buat para forumer disini baca aja yah no komentar duduk diem dan baca. kalo suka dan ada masukan vm atau pm gua aja tq
buat para forumer disini baca aja yah no komentar duduk diem dan baca. kalo suka dan ada masukan vm atau pm gua aja tq
Last edited by jkt-Alexis4Play; 06-04-15 at 23:25.
The Following User Says Thank You to jkt-Alexis4Play For This Useful Post: | ||
BU KEK SIAN SU
PART 1
Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng Hoa
San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang
kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumputrumput
yang hampir lumpuh oleh embun, pohon‐pohon yang lenyap ditelan
kegelapan malam, bunga‐bunga yang menderita semalaman oleh hawa
dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan,
penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya
raja kehidupan itu, meninggalkan butiran‐butiran embun yang kini menjadi
penghias ujung‐ujung daun dan rumput membuat bunga‐bunga yang
beraneka warna itu seperti dara‐dara muda jelita sehabis mandi, segar dan
berseri‐seri. Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan
ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat
cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah‐celah daun dan ranting
sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang‐bayang
pohon meluncur ke bawah, disana sini bertemu dengan pantulan air
membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh
segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru.
Indah! Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa,
keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun
andaikata dilihatnya setiap hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan
dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula‐mula
membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan
nyaring sekali, kokok yang tiba‐tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari
beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung
yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah
selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan‐gerakan
hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahutmenyahut,
bermacam‐macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun
kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk
menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut‐sahutan itu
merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang
ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara
burung‐burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di
antara jarak suara‐suara itu.
Anak laki‐laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya.
Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di
hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah ada
setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerakgerak,
mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti
PART 2
biasa mata kanak‐kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di
antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis‐garis
lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak‐anak lain dengan
bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya
itulah yang jarang terdapat pada anak‐anak dan membuat dia menjadi
seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya
sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar‐sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi
melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur,
bola merah yang amat besar dan yang mula‐mula merupakan pemandangan
yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak
kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan
berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa
cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari
puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung. Anak itu lalu
menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak
tergesa‐gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu
bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali
dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri
sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus,
kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa
diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak.
Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi
cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi
peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang
bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan
purnama selama tujuh malam, kadang‐kadang sampai lupa diri dan duduk
bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah
hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak
barat.
Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula penduduk di sekitar
Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah
nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain‐lain
sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia
sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah
menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang‐orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng
dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada
sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
penyakit dengan memberi daun‐daun, buah‐buah, dan akar‐akar obat yang
PART 3
benarbenar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit
datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu
tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan
inilah yang benar‐benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan
tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga‐bunga indah, terutama
sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan
hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu
menolak kalau diberi uang! Maka berduyun‐duyun orang dusun datang
kepadanya dan diam‐diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai
dewa yang menjelma menjadi seorang anak‐anak yang menolong dusundusun
itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular,
penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah
ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar‐akar tertentu yang
harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak
tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan. Ketika
orang‐orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian
baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan
terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan
tetapi tidak ada kata‐kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orangorang
dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan
"dusun". Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan
Seribu Bunga seorang diri saja itu?
Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang
anak‐anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para
penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang
dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi anak‐anak
dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang
dipercaya oleh orang‐orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka
akan yang ajaib‐ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari
Keluarga Kwa di kota Kun‐Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur
Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin
Liong(Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya,
ibunya mimpi melihat seekor nama beterbangan di angkasa diantara awanawan.
Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya
di kota Kun‐leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika
malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang
penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan
tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki
mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah‐bunda
Sin Liong dengan bacokan‐bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia
lima tahun dan di tempat remang‐remang itu melihat betapa ayah‐bundanya
dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat
berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu,
PART 4
matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga
orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka
terutama sibuk mengumpulkan barang‐barang berharga dan mereka itu juga
panik, ingin lekas‐lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan
dan nyonya rumah. Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin
Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu
terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua
pintu dibuka, semua laki‐laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak
dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan‐buntalan besar,
segera terdengar teriakan "maling‐maling!" dan orang‐orang itu mengurung
tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang
dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami‐isteri itu tewas
dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang
tuanya, memeluki mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu penuh
dengan darah ayahbundanya. "Pembunuh! Mereka membunuh keluarga
Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan
berteriak‐teriak "Manusia kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja
mereka!" "Tubuh suami‐istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang
itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana
mereka itu, maling‐maling biassa, mampu menahan serbuan puluhan bahkan
ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak laki‐laki itu, ketika
pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya
penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar
seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu
terbelalak memandang penuh kengerian.Dia berdiri di depan pintu
rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan
rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti
sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi,
para pembunuh ayah‐bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri‐pencuri
itu mengaduh‐aduh merintih‐rintih, minta‐minta ampun dan terdengar pula
suara bak‐bik‐buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka.
Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah
muncrat‐muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar
dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang‐orang yang marah dan haus
darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik
dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh
mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya
onggokan‐onggokan daging hancur dan tulang‐tulang patah!. Ketika semua
orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka,
menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki
rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang
PART 5
baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya
dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan
disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka‐luka dihatinya makin banyak dan dia
tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang‐orang itu semua seperti
wajah iblis, dengan mata bernyala‐nyalapenuh kebencian dan dendam,
penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah‐olah tampak
taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap
darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah‐olah tampak taring dan gigi
meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa
ngeri, merasa seolah‐olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil
menangis tersedu‐sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu,
meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun‐leng, terus berlari ke arah
pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan,
seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran
iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai
pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk‐saruk di kaki
Pegunungan Jeng‐hoa‐san, kadang‐kadang tersandung kakinya dan jatuh
menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung‐huyung dan akhirnya,
pada keesokan harinya, pagi‐pagi dia terguling roboh pingsan di dalam
sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Setelah
siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan
beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena
kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki
pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buahbuahan
dan makan daun‐daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit
sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sin
Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat
yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat
akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia
telah menyaksikan kekejaman‐kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya
kekejaman orang‐orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang
memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan
tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga
orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan
kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia
merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan.
Mula‐mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena
PART 6
ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran
darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika
dia tiba di hutan Jeng‐hoa‐san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya
ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci
pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya
keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula‐mula memang dia tidak
ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan
"Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu
Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon
peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar
untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan
hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang
amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa
harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak
kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis
ludes sama sekali! Dengan alas an "mengamankan" barang‐barang berharga
dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka
ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi
perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu.
Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang
dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga
dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh
tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian
dengan sengaja dan terang‐terangan mereka itu adalah pencuri, tidak
berselubung apa‐apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orangorang
yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah
atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah
pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat
takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri
biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena
telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal
seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli
pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin
Liong tahu akan daun‐daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya
mencari daundaun obat di gunung‐gunung. Setelah kini dia hidup seorang
diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan
pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini,
dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan
mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun
itu, dengan pakaian cabik‐cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit
dan dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini
PART 7
pula dia dapat memilih daun‐daun dan akar‐akar obat, bukan dari
pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu
lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat
mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar
serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya
amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja
dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun,
bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata‐kata orang bahwa
pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata‐kata itu baru terbukti
kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang
dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa
kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk
mempelajari khasiat bunga‐bunga dan daun‐daun yang banyak sekali
macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat tumbuh‐tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi
makanan sehari‐hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam,
kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa
hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang
menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga
orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni,
kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan‐kepalsuan, tidak
melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka
terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga
dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi,
betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada
yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi
cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar
bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap
inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih,
tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar
kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali
memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang‐kadang dadanya,
Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar,
kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya
angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga,
daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar
matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari‐hari, selain mencangkok,
memperbanyak dan menanam tanaman‐tanaman yang berkhasiat.
PART 8
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan
obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang‐ouw yang kasar
dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua,
tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa lukaluka
dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang
berturut‐turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang lakilaki
setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia
datang terpincangpincang karena pahanya terluka hebat, luka yang
membengkak dan menghitam. "Sin‐tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di
depan gua dimana Sin Liong duduk dan memotong‐motong akar basah
dengan sebuah pisau kecil, laki‐laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi
besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin Liong mengerutkan
alisnya. Di antara orang‐orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka
melihat orang kang‐ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata
yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk
mengobati mereka, bahkan diam‐diam dia menilai mereka itu sebagai orangorang
yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling
bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusiamanusia
yang patut dikasihani karena tidak mengenai apa artinya
ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan
ketenangan dan kebahagiaan. "Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang
lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang
keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar,
benar sekali, Sin‐tong. Aku adalah Sin‐hek‐houw (Macan Hitam Sakti) yang
dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku
menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan
celakanya, pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak
segera menolongku, aku akan mati, Sin‐tong." Sin Liong tidak berkata apaapa
lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka
mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam,
luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh
kaki terasa panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
"Lo‐enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain,
saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau dating
kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan
orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya
melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak
kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah‐olah
anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci! "Sintong,
aku adalah Sin‐hek‐houw, dan jangan kau menyebut Lo‐enghiong
(Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah
kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok
orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu
orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku
tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai
PART 9
orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan
akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek
yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya
pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan
berterima kasih kepadamu, Sin‐tong dan akan mengabarkan sesuatu yang
amat penting bagimu". "Lo‐enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih
dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu
tumbuh di sini begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti
untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas
dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan
kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat
seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan, Untuk
mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya
luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh
darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Loenghiong?"
Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia
kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap
ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin‐tong, anak ajaib! Maka dia lalu
menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong
memejamkan matanya. Terbayan kembali tiga batang golok yang membacoki
tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh
tiga orang pencuri itu. Sin‐hek‐houw menggunakan ujung goloknya untuk
menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan
tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan
siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin‐hek‐houw melemparkan goloknya dan
menggunakan kedua tangannya memijit‐mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin
Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat
sehingga darah makin banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat
orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan
rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuatbuat
dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin
terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian
bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur
bubukan itu ke dalam luka yang mengangga. "Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek
itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri
seperti ada puluhan ekor lebah menyengat‐nyengat bagian yang terluka itu.
"Harap kaupertahankan, Lo‐enghiong sebentar juga akan hilang rasa
nyerinya. Jangan lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan
ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."
Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang
sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian
ditutupnya luka itu dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu
makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang
itu menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo‐enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum.
PART 10
Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu.
Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh.
Obat bubuk dan daun‐daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali,
kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong
berkata sambil membungkus obat‐obat itu dengan sehelai daun yang lebar
dan menyerahkannya kepada Sin‐hek‐houw. Orang kasar itu menerima
bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang. "Kalau saja aku dapat
mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau,
kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin‐tong dan aku
tidak dapat membalas apa‐apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau
terancam bahaya besar". Sin Liong mengangkat muka memandang wajah
berkulit hitam itu dengan heran. "Sin‐tong, dunia kang‐ouw telah geger
dengan namamu. Orang‐orang kang‐ouw, termasuk aku, yang telah
menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang‐ouw dan
terjadilah geger karena nama Sin‐tong menjadi kembang bibir setiap orang
kang‐ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu
penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak partai dan orangorang
gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu menjadi
anggota mereka atau menjadi murid orang‐orang kang‐ouw yang terkenal.
Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi
maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan,
melainkan maksud keji terhadap dirimu." Sin liong mengerutkan alisnya,
sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat
buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo‐eng‐hiong, aku hanya seorang
anak kecil yang tidak tahu apa‐apa, tidak mempunyai permusuhan dengan
siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?" Kakek itu
memandang terharu. "Ahh...kau benar‐benar seorang yang aneh dan bersih
hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan
seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku,
melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah
ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin‐hek‐houw
menggiggil dan kelihatan jerih sekali. "Siapakah mereka dan apa yang
mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia kang‐ouw, banyak terdapat golongan
sesat, manusia‐manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi
dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor
harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang
seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin
yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat‐Jiu Kai‐pang, seorang
yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim
menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah
engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin‐tong." "Hemmm, kurasa
seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti
aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo‐eng‐hiong!" "Tidak aneh
kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati
PART 11
dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi
iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada
yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum
dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan
perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan
kelemah‐lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya,
watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri." "Lo‐enghiong, harap
saja Lo‐enghiong tidak memburuk‐burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak
percaya." Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah
memberi peringatan kepadamu Sin‐tong. Dan kalau kau mau, marilah kau
ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang
tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku
mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng‐hoa‐san
mencarimu." Namun Sin Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh
penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana‐mana, Lo‐enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudahmudahan
saja benar‐benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan
lebih‐lebih lagi mudah‐mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini,
sehingga kalau kau benar‐benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah
mencari obat. Selamat tinggal,Sin‐tong dan sekali lagi terima kasih." "Selamat
jalan, Lo‐enghiong, semoga lekas sembuh." Orang itu berjalan menyeret
kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
"Benarbenarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sintong?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab. "Sintong,
siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku disebut Sin‐tong, biarpun
aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau
mengenalku sebagai Sin‐tong, itulah namaku." Sin‐hek‐houw menggeleng
kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng‐geleng dan
mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal
tinju, seolah‐olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah
yang dikaguminya itu. Beberapa hari kemudian semenjak Sin‐hek‐houw
datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang datang
membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang‐ouw tentang
dirinya. Bermacam‐macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang
ancaman dan lain‐lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil
peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah
gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang
didengarnya itu. Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki
Pegunungan Jeng‐hoa‐san tampak berjalan eorang kakek seorang diri,
menoleh ke kanan dan kiri seolah‐olah menikmati pemandangan alam di
sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun,
tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya
membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu
menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan‐lahan
memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng‐hoa‐san, langkahnya
PART 12
dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam,
agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti
besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba
kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa
kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan
hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung‐burung,
kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata‐kata
dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya
mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran
kebatinan umumnya! "Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya
hidup Kalau segala keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari
ilmu Bekal memenuhi segala kehendak Berenang dalam lautan kesenangan
Matipun tidak penasaran! Berkali‐kali pengemis ini bernyanyi dengan katakata
yang itu‐itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi
dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau
kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat
lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan
jejak seolah‐olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat
jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu
sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan
bekas. Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak
berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit
itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang laki‐laki dari usia tiga puluh sampai
empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun,
berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang
laki‐laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah ahli‐ahli silat, sedangkan gerakan
mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah
sembarangan orang kang‐ouw melainkan rombongan orang gagah yang
berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal
dengan julukan Cap‐sa‐sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid‐murid utama dari
Partai Besar Bu‐tong‐pai! "Tahan dulu, para suheng!" Tiba‐tiba wanita cantik
itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya,
kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!" Tiga Belas
orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang
jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu
berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang. "Dan jejak kakinya tidak
tampak, tak salah lagi, Pat‐jiu Kai‐ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan),
tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan
sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang
tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka
seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang‐lubang itu
tentu terbuat oleh tongkat Pat‐jiu kai‐ong, maka tiga belas orang tokoh Butong‐
pai itu mencabut senjata masing‐masing dan tampaklah berkilaunya
PART 13
senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan
ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran
ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh
mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
memperlambat larinya dan satu‐satunya wanita diantara mereka mengomel
lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan
dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal‐hal terkutuk yang
kejamnya melebihi iblis sendiri! "Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia
kita harus berhati‐hati. Semenjak dahulu, Bu‐tong‐pai tidak pernah
bermusuhan dengan tokoh kang‐ouw yang manapun juga, tidak pula
mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara
baik‐baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
pertempuran." Kata twa‐su‐heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua
sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut
kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The
Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu
pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung
seorang di antara Capsha Sin‐hiap yang terkenal di dunia kang‐ouw. "Sumoi,
kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu‐tong‐pai
menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun
kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk
mewakili kalian semua!" Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar
perintah gurunya dan bahwa twa‐suheng ini selain paling lihai juga
merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk
biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak
puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap‐sha Sinhiap
mempunyai nama besar di dunia kang‐ouw, disegani kawan ditakuti
lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan
gentar? Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka
dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir
sempurna, tiga belas orang pendekar Bu‐tong‐pai itu dan dapat menyusul
dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu‐tahu mereka
telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan
gagah sekali. Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil
berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah
Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya
berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh‐eh, apakah kalian ini
serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku
seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap Locianpwe tidak berpura‐pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe
adalah Pat‐jiu‐kai‐pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan)
yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat‐jiu Kaiong,
bukan?" Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu
tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar
Bu‐tong‐pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini,
PART 14
diam‐diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan
dengan Pat‐jiu Kai‐ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek
ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! "Ha..ha..ha, sungguh
sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri.
Orang‐orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya,
biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang‐orang muda
yang gagah dan cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak
keliru dugaan kalian aku adalah Pat‐jiu Kai‐ong, seorang pengemis tua yang
hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan
perlu apa kalian menghadang perjalananku?" "Kami adalah Cap‐sha Sin‐hiap
dari Bu‐tong‐pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka percuma
saja twa‐suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami
adalah murid‐murid Bu‐tong‐pai, Locianpwe," kata Twa‐suheng itu dengan
hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka
kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu‐tongpai, berarti membawa‐bawa
nama perkumpulan mereka. "Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu‐tong‐pai
mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang
kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan
Bu‐tong‐pai." Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata‐katanya juga
halus dan tidak bermusuh, twa‐suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan
tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini,
dan betapa Sin‐tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang
luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat
mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia
merasa khawatir akan keselamatan Sin‐tong itu kalau sampai kakek datuk
sesat ini bertemu dengan anak itu. "Apa yang Locianpwe katakan memang
benar. Di antara Locianpwe dengan Bu‐tong‐pai, tidak pernah ada urusan.
Dan sekali ini, kami orang‐orang muda dari Bu‐tong‐pai juga tidak berniat
untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita
bahwa diantara banyak tokoh kang‐ouw, Locianpwe juga berminat kepada
anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin‐tong dan yang
berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe
sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah kakek itu
mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya
yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan
berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua. "Hemmm,
orang‐orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi
Sin‐tong, kalian mau apakah?" Tiga belas orang anak murid Bu‐tong‐pai itu
sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua siap siaga.
Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini
mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya. "Locianpwe,
kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak
mengganggu Sintong." "Apamukah bocah itu?" "Bukan apa‐apa, Locianpwe.
Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa
pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang
Share This Thread