Page 9 of 28 FirstFirst ... 567891011121319 ... LastLast
Results 121 to 135 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #121

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 120
    pulau‐pulau itu, timbul rasa khawatir dalam hati Sin Liong tentang keadaan
    Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak terluput dari amukan badai,
    pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami penyerbuan Han Ti Ong dan
    pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap nasib para penghuni
    Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es, disapu bersih dan
    seluruh penghuninya terbasmi habis? "Agaknya ibumu tidak berada diantara
    pulau‐pulau ini," Beberapa hari kemudian setelah merasa mencari dengan
    sia‐sia, Sin Liong mengemukakan pendapat. "Bagaimana kalau kita mencari
    ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita dapat juga bertanya ke
    Pulau Neraka kalau‐kalau ibumu ke sana." "Hemm, agaknya engkau sudah
    rindu kepada Soan Cu, suheng." Sian Liong mengerutkan alisnya. "sumoi,
    kau...cemburu lagi?" Wajah dara itu menjadi merah. "Aku hanya berkata
    sewajarnya." "Sudahlah. Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau
    Neraka," kata Sin Liong menarik napas panjang. Hening sejenak dan mereka
    telah menghentikan gerakan dayung karena mereka masih belum mendapat
    keputusan akan mencari ke mana. "Kita ke Pulau Neraka!" tiba‐tiba Swat
    Hong berkata. "Ehhh...??" "Aku harus ke sana. Aku akan menegur kakek
    berkepala besar itu! Pulau Neraka yang menjadi biangkeladi sehingga Ayah
    marah‐marah kepada kita, hampir saja kita dibunuhnya. Karena Pulau
    Neraka telah berani menawanku." "Hemm, Sumoi. Mengapa kejadian yang
    telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayamu telah menyerbu ke sana
    kurasa Ayahmu telah menghukum mereka menurut cerita anak buah
    pasukan? Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi." "Aku harus
    pergi ke sana!" dara itu berkeras. Sin Liong menggeleng‐geleng kepala. Sukar
    benar melayani sumoinya ini yang memiliki watak aneh dan hati yang keras
    sepeti baja. "Aku hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibu,
    akan tetapi kalau kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak
    mau. Kau harus berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, sumoi."
    "Hemmm, agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau
    Neraka, ya? Karena ada...." "Sumoi, harap jangan bicara yang tidak‐tidak.
    Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah kau ketika mereka mengantar
    kita ketika meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku hanya mau pergi ke sana
    kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai sahabat, melihat
    keadaan mereka setelah ada badai mengamuk." Swat Hong cemberut, akan
    tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja nanti." Dan mereka lalu
    mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi,
    setelah mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan
    pangling karena didaerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin
    karena akibat badai yang mengamuk, yang ternyata mengambil daerah yang
    amat luas itu, di sekitar situ telah muncul gunung‐gunung es yang anat besar
    sehingga Pulau Neraka yang biasanya tampak dari jauh sebagai raksasa yang
    tidur itu kini tidak kelihatan lagi karena semua jurusan terhalang
    pandangannya oleh gunung‐gunung es. Mereka mendayung perahu berputar
    namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung‐gunung es itu. "Ahhh,
    dahulu tidak ada gunung‐gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong. "Ini

  2. Hot Ad
  3. #122

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 121
    tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku
    akan mencoba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja
    di sini."Perahu itu menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong
    meloncat ke daratan es. Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat,
    mendaki gunung es itu untuk melihat dan mengenali daerah itu dari atas
    puncaknya yang tinggi. Tiba‐tiba terdengar suara gerengan keras sekali yang
    mengguncangkan seluruh gunung es itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat
    dia menoleh untuk melihat apa yang mengeluarkan suara seperti itu. Dari
    jauh tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki
    depanya ke arah burung‐burung yang menyambar‐nyambar di atasnya.
    Burung‐burung nazar (burung botak pemakan bangkai) yang besarbesar
    beterbangan di atas biruang itu dan menyerangnya dari atas sambil
    mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat ini, Sin Liong cepat berlari
    mendekati. Ternyata beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian
    anggauta badannya, sedangkan di bawah kakinya tampak bangkai seekor
    ular laut yang besar. Jelaslah bahwa biruang itu tadi berkelahi dengan ular
    laut itu dan dia menang, akan tetapi dia menderita luka‐luka dan burungburung
    nazar yang kelaparan itu kini hedak mengeroyoknya dan tentu saja
    ingin makan bangkai ular besar. Sin Liong segera menggunakan salju yang
    digenggam untuk menyambiti burung‐burung itu. Terdengar suara plakplok‐
    plak‐plok disusul suara burung‐burung nazar berkaok‐kaok kesakitan
    dan mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena setiap kali
    terkena sambitan salju, terasa nyeri sekali. Dengan beberapa loncatan saja
    Sin Liong sudah tiba di depan biruang itu. Beruang yang berkulit hitam dan
    amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi bertaring
    yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh
    kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong. "Tenanglah, aku datang untuk
    menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat. "Auuughh..!" Beruang
    itu menggerang dan kaki depan yang kiri menyambar kearah dada Sin Liong.
    Melihat betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat
    menangkap pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk
    tulang dan masuk amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular
    laut, beruang itu mencengkram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia
    mencengkeram sampai tulang punggung ular patah dan menusuk ke dalam
    daging di telapak kaki depan itu, Sin Liong segera mencabut tulang itu. Darah
    mengucur deras dan dia segera membalut dengan saputangannya. Beruang
    itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat mengerti bahwa
    orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki depan yang
    terluka itu kini tidak nyeri lagi dan tentu saja , karena yang membuat dia
    tersiksa rasa nyeri tadi adalah karena tulang yang menancap itu. "Coba
    kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia memeriksa
    luka‐luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang
    membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau
    tidak lekas diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa
    beruang itu. "Hemmm, aku harus mencarikan daun obat untuk luka

  4. #123

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 122
    lukamu,"katanya, lupa bahwa beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang
    dia katakan. "Hai, Suheng, ada apakah?" Tiba‐tiba terdengar teriakan dari
    atas. Sin Liong menoleh dan melihat Sumoinya turun berlari‐lari cepat
    sekali.Setelah dekat, beruang itu menggerang dan memandang Swat Hong
    dengan marah. "Huh, binatang buruk!" Swat Hong memaki. "Dia terluka
    cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu. Lihat,
    betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang itu kuat sekali. Aku harus
    mengobatinya sampai sembuh." Swat Hong mengerutkan alisnya, "Perlu apa
    menolong binatang buas seperti itu, Suheng? Membuang‐buang waktu saja."
    "Dia tidak buas lagi, sumoi. lihat betapa jinaknya. Dia pun mahluk hidup yang
    perlu kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya,sumoi." "Wah, kau lebih
    mementingkan dia..." "Hei..., ada apa engkau...?" Tiba‐tiba Sin Liong berteriak
    melihat beruang itu menggereng‐gereng dan menarik‐narik tangannya,
    seolah‐olah hendak mengajak Sin Liong pergi dari situ! Beruang itu makin
    keras menggereng dan makin kuat menariknya. Diam‐diam Sin Liong kagum
    bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya
    akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakan sinkang
    sekuatnya! Akan tetapi tiba‐tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat
    sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoinya dan dia berteriak.
    "Awas, sumoi. Mari pergi, dia menghendaki demikian, entah mengapa?" JILID
    8 Sin Liong memegang erat‐erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya
    diseret oleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa
    berlompatan dan berlarian ke gunung es yang lain yang berdekatan. Baru
    saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba‐tiba terdengar suara
    keras dan gunung es dimana mereka berada tadi telah pecah berantakan
    menjadi keping‐keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es
    yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Beruang tanpa melihat
    datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata binatang itu hanya
    diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia! Sin Liong berdiri
    dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu. "Terima kasih,
    kakak beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua." Akan
    tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari
    sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu
    kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, suheng." "Nanti
    dulu, sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka‐luka di
    tubuh beruang ini." "Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini..." "Sumoi, dia telah
    menyelamatkan nyawa kita!" "Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah
    menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung‐burung nazar itu,
    bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan
    Marilah, Suheng." "Tidak, sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai
    mengobatinya." Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang
    biruang betina ini dari pada aku!" "Sumoi...!" Akan tetapi Swat Hong sudah
    berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka,
    meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin
    Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi

  5. #124

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 123
    karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.
    "Ngukkk... nguuuuukkk...." Beruang itu mendengus‐dengus dan menciumi
    kepalanya. "Ahhh, Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya
    menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah,
    akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang
    terancam bahaya maut oleh lukamu?" Sin Liong lalu mengajak beruang itu
    mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, Maka terpaksa
    dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan
    dari batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu
    menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadangkadang
    Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai
    perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui
    perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih
    ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka‐luka
    beruang itu sampai sembuh. Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu
    kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali.
    Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika
    mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu pulau es. Tentu
    penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat
    dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia
    lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan
    tetapi tiba‐tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
    "Heii, kakak beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi
    mencari sumoi!" "Nguuuk...nguukk...!" Beruang hitam itu mengeluarkan suara
    mengeluh dan mukanya seperti orang menangis! Sin Liong tersenyum.
    "Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!" Seolah‐olah mengerti
    arti kata‐kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini
    mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar‐sinar dan lidahnya terjulur
    keluar seperti sikap seekor ****** yang kegirangan. "Kau boleh ikut sampai
    aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau sumoi tidak
    menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
    Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka.
    Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu
    di mana letaknya Pulau Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat
    Swat Hong, menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika
    perahu meluncur dan binatang ini telah jinak benar‐benar. Setelah kini dia
    mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka,
    perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah dekat dengan Pulau
    Neraka, dia menyaksikan suatu yang membuatnya terheran dan merasa
    tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas
    bukan perahu Pulau Neraka yang kecil‐kecil. Perahu itu besar sekali, perahu
    layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun
    dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya
    patah, layarnya cabik‐cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali,
    berdiri miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau

  6. #125

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 124
    Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput
    dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan
    badai, maka penderitaannya tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air
    juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula
    penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan
    badai. Perahu‐perahu lenyap, pohon‐pohon yang berada di tepi pantai bobol
    semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi
    pantai.Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut, para bajak
    laut yang terdiri‐dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu
    kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas
    ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua puluh
    lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang
    memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muaramuara
    sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki‐laki
    tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan
    pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam
    sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di
    antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai
    Tok‐gan‐hai‐liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek.
    Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh
    badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu
    juga, mereka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau
    Neraka hanya dikenal oleh Orang‐orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang
    dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat
    dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang
    ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akat tetapi karena pulau
    dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau yang
    hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda
    dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung bagi
    mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan
    mengamuk di daratan pulau sehingga binatang‐binatang berbisa pun menjadi
    panik dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar. Andaikata
    mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan
    menjadi korban binatang‐binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan
    jadinya. Mungkin sekali tidak ada diantara mereka yang akan dapat lolos
    betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu. Dapat dibayangkan betapa heran
    dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di
    tengah pulau itu terdapat pondok‐pondok yang dibuat oleh manusia! Akan
    tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika
    para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa
    peringatan apa‐apa. Karena mereka adalah bajak‐bajak yang sudah biasa
    berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka
    itu mereka sambut dengan gembira. mereka mengira bahwa penghuni pulau
    itu adalah orang‐orang biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka ketika
    mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa

  7. #126

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 125
    penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani
    menyambut mereka dengan serangan itu rata‐rata memiliki kepandaian
    hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan matimatian. Bajak laut
    pimpinan Tok‐gan‐hai‐liong itu pun bukan orang‐orang biasa melainkan
    penjahatpenjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata‐rata pandai
    ilmu silat. Apalagi Tok‐gan‐hai‐liong sendiri bersama seorang pembantu yang
    sebetulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa
    Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok‐gan‐hai‐liong
    Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya
    merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras. Para penghuni Pulau
    Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw
    Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau
    Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena
    dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua.
    Pernyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan
    hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa
    dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan
    dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek
    merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal
    olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang
    marah itu. Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun
    dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu.
    Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak
    buahnya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu
    kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata‐rata memiliki
    kepandaian tinggi! "*******...!" Kakek itu meloncat bangun akan tetapi
    terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya,
    membantunya untuk rebah kembali. "Tenanglah, Kong‐kong! Biarlah aku
    yang keluar untuk membantu teman‐teman membasmi bajak laut yang tidak
    tahu diri itu." Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri
    masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempur. "Hati‐hatilah, Soan Cu..."
    Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir
    bajak‐bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang‐orang kasar itu. Dengan
    pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah
    bertanding mati‐matian melawan bajak‐bajak yang ganas, apalagi melihat
    seorang wanita Pulau Neraka digeluti oleh dua orang laki‐laki kasar sampai
    wanita itu menjerit‐jerit namun dua orang laki‐laki itu malah tertawa‐tawa
    dan merobek‐robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah sekali. Dia
    mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan,
    pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa
    wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu
    cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor
    harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi. Melihat sepak
    terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok‐ganhailiong
    Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain

  8. #127

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 126
    cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat
    dan pedangnya berubah segulung sinar terang yang menyambar Dahsyat,
    membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan
    senjata dengan hati‐hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban
    kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu. "Lepas tulang
    ikan!!" Tiba‐tiba kepala bajak itu memberi aba‐aba kepada sutenya dan
    mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang
    empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka
    berdua lalu mengayun tangan berkali‐kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut
    bertubi‐tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini
    memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah Seorang dara Pulau
    Neraka sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah
    menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah
    di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya. Akan
    tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh dan
    begitu dia menggerakan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
    "Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara
    ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am‐gi (senjata gelap) berupa
    tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari
    ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang
    darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang
    dipakainya. "Sute, tangkap nona manis ini...!" Teriak Koan Sek dengan girang.
    Akan tetapi tiba‐tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang
    membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar suara
    itu dekat sekali dibelakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang
    dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang
    menggerang itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan.
    Seekor beruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala
    mereka sekaligus! Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat
    mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan
    memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah
    berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan
    Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan
    tangan kanan menggerakan pedang dara itu sambil beseru "Kakak biruang,
    lawan mereka yang berani mendekat!" Biruang itu menggereng‐gereng dan
    ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang
    digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba‐tiba kaki depan kiri
    yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan
    menangkis pedang melainkan mencengkram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja
    orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikan pedang dan siap
    untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lawan, dia
    meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara kedua
    mata biruang itu. "Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat
    melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar
    biruang setelah pedangnya ditangkis oleh Sin Liong tadi. "Siuuuut...!!" Senjata

  9. #128

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 127
    ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar
    dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat
    dan dengan tenaga dahsyat. "Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu
    ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget
    karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan
    perih. Pada saat dia terbelalak dan terheran, biruang itu sudah membalikan
    tubuh dan sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu
    mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan
    biruang itu sudah menubruknya dan mencengkram ke arah lehernya. "Kakak
    biruang, jangan ...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu‐ragu
    sehingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk meloncat
    jauh kebelakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan
    muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa
    pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biarpun pedang masih berada di
    tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum
    bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki
    kepandaian yang luar biasa sekali. Sin Liong merasa bingung dan gelisah
    menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia berseru
    berkali‐kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka
    adalah orang‐orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar
    untuk dibujuk. Tiba‐tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan
    suara itu segera disusul suara berdengungdengung dan berdesis‐desis. Dapat
    dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketika dia melihat datangnya
    binatang‐binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan
    sebangsanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah‐olah
    digerakan oleh suara melengking iru, dan yang lebih mengerikan lagi, lebahlebah
    putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat
    turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan
    ketakutan, seolah‐olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya
    maut datang mengancamnya. "Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh
    dan siuman dari pingsannya. Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak
    lega. "Bagaimana lukamu?" "Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin
    binatang‐binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong.
    "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat
    penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling
    mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata
    lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata Satu itu...aku membutuhkan obat
    penawar racun am‐gi‐nya (senjata gelapnya)...." Melihat betapa wajah dara
    itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa
    tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa
    sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang
    masih bengong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat
    betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatangbinatang
    berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut
    sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi sudah

  10. #129

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 128
    mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah
    mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi
    melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat,
    cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan
    secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelumnya Koan Sek tahu
    apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu
    sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak
    kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti
    terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
    Koan Sek menggigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia
    merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat
    bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang‐orang Pulau Neraka
    telah mundur dan menonton sambil sambil tertawa‐tawa. Akan tetapi anak
    buah bajak laut itu menghadapi penyerangan binatang‐binatang berbisa dan
    sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah‐lebah putih
    membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan
    merintih‐rintih dan menangis mengerung‐ngerung karena tidak tahan
    menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh. "Cepat bertindak,
    halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun
    yang dikeroyok binatang‐binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak
    dapat menyaksikan peristiwa mengerikan itu. Soan Cu menggeleng kepala.
    "Tak mungkin. Mereka digerakan oleh suara melengking itu..." "Suara apa itu?
    Siapa yang membunyikan?" Soan Cu tersenyum dan menggigit bibirnya
    menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk‐nusuk
    jantung. "Siapa lagi? Satu‐satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah
    Kong‐kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin
    Liong. "Aduh celaka..., binatang‐binatang itu...." Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek
    menggigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana
    pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha
    mengusir lebah‐lebah putih yang mengeroyoknya. "Kalau kau keluar dari
    sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," Kata Sin Liong,
    menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak. "Binatang‐binatang itu
    tidak berani memasuki lingkaran ini." Koan Sek memandang dan matanya
    terbelalak ngeri melihat betapa ular‐ular beracun yang bermacammacam
    warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran.
    Bahkan lebah‐lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak
    itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para
    bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok
    Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa
    pembantunya yang juga merupakan sutenya melolong‐lolong dan
    bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala
    bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
    Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi
    disekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan
    meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaanya yang kejam,

  11. #130

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 129
    membunuh para bajak seperti itu. Akat tetapi celakanya, suara itu
    melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek
    itu pun tidak tampak. pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu
    yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti
    disayatsayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu,
    melihat betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara
    mengerikan, berkelojotan dan melolong‐lolong, akhirnya suara jeritan
    mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih,
    kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang‐binatang kecil
    berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
    Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke
    tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah
    dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang
    alat tiup terbuat daripada batang alang‐alang, menyerupai suling kecil.
    Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta
    Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya
    datang dan kini binatang‐binatang itu berangsur‐angsur merayap pergi
    setelah Ouw Kong Ek merobah merobah suara tiupan sulingnya. Akhirya
    yang tinggal hanya mayatmayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan
    mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas
    dalam pertempuran. "Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?"
    Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat. Sin Liong
    mengerutkan alisnya. "To‐cu, engkau sungguh kejam, membunuh mereka
    seperti itu." Kakek itu terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" Dia
    menuding ke arah mayat‐mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah,
    bukankah dia ini pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju
    menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat. "Tahan dulu, Tocu!
    Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam
    tangannya!" "Soan Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang
    dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa
    dia?" "Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan
    membentak, "hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!" Tok‐gan‐hailiong
    Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang
    menjelajah di dunia kang‐ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika
    menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara
    mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan
    tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul
    kembali keberaniannya dan dia tersenyum. "Agaknya kita telah salah masuk.
    Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong
    karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai
    dan sama sekali bukan tandingannya itu. "Kau belum tahu? Ini adalah Pulau
    Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
    "Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan
    obat penawarnya." "Ha‐ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat
    penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan

  12. #131

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 130
    penghuni‐penghuninya seperti iblis pula! Benar‐benar kami telah membuat
    kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan
    tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan
    aku dalam cengkraman kalian!" "Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang
    sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak. "Ha‐ha‐ha, boleh! Lakukan
    sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku
    mempunyai banyak teman terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi
    menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini,
    apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha‐ha‐ha! biarlah aku mati
    ditemani oleh dara remaja ini!" Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua
    tangannya dikepal sehingga suling batang alang‐alang itu hancur di
    tangannya. Melihat kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong Berkata,
    "Ouw‐tocu apa yang dikatakan benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan
    ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku
    melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan
    keselamatan Soan Cu. Betapapun juga , nyawa Soan Cu jauh lebih berharga
    dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia." "Ha‐ha‐ha , itu baru omongan
    yang tepat!" Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin"
    berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu
    ketua Pulau Es berada di tangannya. Apalagi yang ditakutinya? "Iblis *******!
    Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!"Ouw
    Kong Ek membentak. "Ha‐ha‐ha, aku Tok‐gan‐hai‐liong Koan Sek bukan
    seorang *****." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda apakah
    kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga
    karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar
    besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ. Maka satusatunya
    orang adalah pemuda ini. "Aku bukan penghuni Pulau Neraka aku
    adalah seorang dari Pulau Es...." "heeeehhh...??" Mata Tok‐ganhai‐ liong yang
    tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia merasa seolah‐olah dalam
    mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di
    mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda
    sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya
    dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia?
    Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman
    dari rohnya? "Pulau... Pulau... Es...?" Dia berkata lirih. Sin Liong mengangguk
    tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat
    kepala bajak ini menjadi termangu‐mangu seperti orang *******. "Kalau
    begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang
    mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
    "Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para
    pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam. "Terserah, bunuhlah.
    Aku toh akan mati bersama dia ini." Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu
    yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "ouw‐tocu, biarlah
    kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya." Terpaksa
    Ouw Kong Ek menggerakan kapalanya memberi isyarat kepada anak

  13. #132

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 131
    buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata
    mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau
    Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala
    bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu
    ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan yang sudah kering.
    "Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat
    diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu
    dia akan sembuh." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak
    pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia
    mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan
    bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka
    sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw‐tocu, suruh menumbuk halus dan
    masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya
    supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini." Dua orang itu
    menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong
    lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang. "Kau tidak mau membiarkan
    aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir. "Jangan tergesa‐gesa," jawab
    Sin Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar‐benar manjur, baru
    aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?" Koan Sek
    menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum
    bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh.
    Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani main‐main?" Sin Liong diam saja.
    Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda
    itu penuh selidik, kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari
    Pulau Es?" Sin Liong mengangguk. "Dan siapa namamu?" "Kwa Sin Liong.
    Mengapa engkau bertanya‐tanya?" "Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es
    hanyalah sebuah dongeng..." "Hemm.., memang sekarang hanya tinggal
    dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan
    Pualu Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah
    pulau kosong yang menyedihkan. "Nguuk... nguuukkk..." Sin Liong menoleh
    dan tersenyum "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?" Biruang itu
    menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di
    atas perahu di depan pemuda itu. "Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata
    dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa ! dan
    mempunyai binatang peliharaan seperti itu! "Kau bilang tadi... tinggal
    dongeng apa maksudmu?" "Tidak apa‐apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil
    mengelus biruang yang sudah bertiarap di depannya. "Orang muda she kwa...
    eh, ***‐hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?" Sin Liong mengangkat
    mukanya memandang dan kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat
    betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan
    kebencian atau permusuhan dengannya? "Mengapa tidak? engkau pun
    membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi
    datang berlari‐lari. "Kwa‐taihiap, Nona sudah sembuh!" Sin Liong
    mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan
    harap kau jangan sekali‐kali mendekati pulau ini." Koan Sek menjawab,

  14. #133

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 132
    "Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau Iblis
    seperti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakan
    dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka. Ketika
    Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau benar saja
    bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di
    pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh Kong‐kongnya. Para
    penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat‐mayat yang
    bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke
    pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu. "Taihiap, lagi‐lagi engkau yang
    datang menolong kami, "kata Ouw Kong Ek. "Kalau engkau tidak segera
    datang entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata
    Soan Cu dengan mata bersinarsinar penuh kagum dan terima kasih. "Ahh,
    mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah
    kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang
    dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi.
    Apakah dia tidak datang ke sini?" Soan Cu dan kakeknya memandang kaget
    dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa
    hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu,
    maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak
    menyangka yang bukan‐bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh
    Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi." "Jadi
    Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?" Sin Liong
    mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah‐marah karena
    puterinya pernah ditahan di sini." "Bukan hanya marah‐marah!" kata Soan Cu
    mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina kakek, biar pun
    tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!" "Kau juga
    dipukulnya?" Sin Liong bertanya. "Tadinya, melihat aku seorang wanita dan
    masih muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat kakek
    dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti,
    akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali
    waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!" Sin Liong
    menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak
    ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musnah."
    "Hei...? Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya, terbelalak. "Apa yang
    telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya. "Dilanda badai... habis seluruhnya,
    semua penghuninya termasuk suhu dan seluruh benda di sana habis
    terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali..." Sin Liong
    lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang penimpa Pulau Es, dan
    betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoinya terluput dari
    bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo kemudian
    kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak. "Ha‐ha‐ha‐ha! Ha‐ha‐ha‐ha!
    Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata! kami orang‐orang
    buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk tuhan, malah masih dapat
    hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es yang suci dan
    agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha‐ha‐ha,

  15. #134

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 133
    siapa yang lebih dilindungi tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau
    dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa‐tawa sampai air matanya
    keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
    Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang
    terjadi dengan dia?" Sin Liong lalu menceritakan niat perjalanannya bersama
    Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu Swat Hong yang sampai kini tidak
    diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan mereka menjadi bungung dan
    tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang berbeda di
    permukaan laut sehingga sehingga mereka mendarat di gunung es dan
    betapa dia menemukan biruang hitam. "Sumoi berangkat melanjutkan
    perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya berada di sini,
    sedangkan aku mengobati biruang." Sin Liong menutup ceritanya, tentu saja
    dia segera menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya. "Apakah dalam
    beberapa hari ini dia tidak dantang ke sini?" Soan Cu menjawab, "Untung saja
    dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap." "Soan Cu mengapa engkau meniru
    kakekmu, bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap segala?" "Biarlah,
    Taihiap," Kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu
    begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap
    karena kepandaianmu tinggi sekali." "Kaukatakan tadi untung Sumoi tidak
    datang ke sini, mengapa?" "Andaikata dia datang, tentu akan terjadi apa‐apa
    yang tidak baik antara dia dan Kong‐kong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau
    Es datang mengacau di sini, Kong‐kong jatuh sakit, dan kebencian kami
    semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka kalau Sumoimu, Swat Hong
    datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik." Sin Liong menganggukangguk,
    merasa lega bahwa sumoinya tidak mendahului datang ke Pulau
    Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak
    tahu ke mana sumoinya yang pemarah itu kini berada! Bajak‐bajak laut itu,
    dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya. "Entah.
    Tahu‐tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi
    pulau." "Agaknya mereka juga diamuk badai." "Mungkin." Soan Cu
    melanjutkan. "Kami diserang selagi kong‐kong sakit. Kong‐kong tidak dapat
    turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya, aku keluar
    menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati‐hati, karena memandang
    rendah am‐gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang
    di waktu yang tepat, Taihiap." "Akan tetapi akhirnya, biarpun sakit, Kongkongmu
    dapat membunuh semua bajak laut itu." Sin Liong bergidik ngeri
    mengenangkan kematian para bajak itu. "Ugh‐ugh....!" Kakek itu terbatukbatuk.
    "Bajak‐bajak macam itu saja kalau aku tidak sakit, kalau Soan Cu tidak
    memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai,
    tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang‐binatang Pulau Neraka
    bersembunyi ketakutan diamuk badai, mana mereka mampu masuk?
    Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat
    penting bagi Taihiap." "Ah, Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat,
    perlu apa banyak sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakanlah saja, mana
    perlu menggunakan permohonan lagi?" jawab Sin Liong. Akan tetapi, tiba

  16. #135

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 134
    tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan
    Sin Liong! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali, cepat membangunkan
    kakek itu dan berkata, "Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana
    berani menerimanya? Ada keperluan apakah? katakan saja, aku tentu akan
    membantumu sedapat mungkin." Sin Liong berkata dengan hati tidak enak,
    mengira akan menghadapi hal yang sulit. Setelah duduk kembali dan
    mengatur napasnya yang terengah‐engah karena kesehatannya belum pulih
    kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata, "Kwa‐taihiap, aku
    sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali Soan Cu. Taihiap
    sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan tempat
    tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah kini
    kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan
    kami bukanlah orang‐orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan
    orang buangan lagi dan sewaktu‐waktu kami boleh meninggalkan pulau ini.
    Karena itu, aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa
    Soan Cu bersama Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau
    Taihiap dapat mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di
    Pulau Neraka ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
    Sin Liong mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah
    disangkanya! "Akan tetapi, Ouw‐tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri
    adalah seorang sebatangkara yang tidak mempunyai apa‐apa, tidak
    mempunyai tempat tinggal dan masih belum kuketahui apa akan jadinya
    dengan diriku ini." "Kalau Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana
    saja aku sudah pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai
    sahabat, sebagai saudara, atau kalau mungkin.... dari lubuk hatiku kuharap
    sebagai calon jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak
    tersiksa tinggal di neraka ini." Sin Liong merasa sukar untuk menolak, akan
    tetapi juga berat untuk menerima, maka dia menoleh kepada Soan Cu dan
    berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada Soan Cu sendiri. Kalau
    memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku tidak
    keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
    bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu‐waktu dia boleh
    pergi ke mana saja, jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apapun juga."
    "Taihiap, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di
    sini, hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang
    mencegah aku meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan
    betapapun juga, aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu
    hati Kong‐kong akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak
    ada pengalaman, melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang
    menyenangkan sekali. Aku hendak pergi mencari ayahku, Taihiap." "Dan aku
    hendak mencari Swat Hong dan ibunya." "Kalau begitu, mari kita mencari
    berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoimu itu , aku dapat bertemu dengan
    ayahku." Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kong‐kongnya,
    membawa pula bekal berupa pakaian dan sekantung emas simpanan Kongkongnya,
    berangkatlah Soan Cu bersama Sin Liong meninggalkan Pulau

Page 9 of 28 FirstFirst ... 567891011121319 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •