Page 11 of 16 FirstFirst ... 789101112131415 ... LastLast
Results 151 to 165 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #151

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 151
    puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke barat,
    pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
    "Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat‐mo‐kiam dengan begitu Pat‐sian‐kiam
    !" teriaknya.
    Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat‐jiu Sin‐ong,
    bukanlah hal main‐main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua
    hari dua malam melawan Ban‐pi Lo‐cia berkesudahan seri, tiada yang kalah
    atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian
    kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang ! Dia tidak
    mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti
    pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi ! Namun Kwee Seng adalah
    seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali.
    Kalau baru‐baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini
    tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia
    tidak akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil
    ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil
    berkata.
    "Pat‐jiu Sin‐ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau
    bertekad hendak memaksaku, silakan."
    "Ha‐ha‐ha‐ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat‐sian‐kun yang kau agungagungkan
    itu menghadapi Pat‐mo‐kun ! Lu Sian, mundur kau jauh‐jauh dan
    jangan sekali‐kali campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari
    pinggir jurang.
    Pat‐jiu Sin‐ong memutar‐mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa
    bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu
    berdesingan mengaung‐ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk
    pedang, berubah menjadi sinar bergulung‐gulung yang melebihi sinar bulan
    terangnya
    "Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat‐mo‐kun, sambutlah!" teriak pat‐jiu‐
    Sin‐ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.

  2. Hot Ad
  3. #152

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 152
    Karena Pat‐mo Kiam‐hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat‐sian
    Kiam‐hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng
    mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini
    kalau dimainkan oleh pat‐jiu Sin‐ong amatlah jauh bedanya dengan
    permainan Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek
    Ketua Beng‐kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya.
    Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Patsian‐
    kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat‐sian‐kun yang sudah ia ringkas itu
    dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan
    tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar‐mutar
    ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya
    berhasil menangkis pedang.
    "Krakkkk!" Ranting itu patah menjadi dua. Pat‐jiu Sin‐ong menarik
    pedangnya sambil tertawa bergelak.
    "Ha‐ha‐ha‐ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim‐mo‐eng !
    Apa kaukira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja
    seperti yang kaulakukan kepada Lu Sian?"
    "Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat‐jiu Sin‐ong." Jawab
    Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam‐diam ia senang juga
    karena ternyata Ketua Beng‐kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadangkadang
    kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar
    sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak
    berimbang kekuatannya itu patah.
    "Lu Sian, kaupinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba
    membuktikan omongannya bahwa Pat‐sian‐kun dapat mengalahkan Pat‐mokun
    kita."
    Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan
    melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini,
    karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke
    arah Kwee Seng.Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang

  4. #153

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 153
    terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan
    tahu‐tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
    "Ha‐ha‐ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan
    mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat‐mo‐kun!" kata Patjiu
    Sin‐ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri
    Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk
    mata kanan.
    Diam‐diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng‐kauw ini
    sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap
    menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat‐mo‐kun. Kalau ia tidak
    memperhatikan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin
    sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang
    yang amat ringan dan enak di pakai. Tahu bahwa pedang Toa‐hong‐kiam ini
    merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia
    mainkan Pat‐sian Kiam‐sut dengan pengerahan tenaga sin‐kangnya. Dua kali
    serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian
    pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya
    terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin‐kangnya,
    maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah
    tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya. Pat‐jiu Sin‐ong
    diam‐diam kaget juga,karena ia tiidak mengira bahwa serangan pertamanya
    itu se! ak! an‐akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga
    bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi
    lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat
    mematikan!
    Ketika Pat‐jiu Sin‐ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil
    menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan,
    kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung
    membabat leher! Kaget sekali hati Pat‐jiu Sin‐ong. Bukan kaget menghadapi
    serangan ini bainya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan
    tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus‐jurus
    Ilmu Silat Pat‐sian‐kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng
    adalah benar‐benar Pat‐sian‐kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi
    ilmu silat yang lihai sekali dan benar‐benar ia melihat bahwa kalau ia
    melanjutkan serangan‐serangan dengan Pat‐mo‐kun, ia selalu akan terserang
    oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat‐mo‐kun,
    pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung
    menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!

  5. #154

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 154
    Pat‐jiu Sin‐ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali,
    seakan‐akan menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki, gemanya
    sampai panjang susul‐menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat
    mengerahkan sin‐kangnya karena jantungnya berguncang mendengar
    lengking tinggi ini. Diam‐diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main
    hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan‐im‐I‐hun‐to
    (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari
    Ketua Beng‐kauw. Kalau saja sin‐kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia
    akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya
    mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa
    jantungnya dan tewas seketika ! Ia dapat melindungi jantung dan
    perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan
    pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan
    serangan‐serangan yang terus ia dasa! rk! an pada Ilmu Silat Pat‐sian‐kun.
    Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji
    hendak menggunakan Pat‐sian‐kun, ia akan terus menggunakan ini, biar
    andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
    Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan
    pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat‐sian‐lauw‐goat (Delapan
    Dewa Mencari Bulan) berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Pat‐mo‐kun
    harus kaubantu dengan Coan‐im‐kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk
    mengalahkan pat‐sian‐kun?"
    Merah wajah Pat‐jiu Sin‐ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke
    arah pusar sambil menjawab. "Pat‐mo Kiam‐sut belum kalah, jangan kau
    banyak tingkah dan menjadi sombong!"
    Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah
    terpental dan membentuk jurus Pat‐sian‐ci‐lou (Delapan Dewa Menunjuk
    Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan
    susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan
    untuk membalas. Karena jelas bahwa Pat‐mo‐kun selalu "tertindih" oleh Patsian‐
    kun, makin lama makin panaslah hati Pat‐jiu Sin‐ong, yang membuat
    dadanya serasa akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat‐mo Kiam‐sut ia
    mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis
    kurungan Pat‐sian‐kun. Pedangnya bergulung‐gulung merupakan sinar
    terang, berubah‐ubah bentuknya, kadang‐kadang merupakan sinar

  6. #155

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 155
    bergulung‐gulung membentuk lingkaran‐lingkaran. Hebat sekali memang
    Pat‐mo Kiam‐sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
    Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat‐mo‐kun, karena
    sesungguhnya Pat‐mo‐kun diciptakan dengan dasar Pat‐sian‐kun dan Kwee
    Seng adalah seorang ahli Pat‐sian‐kun. Maka pemuda sakti ini dapat
    menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu
    mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang.
    Lingkaran‐lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas
    dan lebih lebar, seakan‐akan "menggulung" lingkaran sinar Pat‐jiu Sin‐ong !
    Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat‐jiu Sin‐ong selalu
    mainkan Pat‐mo‐kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat‐siankun.
    Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan
    pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Patsian‐
    kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang
    sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu
    membalas serangan yang tiada artinya.
    Makin lama pat‐jiu Sin‐ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng
    melainkan panas perutnya karena benar‐benar Pat‐mo Kiam‐sut tidak dapat
    mengatasi Pat‐sian‐kun. Memang watak ketua Beng‐kauw ini aneh sekali,
    tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan
    ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri
    Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu !
    Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
    "Kwee Seng ! Kalau Pat‐mo‐kun tidak dapat mengatasi Pat‐sian‐kun, itupun
    belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku ! Apa
    artinya Pat‐sian‐kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat
    mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan
    membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja,
    yaitu Pat‐sian‐kun!" Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar
    pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang
    datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang gulungan sinar
    pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri
    kakek itu ikut menerjang dengan dorongan‐dorongan jarak jauh yang
    mengandung angin pukulan kuat sekali !

  7. #156

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 156
    "Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala
    harus tetap dingin!" Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk
    melindungi diri sambil mengucapkan kata‐kata memperingatan.
    "Ha‐ha‐ha, orang muda, kau mulai takut?"
    Kata‐kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali
    Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?"
    bentaknya dan pandangnya berkelebat‐kelebat dalam usaha membalas
    serangan.
    Namun, Pak‐sian Kiam‐sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang
    serangan ilmu pedang itu apalagi masih dibantu dengan sambaran angin
    pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus
    mempertahankan dengan permainan Pat‐sian Kiam‐hoat, dan biarpun ia
    mampu membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan harus
    mundur‐mundur ke arah jurang hitam !
    "Ha‐ha‐ha, Kim‐mo‐eng ! Begini sajakah kepandaianmu ? Apakah kau hanya
    mengandalkan Pat‐sian‐kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai
    seorang pendekar sakti ? Ha‐ha‐ha, sungguh lucu!" Pat‐jiu Sin‐ong tertawa
    bergelak.
    Kwee Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia
    tetap masih seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan pat‐jiu Sinong,
    tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama
    sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat
    pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia
    suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu
    menggunakan semua ini untuk memancing keluar ilmu‐ilmu simpanannya !
    Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu
    berseru keras dan tiba‐tiba angin yang mengeluarkan suara bersiutan
    menyambar dari tangan kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya ! Kini ia
    merasa dirinya lengkap ! Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat‐sia
    Kiam‐hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lohai‐
    san‐hoat ! Bukan main hebatnya.

  8. #157

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 157
    Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat
    namanya sehingga ia dijuluki Kim‐mo‐eng, hanya dapat membendung
    gelombang penyerangan Pat‐jiu Sin‐ong saja, tanpa dapat banyak membalas.
    Karena ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga
    meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya dan
    kini pedangnya mulai main Ilmu pedang Cap‐jit‐seng‐kiam yang jarang ia
    keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang
    menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya. Melihat pemuda itu
    mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam‐diam hati Pat‐jiu Sin‐ong
    menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan
    merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat
    mengalahkannya cepat‐cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu‐ilmu
    pemuda ini yang benar‐benar merupakan ilmu pilihan.
    Hebat pertandingan itu dan diam‐diam Kwee Seng harus mengakui bahwa
    selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya.
    Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban‐pi Lo‐cia, ketua
    Beng‐kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian
    dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi
    ketika tiba‐tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin
    mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar
    bahwa ia sedang dipancing, cepat‐cepat mengacaukan gerakan Cap‐jit‐sengkiam
    itu dengan ilmu silat lainnya.
    Melihat perubahan ini, hati Pat‐jiu Sin‐ong yang tadinya kegirangan menjadi
    kecewa dan timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat
    permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu
    terpaksa mengandalkan Cap‐jit‐seng‐kiam lagi. Sekarang waktu sudah
    berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
    Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba‐tiba pemuda ini berseru keras dan
    terhuyung‐huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk
    mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba‐tiba telinganya
    menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa
    ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan
    kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum‐jarum halus, akan
    tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan
    rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh,
    juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat.
    Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan pedang di
    tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali ia

  9. #158

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 158
    dihujani jarum yanglebih banyak lagi. Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee
    Seng yang maklum bahwa jarum‐jarum itu amat berbahaya, menyampok
    dengan kipa! sn! ya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa
    ketika ia terhuyung‐huyung ke belakang tadi ia telah mendekati jurang
    sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil
    menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada
    penyerangan jarum‐jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya
    terjerumus ke dalam jurang dan melayang‐layang ke bawah tanpa dapat
    ditahannya ! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak‐semak dan
    muncullah Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.
    "Pengecut *******!" bentak Pat‐jiu Sin‐ong sambil lari dan menghantamkan
    pedangnya ke arah bayangan hitam yang tadi menyerangkan jarum‐jarum
    rahasianya ke arah Kwee Seng.
    "Locianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah
    Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil memprotes. Akan tetapi pat‐jiu
    Sin‐ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini.
    "Siapa butuh bantuanmu ? Kau pengecut curang patut mampus!" Pedangnya
    menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu
    kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan ! Ini
    tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.
    "Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu
    menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang
    dapat mengelak sampai dua kali ini.
    "Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."
    "******* orang Khitan ! Kau telah bersikap pengecut!" Kembali pat‐jiu Sinong
    menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia
    tidak boleh main‐main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke
    belakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat‐jiu Sin‐ong mengejar sambil
    memaki‐maki.

  10. #159

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 159
    Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng
    terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa
    heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis
    dan ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita
    pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng gedung dalam benteng Jenderal
    Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek ! Pada
    saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan pipi basah air mata ia
    mendamprat Lu Sian.
    Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang
    di kaguminya, menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau
    mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang
    membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang
    mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar‐kejar ayah. Akan
    tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau
    menangisinya?"
    Tiba‐tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur,
    maka dengan menabahkan hati ia berkata, "Kwee‐taihiap telah menolongku
    daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan
    kehormatan kepada Kwee‐taihiap ! Biarpun kau telah menyia‐nyiakan cinta
    kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun aku... aku... ah..." Ia menangis lagi.
    "Cici ! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa
    kasihan juga pada gadis ini.
    "Ya ! Aku cinta padanya ! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain
    ! Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini ? Aku...
    aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..." Sambil terisak Kui Lan lalu
    membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
    Lu Sian menarik napas panjang, diam‐diam ia menyesal pula akan kesudahan
    pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih
    Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan
    kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng,
    tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.

  11. #160

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 160
    Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat
    menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap
    dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah
    ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam
    Bayisan itu ! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia
    menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau
    seorang gadis yang ****** sekali!"
    Lu Sian membelalakkan matanya, terheran‐heran mendengar teguran
    ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani
    banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk
    dikendalikan.
    "Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut,
    apakah kau hendak memilih batu kali ? Di mana di dunia ini ada calon suami
    yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng ? Siapapun juga yang kau
    pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
    "Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta
    kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"
    "Huh ! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan Kwee Seng ke dua di
    dunia ini."
    "Tidak ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi
    dia!"
    "Tak mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar‐benar
    membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."
    "Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan
    Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat
    menambah ilmu‐ilmu yang kau kumpulkan!"

  12. #161

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 161
    Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat‐jiu Sin‐ong menjdi
    marah. "Kau anak kecil tahu apa ? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu,
    namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan
    Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama,
    kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi
    suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu‐ilmunya juga menjadi
    ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng‐kauw makin bersinar. *****
    kau. Hayo pulang!"
    "Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian
    yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
    Pat‐jiu Sin‐ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk
    memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana
    seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian
    yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
    "Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau
    tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret
    pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
    Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan
    kubunuh laki‐laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota
    Beng‐kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik‐baik pesanku itu!"
    Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat
    lenyap dari situ.
    Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya
    terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu
    akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui
    pilihannya ? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia
    memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri
    di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak
    berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia
    menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu
    Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan
    napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri
    tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui

  13. #162

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 162
    betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh
    karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya
    kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
    Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandaipandainya
    manusia, sekali‐kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama
    sekali tidak mampu berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada
    gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan
    tanpa keraguan lagi, sebulat‐bulatnya.
    Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini,
    kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki
    seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti
    akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki
    seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada
    jalan orang itu akan tertolong.
    Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening
    dan semangatnya serasa melayang‐layang. Betapapun tabahnya, namun
    malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan
    apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh
    pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya
    maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan,
    bisiknya, mengapa sebelum mati hamba‐Mu ini harus mengalami siksaan
    begini mengerikan ?
    Tiba‐tiba... "byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
    Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh
    Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi
    tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti
    pecah‐pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup
    dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah
    dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan
    tiba‐tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret
    arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada
    Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya.
    Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus
    air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar‐putar sampai kepalanya
    menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini
    berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng! kuat. Benar dugaannya,

  14. #163

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 163
    makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba‐tiba tubuhnya tanpa dapat ia
    pertahankan lagi, disedot ke dalam air !
    Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia
    berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat‐kuat sehingga ia
    berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
    tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul
    kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh
    air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap
    lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin
    ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan
    licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus
    yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu‐batu.
    Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit‐apit tebing tinggi, terpaksa
    Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan
    tiba‐tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
    Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu
    tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki
    terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak
    mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama,
    menahan arus air tak mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting
    hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau
    menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat
    mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam
    sedalam mungkin.
    Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecahpecah
    bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah
    dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar
    garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam
    perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi
    nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas
    meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin‐kang di tubuhnya
    karena tubuhnya mulai terbentur‐bentur batu. Kalau ia bukan seorang
    gemblengan, tentu sudah remuk tulang‐tulangnya. Akan tetapi siksaan alam
    ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba‐tiba ia melihat
    cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa
    sakit‐sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam

  15. #164

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 164
    terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat
    menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar
    dan makin dangkal. Di! a! tas bergantungan batu‐batu yang meruncing
    seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari
    yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya
    tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
    Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit‐sakit semua, lemas
    dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap
    didalam pundak kanannya. Rambut awut‐awutan menutupi muka,
    pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana‐sini. Ia
    mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal
    sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan
    tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat
    jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat
    keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua,
    seorang nenek‐nenek yang memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek
    ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya
    bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinarsinar.
    "Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini
    dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan
    tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia
    melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak
    bergerak lagi karena sudah pingsan.
    Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek‐nenek tua renta
    yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat
    tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu
    mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di
    bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlikaliku.
    Dengan hati‐hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas
    pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia
    mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng
    berwarna hitam.
    "Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepatcepat
    ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu,
    kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng,

  16. #165

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 165
    mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali
    pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan
    sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan
    tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi
    berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah
    disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di
    atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot
    darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah
    merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam
    luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah
    sebuah ikat pinggang.
    Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya
    memang hebat sehingga ia seakan‐akan keluar kembali dari lubang kubur,
    terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh
    pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar.
    Ia tidak tahu betapa luka‐lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek
    tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang
    malam, tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
    Pada hari keempat, pagi‐pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia
    merasa tubuhnya sakit‐sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia
    melihat langit‐langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari
    dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding
    itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf‐hurufnya halus dan indah,
    jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia
    bahwa tulisan‐tulisan itu merupakan syair‐syair yang amat indah pula
    walaupun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan
    bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar" batu
    seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu
    ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan
    batu.
    "Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi.
    Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu."
    Suara itu halus sekali, teratur dan sopan‐santun. Kwee Seng terbelalak kaget.
    Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping
    ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang
    tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap

Page 11 of 16 FirstFirst ... 789101112131415 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •