PART 151
puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke barat,
pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat‐mo‐kiam dengan begitu Pat‐sian‐kiam
!" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat‐jiu Sin‐ong,
bukanlah hal main‐main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua
hari dua malam melawan Ban‐pi Lo‐cia berkesudahan seri, tiada yang kalah
atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian
kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang ! Dia tidak
mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti
pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi ! Namun Kwee Seng adalah
seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali.
Kalau baru‐baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini
tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia
tidak akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil
ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil
berkata.
"Pat‐jiu Sin‐ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau
bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha‐ha‐ha‐ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat‐sian‐kun yang kau agungagungkan
itu menghadapi Pat‐mo‐kun ! Lu Sian, mundur kau jauh‐jauh dan
jangan sekali‐kali campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari
pinggir jurang.
Pat‐jiu Sin‐ong memutar‐mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa
bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu
berdesingan mengaung‐ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk
pedang, berubah menjadi sinar bergulung‐gulung yang melebihi sinar bulan
terangnya
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat‐mo‐kun, sambutlah!" teriak pat‐jiu‐
Sin‐ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.
PART 152
Karena Pat‐mo Kiam‐hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat‐sian
Kiam‐hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng
mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini
kalau dimainkan oleh pat‐jiu Sin‐ong amatlah jauh bedanya dengan
permainan Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek
Ketua Beng‐kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya.
Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Patsian‐
kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat‐sian‐kun yang sudah ia ringkas itu
dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan
tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar‐mutar
ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya
berhasil menangkis pedang.
"Krakkkk!" Ranting itu patah menjadi dua. Pat‐jiu Sin‐ong menarik
pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha‐ha‐ha‐ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim‐mo‐eng !
Apa kaukira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja
seperti yang kaulakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat‐jiu Sin‐ong." Jawab
Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam‐diam ia senang juga
karena ternyata Ketua Beng‐kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadangkadang
kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar
sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak
berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kaupinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba
membuktikan omongannya bahwa Pat‐sian‐kun dapat mengalahkan Pat‐mokun
kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan
melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini,
karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke
arah Kwee Seng.Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang
PART 153
terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan
tahu‐tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha‐ha‐ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan
mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat‐mo‐kun!" kata Patjiu
Sin‐ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri
Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk
mata kanan.
Diam‐diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng‐kauw ini
sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap
menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat‐mo‐kun. Kalau ia tidak
memperhatikan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin
sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang
yang amat ringan dan enak di pakai. Tahu bahwa pedang Toa‐hong‐kiam ini
merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia
mainkan Pat‐sian Kiam‐sut dengan pengerahan tenaga sin‐kangnya. Dua kali
serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian
pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya
terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin‐kangnya,
maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah
tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya. Pat‐jiu Sin‐ong
diam‐diam kaget juga,karena ia tiidak mengira bahwa serangan pertamanya
itu se! ak! an‐akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga
bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi
lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat
mematikan!
Ketika Pat‐jiu Sin‐ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil
menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan,
kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung
membabat leher! Kaget sekali hati Pat‐jiu Sin‐ong. Bukan kaget menghadapi
serangan ini bainya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan
tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus‐jurus
Ilmu Silat Pat‐sian‐kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng
adalah benar‐benar Pat‐sian‐kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi
ilmu silat yang lihai sekali dan benar‐benar ia melihat bahwa kalau ia
melanjutkan serangan‐serangan dengan Pat‐mo‐kun, ia selalu akan terserang
oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat‐mo‐kun,
pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung
menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
PART 154
Pat‐jiu Sin‐ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali,
seakan‐akan menggetarkan bumi yang berada di bawah kaki, gemanya
sampai panjang susul‐menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat
mengerahkan sin‐kangnya karena jantungnya berguncang mendengar
lengking tinggi ini. Diam‐diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main
hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan‐im‐I‐hun‐to
(Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari
Ketua Beng‐kauw. Kalau saja sin‐kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia
akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya
mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa
jantungnya dan tewas seketika ! Ia dapat melindungi jantung dan
perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan
pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan
serangan‐serangan yang terus ia dasa! rk! an pada Ilmu Silat Pat‐sian‐kun.
Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji
hendak menggunakan Pat‐sian‐kun, ia akan terus menggunakan ini, biar
andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan
pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat‐sian‐lauw‐goat (Delapan
Dewa Mencari Bulan) berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Pat‐mo‐kun
harus kaubantu dengan Coan‐im‐kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk
mengalahkan pat‐sian‐kun?"
Merah wajah Pat‐jiu Sin‐ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke
arah pusar sambil menjawab. "Pat‐mo Kiam‐sut belum kalah, jangan kau
banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah
terpental dan membentuk jurus Pat‐sian‐ci‐lou (Delapan Dewa Menunjuk
Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan
susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan
untuk membalas. Karena jelas bahwa Pat‐mo‐kun selalu "tertindih" oleh Patsian‐
kun, makin lama makin panaslah hati Pat‐jiu Sin‐ong, yang membuat
dadanya serasa akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat‐mo Kiam‐sut ia
mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis
kurungan Pat‐sian‐kun. Pedangnya bergulung‐gulung merupakan sinar
terang, berubah‐ubah bentuknya, kadang‐kadang merupakan sinar
PART 155
bergulung‐gulung membentuk lingkaran‐lingkaran. Hebat sekali memang
Pat‐mo Kiam‐sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat‐mo‐kun, karena
sesungguhnya Pat‐mo‐kun diciptakan dengan dasar Pat‐sian‐kun dan Kwee
Seng adalah seorang ahli Pat‐sian‐kun. Maka pemuda sakti ini dapat
menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu
mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang.
Lingkaran‐lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas
dan lebih lebar, seakan‐akan "menggulung" lingkaran sinar Pat‐jiu Sin‐ong !
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat‐jiu Sin‐ong selalu
mainkan Pat‐mo‐kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat‐siankun.
Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan
pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Patsian‐
kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang
sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu
membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama pat‐jiu Sin‐ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng
melainkan panas perutnya karena benar‐benar Pat‐mo Kiam‐sut tidak dapat
mengatasi Pat‐sian‐kun. Memang watak ketua Beng‐kauw ini aneh sekali,
tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan
ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri
Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu !
Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng ! Kalau Pat‐mo‐kun tidak dapat mengatasi Pat‐sian‐kun, itupun
belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku ! Apa
artinya Pat‐sian‐kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat
mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan
membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja,
yaitu Pat‐sian‐kun!" Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar
pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang
datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang gulungan sinar
pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri
kakek itu ikut menerjang dengan dorongan‐dorongan jarak jauh yang
mengandung angin pukulan kuat sekali !
PART 156
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala
harus tetap dingin!" Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk
melindungi diri sambil mengucapkan kata‐kata memperingatan.
"Ha‐ha‐ha, orang muda, kau mulai takut?"
Kata‐kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali
Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?"
bentaknya dan pandangnya berkelebat‐kelebat dalam usaha membalas
serangan.
Namun, Pak‐sian Kiam‐sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang
serangan ilmu pedang itu apalagi masih dibantu dengan sambaran angin
pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus
mempertahankan dengan permainan Pat‐sian Kiam‐hoat, dan biarpun ia
mampu membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan harus
mundur‐mundur ke arah jurang hitam !
"Ha‐ha‐ha, Kim‐mo‐eng ! Begini sajakah kepandaianmu ? Apakah kau hanya
mengandalkan Pat‐sian‐kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai
seorang pendekar sakti ? Ha‐ha‐ha, sungguh lucu!" Pat‐jiu Sin‐ong tertawa
bergelak.
Kwee Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia
tetap masih seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan pat‐jiu Sinong,
tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama
sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat
pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia
suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu
menggunakan semua ini untuk memancing keluar ilmu‐ilmu simpanannya !
Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu
berseru keras dan tiba‐tiba angin yang mengeluarkan suara bersiutan
menyambar dari tangan kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya ! Kini ia
merasa dirinya lengkap ! Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat‐sia
Kiam‐hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lohai‐
san‐hoat ! Bukan main hebatnya.
PART 157
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat
namanya sehingga ia dijuluki Kim‐mo‐eng, hanya dapat membendung
gelombang penyerangan Pat‐jiu Sin‐ong saja, tanpa dapat banyak membalas.
Karena ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga
meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya dan
kini pedangnya mulai main Ilmu pedang Cap‐jit‐seng‐kiam yang jarang ia
keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang
menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya. Melihat pemuda itu
mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam‐diam hati Pat‐jiu Sin‐ong
menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan
merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat
mengalahkannya cepat‐cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu‐ilmu
pemuda ini yang benar‐benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam‐diam Kwee Seng harus mengakui bahwa
selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya.
Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban‐pi Lo‐cia, ketua
Beng‐kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian
dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi
ketika tiba‐tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin
mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar
bahwa ia sedang dipancing, cepat‐cepat mengacaukan gerakan Cap‐jit‐sengkiam
itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat perubahan ini, hati Pat‐jiu Sin‐ong yang tadinya kegirangan menjadi
kecewa dan timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat
permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu
terpaksa mengandalkan Cap‐jit‐seng‐kiam lagi. Sekarang waktu sudah
berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba‐tiba pemuda ini berseru keras dan
terhuyung‐huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk
mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba‐tiba telinganya
menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa
ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan
kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum‐jarum halus, akan
tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan
rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh,
juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat.
Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan pedang di
tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali ia
PART 158
dihujani jarum yanglebih banyak lagi. Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee
Seng yang maklum bahwa jarum‐jarum itu amat berbahaya, menyampok
dengan kipa! sn! ya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa
ketika ia terhuyung‐huyung ke belakang tadi ia telah mendekati jurang
sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil
menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada
penyerangan jarum‐jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya
terjerumus ke dalam jurang dan melayang‐layang ke bawah tanpa dapat
ditahannya ! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak‐semak dan
muncullah Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut *******!" bentak Pat‐jiu Sin‐ong sambil lari dan menghantamkan
pedangnya ke arah bayangan hitam yang tadi menyerangkan jarum‐jarum
rahasianya ke arah Kwee Seng.
"Locianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah
Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil memprotes. Akan tetapi pat‐jiu
Sin‐ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini.
"Siapa butuh bantuanmu ? Kau pengecut curang patut mampus!" Pedangnya
menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu
kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan ! Ini
tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu
menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang
dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."
"******* orang Khitan ! Kau telah bersikap pengecut!" Kembali pat‐jiu Sinong
menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia
tidak boleh main‐main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke
belakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat‐jiu Sin‐ong mengejar sambil
memaki‐maki.
PART 159
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng
terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa
heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis
dan ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita
pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng gedung dalam benteng Jenderal
Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek ! Pada
saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan pipi basah air mata ia
mendamprat Lu Sian.
Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang
di kaguminya, menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau
mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang
membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang
mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar‐kejar ayah. Akan
tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau
menangisinya?"
Tiba‐tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur,
maka dengan menabahkan hati ia berkata, "Kwee‐taihiap telah menolongku
daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan
kehormatan kepada Kwee‐taihiap ! Biarpun kau telah menyia‐nyiakan cinta
kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun aku... aku... ah..." Ia menangis lagi.
"Cici ! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa
kasihan juga pada gadis ini.
"Ya ! Aku cinta padanya ! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain
! Sekarang ia telah tewas...ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini ? Aku...
aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..." Sambil terisak Kui Lan lalu
membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam‐diam ia menyesal pula akan kesudahan
pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih
Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan
kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng,
tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.
PART 160
Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat
menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap
dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah
ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam
Bayisan itu ! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia
menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau
seorang gadis yang ****** sekali!"
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran‐heran mendengar teguran
ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani
banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk
dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut,
apakah kau hendak memilih batu kali ? Di mana di dunia ini ada calon suami
yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng ? Siapapun juga yang kau
pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta
kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan pandai dia!"
"Huh ! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan Kwee Seng ke dua di
dunia ini."
"Tidak ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi
dia!"
"Tak mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar‐benar
membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan
Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat
menambah ilmu‐ilmu yang kau kumpulkan!"
PART 161
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat‐jiu Sin‐ong menjdi
marah. "Kau anak kecil tahu apa ? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu,
namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan
Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama,
kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi
suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu‐ilmunya juga menjadi
ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng‐kauw makin bersinar. *****
kau. Hayo pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian
yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat‐jiu Sin‐ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk
memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana
seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian
yang lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau
tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret
pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan
kubunuh laki‐laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota
Beng‐kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik‐baik pesanku itu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat
lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya
terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu
akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui
pilihannya ? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia
memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng, sejenak berdiri
di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak
berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia
menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan
napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri
tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui
PART 162
betapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh
karena itu, ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandaipandainya
manusia, sekali‐kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama
sekali tidak mampu berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada
gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan
tanpa keraguan lagi, sebulat‐bulatnya.
Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini,
kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki
seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti
akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki
seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada
jalan orang itu akan tertolong.
Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening
dan semangatnya serasa melayang‐layang. Betapapun tabahnya, namun
malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan
apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh
pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya
maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan,
bisiknya, mengapa sebelum mati hamba‐Mu ini harus mengalami siksaan
begini mengerikan ?
Tiba‐tiba... "byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh
Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi
tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti
pecah‐pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup
dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah
dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan
tiba‐tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut karena tubuhnya terseret
arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada
Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya.
Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus
air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar‐putar sampai kepalanya
menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini
berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng! kuat. Benar dugaannya,
PART 163
makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba‐tiba tubuhnya tanpa dapat ia
pertahankan lagi, disedot ke dalam air !
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia
berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat‐kuat sehingga ia
berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul
kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh
air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap
lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin
ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan
licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus
yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu‐batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit‐apit tebing tinggi, terpaksa
Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan
tiba‐tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu
tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki
terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak
mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama,
menahan arus air tak mungkin ! Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting
hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia tidak mau
menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat
mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam
sedalam mungkin.
Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecahpecah
bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah
dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar
garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam
perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi
nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas
meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sin‐kang di tubuhnya
karena tubuhnya mulai terbentur‐bentur batu. Kalau ia bukan seorang
gemblengan, tentu sudah remuk tulang‐tulangnya. Akan tetapi siksaan alam
ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba‐tiba ia melihat
cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa
sakit‐sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam
PART 164
terowongan yang amat besar, merupakan gua panjang yang amat
menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar
dan makin dangkal. Di! a! tas bergantungan batu‐batu yang meruncing
seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari
yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya
tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit‐sakit semua, lemas
dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap
didalam pundak kanannya. Rambut awut‐awutan menutupi muka,
pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana‐sini. Ia
mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal
sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan
tetapi ia beberapa kali terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat
jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat
keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua,
seorang nenek‐nenek yang memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek
ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya
bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinarsinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini
dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan
tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia
melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak
bergerak lagi karena sudah pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek‐nenek tua renta
yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat
tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu
mudah dan ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di
bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berlikaliku.
Dengan hati‐hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas
pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia
mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng
berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepatcepat
ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu,
kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng,
PART 165
mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali
pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan
sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan
tangan. Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi
berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah
disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di
atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot
darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah
merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam
luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah
sebuah ikat pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya
memang hebat sehingga ia seakan‐akan keluar kembali dari lubang kubur,
terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh
pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar.
Ia tidak tahu betapa luka‐lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek
tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang
malam, tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi‐pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia
merasa tubuhnya sakit‐sakit dan lemah, ketika ia membuka matanya, ia
melihat langit‐langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari
dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding
itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf‐hurufnya halus dan indah,
jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia
bahwa tulisan‐tulisan itu merupakan syair‐syair yang amat indah pula
walaupun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan
bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar" batu
seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu
ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan
batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi.
Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu."
Suara itu halus sekali, teratur dan sopan‐santun. Kwee Seng terbelalak kaget.
Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping
ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang
tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap
Share This Thread