Page 10 of 28 FirstFirst ... 6789101112131420 ... LastLast
Results 136 to 150 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #136

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 135
    Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas tahun itu,
    belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau, maka setelah perahu meluncur
    jauh dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkongnya bersama semua
    sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarkanya sampai ke pantai, Soan Cu
    tak dapat menahan bercucurannya air matanya. "Soan Cu, mengapa kau
    menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum
    terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa tidak enak
    sekali memikul kewajiban ini. Biarpun dia tidak terikat sesuatu, namun
    sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini, dan kalau dara ini
    wataknya seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi! "Ah,
    tidak, Taihiap. Aku hanya merasa perih hatiku meninggalkan tempat yang
    sejak kulahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh
    menyebutnya Pulau Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggakan
    pulau itu, terasa olehku bahwa disitu adalah sorga." Sin Loing tersenyum dan
    mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari mulut
    dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya
    melihat kenyataan bahwa sorga maupun neraka itu berada dalam hati
    manusia itu sendiri! Betapapun indahnya suatu tempat kalau tidak berkenan
    di hatinya, akan merupakan neraka, sebaliknya betapapun buruknya suatu
    tempat kalau berkenan di hatinya akan menjadi sorga! Jadi, baik buruk,
    senang, susah, puas kecewa, semua ini bukan ditentukan oleh keadaan di
    luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran sendiri. keadaan di
    luar merupakaan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang
    menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa,
    senang, susah, baik, buruk, dan lain‐lain hal yang saling bertentangan itu.
    Bahagialah orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata
    terbuka, memandang segala sesuatu seperti APA ADANYA, tanpa penilaian.
    tanpa perbandingan. Orang bahagia tidak mengenal susah senang, karena
    bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan puas bukan pula kecewa,
    melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali tidak terganggu oleh
    pertentanganpertentangan itu. Perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Soan
    Cu meluncur terus, ujung depannya yang meruncing membelah air yang
    tenang seperti sebuah pisau membelah agar‐agar biru. Soan Cu sudah
    melupakan kesedihan hatinya dan kini dara itu memandang ke depan dengan
    wajah berseri dan mata bersinar‐sinar penuh harapan akan masa depan yang
    berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia
    mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek
    moyangnya tentang keadaan di dunia rame, dan sekarang dia sedang menuju
    kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri! Pusat
    perkumpulan Pat‐jiu‐kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan)
    berada di lereng Pegunungan Hen‐san. Dari luar, tempat itu memang pantas
    disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di
    dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali
    tinggi orang, pagar yang butut dan bambu‐bambu itu mengingatkan orang
    akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi

  2. Hot Ad
  3. #137

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 136
    kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheranheran
    menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut sebuah istana
    kecil berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal Pat‐jiu Kai‐ong,
    Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat‐jiu Kaipang di lereng Hengsan! Patjiu
    kai‐ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia
    masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu
    butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan
    gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja
    pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai
    seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan
    keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit. Di
    waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis elaperan yang
    berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan
    pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang‐senang makan minum
    dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya
    yang muda‐muda, cantik dan genit. Pat‐jiu Kai‐ong tinggal tinggal didalam
    istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi
    sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya, lima orang
    pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan pengawalpengawalnya.
    Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh‐tokoh dalam patjiu
    Kai‐pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau
    juga murid‐murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu
    melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di
    dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka. Adapun Pat‐jiu Kaipang
    mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota‐kota.
    Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama
    besar Kai‐ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangansumbangan
    yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka
    setorkan kepada Pat‐jiu kai‐ong. Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya
    raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain
    pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili
    ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi setoran! Patjiu
    Kai‐ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya
    di Heng‐san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi
    meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu. Kurang lebih
    sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin‐tong Si Anak Ajaib
    karena dia pada waktu itu ingin cepat‐cepat menyempurnakan ilmu yang
    sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat‐ciang‐hoatsut (Ilmu Sihir
    Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu
    dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna. Akan tetapi karena
    seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin‐tong dibawa pergi oleh
    pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan
    orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini
    dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi
    sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan

  4. #138

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 137
    seorang bocah! Pada suatu hari , pagi‐pagi sekali, selagi Pat‐jiu Kai‐ong
    seperti biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian
    sebagai seorang pengemis berjalan‐jalan di dalam taman bunga di belakang
    istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi
    masih tebal, tiba‐tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan
    melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja
    Pengemis. "Hemm, siapakah pagi‐pagi begini sudah datang menggangguku?"
    Pat‐jiu Kai‐ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa
    penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan
    terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah
    seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang
    muda tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu
    mengaku sebagai seorang "sahabat lama." Ketika dia keluar membawa
    tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat‐jiu Kai‐ong
    memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan
    pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain
    menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik, pemudanya berusia
    kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas
    tahun. Sampai lama pandang mata Pat‐jiu Kai‐ong melekat kepada dua orang
    muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan
    andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan
    mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu
    tertawa bergelak. "Ha‐ha‐ha‐ha! Pat‐jiu Kai‐ong kurasa engkau belum begitu
    pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan
    Swi Nio, ha‐ha‐ha! Akan tetapi Pat‐jiu Kai‐ong mengerutkan alisnya, sama
    sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata
    terheran kepada laki‐laki yang berdiri di depannya, seorang laki‐laki berusia
    kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning,
    dengan kepala yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut yang
    berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi. "Wah, Pat‐jiu Kai‐ong, benarbenar
    engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?"
    "Ahhhh...!" Pat‐jiu Kai‐ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat
    membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang?
    maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal
    sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini
    kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan
    lucu serta berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang
    dahulu menantang pibu kepadaku. Ha‐ha‐ha!" Dara berusia lima belas tahun
    yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap
    Pangcu sudi memaafkan saya." "Aih‐aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang
    mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!" "Ha‐ha‐ha, Pangcu. Bukankah
    engkau memang Ketua dari Pat‐jiu Kai‐pang? Mengapa tidak mau disebut
    Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata. "Wah, jangan berkelabar. Anakanak
    yang baik, sebut saja aku paman. marilah masuk, kita bicara di dalam."
    Pat‐jiu‐kai‐ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul. "lekas

  5. #139

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 138
    beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang
    baik untuk tamuku yang terhormat, Lu‐san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan
    dua orang putera‐puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat‐jiu‐kai‐ong
    menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawatawa mereka memasuki
    istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursikursi
    yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi
    keindahan ruangan itu, Lu‐san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama
    sudah aku mendengar bahwa Pat‐jiu‐kai‐ong tinggal disebuah istana yang
    megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar.
    Hebat sekali!" Sejak tadi Pat‐jiu‐kai‐ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi
    itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik
    jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha‐ha, kau terlalu memuji,
    sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan
    meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang
    penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."
    Kedua orang tua ini lalu bercakap‐cakap dengan gembira membicarakan
    masa lampau. Siapakah kakek ini? Dia adalah Lu‐san Lojin, seorang ahli silat
    dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan
    dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke
    puncak Lu‐san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng
    putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin‐tong,
    dalam kekecewaannya Pat‐jiu Kai‐ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan,
    menculik dan membunuhi bocah‐bocah yang dianggapnya cukup sehat.
    Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu‐san, dia berada dalam keadaan
    keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh
    anak laki‐laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum
    mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri
    dengan ilmu hitam Hiat‐ciang Hoat‐sut. Karena hatinya yang penasaran
    mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin‐tong,
    maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu
    hitam itu, dia terlampau terburu‐buru dan akibatnya, hawa mujijat dari ilmu
    itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia
    terhuyung‐huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lusan.
    Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya
    maut maka hatinya menjadi khawatir sekali. Kebetulan baginya, pada saat itu
    keadaannya terlihat oleh Lu‐san Lojin yang sedang turun gunung bersama
    putera‐puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun,
    sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu‐san Lojin cepat menolong Patjiu
    Kai‐ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum
    bahwa Pat‐jiu Kai‐ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang
    ini naik ke puncak Lu‐san. Di situ Pat‐jiu Kai‐ong diobati Lu‐san Lojin sampai
    sembuh . Selama satu bulan berada di Lu‐san, raja pengemis ini menerima
    perawatan yang amat baik dari Lu‐san Lojin, maka dia merasa berterima
    kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat
    baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena

  6. #140

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 139
    kebaikan hati Lu‐san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang
    anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk
    mengganggu anak laki‐laki itu. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang
    ditolongnya adalah Pat‐jiu kai‐ong ketua Pat‐jiu kai‐pang, Lusan Lojin
    terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang
    namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah
    sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling
    mengunjungi dan saling membantu. "Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak
    mengenal budi," setelah makan minum Pat‐jiu Kai‐ong berkata kepada
    tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu‐san,
    bukan kalian yang jauhjauh datang mengunjungi aku." "Ahhh, mengapa kau
    menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masingmasing
    sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya
    kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng‐san, maka aku teringat
    kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati Pegunungan
    Hengsan mencarimu." "Terima kasih, engkau baik sekali, Lu‐san Lojin. Akan
    tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?" Lu‐asn
    Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, memandang
    puterinya seolah‐olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya
    kepada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat‐jiu
    Kai‐ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara
    sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui
    urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya . "Kami baru
    saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata siasia
    belaka perjalanan kami untuk mencari Tee‐tok Siangkoan Houw." "Teetok
    Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari racun bumi itu,
    Lu‐san Lojin?" "Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil,
    antara Tee‐tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan
    puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.
    Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee‐tok
    sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya,
    namun selalu sia‐sia. Akhir‐akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di
    Lokyang, akan tetapi setelah jauh‐jauh kami bertiga mencarinya di sana,
    ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih
    selalu aneh dan penuh rahasia." JILID 9 "Ha‐ha‐ha, ala salahmu sendiri!
    mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee‐tok?" "Pat‐jiu
    Kai‐ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami
    mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka
    menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee‐tok Siangkoan Houw."
    "Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya,
    dan kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa‐gesa pulang." Lu‐san Lojin
    menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami
    hanya dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi‐pagi kami harus
    melanjutkan perjalanan." "Semalaman cukuplah, Biar kupergunakan untuk
    menjamu kalian sepuas hatiku." Tiba‐tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar

  7. #141

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 140
    istana raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi
    Kai‐ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut. "Ada apa? mau apa
    kalian mengganggu kami?" Kai‐ong membentak marah dan menurunkan
    cawan araknya keras‐keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
    "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada
    peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua." "Apa yang
    terjadi? Hayo cepat ceritakan." Dengan wajah ketakutan, seorang di antara
    dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi di luar
    istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar
    dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat‐jiu Kaiong.
    Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam jago dan
    kadang‐kadang mengadunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan
    memandikan dan memberi makan ayam jago itu, dan memuji‐mujinya
    sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba‐tiba ayam jago itu
    menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati,
    dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata adalah
    sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya.
    "Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada
    bayangan seorang pun manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat
    menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago
    dan...." "Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh
    orang. "Kalian ***** semua! Mana kain yang ada tulisan itu!" Kepala pengawal
    yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan
    sehelai kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan hurufhuruf
    kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda‐noda darah, darah ayam
    jago tadi. Akan tetapi Pat‐jiu Kai‐ong yang menerima kain itu, sejenak
    menjadi bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia
    buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu
    kepada Lu‐san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!" Lu‐san
    Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya
    memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa
    artinya ini?" "Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat‐jiu Kai‐ong bertanya,
    suaranya membentak. Lu‐san Lojin lalu membaca huruf‐huruf itu. Malam ini,
    semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat‐jiu Kai‐ong dari binatang
    sampai manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es. "Ratu Pulau Es...?" Patjiu
    Kai‐ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak mengenalnya. Hai pelawak dari
    manakah yang main‐main seperti ini? Ha‐ha‐ha, biar dia datang hendak
    kulihat magaimana macamnya!" "Kai‐ong, harap jangan main‐main. Biarpun
    hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya
    penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi dahulu yang
    terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...." "Ha‐ha‐ha, siapa perduli?
    Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah
    mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak
    membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He,
    pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?" Dua orang pengawal itu

  8. #142

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 141
    mengangguk. "Sudah Pangcu." "Apa kalian takut?" "Ti... tidak, Pangcu, Hanya...
    hanya amat aneh itu..." "Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua
    belas orang melakukan penjagaan yang ketat terutama malam ini. Kita jangan
    mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia
    dan kita permainkan dia, ha‐ha‐ha!" "Kai‐ong harap hati‐hati...." kata Lu‐san
    Lojin setelah para pengawal itu keluar dari ruangan itu. "Ha‐ha‐ha, mengapa
    khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang datang,
    setelah kini Hiat‐ciang Hoat‐sut kulatih sempurna, aku takut apa?" Kakek dari
    Lu‐san itu kelihatan ragu‐ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia
    takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama dua orang
    anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap‐cakap sampai
    lewat tengah hari. Kemudian mereka dipersilahkan mengaso sejenak dalam
    kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan
    makan minum lagi. Sekali ini mereka benar‐benar takjub. Melihat Pat‐jiu Kaiong
    kini bertukar pakaian, pakaian malam yang indah dan mewah!
    Mengignat betapa siang tadi Kai‐ong merupakan seorang pengemis yang
    berpakaian butut, dan kini seperti seorang raja, benar‐benar membuat Lusan
    Loji hampit tertawa, seperti melihat seorang badut pemain lenong! Dan
    hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap
    daripada siang tadi! "Ha‐ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai
    kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah
    hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat‐jiu Kai‐ong
    mengusap‐ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut,
    matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu
    dia berkata, kata‐kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para
    tamunya dan yang membuat mereka terkejut setengah mati, "Lu‐san Loji,
    sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang
    hendak mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan
    tampan gagah, biarlah mereka berdua besenang‐senang dengan aku dalam
    kamarku, ha‐ha‐ha!" "Kai‐ong!" Lu‐san Lojin membentak. "Apa... maksud
    kata‐katamu ini?" Pat‐jiu Kai‐ong memandang tamunya sambil tersenyum
    lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik
    jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka
    bedua bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung
    dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan mereka, tidur‐tiduran
    dengan mereka sejenak." "Kai‐ong, apa kau gila??" Lu‐san Lojin hampir tidak
    dapat percaya akan pendengaranya sendiri. "Eh, mengapa? Apa salahnya aku
    tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh‐heh, tak tahan aku melihat
    puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan
    ganteng ini. Anak‐anak baik, marilah kalian layani pamanmu..." "*******!"
    Lu‐san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang berada di
    belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat‐jiu Kai‐ong!
    Harap kau jangan main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu
    ini. Mau apa engkau dengan anak‐anakku?" "Ha‐ha‐ha! Siapa main gila?
    Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa‐apa di sini. Akan tetapi

  9. #143

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 142
    begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh ayamku dan
    mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu?
    Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat‐jiu Kai‐ong tidak pernah menyianyiakan
    kecantikan seorang dara remaja seperti putermu ini dan puteramu
    yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan
    sumsum yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat‐ciang
    Hoat‐sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang
    berani datang!" "Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang
    busuk!" Lu‐san Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya.
    Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai bekas murid Hoasanpai
    yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil
    renungannya di waktu bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat,
    mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya hanya
    dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat‐jiu
    Kai‐ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi Kai‐ong yang
    amat lihai. Sambil tertawa, Kai‐ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang
    lebar dua kali dan kakek Lu‐san itu terpaksa harus menarik kembali kedua
    tanganya karena dari kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang
    diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung
    lengan baju itu! dua orang naknya yang sudah marah sekali karena merasa
    dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang mereka. Swi Liang
    menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan
    dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher. "Ha‐ha, bagus!
    Kalian benar‐benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap seolaholah
    tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu
    menyambar dekat, tiba‐tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang
    pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak tangan! Swi Liang dan Swi
    Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang
    mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan
    tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat‐jiu Kaiong.
    Namun usaha mereka ini sia‐sia belaka, pedang mereka tak dapat
    dicabut, seolah‐olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat. "Manusia tak
    kenal budi!" "wirrrr... tar‐tar!" Pat‐jiu Kai‐ong merasa terkejut melihat
    menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu‐san Lojin melolos
    sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai
    senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan
    memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk
    lemas di tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi
    sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya. "Krekkkrekkk!"
    dua batang pedang itu patah‐patah dalam cengkraman Pat‐jiu Kaiong
    dan sambil melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk,
    raja pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke
    arah Lu‐san Lojin. "Trang‐tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar
    ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat pinggang) dan kini Lu‐san
    Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa.

  10. #144

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 143
    Sedangkan kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di
    pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan
    begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya
    dan tidak berguna membantu ayah mereka. Pada saat itu, muncullah empat
    orang pengawal yang mendengar suara ribut‐ribut. Melihat mereka, Pat‐jiu
    Kai‐ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai
    mereka!" Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak
    menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan
    sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi,
    namun empat orang pengawal itu pun merupakan murid‐murid terpandai
    dari Pat‐jiu Kai‐ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan
    tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat ditotok dan
    roboh dan lumpuh. Ha‐ha‐ha, belenggu kaki tangan mereka baik‐baik...
    kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha‐ ha!" Pat‐jiu Kai‐ong
    tertawa sambil menyambar tongkatnya. Setelah dia bertongkat, maka kini dia
    menghadapi Lu‐san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek dari Lu‐san itu marah
    bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia
    mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat‐jiu Kai‐ong
    menghadangnya sambil tertawa‐tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya
    sehingga terpaksa kakek Lu‐san itu melayaninya bertanding. Pertandingan
    yang amat seru dan diam‐diam Pat‐jiu Kai‐ong harus mengaku bahwa ilmu
    kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat. "Pat‐jiu Kaiong,
    benar‐benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan
    nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu‐san
    Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya. "Ha‐haha,
    dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian
    datang dengan niat buruk!" "Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut
    pautnya dengan si pembunuh ayam!" "Ha‐ha‐ha, Lu‐san Lojin! Kalian
    menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan ***** itu
    bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat‐jiu Kai‐ong
    menyambar ganas. "Plak‐plakk!" Ujung sabuk kakek Lu‐san menangkis dua
    kali akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa
    tenaga Si Raja Pengemis itu benar‐benar amat kuat. "Pat‐jiu Kai‐ong, kau
    salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang.
    Lepaskan kedua anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi
    musuh gelap itu." "Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu‐san Lojin,
    dengan baik‐baik. Aku tergila‐gila melihat anakanakmu. Pinjamkan mereka
    kepadaku untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh,
    baru aku akan membebaskan kalian." "Iblis busuk!" Lu‐san Lojin marah
    sekali dan dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk
    melawan raja pengemis ini karena dia maklum bahwa betapapun juga hati
    yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu‐satunya jalan
    untuk menolong anak‐anaknya adalah melawan mati‐matian. "Plakkk!" Tibatiba
    ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas
    senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata

  11. #145

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 144
    lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat‐jiu Kai‐ong untuk
    menggerakan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.
    Lu‐san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti
    tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat‐ciang
    Hoat‐sut dari raja pengemis itu, namun dia pernah mendengar akan hal ini,
    tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak
    dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan
    senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat‐jiu Kai‐ong, apalagi tanpa
    senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut
    pukulan itu. "Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan
    akibatnya tubuh Lu‐san Lojin terjengkang dan terbanting ke atas lantai,
    mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik. Kakek ini
    pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah! "Lempar dia di kamar
    tahanan!" Pat‐jiu Kai‐ong berkata sambil tertawa. Setelah tubuh kakek yang
    pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat‐jiu Kai‐ong
    menghampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar
    guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa‐tawa dia
    memasuki kamarnya. Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang
    di atas pembaringan Pat‐jiu Kai‐ong yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu
    kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk sambil
    tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh
    kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio memandang dengan mata terbelalak
    ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat‐jiu Kai‐ong menghampiri
    pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi
    Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan menangis dan kau
    jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang‐senang sepuas hati
    setelah kami menangkan musuh gelap yang mengancam." Dia menengok ke
    arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga baik‐ baik
    jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa‐apa, cepat berteriak
    memanggil para pengawal. Mengerti?" Lima orang selir itu mengangguk dan
    kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh ayam
    jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh,
    tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang‐senang dengan dua orang
    muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang
    pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia
    harus berhati‐hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan
    benar‐benar aman barulah dia boleh bersenag‐senang. Dia belum yakin
    benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu‐san Lojin dan
    kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga
    orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus
    berhati‐hati, maklum bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau
    Lu‐san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andaikata
    tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita
    dan tampan itu? Pat‐jiu Kai‐ong duduk lagi di ruangan tadi sambil
    melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas orang

  12. #146

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 145
    pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia
    tertawa keras‐keras mengusir kesunyian malam yang mendatangkan
    perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh
    ayam itu tidak perlu ditakuti. Andaikata dia mampu mengalahkan dua belas
    orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiatciang
    Hoat‐sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat
    diandalkan. Tadipun, hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja,
    ilmu itu telah merobohkan Lu‐san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak takut!"
    serunya kuat‐kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es *******! Ha‐ha‐ha!"
    Para pelayan sudah menyalakan lampu‐lampu penerangan dan atas perintah
    para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
    keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para
    pelayan membersihkan meja di ruangan itu, dan sekali lagi memanggil kepala
    pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan
    perondaan bergilir, Pat‐jiu Kai‐ong lalu duduk bersila di dalam ruangan itu
    untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam pendengarannya sehingga
    biarpun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan
    meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap
    semua suara yang tidak wajar di luar istana. Malam makin larut dan keadaan
    sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari
    para pengawal, dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar seseorang
    di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling pandang
    dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam kamar
    Pat‐jiu Kai‐ong, agar terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan
    itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa‐malu‐malu membelai pemuda
    itu, memegang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya.
    Akan tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani
    mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan
    dengan teliti dan hati‐hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka
    melakukan penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
    Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat‐jiu Kai‐ong.
    Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan
    lebih tertib dan rapi pula. dia merasa tersiksa dan diam‐diam dia memaki
    musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya
    seberat mungkin! Tiba‐tiba terdengar suara jeritan susul‐menyusul yang
    datangnya dari dalam kamarnya! Pat‐jiu Kai‐ong cepat melompat dan hanya
    dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam
    kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan gugup
    dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang tadi terbelenggu di atas
    pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di
    atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas!
    "Apa yang terjadi? *******, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
    Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka
    bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... *****...., hanya tampak bayangan
    berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua... tahutahu telah

  13. #147

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 146
    lenyap..." "T0lol!!" Pat‐jiu Kai‐ong berkelebat keluar melalui jendela kamar
    yang terbuka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para
    pengawal di luar istana, namun dia tidak melihat jejek dua orang tawanan
    yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat orang masuk?" Bentaknya kepada para
    pengawal. "Tidak ada, Pangcu." "Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua
    orang tawanan itu lenyap?" Kagetlah para pengawal itu dan Pat‐jiu Kai‐ong,
    dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam
    istana. Mula‐mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu‐san Lojin dan dua orang
    anaknya itu benar‐benar mempunyai kawan‐kawan di luar, buktinya kedua
    orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam
    kamar tahanan, Lu‐san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai! "Cepat
    lakukan penjagaan tadi. Tutupsemua jalan masuk! Bagi‐bagi tenaga!" Pat‐jiu
    Kai‐ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya
    bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang
    musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu. Setelah sekali lagi memeriksa
    sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada lubang
    yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan
    keyakinan bahwa tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, Pat‐jiu Kaiong
    kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar.
    Malam telah makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai
    memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada dengan menculik dua orang
    tawannan itu secara aneh. Biarpun lima orang selirnya bukan ahli‐ahli silat
    tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik
    pemudapemudi itu di depan hidung mereka, sungguh merupakan hal yang
    amat aneh! Pat‐jiu Kai‐ong bergidik dan membalik‐balik gudang ingatan di
    dalam otaknya. Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan ratunya, dengan
    penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti
    Ong ketika memperebutkan Sin‐tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu
    dia pun tidak tahu. Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap
    permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit hati itu
    seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang
    telah berhasil menangkan perebutan atas diri Sin‐tong! Mengapa kini muncul
    tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah yang
    bermain‐main dengan dia? Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya
    membunuh ayam, dapat dipastikan bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri
    seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang
    secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu
    saja banyak, dan di antara mereka, yang paling menonjol adalah Kiam‐mo
    Cai‐li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya? "Ha‐ha‐ha!"
    Dia tertawa keras‐keras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut?
    Andaikata Kia‐mo Cai‐li sendiri yang datang, diapun tidak takut! Dan
    siapakah lain wanita di dunia Kang‐ouw yang lebih mengerikan daripada
    Kiam‐mo Cai‐li? "Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat
    persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat‐jiu Kai‐ong tidak takut kepada siapa
    pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha‐ha

  14. #148

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 147
    ha‐ha!" Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Patjiu
    Kai‐ong berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang
    tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai
    sambutan atas tantangannya, tiba‐tiba terdengar suara ayam jagonya yang
    berada di belakang, di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali! "Ha‐ha‐ha!"
    Pat‐jiu Kai‐ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab, akan
    tetapi tiba‐tiba dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu
    berhenti setengah jalan dan terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan!
    Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam‐ayam betina di dalam
    kandang, seolah‐olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi
    suara berkotek ini pun berhenti setengah jalan dan bekali‐kali terdengar
    suara "ko" suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
    "*******...!!" Pat‐jiu Kai‐ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah
    meloncat keluar dan langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan
    dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu.
    Kini dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga
    memeriksa kandang dan di bawah sinar obor tampaklah oleh mereka bahwa
    dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah
    tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana‐mana, membuat
    lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan. "Jahanam...!" Patjiu
    Kai‐ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca
    memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin
    berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan. "Ngeooonggg...!" Suara
    kucing yang tiba‐tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget
    dan memandang ke atas genting. Si Putih satu‐satunya kucing peliharan di
    gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng, seolah‐olah
    menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya terhenti tiba‐tiba
    dan Pat‐jiu Kai‐ong cepat melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas
    genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal yang membawa obor
    mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang
    baru saja mengeong tadi! "Jahanam...!" Pat‐jiu Kai‐ong memaki untuk kedua
    kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti oleh dua orang
    pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam
    ketika dia meloncat ke atas genting membuktikan bahwa pengawal itu sudah
    memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya termangumangu
    di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun.
    Keadaan sunyi. Sunyi ekali, terlampau sunyi seolah‐olsh gedung itu telah
    berubah menjadi tanah kuburan! "Hung‐hung! Huk‐huk‐huk...!!" Riuhlah
    suara tiga ekor anjng peliharaan gedung itu menggonggong dan menyalaknyalak
    di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan mereka, apalagi
    suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba‐tiba ditutup dengan
    suara "kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi
    kembali, lebih sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan ******‐******
    itu. "Bedebah...!" Pat‐jiu Kai‐ong melompat dari atas genting, tidak dapat
    disusul oleh dua orang pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja

  15. #149

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 148
    dia sudah tiba di sebelah kanan gedungnya, di kandang ******. Seperti sudah
    dikhawatirkannya, tiga ekor ****** itu sudah menggeletak mati dengan leher
    hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang
    pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan mereka saling pandang dengan
    muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat‐jiu Kai‐ong suara Lusan
    Lojin ketika membacakan isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang
    tinggal di rumah Pat‐jiu Kai‐ong, dari binatang sampai manusia, akan
    kubasmi habis!" Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan ******,
    sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat
    akan ini, Pat‐jiu Kai‐ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar "Cepat,
    semua berkumpul denganku di dalam gedung...!" Tiba‐tiba mereka
    dikejutkan oleh jeritan‐jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu.
    Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka
    dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di
    atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat‐jiu
    Kai‐ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah
    tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar
    darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang
    kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu adalah
    tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu
    sampai garis‐garisnya tampak! "Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
    Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung.
    Mereka kembali berlari‐lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal
    lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang
    korban pertama. Segera tersusul pula pekik‐pekik mengerikan itu dari
    belakang gedung. Pat‐jiu Kai‐ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk
    pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang
    pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, presis
    seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah
    tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan
    tetapi kematian mereka susul menyusul begitu cepatnya, seolah‐olah banyak
    musuh yang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak
    menyataakan sesuatu, Pat‐jiu Kai‐ong maklum bahwa tanda dari jari tangan
    itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya
    satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga
    para pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.
    Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka
    mereka, Pat‐jiu Kai‐ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul
    kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih. Dia berteriak
    memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat‐jiu Kai ong!"
    Setelah dia mengeluarkan kata‐kata ini dengan suara nyaring, keadaan
    menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn menyeramkan,
    seolah‐olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut iblis
    menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Patjiu
    Kai‐ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang

  16. #150

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 149
    dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang
    dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi
    ketua Pat‐jiu Kai‐pang yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang
    banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang
    ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat
    namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa
    bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil
    meruncing! "Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang
    pengawalnya yang diam‐diam telah kehilangan separuh dari nyali mereka.
    "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
    berjalan‐jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat
    melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!" Setelah berkata
    demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat‐jiu Kaiong
    melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai.
    Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing‐masing telah mencabut
    senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang
    ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga
    sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata mereka
    memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara.
    Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu. Tiba‐tiba Pat‐jiu Kai‐ong melihat
    sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon! Celaka pikirnya. Kiranya
    si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung.
    Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahutahu
    telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakan
    senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat‐jiu Kai‐ong betapa tiga buah
    senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena
    dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya
    hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan! "Hik‐hikhik!"
    Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat‐jiu Kai‐ong berdiri dan dia
    melihat sinar‐sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari,
    melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena
    punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing‐masing! "*******
    jangan lari kau!" Pat‐jiu Kai‐ong sudah melayang turun dan tongkatnya sudah
    diputar‐putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu!
    Pat‐jiu Kai‐ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan
    sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya.
    Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya
    dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup
    mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik
    masing‐masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga
    buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari
    jarak yang cukup jauh, tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari.
    Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu
    Mendadak Pat‐jiu Kai‐ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya
    dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua.

Page 10 of 28 FirstFirst ... 6789101112131420 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •