Page 1 of 28 1234511 ... LastLast
Results 1 to 15 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #1

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default 1. Bu Kek Sian Su

    buat para forumer disini baca aja yah no komentar duduk diem dan baca. kalo suka dan ada masukan vm atau pm gua aja tq
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 06-04-15 at 23:25.

  2. Hot Ad
  3. The Following User Says Thank You to jkt-Alexis4Play For This Useful Post:
  4. #2

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    BU KEK SIAN SU

    PART 1
    Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng Hoa
    San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang
    kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumputrumput
    yang hampir lumpuh oleh embun, pohon‐pohon yang lenyap ditelan
    kegelapan malam, bunga‐bunga yang menderita semalaman oleh hawa
    dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan,
    penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya
    raja kehidupan itu, meninggalkan butiran‐butiran embun yang kini menjadi
    penghias ujung‐ujung daun dan rumput membuat bunga‐bunga yang
    beraneka warna itu seperti dara‐dara muda jelita sehabis mandi, segar dan
    berseri‐seri. Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan
    ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat
    cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah‐celah daun dan ranting
    sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang‐bayang
    pohon meluncur ke bawah, disana sini bertemu dengan pantulan air
    membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh
    segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru.
    Indah! Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa,
    keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun
    andaikata dilihatnya setiap hari Sebelum cahaya pertama yang kemerahan
    dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula‐mula
    membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan
    nyaring sekali, kokok yang tiba‐tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari
    beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung
    yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah
    selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan‐gerakan
    hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahutmenyahut,
    bermacam‐macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun
    kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk
    menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut‐sahutan itu
    merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang
    ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara
    burung‐burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di
    antara jarak suara‐suara itu.
    Anak laki‐laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya.
    Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di
    hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah ada
    setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerakgerak,
    mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti

  5. #3

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 2
    biasa mata kanak‐kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di
    antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis‐garis
    lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara
    kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih
    seperti bersihnya tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang
    terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak‐anak lain dengan
    bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya
    itulah yang jarang terdapat pada anak‐anak dan membuat dia menjadi
    seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya
    sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
    Sepasang mata anak itu bersinar‐sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi
    melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur,
    bola merah yang amat besar dan yang mula‐mula merupakan pemandangan
    yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak
    kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan
    berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa
    cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari
    puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung. Anak itu lalu
    menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak
    tergesa‐gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu
    bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali
    dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri
    sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus,
    kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa
    diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak.
    Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi
    cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi
    peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang
    bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan
    purnama selama tujuh malam, kadang‐kadang sampai lupa diri dan duduk
    bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah
    hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik pumcak
    barat.
    Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula penduduk di sekitar
    Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah
    nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain‐lain
    sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia
    sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah
    menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
    Mengapakah orang‐orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng
    dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada
    sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati
    penyakit dengan memberi daun‐daun, buah‐buah, dan akar‐akar obat yang

  6. #4

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 3
    benarbenar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit
    datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu
    tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan
    inilah yang benar‐benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan
    tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga‐bunga indah, terutama
    sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan
    hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu
    menolak kalau diberi uang! Maka berduyun‐duyun orang dusun datang
    kepadanya dan diam‐diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai
    dewa yang menjelma menjadi seorang anak‐anak yang menolong dusundusun
    itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular,
    penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah
    ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar‐akar tertentu yang
    harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak
    tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan. Ketika
    orang‐orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian
    baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan
    terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan
    tetapi tidak ada kata‐kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orangorang
    dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan
    "dusun". Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan
    Seribu Bunga seorang diri saja itu?
    Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang
    anak‐anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para
    penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang
    dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi anak‐anak
    dan menjadi calon Lama. Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang
    dipercaya oleh orang‐orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka
    akan yang ajaib‐ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari
    Keluarga Kwa di kota Kun‐Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur
    Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin
    Liong(Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya,
    ibunya mimpi melihat seekor nama beterbangan di angkasa diantara awanawan.
    Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya
    di kota Kun‐leng. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika
    malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang
    penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan
    tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki
    mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah‐bunda
    Sin Liong dengan bacokan‐bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia
    lima tahun dan di tempat remang‐remang itu melihat betapa ayah‐bundanya
    dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat
    berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu,

  7. #5

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 4
    matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga
    orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka
    terutama sibuk mengumpulkan barang‐barang berharga dan mereka itu juga
    panik, ingin lekas‐lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan
    dan nyonya rumah. Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin
    Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu
    terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua
    pintu dibuka, semua laki‐laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak
    dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan‐buntalan besar,
    segera terdengar teriakan "maling‐maling!" dan orang‐orang itu mengurung
    tiga penjahat ini. Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang
    dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami‐isteri itu tewas
    dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang
    tuanya, memeluki mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu penuh
    dengan darah ayahbundanya. "Pembunuh! Mereka membunuh keluarga
    Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan
    berteriak‐teriak "Manusia kejam! Tangkap mereka!" "Tidak! Bunuh saja
    mereka!" "Tubuh suami‐istri Kwa hancur mereka cincang!" "Bunuh!"
    "Serbu...!"
    Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang
    itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana
    mereka itu, maling‐maling biassa, mampu menahan serbuan puluhan bahkan
    ratusan orang yang marah dan haus darah?. Anak laki‐laki itu, ketika
    pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya
    penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar
    seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu
    terbelalak memandang penuh kengerian.Dia berdiri di depan pintu
    rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan
    rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti
    sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi,
    para pembunuh ayah‐bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri‐pencuri
    itu mengaduh‐aduh merintih‐rintih, minta‐minta ampun dan terdengar pula
    suara bak‐bik‐buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka.
    Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah
    muncrat‐muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar
    dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang‐orang yang marah dan haus
    darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik
    dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh
    mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya
    onggokan‐onggokan daging hancur dan tulang‐tulang patah!. Ketika semua
    orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka,
    menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki
    rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang

  8. #6

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 5
    baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya
    dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan
    disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka‐luka dihatinya makin banyak dan dia
    tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang‐orang itu semua seperti
    wajah iblis, dengan mata bernyala‐nyalapenuh kebencian dan dendam,
    penuh nafsu membunuh, dengan mulut terngangga seolah‐olah tampak
    taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap
    darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah‐olah tampak taring dan gigi
    meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa
    ngeri, merasa seolah‐olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil
    menangis tersedu‐sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu,
    meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun‐leng, terus berlari ke arah
    pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan,
    seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran
    iblis itu!
    Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai
    pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk‐saruk di kaki
    Pegunungan Jeng‐hoa‐san, kadang‐kadang tersandung kakinya dan jatuh
    menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung‐huyung dan akhirnya,
    pada keesokan harinya, pagi‐pagi dia terguling roboh pingsan di dalam
    sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng‐hoa‐san. Setelah
    siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan
    beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena
    kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki
    pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buahbuahan
    dan makan daun‐daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit
    sehingga dia tidak sampai kelaparan. Di dalam hutan seribu bunga itu Sin
    Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat
    yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat
    akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia
    telah menyaksikan kekejaman‐kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya
    kekejaman orang‐orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang
    memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan
    tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga
    orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan
    kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia
    merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan.
    Mula‐mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena

  9. #7

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 6
    ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran
    darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika
    dia tiba di hutan Jeng‐hoa‐san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya
    ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci
    pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya
    keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula‐mula memang dia tidak
    ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan
    "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu
    Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah
    menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon
    peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar
    untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan
    hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang
    amat menyenangkan. Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa
    harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak
    kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis
    ludes sama sekali! Dengan alas an "mengamankan" barang‐barang berharga
    dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka
    ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi
    perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu.
    Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang
    dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga
    dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh
    tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian
    dengan sengaja dan terang‐terangan mereka itu adalah pencuri, tidak
    berselubung apa‐apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orangorang
    yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah
    atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah
    pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat
    takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri
    biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena
    telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
    Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal
    seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli
    pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin
    Liong tahu akan daun‐daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya
    mencari daundaun obat di gunung‐gunung. Setelah kini dia hidup seorang
    diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan
    pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini,
    dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan
    mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun
    itu, dengan pakaian cabik‐cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit
    dan dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini

  10. #8

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 7
    pula dia dapat memilih daun‐daun dan akar‐akar obat, bukan dari
    pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu
    lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat
    mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar
    serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya
    amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja
    dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun,
    bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata‐kata orang bahwa
    pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata‐kata itu baru terbukti
    kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang
    dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa
    kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk
    mempelajari khasiat bunga‐bunga dan daun‐daun yang banyak sekali
    macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
    Selain mempelajari khasiat tumbuh‐tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi
    makanan sehari‐hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong
    mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam,
    kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa
    hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang
    menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga
    orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni,
    kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan‐kepalsuan, tidak
    melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka
    terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga
    dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi,
    betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada
    yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi
    cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar
    bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap
    inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih,
    tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar
    kesadarannya. Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali
    memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang‐kadang dadanya,
    Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar,
    kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya
    angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga,
    daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar
    matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari‐hari, selain mencangkok,
    memperbanyak dan menanam tanaman‐tanaman yang berkhasiat.

  11. #9

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 8
    Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan
    obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang‐ouw yang kasar
    dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua,
    tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa lukaluka
    dan penyakit yang mereka derita. Lebih dari lima belas orang datang
    berturut‐turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang lakilaki
    setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia
    datang terpincangpincang karena pahanya terluka hebat, luka yang
    membengkak dan menghitam. "Sin‐tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di
    depan gua dimana Sin Liong duduk dan memotong‐motong akar basah
    dengan sebuah pisau kecil, laki‐laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi
    besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan. Sin Liong mengerutkan
    alisnya. Di antara orang‐orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka
    melihat orang kang‐ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata
    yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk
    mengobati mereka, bahkan diam‐diam dia menilai mereka itu sebagai orangorang
    yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling
    bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusiamanusia
    yang patut dikasihani karena tidak mengenai apa artinya
    ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan
    ketenangan dan kebahagiaan. "Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang
    lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang
    keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu. "Benar,
    benar sekali, Sin‐tong. Aku adalah Sin‐hek‐houw (Macan Hitam Sakti) yang
    dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku
    menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan
    celakanya, pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak
    segera menolongku, aku akan mati, Sin‐tong." Sin Liong tidak berkata apaapa
    lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka
    mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam,
    luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh
    kaki terasa panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang.
    "Lo‐enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain,
    saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau dating
    kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan
    orang lain?" Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya
    melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak
    kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah‐olah
    anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci! "Sintong,
    aku adalah Sin‐hek‐houw, dan jangan kau menyebut Lo‐enghiong
    (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah
    kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok
    orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu
    orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku
    tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai

  12. #10

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 9
    orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan
    akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek
    yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya
    pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan
    berterima kasih kepadamu, Sin‐tong dan akan mengabarkan sesuatu yang
    amat penting bagimu". "Lo‐enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih
    dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu
    tumbuh di sini begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti
    untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas
    dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan
    kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat
    seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan, Untuk
    mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya
    luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh
    darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Loenghiong?"
    Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia
    kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap
    ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin‐tong, anak ajaib! Maka dia lalu
    menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong
    memejamkan matanya. Terbayan kembali tiga batang golok yang membacoki
    tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh
    tiga orang pencuri itu. Sin‐hek‐houw menggunakan ujung goloknya untuk
    menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan
    tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan
    siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin‐hek‐houw melemparkan goloknya dan
    menggunakan kedua tangannya memijit‐mijit paha yang terasa nyeri itu. Sin
    Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat
    sehingga darah makin banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat
    orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan
    rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuatbuat
    dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin
    terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian
    bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur
    bubukan itu ke dalam luka yang mengangga. "Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek
    itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri
    seperti ada puluhan ekor lebah menyengat‐nyengat bagian yang terluka itu.
    "Harap kaupertahankan, Lo‐enghiong sebentar juga akan hilang rasa
    nyerinya. Jangan lawan ras nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan
    ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."
    Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang
    sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian
    ditutupnya luka itu dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu
    makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang
    itu menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
    "Harap Lo‐enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum.

  13. #11

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 10
    Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu.
    Dengan demikian maka luka itu akan membusuk dan akan lekas sembuh.
    Obat bubuk dan daun‐daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali,
    kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong
    berkata sambil membungkus obat‐obat itu dengan sehelai daun yang lebar
    dan menyerahkannya kepada Sin‐hek‐houw. Orang kasar itu menerima
    bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang. "Kalau saja aku dapat
    mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
    sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau,
    kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin‐tong dan aku
    tidak dapat membalas apa‐apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau
    terancam bahaya besar". Sin Liong mengangkat muka memandang wajah
    berkulit hitam itu dengan heran. "Sin‐tong, dunia kang‐ouw telah geger
    dengan namamu. Orang‐orang kang‐ouw, termasuk aku, yang telah
    menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang‐ouw dan
    terjadilah geger karena nama Sin‐tong menjadi kembang bibir setiap orang
    kang‐ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu
    penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak partai dan orangorang
    gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu menjadi
    anggota mereka atau menjadi murid orang‐orang kang‐ouw yang terkenal.
    Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi
    maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan,
    melainkan maksud keji terhadap dirimu." Sin liong mengerutkan alisnya,
    sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat
    buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo‐eng‐hiong, aku hanya seorang
    anak kecil yang tidak tahu apa‐apa, tidak mempunyai permusuhan dengan
    siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?" Kakek itu
    memandang terharu. "Ahh...kau benar‐benar seorang yang aneh dan bersih
    hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan
    seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku,
    melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah
    ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin‐hek‐houw
    menggiggil dan kelihatan jerih sekali. "Siapakah mereka dan apa yang
    mereka kehendaki dari aku?" "Di dunia kang‐ouw, banyak terdapat golongan
    sesat, manusia‐manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi
    dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor
    harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang
    seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin
    yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat‐Jiu Kai‐pang, seorang
    yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim
    menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah
    engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin‐tong." "Hemmm, kurasa
    seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti
    aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo‐eng‐hiong!" "Tidak aneh
    kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati

  14. #12

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 11
    dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi
    iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada
    yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum
    dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan
    perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan
    kelemah‐lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya,
    watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri." "Lo‐enghiong, harap
    saja Lo‐enghiong tidak memburuk‐burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak
    percaya." Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah
    memberi peringatan kepadamu Sin‐tong. Dan kalau kau mau, marilah kau
    ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang
    tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku
    mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng‐hoa‐san
    mencarimu." Namun Sin Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh
    penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana‐mana, Lo‐enghiong."
    "Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudahmudahan
    saja benar‐benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan
    lebih‐lebih lagi mudah‐mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini,
    sehingga kalau kau benar‐benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah
    mencari obat. Selamat tinggal,Sin‐tong dan sekali lagi terima kasih." "Selamat
    jalan, Lo‐enghiong, semoga lekas sembuh." Orang itu berjalan menyeret
    kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata,
    "Benarbenarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sintong?"
    Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab. "Sintong,
    siapakah namamu yang sesungguhnya?" "Aku disebut Sin‐tong, biarpun
    aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau
    mengenalku sebagai Sin‐tong, itulah namaku." Sin‐hek‐houw menggeleng
    kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng‐geleng dan
    mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal
    tinju, seolah‐olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah
    yang dikaguminya itu. Beberapa hari kemudian semenjak Sin‐hek‐houw
    datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang datang
    membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang‐ouw tentang
    dirinya. Bermacam‐macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang
    ancaman dan lain‐lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil
    peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah
    gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang
    didengarnya itu. Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki
    Pegunungan Jeng‐hoa‐san tampak berjalan eorang kakek seorang diri,
    menoleh ke kanan dan kiri seolah‐olah menikmati pemandangan alam di
    sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun,
    tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya
    membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu
    menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan‐lahan
    memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng‐hoa‐san, langkahnya

  15. #13

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 12
    dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam,
    agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti
    besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba
    kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa
    kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan
    hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung‐burung,
    kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata‐kata
    dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya
    mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran
    kebatinan umumnya! "Apa artinya hidup kalau hati tak senang? Apa artinya
    hidup Kalau segala keinginan tak terpenuhi? Puluhan tahun mempelajari
    ilmu Bekal memenuhi segala kehendak Berenang dalam lautan kesenangan
    Matipun tidak penasaran! Berkali‐kali pengemis ini bernyanyi dengan katakata
    yang itu‐itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi
    dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau
    kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat
    lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan
    jejak seolah‐olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat
    jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu
    sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan
    bekas. Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak
    berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit
    itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang laki‐laki dari usia tiga puluh sampai
    empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun,
    berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang
    laki‐laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas
    menunjukkan bahwa mereka adalah ahli‐ahli silat, sedangkan gerakan
    mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah
    sembarangan orang kang‐ouw melainkan rombongan orang gagah yang
    berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal
    dengan julukan Cap‐sa‐sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid‐murid utama dari
    Partai Besar Bu‐tong‐pai! "Tahan dulu, para suheng!" Tiba‐tiba wanita cantik
    itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya,
    kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!" Tiga Belas
    orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang
    jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu
    berlubang. "Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
    "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang. "Dan jejak kakinya tidak
    tampak, tak salah lagi, Pat‐jiu Kai‐ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan),
    tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan
    sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang
    tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka
    seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang‐lubang itu
    tentu terbuat oleh tongkat Pat‐jiu kai‐ong, maka tiga belas orang tokoh Butong‐
    pai itu mencabut senjata masing‐masing dan tampaklah berkilaunya

  16. #14

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 13
    senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan
    ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran
    ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh
    mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini
    memperlambat larinya dan satu‐satunya wanita diantara mereka mengomel
    lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan
    dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal‐hal terkutuk yang
    kejamnya melebihi iblis sendiri! "Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia
    kita harus berhati‐hati. Semenjak dahulu, Bu‐tong‐pai tidak pernah
    bermusuhan dengan tokoh kang‐ouw yang manapun juga, tidak pula
    mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara
    baik‐baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan
    pertempuran." Kata twa‐su‐heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua
    sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut
    kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The
    Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu
    pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung
    seorang di antara Capsha Sin‐hiap yang terkenal di dunia kang‐ouw. "Sumoi,
    kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu‐tong‐pai
    menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun
    kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk
    mewakili kalian semua!" Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar
    perintah gurunya dan bahwa twa‐suheng ini selain paling lihai juga
    merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk
    biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak
    puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap‐sha Sinhiap
    mempunyai nama besar di dunia kang‐ouw, disegani kawan ditakuti
    lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan
    gentar? Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka
    dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir
    sempurna, tiga belas orang pendekar Bu‐tong‐pai itu dan dapat menyusul
    dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu‐tahu mereka
    telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan
    gagah sekali. Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil
    berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah
    Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya
    berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh‐eh, apakah kalian ini
    serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku
    seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
    "Harap Locianpwe tidak berpura‐pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe
    adalah Pat‐jiu‐kai‐pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan)
    yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat‐jiu Kaiong,
    bukan?" Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu
    tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar
    Bu‐tong‐pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini,

  17. #15

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 14
    diam‐diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan
    dengan Pat‐jiu Kai‐ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek
    ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! "Ha..ha..ha, sungguh
    sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri.
    Orang‐orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya,
    biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang‐orang muda
    yang gagah dan cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak
    keliru dugaan kalian aku adalah Pat‐jiu Kai‐ong, seorang pengemis tua yang
    hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan
    perlu apa kalian menghadang perjalananku?" "Kami adalah Cap‐sha Sin‐hiap
    dari Bu‐tong‐pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka percuma
    saja twa‐suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya. "Benar, kami
    adalah murid‐murid Bu‐tong‐pai, Locianpwe," kata Twa‐suheng itu dengan
    hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka
    kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu‐tongpai, berarti membawa‐bawa
    nama perkumpulan mereka. "Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu‐tong‐pai
    mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang
    kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan
    Bu‐tong‐pai." Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata‐katanya juga
    halus dan tidak bermusuh, twa‐suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan
    tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini,
    dan betapa Sin‐tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang
    luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat
    mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia
    merasa khawatir akan keselamatan Sin‐tong itu kalau sampai kakek datuk
    sesat ini bertemu dengan anak itu. "Apa yang Locianpwe katakan memang
    benar. Di antara Locianpwe dengan Bu‐tong‐pai, tidak pernah ada urusan.
    Dan sekali ini, kami orang‐orang muda dari Bu‐tong‐pai juga tidak berniat
    untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita
    bahwa diantara banyak tokoh kang‐ouw, Locianpwe juga berminat kepada
    anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin‐tong dan yang
    berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe
    sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah kakek itu
    mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya
    yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan
    berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua. "Hemmm,
    orang‐orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi
    Sin‐tong, kalian mau apakah?" Tiga belas orang anak murid Bu‐tong‐pai itu
    sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua siap siaga.
    Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini
    mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya. "Locianpwe,
    kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak
    mengganggu Sintong." "Apamukah bocah itu?" "Bukan apa‐apa, Locianpwe.
    Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa
    pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang

Page 1 of 28 1234511 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •