau itu. Ketika Swat Hong tiba di
tengah pulau, dia sempat melihat sinar, maka dia menanti sampai larut
malam dan menyelundup ke dalam tempat tahanan, dengan maksud
menolong suhengnya, akan tetapi tanpa disengaja dia dapat mendengarkan
percakapan antara suhengnya dengan Soan Cu. Inilah yang membuat hatinya
menjadi panas sehingga ketika dia ketahuan para penjaga dan dikroyok, dia
menolak keras bantuan Sin Liong! Tentu saja Sin Liong menjadi terheranheran
melihat sikap sumoinya dan memandang dengan alis berkerut dan hati
khawatir. Sudah ada enam orang pengeroyok terguling roboh oleh gerakan
kaki tangan Swat Hong yang marah itu, padahal dara itu belum mencabut
pedangnya. Dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dara itu sudah
menggunakan senjata! "Sumoi, tahan...!" Dia meloncat maju. "Singgg...!
Mundur kau!" Sin Liong terkejut melihat sumoinya mencabut pedang! Dan
pada saat itu, terdengar bentakan keras, "Siapakah gadis cilik itu berani
mengacau disini? Ahhh, Kwa Sin Liong, engkau berani lolos dari tempat
tahanan?" Yang datang adalah Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka! Tentu saja
ketua ini tidak mengenal Swat Hong, sebaliknya, dara itupun tidak mengenal
kakek berkepala besar ini, maka dia memandang rendah dan membentak,
"Siapa kau? Kalau sudah bosan hidup, majulah!" Dara itu dengan gerakan
gagah melintangkan pedangnya di depan dada. Sin Liong cepat melangkah
maju. Dia tahu betapa lihainya kakek ini, maka untuk mencegah
pertempuran, dia cepat berkata, "Tocu, jangan salah sangka.Dia adalah
sumoiku, dia adalah puteri Suhu, Raja dari Pulau Es!" Semua orang terkejut
mendengar ini dan para pengurung melangkah mundur dengan mata
terbelalak. Betapapun juga, nama Raja Pulau Es masih merupakan nama
ampuh dan selain dibenci, juga amat ditakuti oleh mereka. Tentu saja sebagai
puteri Raja Pulau Es, dara itu merupakan musuh yang dibenci dan juga
ditakuti. Pantas saja dara itu demikian lihai, pikir mereka. Hati mereka
gentar. Tidak demikian dengan Ouw Kong Ek. Dia memandang Swat Hong
dan tertawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, jadi dia inikah puteri Raja Pulau Es? Puteri
Han Ti Ong? Bagus, hayo tangkap dia hidup‐hidup!" perintahnya kepada para
pembantunya yang segera melompat ke depan. "Tahan dulu!" Sin Liong
sudah mengangkat tangan kanannya ke atas. Semua orang, termasuk Ouw
Kong Ek sendiri, memandang pemuda ini. Betapapun juga mereka maklum
bahwa pemuda ini lihai sekali, buktinya penyerbuan binatang‐binatang
berbisa untuk membunuhnya di dalam kamar tahanan telah gagal, bahkan
binatang‐binatang itu lari cerai berai dan kini pemuda itu sudah lolos dari
dalam penjara. "Ouw‐tocu, seperti sudah kuceritakan kepadamu, biarpun
sumoi adalah puteri Raja Han Ti Ong, akan tetapi ia menentang Ayahnya dan
Share This Thread